Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN CROIC

Oleh:
NAMA

: DIAN TRI LESTARI HARYOTO, S.Kep

NIM

: 082311101048

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI NERS


PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS JEMBER
2014

I.

KONSEP PENYAKIT
a. Kasus
Osteoporosis
b. Pengertian
Osteoporosis berasal dari kata osteo dan porous, osteo artinya
tulang, dan porous berarti berlubang-lubang atau keropos. Osteoporosis
adalah tulang yang keropos, yaitu penyakit yang mempunyai sifat khas
berupa massa tulangnya rendah atau berkurang, disertai gangguan
mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang yang dapat
menimbulkan kerapuhan tulang (Tandra, 2009).
Menurut WHO pada International Consensus Development
Conference di Roma, Itali pada tahun 1992 osteoporosis adalah penyakit
dengan sifat-sifat khas berupa massa tulang yang rendah, disertai
perubahan mikroarsitektur tulang dan penurunan kualitas jaringan tulang,
yang pada akhirnya menimbulkan meningkatnya kerapuhan tulang
dengan resiko terjadinya patah tulang (Suryati, 2006).
Menurut National Institute of Health (NIH) pada tahun 2001
osteoporosis adalah kelainan kerangka yang ditandai dengan kekuatan
tulang mengkhawatirkan dan dipengaruhi oleh meningkatnya risiko patah
tulang. Sedangkan kekuatan tulang merefleksikan gabungan dari dua
faktor, yaitu densitas tulang dan kualitas tulang (Junaidi, 2007).
c. Etiologi
Beberapa penyebab osteoporosis menurut Junaidi (2007) yaitu:
1. Osteoporosis pascamenopause terjadi karena kurangnya hormon
estrogen (hormon utama pada wanita), yang membantu mengatur
pengangkutan kalsium ke dalam tulang. Biasanya gejala timbul pada
perempuan yang berusia antara 51-75 tahun, tetapi dapat muncul lebih
cepat atau lebih lambat. Hormon estrogen produksinya menurun 2-3
tahun sebelum menopause dan terus berlangsung 3-4 tahun setelah
meopause. Hal ini berakibat menurunnya massa tulang sebanyak 1-3%
dalam waktu 5-7 tahun pertama setelah menopause.
2. Osteoporosis senilis kemungkinan merupakan akibat dari kekurangan
kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara
kecepatan hancurnya tulang (osteoklas) dan pembentukan tulang baru
(osteoblast). Senilis berati bahwa keadaan ini hanya terjadi pada usia
lanjut. Penyakit ini biasanya terjadi pada orang-orang berusia diatas
70 tahun dan 2 kali lebih sering wanita. Wanita sering kali menderita
osteoporosis senilis dan pasca menopause.
3. Kurang dari 5% penderita osteoporosis juga mengalami osteoporosis
sekunder yang disebabkan oleh keadaan medis lain atau obat-obatan.

Penyakit ini bisa disebabkan oleh gagal ginjal kronis dan kelainan
hormonal (terutama tiroid, paratiroid, dan adrenal) serta obat-obatan
(mislnya kortikosteroid, barbiturat, anti kejang, dan hormon tiroid
yang berlebihan). Pemakaian alkohol yang berlebihan dapat
memperburuk keadaan ini.
4. Osteoporosis juvenil idiopatik merupakan jenis osteoporosis yang
penyebabnya tidak diketahui. Hal ini terjadi pada anak-anak dan
dewasa muda yang memiliki kadar dan fungsi hormon yang normal,
kadar vitamin yang normal, dan tidak memiliki penyebab yang jelas
dari rapuhnya tulang
d. Klasifikasi
Menurut Brunner & Suddarth (2002) osteoporosis dibagi 2 kelompok,
yaitu:
1. Osteoporosis Primer
Osteoporosis primer berhubungan dengan kelainan pada tulang, yang
menyebabkan peningkatan proses resorbsi di tulang trabekula
sehingga meningkatkan resiko fraktur vertebra dan colles. Pada usia
decade awal pasca menopause, wanita lebih sering terkena dari pada
pria dengan perbandingan 68:1 pada usia rata-rata 53-57 tahun.
Osteoporosis primer yang terjadi bukan sebagai akibat penyakit yang
lain, yang dibedakan lagi atas:
a) Osteoporosis tipe I (pasca menopause), yang kehilangan tulang
terutama dibagian trabekula
b) Osteoporosis tipe II (senilis), terutama kehilangan massa tulang
daerah korteks
c) Osteoporosis idiopatik yang terjadi pada usia muda dengan
penyebab yang tidak diketahui
2. Osteoporosis Sekunder
Osteoporosis sekunder disebabkan oleh penyakit atau sebab lain diluar
tulang. Osteoporosis sekunder yang terjadi pada atau akibat penyakit
lain, antara lain hiperparatiroid, gagal ginjal kronis, arthritis rematoid
dan lain-lain.

e. Patofisiologi
Tulang normal terdiri dari komposisi yang kompak dan padat,
berbentuk bulat dan batang padat serta terdapat jaringan berongga yang
diisi oleh sumsum tulang. Tulang ini merupakan jaringan yang terus
berubah secara konstan, dan terus diperbaharui. Jaringan yang tua akan

digantikan dengan jaringan tulang yang baru. Proses ini terjadi pada
permukaan tulang dan disebut sebagai remodelling. Dalam remodeling
ini melibatkan osteoclast sebagai perusak jaringan tulang dan osteoblast
sebagai pembentuk sel sel tulang baru.
Menjelang usia tua proses remodeling ini berubah. Aktivitas
osteoclast menjadi lebih dominan dibandingkan dengan aktifitas
osteoblast sehingga menyebabkan osteoporosis. Separuh perjalanan
hidup manusia, tulang yang tua akan diresorpsi dan terbentuk serta
bertambahnya pembentukan tulang baru (formasi). Pada saat kanakkanak dan menjelang dewasa, pembentukan tulang terjadi percepatan
dibandingkan dengan proses resorpsi tulang, yang mengakibatkan tulang
menjadi lebih besar, berat dan padat. Proses pembentukan tulang ini terus
berlanjut dan lebih besar dibandingkan dengan resorpsi tulang sampai
mencapai titik puncak massa tulang (peak bone mass), yaitu keadaan
tulang sudah mencapai densitas dan kekuatan yang maksimum. Peak
bone mass ini tercapai pada umumnya pada usia menjelang 30 tahun.
Setelah usia 30 tahun secara perlahan proses resorpsi tulang mulai
meningkat dan melebihi proses formasi tulang. Kehilangan massa tulang
terjadi sangat cepat pada tahun-tahun pertama masa menopause,
osteoporosis-pun berkembang akibat proses resorpsi yang sangat cepat
atau proses penggantian terjadi sangat lambat.
Dalam pembentukan massa tulang tersebut tulang akan mengalami
perubahan selama kehidupan melalui tiga fase yaitu fase pertumbuhan,
fase konsolidasi dan fase involusi. Pada fase pertumbuhan sebanyak 90%
dari massa tulang dan akan berakhir pada saat epifise tertutup. Sedangkan
pada tahap konsolidasi yang terjadi usia 10-15 tahun. Pada saat ini massa
tulang bertambah dan mencapai puncak pada umur tiga puluhan. Serta
terdapat dugaan bahwa pada fase involusi massa tulang berkurang ( bone
loss ) sebanyak 35-50 tahun.
Aktifitas remodeling tulang ini melibatkan faktor sistemik dan
faktor lokal. Faktor sistemik adalah hormonal yang berkainan dengan
metabolisme Kalsium, seperti hormon paratiroid, Vitamin D, kalsitonin,
estrogen, androgen, hormon pertumbuhan, dan hormon tiroid. Sedangkan
faktor lokal adalah Sitokin dan faktor pertumbuhan lain (IGF) (Permana,
2008).
Di samping penuaan dan menopause, penipisan tulang diakibatkan
oleh pemberian steroid sehingga mengakibatkan penurunan pembentukan
tulang (bone formation) dan peningkatan resorpsi tulang (bone
resorption). Steroid menghambat sintesis kolagen tulang oleh osteoblast
yang telah ada, dan mencegah transformasi sel-sel prekursor menjadi
osteoblast yang dapat berfungsi dengan baik. Di samping itu, steroid juga

sangat mereduksi sintesis protein. Gambaran histomorfometrik


menunjukkan penurunan tingkat aposisi mineral, dan penipisan dinding
tulang, yang diduga karena umur osteoblast yang semakin pendek. Efek
steroid terhadap osteoblast juga melalui gangguan atas respons osteoblast
terhadap hormon paratiroid, prostaglandin, sitokin, faktor pertumbuhan,
dan 1,25-dihidroksi vitamin D. Sintesis dan aktivitas faktor-faktor
parakrin lokal mungkin juga terganggu. Dibandingkan proses penuaan,
penipisan tulang dalam osteoporosis akibat steroid lebih luas, karena
permukaan-permukaan yang mengalami resorpsi dan hambatan formasi
tulang juga lebih luas.
Berbeda dengan efek steroid atas pembentukan tulang, penelitian
mengenai gangguan resorpsi tulang masih terbatas. Diduga, pengaruh
steroid terhadap resorpsi tulang berlangsung melalui hormon paratiroid.
Penelitian pada hewan percobaan menunjukkan bahwa setelah
pengangkatan kelenjar paratiroid, respons osteoklastik terhadap steroid
sepenuhnya hilang, sehingga disimpulkan bahwa resorpsi tulang terutama
dikendalikan oleh hormon paratiroid. Namun, kebanyakan penelitian
pada manusia tidak menemukan peningkatan kadar hormon paratiroid
setelah pemberian terapi steroid. Penelitian lain menemukan peningkatan
fragmen-fragmen hormon paratiroid, tetapi kadar hormon yang utuh tidak
terpengaruh.
Efek steroid terhadap absorpsi kalsium dalam usus tidak sama di
setiap segmen-segmen usus tidak sama. Absorpsi di duodenum lebih
kecil, tetapi absorpsi di kolon meningkat. Di samping penurunan absorpsi
kalsium, steroid dapat meningkatkan ekskresi kalsium dalam urin. Pada
pasien dengan pemberian steroid jangka panjang, hiperkalsiuria
kemungkinan besar akibat mobilisasi kalsium di tulang-tulang dan
penurunan reabsorpsi kalsium di tubuli renal. Steroid mungkin
mengganggu metabolisme vitamin D, walaupun dugaan ini belum
didasari bukti kuat. Kadar 1,25 dihidroksi vitamin D dalam serum
menurun akibat pemberian steroid, tetapi perubahan dari 25-hidroksi
vitamin D menjadi 1,25 dihidroksi vitamin D tidak mengalami
perubahan.
Steroid eksogen akan menghambat sekresi gonadotropin dari
hipofisis, sehingga fungsi gonad terganggu. Akibatnya, produksi estrogen
dan testosteron menurun. Steroid menghambat sekresi LH dan
menurunkan produksi estrogen yang difasilitasi oleh FSH. Efek steroid
yang lain adalah menurunkan sekresi hormon seks adrenal. Defisiensi
estrogen dan pemakaian steroid saling memperkuat efek terhadap laju
penipisan tulang. Ketika bone thinning terjadi, bagian trabekular lebih

dulu terpengaruh dibandingkan bagian kortikal. Dengan demikian fraktur


lebih sering terjadi di tulang-tulang pipih.
Hiperkalsiuria dan bone thinning terjaadi dalam 6 bulan sampai 12
bulan setelah pemakaian steroid eksogen. Setelah itu, laju penipisan
tulang melambat hingga 2 sampai 3 kali dibandingkan keadaan normal.
Resiko osteoporosis akibat steroid juga meningkat ketika dosis yang
diberikan lebih tinggi. Belum jelas, apakah risiko timbul akibat
pemberian dosis steroid yang lebih tinggi (prednison > 7,5 mg/dl atau
yang setara dan dosis yang dihirup lebih besar dari 800-1200 g
beclomethasone, 800-1000 g budesonide, 750 g fluticasone, dan 1000
g flunisolide) dalam jangka waktu pendek ( 6 bulan), atau dosis yang
rendah (prednison 7,5 mg/dl) tetapi dalam waktu lebih lama (> 6
bulan). Yang jelas, risiko osteoporosis meningkat dengan dosis kumulatif
steroid lebih tinggi dengan ditandai kehilangan massa tulang yang
signifikan. Secara umum, dosis yang rendah lebih aman dibandingkan
dosis tinggi, namun tidak jelas berapa dosis yang benar-benar aman. Laju
penipisan tulang bisa meningkat hanya dengan pemberian 5-10 mg
prednison setiap hari dan juga dengan steroid melalui inhalasi. Pemberian
steroid dalam dosis berapapun perlu disertai dengan penilaian risiko
osteoporosis dan pemantauan secara terus-menerus untuk mencegah
fraktur.
Secara skematis, patofisiologi osteoporosis akibat pemberian
steroid dapat digambarkan sebagai 2 proses utama. Proses yang pertama
adalah penurunan pembentukan tulang dan kenaikan resorpsi tulang.
Terapi steroid secara kronik menurunkan umur osteoblast dan
meningkatkan apoptosis. Pemberian steroid juga meningkatkan maturasi
dan kegiatan osteoclast dan mengakibatkan antiapoptotik secara
langsung. Dengan menurunkan absorpsi kalsium dari usus dan
meningkatkan ekskresi kalsium urine, steroid mengakibatkan resoprsi
tulang dan hiperparatiroidisme sekunder. Steroid menghambat produksi
hormon steroid seksual dan sekresi dari adrenal, ovarium dan testis yang
juga mengakibatkan resorpsi tulang (Wachjudi, 2008).
f.
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.

Tanda dan gejala


Nyeri dengan atau tanpa adanya fraktur yang nyata
Nyeri timbul secara mendadadak
Nyeri dirasakan ringan pada pagi hari (bangun tidur)
Nyeri akan bertambah karena melakukan aktifitas atau pekerjaan
sehari-hari atau karena pergerakan yang salah
Rasa sakit karena oleh adanya fraktur pada anggota gerak
Rasa sakit karena adanya kompresi fraktur paa vertebra
Rasa sakit hebat yang terlokalisasi pada daerah vertebra

8. Rasa sakit akan berkurang apabila pasien istirahat di tempat tidur


g. Komplikasi
Osteoporosis mengakibatkan tulang secara progresif menjadi panas,
rapuh, dan mudah patah. Osteoporosis sering mengakibatkan fraktur.
Bisa terjadi fraktur kompresi vertebra torakalis dan lumbalis, fraktur
daerah kolum femoris dan daerah trokhanter, dan frakturcolles pada
pergelangan tangan. Komplikasi osteoporosis antara lain patah tulang
terutama tulang belakang, pangkal paha dan pergelangan tangan. Patah
tulang belakang akan mengakibatkan sakit punggung, dan penurunan
tinggi badan (bongkok) dan yang paling berat adalah terjadinya saraf
terjepit sehingga me-nimbulkan keluhan neurologis. Patah tulang
pangkal paha sering kali membawa permasalahan yang besar dan mengakibatkan terjadinya disabilitas sehingga dalam kehidupannya
memerlukan perto-longan orang lain, sedang patah tulang pergelangan
tangan sering mengakibatkan deformitas pada tulang tersebut (Wachjudi,
2008).
h. Stadium
Menurut Waluyo (2009) osteoporosis terbagi menjadi 4 stadium, antara
lain:
1. Stadium 1, tulang bertumbuh cepat, yang dibentuk masih lebih banyak
dan lebih cepat daripada tulang yang dihancurkan. Ini biasanya terjadi
pada usia 30-35 tahun.
2. Stadium 2, umumnya pada usia 35-45 tahun, kepadatan tulang mulai
turun (osteopenia).
3. Stadium 3, usia 45-55 tahun, fraktur bisa timbul sekalipun hanya
dengan sentuhan atau benturan ringan.
4. Stadium 4, biasanya diatas 55 tahun, rasa nyeri yang hebat akan
timbul akibat patah tulang. Anda tidak bisa bekerja, bergerak , bahkan
mengalami stres dan depresi.
i. Faktor Resiko
Osteoporosis dapat menyerang setiap orang dengan faktor risiko yang
berbeda. Faktor risiko Osteoporosis dikelompokkan menjadi dua, yaitu
yang tidak dapat dikendalikan dan yang dapat dikendalikan. Berikut ini
faktor risiko osteoporosis yang tidak dapat dikendalikan:
1. Jenis kelamin
Kaum wanita mempunyai faktor risiko terkena osteoporosis lebih
besar dibandingkan kaum pria. Hal ini disebabkan pengaruh hormon
estrogen yang mulai menurun kadarnya dalam tubuh sejak usia 35
tahun.
2. Usia

3.

4.

5.

6.

Semakin tua usia, risiko terkena osteoporosis semakin besar karena


secara alamiah tulang semakin rapuh sejalan dengan bertambahnya
usia. Osteoporosis pada usia lanjut terjadi karena berkurangnya massa
tulang yang juga disebabkan menurunnya kemampuan tubuh untuk
menyerap kalsium.
Ras
Semakin terang kulit seseorang, semakin tinggi risiko terkena
osteoporosis. Karena itu, ras Eropa Utara (Swedia, Norwegia,
Denmark) dan Asia berisiko lebih tinggi terkena osteoporosis
dibanding ras Afrika hitam. Ras Afrika memiliki massa tulang lebih
padat dibanding ras kulit putih Amerika. Mereka juga mempunyai otot
yang lebih besar sehingga tekanan pada tulang pun besar. Ditambah
dengan kadar hormon estrogen yang lebih tinggi pada ras Afrika.
Pigmentasi dan tempat tinggal
Mereka yang berkulit gelap dan tinggal di wilayah khatulistiwa,
mempunyai risiko terkena osteoporosis yang lebih rendah
dibandingkan dengan ras kulit putih yang tinggal di wilayah kutub
seperti Norwegia dan Swedia.
Riwayat keluarga
Jika ada nenek atau ibu yang mengalami osteoporosis atau
mempunyai massa tulang yang rendah, maka keturunannya cenderung
berisiko tinggi terkena osteoporosis.
Menopause
Wanita pada masa menopause kehilangan hormon estrogen karena
tubuh tidak lagi memproduksinya. Padahal hormon estrogen
dibutuhkan untuk pembentukan tulang dan mempertahankan massa
tulang. Semakin rendahnya hormon estrogen seiring dengan
bertambahnya usia, akan semakin berkurang kepadatan tulang
sehingga terjadi pengeroposan tulang, dan tulang mudah patah.
Menopause dini bisa terjadi jika pengangkatan ovarium terpaksa
dilakukan disebabkan adanya penyakit kandungan seperti kanker,
mioma dan lainnya. Menopause dini juga berakibat meningkatnya
risiko terkena osteoporosis.

Berikut ini faktor-faktor risiko osteoporosis yang dapat dikendalikan.


Faktor-faktor ini biasanya berhubungan dengan kebiasaan dan pola
hidup.
1. Aktivitas fisik
Seseorang yang kurang gerak, kurang beraktivitas, otot-ototnya tidak
terlatih dan menjadi kendor. Otot yang kendor akan mempercepat
menurunnya kekuatan tulang. Untuk menghindarinya, dianjurkan

2.

3.

4.

5.

6.

7.

melakukan olahraga teratur minimal tiga kali dalam seminggu (lebih


baik dengan beban untuk membentuk dan memperkuat tulang).
Kurang kalsium
Kalsium penting bagi pembentukan tulang, jika kalsium tubuh kurang
maka tubuh akan mengeluarkan hormon yang akan mengambil
kalsium dari bagian tubuh lain, termasuk yang ada di tulang.
Kebutuhan akan kalsium harus disertai dengan asupan vitamin D yang
didapat dari sinar matahari pagi, tanpa vitamin D kalsium tidak
mungkin diserap usus.
Merokok
Para perokok berisiko terkena osteoporosis lebih besar dibanding
bukan perokok. Telah diketahui bahwa wanita perokok mempunyai
kadar estrogen lebih rendah dan mengalami masa menopause 5 tahun
lebih cepat dibanding wanita bukan perokok. Nikotin yang terkandung
dalam rokok berpengaruh buruk pada tubuh dalam hal penyerapan dan
penggunaan kalsium. Akibatnya, pengeroposan tulang/osteoporosis
terjadi lebih cepat.
Minuman keras/beralkohol
Alkohol berlebihan dapat menyebabkan luka-luka kecil pada dinding
lambung. Dan ini menyebabkan perdarahan yang membuat tubuh
kehilangan kalsium (yang ada dalam darah) yang dapat menurunkan
massa tulang dan pada gilirannya menyebabkan osteoporosis.
Minuman soda
Minuman bersoda (softdrink) mengandung fosfor dan kafein (caffein).
Fosfor akan mengikat kalsium dan membawa kalsium keluar dari
tulang, sedangkan kafein meningkatkan pembuangan kalsium lewat
urin. Untuk menghindari bahaya osteoporosis, sebaiknya konsumsi
soft drink harus dibarengi dengan minum susu atau mengonsumsi
kalsium ekstra.
Stres
Kondisi stres akan meningkatkan produksi hormon stres yaitu kortisol
yang diproduksi oleh kelenjar adrenal. Kadar hormon kortisol yang
tinggi akan meningkatkan pelepasan kalsium kedalam peredaran darah
dan akan menyebabkan tulang menjadi rapuh dan keropos sehingga
meningkatkan terjadinya osteoporosis.
Bahan kimia
Bahan kimia seperti pestisida yang dapat ditemukan dalam bahan
makanan (sayuran dan buah-buahan), asap bahan bakar kendaraan
bermotor, dan limbah industri seperti organoklorida yang dibuang
sembarangan di sungai dan tanah, dapat merusak sel-sel tubuh
termasuk tulang. Ini membuat daya tahan tubuh menurun dan
membuat pengeroposan tulang (Waluyo, 2009).

j.

Pencegahaan
Pencegahan penyakit osteoporosis sebaiknya dilakukan pada usia muda
maupun masa reproduksi. Berikut ini hal-hal yang dapat mencegah
osteoporosis, yaitu:
1. Asupan kalsium cukup
Mempertahankan atau meningkatkan kepadatan tulang dapat
dilakukan dengan mengkonsumsi kalsium yang cukup. Minum 2 gelas
susu dan vitamin D setiap hari, bisa meningkatkan kepadatan tulang
pada wanita setengah baya yang sebelumya tidak mendapatkan cukup
kalsium. Sebaiknya konsumsi kalsium setiap hari. Dosis yang
dianjurkan untuk usia produktif adalah 1000 mg kalsium per hari,
sedangkan untuk lansia 1200 mg per hari. Kebutuhan kalsium dapat
terpenuhi dari makanan sehari-hari yang kaya kalsium seperti ikan
teri, brokoli, tempe, tahu, keju dan kacang-kacangan.
2. Paparan sinar matahari
Sinar matahari terutama UVB membantu tubuh menghasilkan vitamin
D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa tulang.
Berjemurlah dibawah sinar matahari selama 20-30 menit, 3x/minggu.
Sebaiknya berjemur dilakukan pada pagi hari sebelum jam 9 dan sore
hari sesudah jam 4. Sinar matahari membantu tubuh menghasilkan
vitamin D yang dibutuhkan oleh tubuh dalam pembentukan massa
tulang.
3. Melakukan olahraga dengan beban
Selain olahraga menggunakan alat beban, berat badan sendiri juga
dapat berfungsi sebagai beban yang dapat meningkatkan kepadatan
tulang. Olahraga beban misalnya senam aerobik, berjalan dan menaiki
tangga. Olahraga yang teratur merupakan upaya pencegahan yang
penting. Tinggalkan gaya hidup santai, mulailah berolahraga beban
yang ringan, kemudian tingkatkan intensitasnya. Yang pentingadalah
melakukannya dengan teratur dan benar. Latihan fisik atau olahraga
untuk penderita osteoporosis berbeda dengan olahraga untuk
mencegah osteoporosis. Latihan yang tidak boleh dilakukan oleh
penderita osteoporosis adalah sebagai berikut:
a Latihan atau aktivitas fisik yang berisiko terjadi benturan dan
pembebanan pada tulang punggung. Hal ini akan menambah risiko
patah tulang punggung karena ruas tulang punggung yang lemah
tidak mampu menahan beban tersebut. Hindari latihan berupa
lompatan, senam aerobik dan joging.

b Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan membungkuk


kedepan dengan punggung melengkung. Hal ini berbahaya karena
dapat mengakibatkan cedera ruas tulang belakang. Juga tidak boleh
melakukan sit up, meraih jari kaki, dan lain-lain.
c Latihan atau aktivitas fisik yang mengharuskan menggerakkan kaki
kesamping atau menyilangkan dengan badan, juga meningkatkan
risiko patah tulang, karena tulang panggul dalam kondisi lemah.
Berikut ini latihan olahraga yang boleh dilakukan oleh penderita
osteoporosis :
a Jalan kaki secara teratur, karena memungkinkan sekitar 4,5 km/jam
selama 50 menit, lima kali dalam seminggu. Ini diperlukan untuk
mempertahankan kekuatan tulang. Jalan kaki lebih cepat (6
km/jam) akan bermanfaat untuk jantung dan paru-paru.
b Latihan beban untuk kekuatan otot, yaitu dengan mengangkat
dumbble kecil untuk menguatkan pinggul, paha, punggung,
lengan dan bahu.
c Latihan untuk meningkatkan keseimbangan dan kesigapan.
d Latihan untuk melengkungkan punggung ke belakang, dapat
dilakukan dengan duduk dikursi, dengan atau tanpa penahan. Hal
ini dapat menguatkan otot-otot yang menahan punggung agar tetap
tegak, mengurangi kemungkinan bengkok, sekaligus memperkuat
punggung.
Untuk pencegahan osteoporosis, latihan fisik yang dianjurkan adalah
latihan fisik yang bersifat pembebanan, terutama pada daerah yang
mempunyai risiko tinggi terjadi osteoporosis dan patah tulang. Jangan
lakukan senam segera sesudah makan. Beri waktu kira-kira 1 jam
perut kosong sebelum mulai dan sesudah senam. Dianjurkan untuk
berlatih senam tiga kali seminggu, minimal 20 menit dan maksimal 60
menit. Sebaiknya senam dikombinasikan dengan olahraga jalan secara
bergantian, misalnya hari pertama senam, hari kedua jalan kaki, hari
ketiga senam, hari keempat jalan kaki, hari kelima senam, hari
keenam dan hari ketujuh istirahat. Jalan kaki merupakan olahraga
yang paling mudah, murah dan aman, serta sangat bermanfaat.
Gerakannya sangat mudah dilakukan, melangkahkan salah satu kaki
kedepan kaki yang lain secara bergantian. Lakukanlah jalan kaki 2030 menit, paling sedikit tiga kali seminggu dianjurkan berjalan lebih
cepat dari biasa, disertai ayunan lengan. Setiap latihan fisik harus
diawali dengan pemanasan untuk:
a Menyiapkan otot dan urat agar meregang secara perlahan dan
mantap sehingga mencegah terjadinya cedera.

b Meningkatkan denyut nadi, pernapasan, dan suhu tubuh sedikit


demi sedikit.
c Menyelaraskan koordinasi gerakan tubuh dengan keseimbangan
gerak dan
d Menimbulkan rasa santai.
Lakukan selama 10 menit dengan jalan ditempat, gerakan kepala,
bahu, siku dan tangan, kaki, lutut dan pinggul. Kemudian lakukan
peregangan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan
menghasilkan selama kira-kira 5 menit. Latihan peregangan akan
menghasilkan kelenturan otot dan kemudahan gerakan sendi. Latihan
ini dilakukan secara berhati-hati dan bertahap, jangan sampai
menyebabkan cedera. Biasanya dimulai dengan peregangan otot-otot
lengan, dada, punggung, tungkai atas dan bawah, serta otot-otot kaki.
Latihan inti, kira-kira 20 menit, merupakan kumpulan gerak yang
bersifat ritmis atau berirama agak cepat sehingga mempunyai nilai
latihan yang bermanfaat. Utamakan gerakan, tarikan dan tekanan pada
daerah tulang yang sering mengalami osteoporosis, yaitu tulang
punggung, tulang paha, tulang panggul dan tulang pergelangan tangan.
Kemudian lakukan juga latihan beban. Dapat dibantu dengan bantal
pasir, dumbble, atau apa saja yang dapat digenggam dengan berat 3001000 gram untuk 1 tangan, mulai dengan beban ringan untuk pemula,
dan jangan melebihi 1000 gram. Beban untuk tulang belakang dan
tungkai sudah cukup memdai dengan beban dari tubuh itu sendiri
Setelah latihan inti harus dilakukan pendinginan dengan memulai
gerakan peregangan seperti awal pemanasan dan lakukan gerakan
menarik napas atau ambil napas dan buang napas secara teratur. Jika
masih memungkinkan. Lakukan senam lantai kira-kira 10 menit.
Latihan ini merupakan gabungan peregangan, penguatan dan
koordinasi. Lakukan dengan lembut dan perlahan dalam posisi
nyaman, rileks dan napas yang teratur.
4. Hindari rokok dan minuman beralkohol
Menghentikan kebiasaan merokok merupakan upaya penting dalam
mengurangi faktor risiko terjadinya osteoporosis. Terlalu banyak
minum alkohol juga bisa merusak tulang.
5. Deteksi dini osteoporosis
Karena osteoporosis merupakan suatu penyakit yang biasanya tidak
diawali dengan gejala, maka langkah yang paling penting dalam
mencegah dan mengobati osteoporosis adalah pemeriksaan secara dini
untuk mengetahui apakah kita sudah terkena osteoporosis atau belum,
sehingga dari pemeriksaan ini kita akan tahu langkah selanjutnya.

k. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan radiologik
Dilakukan untuk menilai densitas massa tulang sangat tidak sensitif.
Gambaran radiologik yang khas pada osteoporosis adalah penipisan
korteks dan daerah trabekuler yang lebih lusen.Hal ini akan tampak
pada tulang-tulang vertebra yang memberikan gambaran pictureframe vertebra.
2. Pemeriksaan densitas massa tulang (Densitometri)
Densitometri tulang merupakan pemeriksaan yang akurat dan untuk
menilai densitas massa tulang, seseorang dikatakan menderita
osteoporosis apabila nilai BMD (Bone Mineral Density) berada
dibawah -2,5 dan dikatakan mengalami osteopenia (mulai
menurunnya kepadatan tulang) bila nilai BMD berada antara -2,5 dan
-1 dan normal apabila nilai BMD berada diatas nilai -1. Beberapa
metode yang digunakan untuk menilai densitas massa tulang:
a) Single-Photon Absortiometry (SPA)
Pada SPA digunakan unsur radioisotop I yang mempunyai energi
photon rendah guna menghasilkan berkas radiasi kolimasi tinggi.
SPA digunakan hanya untuk bagian tulang yang mempunyai
jaringan lunak yang tidak tebalseperti distal radius dan kalkaneus.
b) Dual-Photon Absorptiometry (DPA)
Metode ini mempunyai cara yang sama dengan SPA. Perbedaannya
berupa sumber energi yang mempunyai photon dengan 2 tingkat
energi yang berbeda guna mengatasi tulang dan jaringan lunak
yang cukup tebal sehingga dapat dipakai untuk evaluasi bagianbagian tubuh dan tulang yang mempunyai struktur geometri
komplek seperti pada daerah leher femur dan vetrebrata.
c) Quantitative Computer Tomography (QCT)
Merupakan densitometri yang paling ideal karena mengukur
densitas tulang secara volimetrik.
3. Sonodensitometri
Sebuah metode yang digunakan untuk menilai densitas perifer dengan
menggunakan gelombang suara dan tanpa adanya resiko radiasi.
4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)
MRI dalam menilai densitas tulang trabekula melalui dua langkah
yaitu pertama T2 sumsum tulang dapat digunakan untuk menilai
densitas serta kualitas jaringan tulang trabekula dan yang kedua untuk
menilai arsitektur trabekula.
5. Biopsi tulang dan Histomorfometri
Merupakan pemeriksaan yang sangat penting untuk memeriksa
kelainan metabolisme tulang.
6. Radiologis

Gejala radiologis yang khas adalah densitas atau masa tulang yang
menurun yang dapat dilihat pada vertebra spinalis. Dinding dekat
korpus vertebra biasanya merupakan lokasi yang paling berat.
Penipisa korteks dan hilangnya trabekula transfersal merupakan
kelainan yang sering ditemukan. Lemahnya korpus vertebra
menyebabkan penonjolan yang menggelembung dari nukleus pulposus
ke dalam ruang intervertebral dan menyebabkan deformitas bikonkaf.
7. CT-Scan
CT-Scan dapat mengukur densitas tulang secara kuantitatif yang
mempunyai nilai penting dalam diagnostik dan terapi follow up.
Mineral vertebra diatas 110 mg/cm3baisanya tidak menimbulkan
fraktur vetebra atau penonjolan, sedangkan mineral vertebra dibawah
65 mg/cm3 ada pada hampir semua klien yang mengalami fraktur.
8. Pemeriksaan Laboratorium
a) Kadar Ca, P, Fosfatase alkali tidak menunjukkan kelainan yang
nyata.
b) Kadar HPT (pada pascamenoupouse kadar HPT meningkat) dan Ct
(terapi ekstrogen merangsang pembentukkan Ct)
c) Kadar 1,25-(OH)2-D3 absorbsi Ca menurun.
d) Eksresi fosfat dan hidroksipolin terganggu sehingga meningkat
kadarnya.
l.

Terapi yang dilakukan / Penatalaksanaan


1. POHON MASALAH
Hambatan mobilitas fisik

Resiko injuri

Disfungsi skeletal

Lingkungan kurang aman

Adaptasi lingkungan berkurang

Lemas, letih

Nyeri Akut

Nafsu makan menurun

Reseptor nyeri terganggu

TB dan BB menurun
nyeri pinggang
(fungsi tubuh menurun)

pembatasan gerak dan latihan,


kemampuan memenuhi ADLs menurun
(keterbatasan gerak)

Pengaruh pada fisik

Pengaruh pada psikososial

Kiposis/Gibbus

Osteoporosis

Penurunan massa tulang

Genetik, gaya hidup, alkohol, penurunan produksi hormon

2. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU


DIKAJI
a) Masalah Keperawatan
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologi
2) Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan disfungsi
sekunder akibat perubahan skeletal (kifosis)
3) Resiko cedera berhubungan dengan dampak sekunder perubahan
skeletal dan ketidakseimbangan tubuh
b) Fokus pengkajian asuhan asuhan keperawatan pada pasien gagal
jantung adalah sebagai berikut:
1) Aktivitas/istirahat meliputi olahraga, pengisian waktu luang dan
rekreasi, berpakaian, mandi, makan dan toilet. Beberapa
perubahan yang terjadi sehubungan dengan dengan menurunnya
gerak dan persendian adalah agility, stamina menurun,
koordinasi menurun, tidur terganggu karena nyeri dan dexterity

2)
3)
4)
5)

(kemampuan memanipulasi ketrampilan motorik halus)


menurun.
Makanan/cairan meliputi inadekuat intake kalsium
Reproduksi seksualitas meliputi menopause
Mekanisme koping terhadap stress meliputi cemas karena
penyakitnya
Persepsi kognitif meliputi nyeri punggung

II.
No
1

DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan

Tujuan

Nyeri akut berhubungan dengan Setelah dilakukan tindakan


agen cedera biologi
keperawatan selama 1X24
jam
diharapkan
nyeri
berkurang
NOC:
1. Pain level
2. Pain control
3. Comfort level

Kriteria Hasil

Intervensi Keperawatan

1. Mampu mengontrol nyeri


(tahu penyebab nyeri,
mampu
menggunakan
tehnik nonfarmakologi
untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri
(skala,
intensitas,
frekuensi, dan tanda
nyeri)
4. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang

Paint management
1. Kaji
nyeri
secara
komprehensif
(lokasi,
karakteristik,
durasi,
frekuensi, kualitas, dan
faktor presipitasi)
2. Observasi
reaksi
nonverbal
dari
ketidaknyamanan
3. Ajarkan pasien tentang
alternative lain untuk
mengatasi
dan
mengurangi rasa nyeri

4. Ajarkan
teknik
manajemen
stress
misalnya relaksasi nafas
dalam

Rasional
1. Mengetahui kondisi
umum pasien

2. Mempengaruhi
pilihan/pengawasan
sebagai pedoman dalam
menentukan intervensi
yang tepat
3. Mengatasi nyeri
misalnya kompres
hangat, mengatur posisi
untuk mencegah
kesalahan posisi pada
tulang/jaringan yang
cedera
4. Memfokuskan kembali
perhatian,
meningkatkan rasa
kontrol dan
meningkatkan
kemampuan koping
dalam manajemen nyeri

Hambatan
mobilitas
fisik
berhubungan dengan disfungsi
sekunder
akibat
perubahan
skeletal (kifosis)

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 3X24
jam
diharapkan
pasien
mampu
melakukan
mobilitas fisik
NOC:
1. Joint movement: active
2. Mobility level
3. Self care: ADLs
4. Transfer performance

Resiko cedera berhubungan


dengan
dampak
sekunder
perubahan
skeletal
dan
ketidakseimbangan tubuh

Setelah dilakukan tindakan


keperawatan selama 3X24
jam diharapkan cidera/injuri
tidak terjadi

1. Pasien meningkat dalam


aktivitas fisik
2. Mengerti tujuan dari
peningkatan mobilitas
3. Memverbalisasikan
perasaan
dalam
meningkatkan kekuatan
dan
kemampuan
berpindah
4. Memperagakan
penggunaan alat bantu
untuk mobilisasi (walker)

5. Kolaborasi dengan tim


kesehatan lain dalam
pemberian obat sesuai
indikasi
Exercise
therapy:
ambulation
1. Kaji tingkat kemampuan
pasien yang masih ada
2. Kaji TTV sebelum dan
sesudah latihan dan liat
respon
pasien
saat
latihan
3. Konsultasikan
dengan
terapi
fisik
tentang
rencana ambulasi sesuai
dengan kebutuhan
4. Bantu pasien untuk
menggunakan alat bantu
misalnya tongkat, walker

1. Pasien terbebas dari Environment management


cidera
1. Ciptakan lingkungan
2. Pasien
mampu
yang aman untuk
menjelaskan cara/metode
pasien
untuk
mencegah
2. Ajarkan pada pasien

yang mungkin menetap


untuk periode lebih
lama
5. Menurunkan nyeri yang
dirasakan

1. Mengetahui
kondisi
pasien
2. Mengetahui
kemampuan yang bisa
dilakukan pasien
3. Mencegah
kelelahan
yang parah pada pasien
4. Mencegah pasien jatuh

1. Menghindari
cidera/injury
2. Memberikan

pasien

NOC:
Risk control

injuri/cedera
3. Pasien
mampu
menjelaskan
faktor
resiko
dari
lingkungan/perilaku
personal
4. Mampu
memodifikasi
gaya
hidup
untuk
mencegah injury
5. Menggunakan fasilitas
kesehatan yang ada
6. Mampu
mengenali
perubahan
status
kesehatan

untuk
berhenti
secara
perlahan,
tidak naik tangga,
dan
mengangkat
beban berat
3. Observasi
efek
samping dari obatobatan
yang
digunakan

lingkungan yang aman


agar terhindar dari
bahaya
3. Mengetahui
umum pasien

kondisi

DAFTAR PUSTAKA
Junaidi, I, 2007. Osteoporosis Seri Kesehatan Populer. Cetakan Kedua. Jakarta:
PT Bhuana Ilmu Populer.
Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah Vol 3.
Jakarta: EGC.
Suryati, A, Nuraini, S. 2006. Faktor Spesifik Penyebab Penyakit Osteoporosis
Pada Sekelompok Osteoporosis Di RSIJ, 2005. Jurnal Kedokteran dan
Kesehatan, Vol.2, No.2, Juli 2006:107-126
Tandra, H. 2009. Segala Sesuatu Yang Harus Anda Ketahui Tentang Osteoporosis
Mengenal, Mengatasi dan Mencegah Tulang Keropos. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.

Anda mungkin juga menyukai