Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Banyak kajian ilmiah yang telah meneliti mengenai berbagai manfaat
bahan alam. Bahan alam banyak dimanfaatkan dalam berbagai hal, salah satu
diantaranya adalah pengobatan berbagai penyakit. Khasiat bahan alam yang
digunakan dalam pengobatan telah dirasakan secara langsung oleh masyarakat,
sehingga penggunaan bahan alam ini cenderung semakin meningkat. Selain itu
bahan alam sebagai obat tradisional dianggap oleh sebagian besar masyarakat
tidak memiliki efek samping, sedangkan pengobatan secara sintesis menimbulkan
banyak efek samping yang sangat berbahaya dan biaya yang harus dikeluarkan
terlalu besar.
Bahan alam dari tanaman maupun dari hewan memiliki khasiat obat
karena mengandung satu atau beberapa senyawa bioaktif. Dengan adanya
senyawa bioaktif tersebut, suatu jenis tanaman memiliki efektifitas terhadap suatu
penyakit, misalnya penyakit akibat gangguan hormonal dan penyakit seperti
hiperkolesterolemia, hipertensi, diabetes mellitus, jantung, dan kanker (Waha,
2002). Salah satu bahan alternatif yang potensial untuk diteliti sebagai obat adalah
bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad) (Widjaja dkk, 2005).
Bambu merupakan tanaman yang berasal dari famili Gramineae atau
suku rumput-rumputan yang biasa tumbuh di pinggir sungai. Bambu mudah sekali

dibedakan dengan tumbuhan lainnya, karena tumbuhnya merumpun. Ciri lainnya


adalah: batang bulat, berlubang di tengah dan beruas-ruas, percabangan kompleks,
setiap daun bertangkai, dan bunganya terdiri atas sekam, sekam kelopak dan
sekam mahkota serta 3 6 buah benang sari (Widjaya, 2001).
Masyarakat memanfaatkan bambu sebagai obat kencing batu, kencing
manis, Obat maag, liver, hipertensi, ginjal dan sakit kuning. Berdasarkan hasil
analisis fitokimia dan antiplasmodial ekstrak Bambusa vulgaris Schrad
menunjukkan adanya alkaloid, triterpenoids, flavonoid, dan senyawa lactonik.
Senyawa-senyawa tersebut memiliki aktifitas obat yang efektif (Ogu dkk, 2012).
Sedangkan Sujarwo dkk (2010), menyebutkan bahwa bambu ampel gading
(Bambusa vulgaris) mengandung asam lemak jenuh (palmitik, myristik, laurik,
behenik, dan arachidik) maupun asam lemak tidak jenuh (linolenat) serta senyawa
tidak jenuh lainnya (curcumene). Selain itu, juga ditemukan adanya senyawa
aromatik seperti naphthalene.
Senyawa

golongan

flavonoid,

polifenol,

dan

saponin

mampu

menghambat kerja xantin oksidase. Flavonoid golongan flavon dan flavonol


mampu menangkap elektron dari sisi aktif xantin oksidase (Cos dkk, 1998).
Yulianto (2009) melaporkan bahwa ekstrak etanol ciplukan yang mengandung
senyawa flavonoid mampu menginhibisi xantin oksidase sampai 70,08% dan
ekstrak etanol rosella sebesar 35,53%.
Enzim Xantin oksidase memiliki peranan penting dalam proses
pembentukan asam urat dengan mengkatalisis berturut-turut hipoxantin menjadi
xantin kemudian asam urat melalui reaksi oksidasi. Pada reaksi tersebut dihasilkan

pula radikal superoksida yang bereaksi dengan air membentuk asam peroksida
(Cao, 2010). Asam urat diketahui berfungsi sebagai antioksidan dan mungkin
antioksidan yang paling penting dalam plasma dengan kontribusi sampai 60% dari
seluruh aktivitas pembersihan radikal bebas dalam serum manusia (Waring, 2000).
Asam urat yang larut dalam darah dapat menangkap superoksida, radikal
hidroksil, oksigen tunggal dan juga mempunyai kemampuan untuk chelasi logamlogam transisi (Johnson, 2003). Asam urat dapat berinteraksi dengan peroxynitrit,
suatu produk toksik yang terbentuk dari reaksi antara anion superoksida dengan
nitroksidan yang dapat merusak sel melalui proses nitrosilasi residu protein tirosin
(terbentuknya nitrotirosin), dan membentuk donor nitroksidan yang stabil,
sehingga menyebabkan vasodilatasi dan meminimalkan kerusakan oksidatif yang
diinduksi oleh peroxynitrit (Feig, 2012)
Ketika terjadi keseimbangan antara pembentukan dan degradasi
nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat maka
keadaan

tubuh

akan

normal.

Apabila

terjadi

kelebihan

pembentukan

(overproduction) atau penurunan ekskresi (underexcretion) atau keduanya maka


akan terjadi peningkatan konsentrasi asam urat darah yang disebut dengan
hiperurisemia (Johnstone, 2005; Nurcahyanti, 2007; Hidayat, 2009; Wisesa dan
Suastika, 2009). Secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan
asam urat pada serum yang melewati ambang batasnya. Patokan untuk
menyatakan keadaan hiperurisemia adalah kadar asam urat >7 mg% pada lakilaki dan >6 mg% pada perempuan (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut VazquezMellado dkk. (2004), dikatakan hiperurisemia bila asam urat serum >7 mg/dl

(>0,42 mmol/l) pada laki-laki dan >6,5 mg/dl (>0,387 mmol/l) pada perempuan.
Sementara kadar asam urat normal pada laki-laki adalah 5,11,0 mg/dl, dan pada
perempuan adalah 4,01,0 mg/dl (Sunkureddi dkk., 2006).
Peningkataan kadar asam urat dapat mengakibatkan gangguan pada
tubuh manusia seperti perasaan linulinu di daerah persendian dan sering disertai
timbulnya rasa nyeri yang teramat sangat sakit bagi penderitanya. Hal ini
disebabkan oleh penumpukan kristal di daerah tersebut akibat tingginya kadar
asam urat dalam darah. Penyakit ini sering disebut penyakit gout atau lebih
dikenal di masyarakat sebagai penyakit asam urat. Hiperurisemia disebabkan oleh
sintesa purin oleh ensim xantin oksidase berlebih dalam tubuh karena pola makan
yang tidak teratur dan proses pengeluaran asam urat dari dalam tubuh yang
mengalami gangguan. Faktor-faktor yang diduga juga mempengaruhi penyakit ini
adalah diet, berat badan dan gaya hidup. Umumnya untuk mengatasi penyakit
hiperurisemia digunakan obat sintesis seperti allopurinol, namun dapat
menimbulkan efek yang merugikan dan berbahaya seperti gangguan pada kulit,
lambung, usus, gangguan darah (Sukandar dkk., 2008), dan interstisial nefritis
akut (Yu dan Barry, 2008). Untuk mengatasi hal tersebut, dikembangkan
pengobatan alternatif menggunakan tanaman.
Berdasarkan uraian di atas, maka perlu dilakukan uji ekstrak daun bambu
kuning

(Bambusa vulgaris Schrad) terhadap mencit hiperurisemia dan

mengetahui dosis yang memiliki pengaruh lebih baik terhadap kadar asam urat
mencit yang terkena penyakit hiperurisemia.

B. Rumusan Masalah
Rumusan masalah penelitian ini adalah
1. Bagaimana pengaruh pemberian ekstrak etanol daun bambu kuning
(Bambusa vulgaris Schrad) terhadap kadar asam urat mencit (Mus musculus)
hiperurisemia ?
2. Berapa jumlah dosis yang memiliki pengaruh lebih baik terhadap kadar asam
urat mencit hiperurisemia?

C. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui :
1. Efektivitas ekstrak etanol daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad)
terhadap kadar asam urat

mencit (Mus musculus) yang mengalami

hiperurisemia.
2. Kadar dosis yang memiliki pengaruh lebih baik terhadap kadar asam urat
mencit yang terkena penyakit hiperurisemia.

D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai obat alternatif ketika terkenah penyakit hiperurisemia jika
penelitian terbukti mampu menurunkan kadar asam urat dalam darah.
2. Sebagai salah satu sumber informasi bagi masyarakat mengenai manfaat
ekstrak daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad).
3. Sebagai tambahan referensi untuk penelitian selanjutnya.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

A. Tinjauan Pustaka
1. Tinjauan Umum Ekstrak dan Etanol
a. Ekstrak
Ekstrak merupakan sediaan pekat yang diperoleh dengan mengekstraksi
zat aktif dari simplisia nabati atau simplisia hewani menggunakan pelarut yang
sesuai, kemudian semua atau hampir semua pelarut diuapkan dan massa atau
serbuk tersisa diperlakukan sedemikian memenuhi baku yang ditetapkan
(Simanjuntak, 2008).
Ekstraksi adalah suatu proses pemisahan kandungan senyawa kimia dari
jaringan tumbuhan ataupun hewan dengan menggunakan pelarut dan metode
tertentu. Maserasi adalah proses pengekstrakan sampel (Simplisian) dengan
menggunakan peralut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada
temperatur ruangan (kamar). Remaserasi berarti dilakukan pengulangan
penambahan pelarut setelah dilakukan penyaringan maserat pertama, dan
seterusnya (Simanjuntak, 2008).
b. Etanol
Etanol, disebut juga etil alkohol, alkohol murni, alkohol absolut, atau
alkohol saja, adalah sejenis cairan yang mudah menguap, mudah terbakar, tak
berwarna, dan merupakan alkohol yang paling sering digunakan dalam kehidupan
sehari-hari memiliki titik didih 78,40C. Senyawa ini merupakan obat psikoaktif
dan dapat ditemukan pada minuman beralkohol dan termometer modern. Etanol
termasuk kedalam alkohol rantai tunggal, dengan rumus kimia C2H5OH dan
rumus empiris C2H6O. Ia merupakan isomer konstitusional dari dimetil eter.

Etanol sering disingkat menjadi EtOH, dengan "Et" merupakan singkatan dari
gugus etil (C2H5) (Senja, 2014).
Etanol banyak digunakan sebagai pelarut berbagai bahan-bahan kimia
yang ditujukan untuk konsumsi dan kegunaan manusia. Contohnya adalah pada
parfum, perasa, pewarna makanan, dan obat-obatan. Dalam kimia, etanol adalah
pelarut yang penting untuk sintesis senyawa kimia lainnya. Etanol memiliki letal
dosis yang berbeda-beda terhadap hewan uji dan cara pemberianya, untuk Etanol
70% memiliki LD 50 pada mencit yang diberikan secara oral dengan sebanyak
3450 mg/Kg BB (Senja, 2014).
2. Tinjauan Umum Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad)
a. Morfologi Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad)
Bambu termasuk dalam anak suku Bambusoideae dan suku Poaceae. Suku
Poaceae dikenal juga dengan nama Graminae atau suku rumput-rumputan disebut
juga Giant Grass (rumput raksasa), tumbuhnya merumpun dan terdiri dari
sejumlah batang (buluh) yang tumbuh secara bertahap, dari mulai rebung, batang
muda dan sudah dewasa pada umur 3-4 tahun. Bambu mudah sekali dibedakan
dengan tumbuhan lainnya, karena Batang bambu berbentuk silindris, berbukubuku, beruas-ruas, berongga, berdinding keras, pada setiap buku terdapat mata
tunas atau cabang kompleks (Yanda, 2013), setiap daun bertangkai, dan bunganya
terdiri atas sekam, sekam kelopak dan sekam mahkota serta 3 6 buah benang
sari (Widjaya, 2001).
Bambu kuning memiliki rumpun simpodial, tegak dan tidak terlalu rapat,
rebung kuning, (Sujarwo et al, 2010). Batang (culm) warna kuning, strait hijau
terang, dengan warna miang (trikoma) pada permukaan batang coklat dan tidak

merata, tinggi 7-10 m, panjang ruas 33-48 cm, diameter 5,5 -7 cm, tebal 2 4 mm
dapat dilihat pada gambar 2.1 , pelepah yang membalut batang (culm sheath)
mudah luruh, daun pelepah tegak, bentuk kuping segi tiga dengan panjang kuping
(auricles) 2-3 mm, panjang bulu kejur (bristles) 4-8 mm. Percabangan hampir
sama besar dengan jumlah 17-21 cabang. Helaian daun (lamina) berwarna hijau
dengan ukuran 10-29 x 3-5 cm (Yani, 2012).

Gambar 2.1 Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad)


Pertumbuhan bambu tidak terlepas dari pengaruh kondisi lingkungan
tempat tumbuh. Adapun faktor-faktor lingkungan yang berkaitan dengan syarat
tumbuh bambu yaitu : 1) Tanah dengan pH 5,6 6,5. 2) Ketinggian tempat, 0
2000 m dpl. 3) Suhu 8,8 - 36C, curah hujan tahunan minimal 1.020 mm,
sedangkan kelembaban 80% (Yani,2012).

b. Taksonomi Bambu Kuning


Menurut taksonominya bambu kuning dapat digolongkan menjadi
(Widjaya,2001) :
Regnum

: Plantae

Divisio

: Spermatophyta

Subdivisio

: Angiospermae

Classis

: Monocotyledonae

Ordo

: Poales

Familia

: Gramineae

Genus

: Bambusa

Species

: Bambusa vulgaris Schrad

c. Kandungan Kimia
Berdasarkan analisis hasil karakterisasi senyawa yang terdapat dalam daun
bambu yang dilakukan oleh Yanda (2013) menggunakan metode kromotografi
lapis tipis (KLT) berbagai perbandingan eluen yang dilihat dibawah sinar UV
menggunakan

spektroskopi

UV-Vis,

inframerah

(IR)

dan

Titik

leleh.

menunjukkan adanya OH karboksilat, daerah bilangan gelombang 3016,12 cm -1


menunjukkan adanya C-H aromatis, daerah bilangan gelombang 2828,1 cm-1
menunjukkan adanya CH2 metilen, daerah bilangan gelombang 1679,69 cm-1
menunjukkan adanya gugus C=O karbonil, daerah bilangan gelombang 1321 cm -1
menunjukkan

adanya

CH3,

daerah

bilangan

gelombang

1166,72

cm-1

menunjukkan adanya C-O alkoksi. Adanya puncak OH jenuh yang ditunjukkan


oleh bilangan gelombang 1110,8 cm-1.

Menurut Sujarwo dkk (2010), bambu ampel gading (Bambusa vulgaris)


mengandung asam lemak jenuh (palmitik, myristik, laurik, behenik, dan
arachidik) maupun asam lemak tidak jenuh (linolenik) serta senyawa tidak jenuh
lainnya (curcumene). Selain itu, juga ditemukan senyawa aromatik seperti
naphthalene. Adapun kandungan senyawa pada akar dan batang bambu dapat
dilihat pada tabel 2.1
Tabel 2.1 Senyawa kimia pada akar dan batang bambu
No

Nama senyawa kimia

1 Toluene
2 Isoamyl acetate
3 Hexane, 4-ethyl-2-methyl
4 limonene
5 1,3,5-Trimethylbenzene
6 Octane, 4-ethyl
7 Endobornyl acetate
8 Curcumene
9 Alpha-Cendrene
10 Myristic acid
11 Palmitic acid
12 Stearic acid
13 Oleic acid
14 9,12-Octadecadienal
15 Stearolic acid
16 Naphthalene
17 Pentadecylic acid
18 Margaric acid
19 Oleoamide
Sumber : Yanda (2013)

%normalisasi
Akar
Batang
6,02
30,32
3,55
4,52
1,39
0,73
0,72
6,39
6,67
3,93
4,12
0,56
1,86
16,15
49,99
2,97
3,07
3,24
6,66
5,21
14,12
0,6
2,04
1,03
1,91
2,49

Hasil fitokimia dari daun bambu diketahui senyawa yang terkandung


didalamnya adalah flavonoid, kumarin dan fenolik. Pada genus Dendrocalamus
dilaporkan mengandung senyawa kumarin, flavonoid, antrakuinon, polisakarida,
fenolik dan asam amino (Zhang, 2002). Golongan senyawa fenolik merupakan

komponen aktif dari tumbuhan yang telah digunakan untuk mengobati beberapa
penyakit dan digunakan dalam bidang farmasi untuk antioksidan, dan anabolik
(Yanda, 2013).
Flavonoid merupakan grup senyawa alami dengan ragam struktur fenolat.
Flavonoid mempunyai kerangka dasar yang terdiri atas 15 atom karbon dengan 2
cincin benzena terikat pada suatu rantai propana membentuk susunan C6-C3-C6
(Gambar 2.2). Susunan tersebut dapat menghasilkan 3 struktur, yaitu 1,3-diaril
propana (flavonoid), 1,2-diarilpropana (isoflavonoid), dan 1,1-diarilpropana
(neoflavonoid) (Yulianto, 2009).

Gambar 2.2 Kerangka dasar flavon


Flavonoid dikenal sebagai antioksidan dan memberikan daya tarik sejumlah
peneliti untuk meneliti flavonoid sebagai obat yang berpotensi mengobati
penyakit yang disebabkan oleh radikal bebas. Flavonoid juga penghambat efektif
dari

beberapa enzim

termasuk

xantin oksidase, siklooksigenase, dan

lipooksigenase (Hsieh, 2007).


Flavonoid berpotensi sebagai obat untuk penyakit asam urat (gout) dan
ischemia dengan cara menurunkan konsentrasi asam urat dan penangkapan
aktivitas superoksida dalam jaringan manusia (Hidayat, 2007). Flavon memiliki

aktivitas inhibisi lebih kuat dibandingkan flavonol. Senyawa krisin, apigenin,


luteolin, galangin, kaempferol, dan quarsetin memiliki aktivitas penghambat XO
dan senyawa yang memiliki aktivitas inhibisi paling kuat adalah senyawa luteolin
(Cos et al. 1998). Struktur senyawa flavonoid ditunjukan pada tabel 2.2.
Tabel 2.2 Struktur senyawa flavonoid
Senyawa
Krisin
Apigenin
Luteolin
Galangi
Kaemfero
l
Kuarsetin
d. Manfaat

R3
H
H
H
OH

R5
OH
OH
OH
OH

R6
H
H
H
H

R7
OH
OH
OH
OH

R3
H
H
OH
H

R4
H
OH
OH
H

OH

OH

OH

OH

OH

OH

OH

OH

OH

Bambu kuning atau tiang ampel gading ( Bambusa vulgaris Schrad) pada
jaman dahulu digunakan sebagai obat sakit kuning, kencing batu, kencing manis,
Obat maag, hipertensi, ginjal dan liver (Widjaja et al, 2005).
Daun bambu didalam pengobatan tradisional dapat dimanfaatkan untuk
mengobati deman panas pada anak-anak. Hal ini disebabkan karena daun bambu
mengandung zat yang bersifat mendinginkan. Selain itu dalam masyarakat bali
bambu kuning yang tua digunakan sebagai bahan pembuatan tumpang salu yang
berfungsi sebagai sarana tempat mayat atau leluhur dalam upacara Pengabenan
(Arinasa, 2005).
3. Tinjauan Umum Mencit (Mus musculus L.)
Mencit (Mus musculus L.) termasuk mamalia pengerat (rodensia)
merupakan hewan yang paling banyak digunakan sebagai hewan model
laboratorium dengan kisaran penggunaan antara 40-80% (khususnya digunakan

dalam penelitian biologi), karena memiliki keunggulan-keunggulan seperti siklus


hidup relatif pendek, jumlah anak per kelahiran banyak, variasi sifat-sifatnya
tinggi, mudah ditangani, serta sifat produksi dan karakteristik reproduksinya.
Mencit yang sering digunakan dalam penelitian di laboratorium merupakan hasil
perkawinan tikus putih inbreed maupun outbreed. Dari hasil perkawinan
sampai generasi 20 akan dihasilkan strain-strain murni dari mencit (Akbar, 2010).
Mencit (Mus musculus L.) memiliki ciri-ciri berupa bentuk tubuh kecil,
berwarna putih, memiliki siklus estrus teratur yaitu 4-5 hari (Gambar 2.3).
Kondisi ruang untuk pemeliharaan mencit (Mus musculus L.) harus senantiasa
bersih, kering dan jauh dari kebisingan, Suhu ruang pemeliharaan juga harus
dijaga kisarannya antara 18-19C serta kelembaban udara antara 30-70%. Mencit
sering digunakan dalam penelitian dengan pertimbangan hewan tersebut memiliki
beberapa keuntungan yaitu daur estrusnya teratur dan dapat dideteksi, periode
kebuntingannya relatif singkat, dan mempunyai anak yang banyak serta terdapat
keselarasan pertumbuhan dengan kondisi manusia (Akbar, 2010).

Gambar 2.3. Mencit (Mus musculus)

Menurut Hardiningsih (2006), Mencit (Mus musculus) merupakan hewan


yang masuk dalam kelompok hewan menyusui (mamalia), ordo rodentia (hewan
yang mengerat), sub ordo mymorpha, famili muridae, dan sub famili murinae.
Untuk lebih jelasnya, mencit (Mus musculus L.) dapat diklasifikasikan sebagai
berikut:
Kingdom

: Animalia

Filum

: Chordata

Class

: Mamalia

Ordo

: Rodentia

Familia

: Muridae

Genus

: Mus

Spesies

: Mus musculus L.

4. Tinjauan Umum Hiperurisemia


Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat serum di atas nilai
normal, yang pada laki-laki di atas 7 mg/dl dan pada perempuan di atas 6 mg/dl.
Hiperurisemia bisa menimbulkan penyakit asam urat. Sedangkan Kadar asam urat
normal pada mencit adalah 0,5-1,4 mg/dl, dan mencit dikatakan mengalami
hiperurisemia bila kadar asam uratnya 1,7-3,0 mg/dl (Johnstone, 2005).
Asam urat diketahui berfungsi sebagai antioksidan dan mungkin
antioksidan yang paling penting dalam plasma darah dengan kontribusi sampai
60% dari seluruh aktivitas pembersihan radikal bebas dalam serum darah manusia
(Waring, 2000).

Asam urat yang larut dalam darah dapat menangkap superoksida, radikal
hidroksil, oksigen tunggal dan juga mempunyai kemampuan untuk chelasi logamlogam transisi (Johnson, 2003). Asam urat dapat berinteraksi dengan peroxynitrit,
suatu produk toksik yang terbentuk dari reaksi antara anion superoksida dengan
nitroksidan yang dapat merusak sel melalui proses nitrosilasi residu protein tirosin
(terbentuknya nitrotirosin), dan membentuk donor nitroksidan yang stabil,
sehingga menyebabkan vasodilatasi dan meminimalkan kerusakan oksidatif yang
diinduksi oleh peroxynitrit (Feig, 2012)
Ketika terjadi keseimbangan antara pembentukan dan degradasi
nukleotida purin serta kemampuan ginjal dalam mengekskresikan asam urat maka
keadaan

tubuh

akan

normal.

Apabila

terjadi

kelebihan

pembentukan

(overproduction) atau penurunan ekskresi (underexcretion) atau keduanya maka


akan terjadi peningkatan konsentrasi asam urat darah yang disebut dengan
hiperurisemia (Johnstone, 2005; Nurcahyanti, 2007; Hidayat, 2009; Wisesa dan
Suastika, 2009). Secara biokimiawi akan terjadi hipersaturasi yaitu kelarutan
asam urat pada serum yang melewati ambang batasnya. Patokan untuk
menyatakan keadaan hiperurisemia adalah kadar asam urat >7 mg% pada lakilaki dan >6 mg% pada perempuan (Hidayat, 2009). Sedangkan menurut VazquezMellado dkk. (2004), dikatakan hiperurisemia bila asam urat serum >7 mg/dl
(>0,42 mmol/l) pada laki-laki dan >6,5 mg/dl (>0,387 mmol/l) pada perempuan.
Sementara kadar asam urat normal pada laki-laki adalah 5,11,0 mg/dl, dan pada
perempuan adalah 4,01,0 mg/dl (Sunkureddi dkk., 2006).

Menurut Kelley (1997), ada beberapa hal yang dapat meningkatkan kadar
asam urat dalam darah dan merupakan faktor resiko terjadinya hiperurisemia.
Faktor-faktor tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga mekanise, yaitu:
a. Peningkatan produksi asam urat
Hal ini dikarenakan faktor idiopatik primer, makanan yang kaya purin
(banyak mengandung protein), obesitas, alkohol, polisitemia vera, pagets disease,
proses hemolitik, dan psoriasis.
b. Penurunan ekskresi asam urat
Penurunan ekskresi asam urat disebabkan oleh idiopatik primer, insufusiensi
ginjal, ginjal polikistik, diabetes, hipertensi, asidosis, toksik pada kehamilan,
penggunaan obat-obatan, alkohol.
c. Kombinasi antara kedua mekanisme tersebut
Dapat terjadi pada defisiensi glukosa 6-fosfat, defisiensi fruktosa 1-fosfat
aldosa, mengkonsumsi alkohol dan syok.
Berdasarkan penyebab peningkatan asam urat dalam darah hiperurisemia
dapat dibedakan menjadi hiperurisemia dan gout primer, sekunder dan idiopatik.
a. Hiperurisemia dan gout primer adalah hiperurisemia dan gout tanpa
disebabkan penyakit atau penyebab lain.
b. Hiperurisemia dan gout sekunder adalah hiperurisemia dan gout yang
disebabkan penyakit atau penyebab lain.
c. Hiperurisemia dan gout idiopatik adalah hiperurisemia dengan penyebab
primer yang tidak jelas, kelainan genetik, tidak ada kelainan fisiologi atau
anatomi yang jelas (Kelley, 1997).

Asam urat adalah senyawa alkaloid turunan purin (xantin). Senyawa asam
urat yang ditemukan pertama kali oleh Scheele pada tahun 1776 merupakan
produk akhir dari metabolisme nitrogen. Asam urat diperoleh dari hasil ekskresi
pada urin hewan pemakan daging. Asam urat (C 5H4N4O3) merupakan kristal putih,
tidak berbau dan berasa, mengalami dekomposisi dengan pemanasan menjadi
asam sianida (HCN), sangat sukar larut dalam air, larut dalam gliserin dan alkali.
Asam urat dapat larut pada larutan dengan pH tinggi dan dapat pula dipanaskan
untuk membantu kelarutannya hingga suhu 60 C. Natrium urat adalah kristal
yang terbentuk akibat tingginya konsentrasi asam urat dalam darah. Kristal
natrium urat terkumpul pada persendian dan tulang rawan. Faktor yang
mempengaruhi pembentukan kristal natrium urat ialah pH, suhu, kekuatan ionik,
dan konsentrasi Na+. Bentuk geometris kristal natrium urat adalah triklin atau
berbentuk jarum (Rinaudo & Boistelle 1982).
Penyakit asam urat umumnya menyerang lebih banyak pria dari pada
perempuan. Hal ini dikarenakan perempuan memiliki hormon estrogen yang ikut
membuang asam urat melalui urin (Mansjoer et al. 2004). Kadar asam urat ratarata di dalam darah atau serum bergantung pada usia dan jenis kelamin. Pada lakilaki, sebelum dewas kadarnya sekitar 3,5 mg/dl. Setelah dewas, kadarnya
meningkat secara bertahap dan dapat mencapai 5,2 mg/dl. Pada perempuan kadar
asam urat biasanya tetap rendah, baru pada usia pramenopause kadarnya di dalam
darah rata-rata sekitar 4 mg/dl. Setelah menopause, kadarnya meningkat lagi
sampai 4,7 mg/dl (Dalimartha, 2006).

Xantin aksidase (XO) berperan penting dalam katabolisme purin. XO


mempunyai 2 bentuk, yaitu XO dan xantin dehidrogenase (XDH). XDH dapat
dikonversi menjadi XO pada mamalia, baik dalam reaksi reversibel maupun
irreversibel. XO merupakan enzim yang tersebar luas dalam beberapa spesies dari
bakteri hingga manusia. Di dalam tubuh, XO ditemukan di sel hati dan otot, tetapi
tidak ditemukan di dalam darah. XO merupakan suatu kompleks enzim yang
terdiri atas 1332 residu asam amino, molibdenum (HO 2SMo), FAD, dan Fe2S2
sebagai pusat reaksi redoks, dengan bobot molekul sebesar 275 000 Dalton
membentuk 2 subunit yang saling setangkup (Yulianto, 2009). XO mengkatalis
oksidasi hipoxantin menjadi xantin lalu menjadi asam urat yang berperan penting
pada penyakit gout. Pada saat bereaksi dengan xantin membentuk asam urat, atom
oksigen ditransfer dari molibdenum ke xantin. Perombakan pusat molibdenum
yang aktif terjadi dengan penambahan air (Gambar 2.4) (Cos dkk. 1998)
Xantin+ 2O2 + H2O asam urat + 2O2*-+2H+
Xantin+O2 + H2O asam urat + H2O2

Gambar 2.4 Skema reaksi xantin oksidase yang mengkonversi hipoxantin


menjadi xantin dan asam urat (Cos dkk. 1998).

Selama proses oksidasi molekul, oksigen bertindak sebagai akseptor


elektron menghasilkan radikal superoksida (O2) dan hidrogen peroksida
(Ramdani, 2003). Satu unit XO dapat mengkonversi satu mikromol substrat
(xantin) menjadi asam urat tiap satu menit pada pH optimum (pH 7,5) dan suhu
optimum (25 C). XO memiliki pengaruh antitumor dan berperan aktif dalam
timbulnya panas akibat penyimpanan hepatik ferritin dalam plasma. Selain itu,
XO diketahui dapat mengkatalisis reduksi nitrat dan nitrit menjadi nitrit oksida
(Millr et al. 2002) dan sekaligus menyebabkan pembentukan radikal superoksida
yang dapat menyebabkan peradangan. Produksi asam urat berlebih dapat
menyebabkan hiperurisemia namun ketika asam urat disimpan di dalam
persendian akan menyebabkan peradangan dan penyakit gout (Astuti, 2011).

B. Kerangka Pikir
Hiperurisemia adalah peningkatan kadar asam urat serum di atas nilai
normal, dan bisa menimbulkan penyakit gout (Johnstone, 2005). Sedangkan asam
urat merupakan senyawa alkaloid turunan purin (xantin). Peningkatan asam urat
dipengaruhi oleh beberapa faktor makanan yang kaya purin (banyak mengandung
protein), obesitas, alkohol serta Penurunan ekskresi asam urat yang disebabkan
oleh insufusiensi ginjal, diabetes, hipertensi, toksik pada kehamilan, penggunaan
obat-obatan (Kelley, 1997).
Makanan yang mengadun banyak purin akan disintesa oleh ensim xantin
oksidase. Enzim xantin oksidase mengkatalisis berturut-turut hipoxantin menjadi

xantin kemudian asam urat melalui reaksi oksidasi. Pada reaksi tersebut dihasilkan
pula radikal superoksida yang bereaksi dengan air membentuk asam peroksida
(Cao, 2010). Xantin oksidase mampu diinhibisi oleh senyawa flavonoid sehingga
pembentukan asam urat dapat dikendalikan dalam serum darah. Flavonoid
merupakan grup senyawa alami dengan ragam struktur fenolat.
Berdasarkan hasil analisis fitokimia dan antiplasmodial ekstrak bambu
kuning (Bambusa vulgaris Schrad) menunjukkan adanya alkaloid, triterpenoids,
flavonoid dan senyawa lactonic, senyawa ini memiliki aktifitas obat yang efektif
(Ogu et al, 2012).
Pemberian pakan hati ayam (tinggi purin) dapat meningkatkan kadar asam
urat pada tubuh mencit, sehingga dapat menyebabkan mencit mengalami
hiperurisemia. Adanya kandungan flavonoid dari ekstrak daun bambu kuning
yang mampu menghambat kerja enzim xantin oksidase untuk menghasilkan asam
urat untuk lebih jelas dapat dilihat pada gambar 2.5.

menyebabkan

Pakan hati ayam


(tinggi purin)

Ekstrak Etanol
Daun bambu

Enzim Xantin
oksidase

menurunkan

menghambat

Flavonoid

Asam urat

Hiperurisemia
menyebabkan

Gambar 2.5. Bagan Kerangka Pikir

C. Hipotesis
Berdasarkan kerangka pikir diatas, maka hipotesis dalam penelitian ini
adalah pemberian ekstrak etanol daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad)
berpengaruh terhadap kadar asam urat mencit (Mus musculus) yang mengalami
hiperurisemia.

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Waktu Dan Tempat Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober 2015 November 2015 di
Laboratorium Biologi FMIPA UNM dan Green House Jurusan Biologi untuk
pemeliharaan hewan uji.

B. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimen untuk mengetahui
evektifitas pemberian ekstrak etanol daun bambu kuning (Bambusa vulgaris
Schrad) terhadap kadar asam urat mencit (Mus musculus) yang mengalami
hiperurisemia. Menggunakan Rancangan Penelitian Acak Lengkap (RAL) dengan
pola satu faktor yaitu pemberian ekstrak etanol daun bambu kuning dengan dosis
yang berbeda.

C. Variabel Penelitian

Variabel dari penelitian ini terdiri atas dua yaitu variabel bebas dan
variabel terikat. Variabel bebas dari penelitian ini adalah ekstrak etanol daun
bambu kuning karena merupakan variabel yang diubah konsentrasinya dan kadar
asam urat mencit sebagai variabel terikat karena variabel yang sebagai ukuran
untuk mengetahui efektivita ekstrak etanol daun bambu kuning.

D. Definisi Operasional Variabel

Ekstrak etanol daun bambu kuning dalam penelitian ini merupakan


ekstrak yang diperoleh dari daun bambu yang menggunakan pelarut etanol
sehingga senyawa obat yang terdapat dalam daun bambu bisa didapat. Bambu
kuning merupakan salah satu tanaman yang digunakan sebagai obat tradisional
untuk mengobati penyakit yang berasal dari kelas Gramineae. Kadar asam urat
dalam penelitian ini diartikan sebagai tolak ukur yang dipengaruhi oleh senyawa
yang terkandung dalam ekstrak etanol daun bambu kuning.

E. Prosedur Penelitian
1. Alat dan Bahan
a. Alat
Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah oven, alat pengukur
asam urat (NESCO), strip asam urat, gelas kimia (Pyrex) 250 ml dan 1000 ml,
labu Erlenmeyer (Pyrex), neraca analitik, neraca Ohaus, gelas ukur (Pyrex),
batang pengaduk, gunting, rang kawat, uji, corong, corong buhner, blender, spoit,
plat tetes, pipet tetes, oven, , batan pengaduk, dan kandang pemeliharaan hewan
uji.
b. Bahan
Daun bambu kuning (Bambusa vulgaris Schrad), etanol 96%, mencit (Mus
musculus) galur ICR jantan berumur 3 buulan berat badan 20-30 gram, hati
ayam, pakan mencit AD II, alkohol 70%, kertas saring wathmen 41, kloroform,

HCl 2 M, NaCl, reagen Dragendorff, reagen Wagner, reagen Mayer, amonia 25%,
CMC Na 0,5%, HCL 37%, NaCl 10%, FeCl3, gelatin, dan tissu.

2. Sterilisasi Alat
Untuk sterilisasi alat digunakan oven. Hal ini bertujuan agar alat-alat yang
digunakan bebas dari mikroorganisme.

3. Prosedur Kerja
a. Pembuatan Serbuk Daun Bambu Kuning (Bambusa vulgaris Schrad)
Daun bambu kuning sebanyak 2000g dicuci, dikeringanginkan sampai
kering Setelah kering, diblender menjadi serbuk. Daun bambu kuning yang
diambil adalah helai daun bambu ketiga dari pucuk (daun tua).

b. Ekstraksi Sampel
Serbuk daun bambu kuning sebanyak 500 gram direndam dengan 1500 ml
etanol 96% selama 24 jam pada suhu kamar, perendaman diulangi sampai tiga
kali. Etanol digunakan sebagai pelarut dalam penelitian ini karena etanol mampu
melarutkan senyawa polar serta tidak bersifat racun terhadap hewan uji (Yanda,
2013).

Hasil

rendaman atau maserat disaring menggunakan kertas saring

kemudian dipekatkan dengan rotary vacuum evaporator hingga diperoleh ekstrak


kental (Kristiani dkk, 2013; Kusuma dkk, 2014; Suratiningsih dkk, 2013).

c. Uji Fitokimia
Prosedur uji fitokimia merujuk pada Mustarichie (2011). Uji
fitokimia yang dilakukan meliputi uji alkaloid, flavonoid, saponin, tanin,
dan polifenol. Kontrol positif pada uji fitokimia adalah ekstrak teh hijau.

1) Alkaloid
Sebanyak 0,5 g ekstrak kental daun bambu kuning dilarutkan dalam 5
mL kloroform. Larutan ekstrak ditambahkan 5 mL HCl 2 M dan 0,5 g NaCl.
Campuran diaduk dan disaring. Filtrat yang diperoleh ditambah 3 tetes HCl 2
M kemudian dipisah menjadi 4 bagian. Bagian pertama sebagai blanko,
bagian kedua ditambah reagen Wagner, bagian ketiga ditambah reagen
Dragendorff, dan bagian keempat ditambah reagen Mayer. Untuk uji
penegasan, bagian pertama ditambah amonia 25% hingga mencapai pH 8-9.
Kemudian ditambahkan 3 tetes kloroform 3.selanjutnya diuapkan di atas
penangas. Filtrat ditambahkan 2 mL HCl 2 M kemudian diaduk dan disaring.
Filtrat dibagi menjadi 4 bagian seperti prosedur sebelumnya. Terbentuknya
endapan menunjukkan alkaloid.

2) Flavonoid
Sebanyak 0,1 g ekstrak kental daun bambu kuning dilarutkan dalam 3
mL etanol 96%. Larutan diambil 1 mL dan ditambahkan 10 tetes HCl 37%
kemudian dipanaskan selama 10 menit. Hasil positif ditunjukkan oleh
perubahan warna menjadi kuning, jingga, atau merah.

4) Saponin
Sebanyak 0,1 g ekstrak kental daun bambu kuning dilarutkan dalam 5
mL akuades panas kemudian dikocok selama 10 detik. Hasil positif
ditunjukkan oleh terbentuknya buih atau busa yang stabil selama 10 menit.

5) Tanin dan Polifenol


Sebanyak 0,1 g ekstrak kental daun bambu kuning dilarutkan dalam 10
mL akuades panas kemudian didinginkan. Selanjutnya larutan ditambah 5
tetes NaCl 10% dan disaring. Filtrat yang diperoleh dibagi menjadi tiga
bagian. Filtrat pertama sebagai blanko, filtrat kedua ditambah 3 tetes FeCl3,
dan filtrat ketiga ditambah 5 tetes gelatin. Hasil positif polifenol ditunjukkan
oleh adanya perubahan warna menjadi hitam kehijauan. Sedangkan hasil
positif tanin ditunjukkan oleh adanya endapan putih.

d. Pembuatan pakan asam urat (tinggi purin)


Pakan asam urat yang digunakan yaitu tepung hati ayam yang dicampur
dengan pakan standar AD II. Cara pembuatannya yaitu hati ayam dikukus selama
45 menit dengan api sedang. Selanjutnya dihancurkan dan ditabur pada
aluminium foil. Dioven pada suhu 40C - 45C selama 4 jam hingga kering.
Setelah kering hati ayam dihaluskan menggunakan blender sehingga diperoleh
tepung hati ayam. Pakan tinggi purin dibuat dengan cara mencampurkan sebanyak
50 gram pakan standar dan 50 gram pakan tinggi purin (tepung hati ayam)
(Lelyana, 2008).

e. Pemeliharaan hewan uji


Hewan uji (mencit) diadaptasikan selama 1 minggu dengan pemberian
pakan standar AD II dan air minum secara ad libitum.

f. Perlakuan
Sebanyak 25 ekor mencit jantan Strain ICR (Imprinting Control Region)
umur 3 bulan dengan berat badan 18-30 g, dibagi atas 5 perlakuan dengan
ulangan sebanyak 5. Perlakuannya adalah sebagai berikut:
1) Kelompok kontrol negatif (Kontrol Hiperurisemia) yaitu kelompok mencit
yang diberi pakan tinggi purin selama 14 hari. Pada hari ke 8 sampai hari ke
14 diberi CMC Na 0,5%.
2) Kelompok kontrol positif (Kontrol Obat) yaitu kelompok mencit yang
diberi pakan tinggi purin selama 14 hari. Pada hari ke 8 sampai hari ke 14
diberi alopurinol 10 mg/kg BB.
3) Kelompok perlakuan I, yaitu kelompok mencit yang diberi pakan tinggi
purin selama 14 hari. Pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberikan ekstrak
daun bambu kuning dengan dosis 125 mg/kg BB sebanyak 1ml.
4) Kelompok perlakuan II, yaitu kelompok mencit yang diberi pakan tinggi
purin selama 14 hari. Pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberikan ekstrak
daun bambu kuning dengan dosis 250 mg/kg BB sebanyak 1ml.
5)

Kelompok perlakuan III, yaitu kelompok mencit yang diberi pakan tinggi
puring selama 14 hari. Pada hari ke 8 sampai hari ke 14 diberikan ekstrak
daun bambu kunin dengan dosis 500 mg/kg BB sebanyak 1ml.

Pemberian dosis pada hewan uji merujuk pada penelitian sebelumnya


dengan menggunakan tanaman yang berbeda yaitu jintan hitam (Kusuma dkk,
2014). Adapun perhitungan dosis yang akan diberikan pada hewan uji sebagai
berikut :
BE=

BB
100 Kg

x DS

Keterangan :
BE = Berat Ekstrak (g)
BB = Berat Badan (g)
DS = Dosis yang akan diberikan (g/Kg)
g. Pengambilan Data
Pengukuran kadar asam urat dilakukan pada hari ke 0 sebagai data awal atau
kadar asam urat normal mencit, hari ke 7 setelah perlakuan pemberian pakan
tinggi purin sebagai data hiperurisemia, dan hari ke 14 sebagai data pengaruh
ekstrak daun bambu kuning terhadap hiperurisemia (Gambar 3.1). Pengukuran
meneteskan darah yang berasal dari vena ekor mencit pada test strip, tunggu
beberapa detik sampai darah merata pada zona reaksi dengan otomatis. Dalam 6
detik, kadar asam urat dalam darah mencit akan tampil pada layar alat pengukur
asam urat Nesco.

Gambar 3.1 Diagram alur perlakuan hewan percobaan

h. Analisis Data
Analisis data menggunakan uji F pada taraf kritis 5 % dan 1% dengan tabel
data penelitian sebagai berikut :
Ulangan (U)

Perlakua
n
A

Jumla
h

Rerat
a

Y..

Y..

Yij

B
C
D
E
Jumlah

FK =

Y ..2
txn

Yi

JKT = Yi j 2FK
JKP=

Yi 2
FK
n

JKG=JKT JKP

Sumber

Derajat

Jumlah

Kuadrat

keragama
n

Bebas

Kuadrat

Tengah

perlakuan

t-1 = V1

JKP

JKP / V1

Galat

t(n-1) = V2

JKG

JKG /V2

Total

DBP+DBG

JKT

Keterangan :
* = nyata (F hitung > F 5%)
* * = sangat nyata (F hitung > F 1%)

KK =

KTG
X 100
Y ..

Uji Lanjut
Uji Duncat KK minimal 10%
Uji BNT KK 5% - 10%
Uji BNJ KK maksimal 5%

F Hitung

F Tabel
5% 1%

KTP /
KTG

F(V1,V2)

DAFTAR PUSTAKA
Akbar, Budhi. 2010. Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang
Berpotensi Sebagai Bahan Antifertilitas. Jakarta: Adabia Press UIN.
Arinasa, Ida Bagus Ketut. 2005. Keanekaragaman dan Penggunaan Jenis-Jenis
Bambu di Desa Tigawasa Bali. Biodiversitas, 6(1), 17-21.
Astuti, Dewi. 2011. Efek Anthiperurisemia Kombinasi Ekstrak Air Kelopak
Rosella (Hibiscus sabdariffa L) dan akar Tanaman Akar Kucing
(Acalypha indica L) pada Tikus Putih Jantan yang Diinduksi Kalium
Oksonat. Depok : FMIPA UI.
Cao, H., Pauff, J.M. & Hille, R. 2010. Substrate Orientation and Catalytic
Specifity in the Action of Xanthine Oxidase. Journal of Biological
Chemistry, 285(36): 28044-28053.
Cos, P., Ying, L., Jia P.H., Cimanga, K., Poel, B.V., Pleters, L., Vlietink, A.J. &
Berghe, D.V. 1998. Structure-Activity Relationship and Classification of
Flavonoids as Inhibitors of Xanthin Oxidase and Superoxide Scavengers.
Journal Nat-Prod, (Online), 61(1): 71-76.
Dalimartha S. 2006. Resep Tumbuhan Obat Untuk Asam Urat. Bogor: Penebar
Swadaya.
Feig, D. I. (2012). The role of uric acid in the pathogenesis of hypertension in the
young. The Journal of Clinical Hypertension, 14(6), 346-352.
Hardiningsih, Riani & Novik Nurhidayat. 2006. Pengaruh Pemberian Pakan
Hiperkolesterolemia terhadap Bobot Badan Tikus Putih Wistar yang Diberi
Bakteri Asam Laktat. Biodiversitas, 7(2), 127-130. Pusat Penelitian
Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia LIPI.
Hidayat R. 2007. Kinetika inhibisi flavonoid dalam sidaguri (Sida rhombifolia L.)
terhadap aktivitas enzim xantin oksidase [tesis]. Bogor: Institut Pertanian
Bogor.
Hidayat, R., 2009, Gout dan Hiperurisemia, Medicinus, Vol. 22, No.1.
Hsieh JF et al. 2007. The screening and characterization of 6-aminopurinebased
Xanthine oxidase inhibitors. Bioorganic & Medicinal Chemistry 15: 3450
3456

Johnson RJ, Kang DH, Feig D, Kivlighn S, Kannelis J, Watanabe S, Tuttle KR.
2003. Is there a pathogenetic role for uric acid in hypertension and
cardiovascular and renal disease? Hypertension, 41, 1183-90.
Johnstone A. 2005. Gout; The Disease and Non-drug Treatment. Hospital
Pharmacist. 12:391393.
Kelley W.N, Wortman R.L. (1997). Gout and Hyperuricemia.In Textbook of
Rheumatology, Fifth Edition, Editor WN Kelley, S Ruddy, ED Harris, CB
Sledge, Philadelphia : WB Saunder Comp: 1314-1350.
Kristiani, R.D., Rahayu, D. dan Subarnas, A. 2013. Aktivitas Antihiperurisemia
Ekstrak Etanol Akar Pakis Tangkur (Polypodium feei) pada Mencit Jantan.
Bionatura-Jurnal Ilmu-ilmu Hayati dan Fisik, 15(3), 174 177.
Kusuma,U.D.P, Siti Muslichah, dan Evi Umayah Ulfa. 2014. Uji Aktivitas Anti
Hiperurisemia Ekstrak n-Heksana, Etil Asetat, dan Etanol 70% Biji Jinten
Hitam (Nigella sativa) terhadap Mencit Hiperurisemia. e-Jurnal Pustaka
Kesehatan, 2(1),115-118.
Lelyana, Rosa. 2008. Pengaruh Kopi Terhadap Kadar Asam Urat Darah.
Magister Ilmu Bio Medik Universitas Diponegoro. Semarang. Tesis tidak
diterbitkan.
Mansjoer et al. 2004.Reumatologi. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga jilid 1
Cetk. Keempat. Media Aesculapius FK UI, Jakarta. 542546.
Millar TM, Kanczler JM, Bodamyali T, Blanke DR & Stevens CR. 2002.
Xanthine oxidase is a peroxynintrite synthase: Newly identified roles for a
very old enzyme. Redox Report 7:65-70.
Nurcahyanti, W. & R. Munawaroh. 2007. Efek Daun Salam terhadap Kadar Asam
Urat pada Mencit Terinduksi Oxonate dan Profil Kromatografi Lapis
Tipisnya, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Ramdani TH. 2003. Isolasi dan identifikasi senyawa bioaktif seledri (Apium
graveolens) dalam menghambat aktivitas xantin oksidase [Skripsi]. Bogor.
Institut Pertanian Bogor.
Rinaudo C, Boistelle R. 1982. Theoretical and experimental growth morphologies
of sodium urate crystals. J. Cryst. Growth, 57, 432-442.
Senja, Rima Y. 2014. Perbandingan Metode Ekstraksi dan Variasi Pelarut
Terhadap Rendemen dan Aktivitas Antioksida Ekstrak Kubis Ungu

(Brassica oleracea L, var. capitata f.rubra). Traditional Medicine Journal,


19(1).
Simanjuntak, Megawati. 2008. Ekstraksi dan Fraksinasi Komponen Ekstrak Daun
Tumbuhan Senduduk (Melastoma malabathricum.L) Serta Pengujian Efek
Sediaan Krim Terhadap Penyembuhan Luka Bakar. Skripsi Fakultas
Farmasi Universitas Sumatera Utara. Medan.
Sujarwo, W., I.B.K. Arinasa, dan I N. Peneng. 2010. Potensi Rebung Bambu
Ampel Gading (Bambusa vulgaris Schrad. Ex wendl. Varsticta) sebagai
Bahan Baku Obat Liver di Bali. Prosiding Seminar Nasional
Pengembangan Teknologi Berbasis Bahan Baku Lokal. BPPTK LIPI.
Yogyakarta. hlm. 877-881.
Sujarwo, Wawan, Ida Bagus Ketut Arinasa dan I Nyoman Peneng. 2010.
Inventarisasi Jenis-Jenis Bambu yang Berpotensi Sebagai Obat Di
Kabupaten Karangasem Bali. Buletin Kebun Raya, 13(1),28-38.
Sujarwo, Wawan, Ida Bagus Ketut Arinasa dan I Nyoman Peneng. 2010. Potensi
Bambu Tali (Gigantochloa apus J.A. & J.H. Schult.Kurz) Sebagai Obat di
Bali. Bul.Littro, 21(2), 129-137.
Sukandar, E.Y., Andrajati,R., Sigit, J.I.,Adnyana, I.K., Setiadi, A.P., dan
Kusnandar. (2008). ISO Farmakoterapi. Jakarta: PT. ISFI.
Sunkureddi, P., T. U. Nguyen-Oghalai, and B. M. Karnath. 2006. Clinical signs of
gout. Hospital Physician 39-42, 47.
Suratiningsih, Sri, Sri Rahayu dan F. M. Suhartati. Suplementasi Ekstrak Etanol
Daun Bambu Petung (Dendrocalamus asper) Pengaruhnya Terhadap
Konsentrasi N-NH3 dan VFA Total Secara In Vitro. Jurnal Ilmiah
Peternakan, 1(2), 590 596.
Vazquez-Mellado, E., A. Hernandez, and R. Burgos-Vargas. 2004. Primary
prevention in rheumatology: the importance of hyperuricemia. Best Practice
& Research Clinical Rheumatology 18: 111-124.
Waha, M.G. 2002. Sehat Dengan Mengkudu. Jakarta : Ren Media.
Waring WS, Webb DJ, Maxwell SRJ. 2000.
cardiovascular disease. Q J Med, 93, 707-13.

Uric acid as a factor for

Widjaja, E.A., I.P. Astuti, I.B.K. Arinasa, I.W. Sumantera. 2005. Identifikasi
Bambu di Bali. Pusat penelitian Biologi-LIPI, Cibinong.

Widjaya, E.A,. 2001. Identikit Jenis-jenis Bambu di Kepulauan Sunda Kecil.


Puslitbang Biologi. LIPI. Bogor.
Wisesa, I. B. N. dan K. Suastika. 2009. Hubungan antara konsentrasi asam urat
serum dengan resistensi insulin pada penduduk suku Bali asli di Dusun
Tenganan Pegeringsingan Karangasem. J Peny Dalam 10: 110-121.
Yanda, Muha Miko Imarta, Hazli Nurdin, dan Adlis Santoni. 2013. Isolasi dan
Karakterisasi Senyawa Fenolik dan Uji Antioksida dari Ekstrak Daun
Bambu (Dendrocalamus asper). Jurnal Kimia Unand, 2(2), 51-55.
Yani, Ariefa Primair. 2012. Keanekaragaman dan Populasi Bambu di Desa Pauh
Bengkulu Tengah. Jurnal Exacta, l0(1), 61-70.
Yu, A.S.L., dan Barry, M.B. (2008). Tubulo Interstitial Diseases of The Kidney.
Dalam: Harrisons Principles of Internal Medicine. Editor: Fauci, A.S., et al.
Edisi 17. Volume 2. United States of America: Mc Graw-Hill Companies,
Inc. Hal. 1807.
Yulianto, D. 2009. Inhibisi Xantin Oksidase Secara In Vitro oleh Ekstrak Rosela
(Hibiscus sabdariffa) dan Ciplukan (Physalis angulata). Skripsi tidak
diterbitkan. Bogor: FMIPA IPB.
Zhang Y, Wu X.Q. and Yu Z.Y., 2002, Activity of the leaves of bamboo,
Phyllostachys nigra, and Ginkgo biloba, China Journal of Chinese Meteria
Medica 27 (4): 254257.

Anda mungkin juga menyukai