Anda di halaman 1dari 5

BAB IV

ANALISIS KASUS
Tn. APR, laki-laki, 35 tahun, datang ke poliklinik jiwa RSJ Daerah Jambi
dengan keluhan utama sesak nafas dan dada berdebar tiba-tiba. Pasien ditemani
oleh istrinya Ny. PI, wanita, 37 tahun yang membawa pasien berobat karena
pasien selalu mengeluh dada berdebar walaupun sudah sering berobat.
Pemeriksaan dan pasien berhadapan dengan posisi pasien duduk di kursi.
Wawancara dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jambi.
8 bulan yang lalu, pasien mulai merasa khawatir yang berlebihan, dan
mudah cemas. Perasaan cemas dirasakan secara tiba-tiba dan tanpa sebab yang
jelas, pasien sering nyeri perut, dan keringat dingin.
6 bulan yang lalu, perasaan khawatir dan cemas yang tiba-tiba dirasakan
makin berat, nafas pasien menjadi sesak, nyeri dada, jantung berdebar cepat, nyeri
perut hebat, sering kesemutan, dan keringat berlebih. Serangan seperti itu, sudah
pasien alami 3-4 kali dalam sebulan dan bersifat hilang timbul dan muncul secara
tiba-tiba. Lama kelamaan pasien mulai berpikir akan menderita penyakit jantung
yang berat, sehingga cemasnya mulai sering datang. Os makan dan minum seperti
biasa. Nafsu makan os baik. Os mandi, BAB dan BAK seperti biasa. Os sudah
lama tidak bekerja karena keadaan sakitnya.
1 bulan yang lalu pasien mulai takut untuk keluar rumah sendiri, ia
selalu minta istrinya menemaninya pergi. Pasien tidak mau menghadiri, acara
pernikahan atau hajatan yang diselenggarakan tetangga maupun saudaranya, ia
khawatir bila keluhannya kambuh dan pingsan dikeramaian. Pasien sekarang takut
untuk pergi bekerja. Pasien merasa terganggu dengan keluhannya tersebut, pasien
sadar bahwa kekhawatirannya berlebihan, namun sulit untuk menghilangkannya.
Dari riwayat premorbid tidak ditemukan adanya perubahan perilaku, os
masih bersosialisasi. Dari autoanamnesis diperoleh yakni kesadaran os kompos
mentis, perhatian os baik, ekspresi fasial echt, verbalisasi jelas, dan kontak mata
ada, daya ingat baik, orientasi tempat, waktu, dan orang baik, diskriminatif insight
baik, tidak ada rasa dendam, dan perhatian yang adekuat.
Pada status internus dan status neurologikus semua dalam batas normal.
41

42

Pada status psikiatrikus pada keadaan umum didapatkan kesadaran


kompos mentis, perhatian adekuat, sikap kooperatif, inisiatif ada, tingkah laku
motorik normoaktif, ekspresi fasial wajar, verbalisasi jelas, cara bicara lancar, ada
kontak fisik, mata, dan verbal. Pada keadaan khusus ditemukan afek hipotimik,
hidup emosi labil, pengendalian terkendali, adekuat, echt, skala diferensiasi
normal, einfuhlung bisa dirabarasakan, arus emosi normal. Keadaan dan fungsi
intelek semua dalam batas normal. Tidak ditemukan kelainan sensasi dan persepsi.
Keadaan proses berpikir dalam batas normal. Pada isi pikiran terdapat gangguan
cemas, bentuk pikiran dalam batas normal, RTA tidak terganggu.
Berdasarkan uraian di atas pasien didiagnosis multiaksial dengan Axis I:
gangguan panic dengan agarophobia. Hal ini didasarkan atas keluhan pasien yang
selalu mengeluhkan sesak nafas dan jantung berdebar-debar ketika pergi ketempat
ramai seperti kondangan, dan selalu meminta ditemani istrinya ketika keluar
rumah telah diobati. Hal ini tidak sesuai dengan karakteristik pasien dengan
gangguan hipokondrik, yaitu adanya keluhan-keluhan yang mengarah ke satu
organ.
Pada kasus ini pasien sudah berobat ke dokter, dilakukan pemeriksaan
laboratorium, rontgen, dan rekam jantung dan hasilnya menunjukkan tidak ada
masalah pada tubuh pasien. Pasien juga telah beberapa kali diopname di rumah
sakit tetapi dokter selalu menyatakan bahwa pasien tidak memiliki penyakit
setelah diperiksa dan dirawat. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa
pasien sering berkunjung ke berbagai pemeriksaan meski hasil pemeriksaan
pasien tersebut normal namun pasien masih berkeyakinan bahwa penyakitnya
masih akan timbul pada saat pergi keluar rumah. Hal ini sesuai dengan gangguan
panic dengan agoraphobia.
Berdasarkan wawancara dan paparan tersebut, pasien telah memenuhi
kriteria diagnosis agorafobia dari PPDGJ-III yaitu:1,3,4
1. gejala psikologis atau pun otonomik yang timbul harus merupkan
manifestasi primer dari anxietas dan bukan merupakan sekunder dari
adanya gejala lain seperti waham atau pikiran obsesif

43

2. anxietas yang timbul harus terbatas pada (terutama terjadi dalam)


sekurangnya dua dari situasi berikut :banyak orang , tempat-tempat umum,
bepergian keluar rumah, dan bepergian sendiri ; dan
3. menghindari situasi fobik harus atau sudah merupakan gambaran yang
menonjol.
. Dari wawancara tersebut, kecenderungan isi pikiran obsesi sudah ada dan
diikuti oleh tindakan kompulsi namun belum terdapat bukti bahwa gangguan ini
merupakan sumber penderitaan, tidak adanya kesenangan/kepuasan setelah
meminum obat, dan lain sebagainya. Keluhan tersebut timbul berdasarkan pikiran
yang semata-mata timbul karena gangguan hipokondrik tersebut. Oleh karena itu,
diagnosis gangguan obsesif kompulsif belum dapat ditegakkan karena tidak
terdapatnya keterangan lain yang mendukung pedoman diagnosis tersebut. Hal
tersebut sekaligus dapat menyingkirkan gangguan obsesif kompulsif sebagai
diagnosis banding.
Pada aksis II, didiagnosis sebagai Z.03.2 Tidak Ada Diagnosis Aksis II.
Hal ini berdasarkan tidak adanya gangguan pada riwayat premorbid dan pasien
dapat bersosialisai dengan baik.
Pada aksis III belum ada diagnosis. Berdasarkan Salim, Axis III meliputi
diagnosis-diagnosis klinis pasien yang berkaitan dengan gangguan pada sistem
organ. Pada kasus ini dikatakan belum ada diagnosis karena pasien tidak terbukti
mengalami gangguan sistem organ. Hal ini dilihat dari kebiasaan pasien yang
sering melakukan pemeriksaan fisik dan laboratorium yang berulang-ulang,
namun secara klinis tidak ditemukan gangguan pada sistem organ. Jadi, dapat
dikatakan bahwa pasien tidak memiliki diagnosis untuk penyakit klinis tertentu.
Aksis IV stresor yang di alami yaitu maslah psikososial, pasien
menyatakan dia sering timbul cemas bila melihat anaknya, ia takut nanti anaknya
tidak dapat hidup dan melanjutkan sekolahnya karena keterbatasan biaya yang ia
hasilkan. Sehingga pasien kerap berpikir bahwa ketidak lanjutan anaknya untuk
ersekolah dikarenakan dirinya yang tidak dapat menafkahi keluarganya sendiri.

Aksis IV merupakan berbagai keadaan yang dapat menjadi faktor penyebab


seseorang mengalami gangguan kejiwaan. Keadaan-keadaan tersebut misalnya

44

masalah pada keluarga, lingkungan sosial, pendidikan, pekerjaan, perumahan,


ekonomi, akses ke pelayanan kesehatan, interaksi dengan hukum/kriminal, dan
psikososial atau lingkungan lain. Pada kasus ini, pasien memiliki masalah yang
menyebakan pasien mengalami keadaan tersebut.
Aksis V GAF Scale 70-61. Skala 70-61 menunjukkan keadaan dengan
beberapa gejala ringan dan menetap, disabilitas ringan dalam fungsi, atau secara
umum masih baik. Pada kasus ini pasien tergolong ke dalam GAF 70-61 karena
berdasarkan teori, gejala pada pasien dapat digolongkan ringan, selain itu gejala
pada pasien sudah berlangsung dan menetap selama 6 bulan. Secara fungsional
pasien digolongkan mengalami disabilitas fungsi dengan derajat ringan karena
secara umum pasien masih mampu melakukan kegiatan seperti makan sendiri,
bekerja, dan berinteraksi sosial setidaknya keluarga. Meski pasien masih sering
merasa cemas akan keluhan penyakitnya, pasien masih mampu menjalankan
aktivitasnya dengan baik.
Terapi yang dilakukan pada pasien ini adalah dengan psikoterapi dan
farmakoterapi Alprazolam tab 1 mg 2x1. Pada prinsipnya penanganan pasien
dengan gangguan psikiatri dapat diatasi dengan psikoterapi. Psikoterapi pada
gangguan agarofobia meliputi pengelolaan rasa cemas dengan dukungan sosial
dan interaksi sosial dari anggota keluarga terdekat yang bertujuan untuk
mengurangi rasa cemas dan dilakukan konseling untuk menjelaskan pada pasien
tentang penyakitnya. Farmakoterapi dilakukan bila gejala yang dialami pasien
mengarah ke gangguan cemas atau depresi, sehingga prinsip pengobatannya
menggunakan obat-obatan yang ditujukan untuk mengurangi rasa cemas atau
depresi . Pada pengobatan gangguan agarofobia dapat diberikan obat anti cemas
seperti

alprazolam.

Alprazolam

merupakan

obat

anticemas

golongan

Benzodiazepine yang digunakan untuk mengatasi sindrom cemas yang meliputi


(1) adanya perasaan cemas atau khawatir yang tidak realistis terhadap dua atau
lebih hal yang dipersepsi sebagai ancaman yang menyebabkan seseorang tidak
mampu istirahat dengan tenang; (2) terdapat paling sedikit 6 dari gejalagejala
yang termasuk ketegangan motorik, hiperaktivitas otonomik, kewaspadaan
berlebihan dan penangkapan berkurang; (3) hendaya dalam fungsi kehidupan

45

sehari-hari, yang ditandai dengan penurunan kemampuan bekerja, hubungan


sosial, dan melakukan kegiatan rutin. Obat anticemas golongan Benzodiazepine
tersebut bekerja dengan cara bereaksi dengan reseptor Benzodiazepine sehingga
dapat meningkatkan mekanisme penghambatan dari neuron GABA-ergik yang
kemudian dapat mengurangi hiperaktivitas dari sistem limbik sistem saraf pusat.
Berdasarkan pertimbangan tersebut maka obat yang digunakan pada pasien dalam
kasus ini adalah obat anticemas khususnya dari golongan Benzodiazepine. Yang
terpenting adalah dukungan dari keluarga dan orang sekitar yang harus mendapat
penjelasan sehingga mengerti tentang penyakit pasien untuk menciptakan
dukungan sosial dalam lingkungan yang kondusif sehingga membantu proses
penyembuhan.

Anda mungkin juga menyukai