Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
OLEH :
ATIK PRAMESTI WILUJENG
NIM : 131314153026
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Zat besi merupakan unsur yang sangat penting untuk membentuk
hemoglobin (Hb) (Adriani dan Wirjatmadi, 2012). Hingga saat ini di Indonesia
masih terdapat 4 masalah gizi utama yaitu KKP (Kurang Kalori protein), Kurang
vitamin A, Ganggun Akibat Kurang Yodium (GAKI) dan kurang zat besi yang
disebut Anemia Gizi. Saat ini salah satu masalah yang belum nampak
menunjukkan titik terang keberhasilan penanggulangannya adalah masalah
kekurangan zat besi atau dikenal dengan sebutan anemia gizi (Wahyuni, 2004).
Anemia defisiensi besi merupakan salah satu masalah kesehatan pada anak
Indonesia yang perlu mendapat perhatian khusus karena tidak saja berdampak
untuk saat ini tetapi juga masa mendatang (IDAI, 2011). Penyakit ini banyak
ditemukan di seluruh dunia. Tidak hanya di negeri yang sedang berkembang saja,
tetapi juga dinegeri yang sudah maju, terutama mengenai anak yang sedang
tumbuh (Latief., dkk, 2007). Defisiensi endemik zat besi, iodium dan vitamin A,
yang sejak lama sudah berada di urutan pertama dalam daftar status defisiensi di
seluruh dunia, telah menjadi persoalan utama dan mendapatkan perhatian yang
besar (Gibney, dkk, 2008). Defisiensi besi merupakan keadaan defisiensi
mikronutrien yang paling banyak ditemukan dan mengenai sepertiga penduduk
dunia (Hartono, 2008). Setiap kelompok usia anak rentan terhadap defisiensi besi
(DB). Kelompok usia yang paling tinggi mengalami DB adalah usia balita (0-5
tahun) sehingga kelompok usia ini menjadi prioritas pencegahan DB (IDAI,
2011).
nasional karena masih di atas angka cut of point prevalensi anemia (>20%). Dari
38 kabupaten/kota se Jawa Timur, hanya 6 (enam) kabupaten/kota yang mencapai
target pelayanan anak balita 83%. Begitu juga dengan angka capaian cakupan
Provinsi Jawa Timur (70,34%) yang masih di bawah target yang telah ditentukan
(Profil Dinas Kesehatan Jawa Timur, 2012).
Pada usia balita, prevalens tertinggi DB umumnya terjadi pada tahun kedua
kehidupan akibat rendahnya asupan besi melalui diet dan pertumbuhan yang cepat
pada tahun pertama. Angka kejadian DB lebih tinggi pada usia bayi, terutama
pada bayi prematur (sekitar 25-85%) dan bayi yang mengonsumsi ASI secara
eksklusif tanpa suplementasi (IDAI, 2011). Jumlah kasus gizi buruk yang
ditemukan pada tahun 2013 sebanyak 909 kasus, kasus gizi buruk yang ditemukan
ini 4,51% disebabkan karena BBLR, 15,7% sering sakit, 8,04 disebabkan
kemiskinan dan hampir 66,66% kemungkinan disebabkan karena pengetahuan ibu
dan keluarga masih kurang (Profil Dinas Kesehatan Banyuwangi 2015).
Penyebab utama anemia gizi adalah konsumsi zat besi yang tidak cukup
dan absorbsi zat besi yang rendah dan pola makan yang sebagian besar terdiri dari
nasi dan menu yang kurang beraneka ragam. Defisiensi nutrisi bukanlah sematamata hanya karena kuantitasnya saja tetapi tidak jarang menyangkut
ketidakserasian dalam mengkomposisi nutrien secara optimal yang pada akhirnya
berdampak pada asupan gizi secara keseluruhan. Salah satu elemen mikronutrien
yang penting ialah besi (Fe). Kekurangan besi, apalagi bila telah menyebabkan
anemia terbukti memberikan pengaruh buruk bagi tumbuh kembang anak dan bayi
sampai remaja, khususnya dan segi prestasi dan kualitas hidup serta kinerja
sebagai sumber daya manusia di masa mendatang (IDAI, 2011). Khusus pada
menerima
usaha
pencegahan
dan
penyembuhan
penyakit
yang
paling banyak di desa Ketapang sebesar 82 balita. Kepala Puskesmas Klatak juga
menyatakan bahwa selama ini belum pernah dilakukan deteksi dini anemia gizi
pada balita di wilayah kerja Puskesmas Klatak, selain itu kader gizi wilayah kerja
Puskesmas Klatak Banyuwangi juga menyatakan bahwa selama ini penanganan
balita yang mengalami kurang gizi masih sebatas pemberian PMT melalui
posyandu dan belum pernah dilakukan pendidikan kesehatan tentang pemenuhan
kebutuhan gizi pada balita terutama pendidikan kesehatan tentang kebutuhan gizi
mikronutrien bagi balita.
Bertolak dari latar belakang tersebut maka peneliti tertarik untuk
mengadakan penelitian perilaku ibu dalam memenuhi kebutuhan zat besi pada
anak usia 1-5 tahun dengan pendekatan teori Precede Laurence Green dan Health
Belief Model di wilayah kerja Puskesmas Klatak Banyuwangi 2015
1.2
Identifikasi Masalah
Faktor Predisposisi
Keyakinan (HBM)
1.Perceived
Susceptibility
Usia, suku,
Pengetahuan
2. Perceived
seriousness
Perilaku
ibu dalam
memenuhi
kebutuhan
gizi anak
usia 1-5
tahun
Tingkat
kecukupan
zat besi anak
usia 1-5 tahun
Status Gizi
anak usia 1-5
tahun
3. Perceived
Benefit
4. Perceived
Barrier
Gambar 1.1
Rumusan Masalah
1.3.1 Apakah ada hubungan pengetahuan, usia, suku dengan kelemahan yang
dirasakan (perceived susceptibility), keseriusan yang dirasakan (perceived
seriousness), manfaat yang dirasakan (perceived benefit), hambatan yang
dirasakan (perceived barrier) dalam perilaku ibu dalam memenuhi
kebutuhan gizi anak usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Klatak
Banyuwangi 2015
Banyuwangi 2015
1.3.4 Apakah ada hubungan perilaku ibu dalam memenuhi kebutuhan gizi dengan
tingkat kecukupan zat besi anak usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas
Klatak Banyuwangi 2015
1.4
Tujuan
susceptibility),
keseriusan
yang
dirasakan
(perceived
gizi anak usia 1-5 tahun di wilayah kerja Puskesmas Klatak Banyuwangi
2015
2).
3).
4).
1.5
Manfaat