Final LM Report Bahasa Indonesia PDF
Final LM Report Bahasa Indonesia PDF
Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) mempunyai komitmen terhadap tegaknya prinsip migrasi
secara manusiawi dan tertib yang mendatangkan kesejahteraan bagi komunitas migran dan masyarakat luas.
Sebagai badan antar-pemerintah, IOM bekerja sama dengan masyarakat internasional dalam membantu
menjawab tantangan-tantangan operasional migrasi, memajukan pemahaman tentang isu-isu migrasi;
mendorong kemajuan pembangunan sosial dan ekonomi melalui migrasi; dan berupaya menciptakan
penghormatan yang efektif terhadap martabat kemanusiaan dan kesejahteraan komunitas migran.
Publikasi ini diterbitkan atas dukungan finansial dari the United State Department of States Bureau for
Population, Refugees and Migration (PRM).
Opini-opini yang terdapat di dalam laporan ini merupakan pendapat dari para kontributor dan tidak
mewakili pendapat IOM.
Hak cipta dilindungi. Tidak diperkenankan untuk menerbitkan ulang bagian apapun dari publikasi ini,
menyimpan atau memindahkannya dalam segala macam bentuk atau cara, secara elektronik, mekanis,
penyalinan, atau pencatatan ulang, tanpa ijin tertulis terlebih dahulu dari penerbitnya.
Organisasi Internasional untuk Migrasi
Misi di Indonesia
Gedung Sampoerna Strategic Square, Tower Utara Lantai 12A
Jl. Jend. Sudirman Kav. 45-46
Jakarta 12930
Indonesia
DAFTAR ISI
UCAPAN TERIMA KASIH
vii
KATA PENGANTAR
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
xi
PENDAHULUAN
Tujuan
Istilah
Metodologi
Struktur Laporan
Konsultasi Tingkat Menteri Tentang Kerja di Luar Negeri dan Tenaga Kerja Kontrak
bagi Negara Pengirim dan Negara Tujuan di Asia (Dialog Abu Dhabi)
Tantangan Migrasi
Migrasi Ilegal
Perdagangan Orang
9
9
11
11
12
12
12
13
13
13
14
14
iii
15
15
15
39
16
41
16
42
Migrasi Ilegal
16
44
17
44
Perdagangan Orang
17
Perdagangan Orang
45
19
39
39
45
20
Sektor Perkebunan
45
21
45
Akses terhadap Pelayanan Keuangan (Pinjaman, Tabungan dan Pilihan Pengiriman Uang)
21
45
22
46
22
47
23
47
24
49
24
25
25
51
26
51
Dokumen TKI
26
52
Perekrutan TKI
27
53
27
56
Biaya Penempatan
30
31
32
Singapura
51
56
57
57
32
33
34
34
Emigrasi Kembali
35
61
36
62
37
62
38
64
iv
57
57
Kuwait
61
66
66
67
67
68
Pemerintah Kuwait
68
68
Bahrain
69
69
70
70
71
72
74
Pemerintah Bahrain
74
74
Laporan ini merupakan hasil penelitian bersama yang dilakukan oleh tim peneliti dari Organisasi Internasional
untuk Migrasi (IOM) dan Stine Laursen. Pada tahap persiapan penyusunan, laporan ini juga telah dikonsultasikan
dengan para anggota delegasi Pemerintah Indonesia yang melakukan kunjungan studi dan Kelompok Kerja serta
berbagai pihak terkait, baik dalam kunjungan studi maupun pertemuan konsultasi.
IOM Indonesia mengucapkan terima kasih atas dukungan dan pastisipasi dari kementerian-kementerian dan
badan-badan Pemerintah Indonesia dalam proyek ini: Kementerian Koordinasi Bidang Ekonomi, Kementerian
Koordinasi Bidang Kesejahteraan Rakyat, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak,
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Kementerian Luar Negeri, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Sosial, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas), Badan Nasional Perencanaan Penempatan
dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Ucapan terimakasih ini juga ditujukan kepada organisasi sebagai berikut: the Institute of Ecosocs Rights, Migrant Care Indonesia , Migrant Care Malaysia, the Task Force on ASEAN
Migrant Workers, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (APJATI), Indonesian Employment Agencies
Association (IDEA) dan Konsorsium Asuransi Tenaga Kerja Indonesia.
IOM Indonesia juga mengucapkan terima kasih kepada pemerintah yang disebut berikut ini atas dukungan dan
bantuan mereka dalam mewujudkan kunjungan studi ke Malaysia, Singapura, Kuwait, Bahrain: Kementerian
Sumber Daya Manusia Pemerintah Malaysia, Kementerian Tenaga Kerja Pemerintah Singapura, Kementerian
Luar Negeri Pemerintah Kuwait, Kementerian Bidang Sosial dan Tenaga kerja dan Kementerian Dalam Negeri
Pemerintah Kuwait; Kementerian Luar Negeri Kerajaan Bahrain, Kementerian Bidang Sosial, Kementerian Dalam
Negeri dan Badan Pengaturan Pasar Tenaga Kerja (LMRA); Kedutaan RI di Malaysia, Singapura dan Kuwait, serta
Kantor Konsulat Indonesia di Bahrain.
Akhirnya IOM Indonesia juga berterima kasih atas dukungan finansial yang diberikan oleh the United State
Department of States Bureau for Population, Refugees and Migration (PRM) untuk melakukan studi ini.
74
vi
77
79
79
80
81
82
84
85
86
87
88
89
DAFTAR PUSTAKA
91
vii
KATA PENGANTAR
Migrasi tenaga kerja merupakan sebuah proses transnasional dan tanggung jawab untuk mengatasi masalah yang
berkaitan dengan hal ini tidak dapat dilakukan oleh negara pengirim maupun penerima sendiri-sendiri. Kerjasama
antar negara dalam menangani migrasi tenaga kerja sangatlah penting pada tingkat bilateral, regional dan
multilateral. Negara Republik Indonesia adalah negara yang menduduki ranking ke-empat di tingkat kepadatan
penduduk di dunia dan merupakan sumber besar bagi ratusan ribu tenaga kerja yang mencari pekerjaan di
Malaysia, Singapura dan Timur Tengah. Pengiriman Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke luar negeri biasanya melibatkan
para perempuan yang mencari pekerjaan di sektor non formal. Migrasi tenaga kerja perempuan untuk pembantu
rumah tangga (sektor domestik) telah meningkat secara drastis sejak krisis keuangan Asia pada tahun 1997 dan
jumlah angkatan kerja terus meningkat. Pembantu rumah tangga secara umum tidak terlindungi oleh UU tenaga
kerja sehingga menyebabkan mereka menjadi sangat mudah untuk dieksploitasi besar-besaran, dalam bentuk
kekerasan fisik dan psikologis, termasuk penganiayaan, pelecehan, intimidasi dan berbagai bentuk eksploitasi di
setiap tahap proses migrasi.
Malaysia, Singapura dan negara-negara tujuan di Timur Tengah menginginkan dan membutuhkan tenaga kerja
yang berketerampilan rendah atau bersedia mengambil pekerjaan yang tidak memerlukan keterampilan dimana
warga negara mereka sendiri tidak bersedia bekerja karena kecilnya upah yang berlaku. Peningkatan permintaan
tenaga kerja dari berbagai negara tujuan berdampak terhadap meningkatnya migrasi ilegal. Ini dapat dilihat
dengan jumlah perkiraan tenaga kerja yang tidak berdokumentasi lebih besar daripada jumlah TKI yang tercatat.
Migrasi tenaga kerja internasional merupakan faktor pendorong pembangunan ekonomi Indonesia dan juga
sumber daya manusia. Meskipun pengiriman TKI ke luar negeri telah memberikan kontribusi yang sangat besar
terhadap perkembangan ekonomi Indonesia, ditambah dengan pengiriman uang yang terhitung lebih dari 6 milyar
dolar per tahun, namun perlindungan hukum bagi TKI saat ini masih sangat minim. Hal ini menyebabkan TKI yang
bekerja di luar negeri rentan mengalami kekerasan, tereksploitasi perkerjaan, pelecehan seksual, perdagangan
orang dan segala macam bentuk penyalahgunaan kekuasaan di tiap-tiap tahap perjalanan migrasi.
Dengan senang hati saya mempersembahkan laporan akhir dari proyek IOM Indonesia Mengembangkan Dialog
dan Pertukaran Informasi tentang Migrasi Tenaga Kerja antara Indonesia dan Malaysia, Singapura dan Timur
Tengah. Oleh karena Indonesia berusaha mencari dukungan yang lebih baik bagi TKI yang bekerja di luar negeri,
maka IOM Indonesia memberikan dukungan dengan meningkatkan kegiatan migrasi tenaga kerja di negaranegara tujuan yang biasanya didatangi oleh para TKI. Proyek yang didanai oleh the United State Department of
States Bureau for Population, Refugees and Migration (PRM), dilakukan untuk mendukung kegiatan-kegiatan
IOM Indonesia dalam membuat kesinambungan antara Pemerintah Republik Indonesia dengan negara-negara
tujuan, untuk mengkaji kebijakan-kebijakan saat ini serta pelaksanaannya dalam upaya menyusun rencana aksi
yang lebih baik menghadapi tantangan-tantangan yang ada. Laporan ini merupakan hasil dari proses kolaborasi
lintas sektor yang luas dari para pemangku kepentingan yang telah memberikan kontribusi terhadap laporan ini.
IOM mengucapkan terima kasih kepada Pemerintah Republik Indonesia atas dukungan dan partisipasinya dalam
proyek ini. Selain itu, IOM juga ingin mengucapkan terima kasih kepada the Institute for ECOSOC Rights, Migrant
Care Indonesia, Migrant Care Malaysia, the Task Force on ASEAN Migrant Workers, Asosiasi Perusahaan Jasa Tenaga
Kerja Indonesia (APJATI), Indonesian Employment Agencies Association (IDEA) dan Konsorsium Asuransi Tenaga
Kerja Indonesia atas dukungan mereka dalam proyek ini.
Akhir kata, IOM berharap bahwa laporan ini bisa mendukung upaya Pemerintah Republik Indonesia dalam
menanggulangi masalah ketenagakerjaan yang terjadi dan menghadapi tantangan-tantangan migrasi tenaga
kerja di masa depan, memberikan kontribusi dalam meningkatkan kapasitas pengelolaan migrasi tenaga kerja
di Indonesia, dan memperkuat kerja sama antara Indonesia dan negara-negara tujuan utama di Asia dan Timur
Tengah, seperti Malaysia, Singapura, Bahrain dan Kuwait. Laporan ini juga diharapkan dapat memberikan
kontribusi terhadap diskusi yang lebih luas, kerja sama dan penyusunan rencana kerja yang berorientasikan
terhadap tindakan yang bisa digunakan oleh pemangku kepentingan utama dalam meningkatkan pengelolaan
migrasi tenaga kerja.
Denis Nihill
Kepala Misi
IOM Indonesia
ix
RINGKASAN EKSEKUTIF
Studi ini dilakukan untuk melengkapi literatur tentang migrasi TKI yang fokus pada evaluasi sistem hukum yang
mengatur proses perekrutan TKI yang akan bekerja di luar negeri. Studi ini menitikberatkan pada UU No. 39/2004
mengenai Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, sebagai satu-satunya perundang-undangan
yang mengatur perekrutan, penempatan, sekaligus perlindungan tenaga kerja. Studi ini dilakukan dengan
menggunakan metode penelitian sekunder dengan masukan tambahan dari dua pertemuan konsultasi yang
dihadiri oleh Pemerintah Republik Indonesia. Kunjungan studi juga dilakukan oleh IOM bersama delegasi yang
dipimpin oleh Pemerintah Republik Indonesia ke empat negara tujuan utama TKI: Singapura, Malaysia, Kuwait dan
Bahrain. Selama kunjungan studi ini, banyak informasi yang terkumpul pada saat pertemuan dengan perwakilan
pemerintah dari negara tujuan, Organisasi Masyarakat Madani (CSO), dan TKI, perwakilan dari kantor Kedutaan
dan Konsulat Indonesia, para akademisi, agen perekrutan dan kunjungan-kunjungan ke penampungan tenaga
kerja di luar negeri yang bermasalah selama bekerja di luar negeri.
Menurut Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, di tahun 2006 ada 2,7 juta penduduk Indonesia yang bekerja
di luar negeri secara resmi, yang menempati kira-kira 2,8 persen dari keseluruhan angkatan kerja di Indonesia.
Sebagian besar dari TKI yang di luar negeri adalah perempuan yang bekerja di sektor rumah tangga (sebagai
pembantu rumah tangga) atau jasa pelayanan. Mereka terpusat di Asia Tenggara, Asia Timur dan Timur Tengah,
khususnya di Malaysia, Singapura, Hong Kong SAR (Daerah Administrasi khusus), Provinsi Taiwan-Cina, Arab Saudi,
Kuwait, Emirat Arab.
Bagian pertama dari laporan ini menganalisa kerangka kerja perundang-undangan yang ada dalam mengatur
migrasi tenaga kerja dan proses migrasi dari Indonesia. Studi ini menemukan beberapa isu yang berkaitan dengan
UU No. 39/2004 beserta pelaksanaan dan penegakkan hukumnya. Jalan keluar yang ada menciptakan peluang
penyalahgunaan semua tahap proses migrasi. Perumusan UU memberikan ruang untuk penafsiran dan meskipun
cukup banyak Peraturan Menteri, Keputusan Presiden, dan Instruksi Presiden yang dikeluarkan untuk menjelaskan
dan mengklarifiksi bagaimana UU tersebut dilaksanakan, tetapi masih tetap tidak cukup untuk menyediakan
perlindungan yang efektif bagi TKI yang bekerja di luar negeri.
Salah satu masalah yang diidentifikasi di dalam laporan ini adalah kurangnya kerja sama antara badan-badan
pemerintah di mana dalam pelaksanaan UU No. 39/2004. UU ini tidak secara jelas menyatakan tanggung jawab
masing-masing badan pemerintah di tiap tahapan migrasi, kebingungan dan perebutan kewenangan hukum
yang terjadi, khususnya antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan badan yang baru saja dibentuk
Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Peraturan telah dibentuk dalam
upaya membuat bagian hukum dan kewenangan masing-masing dua badan pemerintah tersebut. Akan tetapi,
sampai saat ini peraturan ini belum memberikan hasil seperti yang diharapkan.
UU No. 39/2004 juga membatasi keterlibatan pemerintah dalam memberikan perlindungan bagi TKI yang bekerja
di luar negeri. Sebaliknya sistem dibuat bergantung pada lembaga perekrutan swasta dalam menyediakan
layanan penting yang dibutuhkan TKI saat hendak bekerja ke luar negeri. Lembaga-lembaga perekrutan swasta
ini sekarang bertanggung jawab merekrut TKI, menyediakan pelatihan yang dibutuhkan selama bekerja di luar
negeri, pelatihan bahasa, mendapatkan dokumentasi dan pekerjaan yang sesuai di luar negeri. Oleh karena
kebanyakan lembaga yang memberikan pelayanan ini berada di Jakarta, makaTKI yang mau bekerja ke luar negeri
harus pergi dan tinggal di Jakarta sehingga menambah biaya bermigrasi ke luar negeri.
Di bawah UU No. 39/2004, wewenang untuk melaksanakan dan mengawasi penempatan dan perlindungan TKI
yang bekerja di luar negeri dipusatkan di tingkat nasional. Pemerintah di tingkat kabupaten dan provinsi tidak
diminta untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut, kinerja dari lembaga perekrutan di kabupaten atau jumlah TKI
yang mau bekerja ke luar negeri dan yang meninggalkan daerah mereka. Kendala utama di tahap perekrutan di
Indonesia adalah para calon TKI kurang mendapatkan informasi tentang migrasi yang aman, dokumen perjalanan
yang diperlukan dan kondisi bekerja di luar negeri.
xi
Selain itu, proses perekrutan dan khususnya proses pendokumentasian saat ini sangatlah rumit dan berbelit-belit.
Hal ini bisa dipermudah dengan memberikan kesempatan kepada para calon TKI untuk mengambil tanggung
jawab dalam mempersiapkan dokumentasi mereka sendiri. Masih banyak lembaga perekrutan yang tidak
mematuhi peraturan. Ini menunjukkan bahwa pemerintah perlu mengambil peran lebih aktif dalam mengatur
industri ini, juga dalam mengawasi dan memastikan peraturan tersebut dijalankan.
Masalah yang lain yang diidentifikasi oleh laporan ini adalah mahalnya biaya perekrutan. TKI yang mau bekerja
ke Hong Kong misalnya, harus membayar sekitar 15 juta rupiah (US$ 1,600)1 untuk biaya perekrutan, termasuk
jumlah yang cukup besar kalau dilihat gaji mereka perbulan yang sebesar HKD 3,580 (USD 460).2 Bagi tenaga
kerja, satu-satunya cara untuk menutupi biaya ini adalah dengan mengambil pinjaman baik dari agen perekrutan
atau dari para rentenir di desa dengan bunga yang sangat tinggi.
Reformasi terakhir pelayanan repatriasi meningkatkan pelayanan pemulangan TKI. Terminal IV Bandara Soekarno
Hatta di Jakarta dikelola oleh BNP2TKI dan menyediakan beberapa jasa pemulangan TKI. Ada pelayanan dokter
jaga selama 24 jam dan bagian khusus yang diberikan untuk menyediakan bantuan dalam klaim asuransi. Namun,
pelayanan tertentu masih bisa diperbaiki; khususnya akses ke transportasi yang murah dari terminal ke tempat
tujuan lain di Indonesia. Masalah lain, kebebasan gerak bagi TKI yang menggunakan terminal IV. Pada saat TKI tiba
melalui Jakarta, mereka diharuskan menggunakan terminal ini. TKI juga dipaksa untuk kembali ke alamat yang
tertera dalam paspor mereka. Hal ini agak merepotkan khususnya bagi TKI yang keluarganya sudah pindah alamat
pada saat mereka masih bekerja di luar negeri, atau TKI yang mau pulang menuju ke tempat yang berbeda untuk
mengunjungi anggota keluarga yang lain atau teman.
Secara keseluruhan, reformasi perlu dilakukan untuk membantu TKI yang bekerja di luar negeri. Prioritas utama,
meningkatkan tingkat pengetahuan para TKI tentang migrasi yang aman dan hak-hak asasi dan bekerja TKI, sambil
memastikan semua TKI di luar negeri sebaiknya dilindungi oleh pemerintah daripada oleh agen perekrutan yang
hanya melihat kepentingan atau keuntungan sendiri. Untuk jangka panjang, Pemerintah Republik Indonesia juga
perlu mempertimbangkan peningkatan keterampilan para TKI, sehingga suplai TKI bisa bervariasi. Perlindungan
bagi TKI biasanya akan lebih baik bila tingkat keterampilan mereka ditingkatkan sehingga mereka bisa ditempatkan
di bidang pekerjaan dengan bayaran yang lebih baik, dan kemungkinan besar memiliki peluang lebih besar untuk
belajar keterampilan yang berguna di luar negeri. Mereka juga akan mampu mengirim uang lebih banyak ke
keluarganya, dan bisa membantu mengurangi kemiskinan di Indonesia.
Migrasi tenaga kerja mempunyai potensi positif dalam pembangunan angkatan tenaga kerja Indonesia. Namun
masih ada kebutuhan yang sangat mendesak untuk memberikan keseimbangan antara manfaat ekonomi dari
migrasi tenaga kerja internasional dan memastikan adanya perlindungan tenaga kerja yang efektif.
Laporan ini juga menemukan bahwa masih banyak TKI yang membutuhkan layanan atau bantuan dari pemerintah
setelah mereka kembali. Khususnya, mereka yang membutuhkan bantuan dalam menangani kasus klaim asuransi,
pelatihan dan bantuan pengelolaan usaha. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI berusaha
keras untuk melatih beberapa TKI yang kembali untuk menjadi pengusaha, namun keberhasilan program ini
sangat terbatas karena minimnya sumber daya. Idealnya diupayakan lebih banyak sumber daya untuk membantu
TKI mengelola penghasilan mereka dan memastikan bahwa ada cukup banyak peluang kerja dan usaha bagi
mereka yang kembali dari luar negeri. Banyaknya klaim asuransi dari TKI yang pulang berarti banyak klaim yang
tidak pernah diproses, namun ada lumayan banyak kasus yang terpecahkan. Kemungkinan lain ada banyak kasus
yang tidak dilaporkan karena TKI tidak tahu kemana mencari bantuan. Secara keseluruhan, upaya-upaya harus
dilakukan untuk meningkatkan kesadaran para TKI tentang hak-hak tenaga kerja, hak-hak asasi dan juga jalur
hukum yang terbuka bagi mereka dalam kasus pelanggaran hak.
Bagian kedua dari laporan ini menjelaskan kondisi dan pengalaman TKI yang bekerja di luar negeri. Meskipun
hasil survei menunjukan keragaman kondisi dan pengalaman TKI antara 4 negara tujuan, namun ditemukan juga
beberapa kesamaan.
Kementerian Luar Negeri telah mengambil langkah penting dalam meningkatkan perlindungan bagi TKI yang
bekerja di luar negeri. Agen perekrutan sekarang diminta untuk mendaftarkan semua TKI yang tiba di luar negeri
di kantor KBRI atau KJRI di negara tujuan. KBRI atau KJRI akan memegang salinan kontrak kerja para TKI dan
mencatat alamat perusahaan yang mempekerjakan mereka, sehingga lebih mudah untuk mengetahui dimana
lokasi mereka kalau ada laporan tentang eksploitasi atau siksaan. Namun, banyak agen perekrutan gagal dalam
mendaftarkan para TKI ini di kantor KBRI atau KJRI setiba mereka di negara tujuan tersebut, sehingga menyulitkan
KBRI atau KJRI untuk menyediakan pelayanan dan perlindungan bagi TKI di negara tujuan.
Setidaknya sebagian dari masalah yang dihadapi pada tahap perekrutan di Indonesia turut menjadi penyebab
ketidakberdayaan TKI saat tiba di negara tujuan sehingga rentan dieksploitasi dan mengalami kekerasan. Terdapat
dua kategori masalah yang sering dialami TKI di negara tujuan, yakni masalah ketenagakerjaan yang umum
terjadi (misalnya: gaji di bawah jumlah yang disetujui atau tidak dibayarkan, paspor dan dokumentasi lainnya
ditahan oleh si majikan, jam kerja berlebihan, waktu istirahat yang tidak cukup atau bahkan tidak ada sama sekali,
kondisi kerja yang tidak manusiawi, terbatasnya akses kepada informasi dan komunikasi, tidak cukup makanan)
dan masalah yang berkaitan dengan kekerasan (misalnya pelecehan seksual, pemerkosaan, penganiayaan dan
pembunuhan).
1
2
xii
xiii
AKAD
AKAN
BNP2TKI
Colombo Process
CSO
EFMA
EOP
FAST
FMMD
FOMEMA
GCC
GCC
G-to-G
H.O.M.E
ILO
Kafeel system
KBRI
KHRS
KJRI
KTKLN
LMRA
MoU
MWC
NTUC
NOC
OECD
PDB
PRT
RELA
SAC
Kursus sadar akan keselamatan bagi Pekerja Rumah Tangga (PRT) berwarga
negara asing yang pertama kali bekerja di Singapura
SBMI
SUHAKAM
TKI
TWC2
UNDHR
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Migrasi tenaga kerja internasional telah menarik perhatian kalangan internasional dalam dua dekade terakhir
karena banyaknya negara yang terkena dampak migrasi internasional dan ingin meningkatkan manfaat yang
bisa didapatkan bagi para tenaga kerja sekaligus mengelola arus migrasi tenaga kerja dengan lebih baik. Migrasi
memberikan tantangan bagi negara tujuan karena mereka harus menyeimbangkan kebutuhan domestik dan
pasar tenaga kerja berdasarkan pandangan dan kebutuhan rakyat mereka sendiri, juga hak-hak dan perlindungan
tenaga kerja di luar negeri. Ini adalah aspek-aspek yang perlu dipertimbangkan dalam pembuatan kebijakan
migrasi. Negara pengirim juga harus menyeimbangkan perhatian pemerintah, tenaga kerja dan masyarakat lokal
ketika mengatur pengiriman warganya ke luar negeri. Banyak kekhawatiran yang dirasakan oleh negara-negara
pengirim tenaga kerja berkaitan dengan hak-hak asasi pekerja mereka di luar negeri dan cara terbaik untuk
melindungi mereka.
Bagian ini akan menyiapkan tujuan keseluruhan laporan ini, dan penggunaan istilah yang ada. Diikuti gambaran
konteks internasional secara garis besar di mana Tenaga Kerja Indonesia (TKI) berada. Akhir bagian ini akan
menggambarkan metodologi yang digunakan dalam laporan dan memberikan gambaran besar tentang struktur
bagian lain dari laporan.
TUJUAN
Tujuan laporan ini ada lima; pertama, menganalisis dan mengevaluasi kapasitas Pemerintah Indonesia untuk
menangani migrasi TKI secara efektif. Kedua, menilai dampak dari sistem perundang-undangan saat ini, prosedur
kerja dan struktur organisasi yang mempengaruhi pengelolaan migrasi tenaga kerja di Indonesia. Ketiga,
mengidentifikasi ambiguitas kerangka kerja peraturan saat ini. Keempat, menganalisis kondisi para TKI di empat
negara tujuan migrasi dan kelima, mengidentifikasi mekanisme perlindungan dan peraturan yang membantu
untuk melindungi kepentingan dan hak-hak TKI.
ISTILAH
Migrasi didefinisikan sebagai suatu bentuk perpindahan seseorang atau kelompok orang dari satu unit wilayah
geografis menyeberangi perbatasan politik atau administrasi dengan keinginan untuk tinggal dalam tempo
waktu tak terbatas atau untuk sementara di suatu tempat yang bukan daerah asal.3 Yang termasuk dalam definisi
di sini juga perpindahan pengungsi, orang yang kehilangan tempat tinggal, migran ilegal dan juga migran
ekonomi. Sekarang terdapat sekitar 200 juta orang tinggal di luar negara pengirim atau tempat kelahiran atau
kebangsaannya (IOM, 2008). Di dunia dengan karakter ekonomi, pembangunan politik dan sosial yang tidak
seimbang, serta meningkatnya hubungan global, ada banyak negara yang terkena imbas migrasi. Kesenjangan
ekonomi dan sosial baik skala global maupun regional merupakan pendorong utama migrasi sekarang ini. Selain
faktor ekonomi dan perbedaan gaji yang memainkan peranan penting dalam mendorong laju migrasi, tak dapat
disangkal bahwa faktor lain yang turut memainkan peran adalah demografi negara maju yang cenderung memiliki
populasi yang sudah berumur dan angka fertilitas lebih rendah dibandingkan negara berkembang dengan
angka fertilitas lebih tinggi dan populasi berumur produktif lebih besar. Tren ekonomi dan demografi merupakan
pembangunan jangka panjang, sementara kebijakan bisa berubah dengan cepat. Tren ini turut membentuk pola
migrasi yang terjadi saat ini dan mungkin akan terus seperti ini, dengan demikian kita bisa mengharapkan pola
yang ada akan terus bertahan di masa depan kecuali perpindahan yang tidak bisa ditebak seperti bencana alam
dan perang.
Migrasi tenaga kerja biasanya didefinisikan sebagai perpindahan manusia yang melintasi perbatasan untuk
tujuan mendapatkan pekerjaan di negara asing (IOM, 2009). Melalui cara yang resmi atau tidak resmi, difasilitasi
atau tidak, tenaga kerja memberikan kontribusi ekonomi terhadap negara pengirim maupun tujuan. Tenaga
kerja membantu memperbesar jumlah angkatan kerja di negara tujuan dan dapat membantu pembangunan
di negara mereka sendiri melalui pengiriman uang penghasilan mereka. Bank Dunia di bulan November 2009
melaporkan pemasukan secara resmi ke negara-negara berkembang mencapai US$ 338 milyar pada tahun 2008,
dengan demikian terhitung sebagai bagian signifikan dari semua investasi asing (Bank Dunia, 2009a). Pengiriman
3
Definisi bisa diambil dari wilayah geografis (migrasi), atau dari pandangan manusia (migran/pekerja), dengan definisi ini yang menggunakan perspekt geografis
dari sudut pandang manusia, siapapun yang meninggalkan negaranya dengan tujuan untuk tinggal di tempat lain disebut emigrant atau migr. Di negara
tujuan, mereka disebut imigran, atau seperti digambarkan dalam UU imigrasi yang dibentuk oleh setiap negara; http://www.iom.int/jahia/Jahia/aboutmigration/migration-management-foundations/terminology/migration-typologies
uang yang mengalir ke Asia Tenggara, Asia Selatan dan Pasifik Selatan meningkat dengan tajam pada tahun 2008
walaupun terjadi krisis keuangan global saat itu, namun sekarang terdapat resiko melambannya arus pemasukan
karena reaksi tertunda atas lemahnya ekonomi global (Bank Dunia, 2009a).
Banyak negara di dunia terkena imbas migrasi tenaga kerja, baik sebagai negara pengirim maupun negara tujuan
atau tempat transit, dan beberapa negara mengalami fenomena tersebut secara serempak. Ada tren pencarian
pekerjaan yang semakin meningkat di antara tenaga kerja dari negara-negara Asia seperti Indonesia, India,
Pakistan, Filipina, Sri Lanka, Bangladesh, Kamboja, Republik Lao dan Vietnam untuk mencari kerja di negara Asia
lainnya seperti Jepang, Korea, Malaysia, Singapura, Thailand, Brunei Darusalam, Hong Kong (SAR) dan Provinsi
Taiwan-Cina sebagai negara tujuan utama. Dua dekade yang lalu banyak tenaga kerja dari Asia pergi ke Timur
Tengah untuk mencari pekerjaan. Dari 25 juta tenaga kerja di Asia, kebanyakan bekerja di negara tetangga seperti
yang diperlihatkan di tabel 1 di bawah ini (ILO, 2007).
Tabel 1: Jumlah Perkiraan Tenaga Kerja Menurut Negara Pengirim dan Negara Tujuan
Negara Pengirim
Myanmar
Jumlah
Tenaga
Kerja
Negara Tujuan
1.840.000 Thailand
Tahun
2006
Thailand
2002
Republik Laos
173.000 Thailand
2004
Kamboja
183.541 Thailand
2006
Vietnam
2005
Filipina
2006
Malaysia
1995
Singapura
150.000 -
2002
Indonesia
PRC
Total
2007
2004
14.799.713
Migrasi tenaga kerja di Asia sebagian besar bersifat temporer, dengan kebanyakan pekerja mempunyai kontrak
selama satu atau dua tahun. Selain itu, migrasi tenaga kerja di Asia didominasi oleh pekerja berketerampilan
rendah, umumnya dipekerjakan di proyek bangunan, rumah tangga, pertanian, industri pengolahan dan sektor
jasa. Bagi beberapa pekerja, alasan untuk bekerja ke luar negeri adalah agar mereka bisa mendapatkan gaji
yang lebih besar untuk membantu keluarga mereka dan diri mereka sendiri. Pada saat mereka bekerja di luar
negeri, banyak dari mereka mengirimkan uangnya ke rumah untuk membantu membiayai kebutuhan sehari-hari
keluarga, biaya pendidikan anak atau membayar utang mereka. Pada tahun 2008, negara-negara di wilayah Asia
menerima kira-kira US$ 36 milyar dalam bentuk pemasukan dari para tenaga kerja di dalam dan luar wilayah
ASEAN (Bank Dunia, 2009b).
METODOLOGI
Beberapa metodologi digunakan untuk meneliti situasi migrasi tenaga kerja saat ini di Indonesia. Pertama,
melakukan review atas data sekunder tentang TKI berdasarkan data yang diperoleh dari Pemerintah Indonesia
dan lembaga non-pemerintah. Kedua, analisis tentang produk hukum yang secara langsung dan tidak langsung
terkait dengan migrasi TKI ke luar negeri. Analisis ini fokus pada UU No.39/2004: Penempatan dan Perlindungan
TKI di Luar Negeri yang mengatur perihal ketenagakerjaan TKI. Berbagai instrumen perundang-undangan yang
dikeluarkan sebelum dan sesudah pelaksanaan UU No. 39/2004, juga telah ditinjau ulang untuk menyediakan
sebuah gambaran perbandingan dalam menilai isu perlindungan hukum bagi TKI dan segala macam perubahan
penting yang telah dibuat. Analisis isi undang-undang dilakukan untuk mempelajari akar masalah migrasi tenaga
kerja yang dihadapi TKI. Ketiga, studi kasus dari situasi TKI di negara tujuan dilakukan berdasarkan hasil kunjungan
studi di empat negara tujuan utama: Malaysia, Singapura, Kuwait dan Bahrain. Kunjungan studi mencakup kegiatan
pertemuan dengan pejabat pemerintah, wawancara dan observasi di kantor KBRI dan KJRI dan juga konsultasi
dengan Organisasi Masyarakat Madani, akademisi, lembaga perekrutan, asosiasi TKI dan TKI di negara tujuan, dan
juga kunjungan ke penampungan TKI pemerintah maupun non-pemerintah.
Tiga pendekatan ini sengaja dipilih untuk menciptakan gambaran komprehensif dari kondisi TKI. Laporan ini
bertujuan untuk memasukkan pengalaman TKI dari proses perekrutan, saat mereka bekerja di luar negeri dan
setelah mereka pulang ke Indonesia. Laporan ini juga mencoba memadukan berbagai pandangan dari para
pemangku kepentingan di Indonesia dan di empat negara tujuan yang berhubungan dengan migrasi TKI dan
kebijakan migrasi tenaga kerja saat ini.
Pengujian data dan metode pengumpulan data memungkinkan peneliti mengidentifikasi isu-isu utama yang
berhubungan dengan migrasi tenaga kerja dari Indonesia. Dengan memahami sebab musabab yang menjadi
masalah migrasi TKI, maka bisa diperoleh solusi untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang dihadapi TKI hingga ke
akarnya.
STRUKTUR LAPORAN
Laporan ini terdiri dari tiga bagian utama. Bagian pertama memberikan gambaran umum tentang migrasi
tenaga kerja di Indonesia. Fokusnya adalah kerangka kerja legal dan pemangku kepentingan yang terlibat dalam
proses migrasi, dan juga kerja sama internasional. Ada pembahasan mengenai tantangan pengelolaan migrasi di
Indonesia, khususnya migrasi ilegal dan perdagangan orang. Bagian ini membahas proses penempatan tenaga
kerja Indonesia di luar negeri dan perlindungan bagi mereka selama mereka bekerja di luar negeri.
Bagian kedua dari laporan ini akan mendiskusikan kondisi-kondisi yang dialami TKI di empat negara tujuan,
Malaysia, Singapura, Kuwait dan Bahrain. Dan bagian akhir dari laporan merangkum temuan-temuan utama yang
terdapat dalam laporan ini serta memberikan rekomendasi untuk tindakan selanjutnya.
GFMD4 merupakan dialog global yang membahas tentang isu-isu migrasi dan pembangunan yang terjadi setiap
tahun. Mereka membahas implikasi global dari migrasi internasional dan interaksi yang saling menguntungkan
antara migrasi dan pembangunan. GFMD berkembang dari Dialog Tingkat Tinggi PBB tentang Migrasi Internasional
dan Pembangunan pada tahun 2006.
Migrasi tenaga kerja memberikan dampak yang berbeda di tiap negara. Dampak yang muncul di negara pengirim
tenaga kerja, berkaitan dengan proses perekrutan, persiapan sebelum keberangkatan dan biaya penempatan.
Tingginya angka pengangguran, kemiskinan dan putus sekolah menciptakan banyaknya tenaga kerja
berketerampilan rendah yang mencari pekerjaan. Orang-orang ini dengan mudah akan tertarik untuk bekerja
di luar negeri, yang menjanjikan upah lebih besar untuk pekerjaan yang sama di negara mereka sendiri. Namun,
praktek perekrutan ilegal dapat menyebabkan pekerja terjebak dalam situasi terikat dengan utang untuk pergi
ke luar negeri. Sering tenaga kerja tidak dilatih dengan baik dan tidak paham hak-hak mereka sehingga mudah
dieksploitasi. Negara-negara tujuan dan transit sering menghadapi masalah dengan migrasi ilegal, jaringan
kriminal terorganisir yang melibatkan perdagangan orang dan penyelundupan orang serta masalah sosial
lainnya. Sifat transnasional dari migrasi tenaga kerja membutuhkan keterlibatan negara-negara pengirim, transit
dan negara tujuan guna menghadapi tantangan ini.
Konsultasi Tingkat Menteri Tentang Kerja di Luar Negeri dan Tenaga Kerja Kontrak Bagi
Negara Pengirim dan Negara Tujuan di Asia (Dialog Abu Dhabi)
Partisipasi negara tujuan dalam pertemuan konsultasi ketiga Proses Colombo di Bali 2005 memprakarsai
perkembangan dialog antara negara pengirim dan negara tujuan. Pada bulan Januari 2008, Negara Emirat Arab
menyelenggarakan Konsultasi Tingkat Menteri pertama antara negara tujuan di Asia dan negara-negara dari Proses
Colombo di Abu Dhabi.5 Konsultasi ini juga dikenal sebagai Dialog Abu Dhabi, mempertemukan negara-negara
dari Proses Colombo dengan Dewan Kerjasama Negara-Negara Teluk (GCC), Yaman dan dua tambahan negara
tujuan Asia, Malaysia dan Singapura. Pertemuan pertama bertujuan menyediakan forum untuk pengelolaan
mobilitas tenaga kerja kontrak temporer di Asia dengan pembahasan ide-ide baru dalam pembuatan kerangka
kerja praktis dan komprehensif, mempromosikan kesejahteraan tenaga kerja dan memupuk kerja sama antar
pemerintah yang lebih besar
4
5
Migrasi Ilegal
Migrasi ilegal sering didefinisikan sebagai suatu perpindahan yang terjadi di luar norma aturan di negara asal,
transit dan tujuan. Dari perspektif negara tujuan, perpindahan termasuk: datang, tinggal atau bekerja di suatu
negara secara ilegal. Artinya, migran tidak mempunyai dokumen yang diperlukan sesuai peraturan imigrasi untuk
masuk, tinggal dan bekerja di suatu negara pada saat itu. Dari perspektif negara asal, migrasi ilegal terjadi pada saat
seorang warga negara dari suatu negara menyeberang ke perbatasan internasional tanpa dokumen perjalanan
yang sah atau tidak memenuhi persyaratan adminstrasi untuk berangkat ke negara tersebut.
Perdagangan Orang
Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengenai Kejahatan Terorganisasi Transnasional7 mempunyai dua
protokol berkenaan dengan perdagangan dan penyelundupan orang yang bertujuan mengakhiri segala macam
eksploitasi manusia. Konvensi ini sudah diratifikasi oleh 112 negara termasuk Indonesia. Protokol ini mendefinisikan
perdagangan orang sebagai perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian dan penerimaan seseorang,
dengan menggunakan cara ancaman atau paksaan atau bentuk lain seperti paksaan, penculikan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan atau posisi yang rentan atau memberi atau menerima pembayaran atau manfaat
yang mendapatkan persetujuan seseorang untuk mengontrol orang lain, untuk tujuan eksploitasi.8 Konvensi ini
juga mendefinisikan eksploitasi sebagai definisi paling minimum: eksploitasi pelacuran terhadap orang lain atau
dalam bentuk lain yakni eksploitasi seksual, pekerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktek yang sama
7
dengan perbudakan, pengabdian atau pengambilan organ .9 Dengan demikian definisi ini menekankan bahwa
persetujuan dari korban tidak relevan ketika cara yang dipakai dalam definisi tersebut digunakan. Protokol juga
menyatakan secara jelas bila perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan anak (dibawah
umur 18 tahun) untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan orang bahkan meskipun tidak
melibatkan segala cara yang disebutkan di atas.
Pada saat membahas perdagangan orang, perlu dibedakan antara perdagangan orang dan penyelundupan
orang, karena seringkali tidak jelas. Perdagangan orang umumnya dianggap sebagai kegiatan kejahatan yang
tidak diinginkan oleh orang yang diperdagangkan. Seseorang tidak diperdagangkan secara sukarela, karena
dengan definisi yang disebutkan sebelumnya tidaklah mungkin seorang memilih untuk diperdagangkan.
Penyelundupan orang dianggap sebagai sebuah kejahatan terhadap satu negara atau lebih yang dilakukan oleh
orang yang diselundupkan penyelundup, agen, makelar, bila mereka terlibat. Pekerja migran umumnya memilih
untuk dibantu oleh penyelundup yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan terlarang yakni menyeberangi
perbatasan secara tidak resmi, yang mengakibatkan migran tersebut mendapatkan status ilegal di negara tujuan.
Unsur sukarela menciptakan perbedaan yang sangat penting antara penyelundupan dan perdagangan orang.
Perbedaan lain yang juga penting adalah penyelundupan terjadi hanya selama tahap transportasi, sedangkan
perdagangan (baik legal maupun ilegal) bisa terjadi hampir di semua titik proses migrasi dan proporsi tenaga
kerja yang diperdagangkan.
Banyak calon tenaga kerja sering tidak mengetahui cara untuk bermigrasi dengan aman sehingga mudah menjadi
korban penipuan, pemerasan dan pemalsuan dokumen. Di daerah di mana perekrutan dan pemberian kerja ke
calon pekerja dilakukan oleh perusahaan swasta dengan pengawasan pemerintah yang kurang, membuat tenaga
kerja sangat mudah terperosok pada praktek eksploitasi. Dalam konteks inilah perdagangan orang terjadi. Korban
mungkin berangkat dari negara pengirim melalu jalur resmi atau bisa juga diselundupkan oleh jaringan kejahatan
transnasional, dan mereka berakhir dalam kondisi seperti budak: tidak dibayar, tidak mempunyai kebebasan
bergerak dan sering mengalami siksaan. Data tentang perdagangan orang sangat sulit diperoleh karena sifatnya
yang diam-diam (rahasia/gelap).
Jenis
2000
2004
Total
2007
Total
Total
Laki-laki
228.337
44
137.949
32
Perempuan
288.832
56
297.273
68
296.615
78
543.859
78
Total
517.169
100
435.222
100
380.690
100
696.746
100
Kelamin
84.075
Total
22
152.887
22
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri (2006).
Seperti yang diilustrasikan Tabel 2, sebagian besar TKI adalah perempuan, sebagai akibat dari meningkatnya
permintaan tenaga kerja sektor domestik dan industri manufaktur. Ini sering disebut feminisasi TKI, dan telah
menarik perhatian para ilmuwan dan pembuat kebijakan akhir-akhir ini.10 TKI perempuan pantas mendapatkan
perhatian khusus dengan pertimbangan bahwa mereka membutuhkan perlindungan, yang mungkin berbeda
dengan yang dibutuhkan TKI laki-laki. Sebagian besar TKI perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
pengasuh anak dan pengasuh orang tua. Pembantu rumah tangga sering tidak tercakup dalam undang-undang
tenaga kerja di negara tujuan karena pekerjaan dilakukan di tempat tinggal pribadi majikan sehingga sulit bagi
pihak berwenang untuk mengawasi dan sulit bagi pekerja untuk mencari bantuan bila mereka membutuhkannya.
Hal ini menyebabkan kondisi mereka rentan terhadap eksploitasi praktek ketenagakerjaan, kekerasan fisik dan
mental, dan penahanan gaji mereka.
Di Asia, kategori pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan adalah pekerjaan rumah tangga (atau
pembantu rumah tangga/PRT). PRT berasal dari Indonesia, Filipina dan Sri Lanka yang pergi ke Hong Kong SAR,
Malaysia, Timur Tengah dan Singapura. Banyak juga yang berasal dari Kamboja dan Myanmar yang bekerja di
Thailand, tetapi kebanyakan mereka adalah tenaga kerja ilegal.
Kebanyakan TKW dipekerjakan di bidang pelayanan. Sektor domestik sering tidak dicakup oleh Undang Undang
Ketenagakerjaan dan Undang Undang Hubungan Industri di negara tujuan. Hal ini yang menyebabkan kelompok
TKW dalam posisi rentan eksploitasi. Situasi ini diperparah dengan jenis kerja domestik yang sifatnya pribadi/
perorangan, karena berada dan bekerja di rumah majikan sehingga mempersulit pelaksanaan dan pengawasan
UU Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, perspektif jender sangat penting untuk diikutsertakan dalam diskusi
tentang migrasi tenaga kerja, meliputi berbagai macam pengalaman yang berbeda-beda dan perlindungan
yang dibutuhkan oleh tenaga kerja laki-laki maupun perempuan dan juga keluarga mereka yang ditinggalkan.
Pengumpulan data dan kebijakan yang dilakukan juga sangat penting untuk melakukan pendekatan yang sama.
1996
Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak, mengganti konvensi PBB berlawanan dengan
Kejahatan Terorganisasi Transnasional (2000), http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_%20traff_eng.pdf
Negara Tujuan
Total
1.
Malaysia
222.198
2.
Singapura
37.496
3.
Brunei Darussalam
5.852
4.
Hong Kong
29.973
5.
Korea
3.830
6.
Jepang
96
7.
Taiwan (RRC)
50.810
8.
Arab Saudi
257.217
9.
Kuwait
25.756
10.
Emirat Arab
28.184
11.
Bahrain
2.267
12.
Qatar
10.449
13.
Jordan
12.062
14.
Oman
7.150
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, 2009.
10
dengan perbudakan, pengabdian atau pengambilan organ .9 Dengan demikian definisi ini menekankan bahwa
persetujuan dari korban tidak relevan ketika cara yang dipakai dalam definisi tersebut digunakan. Protokol juga
menyatakan secara jelas bila perekrutan, transportasi, transfer, penyembunyian atau penerimaan anak (dibawah
umur 18 tahun) untuk tujuan eksploitasi harus dianggap sebagai perdagangan orang bahkan meskipun tidak
melibatkan segala cara yang disebutkan di atas.
Pada saat membahas perdagangan orang, perlu dibedakan antara perdagangan orang dan penyelundupan
orang, karena seringkali tidak jelas. Perdagangan orang umumnya dianggap sebagai kegiatan kejahatan yang
tidak diinginkan oleh orang yang diperdagangkan. Seseorang tidak diperdagangkan secara sukarela, karena
dengan definisi yang disebutkan sebelumnya tidaklah mungkin seorang memilih untuk diperdagangkan.
Penyelundupan orang dianggap sebagai sebuah kejahatan terhadap satu negara atau lebih yang dilakukan oleh
orang yang diselundupkan penyelundup, agen, makelar, bila mereka terlibat. Pekerja migran umumnya memilih
untuk dibantu oleh penyelundup yang mendapatkan keuntungan dari kegiatan terlarang yakni menyeberangi
perbatasan secara tidak resmi, yang mengakibatkan migran tersebut mendapatkan status ilegal di negara tujuan.
Unsur sukarela menciptakan perbedaan yang sangat penting antara penyelundupan dan perdagangan orang.
Perbedaan lain yang juga penting adalah penyelundupan terjadi hanya selama tahap transportasi, sedangkan
perdagangan (baik legal maupun ilegal) bisa terjadi hampir di semua titik proses migrasi dan proporsi tenaga
kerja yang diperdagangkan.
Banyak calon tenaga kerja sering tidak mengetahui cara untuk bermigrasi dengan aman sehingga mudah menjadi
korban penipuan, pemerasan dan pemalsuan dokumen. Di daerah di mana perekrutan dan pemberian kerja ke
calon pekerja dilakukan oleh perusahaan swasta dengan pengawasan pemerintah yang kurang, membuat tenaga
kerja sangat mudah terperosok pada praktek eksploitasi. Dalam konteks inilah perdagangan orang terjadi. Korban
mungkin berangkat dari negara pengirim melalu jalur resmi atau bisa juga diselundupkan oleh jaringan kejahatan
transnasional, dan mereka berakhir dalam kondisi seperti budak: tidak dibayar, tidak mempunyai kebebasan
bergerak dan sering mengalami siksaan. Data tentang perdagangan orang sangat sulit diperoleh karena sifatnya
yang diam-diam (rahasia/gelap).
Jenis
2000
2004
Total
2007
Total
Total
Laki-laki
228.337
44
137.949
32
Perempuan
288.832
56
297.273
68
296.615
78
543.859
78
Total
517.169
100
435.222
100
380.690
100
696.746
100
Kelamin
84.075
Total
22
152.887
22
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri (2006).
Seperti yang diilustrasikan Tabel 2, sebagian besar TKI adalah perempuan, sebagai akibat dari meningkatnya
permintaan tenaga kerja sektor domestik dan industri manufaktur. Ini sering disebut feminisasi TKI, dan telah
menarik perhatian para ilmuwan dan pembuat kebijakan akhir-akhir ini.10 TKI perempuan pantas mendapatkan
perhatian khusus dengan pertimbangan bahwa mereka membutuhkan perlindungan, yang mungkin berbeda
dengan yang dibutuhkan TKI laki-laki. Sebagian besar TKI perempuan bekerja sebagai pembantu rumah tangga,
pengasuh anak dan pengasuh orang tua. Pembantu rumah tangga sering tidak tercakup dalam undang-undang
tenaga kerja di negara tujuan karena pekerjaan dilakukan di tempat tinggal pribadi majikan sehingga sulit bagi
pihak berwenang untuk mengawasi dan sulit bagi pekerja untuk mencari bantuan bila mereka membutuhkannya.
Hal ini menyebabkan kondisi mereka rentan terhadap eksploitasi praktek ketenagakerjaan, kekerasan fisik dan
mental, dan penahanan gaji mereka.
Tabel 3: Penempatan TKI di Negara-Negara Tujuan Utama Tahun 2009
No.
Di Asia, kategori pekerjaan yang paling banyak dilakukan oleh perempuan adalah pekerjaan rumah tangga (atau
pembantu rumah tangga/PRT). PRT berasal dari Indonesia, Filipina dan Sri Lanka yang pergi ke Hong Kong SAR,
Malaysia, Timur Tengah dan Singapura. Banyak juga yang berasal dari Kamboja dan Myanmar yang bekerja di
Thailand, tetapi kebanyakan mereka adalah tenaga kerja ilegal.
Kebanyakan TKW dipekerjakan di bidang pelayanan. Sektor domestik sering tidak dicakup oleh Undang Undang
Ketenagakerjaan dan Undang Undang Hubungan Industri di negara tujuan. Hal ini yang menyebabkan kelompok
TKW dalam posisi rentan eksploitasi. Situasi ini diperparah dengan jenis kerja domestik yang sifatnya pribadi/
perorangan, karena berada dan bekerja di rumah majikan sehingga mempersulit pelaksanaan dan pengawasan
UU Ketenagakerjaan. Oleh sebab itu, perspektif jender sangat penting untuk diikutsertakan dalam diskusi
tentang migrasi tenaga kerja, meliputi berbagai macam pengalaman yang berbeda-beda dan perlindungan
yang dibutuhkan oleh tenaga kerja laki-laki maupun perempuan dan juga keluarga mereka yang ditinggalkan.
Pengumpulan data dan kebijakan yang dilakukan juga sangat penting untuk melakukan pendekatan yang sama.
1996
Protokol PBB untuk mencegah, menekan dan menghukum perdagangan orang, khususnya wanita dan anak-anak, mengganti konvensi PBB berlawanan dengan
Kejahatan Terorganisasi Transnasional (2000), http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/final_documents_2/convention_%20traff_eng.pdf
Negara Tujuan
Total
1.
Malaysia
222.198
2.
Singapura
37.496
3.
Brunei Darussalam
5.852
4.
Hong Kong
29.973
5.
Korea
3.830
6.
Jepang
96
7.
Taiwan (RRC)
50.810
8.
Arab Saudi
257.217
9.
Kuwait
25.756
10.
Emirat Arab
28.184
11.
Bahrain
2.267
12.
Qatar
10.449
13.
Jordan
12.062
14.
Oman
7.150
Sumber: Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI di luar negeri, 2009.
10
Malaysia merupakan negara tujuan utama TKI, baik yang legal maupun ilegal, demikian menurut pemerintah
Malaysia. Kesamaan etnis, budaya dan bahasa dengan Indonesia memungkinkan TKI berbaur lebih mudah
dengan masyarakat Malaysia. Bulan Juni 2009, mengikuti serangkaian kasus siksaan yang dialami PRT Indonesia
di Malaysia, Pemerintah Indonesia melarang warga negara Indonesia untuk bermigrasi ke Malaysia sebagai PRT.
Akan tetapi, meskipun ada larangan tersebut, Malaysia tetap menjadi negara tujuan utama bagi para TKI, yang
mengakibatkan banyak terjadi migrasi ilegal. Larangan tersebut diharapkan bisa dicabut secepatnya pada saat
MoU (Nota Kesepakatan) baru ditandatangani oleh pemerintah Malaysia dan Indonesia.
Tabel 4: Indikator Ekonomi bagi Indonesia dan Negara Tujuan Utama
No
Indikator Utama
Indonesia
Malaysia
Singapura
Kuwait
Bahrain
224.7
26.6
4.5
2.9
0.8
113.3
11.29
3.03
2.04
0.595
7.7
5.0
3.0
2.2
15.0
1,918
7,033
35,163
42,421
21,421
69
25
14
39
Alasan ekonomi mendorong kebanyakan TKI pergi ke luar negeri untuk memperbaiki status ekonomi mereka
sendiri dan keluarganya. Angka pengangguran yang besar dan kurangnya lapangan pekerjaan di Indonesia
mendorong orang-orang untuk mencari kerja di luar daerah asal mereka dan banyak yang memutuskan untuk
pergi ke luar negeri setelah mendengar adanya pekerjaan dari agen perekrutan dan jaringan kerja sosial dengan
tawaran gaji yang lebih tinggi seperti di Malaysia, Arab Saudi, Hong Kong SAR, Kuwait, Singapura dan Emirat Arab.
Banyak orang khususnya perempuan, melihat migrasi sebagai satu-satunya jalan keluar dari kemiskinan bagi
mereka sendiri dan keluarganya. Kebanyakan tenaga kerja pergi dengan tujuan bekerja di luar negeri untuk jangka
waktu tertentu supaya bisa menabung dan membeli rumah, memulai usaha atau mengirim anak atau saudara ke
sekolah. Migrasi tenaga kerja dari Indonesia digolongkan sebagai migrasi temporer karena walaupun banyak dari
TKI pergi dengan tujuan untuk tinggal atau menetap di negara tujuan, mereka umumnya tidak memiliki peluang
tersebut bahkan jika berubah pikiran. Namun, dikarenakan biaya yang tinggi dalam memperolah pekerjaan di
luar negeri, migrasi tenaga kerja temporer sering berubah menjadi menetap lebih lama dari yang diharapkan dan
mungkin bisa sampai beberapa tahun.
Pemerintah Indonesia memberikan fasilitas migrasi ke luar negeri bagi jutaan TKI dalam dua dekade terakhir,
sebagai sebuah negara yang terus dihantui oleh tingginya angka pengangguran dan kurangnya lapangan
pekerjaan yang tersedia, meskipun tingkat pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sejak akhir tahun 1960-an. Melalui
pendirian agen perekrutan swasta, pemerintah Indonesia telah mengijinkan pengiriman tenaga TKI ke luar negeri
sebagai suatu jalan untuk mengurangi masalah pengangguran dan kurangnya peluang kerja.
Walaupun tingkat pengangguran di semua sektor ekonomi Indonesia tinggi, tapi yang paling banyak pergi ke luar
negeri justru tenaga kerja berketerampilan rendah. Secara global, migrasi didorong oleh banyaknya kekurangan
tenaga kerja di sektor domestik seperti pembantu rumah tangga, sektor pertanian, bangunan, industri pengolahan
dan sektor jasa/layanan. Umumnya pekerjaan seperti ini tidak diinginkan oleh warga negaranya sendiri karena gaji
yang terlalu rendah bagi mereka. Akibatnya beberapa negara mengadopsi kebijakan untuk memfasilitasi migrasi
tenaga kerja. Negara-negara di Timur Tengah dan Asia Tenggara menawarkan gaji yang lumayan lebih besar bila
dibandingkan upah di Indonesia, sehingga TKI tertarik pergi dan bekerja ke luar negeri di sektor ini.
10
Pilihan negara-negara tujuan seringkali sangat terbatas; ditentukan oleh kebutuhan pasar lapangan kerja di
negara tersebut dan juga oleh pasar yang bisa diakses oleh agen perekrutan. Ketika agen perekrutan menentukan
negara tujuan, maka TKI hanya mempunyai sedikit pilihan atau tidak sama sekali untuk urusan tersebut. Banyak
TKI memilih Malaysia karena alasan kedekatan geografis dengan Indonesia, kesamaan sejarah, bahasa dan budaya
serta biaya yang lebih murah. Faktor-faktor ini juga merupakan alasan mengapa ada banyak TKI ilegal di Malaysia,
yang akan dibahas lebih lanjut di bagian dua.
TKI yang pergi ke Timur Tengah, khususnya negara-negara seperti Arab Saudi, Kuwait, Emirat Arab dan Bahrain
mempunyai alasan adanya kemungkinan untuk naik haji. Di sisi lain TKI juga tertarik dengan Hong Kong dan
Provinsi Taiwan - Cina karena gaji PRT yang juga cukup besar. Hubungan TKI yang pulang dari negara-negara
tersebut juga mempengaruhi arus TKI ke sana. TKI dari daerah yang sama sering pergi ke negara yang sama,
karena kemungkinan besar mereka menggunakan agen perekrutan atau perantara yang sama di desa, atau
kontak pribadi di negara tujuan.
11
Keputusan Menteri No. 204/1999 dikeluarkan pada tahun 1999 tak lama setelah perubahan politik nasional dan
pemerintah diminta berbagai pemangku kepentingan untuk melakukan reformasi. Pasal 69 sampai 74 Keputusan
Menteri yang mengatur perlindungan TKI, mengawasi dan mengevaluasi kegiatan penempatan dan perekrutan.
Menurut keputusan ini, pejabat penting di tingkat regional dan nasional wajib untuk mempersiapkan laporan
perkembangan periodik (per minggu, bulan dan per tahun) tentang kegiatan penempatan dan perekrutan TKI
di wilayahnya. Keputusan juga menentukan cakupan dari panduan perlindungan TKI termasuk manajemen
informasi; peraturan yang lebih baik; koordinasi vertikal dan horisontal antar badan pemerintah dan penegakan
undang-undang.
Keputusan Menteri juga mengatur penempatan TKI dengan menyederhanakan dan memperbaiki kualitas
manajemen sistem penempatan bagi TKI; memberdayakan TKI dan meningkatk an kualitas perlindungan bagi
mereka dan keluarganya; kinerja yang lebih baik dari agen perekrutan; dan meningkatkan kualitas TKI yang hasilnya
akan membantu pengiriman uang lebih banyak. Keputusan Menteri No. 204/1999 selanjutnya memperkuat posisi
agen perekrutan dalam proses migrasi.
Terlihat di sini bahwa sanksi perorangan dihubungkan dengan undang-undang, namun kerangka kerja yang
koheren dan mengikat bagi perlindungan TKI justru tidak dibentuk.
Keputusan Menteri No. 104A/2002 oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi menentukan ukuran pembangunan
manajemen publik dari penempatan TKI dan merupakan prototipe awal pengakuan formal pemerintah terhadap
kebutuhan pengaturan migrasi tenaga kerja di Indonesia. Kelompok usaha pengiriman TKI dan jaringan kerja
sosial telah bekerja sama dengan petugas tenaga kerja nasional sebelum rezim Suharto tumbang di tahun
1998 demi memenuhi kebutuhan pelaksanaan kebijakan perdagangan tidak hanya di tingkat nasional tapi juga
internasional. Keputusan Menteri No. 104A/2002 merupakan alat utama untuk mendukung migrasi TKI sekaligus
mencoba melindungi TKI khususnya di sektor yang rentan, dengan berfokus pada sektor yang paling sedikit
pengaturannya seperti PRT dan pengasuh. Melalui kebijakan ini pemerintah mencoba melindungi TKI yang
rentan akan berbagai praktek eksploitasi, penganiayaan dan kekerasan (fisik, psikologis dan seksual). Keputusan
memperkenalkan kategori pekerja yang rentan agar bisa mengurangi jumlah TKI di sektor domestik. Namun,
Keputusan ini tidak bisa mengatasi masalah utama di negara tujuan, misalnya kurangnya tenaga PRT secara global
yang mengakibatkan banyak perempuan Indonesia terus pergi dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga
melalui jalur resmi dan tidak resmi.
Keputusan ini juga memberi wewenang ke perusahaan perekrutan swasta untuk menempatkan TKI di sektor
domestik, dan mencegah pihak lain untuk melakukan penempatan di sektor domestik. Hal ini membatasi peran
pemerintah dalam pengelolaan migrasi tenaga kerja dengan mendelegasikan tanggung jawab utamanya ke
sektor swasta. Keputusan Menteri tidak mengatur peran pemerintah dalam perlindungan TKI, tapi mengatur
pemberian sanksi ke TKI yang melanggar persyaratan kerja di dalam atau luar negeri.11 Keputusan ini tidak
berhasil mengatasi situasi ketidakadilan atau pengeksploitasian yang mendorong TKI melakukan tindakan yang
menyebabkan mereka terkena sanksi. Menjatuhkan hukuman ke TKI yang berada dalam posisi lemah bukanlah
pilihan seimbang/adil dan tidak menjamin manajemen migrasi tenaga kerja yang berhasil atau berkelanjutan.
12
13
12
Lihat Ayat 2, 3, and 4, yang mengatur sanksi bagi TKI yang berhenti kerja, melanggar kesepakatan kerja, dan melakukan suatu tindakan yang mengakibatkan
terkena sanksi kejahatan.
UU No. 39/2004 Tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri, 18 Oktober 2004.
Instruksi Presiden No 6/2006 tentang Kebijakan Reformasi untuk Perlindungan dan Penempatan TKI, 2 Agustus 2006.
13
t
Hasil dari Instruksi Presiden No. 6/2006, Departemen Luar Negeri mengeluarkan Peraturan No. 4/2008, tentang
konsep pelayanan kepada warga negara dengan meningkatkan kinerja kantor dan antar kantor di bawah
kementerian. Peraturan ini dirancang untuk membantu dan melindungi warga negara Indonesia di luar negeri.
Namun pada kenyataannya, kebanyakan dari layanan menargetkan TKI yang bekerja sebagai PRT karena mereka
lebih sering mengalami masalah sebagai akibat minimnya undang-undang ketenagakerjaan yang bisa melindungi
mereka. Instruksi juga mencakup arahan dari perwakilan Indonesia untuk memeriksa peraturan di negara tujuan
yang tidak menandatangani Nota Kesepakatan (MoU) dengan Indonesia agar bisa memastikan agen perekrutan
swasta diakreditasi dan kontrak terdiri dari pasal yang menyatakan perlindungan TKI. Instruksi juga mencakup
pengawasan terhadap kesepakatan ini dan penanganan masalah yang berkaitan dengan ketenagakerjaan bagi
TKI. KBRI dan Konsulat Indonesia di luar negeri juga memiliki perwakilan yang bisa menyediakan bantuan hukum
bagi warga negara Indonesia dengan masalah hukum (lihat bagian dua dari laporan ini)
t
Berbagai pelayanan diberikan untuk mengatasi masalah yang dialami oleh TKI, seperti tersesat, tidak dipedulikan,
kehilangan kontak dengan keluarga, kecelakaan, rawat inap dirumah sakit, korban kejahatan atau perdagangan
orang, kematian, ditahan, atau dideportasi. Tersedia pula layanan khusus bagi TKI yang meninggal selama di luar
negeri.
Walaupun ada upaya yang dibuat oleh peraturan ini untuk melindungi TKI yang posisinya paling rentan, namun
tidaklah memadai, karena banyak masalah yang muncul selama tahap persiapan sebelum keberangkatan
di Indonesia. Kantor-kantor perwakilan Indonesia di negara tujuan menangani berbagai macam TKI dengan
masalahnya, khususnya di negara tujuan yang tidak menghargai HAM. Jumlah TKI bermasalah sering melebihi
kapasitas jumlah staf di kantor-kantor perwakilan Indonesia di luar negeri. Koordinasi untuk urusan migrasi
antara badan pemerintah di Indonesia dan pemangku kepentingan utama merupakan bagian penting dalam
menyediakan perlindungan yang dibutuhkan TKI untuk mencegah penganiayaan di luar negeri, khususnya kerja
sama dengan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, BNP2TKI dan Departemen Luar Negeri.
14
1BTBM
NFOHFOBJ SFQBUSJBTJ QBSB5,* EBMBN TJUVBTJ EBSVSBU
TFQFSUJ QFSBOH EJ OFHBSB UVKVBO
NFMJCBULBO
kerjasama dengan KBRI, BNP2TKI dan pemerintah di tingkat nasional dan daerah; dan
1BTBM
UFOUBOH QFOHBXBTBO QFOFNQBUBO EBO QFSMJOEVOHBO 5,* EJ MVBS OFHFSJ
NFOZBUBLBO UFOUBOH
keterlibatan pemerintah pusat dan daerah; dan tugas perwakilan diplomatik Indonesia di luar negeri, kebutuhan
kolaborasi dan koordinasi yang jelas dalam pengawasan penempatan kerja. Dua ayat ini masih memerlukan
penjelasan lebih lanjut dari pemerintah, masih belum jelas kapan ayat-ayat ini akan dikeluarkan.
15
6. Qatar;
7. Australia (Sektor Pemerintah ke Swasta); dan
8. Malaysia (dua Nota Kesepakatan, satu mencakup pekerja di sektor formal dan yang lain mencakup pekerja
rumah tangga)
Indonesia sedang dalam proses menegosiasikan Nota Kesepakatan dengan negara berikut:
9. Syria;
10. Brunei Darussalam (konsep diserahkan ke Pemerintah Brunei Darussalam); dan
11. Jepang melalui Kesepakatan Kemitraan Ekonomi antar Indonesia-Jepang IIJEPA (dalam proses penyelesaian
Nota Kesepakatan bagi penempatan perawat dan pengasuh.
Dalam rangka kerja sama regional dan internasional, Indonesia menjadi peserta dan anggota aktif dari beberapa
forum yang ada, termasuk Global Forum tentang Migrasi dan Pembangunan, Proses Colombo dan Dialog Abu
Dhabi. Indonesia juga sudah meratifikasi protokol untuk mencegah, menekan, dan menghukum perdagangan
orang, khususnya perempuan dan anak-anak (Protokol Palermo) sebagai komitmen nasional untuk menolak
dan memberantas segala macam bentuk eksploitasi manusia. Negara juga sudah menandatangani tapi tidak
meratifikasi Konvensi PBB tentang Hak-Hak TKI dan Keluarganya.
16
Sebagai negara berkembang dengan tingkat kemiskinan, pengangguran dan kurangnya lapangan pekerjaan yang
signifikan, Indonesia menggunakan sumber daya manusianya sebagai salah satu cara untuk mendapatkan devisa
melalui pengiriman uang TKI ke Indonesia. Selain jumlah TKI yang sangat besar meninggalkan Indonesia selama
dua dekade terakhir ini, kerangka kerja hukum yang memfasilitasi perekrutan dan penempatan TKI masih lemah.
UU No. 39/2004, yang merupakan undang-undang utama yang mengatur migrasi tenaga kerja di Indonesia, tidak
membatasi biaya besar yang harus ditanggung oleh TKI, atau tidak juga memberikan perlindungan TKI yang
memadai, mengalihkan kekuasaan dan tanggung jawab sebagaian besar ke agen perekrutan swasta.
Perdagangan Orang
Perdagangan orang bisa dianggap bagian dari migrasi gelap dan kasus yang paling ekstrem dari eksploitasi
di dunia migrasi. Menurut Departemen Luar Negeri Ameriak Serikat, Indonesia merupakan sumber utama
perempuan, anak-anak dan laki-laki yang diperdagangkan untuk tujuan kerja paksa dan eksploitasi komersial
seksual. Tidak jauh beda, Indonesia juga merupakan tujuan dan negara transit untuk korban perdagangan orang
asing ini (Department of State, 2009). Menurut data IOM, ancaman yang paling besar dari perdagangan yang
dihadapi laki-laki dan perempuan Indonesia disebabkan adanya kondisi kerja paksa dan ikatan utang di negaranegara yang lebih berkembang di Asia khususnya Malaysia (75,76%), Singapura (0,76%), dan Jepang (0,73%) dan
Timur Tengah, khususnya Arab Saudi (1,73%) (IOM, 2010).
Populasi Indonesia yang besar, rentangan geografis yang luas, ekonomi yang lemah dan akses pendidikan yang
terbatas merupakan kondisi yang menguntungkan bagi perdagangan orang. Akibat rendahnya pemahaman
tentang fenomena perdagangan orang di antara orang-orang awam, petugas pemerintahan dan badan-badan
penegak hukum, maka perdagangan orang telah menjadi fenomena besar dan meluas.
17
Dari 3.696 orang korban yang diperdagangkan yang dibantu oleh IOM antara Maret 2005 dan Desember 2009,
90 persen adalah perempuan dan 24 persen anak-anak. Mereka berasal dari 31 provinsi dari 33 provinsi yang
ada di Indonesia (Tabel 5). Ini menggambarkan bahwa hampir semua provinsi di Indonesia merupakan sumber
perdagangan orang. Wilayah sumber yang paling signifikan sesuai dengan urutan jumlah dari yang terbesar
hingga terkecil adalah: Jawa Barat, Kalimantan Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatera Utara. Di antara
orang-orang yang diperdagangkan, 88,20 persen menyatakan masalah ekonomi sebagai alasan untuk mencari
peluang kerja di luar negeri; 29,68 persen dari mereka yang diperdagangkan tamatan SD sementara 19,99 persen
belum lulus SD. Statistik ini menunjukkan hubungan erat antar kondisi ekonomi lokal yang lemah dan rendahnya
status pendidikan orang yang diperdagangkan.
Tabel 5: Data Korban Perdagangan Orang Berdasarkan Propinsi
(Maret 2005 - Desember 2009)
Provinsi Asal
Total
Jawa Barat
831
22,42%
Kalimantan Barat
722
19,53%
Jawa Timur
457
12,36%
Jawa Tengah
422
11,42%
Sumatra Utara
254
6,87%
236
6,39%
Lampung
189
5,11%
Nusa
163
4,41%
Banten
77
2,08%
Sumatera Selatan
72
1,95%
Sulawesi Selatan
60
1,62%
DKI Jakarta
57
1,54%
Aceh
27
0,73%
D.I. Yogyakarta
18
0,49%
Sulawesi Tengah
15
0,41%
Jambi
14
0,38%
Sulawesi Barat
12
0,32%
Sulawesi Tenggara
12
0,32%
Kepulauan Riau
11
0,30%
Sumatera Barat
0,22%
Riau
0,22%
Sulawesi Utara
0,19%
Kalimantan Selatan
0,14%
Maluku
0,14%
Bengkulu
0,14%
Kalimantan Timur
0,05%
Gorontalo
0,05%
Bali
0,03%
Kalimantan Tengah
0,03%
0,03%
0,03%
3,696
100%
Kebanyakan orang-orang yang diperdagangkan direkrut melalui agen (66,88%), yang kemudian diidentifikasi
sebagai agen ilegal atau perekrut orang ilegal. Keterbatasan pengetahuan tentang proses standar perekrutan
membuat orang yang diperdagangkan secara tidak sadar memasuki situasi perdagangan. Sering orang-orang
yang terlibat dalam proses perekrutan merupakan orang-orang terdekat mereka seperti keluarga, teman dan
tetangga mereka.
Dari jumlah populasi yang disurvei, 55,75 persen diperdagangkan sebagai pembantu rumah tangga dan 15,99
persen menjadi pekerja seksual yang dipaksa. Kebanyakan dari PRT adalah perempuan dan anak-anak, sementara
kebanyakan laki-laki yang diperdagangkan bekerja di perkebunan. Survei juga menunjukkan kerentanan
kelompok ini. Semua adalah korban lebih dari satu pelanggaran HAM yang fundamental dan tindak kekerasan,
sebagian besar bekerja dipaksa/kerja lembur yang tidak dibayar (79,95%), tidak diberikan kebebasan gerak (77%),
menderita kekerasan verbal dan psikologis (74,62%), dokumen ditahan (63,83%), kurang akses terhadap layanan
kesehatan apabila jatuh sakit (57,71%), mengalami pelecehan seksual (20,35%), dan korban perkosaan (9%) (IOM,
2010).
Pada bulan April 2007, Pemerintah Indonesia membuat UU No. 21/2007 tentang Pemberantasan Tindak Kejahatan
dari Perdagangan Orang. Untuk menindaklanjuti upaya pemerintah dalam menghentikan perdagangan orang,
Departemen Luar Negeri Amerika Serikat (2009) menempatkan Indonesia pada tingkatan kategori II, Pemerintah
Indonesia tidak benar-benar mematuhi standar minimum untuk mengurangi perdagangan; namun ini memang
perlu upaya yang besar untuk melakukannya. Laporan ini menyambut upaya Pemerintah Indonesia untuk
memperbaiki penegakan hukum terhadap masalah perdagangan orang. Terdapat jumlah signifikan tuntutan dan
hukuman atas perdagangan orang di Indonesia yang juga berkaitan dengan pelanggaran perdagangan tenaga
kerja - untuk pertama kalinya desegregasi data dilaporkan. Pemerintah Indonesia juga mempertahankan upaya
membantu korban perdagangan melalui pembiayaan pelayanan dasar dan merujuk korban ke Lembaga Sosial
Masyarakat (LSM) dan organisasi internasional. Akan tetapi, belum ada kemajuan memadai dalam menghadapi
perdagangan tenaga kerja melalui praktek perekrutan yang mengeksploitasi dan dilakukan para agen perekrutan
yang berkuasa secara politik. Juga ada beberapa laporan tentang upaya untuk menuntut, menuduh, atau
menghukum penegak hukum Indonesia dan tentara militer yang terlibat dalam perdagangan orang, walaupun
laporan itu terkait dengan korupsi yang berhubungan dengan perdagangan.
18
19
Pasal 36 dan 37 UU No. 21/2007 membahas tentang perlindungan, namun belum ada prosedur pemerintah saat ini
atau lembaga yang mempunyai petunjuk operasional berkenaan dengan perlindungan korban perdagangan orang
selama proses penyelidikan. Akibatnya, banyak korban perdagangan orang menolak untuk melanjutkan kasus
mereka dengan pihak berwenang karena takut ancaman yang dibuat oleh orang-orang yang memperdagangkan
mereka. Pasal 39 UU No.21/2007 jelas sekali menyatakan hak-hak korban untuk mendapatkan rehabilitasi medis
dan sosial, namun skema pembiayaan sulit diperoleh dari pemerintah. Akibatnya, ada banyak pemerintah daerah
dan LSM yang sering meminta bantuan rehabilitasi dari IOM.
Secara umum, undang-undang anti perdagangan orang nampak kuat di atas kertas, tapi masih sangat lemah
implementasinya dalam praktek hukum.
Koordinasi Pemerintah
Umumnya, undang-undang menetapkan bahwa tenaga kerja Indonesia harus menerima manfaat positif seperti
bebas pajak,14 dukungan untuk membuat tabungan selama bekerja dan pengakuan kompetensi profesional
setelah mengikuti pelatihan.15 Maka, merupakan tanggung jawab agen perekrutan untuk mengatur repatriasi
TKI pada akhir penempatan kerja mereka16 dan undang-undang melarang penempatan TKI dalam pekerjaan
yang tidak layak.17 Pasal 34 ayat 1 dan 2 UU No.39/2004 dengan jelas mengatur informasi tentang perekrutan
yang harus disediakan bagi calon TKI. Sementara pasal-pasal ini membawa pesan yang jelas, namun transparansi
penyampaian informasi tersebut oleh agen perekrutan masih sulit.
Pasal 82 UU No. 39/2004 memberikan wewenang kepada agen perekrutan untuk bertanggung jawab terhadap
perlindungan TKI sesuai dengan kesepakatan kerja, sementara pasal 6 dan 7 menegaskan tentang kewajiban
pemerintah untuk menyediakan dan memperbaiki perlindungan bagi TKI sebelum keberangkatan, selama dan
pasca penempatan mereka. Dengan dua pasal yang saling berkontradiksi, maka tidak bisa dihindari muncul
sistem yang lemah dalam pengawasan kesejahteraan para TKI dan kepatuhan agen perekrutan, juga penegakan
hukum yang efektif, penghukuman agen yang tidak mematuhi UU dan peraturan.
Kurangnya transparansi dari pemerintah dan lemahnya komunitas yang membela kepentingan para TKI
memberikan implikasi negatif kepada TKI. Contohnya, pasal 61 UU No.39/2004 telah menugaskan agen perekrutan
untuk mengatur perubahan kesepakatan kerja bagi TKI dengan membuat kesepakatan kerja baru dan melaporkan
ke KBRI. Akan tetapi, banyak TKI, khususnya PRT, mengalami banyak masalah untuk mendapatkan kontrak atau
paspor baru. Pasal ini tidak bisa melindungi TKI di luar negeri dan kurang jelasnya tindakan yang harus dilakukan
oleh perwakilan Pemerintah Indonesia.
Peran pemerintah yang seimbang harus ditekankan, khususnya dalam mengawasi dan menegakkan hukum
sehingga penempatan TKI bisa dilakukan dengan transparan dan pertanggungjawaban yang lebih baik. Badan
ketenagakerjaan tidaklah mungkin mengatur diri mereka sendiri untuk mematuhi peraturan pada saat tidak ada
pengawasan pemerintah atau pelaksanaan proaktif dari peraturan pemerintah yang berwenang dan bertanggung
jawab. Beralih pada tanggung jawab perlindungan mungkin bukan cara yang efektif untuk memperbaiki
perlindungan bagi pencari kerja dan TKI karena agen perekrutan merupakan entitas komersial yang berfokus
pada keuntungan dan mungkin tidak memiliki kepedulian terhadap TKI.
Pasal 5 UU No. 39/2004 menyatakan tugas pemerintah untuk mengatur, membina, melaksanakan dan mengawasi
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri. Dua peran yang disebutkan di pasal 5--eksekusi (mengatur,
membimbing, melaksanakan) dan pengawasan--dalam kenyataannya harus dilaksanakan oleh lebih dari satu
agen dengan kapasitas tugas masing-masing seperti yang ditetapkan undang-undang. Sementara evaluasi
internal bisa mengevaluasi kinerja agen, namun diperlukan pula evaluasi eksternal guna menghindari timbulnya
konflik kepentingan.
UU No. 39/2004 tidak mengenali peran masyarakat dalam perlindungan TKI, dengan hanya Pasal 86, Ayat 2, yang
menyatakan bahwa dalam pelaksanaan pengawasan, pemerintah bisa melibatkan agen perekrutan, organisasi
lain dan/atau masyarakat. Peran masyarakat di bidang pengawasan hanya mungkin terjadi bila pemerintah
mengijinkan. Tanpa integrasi dan keterlibatan TKI, organisasi masyarakat, dan organisasi lainnya serta lembaga
lain yang mendukung kepentingan TKI, undang-undang tidak mampu mengurusi TKI secara efisien dan efektif
14
15
16
17
20
dan tidak mempunyai dampak positif di perlindungan TKI. Jadi secara fundamental undang-undang bisa dianggap
cacat karena tidak disusun berdasarkan keterbukaan dan pertanggungjawaban pemerintah, padahal ini sangat
penting agar bisa memberikan perlindungan TKI yang memadai.
Lembaga keuangan informal termasuk Rotating Savings and Credit Associations (ROSCAs atau arisan), penjaga toko memberikan kredit ke pelanggan
mereka, kelompok mandiri, organisasi petani, dan asosiasi perempuan.
21
utama mereka dalam mengirimkan/menerima uang. TKI semakin sadar resiko yang berkaitan dengan jalur tidak
resmi, membawa uang tunai atau mengirimkan uang lewat teman. Akan tetapi, studi juga menemukan bahwa
jumlah TKI yang menggunakan rekening orang lain untuk mengirimkan dan menerima uang cukup banyak karena
mereka tidak memiliki rekening bank sendiri.
Walaupun Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI memberikan komitmen untuk memperbaiki
sumber daya kelembagaan dan kualitas pelayanan sebelum keberangkatan bagi calon TKI, namun kegiatankegiatan utama mereka dilakukan di Jakarta atau di kota besar lainnya sehingga peluang keterlibatan pemerintah
di tingkat kabupaten menjadi sangat terbatas.
Beberapa kegiatan sebelum keberangkatan yang dilakukan hanya di Jakarta termasuk:
t 1FOEJEJLBOLFUFSBNQJMBOEBOQFMBUJIBOCBHJDBMPO5,*
t 1FNCFLBMBO"LIJS1FNCFSBOHLBUBO
t 1FOHVSVTBOLBSUVJEFOUJUBT5,*ZBOHCFLFSKBEJMVBSOFHFSJEBO
t 1FOHVSVTBOEBOQFOBOEBUBOHBOJLFTFQBLBUBOLFSKBBOUBSBBHFOQFSFLSVUBOEBODBMPO5,*
60%
Jawa Timur
13%
Jawa Barat
10%
3%
Jawa Tengah
3%
Sumatera Utara
3%
Provinsi lain
8%
Alokasi calon TKI di satu tempat di Jakarta memang mempermudah agen perekrutan untuk melakukan usaha
mereka, namun juga menjadikan kondisi calon TKI semakin rentan selama proses perekrutan. Selama pelatihan,
TKI ditempatkan di rumah sementara, yang mungkin tertutup untuk umum, termasuk untuk keluarga mereka,
mempersulit pengawasan kondisi rumah, atau malah tidak mungkin. Bila keluarga dari TKI diperbolehkan
berkunjung, jumlahnya dibatasi, padahal patut diperhitungkan jarak dari kampung dan biaya yang harus
dikeluarkan untuk perjalanan tersebut.
Dampak lain dari sentralisasi pusat pelatihan adalah sulitnya memastikan pelatihan calon TKI. Pendidikan TKI yang
terpenting seharusnya berkenaan dengan hak-hak mereka dan akses mendapatkan bantuan bila terjadi kasus
eksploitasi atau penganiayaan. Mengingat lemahnya pengawasan, pemantauan dan peraturan terhadap agen
perekrutan, maka sangat mungkin bila TKI tidak menerima informasi tentang hal-hal ini dan tidak dipersiapkan
dengan cukup akan kondisi kerja di luar negeri. Standar pelatihan TKI, khususnya PRT, akan dilihat lebih lengkap
di bab ini.
Pemerintah pusat, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi atau BNP2TKI, tidak memiliki kapasitas yang
dibutuhkan untuk menangani sentralisasi kegiatan penempatan TKI di Jakarta atau mengawasi kegiatan agen
perekrutan dan pekerja lapangan mereka. Tabel 7 memberikan gambaran umum tentang agen perekrutan,
interaksi pemerintah dengan mereka, jadi diasumsikan bahwa pemerintah mengetahui keberadaan dan kerja
mereka di wilayah kewenangan hukum yang relevan.
19
22
Tingkat Konsentrasi
Tabel ini dikompilasikan berdasarkan jumlah alamat kantor pusat agen pelayanan yang diakreditasi, yang disebarkan ke seluruh provinsi di Indonesia
(BNP2TKI, 2007).
23
Data mengindikasikan bahwa masih ada agen perekrutan atau sponsor mereka yang tidak terdaftar. Hal ini
mempersulit untuk mengetahui seberapa jauh mereka mengubah prosedur, merekayasa dokumen atau
membebankan biaya penempatan yang berlebihan ke calon TKI.
Tabel 7: Pencatatan Agen Perekrutan Kantor Tenaga Kerja Regional (2007)
No
Jember
(%)
Banyumas
(%)
Tulang
Bawang (%)
27.60%
31.03%
38.00%
48.28%
44.83%
24.00%
6.90%
0%
8.00%
3.45%
0%
0%
3.45%
0%
30.00%
3.45%
24.14%
0%
6.90%
0%
0%
20
24
25
Pada tahun 2006 Peraturan Menteri tentang asuransi dikeluarkan, dengan penunjukan BNP2TKI sebagai entitas
yang bertanggung jawab dalam hal asuransi TKI. Peraturan ini juga ditetapkan dalam kebijakan asuransi yang
dipegang BNP2TKI, TKI juga diberikan hak memegang Kartu Keanggotaan Asuransi. Ini merupakan kemajuan dari
kebijakan sebelumnya, yang memberikan tanggung jawab kepada agen perekrutan atas klaim asuransi sebagai
perwakilan dari TKI. Namun ketetapan ini diubah lagi setelah ada Peraturan Menteri baru yang dikeluarkan untuk
TKI tahun 2008.
Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 23/2006 tentang Asuransi bagi TKI, mencabut wewenang
BP3TKI untuk mengurus klaim dan wewenang dialihkan kembali ke agen perekrutan di masing-masing kabupaten
dan kota. Pengalihan wewenang ini mengakibatkan konflik antara BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja dan
Transmigrasi, di mana Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi mencoba membatasi peran BNP2TKI terhadap
TKI. Peraturan Menteri yang baru juga mengalihkan kepemilikan kebijakan asuransi ke TKI atau saudara yang
terdekat berikutnya daripada ke BP3TKI. Jadi perubahan kebijakan belum mengubah kinerja perusahaan asuransi
dalam melakukan kewajiban mereka.
Perekrutan TKI
UU No. 39/2004 menetapkan paling tidak enam tanggung jawab agen perekrutan dalam merekrut TKI:
t NFOZFEJBLBOJOGPSNBTJLFDBMPO5,*UFOUBOHLFHJBUBOEBONFUPEFQFSFLSVUBO
QFOHVSVTBOEPLVNFO
IBL
hak dan tanggung jawab calon TKI, situasi, kondisi dan resiko di negara tujuan dan cara-cara mendapatkan
perlindungan (Pasal 34, Ayat 2);
t NFMBLVLBOQFSFLSVUBODBMPO5,*ZBOHEJEBGUBSEJ%JOBT5FOBHB,FSKBEBO5SBOTNJHSBTJ 1BTBM
"ZBU
t NFNCFSBOHLBULBODBMPO5,*ZBOHNFNFOVIJQFSTZBSBUBONJHSBTJSFTNJ 1BTBM
"ZBU
t NFMBQPSLBOLFCFSBOHLBUBO5,*EJ,#3*EBO,+3*EJOFHBSBUVKVBO 1BTBM
"ZBU
t NFOEBGUBSLBODBMPO5,*EBMBNQSPHSBNBTVSBOTJ 1BTBM
"ZBU
EBO
t NFOBNQVOHDBMPO5,*TFCFMVNLFCFSBOHLBUBONFSFLBEBSJ*OEPOFTJB 1BTBM
"ZBU
Agar bisa mengurus tugas di atas secara efisien, diperlukan pengawasan efektif terhadap pelaksanaan tanggung
jawab agen perekrutan.
Peraturan menyatakan bahwa agen perekrutan hanya diijinkan untuk merekrut calon TKI yang terdaftar di kantor
daerah Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, tapi agen perekrutan dan pekerja lapangan justru lebih sering
merekrut di desa-desa asal TKI, tanpa sepengetahuan pemerintah daerah di wilayah tersebut. Hasilnya banyak
pemerintah daerah tidak mengetahui berapa banyak TKI yang berasal dari daerah mereka.
Agen perekrutan bertanggung jawab untuk melaporkan TKI yang sudah diberangkatkan ke luar negeri ke misi
diplomatik Indonesia dan menyerahkan salinan kontrak kerja yang sudah ditandatangani ke agen perekrutan
daerah, menurut UU No. 39/2004. Namun, agen perekrutan tidak selalu melakukannya, sehingga mempersulit
Konsulat Indonesia atau KBRI mengetahui jumlah, lokasi dan majikan para TKI di negara tujuan.
Tanpa pemantauan, pengawasan, penyelidikan, pengontrolan, inspeksi dan penyebaran informasi yang benar,
agen perekrutan bisa menghalangi upaya hukum mengatur TKI. UU No.39/2004 mengenai pemantauan dan
pengawasan agen perekrutan, tidak mencantumkan daftar tindakan yang diminta pemerintah dalam mengawasi
perekrutan TKI (Pasal 34, Ayat 3). Pemerintah hanya menunggu agen perekrutan mencari persetujuan mengenai
materi informasi yang disiapkan bagi calon TKI dan melaporkan kegiatan perekrutan mereka. Bila agen perekrutan
tidak melapor, maka pemerintah tidak akan mengetahui kegiatan mereka. Meskipun ada sanksi bagi agen
perekrutan yang tidak melapor ketika mereka telah memberikan informasi tentang calon TKI atau mengirim TKI
ke luar negeri, sanksi ini tidak cukup berarti bagi mereka, akibatnya mempermudah agen perekrutan melakukan
praktek perekrutan ilegal.
Perlindungan TKI akan meningkat secara signifikan kalau semua agen perekrutan selalu mempertimbangkan
kepentingan TKI pada saat proses perekrutan dan penempatan. Akan tetapi, pengawasan yang ketat terhadap agen
perekrutan, kegiatan perekrutan dan penempatan, juga sanksi yang jelas bagai pelanggar masih perlu dipastikan.
UU tidak menjabarkan sistem semacam itu untuk pengawasan ketat dan aktif terhadap agen perekrutan.
21
26
27
Pada tahun 2008, BNP2TKI mengembangkan bahan-bahan pelatihan yang mencakup topik sebagai berikut:
t .BTBLFSKBEBOLPOUSBLLFSKB UFSNBTVLIBLIBLEBOLFXBKJCBO5,*EBONBKJLBOOZB
t 66 UFSNBTVL)VLVN1JEBOB
QFSBUVSBOQFSBUVSBOEBOLFCJBTBBOLFCJBTBBOEJOFHBSBUVKVBO
t 1SPTFEVSLFEBUBOHBOEBOLFCFSBOHLBUBO
t 1FSBONJTJEJQMPNBUJL*OEPOFTJBVOUVLNFMBLVLBOUBUBQNVLBEFOHBO5,*EBOCBHBJNBODBSB5,*NFOEBQBULBO
akses ke bantuan;
t ,MBJNBTVSBOTJ
t 5BCVOHBOEJCBOLEBOKBMVSSFTNJQFOHJSJNBOVBOH
t 1BOEVBOLFTFIBUBO
t .FOJOHLBULBOLFTBEBSBOUFOUBOHCFCFSBQBJTVTFQFSUJQFSEBHBOHBOPSBOHEBOOBSLPCB
t .FMBUJISBTBQFSDBZBEJSJEBMBNNFOHIBEBQJLFKVUBOCVEBZB
TUSFT
LFTFQJBO
EBOJTVQSPGFTJPOBMEBO
t 1SPTFEVSQVMBOHLFLBNQVOHIBMBNBO
Tabel 8: Masalah Pendidikan dan Pelatihan yang Dialami TKI di 3 Kabupaten (2007)
Masalah
Tidak cukup bahan
Metodologi tidak efektif
Tulang Bawang
Banyumas
Jember
20.0
18.5
86.1
4.0
25.9
97.2
4.0
11.1
13.9
10.0
11.1
28.0
22.2
66.7
2.0
14.8
16.7
Sejak Febuari 2009, tanggung jawab untuk menyampaikan Pembekalan Akhir Pemberangkatan (PAP) telah dibagi
antara dua lembaga. BNP2TKI melakukan pelatihan TKI yang dikirim berdasarkan kesepakatan antar pemerintah,
sementara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi beserta agen perekrutan melakukan pelatihan ke semua
TKI lain yang akan berangkat. TKI yang dikirim ke luar negeri melalui kesepakatan antar pemerintah hanya perlu
menghadiri pelatihan yang diadakan oleh BNP2TKI dan bukan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi .
22.0
48.1
69.4
9.3
13.9
18.0
88.9
44.4
24.0
63.0
47.2
Bagi TKI yang dipekerjakan oleh agen perekrutan swasta, Peraturan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
No. 17/2009 tentang organisasi pelatihan sebelum keberangkatan bagi TKI di luar negeri yang diadopsi bulan
agustus 2009, mewajibkan asosiasi agen perekrutan berijin resmi untuk mendaftarkan semua TKI sesuai
persyaratan administrasi, sementara sesi Pembekalan Akhir Pemberangkatan disampaikan oleh Kementerian
Tenaga Kerja dan Transmigrasi, bila mungkin didukung oleh lembaga pemerintah lainnya (tidak ada spesifikasi)
atau sumber lain dari luar yang mempunyai keahlian dalam hal ini. TKI seharusnya menerima Pembekalan Akhir
Pemberangkatan secara gratis dan tidak lebih dari dua hari sebelum mereka berangkat ke luar negeri. Kurikulum
PAP yang dilampirkan ke dalam peraturan serupa dengan isi panduan pelatihan yang disusun oleh BNP2TKI (telah
diuraikan diatas).
12.0
9.3
19.4
80.0
85.2
44.4
92.0
85.2
83.3
Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi telah mengeluarkan dua Keputusan Menteri tentang PAP bagi TKI yang
hendak bekerja ke luar negeri. Peraturan Menteri No. 4/2005 untuk tujuan praktis, digantikan dengan Peraturan
Menteri No. 17/2009, namun peraturan yang terakhir malah kurang jelas dibandingkan peraturan sebelumnya.
Peraturan Menteri No. 4/2005 dengan jelas menyatakan siapa yang bertanggung jawab untuk menyampaikan
materi PAP dan siapa yang akan menanggung biayanya sementara Peraturan Menteri No. 17/2009--tanpa mengarah
ke peraturan menteri sebelumnya mengenai masalah yang sama--hanya menyatakan bahwa PAP dilakukan oleh
Dirjen Penempatan dan Pendirian Tenaga Kerja beserta partisipasi agen lain yang terkait (Pasal 3).
Tabel 8 menunjukkan hasil survei yang dilakukan di tiga provinsi asal. Terlihat bahwa program pendidikan dan
pelatihan yang disediakan agen perekrutan sering mencakup bahan-bahan yang tidak memadai dan metode
pengajaran tidak efisien akibat kurangnya sumber daya. Bahkan pada tingkat pemerintah pusat, PAP diadakan
lebih singkat, hanya 8 jam (atau kurang) di ruang rapat yang seringkali penuh sesak, bukan 20 jam seperti yang
disyaratkan. Kondisi ini tentu saja hampir tidak memungkinkan untuk membahas semua topik dengan memadai.
Walaupun kurikulumnya cukup komprehensif, namun karena keterbatasan waktu maka Pembekalan Akhir
Pemberangkatan sebelum keberangkatan cenderung seperti membuang poin yang penting untuk menyediakan
perlindungan yang lebih baik bagi para TKI.
Berdasarkan Undang-Undang, semua topik Pembekalan Akhir Pemberangkatan yang terdaftar di atas diharapkan
untuk disampaikan dalam waktu 20 jam (atau 2 hari). Demi mengurangi tekanan pada sumber daya pelatihan
dari pemerintah pusat, Peraturan Menteri No. 17/2009 melihat kemungkinan pendelegasian tanggung jawab
pelatihan ke tingkat provinsi dan kabupaten bila pihak yang berwenang telah mengijinkannya.
28
Dalam Peraturan Menteri No. 17/2009 terdapat ketentuan untuk mendelegasikan tanggung jawab pelatihan
di tingkat provinsi. Walaupun peraturan ini diberlakukan sesegera mungkin, hanya sedikit upaya membangun
kapasitas pegawai pemerintah di tingkat provinsi atau kabupaten. Kapasitas pelatihan dan Pembekalan Akhir
Pemberangkatan (PAP) masih dipusatkan di Jakarta dan kota-kota besar lainnya seperti Surabaya. Sentralisasi
geografis meningkatkan biaya migrasi bagi TKI yang diminta untuk membayar perjalanan mereka sendiri dan
biaya akomodasi agar bisa menghadiri pelatihan wajib ini.
Agen perekrutan diberikan wewenang yang signifikan dalam persiapan dan pelaksanaan program pelatihan
pendidikan dan keterampilan, namun tidak ada jaminan bahwa pendidikan dan pelatihan yang dilakukan
mencukupi karena sering tidak dipantau oleh pemerintah. Kepedulian terhadap hal ini mencuat karena
berdasarkan studi tahun 2007 yang dilakukan oleh Institute for Ecosoc Rights, banyak TKI yang tidak menerima
pelatihan sama sekali sebelum keberangkatan.
Kelemahan dalam program pendidikan dan pelatihan bagi TKI merupakan hasil kegagalan dalam mengembangkan
dan melaksanakan sistem standar program pendidikan yang seharusnya tersedia bagi TKI. Studi yang dilakukan
oleh Institute for Ecosoc Rights (2007) menemukan bahwa materi yang dipakai untuk mengajar tidaklah memadai
dan tidak mengulas tantangan yang akan dihadapi selama bekerja di luar negeri. Tanpa kurikulum nasional,
sangatlah tidak mungkin standar pelatihan dan bahan yang disediakan baik kualiatsnya. Banyak agen perekrutan
tidak mempunyai kapasitas untuk menyediakan pelatihan berkualitas bagi TKI.
Kebijakan pemerintah mengenai migrasi tenaga kerja tidak menjelaskan secara lengkap tentang proses dan
persyaratan untuk memperbaiki kemampuan dan keterampilan (termasuk keterampilan antar pribadi) dari calon
TKI seperti yang diminta agen perekrutan. Pemerintah hanya menyediakan garis besar cakupan pendidikan dan
pelatihan seperti pemahaman kemungkinan peristiwa yang bisa terjadi, kondisi kerja, informasi tentang hak dan
tanggung jawab TKI yang dimaksud. Indikator yang luas tidak cukup dan tidak mengatur pelaksanaan persyaratan
ini.
29
Biaya Penempatan
Sebagian besar TKI termotivasi oleh prospek mendapatkan penghasilan yang lebih besar melalui migrasi, namun
sebenarnya migrasi sendiri merupakan sebuah investasi yaitu ketika agen perekrutan membebankan biaya pada
TKI perorangan melalui proses migrasi. Migrasi ke luar negeri untuk bekerja merupakan investasi mahal bagi para
TKI dan biaya ini telah melonjak khususnya sejak 2004. Pada tahun 2004, pemerintah mengeluarkan buku panduan
berisikan informasi bagi TKI dan tentang prosedur yang mahal bagi TKI ke negara tujuan sebagai lampiran
Peraturan Menteri No. 104A/2002.22 Untuk Hong Kong SAR, Direktorat Pemberdayaan TKI sebagai bagian dari
Direktorat Jenderal bagi Pelatihan dan perencanaan tenaga kerja pada bulan November 2004 menentukan biaya
penempatan sebesar Rp 9.132.000 (US$ 1.000). Namun, lewat Peraturan Menteri No. 186/2008 biaya dinaikkan
menjadi Rp 15.000.000 (US$ 1.600).23 Bagi TKI yang hanya menerima gaji sebesar HKD 3.580 (US$ 460 ) per bulan
di Hong Kong SAR (China Worker, 2010), peningkatan ini jelas membebani dan dibuat tanpa konsultasi dengan
publik.
Estimasi biaya penempatan bisa ditemukan di masing-masing peraturan pemerintah. Namun, informasi ini tidak
selalu tersedia bagi calon TKI, sehingga mereka tidak punya gambaran berapa biaya yang harus dibayarkan untuk
migrasi mereka ke luar negeri. Akibatnya, agen perekrutan memanfaatkan TKI, dan banyak TKI membayar lebih
untuk perekrutan dan dokumen daripada yang ditetapkan UU. Tabel 9 menyediakan tinjauan luas komponen
biaya penempatan TKI di berbagai negara tujuan.
Tabel 9: Komponen dan Biaya Penempatan TKI di Sektor Domestik (PRT)
Negara Tujuan
Komponen Biaya
Malaysia
(Rp)
Singapura
(Rp)
Hong Kong
(Rp)
Arab Saudi
(Rp)
A. Biaya pas
1. Pengurusan Paspor
110,000
110,000
110,000
110,000
2. Tes Kesehatan
225,000
150,000
3. Visa Kerja
60,000
60,000
4. Asuransi
400,000
400,000
150,000
150,000
1. Transportasi daerah
40,000
40,000
40,000
40,000
2. Tiket keberangkatan
810,000
700,000
2,125,000
3,500,000
390,000
1,170,000
1,170,000
780,000
405,000
1,215,000
1,215,000
810,000
1,150,000
1,250,000
3,597,000
1,200,000
125,000
125,000
125,000
125,000
3,865,000
5,370,000
9,192,000
7,505,000
5. Jasa Perusahaan
6. Tes kompetensi kerja dan orientasi
sebelum keberangkatan
TOTAL
Source: Ministry of Manpower (2004).
Biaya pelatihan dan akomodasi temporer merupakan bagian utama dari biaya perekrutan karena tergantung
dari negara tujuan di mana TKI akan bekerja. Untuk biaya kursus bahasa negara tujuan, lama atau sebentarnya
durasi kursus, tergantung kebutuhan TKI. Pada kenyataannya, biaya akomodasi temporer merupakan komponen
terbesar karena digunakan untuk membiayai kursus pendidikan dan waktu yang dihabiskan ketika menunggu
panggilan dari majikan. Bila pendidikan dan pelatihan TKI dilakukan secara lokal, maka biaya penempatan bisa
ditekan serendah mungkin karena mereka bisa tetap tinggal di rumah. Sebagai tambahan, ada biaya transportasi
22
23
30
Dalam dokumen ini, pemerintah hanya menyatakan, tidak menentukan ragam komponen biaya. Organisasi Masyarakat Madani dan TKI berharap pemerintah
akan menentukan kebijakan biaya penempatan yang meringankan beban biaya dan memperhatikan kepentingan TKI.
US$ 1 = HKD 7,76 tertanggal 25 Maret 2010.
ke negara tujuan yang seharusnya menjadi tanggung jawab majikan namun justru lebih sering dibebankan ke
TKI. Hal ini membuat biaya perekrutan dan penempatan menjadi sangat tinggi bagi TKI tetapi mengurangi biaya
bagi para majikan di negara tujuan.
Sehubungan dengan hal pembayaran untuk Pembekalan Akhir Pemberangkatan wajib, peraturan terbaru tidak
menyatakan dengan jelas siapa yang harus dikenai biaya. Peraturan Menteri No. 17/2009 menyatakan bahwa
calon TKI seharusnya tidak dikenakan biaya pengarahan, namun tidak secara jelas menyebutkan siapa yang
bertanggung jawab. Tanpa ketentuan khusus yang menyatakan bahwa pemerintah akan membayar pelatihan,
maka sangat mungkin biaya ditanggung oleh agen perekrutan dan kemudian dibebankan ke TKI.
31
Selain sanksi administrasi, sanksi kriminal juga bisa berikan oleh pemerintah untuk menghukum agen perekrutan
yang melanggar ketentuan berikut:
t .FNJOEBILBOBUBVNFOHBMJILBOJKJOVOUVLNFOHBUVSLFSKB5,*LFBHFOQFSFLSVUBOMBJOOZB
t .FNJOEBILBOBUBVNFOHBMJILBOTVSBUJKJOQFSFLSVUBOLFQJIBLMBJO
t .FMBLVLBOQFSFLSVUBO5,*ZBOHUJEBLNFNFOVIJQFSTZBSBUBOSFTNJ
t .FOFNQBULBO5,*ZBOHUJEBLNFNFOVIJUFTLPNQFUFOTJLFSKB
t .FOFNQBULBO5,*ZBOHUJEBLNFNFOVIJQFSTZBSBUBOLFTFIBUBOEBOQTJLPMPHJT
t .FOFNQBULBODBMPO5,*BUBV5,*UBOQBEPLVNFO
t .FOFNQBULBO5,*EJMVBSOFHFSJUBOQBQFSMJOEVOHBOQSPHSBNBTVSBOTJ
t 5JEBLNFNQFSMBLVLBODBMPO5,*EFOHBOCBJLBUBVNBOVTJBXJTFMBNBQFMBUJIBOTFCFMVNLFCFSBOHLBUBO
t 5JEBLNFOFNQBULBO5,*NFMBMVJNJUSBVTBIB
t .FOFNQBULBO5,*EJMVBSOFHFSJVOUVLLFVOUVOHBONFSFLBTFEJSJUBOQBBEBJKJOUFSUVMJTEBSJNFOUFSJ
t .FNQFLFSKBLBODBMPO5,*ZBOHNBTJINFOKBMBOJQFOEJEJLBOQFMBUJIBOLFUFSBNQJMBO
t .FOFNQBULBO5,*UBOQBLBSUVJEFOUJUBTEJMVBSOFHFSJEBO
t 5JEBL NFNCFSBOHLBULBO5,* ZBOH TVEBI NFNQVOZBJ EPLVNFO MFOHLBQ )VLVNBO ZBOH EJLFOBLBO QBEB
agen perekrutan adalah hukuman penjara selama 1-5 tahun atau denda tidak kurang dari Rp 1 milyar
(US$ 109.600).
Pengawasan pemerintah terhadap agen perekrutan yang melanggar perundang-undangan kemungkinan besar
dilakukan bila ada laporan dari masyarakat umum (Tempo Interaktif, 2009). Tidak adanya inisiatif pengawasan dari
pemerintah baik secara teratur maupun tidak, dimanfaatkan oleh agen perekrutan untuk mengintimidasi calon
TKI sehingga hanya ada sedikit laporan yang masuk ke pemerintah (Lampung Post, 2005).
Pemerintah regional mempunyai wewenang yang terbatas untuk mengambil tindakan terhadap agen perekrutan
yang melanggar peraturan. Hanya Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi mempunyai wewenang untuk menutup
agen perekrutan seperti yang ditentukan Peraturan Menteri No. 10/2009, tentang pemberian, perpanjangan dan
pencabutan ijin penempatan oleh Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Dalam kasus-kasus ini, Dinas Tenaga
Kerja dan Transmigrasi hanya dapat memberikan rekomendasi ke Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi
atau agen perekrutan yang terkena sanksi. Masalah wilayah kewenangan hukum antara pemerintah pusat dan
regional dan kurangnya pengawasan benar-benar menghambat pengawasan agen perekrutan di daerah.
Seperti yang telah didiskusikan di atas, pemerintah pusat (dalam hal ini Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)
telah menetapkan peraturan yang menetapkan agen perekrutan dan pengaturan penempatan tenaga kerja sesuai
dengan prosedur standar tertentu. Kelemahan dasar kebijakan ini adalah banyaknya agen-agen pemerintah pusat
yang tidak memiliki infrastruktur hukum untuk mengatur dan memantau kegiatan agen perekrutan.
Demi memperbaiki layanan dalam perlindungan TKI seperti yang dimandatkan lewat Instruksi Presiden No.
6/2006, Kementerian Luar Negeri mengeluarkan Peraturan Menteri No. 4/2008 tentang penyediaan layanan bagi
warga Negara Indonesia di misi diplomatik di luar negeri. Peraturan ini menetapkan bahwa layanan ke warga
negara Indonesia merupakan bagian sistem layanan terpadu yang bertujuan memperbaiki perlindungan kepada
semua WNI, termasuk TKI. Layanan bagi WNI di misi diplomatik di luar negeri mempunyai dua tujuan utama:
t .FNQFSCBJLJLVBMJUBTMBZBOBOEBONFNQFSLVBUQFSMJOEVOHBOCBHJXBSHBOFHBSB*OEPOFTJBNFMBMVJMBZBOBO
ini sendiri atau transparansi dan standardisasi layanan yang meliputi undang-undang dan peraturan, waktu
penyelesaian, layanan yang dilakukan sesuai peraturan dan penghapusan suap;
t .FMBZBOJEBONFMJOEVOHJXBSHBOFHBSB*OEPOFTJBEJMVBSOFHFSJ
Layanan yang disediakan oleh misi Indonesia di luar negeri termasuk:
t 1FOEBGUBSBOXBSHBOFHBSB*OEPOFTJBEBONFOZJNQBOQBOHLBMBOEBUBXBSHBOFHBSB*OEPOFTJBEJOFHBSBJUV
t #BOUVBOEBOQFSMJOEVOHBOLPOTVMBU
t -BZBOBOEBOQFSMJOEVOHBOUFSIBEBQ5,*
t -BZBOBOEBOQFSMJOEVOHBOQFOVNQBOHLBQBMEBO
t "LPNPEBTJTFNFOUBSBEBOLPOTFMJOH
Peraturan Menteri ini mengatur layanan bantuan hukum bagi WNI termasuk TKI dengan kasus hukum, juga
pengawasan dan perlindungan TKI. Misi Indonesia di luar negeri bertanggung jawab terhadap perlindungan
TKI dari titik pemberangkatan, pengawasan kontrak kerja, dan perlindungan selama bekerja lewat tindakan
penanganan masalah saat berada di luar negeri. Tugas misi yang lainnya menyediakan bantuan ke keluarga WNI
yang meninggal selama berada di luar negeri. Perbaikan dalam pengurusan dokumen dan ketersediaan layanan
telah ikut memperbaiki kinerja misi luar negeri Indonesia dan kemampuan mereka untuk melindungi TKI. Di
beberapa misi diplomatik Indonesia di negara tujuan, masyarakat Indonesia mengakui pemrosesan dokumen
menjadi lebih cepat dan mudah, layanan bagi TKI yang memerlukan bantuan pun menjadi lebih baik.
Memang diakui penyediaan layanan telah meningkat, namun perubahan-perubahan ini belum benar-benar
menghapus kebutuhan perlindungan bagi TKI karena tanggung jawab perlindungan sebagian besar masih
diserahkan ke agen perekrutan. Kelemahan sistem perlindungan ini menjadi semakin jelas; ini artinya upaya
Kementerian Luar Negeri untuk memperbaiki perlindungan TKI belum diimplementasikan secara penuh.
Contohnya, walaupun ada upaya mendaftarkan semua TKI di misi Indonesia di negara tujuan agar bisa membantu
mereka bila menemui masalah, namun masih banyak agen perekrutan yang tidak melaporkan TKI yang baru saja
tiba. Akibatnya, KBRI dan KJRI tidak mengetahui jumlah tepat atau lokasi TKI yang bekerja di negara itu.
Komunitas regional sering mengeluh bahwa mereka tidak mengetahui agen perekrutan mana yang bermasalah
dan yang tidak. Mereka merasa kesulitan untuk memboikot atau menginformasikan ke calon TKI tentang agen
perekrutan yang perlu dihindari. Meskipun demikian, ada laporan yang menyatakan bahwasanya mudah bagi
agen perekrutan yang terkena sanksi untuk mendirikan perusahaan baru dan menggunakan nama baru walaupun
pemilik dan manajer masih tetap orang yang sama. Fenomena membonceng juga ada; agen perekrutan tanpa
ijin untuk merekrut, melakukan perekrutan TKI dan selanjutnya diproses oleh agen perekrutan lain.
Proses perekrutan didominasi oleh agen perekrutan, pengetahuan TKI tentang layanan yang disediakan oleh KBRI
sebagian terbatas pada informasi yang mereka terima dari agen perekrutan. Dengan pengawasan yang minim
terhadap agen perekrutan sangatlah sulit ditetapkan apakah sebenarnya kebanyakan TKI memiliki informasi
memadai dan tepat tentang kemana mereka harus pergi bila mereka membutuhkan bantuan. Hasil wawancara
Institute for Ecosoc Rights (2007) terhadap mantan TKI menunjukkan bahwa banyak TKI diberitahu oleh agen
perekrutan baik di Indonesia maupun negara tujuan untuk tidak mencari bantuan ke KBRI atau KJRI bila menemui
masalah. Lebih jauh, dikatakan pula bahwa pada saat tiba di negara tujuan, agen perekrutan atau majikan kadangkadang merampas nomor telepon KBRI.
Pada saat TKI kembali ke Indonesia, mereka harus melaui sistem repatriasi di terminal khusus di bandara yaitu
Terminal IV Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kebijakan repatriasi TKI kembali ke kampung halaman mereka
melalui Terminal IV sudah ditetapkan sejak1999 melalui Keputusan Menteri Tenaga Kerja No. 204/1999 yang
menunjuk Terminal IV sebagai terminal khusus untuk kepulangan TKI.
Seperti yang dibahas sebelumnya, manajemen efektif yang bermanfaat bagi semua pemangku kepentingan
dalam menangani isu-isu perlindungan tidak bisa tercapai tanpa kerja sama erat antar badan pemerintah terkait,
pemangku kepentingan swasta dan TKI. Sampai sekarang, Serikat Buruh Migran dan organisasi yang bekerja bagi
TKI belum mampu mencapai perlindungan TKI yang memadai karena berjalan sendiri-sendiri. Hanya dengan
meningkatkan kerja sama antara pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya maka kekurangan sistem
perlindungan TKI saat ini dapat diselesaikan, memperbaiki peraturan yang terkait dan manajemen keseluruhan
migrasi tenaga kerja. Agar bisa melindungi TKI selama berada di luar negeri, dibutuhkan kerja sama erat dengan
negara tujuan.
32
Terminal khusus ini diresmikan pada tahun 1999. Tahun 2008, dipindahkan dari Terminal III ke Terminal IV (Terminal
untuk Pengumpulan Data) dan pemrosesan kepulangan TKI sekarang ditangani oleh BNP2TKI.
Pemerintah Indonesia mengakui bahwa TKI yang pulang memiliki permintaan dan kebutuhan tertentu yang patut
diperhatikan pada saat kepulangan mereka, seperti bantuan transportasi, medis, hukum, dan di beberapa kasus
keuangan dan psikologis. Kebutuhan ini bisa diakses dan disediakan oleh petugas yang memberikan layanan
khusus di Terminal IV pada saat kedatangan.
33
Terlepas dari niat baik, penyediaan layanan di Terminal IV bukan berjalan tanpa cacat. Terminal khusus memaksa
TKI untuk pulang lewat Jakarta, walaupun ini berarti jalan putar yang lebih jauh dan tidak adanya alternatif
lain. TKI harus pulang ke alamat rumah yang tertulis di paspor mereka; hal ini menimbulkan masalah bagi yang
menggunakan dokumen palsu dan yang keluarganya telah pindah alamat. TKI dipaksa untuk menukar penghasilan
mereka dalam rupiah dan mengirim barang-barang milik mereka ke rumah dengan menggunakan kargo yang
mahal. TKI yang mengalami masalah di luar negeri sering dipaksa untuk berurusan dengan agen perekrutan
walaupun kesalahan bisa jadi berasal dari agen; beberapa bahkan dipaksa untuk membayar biaya kepulangan
mereka sendiri. Proses ini semua memerlukan waktu yang lama dan dilaporkan terdapatnya kasus korupsi di
terminal.
Walaupun banyak pihak melaporkan berbagai masalah yang dialami TKI selama proses kepulangan mereka,
BNP2TKI menganggap Terminal IV sebagai tempat yang bisa melindungi TKI dari unsur-unsur kejahatan di bandara
Soekarno-Hatta. Pihak yang berwenang mengakui bahwa layanan perlindungan Terminal IV tidak beroperasi
secara optimal dan masih banyak ruang untuk perbaikan. Lampiran IV membahas perbaikan yang dibuat lebih
lengkap.
No
30.0
16.7
8.3
22.0
31.5
38.9
42.0
37.0
36.1
Bantuan mengatasi
dengan keluarga
18.0
14.8
16.7
Tulang Bawang
masalah
Banyumas
Jember
Emigrasi Kembali
34
Jumlah layanan yang nyata-nyata dibutukan oleh TKI semakin meningkat, khususnya untuk mengelola
penghasilan yang mereka dapat saat bekerja di luar negeri, seperti yang digambarkan pada pola pemakaian
penghasilan. Sebagian besar penghasilan dihabiskan untuk biaya sehari-hari, sebuah indikasi betapa ketatnya
situasi ekonomi yang dihadapi TKI dan keluarga mereka (Tabel 11). Selain untuk biaya konsumsi sehari-hari, juga
pendidikan anak-anak dan saudara mereka, membangun rumah, membeli tanah, perawatan dan perbaikan
rumah. Ini mengindikasikan bahwa bekerja di luar negeri merupakan cara untuk memperbaiki tingkap hidup TKI
dan kesejahteraan keluarga mereka.
Tabel 11: Pemakaian Penghasilan dari Luar Negeri oleh TKI yang Pulang
No.
Banyumas
Jember
1.
Makan Sehari-hari
42,0
72,2
55,6
2.
40,0
40,7
25,0
3.
Membantu keluarga
48,0
37,0
5,6
4.
Membangun rumah
22,0
48,1
27,8
5.
Membeli tanah
36,0
25,9
27,8
6.
Memperbaiki rumah
20,0
11,1
13,9
7.
30,0
9,3
47,2
8.
Menabung
24,0
35,2
16,7
9.
Membayar hutang
20,0
20,4
13,9
10.
34,0
1,9
19,4
11.
18,0
22,2
8,3
12.
Membeli ternak/unggas
10,0
7,4
25,0
13.
Perawatan medis
14,0
1,9
16,7
14.
Membeli perhiasan
2,0
5,6
11,1
Dari pola pemakaian penghasilan ini, nampak hanya sedikit TKI yang menggunakannya untuk berinvestasi
dalam usaha. Hal ini bisa dimaklumi mengingat resiko yang harus dihadapi. Bagi mereka akan lebih aman untuk
menyimpan hasil kerja dalam bentuk tanah, rumah atau tabungan, membeli sepeda motor yang bisa digunakan
untuk usaha seperti ojek. Terlepas dari keinginan TKI untuk memulai suatu usaha, kenyataannya sangatlah sulit bila
modal terbatas. Beberapa TKI ada yang menggunakan penghasilan yang mereka peroleh untuk memulai usaha.
Namun, sukses yang diraih sangatlah minim, karena kurang pengetahuan, pendidikan, pelatihan dan bantuan
dalam melakukan dan mengelola usaha mereka.
35
Banyak TKI memilih membangun rumah, tetapi setelah membangun rumah yang sangat mewah untuk ukuran
desa, mantan TKI atau anggota keluarga mereka sering dipaksa bermigrasi lagi ke luar negeri untuk bekerja agar
bisa membayar biaya sehari-hari. Pada kenyataannya, memang banyak TKI yang kembali bekerja ke luar negeri
berkali-kali. Hasil studi Institute for Ecosoc Rights (2007) menemukan banyaknya kasus TKI yang dilahirkan dalam
keluarga TKI (contohnya di Banyumas dan Cilacap), dengan beberapa generasi berkecimpung di migrasi tenaga
kerja. Ini menunjukkan sebuah pola budaya yang berkembang dalam tatanan migrasi di wilayah Indonesia.
Kebanyakan TKI tidak dibayar dengan cukup tinggi (Tabel 12). Jumlah yang diperlihatkan merupakan tabungan
rata-rata setelah bekerja selama dua tahun di luar negeri. Jumlah tabungan yang lumayan kecil sebagian
merupakan refleksi dari kerja berpenghasilan rendah, sekaligus menunjukkan besarnya biaya pererkrutan yang
dibebankan kepada TKI. Tabel 12 juga menunjukkan perbedaan penghasilan antara daerah asal yang berbeda. Hal
ini kemungkinan besar karena TKI pergi ke negara tujuan berbeda dan menerima gaji yang berbeda pula. Jaringan
kerja yang kuat sering berkembang antar daerah dan negara tujuan tertentu. Kebanyakan TKI yang berasal dari
daerah yang sama akan pergi ke negara tujuan yang sama.
Tabel 12: Tabungan Rata-rata TKI Setelah Dua Tahun Bekerja di Luar Negeri
Sejauh ini belum nampak adanya sistem penanganan kasus dengan administrasi yang jelas atau sanksi hukum
yang tegas bagi mereka yang melakukan tindak kejahatan terhadap TKI. Penanganan kasus TKI, khususnya di
daerah, masih dilakukan sembarangan. Tidak ada layanan bantuan hukum bagi TKI sehingga sangat membatasi
ruang gerak mereka mencari keadilan.
Manajemen kasus yang lemah dan kurangnya bantuan hukum bagi TKI yang mengalami ketidakadilan juga
merupakan hasil dari kelemahan undang-undang yang mengatur mereka, UU No. 39/2004. Kelemahan ini
termasuk:
t 4BOLTJ ZBOH EJUFUBQLBO EBMBN 1BTBM 66 /P UJEBL NFOZBUBLBO EFOHBO KFMBT LFSBOHLB XBLUV
untuk penjatuhan sanksi, bahkan bila penegak hukum telah mengeluarkan peringatan, pelaku masih bisa
terus beraksi melanggar hukum;
t 6OEBOHVOEBOHUJEBLNFOZBUBLBOEFOHBOKFMBTUBOHHVOHKBXBC5,*ZBOHCFSLBJUBOEFOHBOQFSBONFSFLB
dalam penanganan kasus mereka; dan
t 6OEBOHVOEBOHUJEBLTFDBSBLIVTVTEBOKFMBTNFOZBUBLBOIBLIBL5,*ZBOHNFOHBMBNJNBTBMBITFCFMVN
atau sesudah migrasi, termasuk akses/hak-hak untuk mendapatkan bantuan hukum bagi mereka yang
mengalami bentuk ketidakadilan.
Tulang
Bawang
Banyumas
Jember
1.
30,0
70,4
27,8
2.
22,0
18,5
38,9
3.
18,0
1,8
2,8
4.
24,0
9,3
22,2
5.
Tidak tahu
6,0
8,3
36
18%
Peraturan migrasi
14%
HAM
14%
Semua di atas
10%
41%
37
Bila kesadaran TKI akan hak-haknya sangat minim, tentunya akan sangat menguntungkan pihak majikan atau
agen perekrutan. Tanpa mengetahui hak-hak mereka dan kemana mendapatkan bantuan, banyak TKI memilih
diam saja bila terjadi kasus pelanggaran kontrak kerja atau kekerasan. Pada kenyataannya, mayoritas TKI di Hong
Kong SAR menerima upah di bawah standar dan tidak mendapatkan kompensasi apapun untuk jam kerja yang
sangat panjang.
MALAYSIA
GAMBARAN UMUM MIGRASI TENAGA KERJA
Malaysia merupakan negara pengirim dan negara tujuan
bagi tenaga kerja migran serta negara tujuan utama bagi
TKI. Migrasi ke luar negeri didominasi oleh tenaga kerja
terampil dan pelajar yang belajar di luar negeri, sementara
migrasi ke Malaysia dikategorikan oleh tenaga kerja tidak
terampil atau semi terampil.
24
38
Data berasal presentasi oleh Kementerian Sumber Daya Manusia Pemerintah Malaysia pada saat Kunjungan Studi Delegasi Pemerintah Indonesia 1-2
September 2009.
39
Bila kesadaran TKI akan hak-haknya sangat minim, tentunya akan sangat menguntungkan pihak majikan atau
agen perekrutan. Tanpa mengetahui hak-hak mereka dan kemana mendapatkan bantuan, banyak TKI memilih
diam saja bila terjadi kasus pelanggaran kontrak kerja atau kekerasan. Pada kenyataannya, mayoritas TKI di Hong
Kong SAR menerima upah di bawah standar dan tidak mendapatkan kompensasi apapun untuk jam kerja yang
sangat panjang.
MALAYSIA
GAMBARAN UMUM MIGRASI TENAGA KERJA
Malaysia merupakan negara pengirim dan negara tujuan
bagi tenaga kerja migran serta negara tujuan utama bagi
TKI. Migrasi ke luar negeri didominasi oleh tenaga kerja
terampil dan pelajar yang belajar di luar negeri, sementara
migrasi ke Malaysia dikategorikan oleh tenaga kerja tidak
terampil atau semi terampil.
24
38
Data berasal presentasi oleh Kementerian Sumber Daya Manusia Pemerintah Malaysia pada saat Kunjungan Studi Delegasi Pemerintah Indonesia 1-2
September 2009.
39
iii.
Di dalam hukum Malaysia, majikan berkewajiban mengirimkan uang jaminan sebesar 200 Ringgit (US$ 60,20)25
hingga 2.000 Ringgit (US$ 601,96), tergantung dari negara asal tenaga kerja. Dengan demikian majikan berhak
secara legal menyimpan paspor tenaga kerja migran ini.
Tabel 14: Jumlah Tenaga Kerja Migran di Malaysia Berdasarkan Negara Pengirim
Indonesia
1.215.000
1.120.828*
Nepal
200.200
207.053
India
139.700
138.083
Vietnam
85.800
103.338
Banglades
58.800
315.154
Mianmar
32.000
134.110
Filipina
22.000
27.105
Thailand
7.200
20.704
Lain-lain
88.900
43.579
1.849.600
2.109.954
TOTAL
Menurut Kementerian Sumber Daya Manusia Malaysia, terdapat sekitar 2,1 juta tenaga kerja migran di Malaysia
yang bekerja di hampir semua sektor ekonomi (kira-kira 170.000 perusahaan mempekerjakan orang asing). Jumlah
tenaga kerja migran yang cukup besar di kebanyakan sektor ekonomi menunjukkan ketergantungan ekonomi
Malaysia kepada mereka. Tabel 15 menunjukkan distribusi TKI berdasarkan sektor di Malaysia: perkebunan, PRT
(domestik), konstruksi dan pabrik merupakan sektor utama bagi TKI.
25
40
Sektor Kerja
1.
Perkebunan
310.000
25,5%
2.
294.000
24,2%
3.
Konstruksi
220.000
18,1%
4.
Pabrik/industri
200.000
16,5%
5.
Jasa
100.000
8,2%
6.
Pertanian
90.000
7,5%
1.214.000
100,0%
TOTAL
Kebanyakan tenaga kerja migran yang ke Malaysia berketerampilan rendah atau semi terampil dan umumnya
menempati kerjaan yang bahaya, kotor dan/atau merendahkan (atau juga disebut pekerjaan 3D) di sektor industri
pengolahan/manufaktur, pertanian, konstruksi, dan domestik. Pekerjaan yang tidak diminati oleh sebagian besar
warga negara Malaysia karena kecilnya gaji yang ditawarkan.
No.
Negara Asal
Kerja bagian sektor di Malaysia cenderung terbagi menurut jender. Tenaga kerja laki-laki bekerja di sektor
perkebunan dan konstruksi, sedangkan tenaga kerja perempuan di bagian sektor domestik (PRT) dan jasa.
Dilaporkan bahwa kedua kelompok tenaga kerja laki-laki maupun perempuan sering menjadi korban perlakuan
kasar, termasuk menunda pembayaran gaji mereka atau kekerasan verbal atau fisik. Tenaga kerja di sektor domestik
sebagai pembantu rumah tangga sangatlah rentan karena mereka tidak terlindungi oleh Hukum Ketenagakerjaan
Malaysia dan sering terisolasi dari pekerja lain karena mereka terkurung di dalam rumah tangga majikan mereka.
41
Wawancara dengan TKI ilegal menunjukkan bahwa banyak TKI menjadi ilegal bukan karena pilihan tetapi karena
kondisi kondusif yang diciptakan oleh pihak-pihak lain.26 Bagi mereka yang dengan sadar telah memilih migrasi
ilegal biasanya mempunyai informasi cukup membantu tentang kondisi dan hubungan sosial dengan Malaysia.
Namun, mereka yang menjadi ilegal karena kurangnya pengetahuan atau melarikan diri dari eksploitasi atau
kekerasan, rentan diperdaya dalam bentuk yang lain.
Untuk menghadapi isu-isu migrasi ilegal, Malaysia menggunakan dua strategi berbeda; sering mengombinasikan
kampanye legalisasi dengan langkah-langkah hukuman yang sangat keras bagi tenaga kerja migran ilegal. Tahun
1993, 500 ribu TKI ilegal memanfaatkan program legalisasi dan pada tahun 1996, 300 ribu TKI juga dilegalkan (Hugo,
2007). Program Amnesti tahun 2002 disertai dengan deportasi masal tenaga kerja migran yang memanfaatkan
program itu. Saat terjadi Tsunami di Asia tahun 2004, Pemerintah Malaysia menyediakan pengampunan (grasi) bagi
TKI yang tidak berdokumen dan membatalkan deportasi masal. Jumlah migran yang dilegalkan dalam program
ini menunjukkan jumlah tenaga kerja migran tidak resmi di Malaysia. Sedangkan program legalisasi memecahkan
masalah migran ilegal jangka pendek, tapi bukan merupakan solusi jangka panjang karena legalisasi sering
dibatasi oleh waktu dan jumlah migran yang akan kembali ke status ilegal ketika periode amnesti berakhir.
Selain progran amnesti yang reguler, pemerintah Malaysia telah melakukan deportasi masal tenaga kerja ilegal
dalam jumlah besar. Badan paramiliter sipil sukarela, Ikatan Relawan Rakyat Malaysia (RELA) didirikan dengan
kewenangan untuk memeriksa dokumen perjalanan dan ijin migrasi bagi penduduk asing di Malaysia. RELA diberi
wewenang untuk menangkap migran yang tidak mampu menunjukkan dokumen yang diperlukan dan dapat
melakukannya di tempat umum atau pribadi kapan saja. RELA akan menyerahkan para migran ke pihak kepolisian
atau petugas imigrasi. Malaysia juga memberikan hukuman cambuk bagi migran ilegal sebelum dideportasi,
sebuah praktek yang sangat dikritik oleh Amnesti Internasional (2002) dan Pengawas HAM (2010).
Disamping semua upaya ini, migrasi ilegal ke Malaysia masih tetap terjadi. Hanya dalam beberapa kasus, majikan
dihukum karena mempekerjakan tenaga kerja migran ilegal. Migrasi ilegal menyebabkan siklus deportasi, migran
yang dideportasi akan masuk lagi ke Malaysia dan dipekerjakan lagi oleh majikan mereka di Malaysia. Jadi, program
legalisasi dan deportasi gagal dalam mengatasi masalah yang mendasar; ketergantungan ekonomi Malaysia pada
tenaga kerja migran.
Malaysia meningkatkan denda bagi migran ilegal yang mau kembali secara sukarela. Sebelumnya, TKI yang mau
pulang ke Indonesia secara sukarela hanya perlu membayar 150 Ringgit (US$ 45) sedangkan sekarang mereka
harus membayar 750 Ringgit (US$ 226).
42
Penelitian dilakukan oleh The Institute for Ecosoc Rights di 2009 tentang TKI tidak berdokumentasi tahun 2009 (publikasi mendatang).
Paspor tenaga kerja migran bisa secara legal disimpan oleh majikan atau agen mereka. Ini menempatkan migran
dalam posisi rentan karena mereka bisa kehilangan status legal jika melarikan diri dari majikan yang melakukan
tindak kekerasan. Hal yang paling memprihatinkan tentang manajemen migrasi di Malaysia adalah bila tenaga
kerja migran yang meninggalkan majikan karena diperlakukan tidak manusiawi, harus tinggal di Malaysia selama
menunggu kasus mereka diproses. Padahal, untuk bisa tinggal di Malaysia tenaga kerja migran harus mengajukan
permintaan visa khusus yang biayanya 100 Ringgit (US$ 30,10) setiap bulannya.27
Visa khusus ini tidak memperbolehkan mereka bekerja. Dengan demikian, tenaga kerja migran harus membayar
biaya visa khusus per bulan ditambah keperluan akomodasi dan makanan tanpa mendapatkan penghasilan.
Seringkali tenaga kerja migran tidak dapat bertahan dalam keadaan ini karena kasus peradilan bisa memakan
waktu yang lama sampai berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Oleh karena itu banyak tenaga kerja migran
yang teraniaya atau tereksploitasi akhirnya kembali ke negara asal mereka sebelum mendapatkan kompensasi
kerja mereka yang memadai atau untuk penganiayaan yang mereka alami.
Kerangka kerja manajemen migrasi ke Malaysia saat ini merujuk kepada Ketetapan Imigrasi tahun 2002. Menurut
ketetapan ini, tenaga kerja ilegal bisa dikenai hukuman penjara sampai 5 tahun, denda hingga 10.000 Ringgit atau
menerima 6 hukuman cambuk dan deportasi. Hukuman serupa juga dikenakan bagi majikan yang mempekerjakan
lebih dari lima migran ilegal. Hukuman cenderung lebih sering ditimpakan kepada tenaga kerja daripada majikan
yang dinyatakan bersalah karena mempekerjakan tenaga kerja migran tanpa dokumen resmi. Beberapa upaya
dibuat oleh Pemerintah Malaysia untuk menindak tenaga kerja ilegal, dengan menawarkan amnesti tahun 2002
(sebelum diperkenalkan Ketetapan Imigrasi tahun 2002), kemudian pada tahun 2004 dan 2005 untuk mendorong
tenaga kerja migran ilegal pulang ke negaranya dan melamar melalui jalur masuk yang resmi ke Malaysia. Namun
upaya pemerintah Malaysia menurunkan jumlah tenaga kerja migran ilegal hanya berdampak kecil dalam
mencegah atau mengurangi migrasi ilegal ke Malaysia. Pada tahun 2009, cara baru diterapkan dengan memberiakn
denda kepada tenaga kerja migran ilegal dan mendorong mereka kembali ke negara asalnya, daripada menahan
atau mendeportasi mereka. Petugas pemerintah menyatakan bahwa meneruskan strategi sebelumnya menjadi
sangat mahal dan diharapkan cara baru ini akan lebih efisien dan manusiawi dalam menghadapi migrasi tenaga
kerja ilegal.
Di bawah Undang-undang Ketenagakerjaan tahun 1955, setiap majikan diminta menyerahkan informasi
mengenai tenaga kerja migran yang bekerja buat mereka ke Direktur Jenderal Ketenagakerjaan dalam jangka
waktu 14 hari setelah mereka mulai bekerja. Undang-undang tersebut memberikan kedaulatan kepada Direktur
Jendral Ketenagakerjaan untuk melakukan penyelidikan perlakuan diskriminasi dan tidak adil terhadap tenaga
kerja migran serta melindungi pekerja lokal dari pemberhentian jika terjadi redundansi. Undang-undang
Ketenagakerjaan tahun 1955, juga menetapkan manfaat bagi tenaga kerja migran, termasuk pembayaran gaji,
jam kerja, jadwal kerja, lembur, hari istirahat, liburan yang dibayar, cuti tahunan dan cuti sakit. Undang-undang
Kompensasi Pekerja Tahun 1959 menetapkan cakupan keamanan sosial bagi tenaga kerja migran.
Dibawah Undang Undang Serikat Dagang tahun 1959, tenaga kerja migran boleh menjadi anggota serikat
dagang secara tidak resmi. Menurut Undang-Undang ketenagakerjaan 1955, kontrak kerja tenaga kerja migran
tidak boleh mengandung kalimat yang melarang mereka bergabung ke perserikatan dan menurut undangundang Hubungan Industri tahun 1967, seorang pekerja tidak dapat diberhentikan dari kegiatan berserikat
mereka. Namun, partisipasi berserikat mereka sangatlah sulit karena kondisi kerja mereka yang ditentukan oleh
ijin kerja tertentu, misalnya jam kerja yang panjang (Kementerian Tenaga Kerja dan Kedutaan Amerika Serikat,
Kuala Lumpur, 2002).
Selain undang-undang dan peraturan nasional, Malaysia telah menandatangani Nota Kesepakatan migrasi tenaga
kerja berkontrak jangka pendek dengan beberapa negara, termasuk Bangladesh, Cina, Indonesia, Pakistan,
Sri Lanka, Thailand dan Vietnam. Nota Kesepakatan tersebut menetapkan bahwa migran harus mempunyai
kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Inggris atau Melayu, mereka tidak boleh mempunyai catatan kejahatan
dan negara pengirim dapat melakukan pemulangan tenaga kerja migran yang melanggar hukum Malaysia
(Kanapathy, 2004). Nota Kesepakatan tersebut bertujuan untuk memfasilitasi perekrutan dan penyeleksian tenaga
kerja migran dari negara-negara ini dan menetapkan pedoman tentang bagaimana memperlakukan tenaga kerja
migran selama berada di Malaysia. Nota Kesepakatan ini juga bertujuan untuk mengatur suplai tenaga kerja
migran tidak terampil ke Malaysia (Shuto, 2006). Namun, jalur resmi migrasi dalam kesepakatan ini masih tetap
terbatas dan tidak mencerminkan kebutuhan pasar tenaga kerja di Malaysia. Kebanyakan tenaga kerja migran
dilindungi dalam undang-undang ketenagakerjaan Malaysia, tapi mereka yang bekerja sebagai pembantu rumah
tangga tidak tercakup di dalam undang-undang ini.
27
43
Banyak TKI tidak berani meninggalkan majikan yang menganiayanya karena tidak mengetahui di mana bisa
mendapatkan bantuan. Pada tahun 2004, pemerintah Malaysia memberikan hak tenaga kerja migran untuk bisa
berganti majikan dua kali selama kontrak mereka. Sebelumnya hal ini tidak diijinkan sehingga mereka terpaksa
bertahan dalam kondisi yang tidak menguntungkan agar bisa melunasi utang yang dipakai untuk membayar
agen perekrutan. Sayang sekali informasi tentang perubahan UU tidak disebarluaskan dan banyak TKI tidak
mengetahui hak ini, sehingga mereka percaya mereka akan menghadapi hukum cambuk dan deportasi bila
mereka meninggalkan majikan yang suka menganiaya.
Perdagangan Orang
Perdagangan orang merupakan bagian permasalahan TKI yang tidak bisa dipisahkan dan sebagian menjadi
penyebab meningkatnya migrasi tenaga kerja ilegal antara dua negara. Namun, keluhan yang diterima KBRI di
Malaysia teluh berkurang antara tahun 2005 dan 2007. Penetapan UU Anti Perdagangan Orang di Malaysia belum
mampu menurunkan tingkat kejahatan di bidang ini, sebagian karena Pemerintah Malaysia masih perlu merevisi
dasar undang-undang utama ketenagakerjaan. Tanpa perbaikan undang-undang perlindungan tenaga kerja, akan
sulit melakukan peningkatan upaya dalam memecahkan masalah perdagangan orang. Jumlah tepat mereka yang
terlibat perdagangan orang sangat sulit diketahui karena sifat perdagangan yang diam-diam (rahasia). Menurut
catatan bantuan IOM dari tahun 2005-2009, perempuan dan anak-anak diperdagangkan di layanan domestik,
sedangkan laki-laki diperdagangkan di bidang perkebunan.
PRT mengalami banyak pembatasan dan kelemahan, seperti ketakutan kehilangan pekerjaan, tingkat stres yang
tinggi, status sosial yang rendah, tidak tahu akan haknya dan tidak terbiasa dengan prosedur. Beberapa bahkan
menderita xenofobia dari masyarakat Malaysia. PRT mendapatkan perlindungan yang terbatas dari kebijakan
pemerintah Malaysia dan Indonesia karena mereka tidak tercakup dalam UU ketenagakerjaan Malaysia. Beberapa
TKI diperlakukan tidak senonoh oleh majikannya: penganiayaan termasuk penyiksaan, pemerkosaan, pelecehan
dan gaji tidak dibayar. Kesimpulannya, mereka mempunyai kebebasan bergerak yang terbatas.
Meskipun masalah yang dialami TKI bervariasi menurut sektor, tapi masih terlihat permasalahan umumnya yang
dialami oleh TKI . dari keluhan-keluhan yang diterima KBRI di Malaysia dari 2005 sampai 2007. Masalah utama
memang berbeda dari tahun ke tahun, namun ada dua kategori utama masalah yang nampak jelas: (1) masalah
kekerasan termasuk penyiksaan, penganiayaan seksual, pencambukan, dan pemerkosaan; dan (2) masalah hak
TKI, termasuk gaji yang tidak dibayarkan, beban kerja yang luar biasa, tidak ada libur, penipuan, pengusiran oleh
majikan, kondisi kerja yang tidak manusiawi. Dua kategori masalah ini saling terkait; masalah dengan hak-hak TKI
sering menimbulkan masalah-masalah lain yang berelasi dengan kekerasan.
Dalam sejumlah kasus kekerasan yang dialami TKI, pengadilan justru sering berpihak ke majikan atau agen. Ada
upaya pelarangan agen perekrutan swasta di Malaysia dan implikasinya, tapi agen perekrutan swasta di Indonesia
belum berhasil merubah praktek-praktek pemangku kepentingan ini. Situasi ini sangatlah berbeda di Indonesia,
dengan UU No. 39/2004 yang secara umum memberikan dukungan terhadap kebebasan majikan daripada
perlindungan TKI. Hadirnya Nota Kesepakatan antara Indonesia dan Malaysia yang mengijinkan majikan atau
agen menyimpan paspor TKI demi keamanan, menyebabkan kerentanan situasi PRT. Namun, laporan media pada
bulan Febuari 2010 menunjukkan bahwa praktek ini akan berubah (The Jakarta Post, 2010).
Penyitaan paspor dalam banyak kasus sangat membatasi gerakan TKI karena mereka harus membawa ijin kerja
mereka setiap saat atau beresiko dipenjara. Banyak PRT menyatakan bahwa mereka tidak memiliki akses ke paspor
mereka. Kemungkinan besar alasan utama TKI tidak berani meninggalkan rumah majikan mereka karena takut
dipenjara dan dideportasi.
28
29
44
Cakupan Organisasi Masyarakata Madani sangat luas dalam hal menyediakan pelayanan, manfaat atau pengaruh politik ke kelompok tertentu di masyarakat.
Kelompok ini termasuk asosiasi profesional, asosiasi budaya, forum bisnis, serikat dagang, kelompok masyarakat setempat, yayasan perikemanusiaan dan
bermacam-macam lainnya.
Komisi Hak Asasi Manusia Malaysia (SUHAKAM) didirikan oleh parlemen dibawah Ketetapan Komisi HAM Malaysia , UU 597, mengikuti partisipasi aktif
Malaysia di Komisi PBB untuk HAM 1993-95, ketika dipilih sebagai anggota komisi oleh Dewan Ekonomi dan Sosial PBB www.suhakam.org.my
45
31
Banyak TKI yang terkena kasus hukum memilih untuk menerima kompensasi dan kembali ke Indonesia secepatnya daripada meneruskan kasusnya melalui
sistem hukum Malaysia,
Anggraeni (2006).
46
36
Seperti yang dilaporkan pada kunjungan studi ke Malaysia 1-2 September 2009.
Seperti yang dilaporkan pada kunjungan studi ke Malaysia 1-2 September 2009.
e-pampasan merupakan sistem online pemerintah Malaysia untuk mengelola kompensasi tenaga kerja yang efektif.
ELX atau Electronic Labour Exchange system (sistem pertukaran tenaga kerja secara elektronik) (http://www.elx.gov.my) adalah sistem terhubung (online)
yang menyediakan jasa satu atap mengenai pasar kerja di Malaysia, termasuk informasi tentang lowongan kerja dan agen perekrutan.
Sebagai bagian dari diskusi kelompok terfokus yang diadakan selama kunjungan studi delegasi pemerintah Indonesia ke Malaysia, 1-2 September 2009.
47
Pada tanggal 29 Januari 2007, Kedutaan Besar Indonesia memulai upayanya untuk memperbaiki kinerja jangka
panjang, menyusun unit kerja khusus untuk pelindungan TKI yang lebih baik. Unit kerja khusus ini dibentuk untuk
memperbaiki koordinasi antara TKI, imigrasi, pertahanan, polisi, unit kerja penelitian dan komunikasi di dalam
KBRI. Peran unit ini untuk menyediakan perlindungan di tempat kerja; memasarkan tenaga kerja terampil yang
tersedia; dan layanan manajemen kasus.
KBRI menyediakan berbagai layanan ke TKI termasuk: perpanjangan paspor, penanganan kasus, layanan informasi
melalui internet, brosur, radio dan sms; dan program penjangkauan melalui kunjungan lapangan. Kedutaan Besar
Indonesia juga menyimpan daftar hitam agen-agen perekrutan Malaysia dan majikan yang telah bertindak tidak
baik terhadap TKI, dan melaporkan mereka ke pihak berwenang Malaysia.
Layanan berikut ini disediakan bagi semua warga negara Indonesia di Malaysia:
(i) Layanan administrasi cepat tiga jam.
Sebelum ada perbaikan di bidang adminstrasi di KBRI, proses pembaruan paspor, penggantian paspor atau
layanan lain yang berkaitan dengan paspor bisa memakan waktu selama berhari-hari atau berminggu-minggu.
Hal ini mempersulit TKI mendapatkan layanan dari KBRI karena mereka tidak bisa meninggalkan pekerjaan mereka
dalam jangka waktu yang lama. Sebuah sistem telah dibuat untuk mengurus dokumen dalam waktu tiga jam.
Hasil pengamatan tim penelitian Ecosoc memperlihatkan bahwa layanan kilat tiga jam berjalan dengan lebih
baik pada hari Jumat pada saat tidak ada banyak tekanan dari para staf. Namun, dari hari Senin sampai Kamis,
layanan kilat tiga jam sering makan waktu lebih lama. Hasil layanan kilat ini, KBRI tidak lagi perlu menggunakan
jasa pengurusan paspor TKI dari luar seperti yang dilakukan sebelumnya.
(ii) Pembangunan penampungan bagi TKI yang mengalami masalah.
Penampungan di KBRI menyediakan layanan proaktif bagi para PRT yang menjadi korban kekerasan dan yang
menderita gangguan psikologis. Untuk mendukung pemulihan mereka, penampungan menyediakan makanan,
kegiatan meningkatkan keterampilan dan konseling. KBRI membatasi waktu tinggal di penampungan hingga
6 bulan. Tempat ini berkapasitas menampung 70 orang dan seringkali penuh sesak. Pada saat kunjungan studi
dilakukan, September 2009, terdapat paling sedikit 150 perempuan yang tinggal di sana. Satu sukarelawan yang
membantu kegiatan ini menyatakan bahwa dia berharap pelayanan kesehatan bisa lebih tertata baik dan memadai
agar bisa meningkatkan proses pemulihan bagi mereka yang membutuhkan. Setiap bulan KBRI membantu
pemulangan TKW lebih dari 100 orang dari lokasi penampungan KBRI.
(iii) Pencegahan para makelar masuk ke KBRI.
Para makelar dan orang-orang yang menawari layanan dokumen palsu tidak lagi diijinkan masuk ke wilayah KBRI
di Kuala Lumpur. Tujuannya untuk melindungi para TKI dari eksploitasi mereka. Komunitas migran sebelumnya
merasa bahwa terdapat kerjasama yang tidak benar antara para makelar dan petugas pengurusan dokumen
yang menganggu proses layanan publik. Para makelar sekarang tidak diijinkan mendekati antrian, atau masuk
ke wilayah Kedutaan Besar. Namun, mereka masih mampu menawarkan layanan mereka, misalnya untuk
pengambilan foto.
(iv) Fasilitas layanan yang sesuai.
Sebelum dibangun ruang tunggu bagi warga negara Indonesia, migran sering kesulitan masuk ke Kedutaan Besar,
karena mereka dipaksa menunggu dengan orang-orang lain di luar wilayah Kedutaan Besar. Keadaan sebelumnya
sangat memungkinkan bagi para makelar untuk menawarkan pemalsuan dokumen, khususnya kalau mereka
difasilitasi atau mempunyai hubungan dengan pepegawai Kedutaan Besar. Kedutaan Besar sekarang menyediakan
tempat tunggu khusus untuk pengurusan dokumen bagi TKI.
(v) Pengumpulan data yang transparan.
Pihak luar yang peduli masalah TKI bisa mengakses data dari Kedutaan Besar, sangat berguna untuk proses
pengawasan dan memungkinkan para pemangku kepentingan memperbaiki layanan bagi TKI. Data yang
dikumpulkan oleh Kedutaan Besar sangat penting dalam merumuskan kebijakan perlindungan bagi TKI.
(vi) Akses TKI ke pendidikan.
Dalam skenario yang ideal, para TKI seharusnya dilatih sebelum keberangkatannya ke Malaysia. Namun, seperti
yang didiskusikan di bagian pertama, banyak dari mereka, khususnya PRT tiba dengan keterampilan dasar atau
terbatas. Kedutaan Besar mendanai beberapa kegiatan untuk menyediakan bantuan atau program pemberdayaan
TKI. Contohnya, Sekolah Indonesia di Kota Kinabalu, Borneo Timur, bertujuan menyediakan akses ke pendidikan
48
bagi TKI yang tidak mampu mendapatkan akses ke pendidikan di Sabah, salah satu negara bagian Malaysia.
Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan LSM internasional HUMANA menangani masalah akses pendidikan
bagi anak-anak migran Indonesia yang kurang mampu di Malaysia. Pemerintah Indonesia dan Malaysia setuju
bahwa organisasi yang berbasis di Denmark ini, dapat membantu menyediakan pendidikan. Ada sekitar 70.000
anak migran Indonesia yang tidak mempunyai akses ke pendidikan. Sekolah Indonesia di Kota Kinabalu digunakan
sebagai pusat pelatihan, di mana kelas diselenggarakan di luar pusat pelatihan karena jauhnya jarak antara rumah
anak dan pusat pelatihan. Meskipun demikian, kemitraan Kedutaan Besar Indonesia dengan HUMANA telah
berakhir. Kedutaan Besar berencana untuk melanjutkan program mengingat penyediaan pendidikan bagi anakanak migran sangat penting.
(vii) Program orientasi bagi TKI yang baru tiba di Malaysia.
Kedutaan Besar Indonesia telah mengawali dibentuknya sebuah program orientasi bagi TKI yang baru tiba di
Malaysia dengan memberikan informasi tentang hak-hak mereka, undang-undang dan peraturan yang sesuai
serta layanan kedutaan besar yang relevan.
Selain layanan yang disedikan oleh Kedutaan Besar Indonesia, TKI juga mendapatkan layanan dari LSM dan
Perserikatan Masyarakat Madani di seluruh Malaysia. Untuk informasi lebih lanjut, lihat Lampiran VI.
49
bisa meningkatkan kesadaran mereka tentang TKI. Contohnya, bagaimana pelajar, akademisi dan profesional
berkemampuan untuk mempengaruhi, mengundang dan mendorong komunitas dalam memperjuangkan
perlindungan bagi TKI.
Organisasi Masyarakat Madani seperti Perserikatan Masyarakat Indonesia di Malaysia (Permai) dan berbagai
Perserikatan TKI lainnya sampai sekarang telah memberikan banyak bantuan ke TKI yang membutuhkan. Permai
juga memfasilitasi komunikasi antar beragam Perserikatan TKI. Sebagai sebuah organisasi yang keanggotaannya
terdiri dari gabungan berbagai pihak seperti masyarakat Indonesia, kelompok profesional, akademis dan orang
Indonesia yang dilahirkan sebagai warga negara Malaysia, Permai berpotensi untuk bekerja berdampingan dengan
Kedutaan Besar Indonesia dalam memberdayakan dan membentuk perserikatan perwakilan dan kampanye
perlindungan TKI dalam masyarakat Malaysia.
SINGAPURA
GAMBARAN UMUM MIGRASI TENAGA KERJA
Singapura memiliki populasi warga negara asing
yang besar, diperkirakan seperempat dari 4,6 juta
penduduknya adalah warga non-Singapura. Rata-rata
pertumbuhan penduduk non-Singapura jauh lebih
tinggi (19 persen di tahun 2008) daripada warga negara
Singapura sendiri (satu persen di tahun 2008). Menurut
Kementerian Tenaga Kerja Singapura, di tahun 2009
ada sekitar 105 juta tenaga kerja migran di Singapura
atau lebih dari 35,2 persen total tenaga kerja. Ada tiga
kategori tenaga kerja:
(i) Pemegang ijin kerja dengan keahlian tinggi
(ekspatriat) yang berpenghasilan minimal SGD 2.500
(US$ 1.790,81 )37 per bulan;
(ii) Pemegang S-Pass, yang berpenghasilan lebih dari
SGD 1.800 (US$ 1.289,35) per bulan; dan
(iii) Tenaga kerja tak terampil (temporer) yang
berpenghasilan kurang dari SGD 1.800 (US$ 1.289,35)
per bulan.
Mayoritas TKI ada di kategori ketiga dan bekerja di sektor konstruksi, industri manufaktur, atau PRT. Walaupun
TKI bekerja di berbagai sektor namun bab ini akan membahas secara khusus PRT di Singapura. Urusan imigrasi
jauh lebih tegas bagi tenaga kerja tak terampil: ijin tinggal mereka hanya sementara, tidak diijinkan melakukan
pekerjaan yang tidak tercantum secara khusus di ijin tinggal, keharusan mengikuti pemeriksaan medis tertentu,
dilarang menikah dengan warga negara dan residen tetap Singapura, serta majikan mereka diwajibkan membayar
pajak pekerja asing (Yeoh, 2007).
Adanya peningkatan jumlah perempuan Singapura yang bekerja di akhir 70-an menjadi salah satu sebab
mengapa mempekerjakan tenaga kerja asing sebagai PRT menjadi populer, diperkirakan satu dari lima keluarga
mempekerjakan PRT asing. Pertumbuhan ekonomi Singapura sendiri sebagian merupakan kontribusi dari
tenaga kerja migran baik yang terampil maupun tidak, yang membantu mengisi kekurangan tenaga kerja akibat
pertumbuhan demografis Singapura. Negara ini memiliki populasi tertua di Asia Tenggara dengan tingkat
kelahiran yang rendah, sehingga memerlukan pasokan tenaga kerja untuk menghindari penurunan populasi.
Terdapat sekitar 140.000 warga Singapura yang bermukim di luar negeri (kebanyakan di Australia, Cina, Amerika
dan Inggris). Pemerintah Singapura secara aktif menghimbau para pekerja berkeahlian tinggi ini untuk kembali.
Sebagai upaya memelihara populasi pekerja profesional, Pemerintah Singapura menyarankan perkawinan
campuran antara tenaga kerja asing terlatih dan penduduk Singapura agar mengurangi tekanan demografis.
Dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya, jumlah migran ilegal relatif sedikit di Singapura. Lokasi
geografis pulaunya yang kecil, memungkinkan Pemerintah Singapura mengawasi keluar masuknya orang dengan
lebih efektif daripada negara lain dengan batas negara yang lebih luas dan bercelah banyak.
50
51
Sejumlah faktor telah mempengaruhi kenaikan jumlah PRT Indonesia di Singapura sejak pertengahan 1990,
selain jumlah perempuan Singapura yang kembali bekerja setelah memiliki anak dan meningkatnya pendidikan,
juga terbukanya peluang kerja lebih besar bagi PRT purna waktu dengan upah menarik. Dari 1980 hingga 1990,
proporsi perempuan Singapura yang bekerja naik dari 36 menjadi 41 persen (Abdul Rahman, 2008). Keluargakeluarga di Singapura mensyaratkan PRT untuk tidak hanya bisa melakukan pekerjaan rumah tangga, namun juga
merawat anak dan manula. Budaya kerja Singapura yang kaku dengan jam kerja panjang, serta tradisi budaya yang
dianut kelas menengah dan elit untuk membayar PRT, turut mempengaruhi kenaikan permintaan terhadap PRT
purna waktu (Abdul rahman et al, 2005). Terlebih, setelah kasus Flor Contemplacion, PRT berkebangsaan Filipina
di tahun 199538, maka Pemerintah Filipina memberlakukan kebijakan perlindungan yang lebih ketat sehingga
agen perkrutan Singapura lebih mencari PRT Indonesia.
Diperkirakan saat ini ada 196.000 PRT asing di Singapura, seperlima rumah tangga Singapura mengandalkan
mereka untuk membantu pekerjaan rumah (Singapore Ministry of Manpower, 2010b). Menurut laporan Kedutaan
Besar Indonesia di Singapura (2005), jumlah terbesar PRT (55 persen) adalah TKI, diikuti Filipina (40 persen) dan
sisanya berasal dari negara-negara seperti Thailand, Myanmar, India dan Bangladesh (4 persen).
Kontrak standar bagi PRT dan perjanjian layanan antara agen tenaga kerja dan majikan yang terbaru dikeluarkan
di tahun 2006 oleh dua badan terakreditasi agen tenaga kerja di Singapura: Asosiasi Agen Tenaga Kerja Singapura
dan CaseTrust. Agen-agen yang ingin mendaftar dan mempertahankan lisensinya sekarang disyaratkan untuk
menggunakan kedua kontrak tersebut. Kontrak standar tidak menjamin jam istirahat PRT setelah bekerja
delapan jam berturut-turut, cuti sehari dalam seminggu (namun menyebutkan bahwa majikan wajib membayar
kompensasi secara tunai bila cuti mingguan tidak diberikan kepada PRT). Kontrak ini pun tidak menyebutkan biaya
perekrutan yang mahal yang dibayarkan oleh kebanyakan PRT perempuan. UU Ketenagakerjaan yang menjamin
agen tenaga kerja untuk tidak memungut biaya lebih dari 10 persen kepada pencari kerja dari gaji/upah bulan
pertama mereka, ternyata tidak berlaku bagi pekerja yang direkrut sebagai PRT. Biaya perekrutan yang mungkin
sekali bisa mencapai sebuluh bulan gaji dianggap sebagai perjanjian pribadi antara agen perekrutan dan tenaga
kerja yang tidak diatur oleh Pemerintah Singapura.
Kementerian Tenaga Kerja menawarkan layanan mediasi untuk membantu menengahi perselisihan dengan cepat
dan damai sebaik mungkin, dan meraih kesepakatan yang adil dan masuk akal bagi pihak-pihak yang terlibat.
Ketika mufakat tidak bisa dicapai, keluhan bisa dirujuk ke Peradilan tenaga kerja untuk naik banding. Menurut
pihak Kementerian Tenaga Kerja, dalam kasus yang melibatkan tenaga kerja asing, lebih dari 90 persen kasus
didengar dan diputuskan dalam dua bulan setelah dimulainya sidang dengar pendapat pertama (Kementerian
Tenaga Kerja Singapura, 2010a).
Tenaga kerja tidak terampil juga terikat oleh majikan-majikan tertentu yang membayar uang jaminan keamanan
repatriasi tenaga kerja di akhir kontrak mereka sebesar SGD 5.000 (US$ 3.582, 19). Bila tenaga kerja melarikan diri
(kabur), majikan akan membatalkan uang jaminan keamanan tadi. Akibatnya, uang jaminan ini kerap dijadikan
alasan bagi oknum majikan untuk melakukan kontrol ketat terhadap mobilitas tenaga kerja dan interaksi sosial
mereka.
UU menyediakan keleluasaan yang besar kepada pengawas tenaga kerja dalam melaksanakan peraturan dan
meningkatkan penalti (sanksi) kepada migran ilegal dan majikan mereka (Kementerian Tenaga Kerja, 2007a).
Majikan yang melanggar dapat dikenai denda hingga SGD 5.000 (US$ 3.571) dan/atau dipenjara hingga enam
bulan, juga dikenai larangan menyewa tenaga kerja asing. Di tengah laporan mengenai kekerasan/ penganiayaan
yang meluas terhadap PRT, Pemerintah Singapura memperkenalkan Pedoman Umum Tenaga Kerja bagi Tenaga
Kerja Asing, yang menggarisbawahi tanggung jawab majikan kepada pekerja asing, seperti gaji, jam kerja, dan
waktu libur sekaligus sanksi bila terjadi tindak kekerasan terhadap pekerja asing.
38
Flor Contemplacion adalah PRT Filipina yang dihukum mati di Singapura tahun 1995 karena kasus pembunuhan. Eksekusinya memicu hubungan tegang
antara ke dua negara, akibatnya banyak warga negara Filipina melampiaskan frustasi mereka kepada Pemerintah Filipina dan Singapura terhadap kondisi
yang dialami pekerja Filipina di luar negeri secara keseluruhan: tidak berdaya, teraniaya dan stres secara mental. Hubungan keduanya mendingin selama
beberapa tahun pasca eksekusi. Duta besar Filipina di Singapura dipanggil pulang dan banyak pertukaran bilateral dibatalkan
Tenaga kerja di Singapura tidak diijinkan menikah dengan warga negara Singapura tanpa ijin pemerintah
sebelumnya. Semua PRT asing wajib melakukan pemeriksaan setiap enam bulan untuk mengetahui apakah
mereka hamil dan memiliki penyakit menular (Kementerian Tenaga Kerja Singapura, 2007b). Bila PRT hamil, maka
ia harus setuju melakukan aborsi atau meninggalkan Singapura.
Di Singapura, tenaga kerja migran biasanya dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan yang mengatur standar kerja
minimal bagi pekerja seperti waktu pembayaran gaji, pembayaran jam lembur, dan cuti. Namun bagi PRT (lokal
maupun asing) tidak dilindungi di bawah UU ini. PRT dilindungi di bawah UU Ketenagakerjaan bagi Tenaga Kerja
Asing (EFMA) 2007. Kementerian Tenaga Kerja mewajibkan beberapa persyaratan yang mengikat bagi semua
majikan untuk mendapatkan ijin kerja. Majikan menjamin kesejahteraan semua pekerja asingnya, termasuk
perbekalan perawatan kesehatan, keamanan seseorang, perumahan yang layak, pembayaran gaji tepat waktu
serta makanan dan istirahat yang memadai (Singapore Ministry of Manpower, 2007a).
52
Tahun
Sumber: Data Institute for Ecosoc Rights 1999 hingga 2005 dari Kedutaan Besar Indonesia di Singapura; data tahun 2006-2007 dari laporan media.
53
Masalah utama yang dihadapi PRT Indonesia di Singapura adalah kondisi kerja yang keras yang pada puncaknya
berakhir dengan tindak kekerasan kepada PRT dan kadang mengakibatkan hilangnya nyawa mereka. Kondisi
kerja ekstrem lain yang juga dialami oleh tenaga kerja termasuk upah di bawah standar, kekerasan fisik, penyakit,
pembatasan akses informasi dan komunikasi, makanan yang tidak cukup, mempermalukan mereka di muka
umum, dan masalah khusus dengan anggota keluarga (khususnya perempuan) dan keluarganya. Walaupun
Pemerintah Singapura dan Indonesia telah mengupayakan untuk memperbaiki situasi PRT Indonesia, pola
masalah di tahun-tahun belakangan belum juga bergeser. Kasus-kasus yang berakhir dengan tewasnya PRT tetap
tinggi, sebagai contoh, 154 PRT Indonesia meninggal di Singapura antara 1999 hingga 2007, menandakan tidak
adanya perubahan signifikan terlepas dari kebijakan perlindungan Pemerintah Singapura.
Ditambah lagi tidak adanya kebijakan eksplisit mengenai hari libur bagi PRT. Walaupun Pemerintah Singapura
menghimbau majikan untuk memberikan kesempatan menabung jatah cuti satu hari satu bulan, namun hal ini
tidak dipertegas secara hukum sebagai hari libur bagi PRT Indonesia. Akibatnya, diperkirakan hanya 20 persen
PRT Indonesia yang menikmati hari libur. Mereka yang tidak punya hari libur umumnya mengalami kondisi kerja
yang keras sehingga cenderung stres dan menderita secara medis seperti depresi. Hal ini biasanya terjadi pada
kasus tenaga kerja yang bekerja di luar negeri untuk pertama kali.
Selain beban kerja PRT yang berat, mereka seringkali tidak menerima kompensasi yang memadai. Antara tahun
1999 dan 2005, upah yang diterima PRT Indonesia berkisar antara SGD 230 hingga SGD 250 (US$ 164 179).
Dengan upah tersebut, lebih dari setengah (54,4 persen) PRT Indonesia bekerja lebih dari 16 jam sehari dan 11,5
persen bahkan bekerja lebih dari 19 jam per hari (The Institute for Ecosoc Rights, 2005). Tidak ada kompensasi bagi
PRT yang bekerja lebih dari 10 jam per hari dan dengan jam kerja yang sedemikian panjang, membuat mereka
sangat terikat di rumah. Belum lagi, proporsi PRT Indonesia yang dipekerjakan di lebih dari satu lokasi kerja juga
meningkat. Majikan di Singapura cenderung untuk mempekerjakan PRT dengan beban kerja yang luar biasa
berat. Sebuah survei yang dilakukan Institute for Ecosoc Rights (2005) menunjukkan bahwa lebih dari 20 persen
PRT dipekerjakan lebih dari satu lokasi. Kejadian seperti ini meningkat hingga mencapai 53 persen berdasarkan
studi tahun 2008 yang dilakukan Institute for Ecosoc Rights (2010). Kekerasan fisik/penganiayaan terus menerus
menjadi masalah yang dialami PRT Indonesia. Survei Institute for Ecosoc Rights tahun 2005 dan 2008 menunjukkan
bahwa jumlah kasus kekerasan bertambah antara 2005 dan 2008.
Tabel 16: Masalah yang Dihadapi PRT Indonesia di Singapura (1999-2008)
Masalah yang Berakhir dengan
Kepulangan PRT
ke Negaranya
1999 - 2005
(b)
Peringkat
(c)
2008
(d)
Peringkat
(e)
2008
(f)
Pengurangan secara
Unilateral
Akses terbatas ke
komunikasi dan informasi
Majikan meninggal
Sakit
Kekerasan fisik
10
10
10
Penyakit bawaan
Seperti halnya kasus PRT di Malaysia, data yang terintegrasi dan dapat dipercaya mengenai PRT Indonesia masuk
dan bekerja di Singapura sangatlah minim. Padahal akses data yang dapat dipercaya akan memungkinkan
Kedutaan Besar memperbaiki layanannya. Parahnya kordinasi antara Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi,
BNP2TKI dan Kedutaan Besar Indonesia membuat perlindungan TKI menjadi sulit terlaksana. Pengawasan yang
lemah terhadap proses penempatan PRT membuat Kedutaan Besar tidak mempu memberikan perlindungan
maksimal bagi mereka.
Terbatasnya jumlah SDM di Kedutaan Besar Indonesia membuat mereka tidak mampu menghadapi masalah dan
melayani banyaknya jumlah PRT Indonesia yang mencari bantuan. Akibatnya, Kedutaan Besar gagal memberikan
perlindungan optimal kepada PRT. Hingga saat ini, Kedutaan Besar tidak memiliki standar pengelolaan kasus
maupun indikator transparan kesuksesan. Dalam kasus-kasus yang berdampak sosio-politis yang signifikan
bagi hubungan Indonesia dan Singapura seperti pembunuhan, perlakuan kejam, perkosaan yang diikuti oleh
penyiksaan dan kematian, memang Kedutaan Besar bekerjasama dengan pihak penguasa Singapura. Kedutaan
cenderung menyelesaikan masalah yang berkaitan dengan tenaga kerja atau kekerasan yang tidak terlalu serius
lewat jalur negosiasi atau mediasi karena rumitnya jalur hukum di Singapura. Dalam kasus-kasus seperti ini,
kedutaan berupaya memberikan tekanan kepada majikan atau agen untuk menghormati hak-hak PRT. Majikan
atau agen yang melanggar hukum jarang sekali dikenakan sanksi oleh Kementerian Tenaga Kerja. Bila agen
dan majikan memenuhi permintaan kedutaan maka mereka dibebaskan dari segala sanksi, namun bila kasus
ditangani oleh Kementerian Tenaga Kerja maka majikan yang melanggar ijin kerja tidak akan diberikan ijin umtuk
mempekerjakan PRT asing. Dengan demikian, nasib PRT sangatlah tergantung pada kedutaan. PRT memiliki
kekhawatiran besar mengenai penyelesaian kasus mereka mengingat sedikitnya jumlah personil kedutaan dan
besarnya volume kerja yang ada. PRT yang tinggal di tempat penampungan pemerintah akibat menunggu
penyelesaian kasus diminta untuk tetap tinggal di Singapura hingga masalah tuntas.
Adanya kelemahan di sistem pengawasan terhadap agen perekrutan di Singapura dan anggapan bahwa PRT akan
melaporkan sendiri bila terjadi masalah pada diri mereka ke kedutaan. Walaupun terdapat kebijakan akreditasi
dari kedutaan terhadap agen perekrutan dan majikan, namun tidak ada tindakan tegas yang diambil terhadap
agen-agen yang tak patuh. Rencana kedutaan untuk membangun pusat data tersambung mengenai pesanan
pekerjaan, akreditasi agen perekrutan dan informasi terkait lainnya perihal perlindungan PRT, belum berfungsi
sepenuhnya. Berdasarkan catatan kedutaan, jumlah agen Singapura yang terakreditasi oleh kedutaan naik dari
119 di tahun 2008 menjadi 202 di 2009. Sementara, masih sulit untuk mengakses data yang berhubungan dengan
pengawasan agen-agen, majikan, kasus PRT dan penanganan proses. Daftar hitam agen dari kedutaan tidak efektif
karena agen-agen dalam daftar hitam masih dapat merekrut PRT langsung dari Indonesia. Tambahan lagi, tidak
adanya mekanisme di kedutaan untuk mengontrol kinerja agen, selain yang dilakukan melalui sistem pesanan
kerja yang jelas-jelas terbukti tidak efektif karena berasumsi adanya kerja sama dan koordinasi yang bertanggung
jawab antar badan-badan pemerintahan Indonesia di tingkat domestik. Kurangnya laporan mengenai masalah
PRT juga membuat pelaporan menjadi sulit.
Laporan dari Kedutaan Besar Indonesia di Singapura (2005) menyebutkan terbatasnya jangkauan kedutaan ke
PRT di Singapura. Tidak ada regulasi pemerintah Singapura yang mensyaratkan Kedutaan Besar dari negara asing
untuk menyaring dan mengawasi pekerja asing mereka di Singapura dan, sebagai akibatnya, TKI dalam jangka
waktu dua tahun bekerja di Singapura biasanya tidak terdaftar di Kedutaan Besar Indonesia. Hanya sedikit agen
Singapura yang memberitahukan perihal PRT Indonesia dan majikan mereka, sehingga sulit bagi kedutaan untuk
memonitor pelaksanaan kontrak kerja. Dengan demikian Kedutaan Besar hanya bisa berkomunikasi dengan PRT
di Singapura yang melakukan perpanjangan kontrak kerja mereka.
54
55
56
yang dilakukan oleh agen yang tidak berijin resmi. Kedua, hukuman yang dijatuhkan untuk beberapa pelanggaran
akan dinaikkan menjadi sepadan dengan besarnya keuntungan yang mungkin diperoleh dari tindakan malpraktik
tersebut, serta memperluas jangkauan penegakan hukum, seperti menunda ijin pengoperasian agen-agen
yang sedang dalam penyelidikan. Ketiga, pemerintah berupaya menjamin layanan standar minimal lebih baik
ketika agen tenaga kerja membuat persetujuan dengan majikan, serta memasukkan standar-standar ini sebagai
bagian persyaratan untuk memperoleh ijin baru bagi semua agen tenaga kerja. Terakhir, memberikan perhatian
lebih besar terhadap aspek kepatuhan agen tenaga kerja yang berurusan dengan pekerja yang posisinya rentan/
lemah.
57
Petugas konsulat di Kedutaan Besar di Singapura menyediakan layanan umum harian bagi WNI (termasuk PRT)
lewat telepon, SMS dan jalur komunikasi cepat dan langsung (hotline) 24 jam untuk konseling dan penanganan
keluhan bagi WNI. Lebih dari 70 persen PRT Indonesia yang melaporkan kasus mereka ke kedutaan menemui
masalah pada minggu pertama mereka bekerja, termasuk upah yang tidak dibayarkan dan kasus kekerasan.39
KBRI merujuk semua kasus kekerasan dan penganiayaan kepada polisi. Selanjutnya, terserah kepada masingmasing migran untuk minta pertolongan baik ke Kedutaan Besar atau polisi. Saat kunjungan studi ke Singapura
bulan September 2009, pihak kedutaan telah berhasil mengklaim 5 milyar rupiah (US$ 164.240) dalam kasus upah
yang tidak dibayarkan dan asurasi TKI, yang telah ditransfer ke masing-masing orang atau keluarga mereka. PRT
yang mengalami masalah dengan tuntutan pekerjaan dapat menelpon petugas kedutaan untuk melaporkan
keluhan dan menyelesaikan masalahnya. Bagi mereka yang menggunakan layanan ini, kebanyakan mengeluhkan
tentang beban kerja yang berlebihan yang berujung pada ganguan fisik dan psikologis (kejiwaan).
Sejak tahun 2003, setiap bulan Kedutaan Besar Indonesia di Singapura telah mengadakan program pelatihan
peningkatan keterampilan bagi PRT Indonesia di aula kedutaan. Diharapkan pelatihan ini akan membuat majikan
menambah jumlah cuti atau hari libur PRT. Demi mendukung program ini, kedutaan telah mempersiapkan surat
pengantar bagi majikan untuk mengijinkan PRT bila mereka meminta jatah meninggalkan tempat kerja. Program
pelatihan meliputi kursus bahasa Inggris dan Mandarin, memasak, komputer, membuat baju, konseling dan
pendidikan keagamaan. Kedutaan dan Kementerian Tenaga Kerja Singapura juga mendukung pelatihan yang
dilakukan oleh Mesjid Mujahidin yang dimulai pada tanggal 24 Maret 2005. Di mesjid ini sedikitnya terdapat 16
kelas kursus dari tingkat pemula hingga mahir untuk pelajaran menjahit, komputer, memasak, menata rambut,
Inggris dan membaca Quran. Kursus dilakukan setiap minggu, hari libur bagi sebagian besar PRT, dengan kelas
yang terbagi di pagi dan sore hari. Setiap program kursus berlangsung kira-kira enam bulan dengan biaya sekitas
USD 10 setiap PRT per bulan. Kegiatan ini dikelola oleh Mesjid Mujahidin bekerjasama dengan PRT yang terlibat.
Petugas kedutaan siap melayani keluhan 24 jam lewat telepon hotline,40 bagi mereka yang memerlukan bantuan
darurat. Hotline ini terkenal di kalangan petugas imigrasi dan petugas polisi di Singapura. PRT dapat menelpon
hotline ketika mereka memerlukan bantuan, dan staf hotline akan membimbing pekerja untuk meninggalkan
tempat kerja dan menemukan taksi untuk mengantarkan mereka ke kedutaan. Petugas jaga di kedutaan akan
menyiapkan uang untuk membayar ongkos taksi bila PRT tidak memiliki uang. Petugas hotline menerima kurang
lebih 80-90 panggilan setiap harinya.
Program pengembangan melalui media merupakan upaya Kedutaan Besar untuk meraih perhatian sebanyak
mungkin dari PRT, misalnya lewat siaran radio dari Batam. Program radio ditujukan untuk mendidik PRT dan
ditayangkan rutin lewat dua stasiun radio di Batam Kei FM dan Zoo FM yang memiliki sinyal yang dapat
ditangkap di Singapura. Media lain yang khusus menargetkan PRT Indonesia di Singapura adalah majalah 20
halaman Karina yang menyediakan informasi bagi PRT ditinjau dari segi psikologi, fisik dan sosial yang dipandu
oleh tenaga kerja yang sudah berpengalaman.
Duta Besar Indonesia di Singapura mengadakan pertemuan dua-mingguan dengan anggota masyarakat Indonesia
di Singapura termasuk perserikatan PRT Indonesia, ekspatriat dan para pengusaha untuk mendengarkan apa
kebutuhan mereka dan mencari solusi masalah yang dihadapi oleh WNI di luar negeri.41
Sebagai tambahan terhadap layanan yang diberikan Kedutaan Besar Indonesia dan Pemerintah Singapura,
berbagai layanan disediakan bagi TKI di Singapura melalui LSM dan organisasi masyarakat madani. Untuk informasi
lebih lanjut lihat Lampiran VII.
Unit tugas khusus untuk Advokasi dan Bantuan Hukum telah dikembangkan oleh kedutaan mengikuti jejak
keberhasilan kerjasama dengan kepolisian Singapura dan badan-badan yang menangani kasus kriminal atau
perlakuan sewenang-wenang oleh majikan, seperti perlakuan tidak layak, penyiksaan, pelecehan seksual dan aksi
kekerasan lainnya. Apabila TKI menghadapi masalah dan melaporkannya kepada polisi (bukan Kedutaan Besar),
maka polisi akan menangani masalah ini bekerjasama dengan pihak kedutaan. Bila masalah yang dihadapi serius
dan prosesnya memerlukan waktu yang panjang, polisi akan menginformasikan pihak kedutaan atau membawa
PRT ke kedutaan. Unit tugas khusus dapat menyediakan pengacara bagi PRT yang bermasalah hukum.
Fasilitas tempat penampungan kedutaan yang bisa mengakomodasi hingga 150 orang memiliki perlengkapan
dan infrastruktur untuk mengatasi masalah yang dihadapi PRT. Tempat ini diperuntukkan bagi PRT yang
menunggu pemrosesan kasusnya, baik oleh pihak polisi maupun majikan mereka, dan juga bagi PRT yang kabur
dari rumah majikan. Setiap bulannya tempat penampungan kedutaan menerima hingga 120 perempuan. Tahun
2007, tempat ini pernah menampung total 1340 PRT yang melarikan diri dari majikan mereka. Makanan, layanan
kesehatan (seperti dokter) dan kegiatan pendidikan, termasuk kursus menjahit dan bahasa disiapkan di sini untuk
mengurangi tingkat kestresan TKI ketika menunggu kasusnya diproses/diselesaikan. Layanan lain yang tersedia
di tempat penampungan:
t 1FOEBNQJOHBOQFOZFNCVIBOEBOUFNQBUSVKVLBOCFLFSKBTBNBEFOHBOLMJOJLUFSEFLBU
t MBZBOBO UFMFQPO LBQBOQVO 5,8 EJ UFNQBU QFOBNQVOHBO QFSMV NFNCFSJLBO JOGPSNBTJ NFOHFOBJ TJUVBTJ
mereka kepada keluarga di Indonesia;
t 1FOEBNQJOHBO VOUVL NFNVMBOHLBO NFSFLB LF *OEPOFTJB MFXBU CBOEBSB +BLBSUB ,FEVUBBO NFOHIJOEBSJ
jalur Batam karena telah diidentifikasi sebagai lokasi perdagangan orang.
Kedutaan menyediakan panduan bagi PRT untuk memperbarui kontrak kerja dan bernegosiasi dengan majikan
guna memperoleh hak liburan/cuti mereka. PRT umumnya segan membahas isu ini dengan majikan karena
alasan budaya. Perpanjangan kontrak membuka kesempatan bagi Kedutaan Besar di Singapura untuk mendesak
majikan memberikan jatah cuti/liburan kepada PRT serta menaikkan upah mereka. Kedutaan Besar Indonesia di
Singapura sadar bahwa salah satu masalah yang dihadapi PRT Indonesia adalah kurangnya pengetahuan tentang
hak-hak dan tanggung jawab mereka.
Kedutaan juga telah menetapkan sebuah sistem akreditasi bagi agen yang merekrut dan mempekerjakan PRT
Indonesia di Singapura. Sistem ini telah diperluas jangkauannya ke agen perekrutan di Indonesia yang menempatkan
PRT di Singapura. Ketika kunjungan studi Pemerintah Indonesia ke Singapura bulan September 2009, kedutaan
telah mengeluarkan 202 akreditasi bagi agen perekrutan yang dapat membawa PRT ke Singapura.
39
40
41
58
59
KUWAIT42
GAMBARAN UMUM MIGRASI TENAGA KERJA
Negara-negara Teluk kaya minyak terdiri dari sebuah
wilayah dengan tingkat migrasi internasional dari
berbagai negara yang sangat tinggi. Keenam Negara
ini adalah Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, Arab Saudi
dan Uni Emirat Arab (UAE). Mereka tergabung dalam
sebuah asosiasi yang dikenal dengan nama Dewan
Kerjasama Teluk (GCC).
Negara-negara Dewan Kerjasama Teluk
(GCC)
memiliki sekitar 22 juta tenaga kerja temporer.43
Lebih dari seperempat jumlah ini adalah tenaga kerja
migran dari negara-negara Arab, dan 67 persen dari
Asia (Bank Dunia, 2008). Komposisi populasi ekspatriat
ini terus berubah. Ledakan minyak pertama di
wilayah Teluk menimbulkan arus manusia dari Mesir,
Jordan, Libanon dan Syria yang mencari kesempatan
kerja di sana. Diikuti kedatangan individu pencari
suaka ke Kuwait akibat ketidakstabilan & konflik di
negara mereka, khususnya dari Palestina dan Irak.
Sebelumnya memang pekerja asing didominasi oleh
pekerja dari Timur Tengah namun di tahun-tahun
belakangan komposisi populasi ini bergeser dengan
datangnya sejumlah besar tenaga kerja migran dari
Asia Tenggara dan Selatan.
Selama tahun 1970 dan 1980, perpindahan skala besar tenaga kerja dimulai sebagai respon terhadap melonjaknya
harga minyak dan rencana negara-negara GCC untuk melajukan pertumbuhan ekonominya. Rencana ini
membutuhkan jumlah tenaga kerja migran yang sangat besar karena jumlah tenaga kerja dari warga negaranya
relatif kecil dan mereka tidak memiliki keahlian khusus yang dibutuhkan dalam mengembangkan infrastruktur
dan proyek-proyek lainnya. Pada tahap awal, tenaga kerja di sektor konstruksi merupakan kategori terbesar tenaga
kerja migran. Namun ketika permintaan terhadap tenaga kerja konstruksi menurun jumlahnya akibat proyekproyek selesai digarap, permintaan yang tinggi terhadap tenaga kerja migran masih tetap ada, khususnya dengan
munculnya proyek-proyek perumahan dan bangunan baru yang dibutuhkan untuk pertumbuhan ekonomi
nasional. Negara-negara GCC memiliki pertumbuhan populasi yang cukup tinggi. Kebanyakan perempuan di
negara ini memiliki lebih dari empat anak.
Selain tenaga kerja konstruksi, PRT merupakan kategori terbesar tenaga kerja migran di GCC. Di sebagian besar
negara GCC, perempuan mendominasi sektor PRT asing, kebanyakan berasal dari Sri Lanka, Filipina, Indonesia.
Setiap tahun jumlah ini terus bertambah.
Indonesia telah menjadi salah satu negara pengirim tenaga kerja ke Kuwait. Saat ini tercatat 64.780 TKI di Kuwait
(BNP2TKI, 2009b). Menurut Kedutaan Besar Indonesia, 70 persen dari mereka berketerampilan rendah sementara
menurut pemuka masyarakat Kuwait jumlahnya mencapai sekitar 95 persen. Kebanyakan TKW bekerja sebagai
PRT. Sejak Februari 2009, tercatat 6110 PRT Indonesia datang ke Kuwait (BNP2TKI, 2009b).
Tingkat upah minimum tenaga kerja migran bervariasi dan biasanya ditentukan oleh negara pengirim. Menurut
Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait, upah minimum TKI ditetapkan sebesar 45 KD per bulan (US$ 157 per bulan)
bagi tenaga kerja tidak terampil dan KD 60 per bulan (US$ 210 per bulan)44 bagi yang berkeahlian. Makanan dan
tempat tinggal biasanya disediakan oleh pihak sponsor khususnya PRT.
Walaupun upah rendah, pengiriman uang tetap menjadi insentif penting bagi tenaga kerja migran untuk bekerja
di Kuwait. Migrasi tenaga kerja dan pengiriman uang merupakan penghasil pemasukan utama ekonomi Indonesia
secara keseluruhan. Sekitar 75 persen upah TKI di Kuwait dikirimkan melalui bank atau jasa pengiriman uang,
sementara sisanya digunakan untuk menutup biaya hidup sehari-hari dan/atau dibawa pulang langsung.
42
43
44
Banyak informasi dari seksi ini diperoleh selama kunjungan studi ke Kuwait bulan Oktober 2009
Umum dikenal di Kuwait dan Bahrain sebagai tenaga kerja kontrak asing.
Nilai tukar bulan November 2009-KD=USD 3.50
61
62
63
Walaupun tidak ada undang-undang yang secara jelas mengatur tentang perdagangan orang, namun perbudakan
lintas negara dilarang berdasarkan KUHP Kuwait (Pasal 185), demikian pula hal pelacuran paksa (Pasal 201).
Terdapat pula undang-undang yang memberikan sanksi hukum kepada mereka yang terlibat memfasilitasi
tempat tinggal atau ijin pengunjung bagi orang asing secara ilegal (Pasal 24, Keputusan Amir No. 17/1959) dan
regulasi perekrutan dan penempatan PRT (Pasal 3 UU No. 40 Tahun 1992).
Lewat amandemen Keputusan Menteri No. 617/1992 April 2010 (Resolusi Menteri No. 1182 Tahun 2010), Pemerintah
Kuwait bermaksud mengurangi jumlah agen perekrutan. Syarat tambahan pun kini dibebankan kepada para agen
tersebut: mendepositkan uang jaminan sebesar KD 20.000 (USD 70.000). Jumlah ini meningkat dari sebelumnya
KD 5000 (USD 17.500). Ada pula syarat lain yang harus dipenuhi agen perekrutan berkaitan dengan penempatan
pekerja rumah tangga, termasuk:
t MBSBOHBONFNCBXB135LF,VXBJUEFOHBOOBNBPSBOHMBJO
t MBSBOHBONFNJOEBIUBOHBOLBO135LFNBKJLBOMBJO
t UBOHHVOHKBXBCBUBT135ZBOHNFMBSJLBOEJSJEBO
t 1FOHBXBTBOXBKJCUFSIBEBQQFLFSKBBO135EBOQFSTZBSBUBOVOUVLUVOEVLUFSIBEBQBUVSBOEBOQFSVOEBOH
undangan berkaitan dengan penempatan mereka
Peraturan dan persyaratan tersebut diharapkan dapat mengurangi jumlah agen perekrutan. MoSAL bertanggung
jawab untuk pelaksanaan hukum berkaitan dengan tenaga kerja migran. Namun, isu PRT ditutupi di bawah
sebuah komite yang diduduki oleh MoSAL termasuk Kementerian Dalam Negeri. Ada harapan dari MoSAL kepada
Pemerintah Indonesia bahwa sebelum TKI meninggalkan Indonesia ke Kuwait, mereka terlebih dulu dibekali
dengan informasi mengenai pekerjaannya, budaya, alam, orang-orang, iklim dan hukum ketenagakerjaan
Kuwait.
Bulan Desember 2009, parlemen Kuwait mengesahkan undang-undang ketenagakerjaan baru yang menjamin
pemenuhan hak dan kondisi yang lebih baik kepada tenaga kerja migran (Kuwait Times, 24 Desember 2009).
Undang-undang ini telah memperbaiki hak-hak tenaga kerja migran dalam hal cuti tahunan (dari 15 hari
menjadi 30 hari terhitung sejak kontrak ditandatangani), aturan penggantian kerugian, hari libur (dari jatah 8
hari menjadi 13 hari), cuti sakit (dari jatah enam menjadi 15 hari dengan upah penuh) dan penerapan syarat
pemecatan dan pengunduran diri (majikan harus memberikan tenggang waktu tiga bulan). UU baru menyatakan
bahwa perempuan tidak dapat bekerja antara jam 8 malam dan 7 pagi, dengan pengecualian profesi tertentu
yang ditetapkan oleh Menteri Urusan Sosial dan Tenaga Kerja. Hukum ini menetapkan 48 jam kerja per minggu,
dan tidak boleh melebihi 8 jam per harinya. Tenaga kerja migran berhak untuk mengambil satu hari libur dalam
seminggu, namun bila mereka diminta bekerja pada waktu libur mereka, maka mereka berhak menerima
tambahan 50 persen dari upah per hari dan menerima ganti hari libur. Walaupun sistem pensponsoran Kafeel
tidak serta merta dihapuskan dengan munculnya UU baru ini, Menteri Urusan Sosial dan Tenaga Kerja telah
menegaskan bahwa kementerian akan terus berupaya menghapuskan secara bertahap sistem pensponsoran. UU
baru ini juga mensyaratkan Pemerintah Kuwait untuk membentuk badan pemerintah publik yang bertanggung
jawab merekrut tenaga kerja dari luar negeri.
kartu identitas tunggal di Indonesia. Masalah lain yang dihadapi TKI adalah perihal sebelum keberangkatan
mereka, seperti laporan PRT Indonesia di penampungan di bawah Kementerian Sosial dan Tenaga kerja Kuwait,
antara lain:
t LFUFSCBUBTBOQFNCFLBMBOMBUJIBOCBIBTB"SBC
t CFCFSBQBQFSFNQVBOUJEBLEJCFSJUBIVLBOCBIXBBLBOBEBQFOHVSBOHBOEBSJVQBILPUPSNFSFLB
t UJEBLEJCFSJLBOJOGPSNBTJNFOHFOBJQFSLFSKBBOBUBVNBKJLBONFSFLBEBO
t %JNJOUBNFOBOEBUBOHBOJLPOUSBLLFSKBEBMBNCBIBTB"SBCZBOHUJEBLNFSFLBQBIBNJ
Kotak 2: Studi Kasus: Ibu Rumah Tangga
Saya masih berusia 15 tahun ketika ditawari pekerjaan oleh seorang agen di kampung. Saya disuruh berbohong
tentang umur saya agar bisa bekerja. Saya setuju karena ingin menolong orang tua. Walaupun agen membuat usia
saya lebih tua, wajah saya tetap terlihat terlalu muda untuk pergi ke Arab Saudi dan disuruh untuk bekerja di Kuwait
karena akan diterima. Perusahaan perekrutan tahu soal umur saya yang sebenarnya. Saya kemudian dilatih beberapa
lama di Jakarta. Di Kuwait, saya bekerja sebagai PRT keluarga, bila saya memecahkan sesuatu, upah langsung dipotong.
Saya tidak bahagia, namun agen tidak mau mencarikan saya majikan baru karena mereka sudah membayar 20 juta
Rupiah untuk membawa saya ke Kuwait
Dari 500 agen perekrutan di Kuwait, Kedutaan Besar Indonesia memiliki perjanjian dengan 112 diantaranya yang
diberi wewenang merekrut dan mempekerjakan TKI. Sisa agen yang tidak berada dibawah wewenang kedutaan,
tidak bisa merekrut dan mempekerjakan TKI. Berangkat dari hal tersebut, diperlukan sebuah peraturan untuk
mengawasi agen perekrutan di Kuwait, mengembangkan standar pengelolaan tenaga kerja dan menghukum
agen-agen yang tidak mematuhi peraturan. Di bulan Oktober 2009, 2400 kasus perselisihan antara majikan dan
TKI dialihkan kepada agen perekrutan untuk diselesaikan, 1900 dari kasus ini sudah tuntas sementara sisanya
masih dalam proses.
Menurut data Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait, masalah utama yang dihadapi tenaga kerja termasuk antara lain:
upah yang tidak dibayarkan, penyiksaan fisik dan verbal, beban kerja yang berlebihan dan kejutan budaya. Dari
bulan Januari hingga Juli 2009, terdapat 1.825 kasus PRT yang melarikan diri dan mencari bantuan ke kedutaan.
Dari kesemua kasus yang menimpa TKW, tiga masalah paling umum adalah upah yang tidak dibayarkan (29%),
majikan yang bertemperamen buruk (24%) dan penyiksaan (16%). Beberapa masalah lain yang juga dilaporkan:
t KBNLFSKBZBOHTBOHBUNFOVOUVU KBNLFSKBUJEBLNBTVLBLBM
UJEBLBEBMJCVS
t LPOUSBLLFSKBNFSFLBUFMBITFMFTBJOBNVOUJEBLEJQVMBOHLBOLF*OEPOFTJBPMFINBKJLBOOZB
t QFMFDFIBOTFLTVBM
t QFSUFOHLBSBOEFOHBONBKJLBOQFSFNQVBO
t EJUVEVINFODVSJ
NFNVLVMBOBLNBKJLBOEBOQVOZBQBDBS
t NBKJLBONFNJOKBNVBOHEBSJ135OBNVOUJEBLQFSOBINFNCBZBSLFNCBMJEBO
t QFSUFOHLBSBOEFOHBONJUSBLFSKB
Bagan di bawah ini menunjukkan keluhan utama TKI yang datang ke Kedutaan Besar Indonesia untuk minta
bantuan di tahun 2007 dan 2008:
Gambar 2: Keluhan TKI di Penampungan Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait (2007 to 2008)45
Berdasarkan Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait, saat ini terdapat 64.000 WNI yang tinggal di Kuwait, 99 persennya
adalah TKI. Kisaran usia mereka antara 21 dan 26 tahun, sebagaimana yang disyaratkan Pemerintah Indonesia,
dengan tingkat pendidikan minimal SMP atau sederajat. TKI umumnya berprofesi sebagai PRT, sisanya bekerja
di perusahaan minyak Kuwait, hotel, pusat perbelanjaan, restoran, dan perawat. Umumnya, orang Indonesia
enggan melaporkan kedatangannya ke Kedutaan Besar Indonesia. Mereka hanya menghubungi kedutaan saat
memerlukan bantuan seperti pembuatan paspor baru. Menurut Kedutaan Indonesia di Kuwait, TKI terampil atau
semi terampil jarang yang memiliki masalah. Mayoritas kasus bermasalah datang dari pekerja berketerampilan
rendah khususnya PRT.
Jumlah Keluhan
900
800
Salah satu masalah besar yang dihadapi TKI adalah pemalsuan dokumen seperti menambahkan usia hingga
sepuluh tahun di dokumen resmi agar diijinkan bekerja di luar negeri. UU No. 39/2004 mensyaratkan TKI berusia
lebih dari 18 tahun, sementara TKI yang dipekerjakan oleh majikan perorangan seperti PRT, disyaratkan berumur
21 tahun saat melamar pekerjaan. Selain itu, setiap negara tujuan juga berhak mengenakan persyaratan batasan
usia. Kedutaan melaporkan bahwa tidak ada forum reguler untuk pertukaran informasi antara kedutaan dan agen
perekrutan. Demi mengurangi pemalsuan identitas, Pemerintah Indonesia tengah memproses pemberlakuan
700
600
500
400
300
200
100
0
Upah yang
tidak
dibayarkan
Penganiayaan Sponsor
terlalu
banyak
bicara
Bekerja
terlalu
keras
TIdak
diijinkan
kembali
Pelecehan
seksual
Lain-lain
2007
2008
Keluhan
45
64
Grafik diberikan oleh Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait. Kategori sponsor terlalu banyak berbicara terlihat dari pelecehan verbal yang diderita oleh
tenaga kerja Indonesia
65
Ketika seorang majikan menolak memberikan TKI ijin pergi, sulit untuk memperolehnya kembali, dan hal ini hanya
bisa difasilitasi oleh Departemen Migrasi Umum di Kementerian Dalam Negeri Kuwait, dilengkapi dengan surat
resmi dari kedutaan Indonesia
Penyiksaan PRT dilaporkan kerap terjadi di kalangan tenaga kerja yang bekerja di lingkungan rumah tangga
dan sangat mungkin tidak dilaporkan atau didokumentasikan. Berdasarkan survei ILO (2009), setengah dari PRT
dilaporkan mengalami beberapa bentuk penyiksaan saat bekerja di Kuwait. Namun untuk mengangkat isu ini
masih merupakan tantangan bagi pihak penguasa karena berlangsung di dalam lingkungan rumah. Studi ILO
mencatat bahwa kebanyakan korban perdagangan orang akan meminta bantuan pertama kali ke agen yang
membawa mereka, kemudian ke kedutaan. Hanya sedikit yang melaporkannya ke sumber-sumber di badan
pemerintahan. Hal ini sangat mungkin disebabkan minimnya informasi yang diperoleh pekerja tentang hakhak mereka dan lembaga rujukan yang bisa membantu. Tenaga kerja di Kuwait cenderung bermigrasi karena
keinginan sendiri/sukarela sehingga di saat kedatangan mereka terjebak dalam situasi yang bisa didefinisikan
sebagai perdagangan orang. Tenaga kerja perempuan khususnya menanggung resiko lebih besar, terlebih PRT
yang bekerja di lingkungan privat, akses bantuan yang terbatas dan tidak dilindungi oleh UU nasional Kuwait. Anak
yang lahir dari TKW di Kuwait, baik hasil hubungan sukarela maupun perkosaan diijinkan kembali ke Indonesia,
namun proses ini memakan waktu lama.
Gambar 3 menggambarkan tanggapan atas keluhan TKI yang diketahui oleh Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait.
Kasus terbanyak adalah dikembalikannya TKI ke agen mereka, walaupun tidak diketahui langkah apa yang diambil
agen berikutnya.
Jumlah Kasus
Kembali
ke agen
Kembali
ke Polisi
Kembali
ke Indonesia
2007
2008
Tanggapan
66
Di pertengahan 1990-an, sebuah nota kesepakatan (MoU) mengenai pekerja asing ditandatangani Kuwait dan
Indonesia. Dalam MoU tidak termasuk kuota jumlah TKI yang terlatih namun difokuskan pada hak-hak dan
perlindungan tenaga kerja asing temporer ketika berada di Kuwait. Perwakilan Pemerintah Kuwait dan Kedutaan
Besar Indonesia di Kuwait baru-baru ini bertemu untuk mendiskusikan revisi MoU ini dan mencantumkan TKI baik
yang terlatih maupun tidak karena banyaknya jumlah TKI tanpa keterampilan bekerja di Kuwait.
67
BAHRAIN46
Pemerintah Kuwait
Kementerian Urusan Sosial dan Tenaga kerja Kuwait telah berupaya menyediakan layanan bagi tenaga kerja
asing temporer. Mereka mendirikan sebuah penampungan bagi korban kerja paksa di tahun 2007, khususnya
bagi PRT yang lari dari majikan mereka akibat dianiaya. Kedutaan Besar Indonesia merujuk TKW ke tempat ini.
Penampungan memiliki kapasitas akomodasi bagi 40 perempuan, dengan layanan yang terdiri dari fasilitas medis
(psikologis dan fisik) serta bantuan hukum. Tenaga kerja asing diperbolehkan tinggal di penampungan selama
dua bulan, namun bagi korban penganiayaan yang kasusnya tengah diproses dapat tinggal di sini hingga urusan
hukumnya selesai. Mereka yang ditampung tidak diijinkan untuk bekerja di luar penampungan selama masa
tinggal mereka. Namun, penampungan tak mampu menangani semua permintaan bantuan tenaga kerja asing
ini setiap tahunnya. Pemerintah Kuwait mengalokasikan dana US$ 2,5 juta di tahun 2008 untuk memperluas dan
memperbarui tempat penampungan, menunjukkan dedikasi dukungan yang meningkat kepada para pekerja ini
(Departemen Negara, 2009).
68
Hingga akhir-akhir ini, migrasi tenaga kerja diatur berdasarkan Pasal 25 Keputusan Menteri No. 19/2006.
Pensponsoran atau sistem Kafeel tetap dianggap sebagai jalur resmi (legal) dalam menempatkan dan
mempekerjakan tenaga kerja asing di Bahrain. Dalam sistem Kafeel, ijiin tinggal terikat kontrak kerja dengan pihak
sponsor. Sistem ini dikritik meningkatkan kemungkinan penganiayaan dan eksploitasi. Memang menurut media
lokal dan studi lainnya, beberapa majikan menyimpan paspor tenaga kerja. Isu lainnya, sistem inipun mengarah
ke apa yang disebut masalah bebas-visa pengusaha menjadi sponsor tenaga kerja, memberikan visa dengan
meminta imbalan (atau persentase pendapatan yang dihasilkan). Pemerintah Bahrain telah menyadari masalah ini,
the Labour Market Regulatory Authority (LMRA) pun melakukan upaya mitigasi. Menurut LMRA, semua majikan
yang memperoleh uang (atau keuntungan lain) dari tenaga kerja dengan meminta imbalan dari visa diancam
hukuman penjara hingga satu tahun dan/atau maksimal denda setara kira-kira USD 5.300 untuk setiap tenaga
kerja yang dilibatkannya. Penalti/sanksi serupa dijatuhkan kepada perusahaan yang mempekerjakan tenaga kerja
ilegal dan agen tenaga kerja yang beroperasi tanpa lisensi.
Di tahun 2009, pemerintah Bahrain mulai melakukan pengkajian terhadap sistem Kafeel. Bulan Mei 2009, Menteri
Tenaga Kerja Bahrain, Majeed al-Alawi, mengumumkan sebuah rencana untuk membuang sistem pensponsoran.
Di bawah sistem baru yang efektif berlaku bulan Agustus 2009 LMRA bertanggung jawab mengeluarkan ijin
kerja yang bisa diperbarui setiap dua tahun, hubungan antara majikan dan tenaga kerja didasarkan sepenuhnya
pada kontrak kerja. Upaya reformasi penting ini masih akan diperluas ke pekerja di sektor domestik (PRT),
pelaksanannya kemungkinan akan dilakukan di 2010. Menteri Tenaga kerja Bahrain mengatakan bahwa reformasi
ini diharapkan menciptakan pasar tenaga kerja yang lebih bebas dan dinamis karena tenaga kerja akan diberi
keleluasaan untuk berpindah dari satu majikan ke majikan lainnya tanpa perlu ijin dari sponsor mereka. Ia pun
menginformasikan lewat radio BBC Arab bahwa sistem baru akan membentuk inisiatif yang lebih luas untuk
memberikan perlindungan kepada tenaga kerja di Bahrain. Pada saat bersamaan, sejumlah pemerintah asing
mencoba memperkenalkan upah minimal bagi warga negara mereka yang bekerja di Bahrain. Tahun 2007, Menteri
Tenaga Kerja Bahrain menyatakan bahwa semua standar upah minimal yang ditetapkan oleh negara pengirim
tenaga kerja tidaklah bersifat mengikat (Gulf Daily News, 2007).
46
Sebagian besar informasi di bagian ini diperoleh dari hasil kunjungan studi ke Bahrain, bulan Oktober 2009.
69
Permintaan Bahrain terhadap tenaga kerja asing secara umum disebabkan oleh dua faktor utama: populasi yang
relatif rendah dan tingkat partisipasi angkatan tenaga kerja yang rendah dibanding negara lainnya. Pada bulan
Juli 2008, kombinasi populasi lokal dan ekspatriat di Bahrain mencapai 1.106.509 537.719 diantaranya adalah
WN Bahrain dan 568.790 non-Bahrain (Bahrain Central Informatics Organization, 2008). Statistik pemerintah
mengindikasikan bahwa selama lebih dari satu dekade, jumlah ekspatriat yang bekerja di Bahrain rata-rata
mencapai 4.500 orang per tahunnya, sementara jumlah WN Bahrain hanya 3.600.47 Lebih dari 55 persen perempuan
yang bekerja di Bahrain adalah ekspatriat (Kapiszewski, 2006).
Menurut data Kedutaan Besar Indonesia di Kuwait terdapat sekitar 10.000 TKI di Bahrain, 1000 diantaranya adalah
tenaga kerja berketerampilan tinggi dan 8.000 orang bekerja sebagai PRT.
Untuk mengurangi tingkat pengangguran yang relatif tinggi di antara WN Bahrain, Pemerintah menganjurkan
perusahaan untuk mempekerjakan WN Bahrain ketimbang tenaga kerja asing (disebut Bahrainization) dengan
menawarkan insentif kepada perusahaan. Namun, sejauh ini, kemajuan nyata proses Bahrainization terbatas.
Menurut Menteri Tenaga Kerja Bahrain, tingkat pengangguran turun 3,8 persen di tahun 2008 dan stabil di posisi
3,5 persen tahun 2009. Walaupun demikian, dengan bantuan Program Ketenagakerjaan Nasional, pemerintah
terus mengembangkan dan melaksanakan program dengan harapan dapat mengurangi tingkat pengangguran
warganya.
47
70
Masalah yang dihadapi TKI serupa dengan yang dihadapi oleh tenaga kerja lainnya di Bahrain. Mereka yang
melakukan pekerjaan dengan keterampilan rendah atau semi terampil menerima upah rendah meskipun ada
upaya dari sejumlah pemerintah negara pengirim untuk menetapkan upah minimum bagi warganya. Tambahan
lagi, kebanyakan tenaga kerja asing ini bermasalah dengan usia dan terbatasnya pemahaman mereka akan
budaya dan hukum Bahrain, bahkan mungkin juga mengalami atau berpontensi mendapatkan kondisi tempat
kerja yang membahayakan. Pemerintah Bahrain melakukan upaya untuk menanggulangi masalah ini. Misalnya,
rencana melarang penggunaan transportasi dengan truk bak terbuka dari dan ke kempat kerja. Walaupun rencana
ini terpaksa ditunda karena munculnya protes dari perusahaan-perusahaan swasta. Menurut Kementerian Dalam
Negeri, sebuah komite nasional sedang mengembangkan panduan bagi PRT di Bahrain.
Tenaga kerja asing perempuan yang bekerja di Bahrain, khususnya sebagai PRT, sangat rentan posisinya karena
rumah tangga dianggap wilayah privat demikian pula PRT dan orang-orang di dalamnya, sehingga jelas tidak
masuk dalam perlindungan UU Ketenagakerjaan Bahrain. Mereka pun tidak dilindungi oleh hukum keluarga yang
hanya memasukkan pasangan (suami/istri) dan anak. Dengan demikian, kedudukan PRT begitu rentan terhadap
kekerasan fisik dan seksual, juga berbagai bentuk eksploitasi karena syarat dan kondisi lingkup kerja mereka
hanya didefinisikan oleh kontrak kerja yang dinegosiasikan baik oleh agen perekrutan atau kedutaan besar
mereka. Dalam kasus TKI yang bekerja sebagai PRT, biasanya agen perekrutan yang menegosiasikan kontrak,
TKI mungkin hanya memberi sedikit masukan atau lebih sering tak menyadari betapa pentingnya dokumen ini
beserta implikasinya.
Sebuah masalah penting yang digarisbawahi oleh Asosiasi Agen Perekrutan di Bahrain dalam pertemuan
dengan delegasi Pemerintah Indonesia adalah tidak tersedianya daftar hitam agen perekrutan Indonesia di
agen perekrutan Bahrain sehingga pihak Bahrain tidak mengetahui bila mereka bekerja dengan agen yang legal
atau ilegal di Indonesia. Bila tenaga kerja belum menerima pelatihan sebelum keberangkatan yang memadai
dan dokumen yang benar di Indonesia, mereka akan berada di posisi yang jauh lebih rentan untuk mengalami
kekerasan ketika tiba di Bahrain. Hal ini memang benar, khususnya bagi TKW yang umurnya diubah di dokumen
resmi agar bisa lolos dari regulasi batas umur bagi tenaga kerja PRT non-Bahrain yaitu 25 tahun. Seperti yang
disebutkan sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah menetapkan usia minimal TKI yaitu 28 tahun, dengan
perkecualian migran yang dipekerjakan oleh perorangan seperti PRT dengan batas usia 21 tahun.
Masalah lain sebagaimana yang diungkapkan oleh Asosiasi Agen Perekrutan Bahrain saat pertemuan dengan
delegasi Pemerintah Indonesia adalah TKI berbeda-beda caranya dalam mencari bantuan ketika menemui
masalah. TKI cenderung tinggal bersama orang Indonesia lainnya yang bermukim di Bahrain yang biasanya
bisa menyediakan kerja bagi mereka. Hal ini mempersulit agen perekrutan untuk membantu TKI atau bahkan
mengetahui sesungguhnya masalah yang dihadapi. Berdasarkan UU yang mengatur tentang agen perekrutan
Bahrain, agen bertanggung jawab mendampingi tenaga kerja yang tidak menerima atau ditahan pembayaran
upahnya. Namun bila terdapat kasus yang memerlukan bantuan hukum, maka agen berkewajiban melaporkannya
ke polisi.
Asosiasi Agen Perekrutan juga mengidentifikasi beberapa masalah yang terjadi di Bahrain sebagai negara
tujuan:
t NJOJNOZBTFTJQFMBUJIBOEBOJOGPSNBTJCFSLFOBBOEFOHBOCVEBZB
CBIBTBEBOBUVSBOEJ#BISBJO
t UJEBLBEBKBMVSLPNVOJLBTJDFQBUEBOMBOHTVOH IPUMJOF
BOUBSBLPOTVMBU*OEPOFTJBEBOBHFOQFSFLSVUBO
t UJEBL UFSTFEJBOZBO JOGPSNBTJ EBGUBS IJUBN BHFO QFSFLSVUBO TFIJOHHB BHFO QFSFLSVUBO #BISBJO TFSJOHLBMJ
berakhir bekerja dengan agen perekrutan Indonesia yang buruk reputasinya;
t NFOHJSJNLBOQFLFSKBVTJBNVEBZBOHUBLCFSQFOHBMBNBO
t 135UJEBLNFOHFSUJTPBMLPOUSBLLFSKBEBOEJCFCFSBQBLBTVTUJEBLNFOHFUBIVOPNPSQBTQPSNFSFLB
t 135ZBOHUJEBLUBIVCBHBJNBOBDBSBNFOHJSJNLBOVBOH
t 135ZBOHUJEBLCJTBCFSCBIBTB*OHHSJTNBVQVO"SBC
The Economist Intelligence Unit (EIU) Country Data adalah pusat data yang menyediakan perkiraan bagi variasi variabel ekonomi yang luas, termasuk
pembayaran berimbang, GDP (Produk Domestik Bruto), inflasi dan perdagangan internasional, didukung oleh 150 negara, sejumlah kumpulan regional dan
global.
71
Di Bahrain, berlawanan dengan negara GCC lainnya, tenaga kerja mempunyai hak untuk menyimpan paspor
mereka. Berdasarkan hukum di Bahrain, tak seorangpun diijinkan menyimpan paspor orang lain. Hal ini
memudahkan tenaga kerja bergerak leluasa untuk meninggalkan majikan, menghubungi konsulat mereka
atau mencari suaka di penampungan bila menemui masalah di tempat kerja. Tenaga kerja diwajibkan untuk
menunjukkan dokumen mereka bila ditanya. Menurut organisasi masyarakat madani, walaupun begitu tetap saja
ada majikan yang menahan paspor PRT mereka.
Konsekuensinya adalah jumlah PRT yang kabur dari majikannya cukup tinggi. Estimasi resmi menyatakan terdapat
dua hingga lima PRT yang melarikan diri setiap harinya mencari perlindungan di tempat penampungan kedutaan
besar mereka (Bahrain Tribune, 2007). Menurut seorang petugas serikat pekerja, tenaga kerja perempuan yang
bermigrasi ke Bahrain dan bekerja sebagai PRT berkemungkinan pula dieksploitasi oleh agen perekrutan.
Sebagaimana dilaporkan, ada oknum agen yang meminta imbalan lebih dari tiga bulan upah sebagai ganti biaya
visa. Biaya ini jauh lebih besar daripada perekrutan resmi.
Berdasarkan studi terkini, termasuk Laporan Perdagangan Orang (TIP) 2009, yang dikeluarkan oleh Kantor
Departemen Negara Amerika untuk Pengawasan dan Pemberantasan Perdagangan Orang, di Bahrain terdapat
juga kasus seperti ini. Menurut Laporan TIP 2009:
Bahrain merupakan negara tujuan bagi laki-laki dan perempuan yang diperdagangkan untuk tujuan tenaga
kerja paksa dan eksploitasi seks komersial. Laki-laki dan perempuan berasal dari India, Pakistan, Nepal,
Sri Lanka, Bangladesh, Indonesia, Thailand, Filipina, Ethiopia dan Eritrea bermigrasi sukarela ke Bahrain untuk
bekerja sebagai tenaga kerja di sektor formal atau PRT. Namun beberapa di antara mereka menghadapi kondisi
kerja paksa sesaat setelah tiba di Bahrain, seperti penahanan paspor yang tak sesuai hukum, pembatasan ruang
gerak, upah yang tidak dibayarkan, ancaman, kekerasan fisik dan seksual.
Bahrain baru-baru ini memperkenalkan UU Anti-Perdagangan yang komprehensif, dan pada bulan Januari 2008
berhasil menghukum pelaku. Sejak saat itu, sejumlah kasus telah berhasil dibawa ke meja hijau.
Pemerintah Bahrain juga telah mengambil langkah positif untuk memperkuat kapasitas sistem peradilannya
dalam memberantas perdagangan orang dan mengidentifikasinya, serta menyediakan bantuan yang layak
dan tepat waktu bagi korban. Awal tahun 2002, dibentuk sebuah Gabungan Kekuatan Inter-Kementerian
Pemberantasan Perdagangan Orang, yang kemudian diubah namanya menjadi Komite Nasional Pemberantasan
Perdagangan orang. Komite nasional ini diketuai oleh Kementerian Luar Negeri dengan anggota yang terdiri dari
Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kantor Mahkamah Agung, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian
Pembangunan Sosial, Kementerian Tenaga Kerja, Direktorate Hukum dan Gubernuran Ibukota serta organisasi
masyarakat madani yang berurusan dengan tenaga kerja yang pernah diperdagangkan. Tanggung jawab utama
Komite Nasional antara lain mengumpulkan informasi dan meningkatkan kesadaran akan cakupan dan bentuk
perdagangan orang di Bahrain termasuk persiapan dan pelaksanaan Rencana Nasional Aksi Pemberantasan
Perdagangan Orang.
Pada bulan November 2007, sebuat unit khusus dibentuk di dalam tubuh Kementerian Dalam Negeri untuk
menyelidiki kejahatan perdagangan dan di Januari 2008, Pemerintah Bahrain mengeluarkan sebuah UU anti
perdagangan yang komprehensif.
Rencana Nasional Aksi Pemberantasan Perdagangan Bahrain telah mendesak dilakukannya langkah-langkah
signifikan, antara lain:
t 1FOHBEBBOEVBKBMVSLPNVOJLBTJDFQBUEBOMBOHTVOH IPUMJOF
EBMBNSVBOHMJOHLVQ,FNFOUFSJBO5FOBHB,FSKB
guna menyediakan informasi dan bantuan kepada tenaga kerja
t NFOEFTBJOEBONFOZFCBSMVBTLBOCSPTVSTFMFCBSBOCFSJTJIBLIBLUFOBHBLFSKBEJ#BISBJO
t QFOHFNCBOHBOQFUVOKVLQBOEVBOMFOHLBQCBHJUFOBHBLFSKBZBOHUFMBIEJTFCBSLBOPMFILFEVUBBOLFEVUBBO
besar negara pengirim tenaga kerja migran;
t 1FOEJSJBOSVNBIBNBOCBHJ135QFSFNQVBOZBOHEJQFSEBHBOHLBO
Sistem pengawasan pasar tenaga kerja Bahrain juga telah diperbaiki. Sejak tahun 2002, pihak pemerintah Bahrain
telah menutup 105 agen tenaga kerja yang dituduh memalsukan paspor tenaga kerja.
Saat ini telah terdapat sebuah tempat penampungan milik pemerintah di Bahrain. Pemerintah juga memberikan
hibah kecil kepada Kelompok Perlindungan Tenaga Kerja pada bulan April dan Juli 2008 untuk membentuk dan
mengelola sebuah tempat penampungan bagi tenaga kerja yang menjadi korban perdagangan dan kekerasan.
Walaupun demikian, sejumlah korban perdagangan dan tenaga kerja tetap saja mencari tempat penampungan di
kedutaannya masing-masing. Namun, tidak tersedia tempat khusus atau layanan perlindungan bagi tenaga kerja
laki-laki korban perdagangan atau kekerasan di Bahrain.
Saat ini tidak terdapat nota kesepakatan antara Pemerintah Bahrain dan Indonesia berkenaan dengan penempatan
TKI. Namun pada pertemuan yang diselenggarakan di Bahrain ini sebagai bagian dari kunjungan studi 7 Oktober
2009, Kementerian Luar Negeri Bahrain menyarankan bila Pemerintah Indonesia ingin membuat sebuah nota
kesepakatan, sebaiknya dibuat di tingkat GCC, bukan perjanjian dua negara saja, karena TKI ada hampir di seluruh
negara GCC.
Menurut data yang disediakan oleh Kementerian Kesehatan, terdapat 400.000 warga non-Bahrain yang berhak
mendapatkan layanan kesehatan tak terbatas di rumah sakit umum dan klinik-klinik. Terdapat upaya perbaikan
yang penting di segi layanan kesehatan bagi tenaga kerja, pemerintah telah mencanangkan rencana lima tahap
untuk membuat asuransi kesehatan swasta sebagai sesuatu yang wajib bagi semua warga non-Bahrain di 2013
sebagai langkah mengurangi beban asuransi kesehatan pemerintah.
Kordinasi antara Kementerian Dalam Negeri Bahrain dan KJRI juga telah terjalin baik sehingga konsulat akan
selalu diberitahu bila Departemen Imigrasi menerima kasus yang melibatkan TKI, dengan demikian mereka dapat
bekerja sama menemukan jalan keluar masalah.
72
73
Perwakilan Indonesia di negara tujuan memainkan peran penting dalam melindungi TKI. Namun, kebanyakan
kedutaan dan konsulat tidak mendapatkan informasi yang benar tentang jumlah dan kondisi tenaga kerja di negara
tujuan. Laporan ini menyarankan perbaikan di segi pengumpulan informasi oleh perwakilan-perwakilan diplomatik
dan keharusan memonitor agen perekrutan. Atase khusus tenaga kerja harus memverifikasi penempatan dan
melakukan kunjungan ke tempat-tempat majikan, serta menindaklanjuti kegiatan untuk menyediakan proteksi
yang lebih baik kepada TKI di negara tujuan. Meyusun daftar hitam agen-agen perekrutan ilegal bekerjasama
dengan pemerintah negara tujuan dan informasi ini dibagikan dengan Pemerintah Indonesia.
Laporan ini juga menyarankan pelaksanaan Prosedur Operasional Standar di semua Kedutaan Besar Indonesia di
luar negeri dimana terdapat kasus TKI yang tertahan di luar negeri. Dalam pelaksanaannya diimasukkan pula hal
peningkatan kesadaran tentang perdagangan orang dan identifikasi korban bagi Atase tenaga kerja.
Lebih lanjut, sangatlah penting untk memperkuat kerjasama bilateral antara Indonesia dan negara tujuan
berkaitan dengan masalah tenaga kerja melalui pembuatan Nota Kesepakatan dan kerjasama bilateral lainnya.
Demikian pula penguatan kordinasi antara Pemerintah Indonesia dengan konsulat-konsulat di luar negeri agar
bisa berkolaborasi lebih efektif dalam menyediakan bantuan kepada TKI.
Misi diplomatik Indonesia di negara tujuan memang benar merupakan pemangku kepentingan dan penyedia
perlindungan bagi TKI, namun sangatlah penting bagi pemerintah negara tujuan untuk turut bertanggung jawab
mengenai kesejahteraan dan perlindungan tenaga kerja di negara mereka. Tenaga kerja seharusnya diberikan syarat
dan kondisi yang sama dalam bekerja (seperti jam kerja, masa istirahat, upah, dan akses ke layanan kesehatan),
serta perlindungan hukum serupa dengan pekerja warga negaranya. Hal ini khususnya menjadi masalah di sektor
yang tidak tercakup oleh UU Ketenagakerjaan, seperti PRT. Di keempat negara tadi, penting sekali untuk mengenali
PRT sebagai sebuah kategori pekerjaan yang seharusnya juga dilindungi oleh UU Ketenagakerjaan Nasional dan
memperkuat sistem pengawasan TKI agar bisa melindungi hak-hak mereka dengan lebih baik, berlaku bagi semua
tenaga kerja, migran maupun non-migran.
Tenaga kerja sebaiknya dapat menikmati pula hak-hak sipil dasar seperti hak memegang dokumen identifikasinya
sendiri, kebebasan untuk meninggalkan tempat kerja di luar jam kerja, dan memiliki telepon seluler atau alat
komunikasi lainnya.
Negara-negara tujuan seharusnya juga menjamin kebebasan berkumpul tenaga kerja agar dihormati (oleh si
majikan) sehingga mereka dapat membentuk perserikatan/asosiasi untuk menyokong budaya mereka dan
mengadvokasi hak-haknya. Tenaga kerja dapat membentuk serikat pekerja agar mampu mengemukakan
kepentingan dengan lebih baik tergantung dari perundang-undangan di negara tujuan. Walaupun perlindungan
tenaga kerja memang menjadi tanggung jawab utama pemerintah, namun peran penting masyarakat madani
melalui jalur layanan perbekalan dan advokasi seharusnya juga bisa lebih ditingkatkan.
74
75
KEY FINDING
AND RECOMENDATION
REKOMENDASI
77
12. Membuat saluran telpon hotline nasional bagi para TKI atau calon TKI dengan informasi mengenai migrasi
yang aman.
25. Merevisi UU Kementerian Luar Negeri No.4/2008 untuk memastikan konsistensi bahwa atase ketenagakerjaan
di semua Kedubes RI di luar negeri mempunyai paspor diplomatik.
13. Memastikan para TKI berpartisipasi dalam seminar orientasi bersertifikat mengenai negara tujuan sebelum
keberangkatan tanpa dipungut biaya atau sedikit biaya bagi mereka sendiri. Seminar dilakukan oleh masingmasing pemerintah daerah sebelum keberangkatan para TKI. Seminar ini perlu menyertakan informasi
tentang budaya, bahasa, norma sosial dan UU ketenagakerjaan, hak-hak tenaga kerja, bantuan yang tersedia
di luar negeri, pengetahuan tentang keuangan dan pemakaian sistem asuransi.
26. Memperbaiki pengumpulan data tenaga kerja yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia melalui sistem
perbaikan perlidungan TKI yang efektif.
14. Membentuk dan melaksanakan sistem pendidikan yang distandardisasikan dan disediakan bagi para TKI, di
manapun mereka ditempatkan melalui kesepakatan antara satu pemerintah dengan yang lain atau melalui
pengaturan perekrutan swasta.
15. Memastikan bahwa semua TKI yang berangkat mempunyai kontrak resmi, yang ditandatangani sebelum
meninggalkan Indonesia, yang dengan jelas menetapkan kondisi, termasuk upah dan jam kerja sehingga calon
TKI dapat dengan mudah memahami hak-hak dan kewajiban mereka. Selanjutnya, kontrak kerja dipastikan
disusun dalam bahasa yang bisa dimengerti oleh para calon TKI dan mereka mempunyai cukup waktu untuk
mencerna dan memahami dengan benar kontrak tersebut sebelum menandatangani.
16. Memastikan calon TKI yang akan berangkat menjalani dan memenuhi tes kesehatan sebagai persayaratan
sebelum berangkat, yang dilakukan oleh pihak yang diberi wewenang oleh pemerintah, karena tes kesehatan
menjadi komoditas yang diperdagangkan. Untuk memperkecil resiko pelecehan terhadap para TKI, tes
kesehatan harus dilakukan oleh petugas kesehatan resmi dengan jender yang sama dengan para TKI yang
akan diperiksa.
17. Pemerintah meningkatkan pengawasan TKI untuk memperkecil biaya TKI, seperti yang diatur oleh BNP2TKI,
dan mengurangi biaya migrasi mereka dengan mengurangi biaya pemerintah dan retribusi dan peraturan
pembiayaan yang lebih efektif yang dikenakan oleh agen tenaga kerja swasta.
18. Membuat dan menyusun panduan yang jelas tentang biaya yang dikenakan agen perekrutan kepada para TKI
dan tambahan biaya lainnya yang mungkin dipungut.
19. Membuat Nota kesepakatan antar negara pengirim dan negara tujuan yang menjelaskan biaya dan retribusi
yang dibebankan kepada para TKI dan yang sudah disepakati oleh kedua belah pihak, dan meningkatkan
ketersediaan pinjaman dari Bank dan lembaga keuangan mikro ke para makelar agar mereka bisa membayar
biaya perekrutan mereka, dan bisa mengurangi resiko terikat hutang dengan rentenir atau agen perekrutan.
20. Menyediakan daftar pekerjaan yang dipesan dan jumlah TKI yang diperlukan untuk melakukan pekerjaan
tersebut di negara tujuan, menghindari perekrutan tenaga kerja migran yang berlebihan karena sebenarnya
pekerjaan tersebut sudah tidak ada lagi.
34. Memastikan kebebasan tenaga kerja berasosiasi dihormati jadi mereka bisa membentuk perkumpulan/
perserikatan yang mendukung budaya mereka dan advokasi yang mendukung hak-hak mereka di luar
negeri.
35. Membentuk serikat buruh bagi tenaga kerja, agar bisa mempromosikan kepentingan mereka dengan lebih
baik, sesuai dengan UU di negara tujuan.
21. Menegakkan peranan Atase bidang Ketenagakerjaan dalam struktur Kedutaan Indonesia, dalam mengawasi
agen perekrutan, memperjelas penempatan kerja, melakukan kunjungan calon majikan dan menindaklanjuti
kegiatan penyedian perlindungan TKI yang lebih baik di negara tujuan. Melaksanakan prosedur standar
operasional di KBRI di luar negeri mengenai kasus TKI yang ditampung di KBRI, meningkatkan kesadaran TKI
tentang perdagangan orang atau korban yang diidentifikasi oleh atase dan staf konsulat, dan bagaimana cara
terbaik untuk menawarkan perlindungan dan bantuan bagi para TKI.
36. Memperkuat kerjasama bilateral antara Indonesia dan negara tujuan mengenai masalah-masalah migrasi
tenaga kerja lewat Nota Kesepakatan (MoU) dan pembentukan angkatan kerja di setiap negara.
22. Memperbaiki koordinasi antara pemerintah Indonesia dan KBRI dan KJRI di luar negeri dalam kerja sama yang
lebih efektif untuk menyediakan dukungan bagi TKI.
37. Meratifikasi Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-Hak Tenaga Kerja dan Anggota Keluarga
Mereka.
23. Membuat dan menyimpan daftar hitam agen-agen perekrutan tidak resmi. Melakukan kerja sama dengan
Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
38. Meningkatkan keterampilan dan kualifikasi tenaga kerja migran agar mereka tidak dalam posisi rentan.
24. Perwakilan pemerintah Indonesia di luar negeri memastikan penerapan standar tempat kerja internasional di
semua negara tujuan.
78
39. Memberikan fasilitas pembuatan sistem terpercaya dan terjaga dan yang bisa diakses oleh tenaga kerja dalam
pengiriman uang mereka, sebaiknya melalui kerja sama antara negara pengirim dan negara tujuan juga sektor
komersial dan sektor non-bank.
79
40. Memindahkan tanggung jawab penempatan dan perlindungan tenaga kerja, khususnya yang paling rentan
seperti pembantu rumah tangga perempuan, dari agen prekrutan swasta ke pemerintah dan meningkatkan
jumlah perekrutan antar badan pemerintahan.
41. Meningkatkan jumlah dan cakupan geografis atase di KBRI di luar negeri.
2. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di tingkat provinsi dan kabupaten mengeluarkan surat ijin kerja
yang kemudian dikirim ke Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
42. Meningkatkan kapasitas wilayah pedesaan untuk membangkitkan kesadaran tenaga kerja tentang masalahmasalah yang ada di masyarakat.
3. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi dan BNP2TKI tingkat provinsi dan kabupaten perlu meningkatkan
kesadaran calon TKI, melakukan penyeleksian dan pendaftaran calon TKI dan kontrak penempatannya.
4. Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi tingkat provinsi dan kabupaten melakukan pemeriksaan
kesehatan jasmani dan psikologis
5. Kementerian Kesehatan, BNP2TKI dan agen perekrutan memberikan pelatihan dan pelaksanaan uji
kemampuan dan penyediaan akomodasi
6. Agen konsorsium asuransi dan agen perekrutan mengurusi pembayaran asuransi
7. Kementerian Hukum dan HAM mengeluarkan surat pengurusan paspor.
8. Direktorate Jenderal Imigrasi mengeluarkan Paspor
9. Departemen Keuangan dan agen perekrutan menerima pembayaran sebesar USD 15 sebagai retribusi
perlindungan TKI.
10. BNP2TKI, Kedubes RI atau Konsulat Jenderal RI di negara tujuan dan agen perekrutan mengeluarkan visa
kerja.
11. BNP2TKI dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi melakukan Pembekalan Akhir Pemberangkatan
termasuk penandatanganan kontrak kerja dan Kartu Identitas TKI di luar negeri (KTKLN).
12. Agen perekrutan, BNP2TKI, Imigrasi, Kementerian Transportasi, Kementerian Hukum dan HAM, Kementerian
Keuangan, dan Polisi Nasional Indonesia mengkoordinasi pemberangkatan TKI.
13. Agen perekrutan dan Kedubes RI atau Konsulat Jenderal RI memfasilitasi kedatangan TKI di negara tujuan.
14. Selama berada di luar negeri, TKI menjadi tanggung jawab agen perekrutan, Kedutaan Besar Indonesia atau
Konsulat Jenderal di negara tujuan dan majikan.
15. Agen perekrutan, BNP2TKI, Kementerian Transportasi, Polisi Nasional Indonesia, Kementerian kesehatan
dan Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, perusahaan asuransi dan bank
mengkoordinasi layanan pemulangan TKI ke Indonesia.
48
80
81
16. Bank sentral Indonesia (Bank Indonesia) mengatur pengiriman uang internasional untuk mencegah pengiriman
secara ilegal yang digunakan untuk kejahatan dan terorisme dan juga mengembangkan penggunaan jalur
formal pengiriman uang bagi tenaga kerja dalam mengirim uang mereka. Bank Indonesia secara teratur
melakukan penelitian tentang pengiriman uang untuk memperbaiki data dan juga bekerja sama dengan
Bagian Keuangan Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian dan BNP2TKI dalam penyediaan kampanye
pengetahuan tentang keuangan bagi TKI selama pelatihan yang dilakukan sebelum keberangkatan mereka.
17. Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak bertanggung jawab mengkoordinasi dan
memimpin unit kerja khusus penanganan perdagangan orang.
2. BNP2TKI merupakan pihak yang mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk penempatan dan
perlindungan TKI di luar negeri.
3. Kementerian Luar Negeri diberikan mandat untuk mengurus tugas-tugas lain terkait dengan TKI selama di
luar negeri, melalui kantor perwakilan diplomatik Indonesia.
4. Kementerian Sosial, di tingkat pusat atau daerah, mengurusi TKI di luar negeri yang sudah dideportasi atau
menjadi korban perdagangan orang.
5. Kementerian Koordinasi Bidang Perekonomian bertanggung jawab mengkoordinasi berbagai kerja badan
pemerintahan yang berhubungan dengan reformasi penempatan dan perlindungan TKI juga perbaikan
layanan keuangan bagi TKI. Sesuai dengan Instruksi Presiden No. 6/2006, Kementerian Koordinasi Bidang
Perekonomian bertanggung jawab membentuk dua unit kerja pendukung untuk mempermudah agen-agen
penanganan permasalan-permasalan khusus dalam pengkoordinasiannya.
6. Kementerian Koordinasi Kesejahteraan Rakyat bertanggung jawab melaksanakan koordinasi pelayanan TKI
yang bermasalah di luar negeri, misalnya seperti deportasi.
7. Kementerian Koordinasi Bidang Politik, Hukum dan Keamanan bersama dengan Kementerian Koordinasi
Bidang Perekonomian bertugas mengkoordinasi dan mengawasi pelaksanaan Instruksi Presiden No. 6/2006
sesuai dengan masing-masing bidang tanggung jawab dan melaporkan pelaksanaannya secara teratur.
8. Kementerian Kesehatan mengurusi pemeriksaan kesehatan sebelum keberangkatan semua TKI ke luar negeri
dan pelayanan kesehatan bagi TKI yang sakit dan menjadi korban kekerasan dan perdagangan orang.
9. Kementerian Bidang Komunikasi mengurusi perjalanan TKI dari bandara atau pelabuhan keberangkatan
sampai kedatangan, dari desa sampai negara tuuan dan kembali ke negara asal.
10. Kementerian Dalam Negeri mengurusi dan mengatur dokumen identitas pemerintah, khususnya di daerah
sampai kecamatan dan desa.
11. Direktorat Jenderal imigrasi di bawah Kementerian Hukum dan HAM, mengurusi penyediaan paspor bagi
WNI, termasuk TKI. Kantor-kantor regional direktorat mengurusi proses pembuatannya.
12. Polisi Nasional Indonesia terlibat dalam pengelolaan migrasi TKI di tingkat desa dan kecamatan. Polisi
menegakkan pengaturan hukum dan melaksanakan peraturan hukum, khususnya mengambil tindakan
hukum seperti menangkap atau memberikan sanksi bagi pelanggar peraturan migrasi TKI.
13. Kementerian Negara bidang Usaha Milik Negara berwewenang menyediakan layanan dan menciptakan seksi
khusus untuk mengakomodasi TKI di bandara.
14. Kementerian Keuangan bertugas untuk memastikan penanganan masuknya bagasi milik TKI secara efisien.
Bekerja sama dengan Presiden Direktur berbagai bank, Kementerian Keuangan juga akan membantu
memberikan fasilitas kredit bagi calon tenaga kerja.
15. Pemerintah daerah (bupati/walikota/gubernur) terlibat dalam proses pemrolehan dokumen, menangani
kedatangan tenaga kerja yang bermasalah atau yang dideportasi, dan pemerintah daerah berkoordinasi
dengan kantor Kementerian Tenaga Kerja dalam proses pemberangkatan TKI secara operasional.
49
82
83
5JEBLNFOJOHLBULBOEFQPTJUPQFOZFMFTBJBOQFSTFMJTJIBO
t
5JEBLNFOEJSJLBOLBOUPSDBCBOHEJMVBSOFHFSJ
t
5JEBLNFOHJOGPSNBTJLBO,FNFOUFSJBO5FOBHB,FSKBEBFSBIUFOUBOHJOGPSNBTJLFHJBUBOCBHJ5,*
t
5JEBLNFOHBUVSQFSQBOKBOHBOEPLVNFOQFSKBOKJBOLFSKBEBO
t
5JEBLNFMBQPSLBOLFCFSBOHLBUBO LFEBUBOHBOEBOLFQVMBOHBO5,*ZBOHNFNBTVLJEBONFOJOHHBMLBOOFHBSB
Biaya layanan
t
5JEBLNFOHJLVUTFSUBLBOUFOBHBLFSKBLF1FNCFLBMBO"LIJS1FNCFSBOHLBUBO
t
5JEBLNFOFNQBULBOUFOBHBLFSKBTFTVBJEFOHBOQFSKBOKJBOLFSKB
t
5JEBLNFOHVSVTJUFOBHBLFSKBZBOHNFOJOHHBMEBO
t
5JEBLNFOZFEJBLBOQFSMJOEVOHBOTFTVBJEFOHBOLFTFQBLBUBOQFOFNQBUBO
Terminal IV 52
Tenaga kerja tidak diminta untuk
membayar dan biaya layanan
ditanggung
oleh
anggaran
BNP2TKI.
Sistem online dan diawasi dari
kantor BNP2TKI.
Staf medis (dokter) belum tersedia. Staf medis (dokter) berjaga selama
Tenaga kerja yang bermasalah 24 jam bagi tenaga kerja yang
dengan kesehatan dirawat dengan memerlukan perawatan medis.
sistem panggilan telpon melalui
kantor
kesehatan
pelabuhan
Angkasa Pura.
Sistem perpindahan
t
Terminal III 51
Pengumpulan
data
melalui
operator
transportasi
yang
mengikuti para tenaga kerja yang
akan pulang untuk mendapatkan
tiket transportasi pulang.
Klaim asuransi
Jasa Porter
Terbatas/minim.
Belum
ada
akomodasi untuk satu malam saja
bagi para tenaga kerja yang pulang,
tidak ada ruang tunggu bagi supir,
tidak ada AC, tidak ada tempat
pertemuan atau mushola.
51
52
84
Terminal III di Bandara Internasional Soekarno Hatta Jakarta pada tahun 1999 mendirikan proses pengembalian Tenaga Kerja Indonesia dan repatriasi mereka
ke kampung halaman. Saat ini terminal III digunakan sebagai terminal umum, tenaga kerja diproses melalui Terminal IV.
Repatriasi dari Tenaga Kerja Indonesia melalui Terminal IV Bandara Soekarno Hatta Jakarta dimulai sejak Februari 2008.
85
Berbagai macam layanan disediakan bagi TKI melalui LSM dan Organisasi Masyarakat Madani (CSO) di Malaysia
termasuk tapi tidak terbatas ke:
The Humanitarian Organization for Migration Economics (H.O.M.E)58 merupakan lembaga amal yang
memiliki prinsip manfaat migrasi bagi masyarakat global dan berfokus pada efek migrasi di Singapura. Tujuannya
untuk mengembangkan penelitian dan pendidikan tentang sosio ekonomi migrasi di Singapura, menyediakan
jasa intergrasi sosial bagi para migran dan bantuan kemanusiaan bagi mereka. H.O.M.E mempunyai tiga kantor
di Singapura. Sebuah kantor pusat untuk penanganan kasus, mediasi dan rujukan dari Kedutaan Besar, polisi,
Kementerian Tenaga Kerja dan organisasi masyarakat madani di Lucky Plaza untuk memberikan tanggapan
terhadap situasi secepatnya; dan tempat penampungan untuk mengakomodasi tenaga kerja laki-laki dan
perempuan. Tenaga kerja yang diakomodasi oleh penampungan H.O.M.E. diberikan pilihan untuk tinggal di
Singapura agar bisa menyelesaikan kasusnya, atau kembali ke negaranya. Apabila mereka ingin tinggal di
Singapura, H.O.M.E. memberikan bantuan untuk mendapatkan ijin kerja selama 6 bulan dari Kementerian Tenaga
Kerja dan perpanjangan visa seperti yang diminta. Kementerian Tenaga Kerja memberikan ijin khusus ke H.O.M.E.
untuk bertindak sebagai agen perekrutan, membantu para majikan mencari tenaga kerja dan memberikan
pelatihan ke tenaga kerja bila perlu dengan syarat bahwa majikan mereka sebelumnya tidak keberatan atas
pemberian pekerjaan ini ke TKI. Pada saat Pemerintah Indonesia mengadakan kunjungan studi ke Singapura,
ada 7 perempuan Indonesia yang sedang menunggu penyelesaian kasus mereka dengan bantuan pengacara
pro bono (tidak dipungut biaya) di salah satu kantor H.O.M.E. Dalam beberapa kasus dengan polisi, penyelesaian
kasus bisa memakan waktu hingga 2 tahun.
53
54
55
56
57
86
Serikat Global UNI (Malaysian Liaison Council) merupakan bagian dari UNI Global Unions, organisasi yang mewadahi serikat dagang internasional berkomitmen
terhadap cita-cita dan prinsip gerakan serikat dagang. Serikat UNI Global mempunyai kesamaan dalam keinginan untuk mengurusi, membela HAM dan
standar tenaga kerja di mana-mana, dan mempromosikan pertumbuhan serikat dagang untuk keuntungan semua tenaga kerja laki-laki maupun perempuan
dan keluarga mereka. www.global-unions.org
www.migrantcare.org
www.iatmikualalumpur.com
http://www.wao.org.my/
http://www.tenaganita.net
Transient Workers Count Too (TWC2)59 merupakan sebuah LSM yang didirikan pada tahun 2004 dan bertujuan
menangani isu PRT melalui pendidikan dan perlakuan yang lebih baik dan peradilan dan cara-cara lainnya. Sejak
didirikan, TWC2 telah berhubungan dengan petugas pemerintah, tenaga kerja, agen tenaga kerja, organisasi mitra
dan organisasi masyarakat madani. TWC2 telah menajadi pusat hubungan yang terpercaya bagi tenaga kerja yang
bermasalah dengan majikan mereka, sumber informasi bagi majikan dan publik, dan pusat untuk mendapatkan
peneletian yang berorientasikan pada tindakan.
Diarahkan oleh Uskup Agung katolik Singapura, tujuan Archdiocesan Commission for the Pastoral Care of
Migrants and Itinerant People (ACMI) adalah untuk memberikan rasa memiliki dan rasa aman kepada migran
melalui perilaku peduli/simpatik seperti persahabatan, kunjungan rumah sakit, menyediakan makanan dan
penampungan, pelatihan keterampilan, bantuan hukum, informasi atas rujukan ACMI. Penerima manfaat dari ACMI
adalah tenaga kerja migran, pekerja konstruksi, pelajar, pasangan migran, majikan setempat tanpa melihat agama
mereka. ACMI mengadvokasi dan meningkatkan kesadaran para migran, orang yang sering berpindah-pindah
tempat dan majikan dengan membuka dan menyediakan penelitian dalam penyelesaian masalah eksploitasi para
tenaga kerja migran dan orang yang sering berpindah-pindah tempat.
The Franciscan Missionaries of Mary (FMM) merupakan organisasi berbasis kepercayaan yang membantu
tenaga kerja wanita dengan layanan sosial yang diperlukan.
Think Centre adalah LSM mandiri dari Singapura,60 bertujuan memeriksa secara kritis isu isu mengenai
perkembangan politik, demokrasi, peraturan hukum, HAM dan organisasi masyarakat madani. Kegiatan Think
Centre termasuk penelitian, publikasi, penyelenggaraan acara dan membuka jaringan kerja.
58
59
60
www.home.org.sg
www.twc2.org.sg
www.thinkcentre.org
87
The Kuwaiti Association for Basic Evaluators of Human Rights menguji cobakan kampanye untuk peningkatan
kesadaran warga negara Kuwait tentang cara memperlakukan tenaga kerja asing secara umum, dan PRT
khususnya. Kampanye ini mendidik anak-anak tingkat SD dan SMA tentang hak-hak dan tanggung jawab tenaga
kerja. Asosiasi ini juga mencari dana untuk kampanye media yang bisa berdampak lebih besar.
Jumlah organisasi masyarakat madani yang aktif di Bahrain meningkat dari 275 di 2001 menjadi lebih dari 460
(salah satu alasan, karena adanya pengenalan Piagam Aksi Nasional), bekerja untuk memperbaiki perlindungan
tenaga kerja.
Masyarakat Indonesia di Kuwait merencanakan untuk mengembangkan jaringan kerja informasi antar
masyarakat Indonesia tentang peluang kerja.61
61
88
Organisasi Masyarakat Perlindungan Tenaga Kerja Migran merupakan organisasi non pemerintah didirikan
tahun 2005 untuk membantu PRT yang disiksa atau dieksploitasi. Sejak didirikan, organisasi ini telah banyak
membantu beberapa korban yang disiksa dalam pelaporan kasus mereka ke pengadilan, walaupun masih
terbatas kasus yang berhasil diselesaikan. Organisasi ini menerima pendanaan dari pemerintah di tahun 2008
untuk pendirian dan pengoperasian sebuah fasilitas penampungan bagi PRT yang mencari perlindungan,
juga makanan, dukungan psikososial dan perawatan medis. Namun, tempat penampungan ini utamanya
mengakomodasi PRT dari Bangladesh dan India karena beberapa anggota organisasi ini berasal dari kedua negara
ini, jadi mereka mampu membantu secara efektif PRT yang berasal dari negara yang sama. Mereka berjuang untuk
mengakomodasi PRT dari Indonesia yang melarikan diri, tetapi mereka tidak mempunyai kemampuan bahasa
untuk bisa membantu dengan lebih efektif. Organisasi ini bekerja sama secara erat dengan KJRI di Bahrain sebagai
bagian jaringan kerja rujukan untuk mengakomodasi TKI yang tiba di penampungan mereka.
89
2008
Kisah TKI Sukses: Enal, Mutiara Expo TKI Purna. Dilihat pada tanggal 15 Maret
2010, <http://www.bnp2tki.go.id/index2.php?option=com_content&do_pdf=1&id=749>.
2009a Urges Local Regulation of Empowerment of the Former Indonesian Labour Migrants. Viewed 20 Maret
2010, <http://www.bnp2tki.go.id/content/view/1036/231>.
2009b Statistik 2009.
Castles, S. and M. J.Miller
2009
The Age of Migration: International Population Movements in the Modern World, Palgrave Macmillan 4th edition.
(Umur Migrasi: Gerakan Populasi Internasional di Dunia Moderen).
China Worker
2010
This is modern slavery!. DIlihat pada tanggal 6 Maret 2010, <http://www.chinaworker.info/en/content/
news/995/>. (Ini merupakan perbudakan moderen!).
CIA World Factbook
2009
Dilihat dari : <https://www.cia.gov/library/publications/the-world-factbook/>.
Departemen Ketenagakerjaan (Amerika Serikat), Biro Urusan Internasional dan Kedutaan Besar Amerika
Serikat, Kuala Lumpur
2002 Foreign Labor Trends: Malaysia, Cornell University ILR School, dilihat dari <http://digitalcommons.ilr.cornell.
edu/cgi/viewcontent.cgi?article=1105&context=key_workplace>.
Departemen Luar Negeri (Amerika Serikat)
2009 Trafcking in Persons Report June 2009, Country Narratives. Indonesia, dilihat dari <http://www.state.gov/g/tip/
rls/tiprpt/2009/. (Laporan Perdagangan Orang Juni 2009).
Economic Resource Center for Overseas Filipinos (ERCOF) and the International Organization for Migration
(IOM)
Forthcoming 2010
International Migration and Migrant Workers Remittances in Indonesia: Findings of baseline surveys of migrant
remitters and remittance beneciary households.
Esim, S., and M. Smith
2004 Gender & Migration in Arab States: the case of domestic workers, International Labour Organization (ILO).
(Jender dan Migrasi di Negara Arab: Kasus Pembantu Rumah Tangga).
Ford, M
2005 Migrant Labour in Southeast Asia Country Study: Indonesia, A study commissioned by the Friedrich Ebert
Stiftung (FES), Flinders Asia Centre and School of Political and International Studies, Flinders University.
(Tenaga Kerja migran dalam Studi Asia Tenggara: Indonesia).
Asosiasi Pembantu Rumah Tangga Asing untuk Pelatihan keterampilan (FAST)
2010 Dilihat pada tanggal 18 Maret 2010, <http://www.fast.org.sg/index.php>.
Foreign Workers Medical Examination Monitoring Agency (FOMEMA)
2010 Dilihat pada tanggal 1 Maret 2010, <http://www.fomema.com.my/about.html>.
Gulf Daily News
2007 New maids wage rule may backre. DIlihat pada tanggal 3 Januari 2007, <http://www.gulf-daily-news.
com/Story.asp?Article=166058&Sn=BNEW&IssueID=29287>.
Hugo, G
2007 Indonesias Labor Looks Abroad. Migration Information Source. Viewed 29 March 2010, <http://www.
migrationinformation.org/Feature/display.cfm?ID=594> (Gambaran TKI di Luar Negeri).
2009 Labour Migration for Development: Best Practice in Asia and the Pacic, ILO Regional Ofce for Asia and the
Pacic, March 2009. (Migrasi Tenaga Kerja untuk Pembangunan: Praktek terbaik di Asia dan Pasik).
92
93
Kiss, F.M
2009 Former Indonesian Labor Migrants Need Business Capital Assistance,18 June 2009, <http://kissfmjember.
com/2009/06/18/purna-tki-butuh-bantuan-modal-usaha/>, diakses pada 15 Maret 2010. (Mantan TKI
memerlukan Bantuna Modal Usaha).
Kuwait Times
2010 Assembly OKs new labour law, 24 Desember 2009. Dilihat pada tanggal 8 Januari 2010, <http://www.
kuwaittimes.net/read_news.php?newsid=MjQ1NDg4MDky> (Majelis menyetujui Undang Undang ketenagakerjaan
baru).
Kingdom of Bahrain Central Informatics Organization [Organisasi Pusat Informasi Kerajaan Bahrain].
2008 Estimated Population of the Kingdom of Bahrain by Age Group, Nationality & Sex July 2008, Dilihat dari
<http://www.cio.gov.bh/cio_ara/English/Publications/Estimated%20Population/Estimated%20 Population%20
Bh%20Age,Nationality&Sex-July2008.pdf> (Populasi yang diperkirakan di Kerajaan Bahrain berdasarkan
Kelompok Umur, Kebangsaan dan Jenis Kelamin-Juli 2008).
Departemen Imigrasi Kuwait
2009 Statistics. 5 Oktober 2009
Labour Market Regulatory Authority (LMRA), Bahrain
2009 Viewed at <http://www.lmra.bh/>
Lampung Post
2005 Lampung Timur Kesulitan Data TKI Ilegal dari Malaysia. 16 Februari 2005 <http://www.lampungpost.com
cetak/berita.php?id=2005021601592017>. (Lampung Timur mengalami kesulitan dalam pengumpulan data
TKI ilegal yang pulang dari Malaysia).
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (LBH).
2010 Statistik, dilihat pada tanggal 31 Maret 2010, <http://jakarta.lbh.or.id/>.
New Straits Times.
2010.
Nirmala Bonat sues former boss. Dilihat pada tanggal 29 Januari 2010, <http://www.nst.com.my/
Current_News/NST/articles/27yim/Article/index_html>. (Nirmala Bonat menuntut bekas majikan).
Shah, N.M., and I. Menon
1997 Violence against women migrant workers: issues, data and partial solutions. Asian and Pacic Migration
Journal, Vol. 6, No. 1: 5-30. (Kekerasan terhadap Tenaga Kerja migran wanita: permasalahan, data dan
pemecahan sebagian).
Shah, N
2007 Migration to Kuwait: Trends, Patterns and Policies, Makalah disusun untuk Migrasi dan Gerakan Pengungsi
di Timur Tengah dan Afrika Utara, Studi mengenai Program Migrasi dan Pengungsi yang dipaksa,The American
University in Cairo, Egypt, 23-25 Oktober 2007, Dilihat dari <http://www.aucegypt.edu/ResearchatAUC/rc/
cmrs/Documents/Nasra_Shah.pdf> (Migrasi ke Kuwait: tren, Pola dan Kebijakan).
Shuto, M
2006 Labour Migration and Human Security in East and Southeast Asia, in Migration, Regional Integration and
Human Security: The Formation And Maintenance of Transnational Spaces, edited by H. Kleinschmidt,
pp. 205-224. Burlington, VT: Ashgate. (Migrasi Tenaga Kerja dan Keamanan Manusia di Asi Timur dan
Tenggara, dalam Migrasi, Integrasi Regional dan keamanan Manusia: Pembentukan dan Pemeliharaan daerah
Transnasional).
Sekretariat Populasi Nasional, Departemen Statistik Singapura, Kementerian Pembangunan Masyarakat,
Pemuda & Olah Raga, Kementerian Dalam Negeri, Imigrasi &Tempat pemeriksaan pemerintahan,Kementerian
Tenaga Kerja.
2009a Employment Situation in Fourth Quarter 2009. 29 Januari 2010, Dilihat dari <http://www.mom.gov.sg/
home/Press_Release/Pages/20100129-ESQ42009.aspx>. (Situasi Ketenagakerjaan, pertigabulan keempat
2009).
94
95
Konsultasi Tingkat Menteri tentang Ketenagakerjaan di Luar Negeri dan Tenaga kerja kontrak bagi negara
pengirim dan negara tujuan (The Abu Dhabi Dialogue).
Di Lihat di <http://www.colomboprocess.org/minis_abudhabi.php>
The Star Online
2008 Nirmala Bonat case: Housewife found guilty, 18 years jail. Dilihat pada tanggal 27 November 2008,
(Kasus Nirmala Bonat: Ibu rumah tangga dinyatakan bersalah, 18 tahun penjara).<http://thestar.com.my/
news/story.asp?le=/2008/11/27/nation/20081127110151&sec=nation>.
Konvensi PBB mengenai Kejahatan Terorganisir Transnasional, 2000
2000 Dilihat dari <http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/nal_documents_2/convention_eng.
pdf>.
Protokol PBB untuk Mencegah, Menekan dan Menghukum Perdagangan Orang, khususnya Wanita dan
Anak-anak, Melengkapi Konvensi PBB mengenai Kejahatan Terorganisir Transnasional
2000 Dilihat dari <http://www.uncjin.org/Documents/Conventions/dcatoc/nal_documents_2/convention_%20
traff_eng.pdf >.
United Nations (UN).
2006 World
Population
Policies
2005,
Department
of
Economic
and
Social
Affairs,
United Nations Population Division (electronic version).(Kebijakan Populasi Dunia 2005, Departemen
Bidang Ekonomi dan Sosial, Bagian Populasi PBB (versi elektronik)).
United Nations Development Programme (UNDP)
2008 Human Development Report 2007/2008, dilihat dari <http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2007-2008/>.
2009 Human Development Report 2009, dilihat dari <http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2009/>.
Viva News
2009 Klaim Asuransi 16.621 TKI Belum Dibayar, 15 Juli 2009.
Bank Dunia
2008 Human Development Report 2007/2008. Dilihat dari <http://hdr.undp.org/en/reports/global/hdr2007-2008/>
(Laporan tentang Pembangunan Manusia).
2009a Migration and Development Brief 11 Migration and Remittance Trends 2009, Migration and Remittances Team,
Development Prospects Group, 3 November 2009. Dilihat pada tanggal 2 Maret 2010, <http://siteresources.
worldbank.org/INTPROSPECTS/Resources/334934-1110315015165/MigrationAndDevelopmentBrief11.
pdf>.
2009b International Remittance Estimates (Perkiraan Pengiriman Uang Internasional): Dilihat pada tanggal 31 Mei
2010,<http://siteresources.worldbank.org/INTPROSPECTS/Resources/334934-1110315015165/
RemittancesData_Nov09(Public).xls>.
2009c Access to Finance in Indonesia,World Bank Jakarta Ofce, Juni 2009.(Akses Keuangan di Indonesia).
Yeoh, B.S.A
2007 Singapore: Hungry for Foreign Workers at All Skill Levels. (Singapura: Lapar akan Tenaga Kerja Asing pada segala
tingkat Keterampilan). Migration Policy Institute. Dilihat pada tanggal 12 Maret 2010, <http://www.
migrationinformation. org/Proles/display.cfm?ID=570>.
96
IOM INDONESIA
Sampoerna Strategic Square, North Tower Floor 12A
Jl. Jend. Sudirman Kav.45-46, Jakarta 12930, Indonesia
tel. +62 21 5795 1275 fax. +62 21 5795 1274
email. infoindonesia@iom.int
website. www.iom.or.id