Manajemen Cidera
Manajemen Cidera
Epidemiologi
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa cedera kepala terjadi dan
datang ke ruang gawat darurat antara jam 16 sampai dengan tengah malam.
Kemudian frekuensi paling tinggi terdapat antara hari Jumat dan Minggu.
Prevalensi kejadian pada pria adalah 2-4 kali lebih tinggi daripada wanita.
Terutama pada pria muda dan pada usia tua. Hal ini terutama dikarenakan
kekerasan dan kecelakaan lalu lintas.
Secara umum kecelakaan lalu lintas merupakan penyebab utama
trauma kepala dengan prosentase diatas 50%.
Data dari Health Interview Survey menunjukkan bahwa sekitar
seperlima trauma kepada masuk kategori moderate sampai parah. Hanya
15% dari total trauma kepala di populasi yang dirawat di Rumah Sakit, dan
hanya 9,6% dari yang masuk rumah sakit mempunyai GCS antara 3-11.
Angka kematian trauma kepala di Amerika Serikat berkisar antara 1430 per 100.000 penduduk. Angka kematian dari pasien yang masuk rumah
sakit berkisar sangat lebar antara 4 25%. Lebih dari 60% kematian terjadi
sebelum pasien masuk rumah sakit.
Patofisiologi
Mekanisme yang menyebabkan koma masih belum terpecahkan
dengan jelas. Pada pemeriksaan dengan menggunakan MRI akan terlihat
abnormalitas sebesar
penilaian
fungsi
batang
otak.
Durasi
dan
kedalaman
tingkat
evaluasi
cedera
otak,
MRI
tampaknya
lebih
akurat
dalam
trauma
kepala
tetapi
juga
mengindikasikan
terjadinya
kemungkinan lesi ditempat itu. Rambut dan kotoran biasanya ikut masuk
kedalam luka sehingga irigasi dan debridement jaringan diperlukan.
Homeostasis dapat dicapai sementara dengan penekanan luka dan dengan
jahitan galeal. Sebelum merawat laserasi scalp rambut sebaiknya dicukur
sedikitnya 2.5 cm pada kedua sisi luka. Avulsi scalp kecil dapat dikoreksi
dengan mudah, tetapi avulsi yang lebih besar umumnya membutuhkan flap
scalp.
bakteri yang tersering ditemukan pada scalp dan tulang yang rusak adalah
coccus gram positif. Karenanya dianjurkan untuk menggunakan antibiotik
antistaphilococcus preoperatif dan dilanjutkan hingga 5-7 hari setelah
debridement.
Prognosa
Tingkat kesadaran setelah luka tembus adalah prediktor mortalitas
mayor. Byrness dkk, melaporkan 100% mortalitas pada 25 pasien koma
dalam dan 78% mortalitas pada pasien yang hanya bereaksi terhadap nyeri
dan reflek cahaya menurun. Faktor lain yang memiliki pengaruh buruk pada
prognosa adalah tingginya tekanan darah sistemik (sistolik > 150 mmHg) atau
hipotensi (sistolik < 90 mmHg) pada saat MRS. Lebih jauh lagi, luka peluru
yang memotong otak dari sisi ke sisi memberikan resiko mortalitas yang lebih
tinggi daripada bila cedera yang terjadi adalah fronto occipital.
HEMATOM INTRAKRANIAL TRAUMATIK
Epidural Hematom
EDH merupakan komplikasi yang jarang terjadi pada trauma kepala.
Penyebab yang paling sering adalah lacerasi pembuluh darah meningial
media dan cabang-cabangnya,yang disebabkan fraktur bagian squamous
tulang temporalis, dan menghasilkan perdarahan di temporalis.
Kejadian EDH paling besar terjadi umur 15 60 tahun. Perdarahan
epidural oleh karena pembuluh darah vena seringkali berkembang lambat,
sebaliknya bila disebabkan oleh arteri berkembang secara cepat dan
menyebabkan penekanan batang otak dalam beberapa jam.oleh karena itu
sekali diagnosis dicurigai penanganan seharusnya tidak ditunda untuk
konfirmasi radiologis
Preoperative menggunakan diuretik dan pembatasan cairan seringkali
menyebabkan hipovolemia; walaupun, peningkatan TIK dan penekanan batak
otak dihubungkan dengan peningkatan tekanan darah sistemik (Cushing
reaction). Hipertensi sistemik neurogenik
perlahan tanpa adanya kenaikan TIK. Ekpansi gradual ini diadaptasi oleh otak
dengan mengkompresi kanal vena dan memberikan ekstra ruang untuk
meluasnya hematoma.
Perdarahan ulang pada rongga subdural dapat sering terjadi dan
biasanya disebabkan cedera kepala minor atau mekanisme lain yang
mengarah pada elevasi sementara tekanan vena. Fungsi membran subdural
adalah untuk menyerap isinya. Perdarahan ulang sering merupakan hasil dari
cedera minor dan aktivitas fibrinolitik membran dan isinya. Selama terjadi
keseimbangan, maka besarnya hematoma akan tetap konstan dan pasiennya
asimptomatis. Bila volume keseluruhan dari perdarahan menjadi lebih besar
daripada kemampuan sistem absorsi, maka hematoma akan meluas. Bila
faktor yang memperburuk perdarahan dapat disingkirkan, maka absorbsi
dapat melebihi ekspansi perdarahan sehingga pasien dapat kembali ke
kondisi awalnya.
Riwayat cedera kepala sering tidak ada. Gambaran klinis SDH kronis
dan subakut dapat bervariasi dari tanda fokal hingga disfungsi otak hingga
penekanan derajat kesadaran menjadi sindroma mental organik. Gambaran
klinis ini menyerupai gambaran stroke ataupun tumor otak. SDH subakut
umumnya menunjukkan tanda peningkatan TIK, seperti penurunan derajat
kesadaran dan nyeri kepala, sedangkan bentuk hematoma kronik biasanya
menyerupai gambaran stroke.
Diagnosis SDH subakut atau kronis biasanya dengan CT Scan.
Densitas SDH pada kondisi akut lebih tinggi daripada jaringan otak normal, 2
minggu kemudian perlahan menjadi isodens, dan menjadi hipodens pada fase
kronik. Diagnosis dapat meleset pada fase isodens, sehingga bukti tidak
langsung seperti kompresi ventrikel unilateral atau suatu pergeseran midline
tanpa gambaran lesi intraserebral harus dicurigai sebagai suatu SDH isodens.
Pada situasi ini, kontras dosis double dapat digunakan untuk memvisualisasi
korteks atau membran subdural.
Terapi SDH kronik dahulu awalnya dengan membuang membran
disekitar hematoma, namun kini tidak lagi digunakan. Drainase adekuat dan
aspirasi secara umum memberikan hasil yang baik, dan kraniotomi dapat
dicadangkan bila SDH kembali terkumpul, bila terdapat bekuan solid, atau bila
otak gagal mengembang kembali dan pasien tetap simptomatik. Prosedur ini
lebih
dari
setengah
kematian
dari
trauma
kepala
TIK
masih
belum
jelas.
hipertensi
intrakranial
bermakna
memiliki
manajemen
pendekatan
yang
berbeda.
Swelling
otak.
Selanjutnya
volume
cairan
serebro
spinal
berkurang,
bahkan menyebabkan
dan
herniasi serebral. Dalam konsisi gawat, proses ini dapat terjadi selama
intubasi sulit dengan kombinasi hipoksia dan hiperkapnea. Kejadian ini dapat
dihindari atau diminimalkan dengan ventilasi masker yang adekuat sebelum
intubasi.
Terapi Steroid
Reaksi otak terhadap cedera kepala sangat kompleks dan pada saat
yang berbeda dapat berupa variasi kombinasi swelling, edema vasogenik
dan edema sitotoksik.
darah otak, karena baik vasoparalisis atau obstruksi aliran keluar vena dan
bisa terjadi sementara ataupun minor. Bila terjadinya masif dapat mengarah
pada edema vasogenik. Swelling pada otak yang diteliti pada cedera kepala
tidak merespon pada steroid.
Edema vasogenik dicirikan dengan peningkatan permeabilitas sel
endotel kapiler otak. Substansia alba rentan terhadap bentuk tipe edema ini.
Edema vasogenik umumnya terjadi pada tumor metastase perifer, abses dan
pada lesi kriogenik pada penelitian hewan. Hanya sedikit bukti klinis dan
eksperimen untuk mendukung keefektifan terapi steroid pada edema
vasogenik.
Edema sitotoksik dijadikan sebagai suatu penambahan elemen seluler
otak dengan penurunan rongga cairan ekstra seluler. Kondisi klinis ini
umumnya dihubungkan degan edema sitotoksik, meliputi hipoksia dan
intoksikasi cairan. Bentuk tipe edema ini tidak responsif dengan terapi steroid.
Penilaian efektivitas terapi steroid pada cedera kepala sukar dilakukan
karena bervariasinya tipe edema ini. Lebih jauh lagi, cedera yang
menyebabkan kerusakan jaringan ekstrim dan perdarahan kemungkinan tidak
akan memberikan respon terhadap terapi apapun. Bagaimanapun saat ini,
tidak ada keuntungan apapun dari dexametason dosis tinggi pada trend TIK
ataupun outcome klinis pada terapi cedera kepala berat pada berbagai
penelitian yang telah dilakukan. Faktanya pemberian steroid merangsang
respon katabolik post trauma, meningkatkan loss
hiperglikemia.
Dehidrasi
TIK dapat diturunkan dengan berbagai larutan hipertonik dan diuretik.
Diuretik osmotik yang digunakan luas adalah manitol yang dapat menurunkan
TIK, memperbaikan compliance intrakranial, menangkap radikal bebas dan
memperbaik CBF. Karena manitol tidka dimetabolisme dan tidak merusak
sawar darah otak, maka tampaknya manitol tidak memiliki efek langsung
pada metabolisme serebral. Bagaimanapun juga efek tidak langsung manitol
yaitu : meningkatkan CBF dan menurunkan iskemia otak. Bagian otak yang
paling mudah mengkerut adalah area dengan permeabilitas endotel kapiler
yang normal. Pada terjadinya edema vasogenik, manitol mengkerutkan area
otak yang normal dan tidak mempengaruhi lokasi edema. Mekanisme ini
meningkatkan potensi resiko pergeseran midline bila manitol digunakan pada
kelainan otak unilateral.
Efek manitol sering terlihat sebelum perubahan osmolaritas serum
tercapai. Efek ini paling tampak saat CPP dibawah 70 mmHg. Fenomena ini
dapat dijelaskan melalui suatu efek vasokonstriktif langsung dari manitol yang
mengarah pada penurunan volume darah otak. CPP yang lebih tinggi
menunjukkan mekanisme autoregulasi bekerja dan konstriksi pembuluh darah
otak. CPP yang lebih rendah menunjukkan bahwa pembuluh darah otak
terdilatasi maksimal dan merespon lebih efektif terhadap efek vasokonstriktif
dari manitol. Sekali keseimbangan telah tercapai, manitol tidak lagi
menurunkan TIK sehingga pemberian berkelanjutan tidak lagi efektif.
Dengan
perkecualian
kegawatdaruratan
klinis,
manitol
tidak
mmHg yang berlangsung selama 5 menit setelah infus cepat manitol. Namun
pada penelitian yang lain penemuannya berupa penurunan TIK secara
eksponensial tanpa peningkatan awal. Kedua penelitian ini, walaupun
hasilnya tampak saling berlawanan, menunjukkan keamanan pemberian
manitol, walaupun pada studi pertama peningkatan TIK terjadi singkat.
Komplikasi terapi diuretik adalah hiponatremia yang juga dihubungkan
dengan peningkatan TIK, perubahan status mental, dan edema paru. Monitor
ketat dan koreksi yang tepat keseimbangan elektrolit diindikasikan/diperlukan.
Koreksi hiponatremia harus lebih pelan daripada 0,55 mmol/L/jam untuk
mencegah komplikasi lebih jauh.
Beberapa studi membandingakn efek propofol dan thiopental untuk
menurunkan TIK. Meskipun keduanya menurunkan TIK, CPP lebih tereduksi
dengan propofol yang juga lebih memberi efek kardiovaskuler, sehingga
penggunaanya harus dengan hati-hati.
Kejang
Status epileptikus adalah komplikasi serius yang terjadi pada 7% kasus
posttrauma. Infus midazolam 7-12 mg/jam setelah dosis awal 10 mg
memberikan
kontrol
yang
efektif.
Keuntungan
midazolam
daripada
benzodiazepine yang lain: kelarutannya dalam air, waktu paruh yang lebih
pendek, dan insidens depresi kardiorespirasi yang lebih rendah.
Terapi Cairan
Hiperglikemia pada kondisi iskemia maupun hipoksia menambah
kerusakan
jaringan.
Efek
ini
kemungkinan
disebabkan
kegagalan
dapat menambah kerusakan otak. Oleh karena itu, tipe cairan dan kecepatan
pemberian merupakan hal yang sangat penting pada terapi trauma kepala.
Upaya mempertahankan kadar gula atau memberikan gula untuk
mencapai tingkat dibawah 200 mg/dl direkomendasikan saat iskemia otak
mungkin dapat terjadi. Satu laporan menunjukkan bahwa pemberian
dekstrosa 5% air pada 8cc/kg/jam (sekitar dua kali normal) selama 6 jam
setelah produksi lesi dingin (cold lesion) menghasilkan mortalitas 100%,
sementara hewan yang menerima infus dekstrosa yang sama atau yang lebih
lambat dalam normal saline atau tanpa cairan, seluruhnya selamat.
Pada sisi yang lain, studi hiperglisemia pada model iskemia fokal
mengindikasikan penurunan perubahan morfologis searah. Model ini masih
ditelitii lebih lanjut. Pada model anjing dengan syok plus lesi massa
intracranial, suatu kombinasi cairan hipertonik (saline hipertonis)
dan
Diazepam mempunya waktu paruh paling tidak 12 jam dan khususnya pada
pasien usia lanjut, dapat menyebebakan depresi CNS yang mengganggu
diagnosa neurologis.
Fenobarbital yang sering digunakan untuk kontrol kejang memiliki efek
sedatif dan durasi kerja yang panjang. Fenitoin kurang menyebabkan sedasi
dan merupakan pilihan terapi awal. Efek samping ( hipotensi, aritmia jantung,
dan depresi SSP), dapat diminimalkan dengan pemberian intravena dengan
kecepatan tidak lebih dari 50 mg per menit.
Penggunaan rutin alkaloid belladona tidak direkomendasikan karena
efek jantung dari obat ini dapat memperburuk dinamika intrakranial
Saat berhadapan dengan pasien dengan cedera vaskular, prosedur
harus dimulai dengan deiskusi dengan ahlibeda tentang kasus tersebut dan
masalahnya. Hanya dengan komunikasi yang jelas bahwa semua potensial
masalah dapat diantisipasi dan persiapan rasional telah dilakukan.
Monitoring
Monitor intraoperatif yang tepat meliputi EKG kontinyu dengan
kemampuan
merekam.
Kanulasi
arteri
sebaiknya
dilakukan
untuk
menyediakan jalur analisa gas darah dan serum elektrolit dan monitor
tekanan darah arterial sistemik kontinyu. Pulse oksimetri sangat penting dan
analisa gas darah infrared atau spektrometri sangan membantu.
Kehilangan darah dapat terjadi masif pada kasus cedera vaskular, dan
pemberian cepat obat diuretik menyulitkan maintenance keseimbangan
cairan. Pasien sering mengalami hipovolemia, hipokalemia dan hipkloremia.
Kondisi ini awalnya tidak menyebabkan hipotensi karena pasien umumnya
dengan kondisi vaskuler yang sehat dan dapat berkompensasi dan karena
kerusakan intrakranial sering menyebabkan hipertensi arterial.
Status hidrasi sebenarnya dapat diketahui pertama kali setelah induksi
anestesia, ketika hipotensi katastrofi dapat terjadi. Rehidrasi rasional
mencakup monitor CVP, dan terutama diindikasikan pada pasien tua dengan
penyakit jantung, dimana pemberian larutan hiperosmolar dalam jumlah
besar (misalnya manitol), dan rehidrasi dalam jumlah besar dapat
menyebabkan edema paru. Fungsi kardiorespirasi seharusnya dimonitor pada
urine
juga
harus
dimonitor
dengan
cermat
untuk
target
dipertimbangkan
utama
pada
menghindari
saat
hipertensi.
maintenance
adalah
Faktor
untuk
lain
yang
menghindari
penurunan cardiac output oleh obat anestesi saat terjadi kehilangan darah
dalam jumlah besar. Namun terdapat beberapa kasus tertentu seperti
aneurisma palsu, dimana hipotensi terkontrol dapat bermanfaat bagi ahli
bedah dan juga mereduksi jumlah darah yang hilang.
meliputi
kontrol
ventilasi
untuk
menghindari
hipertensi
intrakranial. Oleh karena itu, penundaan efek sedatif yang dapat terjadi
mengikuti teknik multifarmasi mungkin lebih disukai. Peningkatan potensi
daripada aktivitas kejang yang terjadi setelah pemberian enfluran dosis tinggi,
terutama
pada
pasien
hipokapnea.
Baik
halothan
maupun
enfluran
Isofluran
Kedaruratan Anestesia
Bila pasien sadar preoperatif sadar dan napas spontan, maka diakhir
operasi kondisi yang sama harus tercapai.
Dengan diperbaikinya lesi massa intrakranial, banyak pasien yang
langsung memperoleh kesadarannya kembali. Segera setelah pasien mampu
mengikuti perintah dan status pernafasannya stabil, ekstubasi dini dapat
menurunkan
kecenderungan
komplikasi
pneumonia
dan
memperbaiki