PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peredaran bahan kimia semakin hari semakin pesat, hal ini disamping memberikan
manfaat yang besar juga dapat menimbulkan masalah yang tak kalah besar terhadap manusia
terutama di bidang kesehatan. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin
meningkat baik di Negara maju maupun negara berkembang. Angka yang pasti dari kejadian
keracunan di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian
keracunan di beberapa rumah sakit, tetap iangka tersebut tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya di masyarakat. Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak
terjadi di Indonesia adalah akibat paparan pestisida, obat obatan, hidrokarbon, bahan kimia
korosif, alkohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin, asam jengkolat
dan beberapa tanaman beracun lainnya.
Masalah yang tak kalah peliknya ialah masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai
NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya). Masalah ini merupakan masalah yang
sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran,
sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat
sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya
penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil
diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah
sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak
berumur antara 1524 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan
gelap NAPZA.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Keracunan dan Overdosis Secara Umum
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang masuk
ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati,
ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam organ tubuh, tergantung
sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga akan menghasilkan efek yang
tidak diinginkan dalam jangka panjang.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat, serum,
alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain.
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami keracunan akibat obat.
OD sering terjadi bila menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang waktu
terlalu singkat, biasanya digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin digunakan
bersama alkohol. Atau menelan obat tidur seperti golongan barbiturat (luminal) atau obat
penenang (valium, xanax, mogadon/BK).
2.2 Definisi NAPZA
1. NAPZA
Napza merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat / bahan adiktif
lainnya adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan
seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis)
sehingga dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan
segera
a. Jenis-jenis NAPZA
3
perubahan kesadaran,
rasa nyeri
hilangnya rasa,
dan dapat
menimbulkan
untuk keperluan
sakit/analgesik.
medis
Contohnya
dan penelitian
yaitu
seperti
metadon,
2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah
zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari,
2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif
karena
campuran
yang
dapat
membahayakan
secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan- bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan
efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun
yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)
yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir,
green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%)
seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20%
sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan
mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk.
2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.
a.
b.
c.
d.
Lakukan pemeriksaan rnntgen thoraks serta laboraturium, yaitu darah lengkap, urin
lengkap dan urinalisis
b. Intoksikasi Sedatif Hipnotik (Benzodiazepin)
Intoksikasi sedatif hipnotik jarang memerlukan pertolongan gawat darurat atau
intervensi farmakologi.Intoksikasi benzodiazepin yang fatal sering terjadi pada
anak-anak atau individu dengan gangguan pernapasan atau bersama obat depresi
susunan syaraf pusat lainnya seperti opioida.Gejala intoksikasi benzodiazepin
yang progresif adalah hiporefleksia, nistagmus dan kurang siap siaga, ataksia,
berdiri tidak stabil. Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia,
letih, lemah, konfusi, somnolent, koma, pupilmiosis, hip[otermi, depresi sampai
dengan
henti
pernapasan.bila
diketahui
segera
dan
mendapat
terapi
ada usaha untuk bunuh diri maka klien tersebut harus ditempatkan ditempat
khusus dengan pengawasan ketat setelah keadaan darurat diatasi.
c. Intoksikasi Anfetamin
Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan dengan adanya
dua atau lebih gejala-gejala seperti takikardi atau bradikardi, dilatasi pupil,
peningkatan atau penurunan tekanan darah, banyak keringat atau kedinginan,
mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi psikomotot,
kelelahan otot, depresi sistem pernapasan, nyeri dada atau aritmiajantung,
kebingungan, kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma. Penatalaksanaan
adalah dengan memberikannya terapi symtomatik dan pemberian terapi
suportife lain, misal: anti psikotik, anti hipertensi, dll.
d. Intoksikasi Kokain
Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis
misalnya euforia atau efek mendatar, perubahan dalam stabilitas, hypervigilance
/ kewaspadaan yang meningkat, interpersonal sensitivity, ansietas, kemarahan,
tingkah laku yang stereotip, menurunnya fungsi sosial dan fungsi pekerjaan
yang berkembang selama atau setelah penggunaan kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul diantaranya adalah takikardia
atau bradikardia, dilatasi pupi, peningkatan atau penurunan tekanan darah,
berkeringat atau rasa dingin, mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi
atau retardasi psikomotor, kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau arimia
jantung, bingung (confusion), kejangdyskinesia, dystonia, hingga dapat
menimbulkan koma.
Penatalaksanaan setelah pemberian bantuan hidup dasar adalah dengan
melakukan tindakan kolaborati berupa pemberian terapi-terapi simtomatik,
misalnya pemberian Benzodiazepin bila timbul gejala agitasi, pemberian obatobat anti psikotik jika timbul gejala psikotik , dan pemberian terapi-terapi
lainnya sesuai dengan gejala yang ditemukan.
2. Ketergantungan NAPZA (Withdrawl/ Sindrome Putus Zat)
Ketergantungan atau yang disebut dengan withdrawl adalah suatu kondisi cukup berat
yang ditandai dengan adanya ketergantungan fisik yaitu toleransi dan sindrome putus zat.
Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara
rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa
digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
Terapi yang dapat diberikan pada keadaan sindrom putus zat yaitu :
Terapi putus zat opioida, terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat
inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda ada yang 1-2 minggu untuk
detoksifikasi konvensional dan ada yang 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid
dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification Treatment). Detoksifikasi
hanyalah
merupakan
langkah
awal
dalam
proses
penyembuhan
dari
penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :
Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold
turkey). Terapi hanya simptomatik saja. Untuk nyeri diberi analgetika kuat
seperti : Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya.
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin, Untuk mual beri
metopropamid, Untuk kolik beri spasmolitik, Untuk gelisah beri antiansietas,
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepine.
Terapi
putus
opioida
bertahap
(gradual
withdrawal),
Dapat
diberi
Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda Dipakai Clonidine dimulai
dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis
diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila
sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.
Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid
Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,
9
Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol Harus secara bertahap dan dapat
diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara : Memberikan
benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai
gejala putus zat hilang.
Terapi putus Kokain atau Amfetamin, Rawat inap perlu dipertimbangkan karena
kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi
berikan anti depresi.
Terapi putus opioida pada neonates, Gejala putus opioida pada bayi yang
dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul
dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah, dehidrasi,
hidung tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang
memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari.
Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma
putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan
zat yang
dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada
jenis zat yang berbeda.
10
Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo ( cadel ), apatis
( acuh tak acuh ), mengantuk, agresif.
Bila terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi
lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal.
Saat sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair, menguap terus,
diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun.
Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas
atau tempat kerja.
Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin.
Sering mendapat telepon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota
keluarga yang lain.
Sering berbohong, meminta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.
NAPZA
a) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a. Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang
NAPZA
b. Deteksi dini perubahan perilaku
c. Menolak tegas untuk mencoba (Say no to drugs) atau Katakan tidak pada
narkoba
b) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara
yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat
yang
mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala
putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut
berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna
sedatif-hipnotik
dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian
substitusi adalah dengan cara
penurunan
dosis
secara
bertahap
sampai
berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat
yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri,
rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat
putus zat tersebut.
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai
kemampuan
fungsional seoptimal
dan
pengembangan
pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang
12
2.
3.
4.
5.
6.
Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan
dengan lingkungannya.
teknik finger-sweep (sapuan jari) dengan menggunakan jari telunjuk yang terbungkus
kassa (jika ada).
Ada dua maneuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head tilt /
chin lift dan jaw trust.
Head tilt atau chin lift: Teknik ini hanya dapat digunakan pada klien pengguna
NAPZA tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang.
Jaw trust : Teknik ini dapat digunakan selain teknik diatas. Walaupun teknik ini
menguras tenaga, namaun merupakan yang paling sesuai untuk klien pengguna NAPZA
denag cedera tulang belakang.
B = Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara otomatis.Untuk menilai
secara normal dapat dilihat dari pengembangn dada dan berapa kali seseorang
bernafas dalam satu menit.Frekuensi/ jumlah pernafasan normal adalah 12-20x /
menit pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat tanda-tanda sesak
nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam satu menit, adanya napas
cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas), adanya penggunaan otototot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut), warna kebiruan pada
sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara
napas, tidak dirasakan hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak sadar dan tidak
bernapas.
Breathing support adalah penilain status pernapasan klien untuk mengetahuiapakah
klien masih dapat bernapas secara spontan atau tidak. Prinsip dari melakukan
tindakan ini adalah dengan cara melihat, mendengar dan merasakan (Look, Listen and
Feel = LLF). Lihat, ada tidaknya pergerakan dada sesuai dengan pernapasan.Dengar,
ada tidaknya suara napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung klien.Rasakan, dengan
pipi penolong ada tidaknya hembusan napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung
korban.Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik.
Jikaterlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa hembusan napas klien,
maka berarti klientidak menglami henti napas.masalah yang ada hanyalah penurunan
kesadaran.dalam kondisi ini, tindakan terbaik yang dilakukan perawat adalah
mempertahankan jalan napas tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan
memberikan posisi mantap.
14
Jika korban tidakbernapas, berikan 2 kali bantuan per-napasan denag volume yang
cukup untuk dapat mengembangkan dada. Lamanya memberikan bantuan pernapasan
sampai dada mengembang adalah 1detik.Demikian halnya berlaku jika bantuan
pernapasan diberikan melalui mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari
pemberian pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena akan menyebabkan
kembung (distensi abdomen) dan dapat menimbulan komplikasi padaparu-paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan ventilasi oksigen
kepada klien.Untuk memberikan bantuan tersebut, buka jalan napas klien, tutup
cuping hidung klien dan mulut penolong mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1
kali pernapasan dalam waktu 1 detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan
pernapasan 1 kali lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien. Jika tidak terjadi
pengembangan dada, maka cara penolong tidaak tepat dalam membuka jalan napas.
Cara yang samaa dilakukan jika alat pelindung terdiri dari 2 tipe, yaitu pelindung
wajah dan sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk lembaran yang terbuat dari
plastic bening atau silicon yang dapat mengurangi kontak antara klien dengan
penolong.Sedangkan jika memakai sungkup wajah, maka biasanya terdapat lubang
khusus untuk memasukkan oksigen.Ketika oksigen telah tersedia, maka berikan aliran
oksigen sebanyak 10-12 liter/menit.
C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar yang
diberikan
pada
klien
yang
mengalami
henti
jantung.
Selain
itu
untuk
15
laring dan otot leher. Setelah itu barulah penolong merasakan denyut nadi. Perabaan
dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik.
Melakukan resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan
ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri dengan posisi
lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni (kepala tengkorak). Untuk
memberikan kompresi dada yang efektif. Lakukan kompresi dengan kecepatan
100x/menit dengan kedalaman kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan
selam nadi tidak teraba dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio
kompresi ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini dibuat untuk
menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi kejadian hiperventilasi, dan
mengurangi pemberhentian kompresi untuk melakukan ventilasi.
2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat perhatian karena
dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti jantung, henti nafas, dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi ditujukan pada tingkat
kedaruratan klien. Yang paling penting dalam anamnesis adalah mendapatkan
informasi yang penting seperti :
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan, termasuk obat
yang ering dipakai, baik kepada klien (jika memungkinkan), anggota keluarga,
teman, atau petugas kesehatan yang biasa mendampingi (jika ada) tentang obat
yang biasa digunakan.
b. Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.
c. Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat intosikasi, yaitu
pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat,
dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik harus dilakukan
berulang.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat,
serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain. Beberapa jenis obat dan
zat yang dapat menyebabkan keracunan dan overdosis NAPZA. Keracunan atau
intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat, serum, alkohol, bahan
serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain. Karbon monoksida (gas buangan kendaraan,
gas rumah tangga) tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Napza merupakan
singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat / bahan adiktif lainnya adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh
terutama otak/susunan saraf pusat. Penatalksanaan pada jenis keracunan tersebut berbeda
bergantung pada zat yang meracuninya. Namun tidak terlepas dari prinsip ABC.
3.2 Saran
Kegawatan pada pasien dengan keracunan dan overdosis
segera ditangani. Bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien
bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita sebagai petugas kesehatan
hendaknya perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada pasien dengan
keracunan dan overdosis secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat
kita hindari.
17
DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.5. Jakarta : Internet Publishing
18