Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Layanan konsultasi berbeda dengan layanan konseling, meskipun kedua layanan ini
mempunyai unsur kesamaan seperti sama-sama memerlukan kondisi yang kondusif. Model
hubungan pada layanan konsultasi lebih bersifat segitiga yaitu konselor, orang ketiga dan
konseli (triadic model). Sedangkan model konseling adalah hubungan yang bersifat
komunikasi dua arah yaitu konselor dengan konseli (dyadic model).
KONSULTASI VS KONSELING
KONSULTASI
Konsultasi lebih banyak berhubungan dengan
KONSELING
Konseling adalah suatu bantuan yang
kelompok.
optimal.
c.Konfrontasi, yaitu dirancang untuk membantu konseli agar menguji nilai yang ada
dalam anggapannya.
d.
e.Teori-teori dua prinsip, yaitu konsultan memberikan teori kepada konseli agar mereka
meninjau situasi yang menjadi sebab-akibat hubungan dan mengadakan diagnosis
serta perencanaan situasi yang ideal.
The
Plan
(mengimplementasikan
rencana).
Intervensi
tampak suatu penekanan untuk melihat klien sebagai pribadi yang memiliki kehormatan,
martabat, harga diri, dan keunikan. Ciri- ciri kepribadian mendasar dalam diri seseorang ini,
harus dikenali agar kita dapat masuk dalam relasi atau kerjasama dengannya( klien ) guna
memberikan pertolongan padanya. Dalam A Helping Hand, klien atau orang yang
mempunyai kebutuhan digambarkan sebagai pribadi yang memiliki kehormatan, keunikan,
pribadi yang unik, dan bertanggung jawab.
BAB III
GANGGUAN KEPRIBADIAN ( ABNORMAL )
3.1. Pengertian Abnormal
Menurut Kartini Kartono (2000: 25), psikologi abnormal adalah salah satu cabang
psikologi yang menyelidiki segala bentuk gangguan mental dan abnormalitas jiwa.
Singgih Dirgagunarsa (1999: 140) mendefinisikan psikologi abnormal atau
psikopatologi sebagai lapangan psikologi yang
functioning.
Definisi psikologi abnormal juga dapat dijumpai di
(2009). Pada kamus online tersebut dinyatakan :
Merriem-Webster OnLine
psychology concerned with mental and emotional disorders (as neuroses, psychoses, and
mental retardation) and with certain incompletely understood normal phenomena (as dreams
and hypnosis).
3.2. Bentuk- Bentuk Kepribadian Abnormal
Berikut ini merupakan bentuk- bentuk dari kepribadian abnormal yang sering kita
jumpai pada kehidupan sosial.
1. Neurosis
J.P. Chaplin (1972), menjelaskan bahwa neurosis adalah: a benign mental disorder
characterized by a) incomplete in sight into the nature of the difficulty, b) conflict, c)
anxiety reactions, d) partial impairment of personality, e) offen, but not necessarily, the
presence of phobias, digestive disturbances, and obsessive- compulsive behavior
Pola- pola gangguan neurosis anatara lain:
a. Gangguan Kecemasam
Seringkali orang yang mengatakan bahwa mereka cemas adalah sebuah rasa
ketakutan, dan sebaliknya orang yang ketakutan menganggap bahwa mereka cemas.
Dalam artian kecemasan adalah ketakutan yang tidak nyata, suatu perasaan terancam
sebagai tanggapan terhadap sesuatu yang sebernanya tidak mengancam. Sedangkan
ketakutan adalah sesuatu yang memang nyata akan sesuatu yang benar- bnar
menakutkan.
b. Gangguan Fobia
James Drever ( 1988 ) mengartikan fobia sebagai ketakutan pada suatu objek atau
keadaan yang tidak dapat dikendalikan, yang biasanya disertai dengan rasa sakit yang
perlu diobati.
Contoh- contoh dari fobia:
1. Akrofobia, takut berada ketinggian.
2. Agoraphobia, takut berada di tempat yang terbuka.
3. Klaustrofobia, takut berada di tempat yang tertutup.
4. Hematofobia, takut melihat darah.
5. Monophobia, takut berada sendirian di tempat yang terbuka.
6. Niktofobia, takut pada kegelapan.
7. Pirofobia, takut melihat api.
8. Zoophobia, takut melihat binatang tertentu.
c. Gangguan Kompulsif- Obsesif
Suatu gangguan yang membuat penderita berulang- ulang memikirkan pemikiran
yang mengganggu atau merasa terpaksa berulang- ulang melakukan beberapa
tindakan yang tidak penting, dorongan kompulsif, atau keduanya.
2. Gangguan Psikosis
Gangguan ini merupakan suatau gejala terjadinya denial of major aspects of reality
denagn gejala dan pola- pola sebagai berikut ( Soedjono, 1983: 97 ):
a. Reaksi Schizophernic, yang menyangkut proses emosional dan intelektual. Gejalanya
adalah sama sekali tidak mengacuhkan apa yang terjadi di sekitarnya atau peran
pribadi yang berbelah dua.
b. Reaksi Paranoid, seseorang yang selalu dibayang- bayangi oleh sesuatu hal yang
dianggap mengancam hidupnya.
c. Reaksi Afektif dan Involutional, seseorang yang merasakan depresi yang sangat kuat.
3. Bunuh Diri
Kelompok yang berisiko tinggi untuk melakukan percobaan bunuh diri adalah
mahasiswa, penderita depresi, para lansia, pecandu alcohol, orang- orang yang berpisah
atau bercerai dengan pasangan hidupnya, orang- orang yang hidup sebatang kara, kaum
pendatang, para penghuni daerah kumuh dan miskin, kelompok professional tertentu,
seperti dokter, pengacara, dan psikolog.
Pada umumnya, kasus bunuh diri dilakukan karena stress yang ditimbulkan oleh berbagai
sebab, antara lain :
a. Depresi. Ada indikasi bahwa sebagian besar yang berhasil melakukan bunuh diri
karena dilanda depresi pada saat tindakan tersebut dilakukan.
b. Krisis dalam Hubungan Interpersonal. Konflik dan pemutusan hubungan, seperti
konflik dalam perkawinan, perpisahan, perceraian, kehilangan orang- orang terkasih
akibat kematian dapat menimbulkan sters berat yang mendorong dilakukannya
tindakan bunuh diri.
c. Kegagalan dan Devaluasi Diri. Merasa kalau ia telah gagal dalam melakukan sesuatu
hal yang penting, biasanya menyangkut pekerjaan dan bisa menyebabkan devaluasi
diri untuk melakukan tindakan bunuh diri.
d. Konflik Batin. Stres ini bersumber dari konflik batin atau pertentangan di dalam
pikiran orang yang bersangkutan.
e. Kehilangan Makna dan Harapan Hidup. Perasaaan yang semacam ini timbul pada
orang- orang yang mengalami penyakit kronik atau penyakit terminal.
BAB IV
KONSULTASI ATAU KONSELING DAN TERAPI PENYEMBUHAN
TERHADAP KLIEN GANGGUAN KEPRIBADIAN
Klien yang akan dihadapi seorang konsultan, psikiater, psikolog, atau perawat sekalipun
pasti memiliki segudang persoalan yang menyangkut diri mereka. Baik masalah itu mengganggu
mereka secara fisik, kognitif, maupun sikap ataupun mental. Pada bab ini kami sebagai
kelompok penyaji akan berusaha membahas bagaimana bentuk konsultasi ataupun konseling
pada klien yang mengalami gangguan kepribadian abnormal. Dalam melakukan konsultasi atau
konseling, seorang ahli yang professional melakukan serangkaian metode- metode assesment
dalam psikologis klinis untuk memberikan data atau informasi yang lengkap apa yang menjadi
masalah klien dan sangat menganggu kehidupan baik secara fisik ataupun mental.
4.1. Assesment Dalam Psikologi Klinis
Assessment dalam psikologis adalah pengumpulan informasi untuk digunakan
sebagai dasar bagi keputusan yang akan disampaikan oleh penilai ( Bernstein & Nietzel,
1980, hlm. 99 ). Personality Assesment ialah seperangkat proses yang digunakan oleh
seseorang untuk membentuk citra, membuat keputusan, mengecek hipotesis tentang pola
karakteristik orang lain, yang menentukan perilakunya dalam interaksi dengan lingkungan
( Sundberg, dalam Phares, 1992 ).
Berikut ini adalah metode- metode assessment yang akan mempermudah dalam
melakukan konsultasi serta mengumpulkan data atau riwayat pasien.
4.1.1. Wawancara Klinis
Wawancara klinis adalah sarana atau suatu bentuk layanan yang paling banyak
digunakan. Wawancara ini biasanya merupakan kontak tatap muka pertama antara klien
dengan klinisi ( psikiater ). Awalnya klinisi selalu meminta kepada klien untuk
mengutarakan atau menyampaikan, serta menguraikan keluhan dengan kata- kata mereka
sendiri. Contoh pertanyaan, Dapakah Anda menceritakan kepada saya permasalahan yang
Anda hadapi belakangan ini ? ( terapis atau psikiater, berusaha untuk tidak menanyakan,
apa yang membawa Anda kesini? untuk menghindari jawaban, mobil, bus, atau
pekerja sosial saya.) lalu pertanyaan mulai mendalam seputar, aspek- aspek keluhan
seperti abnormalitas perilaku dan perasaan tidak nyaman, peristiwa di sekitar munculnya
masalah, riwayat peristiwa lampau, dan bagaimana masalah tersebut mempengaruhi
kehidupan fungsional klien sehari- hari.
Apa gunanya seorang klien menguraikan masalahnya dengan kata- kata sendiri? Agar
klinisi tahu dan memahami masalah klien dari sudut pandang mereka sendiri bukan
teori.
Format proses wawancara lainnya meliputi topik sebagai berikut:
1. Data Identifikasi, informasi mengenai karakteristik sosio - demografi klien: alamat dan
nomor telefon, status perkawinan, umur, jenis kelamin, karakteristik ras/ etnik, agama,
pekerjaan, susunan keluarga dan seterusnya.
2. Deskripsi Permasalahan yang Ada, bagaimana klien mempresepsikan masalah? Perilaku,
perasaan, atau pikiran yang mengganggu? Bagaimana hal tersebut mempengaruhi klien?
Kapan hal itu dimulai?
3. Riwayat Psikososial, informasi tentang riwayat perkembangan klien: bidang pendidikan,
sosial, dan riwayat pekerjaan; hubungan keluarga pada masa kanak- kanak.
4. Riwayat Medis/ Psikiater Serta Hopitalisasi: apakah permasalahan saat ini adalah suatu
episod terulang dari masalah sebelumnya? Bagaimana ditangani pada masa lalu? Apakah
pengobatan berhasil? Mengapa ya, mengapa tidak?
5. Problem- Problem Medis atau Pengobatan, deskripsi tentang problem medis yang ada
sekarang, termasuk obat- obatnya. Klinisi waspada tentang kemungkinan pengaruh
masalah medis terhadap masalah psikologis sekarang. Contoh, obat untuk kondisi medis
tertentu dapat mempengaruhi mood dan level umum dari keterangsangan seseorang.
Bentuk- Bentuk Wawancara
Dalam melakukan konsultasi ataupun konseling kebanyakan menggunakan sistem
wawancara. Wawancara ini pula memiliki bentuk- bentuk yang berbeda pula. Adapun
bentuk- bentuk tersebut adalah sebagai berikut :
1. Wawancara Tidak Terstruktur ( Unstructured Interview ). Klinisi mengadopsi gaya
bertanya sendiri, tidak mengikuti bentuk standar.
2. Wawancara Semi- Terstruktur ( Semi- Structured Interview ). Mengikuti bentuk standar
yang menjadi garis besar untuk mengumpulkan data atau informasi, tetapi bebas untuk
bertanya dengan cara sendiri dan urutan pertanyaan apa saja dan pindah ke arah lain
dalam rangka mengikuti informasi secara klinis.
3. Wawancara Terstruktur ( Structured Interview ). Wawancara yang mengikuti serangkaian
prtanyaan yang di tetapkan lebih dulu dengan urutan tertentu.
4.1.2. Pemberian Tes dalam Pemeriksaan
Untuk pemeriksaan klinis sebaiknya klien diberikan tes khusus sesuai dengan
masalah klien. Tes ini digunakan sebagai alat bantu utama untuk dapat lebih mengerti
keadaan klien selain wawancara klinis yang dilakukan. Tes baru bisa terlaksana jika sudah
ada kontak atau sudah ada hubungan baik yang terjalin antara klien dan klinisi ( psikolog
atau psikiater ), lalu cukup adanya informasi yang terkumpul dari anamnesis, dan adanya
ketersediaan klien untuk dites.
Tes intelegensi adalah tes yang diberikan untuk mengetahui kecerdasan klien saat
sekarang untuk membandingkan dengan keadaan sebelum sakit. Misal tes Weschler
Bellevue ( WB ) dapat dihitung deterioration rate untuk melihat ada tidaknya kemunduran
intelegensi. Tapi ada juga tes memori yang perlu dilakukan pada klien yang sering
mempunyai keluhan lupa, sukar konsentrasi, sakit kepala, dan lain- lain, dengan tujuan
untuk melihat kestabilan perhatian, ketelitian, dan ketepatan kerja.
Tes proyeksi adalah tes yang penting sekali untuk dilakukan pemeriksaan klinis
dengan tujuan mengungkapkan hal- hal yang kurang atau tidak disadari. tes ini
menggunsksn sistem scoring yang berasal dari tes Rorschach sehingga dapat diperoleh
gambaran struktur kepribadian. Pada tes proyeksi ini dapat juga menggunakan tes
proyeksi Thematic Apperception Test yang dapat mengungkapkan gambaran hubungan
antara klien dengan orang- orang dalam lingkungan sosisal, konflik, fantasi, dan lain- lain.
Tes grafis merupakan tes yang sangat digemari oleh psikolog di Indonesia karena
tidak perlu menggunakn sistem skoringkuantitatif, lalu waktunya relatif singkat dan
kebanyakan menggunakan analisis kuantitatif. Kelemahan dari tes ini adalah psikolog
sering terkecoh dengan keindahan gambar atau keterampilan menggambar klien tanpa
memperhatikan segi segi formal gambar seperti: ukuran gambar, jenis garis yang
digunakan, tekanan garis, penempatan gambar, dan sebagainya. Segi formal gambar
digunakan sebagai dasar interpretasi yang belum atau tidak banyak dipengaruhi
keterampilan menggambar. Sehingga data wawancara atau anamnesis sering kali dapat
membantu. Jika isi tes proyeksi agak unik, amaka interpretasi dilakukan atas dasar contant
analysis, yang biasanya dilakukan dengan pendekatan fenomenologis.
4.2. Terapi Terapi Penanganan Klien Abnormal
Terapi atau psikoterapi dapat digunakan dalam menangani pasien yang mengalami
gangguan kepribadian abnormal. Karena psikoterapi adalah suatu interaksi sistematis antara
klien dengan terapis yang menyertakan prinsip-prinsip psikologis untuk melakukan
perubahan pada perilaku, pikiran, dan perasaan klien, dengan tujuan untuk membantu klien
mengatasi perilaku abnormal, memecahkan masalah dalam kehidupan, atau perkembangan
sebagai individu.
Ciri-ciri psikoterapi adalah sebagai berikut :
1.
2.
3.
4.
Metode utama yang digunakan Freud untuk mencapai tujuan ini adalah analisis
bebas, analisis mimpi, dan analisis hubungan transference.
1. Analisis Bebas
Analisis bebas merupakan proses pengungkapan tanpa sensor dari pikiran-pikiran
terlebih dahulu setelah pikiran masuk kebenak kita. Analisis bebas dipercaya secara
bertahap akan menghancurkan pertahanan yang menghambat kesadaran tentang
proses bawah sadar. Klien diminta untuk tidak menyaring atau menyensor pikiran,
tetapi membiarkan pikiran mereka mengembara secara bebas. Psikoanalisis tidak
meyakini bahwa proses analisis bebas benar-benar bebas. Meski analisis bebas
dimulai dengan pembicaraan ringan, kompuls untuk mengungkapkan akhirnya
mengarahkan klien untuk menyinkap materi yang lebih berarti.
2. Analisis Mimpi
Selama tidur, pertahanan ego melemah dan impuls yang tidak dapat diterima
menemukan ekspresinya dalam mimpi. Karena pertahanan tidak seluruhnya
dihapuskan, impuls mengambil bentuk yang disamarkan atau disimbolisasikan.
Meskipun mimpi memiliki arti psikologis, seperti yang diyakini oleh Freud, masih
belum ada acara independen untuk menentukan arti dari mimpi.
3. Transference
Proses analisis dan penanganan hubungan transference dianggap komponen penting
dalam psikoanaliss. Freud percaya bahwa hubungan transference memberikan alat
untuk menghidupkan kembali konflik - konflik dengan orang tua pada masa kanakkanak. Freud menyebut proses ini sebagai neurosis transference. Neurosis ini harus
dianalisis dan ditangani dengan berhasil agar klien dapat berhasil dalam psikoanalisis.
memperluas self-insight klien. Bentuk utama dari terapi humanistik adalah terapi
terpusat pada individu yang dikembangkan oleh psikolog Carl Rogers.
Terapi Terpusat Individu
Terapi terpusat individu bersifat tidak mengarahkan. Klien yang memimpin dan
mengarahkan jalannya terapi. Terapi menggunakan refleksi, pengulangan atau perumusan
kembali dari perasaan-perasaan yang diekspresikan klien tanpa memberi penilaian. Cara
ini mendorong klien untuk mengeksplorasi lebih jauh perasaannya dan berhubungan
dengan perasaan yang lebih dalam dan bagian dari diri yang tidak diakui karena kritikal
sosial.
Rogers menekankan pentingnya menciptakan hubungan terapeutik yang hangat
yang akan mendorong klien melakukan self-exploration dan self-expsression. Terapi yang
efektif seharusnya memiliki empat kualitas dasar, yaitu : penerimaan positif tanpa syarat,
empati, ketulusan, dan kongruen.
D. Terapi Kognitif
Terapi kognitif berfokus untuk membantu klien mengidentifikasi dan
memperbaiki keyakinan maladaptif, jenis berpikir otomatis dan sikap self-defeating yang
menghasilkan atau menambah masalah emosional. Mereka percaya bahwa emosi-emosi
negatif seperti kecemasan dan depresi disebabkan oleh interpretasi kita terhadap hal-hal
yang mengganggu, bukan pada peristiwa itu sendiri.
Terapi Perilaku Rasional-Emotif
Albert Ellis percaya bahwa adapsi dari keyakinan irasional dan self-defeating akan
meningkatkan masalah psikologis dan perasaan negatif. Ellis mengenali bahwa keyakinan
irasional dapat terbentuk berdasarkan pengalaman masa kecil. Untuk mengubahnya perlu
ditemukan alternatif yang rasional untuk saat ini. Terapi perilaku rasional-emotif juga
membantu klien untuk mengganti perilaku menyerang diri sendiri atau maladaptif dengan
perilaku interpersonal yang lebih efektif. Ellis sering memberikan tugas-tugas atau
pekerjaan rumah bagi klien. Ia membantu mereka untuk berlatih atau mempraktikkan
perilaku adaptif.