Anda di halaman 1dari 31

RTRW Provinsi Papua Barat

BAB 3
PROFIL WILAYAH
PROVINSI PAPUA BARAT

3.1

ASPEK FISIK DASAR

3.1.1 Batas Administrasi dan Geografi


Provinsi Papua Barat secara definitif dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 45
Tahun 1999 yang secara administratif terdiri dari 8 (delapan) kabupaten, 1 (satu) kota,
103 distrik, 48 kelurahan, dan 1.172 kampung (BP3D Provinsi Papua, 2007) dengan luas
wilayah secara keseluruhan sebesar 115.363,50 km. Provinsi Papua Barat secara
geografis terletak pada 124-132 Bujur Timur dan 0-4 Lintang Selatan, tepat berada di
bawah garis khatulistiwa dengan ketinggian 0-100 meter dari permukaan laut.

Laporan Fakta Analisis

3-1

RTRW Provinsi Papua Barat

Gambar 3.1
Batas Wilayah Administratif Provinsi Papua Barat

Laporan Fakta Analisis

3-2

RTRW Provinsi Papua Barat

Batas geografis Provinsi Papua Barat adalah:


Sebelah Utara

: Samudera Pasifik.

Sebelah Selatan

: Laut Banda (Provinsi Maluku).

Sebelah Barat

: Laut Seram (Provinsi Maluku).

Sebelah Timur

: Provinsi Papua.

Wilayah Provinsi Papua Barat memiliki 9 wilayah pemerintahan daerah yang terdiri dari 8
kabupaten dan 1 kota dengan luas dan perbandingan persentase luas wilayah kota
kabupaten di Provinsi Papua Barat disajikan pada tabel berikut ini:
Tabel 3.1
Luas Wilayah dan Persentase Menurut Kabupaten/Kota
No.

Kabupaten/Kota

Luas Planemetrik (Ha)

Persentase (%)

1.209.441,68

13

Kabupaten Manokwari

Kabupaten Fak-Fak

868.545,06

12

Kabupaten Sorong

1.665.656,42

16

Kota Sorong

Kabupaten Sorong Selatan

Kabupaten Raja Ampat

504.725,10

10

Kabupaten Teluk Bintuni

2.086.732,12

16

Kabupaten Teluk Wondama

Kabupaten Kaimana
Total

31.735,68

1.164.732,37

12

503.667,92

1.829.984,80

16

9.865.221,15

100

9. Kota
Provinsi
Papua Barat
8. Raja
Ampat
10%
7. Sorong
16%

6. Sorong
Selatan

Sorong
1%

1. Fak-Fak
12%
2. Kaimana
16%

3. Teluk
Wondama
4%

Sumber: Irian Jaya Barat Dalam Angka Tahun 2006, Hasil Analisis, 2008.
Gambar 3.2
Persentase Luas Wilayah Provinsi Papua Barat Menurut Kabupaten/Kota

Laporan Fakta Analisis

3-3

RTRW Provinsi Papua Barat

3.1.2 Klimatologi
Provinsi Papua Barat terletak tepat di sebelah Selatan garis khatulistiwa sehingga
termasuk dalam wilayah tropika humida. Karena daerahnya yang bergunung-gunung,
maka iklim di Provinsi Papua Barat sangat bervariasi melebihi daerah Indonesia lainnya.
Pola umum iklim dan cuaca sangat dipengaruhi oleh topografinya yang kasar. Suhu
sangat bergantung dari ketinggian, sedangkan ketinggian dan kejajaran barisan
pegunungan mempengaruhi pola angin dan presipitasi dalam setiap daerah.

Iklim di Provinsi Papua Barat memiliki 3 (tiga) pola yaitu pola tunggal (A dan D), pola
berfluktuasi (B), dan pola ganda (C). Pola tunggal A atau pola sederhana (simple wave)
memiliki curah hujan terendah pada bulan Juli/Agustus. Pola tunggal D memiliki curah
hujan tertinggi pada bulan Juli/Agustus. Pola A dan D menunjukkan adanya perbedaan
yang jelas antara jumlah curah hujan pada musim hujan dan musim kemarau. Pada pola
B, perbedaan antara jumlah curahan pada musim hujan dan musim kemarau tidak jelas.
Pada pola ini biasanya curah hujan bulanan tidak teratur atau hampir merata sepanjang
tahun. Pada pola C, dalam setahun terjadi dua kali puncak curahan tertinggi atau dua kali
puncak curahan terendah.

A.

Curah Hujan

Musim di Papua Barat dicirikan oleh angin Tenggara yang bertiup sekitar pertengahan
April hingga September dan Muson Barat Laut yang dimulai dalam Bulan Oktober hingga
Maret. Angin Tenggara dan Muson Barat Laut biasanya panas dan mengandung uap air
yang diangkut ketika melewati samudera. Jumlah hujan yang jatuh di setiap tempat di
Papua secara khusus dikendalikan oleh topografi. Musim hujan di setiap daerah
tergantung dari waktu di mana musim ini terpaparkan pada satu atau kedua sistem angin
tersebut. Pada umumnya pegunungan di Kepala Burung, Pantai Utara dan di sebelah
Utara Kordirela mendapatkan hujan terbanyak dari angin Barat Laut dalam Bulan
Oktober hingga Maret, sedangkan dataran rendah di Selatan Kepala Burung dan Jazirah
Onin dan Bomberai serta dataran rendah di Selatan Kordirela mendapatkan hujan
terbanyak antara Bulan April dan September ketika angin bertiup dari arah Tenggara.
Pola umum ini menjadi rumit oleh topografi dan pola angin.

Laporan Fakta Analisis

3-4

RTRW Provinsi Papua Barat

Tabel 3.2
Banyaknya Curah Hujan di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (mm)
Kabupaten/Kota

2003

2004

2005

2006

Rataan

Kab. Fak-Fak

3,091

3,586

3,209

3,689

3,394

Kab. Kaimana

2,313

2,133

2,127

2,191

Kab. Teluk Wondama

Kab. Teluk Bintuni

Kab. Manokwari

1,470

1,323

2,600

2,319

1,928

Kab. Sorong Selatan

2.836

2.048

2,357

2,414

Kab. Sorong

2,836

2,048

2,357

2,351

2,398

Kab. Raja Ampat

2,836

2.048

2.537

2,474

Kota Sorong

2,836

2,047

2,043

2,171

2,274

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam Angka Tahun 2007.

Laporan Fakta Analisis

3-5

Gambar 3.3
Peta Kemiringan Lereng

RTRW Provinsi Papua Barat

Laporan Fakta Analisis

3-6

RTRW Provinsi Papua Barat

Berdasarkan jumlah curah hujannya, wilayah Papua Barat memiliki tiga kelas curah
hujan, yaitu kelas III dengan curah hujan antara 2000 s.d. 3000 mm/tahun; kelas IV
dengan curah hujan antara 3000 s.d. 4000 mm/tahun; dan kelas V dengan curah hujan
antara 4000 s.d. 5000 mm/tahun. Hampir seluruh wilayah Papua Barat memiliki kelas
curah hujan tipe III pola C, dengan curah hujan sekitar 2000 s.d. 3000 mm/tahun dan
rata-rata jumlah hari hujan sekitar 180 s.d. 230 hari hujan. Iklim ini meliputi daerahdaerah yang berkelerengan cukup tinggi mencakup wilayah Kabupaten Sorong,
Kabupaten Manokwari, Kabupaten Teluk Bintuni, Kabupaten Fak-Fak, sebagian
Kaimana, Raja Ampat, dan Kabupaten Teluk Wondama.
130

132

134

PETA

DISTRIBUSI CURAH HUJAN


PROPINSI PAPUA BARAT

Waisai
#

RAJA AMPAT

Manokwari

Sorong

30

30

60

SORONG
Kilometer
MANOKWARI

(1 : 2.200.000)

SORONG SELATAN
#

Teminabuan

KETERANGAN
#

Ibukota kabupaten
Batas kabupaten

TELUK BINTUNI

Curah hujan tahunan (mm)

Bintuni
1000
TELUK WONDAMA

1500
2500

Rasiei
#

3500

Fak-Fak

5000

FAK-FAK

Sumber:

KAIMANA

Hart (1966;1971) dan Haantjens et.al., (1967)

Kaimana Kota
4

Laboratorium GIS Tanah Fapertek


Universitas Negeri Papua
130

132

134

Gambar 3.4
Distribusi Curah Hujan di Provinsi Papua Barat

Kabupaten Kaimana memiliki kategori iklim pada tipe III B, III C, IV D dengan curah hujan
antara 2000 s.d. 4000 mm/tahun. Curah hujan tertinggi terjadi pada kisaran Bulan Juli
dan Agustus. Sedangkan wilayah Kabupaten Sorong Selatan memiliki dominasi iklim tipe
V D dengan curah hujan sangat tinggi di atas 5000 mm/tahun.

Pola Iklim IV B dengan curah hujan 3000 s.d. 4000 mm/tahun dan berfluktuasi terjadi di
wilayah ibu kota Kabupaten Manokwari. Sedangkan di Kabupaten Raja Ampat cukup
bervariasi, terdapat kategori iklim II B, III C dan IV D. Semua kategori curah hujan
rendah, sedang sampai tinggi menyebar di Kabupaten Raja Ampat ini.

Laporan Fakta Analisis

3-7

RTRW Provinsi Papua Barat

Tabel 3.3
Banyaknya Hari Hujan di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2005 (hari)
Kabupaten/Kota

2003

2004

2005

2006

Rataan

Kab. Fak-Fak

210

210

232

228

220

Kab. Kaimana

214

218

208

213

Kab. Teluk Wondama

Kab. Teluk Bintuni

187

178

203

150

179

Kab. Manokwari
Kab. Sorong Selatan

Kab. Sorong

185

218

230

156

197

Kab. Raja Ampat

185

185

Kota Sorong

185

218

230

156

197

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2006.

B.

Suhu dan Kelembaban

Suhu dan kelembaban merupakan komponen iklim paling konstan di Pulau Papua. Di
dataran rendah, suhu harian biasanya antara 29 oC sampai 32 oC, sementara di daerah
pegunungan pada 1500-2000 mdpl, 5-10 derajat lebih dingin. Pada malam hari, suhu di
sepanjang pantai 5-8 derajat lebih dingin daripada siang hari, sedangkan di daerah
pegunungan kisarannya lebih lebar. Karakteristik suhu di Pulau Papua tidak
menunjukkan fluktuasi tahunan yang nyata.
Tabel 3.4
Suhu Udara Rata-Rata Menurut Lokasi Stasiun di Provinsi Papua Barat
Tahun 1999-2005 (C)
Kabupaten/Kota
2003
2004
2005
2006
Kab. Fak-Fak

28,05

23,0

25,7

25,6

Kab. Kaimana

27,2

27,47

27,48

Kab. Teluk Wondama

Kab. Teluk Bintuni

27,26

27,28

27,38

27,08

Kab. Sorong

27,6

27,6

27,7

27,3

Kab. Raja Ampat

27,6

Kota Sorong

27,6

27,6

27,7

27,6

Kab. Manokwari
Kab. Sorong Selatan

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2006

Laporan Fakta Analisis

3-8

RTRW Provinsi Papua Barat

Suhu udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat berkisar 20,7-28,25 C dengan
suhu maksimal sebesar 28,25C terjadi di wilayah Kabupaten Sorong dan Kota Sorong,
dan suhu minimal sebesar 20,7C berada di Kabupaten Manokwari (data hasil
pencatatan suhu udara pada beberapa stasiun yang berada di kabupaten/kota seProvinsi Papua Tahun 2005).

Kelembaban nisbi tinggi dan konstan, berkisar dari 75-80%, dimana daerah dataran
rendah cenderung lebih lembab. Kelembaban udara rata-rata di wilayah Provinsi Papua
Barat berkisar antara 83,6% s.d. 85,2%, kelembaban udara terendah terdapat di Kota
Sorong sedangkan kelembaban tertinggi terdapat di Kabupaten Fak-Fak.

Tutupan awan merupakan unsur penting yang mempengaruhi arus suhu. Papua
merupakan salah satu tempat paling berawan di dunia, terutama di daerah pegunungan
di mana awan cumulus hampir selalu meningkat ke tengah hari. Keadaan ini merupakan
gangguan utama bagi transportasi udara dengan pesawat kecil. Karena berada di
khatulistiwa, waktu siang hari (sekitar 12 jam) adalah konstan dengan variasi tahunan
sekitar 30 menit antara hari terpanjang dan terpendek.

Tabel 3.5
Kelembaban Udara Rata-Rata di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (%)
Kabupaten/Kota

2003

2004

2005

2006

Kab. Fak-Fak

84,9

85,3

85,3

85,3

Kab. Kaimana

85,0

83,92

84,08

83,50

83,33

83,67

84,17

Kab. Sorong

83,00

83,00

84,00

83

Kab. Raja Ampat

84,00

Kota Sorong

83,00

83,00

84,00

83

Kab. Teluk Wondama


Kab. Teluk Bintuni
Kab. Manokwari
Kab. Sorong Selatan

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2007.

Penyinaran matahari rata-rata di wilayah Provinsi Papua Barat berkisar antara 52,36%
s.d. 128,81%, penyinaran matahari terendah terdapat di Kabupaten Kaimana sedangkan
lama penyinaran tertinggi terdapat di Kabupaten Fak-Fak. Dengan kondisi seperti ini di

Laporan Fakta Analisis

3-9

RTRW Provinsi Papua Barat

wilayah Papua Barat memiliki potensi bagi pengembangan komoditi-komoditi pertanian


terutama dikaitkan dengan persentase lama penyinaran.

Berdasarkan uraian karakteristik iklm tersebut, Provinsi Papua Barat yang memiliki
keragaman suhu udara, kelembaban udara yang relatif konstan, penyinaran matahari
yang hampir terus menerus sepanjang tahun, dan curah hujan yang cukup tinggi menjadi
potensi besar bagi pengembangan budidaya tanaman pertanian dan perkebunan
terutama untuk wilayah Kabupaten Manokwari, Kota Sorong, Teluk Bintuni, dan
Kabupaten Sorong Selatan yang mendapatkan potensi tersebut.
3.1.3 Morfologi
3.1.3.1

Ketinggian

Kondisi topografi Provinsi Papua Barat sangat bervariasi membentang mulai dari dataran
rendah, rawa sampai dataran tinggi, dengan tipe tutupan lahan berupa hutan hujan
tropis, padang rumput dan padang alang-alang. Ketinggian wilayah di Provinsi Papua
Barat bervariasi dari 0 s.d > 1000 m, dengan sebaran sebagai berikut:

Tabel 3.6
Penyinaran Matahari Rata-Rata di Provinsi Papua Barat Tahun 2003-2006 (%)
Kabupaten/Kota

2003

2004

2005

2006

Kab. Fak-Fak

126,9

115,05

147,37

125,92

Kab. Kaimana

45,83

58,08

53,17

63,30

59,70

49,00

Kab. Sorong

61,00

62,00

68,90

Kab. Raja Ampat

61,00

Kota Sorong

61,00

62,00

68,90

Kab. Teluk Wondama


Kab. Teluk Bintuni
Kab. Manokwari

54,58

Kab. Sorong Selatan

58

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

Berdasarkan tabel di atas, diketahui bahwa kondisi topografi antar wilayah di Provinsi
Papua Barat cukup bervariasi. Kondisi ini merupakan salah satu elemen yang menjadi
barrier transportasi antar wilayah, terutama transportasi darat, serta dasar bagi kebijakan
pemanfaatan lahan.

Laporan Fakta Analisis

3-10

RTRW Provinsi Papua Barat

Tabel 3.7
Luas Wilayah Menurut Ketinggian dari Permukaan Laut dan Kabupaten/Kota (Ha)
Kelas ketinggian

Wilayah
Pengembangan

Jumlah

0-100m

>100-500m

>500-1000

>1000m

1.413.366

1.257.691

377.847

741.196

3.790.100

WP SORONG

2.046.200

1.015.250

288.050

518.900

3.868.400

WP FAK-FAK

1.192.132

328.109

284.301

250.058

2.054.600

WP MANOKWARI

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

3.1.3.2

Kelerengan

Tinjauan atas morfologi wilayah didasarkan pada kondisi kelerengan atau kemiringan.
Sebagian besar wilayah Provinsi Papua Barat memiliki kelas lereng > 40% dengan
bentuk wilayah berupa perbukitan. Kondisi tersebut menjadi kendala utama bagi
pemanfaatan lahan baik untuk pengembangan sarana dan prasarana fisik, sistem
transportasi darat maupun bagi pengembangan budidaya pertanian terutama untuk
tanaman pangan. Sehingga, dominasi pemanfaatan lahan diarahkan pada hutan
konservasi disamping untuk mencegah terjadinya bahaya erosi dan longsor.

Gambar 3.5
Kenampakan Elevasi di Provinsi Papua Barat

Laporan Fakta Analisis

3-11

RTRW Provinsi Papua Barat

Tabel 3.8
Luas Wilayah Menurut Kelas Lereng/Kemiringan dan Wilayah Pengembangan
Wilayah

Kelas lereng

Pengembangan

Jumlah

0-15%

>15-40%

>40%

WP MANOKWARI

984.998

19.700

448.502

1.453.200

WP SORONG

105.310

158.582

49.108

313.000

WP FAK-FAK

1.434.636

57.500

2.297.964

3.790.100

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTh 2007

3.1.4 Kondisi Geologi


3.1.4.1

Evolusi Tektonik Pulau Papua

Pembentukan Pulau Papua atau Pulau New Guinea telah didiskusikan oleh berbagai ahli
dan diringkas oleh Petocz (1984). Konsep lempeng tektonik yang telah diterima umum
mengganggap, bahwa kerak bumi terbagi dalam tujuh lempeng sangat besar dan
sejumlah lempeng lithosfer kecil lainnya. Setiap lempeng terdiri atas bagian kerak benua
(kontinental) dan kerak samudera (oseanik), yang kesemuanya bergerak relatif terhadap
sesamanya. Bagian Selatan Pulau Papua merupakan tepi Utara dari benua super kuno,
Gondwanaland, yang juga termasuk di dalamnya adalah Antartika, Australia, India,
Amerika Selatan, Selandia Baru dan Kaledonia Baru. Awal terpisahkan benua ini dari
posisi Selatannya terjadi pada masa Kretasius Tengah (kurang lebih 100 juta tahun lalu).
Lempeng Benua India-Australia (atau biasa disebut Lempeng Australia) bergerak ke arah
Utara keluar dari posisi kutubnya dan bertubrukkan dengan Lempeng Samudra Pasifik
yang bergerak ke arah Barat. Pulau Papua merupakan produk pertumbuhan benua yang
dihasilkan dari tubrukan kedua lempeng tersebut, di mana lempeng Pasifik mengalami
subduksi atau tertindih di bawah lempeng Australia. Pada saat dimulainya gerakan ke
Utara dan rotasi dari benua super ini, seluruh Papua dan Australia bagian Utara berada
di bawah permukaan laut. Bagian daratan paling Utara pada Lempeng India-Australia
antara 90-100 juta tahun lalu berada pada 480 Lintang Selatan yang merupakan titik
pertemuan Lempeng India-Australia dan Pasifik. Ketika Lempeng India-Australia dan
Lempeng Pasifik bertemu di sekitar 40 juta tahun lalu, Pulau Papua mulai muncul di
0

permukaan laut pada sekitar 35 Lintang Selatan. Proses ini berlanjut selama masa
Pleistosen hingga Pulau Papua terbentuk seperti di saat ini.

Dari evolusi tektonik menunjukkan, bahwa geologi Papua sangat kompleks karena
melibatkan interaksi antara dua lempeng tektonik, yaitu Lempeng Australia dan Lempeng
Pasifik. Menurut Sapiie (2000), pada umumnya geologi Papua dapat dibagi ke dalam tiga
provinsi geologi besar, yaitu Provinsi Kontinental, Oseanik, dan Transisi. Setiap provinsi
geologi memiliki karakteristiknya sendiri dalam sejarah stratigrafik, magmatik dan
tektonik. Provinsi Kontinental terdiri atas sedimen yang terpisah dari kraton Australia.

Laporan Fakta Analisis

3-12

RTRW Provinsi Papua Barat

Provinsi Oseanik terdiri atas batuan ofiolit (ophiolite rock) dan kompleks volkanik busurkepulauan (island-arc volcanics complex) sebagai bagian dari lempeng Pasifik. Provinsi
Transisi adalah suatu zona yang terdiri atas deformasi tinggi dan batuan metamorfik
regional sebagai produk dari interaksi antara kedua lempeng.

Menurut Dow et al. (2005), ciri dominan dari perkembangan geologi Papua merupakan
dikotomi antara sejarah tektonik dari batuan mantap kraton Australia dan Lempeng
Pasifik di satu sisi, dan periode tektonik intens dari zona deformasi di sisi lainnya (New
Guinea Mobile Belt). Dari paparan di sepanjang tepi Utara dan dari eksplorasi permukaan
bawah (sub-surface) di sebelah Selatan, serta pencatatan lengkap sejarah geologi
hingga saat ini menunjukkan, bahwa batuan dari kraton Australia pada sebagian besar
wilayah ini dicirikan oleh sedimentasi palung (shelf sedimentation). Hanya sebagian kecil
yang dipengaruhi oleh proses tektonik dari zaman Paleozoik Awal hingga Tersier Akhir.
Batuan Lempeng Pasifik yang terpaparkan di Papua berumur lebih muda. Terlepas dari
batuan mantel sesar naik yang kemungkinan berumur Mesozoik dan beberapa kerak
Samudera Jurasik, Lempeng Pasifik ini terdiri atas volkanik busur kepulauan dan subordinat kerak samudera berumur Palaeogen. Batuan lempeng Pasifik pada umumnya
letak datar terpatah hanya oleh beberapa patahan.

Laporan Fakta Analisis

3-13

RTRW Provinsi Papua Barat

Gambar 3.6
Setting Tektonik Papua
Setting Tektonik Papua. MTFB = Mamberamo Thrust & Fold Belt; WO = Weyland Overthrust; WT =
Waipona Trough; TAFZ = Tarera-Aiduna Fault Zone; RFZ = Ransiki Fault Zone; LFB = Lengguru
Fault Belt; SFZ = Sorong Fault Zone; YFZ = Yapen Fault Zone; MO = Misool-Onin High. Tanda
panah menunjukkan gerakan relatif antara Lempeng Pasifik dan Australia.

Zona deformasi yang berada di sebelah Timur adalah bagian dari New Guinea Mobile
Belt (Sabuk Mobil New Guinea) dan merupakan campuran dari batuan kraton Australia
dan Lempeng Pasifik. Walaupun pencatatannya terpisah-pisah, terdapat bukti bahwa
batuannya berasal dari tektonik utama pada episode Paleozoik Pertengahan dan
Oligosen maupun episode beku dalam Paleozoik Pertengahan, Triasik, Kretasius, dan
Miosen Pertengahan. Akan tetapi, sebaran paling luas dari aktivitas tektonik dan volkanik
dimulai pada Miosen Akhir dan berlanjut hingga sekarang; ini disebut Melanesian
Orogeny (Dow and Sukamto, 1984).

Laporan Fakta Analisis

3-14

RTRW Provinsi Papua Barat

Wilayah Papua Barat sangat berpotensi terhadap gempa tektonik dan kemungkinan
diikuti oleh tsunami. Terdapat sejumlah lipatan dan sesar naik sebagai akibat dari
interaksi (tubrukan) antara kedua lempeng tektonik, seperti Sesar Sorong (SFZ), Sesar
Ransiki (RFZ), Sesar Lungguru (LFZ) dan Sesar Tarera-Aiduna (TAFZ). Kenyataan
menunjukkan pula, bahwa pada tahun 2004 telah terjadi beberapa kali gempa.

3.1.4.2

Stratigrafi

Dari berbagai publikasi yang dikompilasi Sapiie (2000), menunjukkan bahwa stratigrafi
wilayah Papua Barat terdiri atas: (1). Paleozoic Basement; (2). Sedimentasi Mesozoik
hingga Senosoik; (3). Sedimentasi Senosoil Akhir; (4). Stratigrafi Lempeng Pasifik; dan
(5). Stratigrafi Zone Transisi.

Gambar 3.7
Stratigrafi Pulau Papua (Sapiie, 2000)
1. Paleozoic Basement
Blok terluas dari strata Paleozoik berada di Timur Laut Papua Barat yang dikenal
dengan Kemum High atau formasi Kemoem yang terdiri atas sabak, (slate), filitik
(phylliic) dan sedikit kuartzit (quartzite). Formasi ini tercampur oleh granit-biotit
karboniferus (Melaiurna Granite). Formasi Kemoem ditutupi oleh kelompok Aifam.
Kelompok Aifam digunakan untuk mendeskripsikan batuan sedimen paparan airdangkal. Formasi ini diketahui berada di tepi Utara Papua Barat dan terdiri atas tiga
formasi, yaitu formasi Aimau, batu lumpur Aifat dan formasi Ainim. Di daerah Papua
Barat, kelompok ini tidak mengalami metamofosa, namun di Leher Burung terjadi

Laporan Fakta Analisis

3-15

RTRW Provinsi Papua Barat

deformasi kuat dan termetamorfosa. Di daerah Teluk Bintuni, formasi Tipuma ditutupi
oleh kelompok Aifam.

2. Sedimentasi Mesizoik hingga Senosoik


a. Formasi Tipuma
Formasi Tipuma tersebar luas di Papua, mulai dari Papua Barat hingga dekat
perbatasan di sebelah Timur. Formasi ini dicirikan oleh batuan berwarna merah
terang dengan sedikit bercak hijau muda.
b. Formasi Kelompok Kembelangan
Kelompok ini diketahui terbentang mulai dari Papua Barat hingga Arafura
Platform. Bagian atas dari kelompok ini disebut formasi Jass. Kelompok
Kembelangan terdiri atas antar lapis batu debu dan batu lumpur karboniferus
pada lapisan bawah batu pasir kuarsa glaukonitik butiran-halus serta sedikit
shale pada lapisan atas. Kelompok ini berhubungan dengan formasi Waripi dari
kelompok Batuan Gamping New Guinea atau New Guinea Limestone Group
(NGLG).
c. Formasi Batu Gamping New Guinea
Selama masa Cenozoik, kurang lebih pada batas Cretaceous dan Cenozoik,
Pulau New Guinea dicirikan oleh pengendapan (deposisi) karbonat yang dikenal
sebagai Kelompok Batu Gamping New Guinea (NGLG). Kelompok ini berada di
atas Kelompok Kembelangan dan terdiri atas empat formasi, yaitu (1). Formasi
Waripi Paleosen hingga Eosen; (2). Formasi Fumai Eosen; (3) Formasi Sirga
Eosin Awal; (3). Formasi Imskin; dan (4). Formasi Kais Miosen Pertengahan
hingga Oligosen.

3. Sedimentasi Senosoik Akhir


Sedimentasi Senosoik Akhir dalam basement kontinental Australia dicirikan oleh
sekuensi silisiklastik yang tebalnya berkilometer, berada di atas strata karbonat
Miosen Pertengahan. Di Papua dikenal 3 (tiga) formasi utama, dua di antaranya
dijumpai di Papua Barat, yaitu formasi Klasaman dan Steenkool. Formasi Klasaman
dan Steenkool berturut-turut dijumpai di Cekungan Salawati dan Bintuni.

4. Stratigrafi Lempeng Pasifik


Pada umumnya batuan Lempeng Pasifik terdiri atas batuan asal penutup (mantle
derived rock), volkanis pulau-arc (island-arc volcanis) dan sedimen laut-dangkal. Di
Papua, batuan asal penutup banyak dijumpai luas sepanjang sabuk Ophiolite Papua,
Pegunungan Cycloop, Pulau Waigeo, Utara Pegunungan Gauttier dan sepanjang

Laporan Fakta Analisis

3-16

RTRW Provinsi Papua Barat

zona sesar Sorong dan Yapen pada umumnya terbentuk oleh batuan ultramafik,
plutonil basik, dan mutu-tinggi metamorfik. Sedimen dalam Lempeng Pasifik dicirikan
pula oleh karbonat laut-dangkal yang berasal dari pulau-arc. Satuan ini disebut
Formasi Hollandia dan tersebar luas di Waigeo, Biak, Pulau Yapen dan Pegunungan
Cycloop. Umur kelompok ini berkisar dari Miosen Awal hingga Pliosen.

5. Stratigrafi Zone Transisi


Konvergensi antara lempeng Australia dan Pasifik menghasilkan batuan dalam zona
deformasi. Kelompok batuan ini diklasifikasikan sebagai zona transisi atau peralihan,
yang terutama terdiri atas batuan metamorfik. Batuan metamorfik ini membentuk
sabuk kontinyu (>1000 km) dari Papua hingga Papua New Guinea.
Wilayah Papua secara umum terdiri dari dua dataran yaitu Dataran Grime dan Dataran
Sekoli. Kedua dataran ini menyatu sebagai suatu dataran luas yang membujur ke arah
Barat Daya Danau Sentani. Dataran ini memanjang dari Timur ke arah Barat dengan
lebar bentangan yang hampir sama. Di ujung sebelah Barat, dataran ini membentuk
daerah rawa hingga ke arah pantai.

Wentholt (1939), membagi Dataran Grime ke dalam 6 teras utama. Teras pertama
dimulai dari dataran terendah dan termuda. Daerah teras ini melandai ke arah Barat Laut
dan kemudian ke arah Utara. Di sebelah Tenggara teras terendah ini berakhir dan
berlanjut dengan teras ke-2 yang berada kurang lebih 10 m lebih tinggi. Juga di sini
bentang lahannya tampak seluruhnya datar. Teras ke-3 dan ke-4 menempati sisa
dataran di sebelah Barat Kampung Janim Besar. Teras-teras ini berumur tua dan berada
lebih tinggi serta tampak datar, kedua teras ini melandai ke arah Utara hingga ke arah
Barat Laut, berbatasan dengan teras ke-4, di sebelah Timur Sungai Grime terletak teras
ke-5. Teras ke-5 ini mencakup dari arah Timur hingga arah garis Utara-Selatan melandai
ke arah Utara, dan bergelombang lemah. Teras ke-6, merupakan daerah tertinggi dan
tertua yang mengakhiri teras ke-4 dan ke-5 di sebelah Selatan.

Di batas Utara dari teras ke-5, terdapat Dataran Sekori yang besar. Di Dataran Sekori ini
juga terbentuk teras, namun tidak jelas perkembangannya. Menurut Schroo (1963),
Dataran Grime dan Dataran Sekori merupakan lembah sedimentasi peninggalan zaman
tersier yang terdiri atas sedimen laut (marin) dan kemudian oleh bahan fluviatil. Wentholt
(1939), menyatakan bahwa dataran ini terbentuk pada zaman kwarter. Lebih lanjut
Schroo (1961), menyatakan bahwa adanya ketinggian (elevasi) yang berselang-seling di
seluruh daerah tersebut menyebabkan sungai-sungai memotong sedimen ini. Selama
periode ini dataran banjir terbentuk pada berbagai tingkat, dimana sisa-sisa daripadanya

Laporan Fakta Analisis

3-17

RTRW Provinsi Papua Barat

masih ditemukan sekarang dalam bentuk teras-teras yang luas sebagaimana dijelaskan
sebelumnya.

Zwierzichi (1921) dalam Schroo (1963), menunjukkan bahwa tanah di Dataran Grime dan
Dataran Sekori berasal dari hancuran batuan fluviatil sedimen kwarterner, terumbu koral
terangkat pleistosin, dan sedimen marin neogen. Menurut Wentholt (1939), seluruh lahan
yang berada di sebelah Barat Yanim Besar (Braso) dibentuk oleh Sungai Grime dan
cabang-cabang sungainya, kecuali daerah yang paling Barat oleh Sungai Sarmoai.
Kedua sungai tersebut membawa bahan-bahan yang sama. Sumbangan cabang-cabang
sungai yang berasal dari pinggiran pegunungan Utara relatif kecil, namun setempatsetempat saja. Lahan yang berada di sebelah Timur Yanim Besar seluruhnya terbentuk
dari material yang berasal dari pinggiran Utara daerah pegunungan Selatan.

Berdasarkan stratigrafi ini dapat disimpulkan bahwa wilayah Papua Barat terdiri dari
empat ragam formasi batuan utama yaitu batu gamping atau dolomit, batuan beku atau
malihan, batuan sedimen lepas (kerikil, pasir lanau), dan batuan sedimen padu (tak
terbedakan). Hal ini dapat dipahami karena secara regional, wilayah Papua Barat terdiri
dari dua lempeng, yaitu Lempeng Benua Australia di bagian Selatan dan Lempeng
Samudera Pasifik di bagian Utara. Sedangkan diantara kedua lempeng adalah Lajur
Sesar Anjak dan Lipatan Pegunungan Tengah atau New Guinea Mobile Belt (Dow,
1977). Lempeng Benua Australia tersusun oleh batuan sedimen klastik, yang berumur
Mesozoikum yang disebut sebagai Kelompok Kembelangan; Batu Gamping yang
berumur eosin-Miosen Tengah, yang disebut sebagai Kelompok Batu Gamping New
Guinea; dan Batuan Sedimen Klastik Plio-plistosen.

Lempeng Samudera Pasifik terdiri dari batuan ultramafik dan batuan busur gunung api
Paleogen, sedangkan di Pegunungan Tengah terdiri dari beberapa batuan, yaitu: 1) di
bagian Selatan terdiri dari batuan sedimen yang berumur Mesozoikum sampai tersier
yang tersesarkan dan terlipatkan; dan 2) di bagian Utara terdiri dari Batuan Malihan
Darewo yang berumur Oligosen (Dow, 1977), Batuan Ultrabasa disebut sebagai ofiolit,
yang berumur Mesozoikum (Dow drr.,1984).

Tektonik Papua Barat diawali pada Permo-Trias, yang disebut sebagai Orogenesa
Tasman. Pada saat itu Papua-Papua New Guinea mulai melepaskan diri dari Benua
Australia, bergerak ke arah Utara, kemudian berbenturan dengan Lempeng Samudera
Pasifik pada Orogenesa Melanisia yang mengakibatkan sesar anjak miring ke Utara dan
terbentuknya Pegunungan Tengah, sedangkan pada Plistosin terjadi pensesaran anjak
miring ke Selatan di bagian Utara.

Laporan Fakta Analisis

3-18

RTRW Provinsi Papua Barat

3.1.5 Karakteristik Tanah


Pada umumnya, tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga
liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit berkembang.
Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi (perembesan) tanah
sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah terutama di musim
penghujan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Jenis Tanah
Pada umumnya terdapat lima faktor yang mempengaruhi pembentuan tanah, yaitu faktor
Iklim, relief atau topografi, organisme atau vegetasi, bahan induk, dan waktu. Pengaruh
secara simultan dari kelima faktor pembentukan tanah tersebut menghasilkan jenis-jenis
tanah dan penyebarannya, seperti terlihat pada Peta 2.3 (Petocz, 1984) Terdapat tujuh
Satuan Peta Tanah (SPT) yang dimodifikasikan Petocz (1984) dari Brookfield dan Hart
(1971).
1. Litosol dan Regosol (Entisol)
Asosiasi jenis tanah ini dijumpai di daerah pegunungan tinggi yang kasar
topografinya (2000-4500 mdpl) pada kordirela Tengah (pegunungan tengah) dan
Kepala Burung hingga Leher Burung sebelah Utara. Profil tanah pada umumnya
dangkal karena ketidakstabilan lereng, walaupun dijumpai pula tanah-tanah bersolum
dalam yang relatif stabil dan berdrainase baik pada puncak-puncak bukit dan lereng
bagian atas. Tanah Regosol biasanya mengandung liat dan fragmen batuan lapuk,
terutama pada lereng tidak stabil, sedangkan tanah Litosol berada pada lerenglereng batuan terjal. Berdasarkan klasifikasi tanah dari Pusat Penelitian Tanah Bogor
(PPT)(1978/1982) dan FAO/UNESCO (1974), kedua tanah ini diklasifikasikan
sebagai Litosol, sedangkan menurut sistem klasifikasi USDA Soil Taxonomy
(1975/1998), Litosol dan Regosol sepadan dengan Entisol (Lithic Subgroup).

2. Tanah Podzolik (Ultisol)


Jenis tanah ini berkembang dari bahan induk masam di lereng pegunungan pada
elevasi tinggi. Tanah ini dijumpai sedikit di wilayah pegunungan Kepala Burung dan
terutama di Selatan Kordirela (Pegunungan Tengah). Sedangkan jenis tanah
Podzolik dataran rendah, pada umumnya adalah hidro-podzolik yang berkembang
pada kondisi drainase buruk pada dataran dan kipas aluvial Pleistosen. Jenis tanah
ini dijumpai di Jazirah Bomberai, Selatan Kepala Burung dan di Utara depresi Meer
Vlakte (Lakes-Plain). Tanah ini biasanya berasosiasi dengan tanah Podzol
(Spodosol) yang dicirikan oleh horison spodik. Horison permukaan mengalami
pelindian hebat yang menghasilkan horison pencucian yang miskin hara dan (Petocz,
1984) berpasir, sedangkan horison penimbunan kaya akan besi dan humus yang

Laporan Fakta Analisis

3-19

RTRW Provinsi Papua Barat

disebut horison spodik. Menurut klasifikasi PPT (1978/1982) Podzolik sepadan


dengan

Podsolik

atau

Kambisol

(Podsolik

Coklat),

sedangkan

menurut

FAO/UNESCO (1974), sama dengan Podsolik. Berdasarkan klasifikasi USDA Soil


Taxonomy (19975/1998), tanah Podzolik sepadan dengan Ultisol.

3. Tanah Brown Forest (Inceptisol)


Tanah ini berada pada perbukitan dan lereng pegunungan rendah pada sabuk Utara
Papua dari bahan induk basik dan batuan kalkareus (kapur) dengan curah hujan
sedang. Di Papua Barat, tanah ini dijumpai di Pegunungan Wondiwoi, Arfak dan
Tamrau. Pada altitut tinggi dimana curah hujannya tinggi, tanah ini menjadi
meningkat kemasamannya. Sering pula dijumpai berasosiasi dengan Regosol.
Menurut klasifikasi PPT (1978/1982) dan FAO/UNESCO (1974), tanah Brown Forest
sama dengan Kambisol, sedangkan menurut Soil Taxonomy (19975/1998), sepadan
dengan Inceptisol.

4. Latosol (Ultisol) dan Lateritik (Oksisol)


Latosol adalah tanah yang mengalami pelapukan sangat tinggi, terutama di daerah
dengan ketinggian rendah dimana dijumpai pula berasosiasi kelompok Lateritik.
Lateritik berkembang pada kondisi yang sama dengan Latosol, namun dengan
pengaruh hidromorfik karena berasosiasi dengan fluktuasi permukaan air tanah.
Selain dijumpai luas di daerah Selatan Papua, Latosol juga dijumpai tersebar di
Selatan Kepala Burung hingga ke Leher Burung sebelah Utara dan Selatan serta di
Kepulauan Raja Ampat. Latosol sepadan dengan Kambisol, Latosol, Lateritik (PPT,
1978/1982), Cambisol, Nitosol, Ferrasol (UNESCO, 1974) dan Iceptisol, Ultisol,
oxisol (USDA Soil Taxonomy, 1975/1998).

5. Rendzina (Molisol)
Pembentukan tanah ini dikendalikan kuat oleh bahan induk. Rendzina berbatu
dangkal terdapat pada perbukitan batu gamping dan di sepanjang daerah pantai
pada platform koral terangkat yang umumnya bercirikan karst. Tanah ini berkembang
baik pada perbukitan antara Teluk Etna dan Arguni, Pegunungan Kumawa dan Arfak
dan di Barat Daya Pegunungan Tamrau. Rendzina dijumpai pula pada terumbu koral
terangkat barusan muda. Rendzina dicirikan oleh horison permukaan lembab coklat
tua, berada di atas bahan berpasir coklat kelabu tua yang berangsur ke dalam bahan
koral. Rendzina sepadan dengan Rendzina (PPT, 1978/1982), Rendzina (UNESCO,
1974) dan Rendoll (USDA Soil Taxonomy, 1975/1998).

Laporan Fakta Analisis

3-20

RTRW Provinsi Papua Barat

6. Aluvial dan Gambut


Pada umumnya jenis tanah ini dijumpai pada semua ketinggian, baik di daerah kering
maupun basah. Di daerah kering, dengan tekstur tanahnya kasar dan berdrainase
baik dijumpai di dataran landai, dataran banjir mapan, dan kipas aluvial, sedangkan,
di daerah basah dengan drainase jelek dijumpai di dataran banjir atau rawa dari
aluvium atau gambut. Tanah dengan tekstur halus dan gleisasi kuat akibat drainase
jelek selama musim hujan cenderung bereaksi sangat alkalin, berada di dekat pantai
dan sungai yang dipengaruhi pasang surut, namun semakin menjauhi pantai semakin
meningkat kemasaman tanahnya. Tanah gambut dataran rendah dijumpai luas di
Utara dan Selatan Teluk Bintuni, serta gambut pegunungan dalam luasan yang kecil
berada di sekitar Danau Anggi Gita dan Anggi Giji. Tanah Aluvial sepadan dengan
tanah Aluvial (PPT, 1978/1982), Fluvisol (UNESCO,1974) dan Entisol, Inseptisol
(USDA Soil Taxonomy, 1975/1998). Tanah gambut menurut USDA Soil Taxonomy
(1975/1998), sepadan dengan Histosol.

7. Tanah Salin
Tanah salin atau tanah garaman (salty soils) biasanya bertekstur halus, berdrainase
jelek karena dipengaruhi pasang surutnya air laut, serta bahan liat marin termasuk di
dalamnya. Vegetasi khas dari tanah ini adalah mangrove dan nipah. Tanah salin
berkembang baik di sepanjang Pantai Selatan mulai dari Pulau Kimaam hingga Teluk
Etna dan di Selatan Kepala Burung dan Teluk Bintuni. Tanah ini menunjang
pertumbuhan habitat mangrove terluas di Indonesia. Tanah Saline menurut USDA
Soil Taxonomy (1975/1998), sepadan dengan Entisol (Sulfaquent) dan Inseptisol
(sulfaquept).
Persebaran jenis-jenis tanah di Provinsi Papua Barat dapat dilihat di bawah ini:
A.

Tekstur Tanah

Pada umumnya, tanah bertekstur berat, yaitu berkisar dari lempung liat berdebu hingga
liat berdebu. Kadar liat yang tinggi dapat menyebabkan akar tanaman sulit berkembang.
Selain itu, berdampak pula terhadap rendahnya kapasitas infiltrasi (perembesan) tanah
sehingga menyebabkan penggenangan air di permukaan tanah terutama di musim
penghujanan. Hal ini sudah barang tentu akan mengganggu pertumbuhan tanaman.

Untuk tujuan penanaman kakao, maka drainase permukaan maupun drainase internal
sangat perlu diperhatikan, jika ingin memperoleh pertumbuhan dan produksi kakao yang
baik. Untuk menanggulangi drainase yang jelek, maka perlu dibuatkan selokan-selokan
drainase berukuran kecil hingga sedang serta cukup dalam agar kelebihan air dapat
dikeluarkan, sehingga tanahnya selalu dalam keadaan kering (lembab) dan tidak jenuh

Laporan Fakta Analisis

3-21

RTRW Provinsi Papua Barat

air. Selain itu, agar pertumbuhan akar tanaman kakao tidak terhalang oleh lapisan liat
yang kompak, maka perlu digali lubang tanaman yang cukup besar dan dalam.

130

132

134
0

PETA
JENIS - JENIS TANAH
DI PROPINSI PAPUA BARAT

Waisai
#

RAJA AMPAT
Sorong
Manokwari #

30

SORONG

30

60

Kilometer

(1 : 2.200.000)

MANOKWARI
SORONG SELATAN
#

Teminabuan

KETERANGAN
Ibukota kabupaten

batas kabupaten
2

TELUK BINTUNI

Jenis-jenis tanah

Bintuni

Aluvial dan Gambut


Brown Forest (Inceptisol)

TELUK WONDAMA

Latosol (Ultisol) dan Lateritik (Oksisol)


Rasiei

Litosol dan Regosol (Entisol)

Podzolik (Ultisol)

Fak-Fak

Rendzina (Molisol)

FAK-FAK

Tanah Salin

Sumber:

KAIMANA

Petocz (1984) dari Brookfield dan Hart (1971)

Kaimana Kota

130

132

134

Laboratorium GIS Tanah Fapertek


Universitas Negeri Papua

Gambar 3.8
Jenis-Jenis Tanah dan Penyebarannya
B.

Reaksi Tanah

Pada umumnya, tanah bereaksi alkali hingga sangat alkali dengan kisaran pH rata-rata
7,0-7,8. Semakin dalam tanahnya semakin tinggi reaksi tanah, bahkan tidak jarang
mencapai pH=8,0 atau lebih. Tingginya pH tanah ini disebabkan karena tingginya kadar
kalsium tanah (kapur) yang terbawa bersama bahan endapan sungai yang berasal dari
pegunungan dan perbukitan kapur di sekitarnya. Reaksi tanah demikian menyebabkan
sebagian besar unsur-unsur hara makro (N, P, K) dan mikro (Fe, Zn, Mn, B, Cu) berada
dalam keadaan tidak tersedia bagi tanaman. Apabila reaksi tanah mencapai pH=8,0 atau
lebih akan menyebabkan tanaman sulit menyerap fosfat dan unsur-unsur mikro.

Pada saat penelitian dijumpai pertanaman kacang tanah milik masyarakat di Kampung
Pobaim yang menunjukkan gejala kekuningan pada daun-daun muda. Gejala kekuningan
ini diduga kuat karena kahat akan beberapa unsur mikro. Gejala klorosis ini diistilahkan
sebagai Klorosis Terimbaskan Kapur (Lime Induced-Chlorosis), suatu gejala kekahatan
hara yang biasanya muncul di tanah-tanah berkapur.

Laporan Fakta Analisis

3-22

RTRW Provinsi Papua Barat

C.

Kation-Kation Tersedia

Kation tersedia yang diukur adalah Kalsium (Ca), Magnesium (Mg) dan Kalium (K). Kadar
Ca dan Mg tersedia pada umumnya sedang hingga sangat tinggi. Hal ini mengisyaratkan
bahwa kebutuhan tanaman akan Ca dan Mg cukup memadai sehingga tidak perlu diberi
pupuk dengan kedua unsur tersebut. Pada kadar Ca yang sangat tinggi seperti dijumpai
di beberapa tempat justru mengganggu pertumbuhan tanaman. Sebaliknya, K tersedia
tergolong rendah hingga sangat rendah sehingga pemupukan K sangat diperlukan agar
mendapatkan produksi tanaman yang baik. Dalam hal tanaman tahunan seperti kakao,
maka pemupukan kalium setidaknya dilakukan setiap tahun. Hasil analisis mineral tanah
juga mencerminkan rendahnya kadar K tanah. Mineral tanah penyumbang kalium dari
jenis kalium-veldspat yang telah hancur menunjukkan status kalium tanah yang jelek.
D.

Fosfor Tanah

Kadar fosfat tersedia tergolong agak tinggi hingga sangat tinggi. Hampir semua contoh
tanah menunjukkan adanya mineral primer apatit penyumbang fosfat yang tergolong
sporadis (<1%) hingga beberapa persen saja. Dari pengalaman membuktikan bahwa
walaupun jumlahnya sangat sedikit atau sporadis (<1%), nilai fosfat tersedia biasanya
tinggi. Dengan demikian unsur hara fosfor dianggap cukup bagi kebutuhan tanaman,
sehingga pemupukan P tidak diperlukan selama beberapa waktu tanam.
E.

Fosfat dan Kalium Total

Kadar fosfat dan kalium total mencerminkan cadangan hara tersebut dalam tanah. Pada
umumnya, kadar fosfat total berkisar dari sedang hingga tinggi sehingga tidak
mengkhawatirkan. Tampaknya kandungan fosfat total dan fosfat tersedia berkorelasi
positif sehingga memperkuat dugaan bahwa kadar fosfat cukup bagi kebutuhan tanaman.
Kadar kalium total berkisar dari agak rendah hingga sedang. Ini berarti bahwa cadangan
kalium tanah tidak memadai bagi suatu usaha pertanian, sehingga diperlukan
pemupukan untuk mempertahankan kadar kalium tanah.
F.

Bahan Organik Tanah

Kadar karbon (C) organik tanah mencerminkan kadar bahan organik tanah. Bahan
organik sangat penting karena berpengaruh terhadap perbaikan sifat fisika dan kimia
tanah. Bahan organik membantu granulasi dan penstabilan agregat tanah sehingga
memperbaiki retensi air tanah, meningkatkan laju infiltrasi dan kapasitas memegang air.
Selain itu, bahan organik meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK), yang berarti pula
meningkatkan kemampuan menyerap kation unsur hara makro dan mikro sebagai
sumber hara. Tidak kalah pentingnya adalah dengan adanya bahan organik akan sangat
berdaya terhadap biologi tanah.

Laporan Fakta Analisis

3-23

RTRW Provinsi Papua Barat

Pada umumnya kadar C organik tanah tergolong rendah. Hal ini mengisyaratkan bahwa
peningkatan dan perlindungan bahan organik tanah sangat penting dilakukan. Untuk
menanggulangi kekurangan bahan organik dapat dilakukan dengan pemberian pupuk
kandang, kompos, dan menanam penutup tanah (seperti pueraria javanica atau
calopogonium mucunoides) terutama pada pertanaman kakao.
3.1.6 Hidrologi
Wilayah Provinsi Papua Barat dilewati beberapa sungai yang tersebar di beberapa
wilayah kabupaten/kota. Dari sungai besar di Papua Barat sebagian besar mengalir di
Wilayah Pengembangan Sorong. Sungai-sungai tersebut menjadi sebuah sistem daerah
aliran sungai yang mengalir sepanjang tahun. Potensi sumberdaya sungai terbesar di
Papua Barat disajikan dalam tabel berikut ini.
Tabel 3.9
Nama, Panjang, Lebar, dan Kecepatan Arus Sungai Menurut Kabupaten/Kota
Wilayah
Pengembangan

Nama Sungai

Panjang
(Km)

Lebar
(m)

Kecepatan
(Km/jam)

80-350

1,26

WP
MANOKWARI

Laore

163

WP
SORONG

Beraur

360

60-700

2,95

Kaibus

200

80-2.700

3,06

Kais

184

80-350

1,26

Kamundan

425

140-1200

2,7

Aifat

174

40--250

2,88

Karaora

230

40-1300

2,88

Minika

225

40-2.200

0,9

WP
FAK-FAK

Remu

17

30-40

0,9

Sebak

267

50-125

2,52

Seramuk

229

45-1250

3,06

Umbawa

280

20-25

0,9

Uta

246

50-570

0,9

Warsamsan

320

40-700

1,62

Muturi

428

200-800

2,7

Sumber: Provinsi Papua Barat dalam AngkaTahun 2007.

Sungai-sungai besar hingga kecil yang berasal dari wilayah pegunungan di bagian
tengah Kepala Burung yang mengalir ke arah dataran rendah (berawa) dan bermuara di
Teluk Bintuni. Selain itu, terdapat pula sejumlah sungai yang mengalir ke arah Selatan
dan bermuara di Pantai Selatan dan Pantai Utara. Beberapa sungai besar yang
bermuara di Teluk Bintuni adalah Sungai Arandai, Wiryagar, Kalitami, Seganoi, Kais,

Laporan Fakta Analisis

3-24

RTRW Provinsi Papua Barat

Kamundan, Teminabuan, Sermuk, Maambar, Woronggei dan Sanindar. Selain sungai


juga dijumpai danau di daerah pegunungan, yaitu Danau Anggi Giji dan Anggi Gita serta
Danau Ayamaru.

Di Provinsi Papua Barat terdapat beberapa sungai yang membentuk beberapa Daerah
Aliran Sungai (DAS). Sebagian besar Daerah Aliran Sungai yang terbentuk adalah pada
kabupaten-kabupaten di Wilayah Pengembangan Sorong. Sungai-sungai yang termasuk
dalam kategori terpanjang adalah Sungai Kamundan (425 km), Sungai Beraur (360 km),
dan Sungai Warsamsan (320 km), sedangkan sungai-sungai yang termasuk kategori
terlebar adalah Sungai Kaibus (80-2700 m), Sungai Minika (40-2200 m), Sungai Karabra
(40-1300 m), Sungai Seramuk (45-1250 m), dan Sungai Kamundan (140-1200 m).
Sungai-sungai ini sebagian besar terletak di kabupaten-kabupaten di Wilayah
Pengembangan Sorong.

Berdasarkan data-data pada tabel di atas, beberapa sungai yang memiliki kecepatan
arus paling deras antara lain adalah Sungai Seramuk (3,06 km/jam), Sungai Kaibus (3,06
km/jam), Sungai Beraur (2,95 km/jam), Sungai Aifat (2,88 km/jam), dan Sungai Karabra
(2,88 km/jam). Sungai-sungai tersebut juga terletak pada Wilayah Pengembangan
Sorong.

Laporan Fakta Analisis

3-25

Gambar 3.9
Peta Hidrologi

RTRW Provinsi Papua Barat

Laporan Fakta Analisis

3-26

RTRW Provinsi Papua Barat

3.1.7 Karakteristik Hidro-Oseanografi


A.

Aspek Fisik Perairan

Naik turunnya muka laut dapat terjadi sekali sehari (pasut tunggal atau diurnal tide) atau
dua kali sehari (pasut ganda atau semi diurnal tide), sedangkan pasut yang berperilaku di
antara keduanya disebut sebagai pasut campuran. Kisaran pasang surut (tidal range)
adalah perbedaan tinggi muka air pada saat pasang maksimum dengan tinggi muka air
pada saat surut minimum yang juga dipengaruhi oleh geometrik wilayah yang
bersangkutan. Kisaran pasang surut di perairan Papua mencapai 3-6 meter, dengan tipe
pasut ganda campuran.

Gelombang laut terbentuk karena adanya proses alih energi dari angin ke permukaan
laut, atau pada saat-saat tertentu disebabkan oleh gempa di dasar laut. Gelombang ini
merambat ke segala arah dengan membawa energi yang kemudian dilepaskan ke pantai
dalam bentuk hempasan ombak.

Pengamatan gelombang di perairan Papua relatif masih belum banyak dilakukan. Namun
demikian sesungguhnya terdapat hubungan antara angin musim dan pola gerakan
gelombang. Hasil penelitian Pusat Riset Teknologi Kelautan, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tanggal 30 Juni-6 Juli 2005
menunjukkan bahwa tinggi gelombang di wilayah kajian berkisar antara 0,2-1,2 m.

Gelombang yang datang menuju pantai dapat menimbulkan arus pantai (nearshore
current) yang berpengaruh terhadap proses sedimentasi ataupun abrasi di pantai. Pola
arus pantai ini terutama ditentukan oleh besarnya sudut yang dibentuk antara gelombang
yang datang dengan garis pantai. Jika sudut datang cukup besar, maka akan terbentuk
arus menyusur pantai (longshore current) yang disebabkan oleh perbedaan tekanan
hidrostatik. Selain gelombang, pasang surut juga merupakan parameter oseanografi lain
yang penting sebagai pembangkit arus di pantai. Arus yang disebabkan oleh pasut ini
dipengaruhi oleh dasar perairan. Arus pasang surut yang terkuat akan ditemui di dekat
permukaan dan akan menurun kecepatannya semakin mendekati dasar perairan.

Arus adalah gerakan air yang mengakibatkan perpindahan horisontal dan vertikal masa
air oleh perbedaan enerji potensial. Keadaan arus laut umumnya terjadi akibat pengaruh
beberapa gaya yang bersamaan yang terdiri dari arus tetap, arus periodik, (pasut) dan
arus angin. Bishop (1984) menyatakan bahwa gaya yang berperan dalam sirkulasi masa
air adalah gaya gradient tekanan, gaya coriolis, gaya gravitasi, gaya gesekan, dan gaya

Laporan Fakta Analisis

3-27

RTRW Provinsi Papua Barat

sentrifugal. Pola arus perairan Papua menurut P30-LIPI Ambon tahun 1992 bahwa pola
arus dipengaruhi oleh pasang surut, dimana kecepatan arus rata-rata pada waktu pasang
dan surut 7-8 cm/det di daerah pesisirnya, dan waktu pasang 11 cm/det. Keadaan ini
dipengaruhi oleh keadaan rataan dan sedimentasi di pesisir pantai.

Upwelling adalah menaiknya massa air laut dari lapisan bawah permukaan (dari
kedalaman (150-250 m) karena proses fisik perairan. Karena massa air bawah
permukaan pada umumnya lebih kaya zat hara dibandingkan dengan lapisan
permukaannya, maka menaiknya massa air tersebut akan menyuburkan kawasan
permukaannya. Di perairan Papua, upwelling terjadi di Laut Arafura (Wyrtki, 1958). Air
naik di laut tersebut terjadi pada Musim Timur, dimulai sekitar Bulan Mei sampai kira-kira
Bulan September. Karena pada saat tersebut angin Musim Timur mendorong keluar air
permukaan Laut Arafuru dengan laju yang lebih besar daripada yang dapat diimbangi
oleh air permukaan sekitarnya, akibatnya air yang berada di lapisan bawahnya terangkat
naik untuk mengisi kekosongan tersebut. Air yang naik ini bersumber dari kedalaman
sekitar 125-300 m yang menyusup dari Lautan Pasifik. Kecepatan naiknya tampaknya
kecil, diperkirakan 0,0006 cm/detik. Tetapi ini mempunyai arti besar, karena dengan
3

adanya volume air yang terangkat di daerah ini bisa mencapai 2 juta m /detik. Akibat dari
naiknya massa air ini adalah suhu permukaan menjadi lebih rendah, yaitu C lebih rendah
dari Musim Barat, sedangkan salinitas lebih tinggi 1 per mil. Demikian pula kandungan
fosfat dan nitrat masing-masing naik dua kali lipat.

Gambar 3.10
Ketinggian Gelombang Laut

Laporan Fakta Analisis

3-28

RTRW Provinsi Papua Barat

B.

Aspek Kimia Perairan

Perairan di Papua sangat dipengaruhi oleh dua musim, yaitu: (a) Musim Barat, dan (b)
Musim Timur. Musim Barat puncaknya terjadi pada Bulan Februari, sedangkan Musim
Timur puncaknya terjadi pada Bulan Agustus. Sifat fisik, kimia, dan biologi perairan pada
kedua musim tersebut penyebaran kisaran nilainya disajikan dalam tabel 2.1. Dari tabel
aspek fisik dan kimia adalah suatu proses yang dinamis dan sangat tergantung pada
musim. Pada saat Musim Barat suhu permukaan laut cenderung lebih panas bila
dibanding dengan pada Musim Timur. Dinginnya suhu permukaan di Musim Timur
tersebut cenderung membuat perairan cenderung lebih subur yaitu dengan adanya
peningkatan fitoplankton dan zooplankton.

Wilayah perairan Selatan Papua merupakan perairan yang memiliki karakteristik massa
air yang agak berbeda dengan perairan wilayah Indonesia lain. Hal ini disebabkan oleh
letak geografis perairan tersebut yang berdekatan dan lebih terbuka dengan Laut Banda,
Laut Timor dan Samudera Hindia. Pada Musim Timur kondisi oseanografis perairan ini
banyak dipengaruhi oleh massa air dari Laut Banda (Wyrtki, 1961; Tchernia, 1980). Hal
ini berpengaruh besar terhadap sebaran klorofil-a dan nutruen serta ikan-ikan pelagis di
wilayah tersebut sehingga perairan ini juga dikenal sebagai salah satu daerah
penangkapan ikan dan udang, terutama ikan-ikan pelagis. Sedangkan kadar oksigen
terlarut (DO) di Perairan Utara dan Selatan berkisar antara 2,12-4.51 ml/l dengan ratarata 3.17 ml/l, kandungan konsentrasi fosfat berkisar antara 0.02-3.39 g-A/l dengan
rata-rata 1.53 g-A/l. Kadar konsentrasi nitrat berkisar antara 0.19 g-A/l sampai 40,94
g-A/ serta kadar konsentrasi silikat yang terukur berkisar antara 0.83 - 91.34 g-A/l.
Tabel 3.10
Kisaran Nilai Kondisi Fisik, Kimia, dan Biologi Perairan Papua
No.

Parameter
o

Suhu ( C)

Salinitas (ppm)
3

Musim Barat
(Februari)

Musim Timur
(Agustus)

28,8-30,0

26,0-26,8

31,0-34,0

30,0-34,0

Oksigen (cm /cm )

3,5-4,5

4,0-4,25

Fosfat (m)

0,1-0,5

0,1-0,5

Nitrat (m)

0,5-1,5

1,0-1,5

Silikat (m)

2,5-7,5

2,5-7,5

0,5-2,0

0,5-2,0

200-1.800

200-3.000

5-10

10-40

500-1.000

500-1.000

7
8
9
10

Klorofil a (mg/m ) Gb
3

Fito Plankton (cell/dm )


3

Zoo Plankton (cm /cm )


2

Larva Krustasea (Jumlah/m )

Sumber: Netherlands Journal of Sea Research 25 (4): 431-447 (1990), Hasil Interpretasi ETM7,
dan Hasil Analisis.

Laporan Fakta Analisis

3-29

RTRW Provinsi Papua Barat

3.1.8 Ketersediaan Lahan


Ketersediaan tanah atau lahan yang telah ditetapkan dalam Rencana Tata Guna Lahan
sebagai suatu rencana dasar memberikan gambaran potensi lahan dan arahan bagi
kawasan yang dapat dikembangkan/dibudidayakan atau karena limitasinya tidak dapat
dikembangkan sama sekali berdasarkan faktor-faktor fisik dasar. Penggunaan lahan
sekarang (eksisting) memberi gambaran sejauh mana jenis dan tingkat pemanfaatan
lahan yang telah dilakukan baik yang bersifat budidaya maupun bukan budidaya.

Ketersediaan tanah pada dasarnya tidak dilepaskan dengan status atau penguasaannya
sekarang. Status tanah sekarang pada dasarnya sangat menentukan mudah dan dapat
tidaknya suatu bidang tanah dikuasai atau dialihkan penguasaannya oleh pihak ketiga
untuk kegiatan tertentu. Dalam hal ini, di wilayah Papua Barat perlu diperhatikan adanya
berbagai jenis status (penguasaan) tanah sebagai berikut:
a. Tanah negara bebas.
b. Tanah negara yang dibebani, di dalamnya termasuk:

c.

Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan HPHH.

Hutan Perlindungan dan Pelestarian Alam (PPA).

Hutan Suaka Alam (HSA).

Hutan Lindung.

Hutan Produksi.

Kontrak Karya.

Kuasa Pertambangan.

Tanah negara yang telah diperuntukkan.

d. Tanah negara yang dikuasai penduduk.


e. Tanah negara yang dikuasai instansi.
f.

Hak Milik Adat.

g. Hak Guna Usaha.


h. Hak Pakai.
i.

Hak Pengelolaan.

j.

Hak Guna Bangunan.

k.

Hak Milik.

Permasalahan yang mencolok adalah sering terjadi ketidaksesuaian antara arahan


rencana tata ruang pada suatu lokasi dengan status atau penguasaan tanahnya
sekarang terutama untuk tanah negara yang dibebani, yang pada umumnya mencakup
areal yang sangat luas seperti HPH, konsesi, kuasa pertambangan, kontrak karya.
Misalnya, pada kasus TGHK yang tumpang tindih dengan kuasa pertambangan atau Hak

Laporan Fakta Analisis

3-30

RTRW Provinsi Papua Barat

Penguasaan Hutan (HPH). Hal ini dapat menjadi masalah jika dikaitkan dengan fungsi
kawasan yang ingin dipertahankan (misalnya fungsi hidro orologis).

Laporan Fakta Analisis

3-31

Anda mungkin juga menyukai