Anda di halaman 1dari 18

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Peredaran bahan kimia semakin hari semakin pesat, hal ini disamping memberikan
manfaat yang besar juga dapat menimbulkan masalah yang tak kalah besar terhadap manusia
terutama di bidang kesehatan. Keracunan adalah salah satu masalah kesehatan yang semakin
meningkat baik di Negara maju maupun negara berkembang. Angka yang pasti dari kejadian
keracunan di Indonesia belum diketahui secara pasti, meskipun banyak dilaporkan kejadian
keracunan di beberapa rumah sakit, tetap iangka tersebut tidak menggambarkan kejadian yang
sebenarnya di masyarakat. Dari data statistik diketahui bahwa penyebab keracunan yang banyak
terjadi di Indonesia adalah akibat paparan pestisida, obat obatan, hidrokarbon, bahan kimia
korosif, alkohol dan beberapa racun alamiah termasuk bisa ular, tetradotoksin, asam jengkolat
dan beberapa tanaman beracun lainnya.
Masalah yang tak kalah peliknya ialah masalah penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika
dan Zat Adiktif lainya (NAPZA) atau istilah yang populer dikenal masyarakat sebagai
NARKOBA (Narkotika dan Bahan/ Obat berbahanya). Masalah ini merupakan masalah yang
sangat kompleks, yang memerlukan upaya penanggulangan secara komprehensif dengan
melibatkan kerja sama multidispliner, multisektor, dan peran serta masyarakat secara aktif yang
dilaksanakan secara berkesinambungan, konsekuen dan konsisten. Meskipun dalam Kedokteran,
sebagian besar golongan Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya (NAPZA) masih
bermanfaat bagi pengobatan, namun bila disalahgunakan atau digunakan tidak menurut indikasi
medis atau standar pengobatan terlebih lagi bila disertai peredaran dijalur ilegal, akan berakibat
sangat merugikan bagi individu maupun masyarakat luas khususnya generasi muda. Maraknya
penyalahgunaan NAPZA tidak hanya dikota-kota besar saja, tapi sudah sampai ke kota-kota kecil
diseluruh wilayah Republik Indonesia, mulai dari tingkat sosial ekonomi menengah bawah
sampai tingkat sosial ekonomi atas. Dari data yang ada, penyalahgunaan NAPZA paling banyak
berumur antara 1524 tahun. Tampaknya generasi muda adalah sasaran strategis perdagangan
gelap NAPZA.

1.2 RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang kami angkat adalah :
1. Bagaimanakah konsep keracunan dan overdosis?
2. Apakah definisi dari IFO, karbonmonoksida, dan NAPZA?
3. Apa manifestasi dari keracunan dan overdosis IFO, karbonmonoksida dan NAPZA?
4. Bagaimana penatalaksanaan dari keracunan dan overdosis IFO, karbonmonoksida dan
NAPZA?
1.3 TUJUAN
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan dari makalah kami ini adalah :
1. Bagaimana penatalaksanaan dari keracunan dan NAPZA .

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Definisi Keracunan dan Overdosis Secara Umum
Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan oleh racun. Bahan racun yang masuk
ke dalam tubuh dapat langsung mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru-paru, hati,
ginjal dan lainnya. Tetapi zat tersebut dapat pula terakumulasi dalam organ tubuh, tergantung
sifatnya pada tulang, hati, darah atau organ lainnya sehingga akan menghasilkan efek yang
tidak diinginkan dalam jangka panjang.
Intoksikasi atau keracunan adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang menggunakannya.
Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat, serum,
alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain.
Overdosis atau kelebihan dosis terjadi akibat tubuh mengalami keracunan akibat obat.
OD sering terjadi bila menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang waktu
terlalu singkat, biasanya digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin digunakan
bersama alkohol. Atau menelan obat tidur seperti golongan barbiturat (luminal) atau obat
penenang (valium, xanax, mogadon/BK).
2.2 Definisi NAPZA
1. NAPZA
Napza merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat / bahan adiktif
lainnya adalah bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan
mempengaruhi tubuh terutama otak/susunan saraf pusat, sehingga menyebabkan
gangguan kesehatan fisik, psikis, dan fungsi sosialnya karena terjadi kebiasaan,
ketagihan (adiksi) serta ketergantungan (dependensi) terhadap NAPZA.
Kegawatdaruratan NAPZA adalah suatu keadaan yang mengancam kehidupan
seseorang akibat penggunaan zat/obat yang berlebihan (intoksikasi/over dosis)
sehingga dapat mengancam kehidupan, apabila tidak dilakukan penanganan dengan
segera
a. Jenis-jenis NAPZA
3

NAPZA dapat dibagi ke dalam beberapa golongan yaitu:


1. Narkotika
Narkotika adalah suatu obat atau zat alami, sintetis maupun sintetis yang
dapat menyebabkan turunnya kesadaran, menghilangkan atau mengurangi hilang
rasa atau nyeri dan perubahan kesadaran yang menimbulkan ketergantungna
akan zat tersebut secara terus menerus. Contoh narkotika yang terkenal adalah
seperti ganja, heroin, kokain, morfin, amfetamin, dan lain-lain. Narkotika menurut
UU No. 22 tahun 1997 adalah zat atau obat berbahaya yang berasal dari
tanaman atau bukan tanaman baik sintesis maupun semi sintesis yang dapat
menyebabkan penurunan maupun

perubahan kesadaran,

mengurangi sampai menghilangkan

rasa nyeri

hilangnya rasa,

dan dapat

menimbulkan

ketergantungan (Wresniwiro dkk. 1999).


Golongan narkotika berdasarkan bahan pembuatannya adalah:
a) Narkotika alami yaitu zat dan obat yang langsung dapat dipakai sebagai
narkotik tanpa perlu adanya proses fermentasi, isolasi dan proses lainnya terlebih
dahulu karena bisa langsung dipakai dengan sedikit proses sederhana. Bahan
alami tersebut umumnya tidak boleh digunakan untuk terapi pengobatan secara
langsung karena terlalu berisiko. Contoh narkotika alami yaitu seperti ganja dan
daun koka.
b) Narkotika sintetis adalah jenis narkotika yang memerlukan proses yang bersifat
sintesis

untuk keperluan

sakit/analgesik.

medis

Contohnya

dan penelitian

yaitu

seperti

sebagai penghilang rasa


amfetamin,

metadon,

dekstropropakasifen, deksamfetamin, dan sebagainya. Narkotika sintetis dapat


menimbulkan dampak sebagai berikut:
2. Depresan = membuat pemakai tertidur atau tidak sadarkan diri.
3. Stimulan = membuat pemakai bersemangat dalam beraktivitas kerja dan
merasa badan lebih segar.
4. Halusinogen = dapat membuat si pemakai jadi berhalusinasi yang mengubah
perasaan serta pikiran.
c) Narkotika semi sintetis yaitu zat/obat yang diproduksi dengan cara isolasi,
ekstraksi, dan lain sebagainya seperti heroin, morfin, kodein, dan lain-lain.
4

2. Psikotropika
Menurut Kepmenkes RI No. 996/MENKES/SK/VIII/2002, psikotropika adalah
zat atau obat, baik sintesis maupun semisintesis yang berkhasiat psikoaktif melalui
pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas
pada aktivitas mental dan perilaku. Zat yang tergolong dalam psikotropika (Hawari,
2006) adalah: stimulansia yang membuat pusat syaraf menjadi sangat aktif
karena

merangsang syaraf simpatis. Termasuk dalam golongan stimulan adalah

amphetamine, ektasy (metamfetamin), dan fenfluramin. Amphetamine sering disebut


dengan speed, shabu-shabu, whiz, dan sulph. Golongan stimulan lainnya adalah
halusinogen yang dapat mengubah perasaan dan pikiran sehingga perasaan dapat
terganggu. Sedative dan hipnotika seperti barbiturat dan benzodiazepine merupakan
golongan stimulan yang dapat mengakibatkan rusaknya daya ingat dan kesadaran,
ketergantungan secara fisik dan psikologis bila digunakan dalam waktu lama.
3. Zat Adiktif Lainnya
Zat adiktif lainnya adalah zat, bahan kimia, dan biologi dalam bentuk tunggal
maupun

campuran

yang

dapat

membahayakan

kesehatan lingkungan hidup

secara langsung dan tidak langsung yang mempunyai sifat karsinogenik, teratogenik,
mutagenik, korosif, dan iritasi. Bahan- bahan berbahaya ini adalah zat adiktif yang
bukan termasuk ke dalam narkotika dan psikoropika, tetapi mempunyai pengaruh dan
efek merusak fisik seseorang jika disalahgunakan (Wresniwiro dkk. 1999). Adapun
yang termasuk zat adiktif ini antara lain: minuman keras (minuman beralkohol)
yang meliputi minuman keras golongan A (kadar ethanol 1% sampai 5%) seperti bir,
green sand; minuman keras golongan B (kadar ethanol lebih dari 5% sampai 20%)
seperti anggur malaga; dan minuman keras golongan C (kadar ethanol lebih dari 20%
sampai 55%) seperti brandy, wine, whisky. Zat dalam alkohol dapat mengganggu
aktivitas sehari-hari bila kadarnya dalam darah mencapai 0,5% dan hampir semua akan
mengalami gangguan koordinasi bila kadarnya dalam darah 0,10% (Marviana dkk.
2000). Zat adiktif lainnya adalah nikotin, votaile, dan solvent/inhalasia.

b. Jenis-jenis kegawatdaruratan NAPZA


Berikut ini adalah jenis-jenis kegawatdaruratan NAPZA : Yang dimaksud dengan
intoksikasi (Over Dosis) adalah kondisi fisik dan prilaku abnormal akibat penggunaan
zat yang dosisnya melebihi batas toleransi tubuh.
1. Intoksikasi/Over Dosis
a. Intoksokasi Opioida
Intoksikasi opioida ditunjukkan dengan adanya tanda dan gejala penurunan
kesadaran, (stupor sampai koma), pupil pinpoint (dilatasi pupil karena anoksia
akibat overdosis), pernapasan kurang dari 12x/menit sampai henti napas, ada
riwayat pemakaian opioida (needle track sign), bicara cadel, dan gangguan
atensi atau daya ingat. Perilaku mal adaptif atau perubahan psikologis yang
bermakna secara klinis misalnya euforia awal yang diikuti oleh apatis, disforia,
agitasi atau retardasi psikomotor atau gangguan fungsi sosial dan fungsi

a.
b.
c.
d.

pekerjaan selama atau segera setelah pemakaian opioid.


Penatalaksanaan kegawatdaruratan intoksikasi opioida adalah:
Bebaskan jalan napas
Berikan oksigen 100% atau sesuai kebutuhan
Pasang infuse Dextrose 5% atau NaCL 0,9% dan cairan koloid jika diperlukan
Pemberian antidotum Nalokson

Tanpa hipoventilasi berikan Narcan 0,4 mg IV


Dengan hipoventilasi berikan Nalokson (Narcan) 1 -2 mg IV
Jika dalam 5 menit tidak ada respon maka berikan 1 2 mg Narcan hingga ada respon
berupa peningkatan kesadaran, dan fungsi pernapasan membaik
Rujuk ke ICU jika dosis Narcan telah mencapai 10 mg dan belum menunjukkan
adanya perbaikan kesadaran
Berikan 1 ampul Narcan/500 cc dalam waktu 4-6 jam mencegah terjadinya penurunan
kesadaran kembali
Observasi secara invensif tanda-tanda vital,pernapasan, dan besarnya ukuran pupil
klien dalam 24 jam
Pasang intubasi, kateterisasi, sonde lambung serta EKG
Puasakan klien untuk menghindari aspirasi
6

Lakukan pemeriksaan rnntgen thoraks serta laboraturium, yaitu darah lengkap, urin
lengkap dan urinalisis
b. Intoksikasi Sedatif Hipnotik (Benzodiazepin)
Intoksikasi sedatif hipnotik jarang memerlukan pertolongan gawat darurat atau
intervensi farmakologi.Intoksikasi benzodiazepin yang fatal sering terjadi pada
anak-anak atau individu dengan gangguan pernapasan atau bersama obat depresi
susunan syaraf pusat lainnya seperti opioida.Gejala intoksikasi benzodiazepin
yang progresif adalah hiporefleksia, nistagmus dan kurang siap siaga, ataksia,
berdiri tidak stabil. Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia,
letih, lemah, konfusi, somnolent, koma, pupilmiosis, hip[otermi, depresi sampai
dengan

henti

pernapasan.bila

diketahui

segera

dan

mendapat

terapi

kardiorespirasi maka dampak intoksikasi jarang bersifat fatal. Namun pada


perawatan yang tidak memadai maka fungsi respirasi dapat memburuk karena
asapirasi isi lambung yang merupakan faktor resiko yang sangat serius.
Penatalaksanaan adalah dengan memberikan tindakan kolaboratif berupa
pemberian terapi kombinasi yang ditujukan untuk :
1) Mengurangi efek obat didalam tubuh
Untuk mengurangi efek sedatif hipnotik dengan memberikan Flumazenil
0,2 mg secara IV, kemudian setelah 30 detik diikuti dengan 0,3 mg dosis
tunggal. Obat tersebut lalu dapat diberikan lagi sebanyak 0,5 mg setelah 60
detik sampai total kumulatif 3 mg. Tindakan suppurtive adalah dengan
mempertahankan jalan napas, dan memperbaiki gangguan asam basa.
2) Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut
Mengurangi absorbsi merangsang muntah jika baru terjadi pemakaian. Jika
pemakaian sudah lebih dari 6 jam maka berikan antidot berupa karbon aktif
yang berfungsi untuk menetralkan efek obat.
3) Mencegah komplikasi jangka panjang
Observasi tanda-tanda vital dan depresi pernapasan, aspirasi dan edema
paru.Bila sudah terjadi aspirasi maka dapat diberikan antibiotik.Bila klien

ada usaha untuk bunuh diri maka klien tersebut harus ditempatkan ditempat
khusus dengan pengawasan ketat setelah keadaan darurat diatasi.
c. Intoksikasi Anfetamin
Tanda dan gejala intoksikasi anfetamin biasanya ditunjukkan dengan adanya
dua atau lebih gejala-gejala seperti takikardi atau bradikardi, dilatasi pupil,
peningkatan atau penurunan tekanan darah, banyak keringat atau kedinginan,
mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau retardasi psikomotot,
kelelahan otot, depresi sistem pernapasan, nyeri dada atau aritmiajantung,
kebingungan, kejang-kejang, diskinesia, distonia atau koma. Penatalaksanaan
adalah dengan memberikannya terapi symtomatik dan pemberian terapi
suportife lain, misal: anti psikotik, anti hipertensi, dll.
d. Intoksikasi Kokain
Tingkah laku maladaptif yang bermakna secara klinis atau perubahan psikologis
misalnya euforia atau efek mendatar, perubahan dalam stabilitas, hypervigilance
/ kewaspadaan yang meningkat, interpersonal sensitivity, ansietas, kemarahan,
tingkah laku yang stereotip, menurunnya fungsi sosial dan fungsi pekerjaan
yang berkembang selama atau setelah penggunaan kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih) yang muncul diantaranya adalah takikardia
atau bradikardia, dilatasi pupi, peningkatan atau penurunan tekanan darah,
berkeringat atau rasa dingin, mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi
atau retardasi psikomotor, kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau arimia
jantung, bingung (confusion), kejangdyskinesia, dystonia, hingga dapat
menimbulkan koma.
Penatalaksanaan setelah pemberian bantuan hidup dasar adalah dengan
melakukan tindakan kolaborati berupa pemberian terapi-terapi simtomatik,
misalnya pemberian Benzodiazepin bila timbul gejala agitasi, pemberian obatobat anti psikotik jika timbul gejala psikotik , dan pemberian terapi-terapi
lainnya sesuai dengan gejala yang ditemukan.
2. Ketergantungan NAPZA (Withdrawl/ Sindrome Putus Zat)

Ketergantungan atau yang disebut dengan withdrawl adalah suatu kondisi cukup berat
yang ditandai dengan adanya ketergantungan fisik yaitu toleransi dan sindrome putus zat.
Sindroma putus zat adalah suatu kondisi dimana orang yang biasa menggunakan secara
rutin, pada dosis tertentu berhenti menggunakan atau menurunkan jumlah zat yang biasa
digunakan, sehingga menimbulkan gejala pemutusan zat.
Terapi yang dapat diberikan pada keadaan sindrom putus zat yaitu :

Terapi putus zat opioida, terapi ini sering dikenal dengan istilah detoksifikasi.
Terapi detoksifikasi dapat dilakukan dengan cara berobat jalan maupun rawat
inap. Lama program terapi detoksifikasi berbeda-beda ada yang 1-2 minggu untuk
detoksifikasi konvensional dan ada yang 24-48 jam untuk detoksifikasi opioid
dalam anestesi cepat (Rapid Opiate Detoxification Treatment). Detoksifikasi
hanyalah

merupakan

langkah

awal

dalam

proses

penyembuhan

dari

penyalahgunaan/ketergantungan NAPZA.
Beberapa jenis cara mengatasi putus opioida :

Tanpa diberi terapi apapun,putus obat seketika (abrupt withdrawal atau cold
turkey). Terapi hanya simptomatik saja. Untuk nyeri diberi analgetika kuat
seperti : Tramadol, Analgrtik non-narkotik,asam mefenamat dan sebagainya.
Untuk rhinore beri dekongestan,misalnya fenilpropanolamin, Untuk mual beri
metopropamid, Untuk kolik beri spasmolitik, Untuk gelisah beri antiansietas,
Untuk insomnia beri hipnotika,misalnya golongan benzodiazepine.

Terapi

putus

opioida

bertahap

(gradual

withdrawal),

Dapat

diberi

morfin,petidin,metadon atau kodein dengan dosis dikurangi sedikit demi sedikit.

Terapi putus opioida dengan substitusi non opioda Dipakai Clonidine dimulai
dengan 17 mikrogram/kg BB perhari dibagi dalam 3-4 kali pemberian. Dosis
diturunkan bertahap dan selesai dalam 10 hari. Sebaiknya dirawat inap (bila
sistole < 100 mmHg atau diastole < 70 mmHg), terapi harus dihentikan.

Terapi putus opioida dengan metode Detoksifikasi cepat dalam anestesi (Rapid
Opioid Detoxification). Prinsip terapi ini hanya untuk kasus single drug opiat saja,
9

dilakukan di RS dengan fasilitas rawat intensif oleh Tim Anestesiolog dan


Psikiater, dilanjutkan dengan terapi menggunakan anatagonist opiat (naltrekson)
lebih kurang 1 tahun.

Terapi putus zat sedative/hipnotika dan alcohol Harus secara bertahap dan dapat
diberikan Diazepam. Tentukan dahulu test toleransi dengan cara : Memberikan
benzodiazepin mulai dari 10 mg yang dinaikan bertahap sampai terjadi gejala
intoksikasi. Selanjutnya diturunkan kembali secara bertahap 10 mg perhari sampai
gejala putus zat hilang.

Terapi putus Kokain atau Amfetamin, Rawat inap perlu dipertimbangkan karena
kemungkinan melakukan percobaan bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi
berikan anti depresi.

Terapi untuk waham dan delirium pada putus NAPZA


- Pada gangguan waham karena amfetamin atau kokain berikan Injeksi
Haloperidol 2.5-5 mg IM dan dilanjutkan peroral 3x2,5-5 mg/hari.
- Pada gangguan waham karena ganja beri Diazepam 20-40 mg IM.
- Pada delirium putus sedativa/hipnotika atau alkohol beri Diazepam seperti
pada terapi intoksikasi sedative/hipnotika atau alkohol

Terapi putus opioida pada neonates, Gejala putus opioida pada bayi yang
dilahirkan dari seorang ibu yang mengalami ketergantungan opioida, timbul
dalam waktu sebelum 48-72 jam setelah lahir. Gejalanya antara lain : menangis
terus(melengking), gelisah, sulit tidur, diare, tidak mau minum, muntah, dehidrasi,
hidung tersumbat, demam, berkeringat. Berikan infus dan perawatan bayi yang
memadai. Selanjutnya berikan Diazepam 1-2 mg tiap 8 jam setiap hari diturunkan
bertahap,selesai dalam 10 hari.

2.3 Manifestasi NAPZA


1. NAPZA

Pengaruh NAPZA pada tubuh disebut intoksikasi. Selain intoksikasi, ada juga sindroma
putus zat yaitu sekumpulan gejala yang timbul akibat penggunaan

zat yang

dikurangi atau dihentikan. Tanda dan gejala intoksikasi dan putus zat berbeda pada
jenis zat yang berbeda.
10

Namun secara umum, manifestasi klinis dari pemakaian NAPZA adalah :


1. Perubahan Fisik :

Pada saat menggunakan NAPZA : jalan sempoyongan, bicara pelo ( cadel ), apatis
( acuh tak acuh ), mengantuk, agresif.

Bila terjadi kelebihan dosis ( Overdosis ) : nafas sesak, denyut jantung dan nadi
lambat, kulit teraba dingin, bahkan meninggal.

Saat sedang ketagihan ( Sakau ) : mata merah, hidung berair, menguap terus,
diare, rasa sakit seluruh tubuh, malas mandi, kejang, kesadaran menurun.

Pengaruh jangka panjang : penampilan tidak sehat, tidak perduli terhadap


kesehatan dan kebersihan, gigi keropos, bekas suntikan pada lengan.

2. Perubahan sikap dan perilaku :

Prestasi di sekolah menurun, tidak mengerjakan tugas sekolah, sering membolos,


pemalas, kurang bertanggung jawab.

Pola tidur berubah, begadang, sulit dibangunkan pagi hari, mengantuk di kelas
atau tempat kerja.

Sering berpergian sampai larut malam, terkadang tidak pulang tanpa ijin.

Sering mengurung diri, berlama lama di kamar mandi, menghidar bertemu


dengan anggota keluarga yang lain.

Sering mendapat telepon dan didatangi orang yang tidak dikenal oleh anggota
keluarga yang lain.

Sering berbohong, meminta banyak uang dengan berbagai alasan tapi tidak jelas
penggunaannya, mengambil dan menjual barang berharga milik sendiri atau
keluarga, mencuri, terlibat kekerasan dan sering berurusan dengan polisi.

Sering bersikap emosional, mudah tersinggung, pemarah, kasar, bermusuhan


pencurigaan, tertutup dan penuh rahasia

2.4 Penatalaksanaan NAPZA


1.

NAPZA

Penanggulangan masalah NAPZA dilakukan mulai dari pencegahan, pengobatan


sampai pemulihan (rehabilitasi).
11

a) Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan, misalnya dengan:
a. Memberikan informasi dan pendidikan yang efektif tentang
NAPZA
b. Deteksi dini perubahan perilaku
c. Menolak tegas untuk mencoba (Say no to drugs) atau Katakan tidak pada
narkoba
b) Pengobatan
Terapi pengobatan bagi klien NAPZA misalnya dengan detoksifikasi. Detoksifikasi
adalah upaya untuk mengurangi atau menghentikan gejala putus zat, dengan dua cara
yaitu:
a. Detoksifikasi tanpa subsitusi
Klien ketergantungan putau (heroin) yang berhenti menggunakan zat

yang

mengalami gajala putus zat tidak diberi obat untuk menghilangkan gejala
putus zat tersebut. Klien hanya dibiarkan saja sampai gejala putus zat tersebut
berhenti sendiri.
b. Detoksifikasi dengan substitusi
Putau atau heroin dapat disubstitusi dengan memberikan jenis opiat misalnya
kodein, bufremorfin, dan metadon. Substitusi bagi pengguna

sedatif-hipnotik

dan alkohol dapat dari jenis anti ansietas, misalnya diazepam. Pemberian
substitusi adalah dengan cara

penurunan

dosis

secara

bertahap

sampai

berhenti sama sekali. Selama pemberian substitusi dapat juga diberikan obat
yang menghilangkan gejala simptomatik, misalnya obat penghilang rasa nyeri,
rasa mual, dan obat tidur atau sesuai dengan gejala yang ditimbulkan akibat
putus zat tersebut.
c) Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan terpadu
melalui pendekatan non medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna NAPZA
yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai

kemampuan

fungsional seoptimal

dan

mungkin. Tujuannya pemulihan

pengembangan

pasien baik fisik, mental, sosial, dan spiritual. Sarana rehabilitasi yang
12

disediakan harus memiliki tenaga kesehatan sesuai dengan kebutuhan (Depkes,


2001).
Dengan rehabilitasi diharapkan pengguna NAPZA dapat:
1.

Mempunyai motivasi kuat untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi

2.

Mampu menolak tawaran penyalahgunaan NAPZA

3.

Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya

4.

Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik

5.

Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja

6.

Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan
dengan lingkungannya.

Prinsip-prinsip Penanganan kegawatdaruratan NAPZA


Mengingat kasus intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka upaya penatalaksanaan
kasus intoksikasi ditujukan pada hal sebagai berikut :
1. Penatalaksanaan Kegawatan
Berhubungan dengan intoksikasi dapat mengancam nyawa, maka walaupun tidak
dijumpai adanya kegawatan maka setiap kasus intoksikasi harus diperlakukan seperti
pada keadaan kegawatan yang mengancam nyawa.Penilaian terhadap tanda vital seperti
tanda jalan napas, pernapasan sirkulasi dan penurunan kesadaran harus dilakukan secara
cepat dan seksama sehingga tindakan resusitasi tidak terlambat dimulai.Berikut ini
adalah urutan resusitasi seperti yang umumnya dilakukan.
A = Airway Support
Factor utama yang membuat klien tidak sadar adalah adanya sumbatan di jalan napas
klien, seperti lidah, makanan ataupun benda asing lainnya. Lidah merupakan penyebab
utama tertutupnya jalan napas pada klien tidak sadar karena pada kondisi tidak sadar
itulah lidah klien akan kehilangan ototnya sehingga akan terjatuh kebelakang rongga
mulut. Hal ini mengakibatkan tertutupnya trachea sebagai jalan napas.Sebelum
diberikan bantuan pernapasan, jalan napas korban harus terbuka.
Tekhnik yang dapat dilakukan penolong adalah cross-finger (silang jari), yaitu
memasukkan jari telunjuk dan jempol menyentuh gigi atau rahang klien.Kemudian
tanpa menggerakkan pergelangan tangan, silangkan kedua jari tersebut denagn geraakan
saling mendorong sehingga rahang atas dan rahang bawah terbuka.periksa adanya benda
yang menyumbat atau berpotensi menyumbat.Jika terdapat sumbatan, bersihkan dengan
13

teknik finger-sweep (sapuan jari) dengan menggunakan jari telunjuk yang terbungkus
kassa (jika ada).
Ada dua maneuver yang lazim digunakan untuk membuka jalan napas, yaitu head tilt /
chin lift dan jaw trust.
Head tilt atau chin lift: Teknik ini hanya dapat digunakan pada klien pengguna
NAPZA tanpa cedera kepala, leher, dan tulang belakang.
Jaw trust : Teknik ini dapat digunakan selain teknik diatas. Walaupun teknik ini
menguras tenaga, namaun merupakan yang paling sesuai untuk klien pengguna NAPZA
denag cedera tulang belakang.
B = Breathing Support
Bernafas adalah usaha seseorang yang dilakukan secara otomatis.Untuk menilai
secara normal dapat dilihat dari pengembangn dada dan berapa kali seseorang
bernafas dalam satu menit.Frekuensi/ jumlah pernafasan normal adalah 12-20x /
menit pada klien deawasa.
Pernafasan dikatakan tidak normal jika terdapat keadaan terdapat tanda-tanda sesak
nafas seperti peningkata frekuensi napas dalam satu menit, adanya napas
cupinghidung (cuping hidung ikut bergerak saat bernafas), adanya penggunaan otototot bantu pernapasan (otot sela iga, otot leher, otot perut), warna kebiruan pada
sekitar bibir dan ujung-ujung jari tangan, tidak ada gerakan dada, tidak ada suara
napas, tidak dirasakan hembusannapas dan klien dalam keadaan tidak sadar dan tidak
bernapas.
Breathing support adalah penilain status pernapasan klien untuk mengetahuiapakah
klien masih dapat bernapas secara spontan atau tidak. Prinsip dari melakukan
tindakan ini adalah dengan cara melihat, mendengar dan merasakan (Look, Listen and
Feel = LLF). Lihat, ada tidaknya pergerakan dada sesuai dengan pernapasan.Dengar,
ada tidaknya suara napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung klien.Rasakan, dengan
pipi penolong ada tidaknya hembusan napas (sesuai irama) dari mulut dan hidung
korban.Lakukan LLF dengan waktu tidak lebih dari 10 detik.
Jikaterlihat pergerakan dada, terdengar suara napas dan terasa hembusan napas klien,
maka berarti klientidak menglami henti napas.masalah yang ada hanyalah penurunan
kesadaran.dalam kondisi ini, tindakan terbaik yang dilakukan perawat adalah
mempertahankan jalan napas tetap terbuka agan ogsigenisasi klien tetap terjaga dan
memberikan posisi mantap.
14

Jika korban tidakbernapas, berikan 2 kali bantuan per-napasan denag volume yang
cukup untuk dapat mengembangkan dada. Lamanya memberikan bantuan pernapasan
sampai dada mengembang adalah 1detik.Demikian halnya berlaku jika bantuan
pernapasan diberikan melalui mulut ke mulut dan mulut ke sungkup muka. Hindari
pemberian pernapasan yang terlalu banyak dan terlalu kuat karena akan menyebabkan
kembung (distensi abdomen) dan dapat menimbulan komplikasi padaparu-paru.
Bantuan pernapasan dari mulut ke mulut bertujuan memberikan ventilasi oksigen
kepada klien.Untuk memberikan bantuan tersebut, buka jalan napas klien, tutup
cuping hidung klien dan mulut penolong mencakup seluruh mulut klien.Berikan 1
kali pernapasan dalam waktu 1 detik.lalu penolong bernapas biasa dan berikan
pernapasan 1 kali lagi.Perhatikan adakah pengenbangan dada klien. Jika tidak terjadi
pengembangan dada, maka cara penolong tidaak tepat dalam membuka jalan napas.
Cara yang samaa dilakukan jika alat pelindung terdiri dari 2 tipe, yaitu pelindung
wajah dan sungkup wajah.Pelindung wajah berbentuk lembaran yang terbuat dari
plastic bening atau silicon yang dapat mengurangi kontak antara klien dengan
penolong.Sedangkan jika memakai sungkup wajah, maka biasanya terdapat lubang
khusus untuk memasukkan oksigen.Ketika oksigen telah tersedia, maka berikan aliran
oksigen sebanyak 10-12 liter/menit.
C = Circulation Support
Circulation support adalah pemberian ventilasi buatan dan kompresi dada luar yang
diberikan

pada

klien

yang

mengalami

henti

jantung.

Selain

itu

untuk

mempertahankan sirkulasi spontan dan mempertahankan sistem jantung paru agar


dapat berfungsi optimal dilakukan bantuan hidup lanjut (advance life support). Jika
tindakan ini dilakukan dengan cara yang salah maka akan menimbulkan penyulitpenyulit seperti patah tulang iga, atau tulang dada, perdarahan rongga dada dan injuri
organ abdomen.
Sebelum melakukan RJP pada klien perawat harus memastikan bahwa klien dalam
keadaan tidak sadar, tidak bernapas dan arteri karotis tidak teraba. Cara melakukan
pemeriksaan arteri karotis adalah dengan cara meletakkan dua jari diatas laring
(jakun). Lalu geser jari penolong ke arah samping dan hentikan disela-sela antara

15

laring dan otot leher. Setelah itu barulah penolong merasakan denyut nadi. Perabaan
dilakukan tidak boleh lebih dari 10 detik.
Melakukan resusitasi yang benar adalah dengan cara meletakkan kedua tangan
ditulang dada bagian sepertiga bawah dengan jari mengarah ke kiri dengan posisi
lengan tegak lurus dengan sendi siku tetap dalam eksteni (kepala tengkorak). Untuk
memberikan kompresi dada yang efektif. Lakukan kompresi dengan kecepatan
100x/menit dengan kedalaman kompresi 4-5 cm. Kompresi dada harus dilakukan
selam nadi tidak teraba dan hindari penghentian kompresi yang terlalu sering. Rasio
kompresi ventilasi yang direkomendasian adalah 30:20. Rasio ini dibuat untuk
menigkatkan jumlah kompresi dada, mengurangi kejadian hiperventilasi, dan
mengurangi pemberhentian kompresi untuk melakukan ventilasi.
2. Penilaian Klinik
Penatalaksanaan intoksikasi harus segera dilakukan tanpa menunggu hasil
pemeriksaan toksikologi. Beberapa keadaan klinik perlu mendapat perhatian karena
dapat mengancam nyawa seperti koma, kejang, henti jantung, henti nafas, dan syok.
3. Anamnesis
Pada keadaan emergensi, maka anamnesis kasus intoksikasi ditujukan pada tingkat
kedaruratan klien. Yang paling penting dalam anamnesis adalah mendapatkan
informasi yang penting seperti :
a. Kumpulkan informasi selengkapnya tentang obat yang digunakan, termasuk obat
yang ering dipakai, baik kepada klien (jika memungkinkan), anggota keluarga,
teman, atau petugas kesehatan yang biasa mendampingi (jika ada) tentang obat
yang biasa digunakan.
b. Tanyakan riwayat alergi atau riwayat syok anafilaktik.
c. Pemeriksaan fisik
Lakukan pemeriksaan fisik untuk menemukan tanda/kelainan akibat intosikasi, yaitu
pemeriksaan kesadaran, tekanan darah, nadi, denyut jatung, ukuran pupil, keringat,
dan lain-lain. Pemeriksaan penunjang diperlukan berdasarkan skala prioritas dan pada
keadaan yang memerlukan observasi maka pemeriksaan fisik harus dilakukan
berulang.

2.5 Evaluasi Dan Mobitoring


16

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Keracunan atau intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat,
serum, alkohol, bahan serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain. Beberapa jenis obat dan
zat yang dapat menyebabkan keracunan dan overdosis NAPZA. Keracunan atau
intoksinasi adalah keadaan patologik yang disebabkan oleh obat, serum, alkohol, bahan
serta senyawa kimia toksik, dan lain-lain. Karbon monoksida (gas buangan kendaraan,
gas rumah tangga) tidak berwarna, tidak berbau dan tidak berasa. Napza merupakan
singkatan dari narkotika, psikotropika, dan zat / bahan adiktif lainnya adalah
bahan/zat/obat yang bila masuk kedalam tubuh manusia akan mempengaruhi tubuh
terutama otak/susunan saraf pusat. Penatalksanaan pada jenis keracunan tersebut berbeda
bergantung pada zat yang meracuninya. Namun tidak terlepas dari prinsip ABC.
3.2 Saran
Kegawatan pada pasien dengan keracunan dan overdosis

sangat penting untuk

segera ditangani. Bila hal ini dibiarkan tentu akan berakibat fatal bagi korban atau pasien
bahkan bisa menimbulkan kematian. Oleh karena itu kita sebagai petugas kesehatan
hendaknya perlu memahami penanganan kegawatdaruratan pada pasien dengan
keracunan dan overdosis secara cepat, cermat dan tepat sehingga hal-hal tersebut dapat
kita hindari.

17

DAFTAR PUSTAKA

KEPMENKES RI Nomor 420/MENKES/SK/III/2010.,Pedoman Pelayanan Terapi Dan


Rehabilitasi Pada Gangguan Penggunaan NAPZA., Jakarta.,Dirjen Bina Pelayanan
Medik.

Anonimity. -------. Pencegahan Keracunan Secara Umum.


www.pom.go.id/public/siker/desc/produk/CegahRacunUmum.pdf

Dwi S, Bardiana. 2011. Gejala Klinis Penyalahgunaan NAPZA.


http://kimiadahsyat.blogspot.com/2011/02/gejala-klinis-penyalahgunaan-napza.html

Hawari, Dadang.2003. Penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA FKUI. Jakarta: Gaya


Baru

Sudoyo dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I ed.5. Jakarta : Internet Publishing

18

Anda mungkin juga menyukai