ISSN: 0215-8884
Ngemong:DimensiKeluargaPasien
PsikotikdiJawa
M.A.Subandi
GadjahMadaUniversity
Abstract
Thepurposeofthispaperwastoexplore
family burden, coping, and support for
psychotic patients in a Javanese setting. A
combination of ethnographic and clinical
methodology was employed. During my
fieldwork in Yogyakarta, Indonesia, I
followed 9 participants diagnosed as having
firstepisodepsychosis.Threeofthemmetthe
ICD10 criteria for Schizophrenia, five for
Acute and Transient Psychotic Disorder
(ATPD), and one for Schizoaffective Disor
der. I carried out ethnographic fieldwork
amongnineparticipantsandtheirfamiliesin
their natural home setting, as well as
conductingindepthinterviews.Inaddition,
I administered the Family Crisis Oriented
Personal Evaluation Scale (FCOPES) for
family members and Sentence Completion
Test(SCT).Theresultindicatedthatdespite
experiencing psychological and economic
burden, families provided a high level of
supportfortheirmentallyillmemberswhich
are reflected in the application of Javanese
principle of ngemong. Three aspects the
practiceofngemongisdiscussed.
Keywords:family, psychotic illness, burden,
coping,support,Javaneseculture
62
JURNAL PSIKOLOGI
JURNAL PSIKOLOGI
41
JURNAL PSIKOLOGI
63
SUBANDI
64
SUBANDI
66
Bagaimanabebanyangdialamioleh
keluarga Jawa yang disebabkan
gangguan psikosis yang diderita
salahsatuanggotakeluargamereka?
2.
3.
JURNAL PSIKOLOGI
Metode
Penelitian ini menerapkan metode
etnografi dimana saya sebagai peneliti
terjung langsung ke lapangan, meng
ikuti perkembangan partisipan dari
waktu ke waktu. Selama penelitian
lapangan di wilayah Yogyakarta, saya
mengikuti 9 partisipan yang menderita
psikosis episode pertama. Tiga orang
memenuhi kriteria diagnosis PPDGJIII
sebagai Skizophrenia, lima orang
memenuhi kriteria gangguan Psikotik
Akut dan Sementara, dan satu orang
memenuhi kriteria gangguan Schizoa
fektif. Saya mengikuti kehidupan
partisipan dan keluarganya selama satu
tahundariAgustus2002Juli2003dan
melakukanfollowuppadatahun2004
Selama di lapangan, saya, saya
mengunjungi partisipan dan keluar
ganyadirumahmerekamasingmasing.
Beberapa metode saya gunakan untuk
mengumpulkan data. Pertama, wawan
caramendalamdengansembilanpartisi
pan dan keluarga mereka berkaitan
dengan kondisi penderita maupun
kondisi keluarga mereka. Kedua, obser
vasi partisipan, dimana pada kesem
patankesempatan tertentu saya ikut
dalam kegiatan partisipan. Misalnya,
melaksanakan sholat bersama di masjid
dengan penderita untuk mengobservasi
bagaimana sikapnya terhadap masya
Hasil
Untuk mempermudah pemahaman
mengenai hasil dan diskusi dalam
penelitian ini, di sini saya sajikan
karakteristik seluruh partisipan. Nama
partisipan yang tercantum di sini
semuanya adalah nama samaran.
JURNAL PSIKOLOGI
67
SUBANDI
Tabel1
KarakteristikPartisipan
Jenis
Pseudonym Kelamin Umur
Status
Wati
W
28tahun Menikah
Rima
18tahun DropoutSMP,
BelumMenikah
16tahun DropoutSD,
Belummenikah
Budi
Sri
20tahun Mahasiswa,
Belummenikah
Endang
Priyo
26tahun Mahasiswa,
belummenikah
19tahun Pelajar
Wulan
Bambang
16tahun Pelajar,belum
menikah
35tahun Menikah
Joko
42tahun Menikah
Diagnosis
Psikotikakutlirschizophrenia
(F.23.2)
Gangguanschizoaffectivetipe
manic(F.25.0).
Psikotikakutpolimorphik
dengangejalaschizophrenia
(F23.1).
Psikotikakutpolimorphik
dengangejalaschizophrenia
(F23.1).
Schizophrenia,tipetidak
terdifferensiasi(F.20.3).
Psikotikakutpolimorphik
dengangejalaschizophrenia
(F23.1).
Psikotikakutlirschizophrenia
(F.23.2).
Skizophrenia,tipeparanoid
(F.20.0).
Skizophrenia,tipetidak
terdifferensiasi(F.20.3).
JURNAL PSIKOLOGI
69
SUBANDI
Berdasarkandatapenelitiandiatas,
saya sependapat dengan Browne (1999)
yang menyatakan bahwa orang Jawa
tidak selalu menyembunyikan emosi
yang membebani pikirannya. Dalam
keadaan tertentu orang Jawa juga
mampu mengungkapkan emosi mereka
secara terbuka. Hal ini tampak pada
keluarga Endang. Ketika saya sedang
berkunjung dan mengadakan wawan
cara dengan Endang, beberapa anggota
keluarga yang lain ikut bergabung.
Bahkan mereka sempat beradu argu
mentasi di depan saya, yang menun
jukkan adanya konflik internal dalam
keluarga mereka. Istri Joko juga secara
terbukamengungkapkankonflikdengan
suaminya dan sempat menangis ketika
membicarakan masalah tersebut melalui
telpondengansaya.Jadi,pengungkapan
emosidalammasyarakatJawabukanlah
suatu hal yang tabu, tergantung
bagaimana situasi dan kondisi. Hal ini
bisa jadi dipandang sebagai suatu
bentukcopingyangdinilaipositif.
Agar dapat lebih memahami
strategi coping keluarga secara lebih
mendalam,sayajugamenyajikaninstru
men FCOPES (Family Crisis Oriented
PersonalEvaluationScale).
Skor pada FCOPES menunjukkan
bahwa anggota keluarga dari partisipan
dalam penelitian ini menggunakan
berbagai strategi coping, sebagaimana
yang ditunjukkan di tabel ini yang
diurutkan sesuai dengan ranking
strategi coping yang paling banyak
digunakan.
71
SUBANDI
Tabel2
SkorrerataStrategiCopingKeluarga
No.
1
2
3
4
5
StrategiCoping
Seekingspiritualsupport
Mobilizingthefamily
Acquiringsocialsupport
Reframing
Passiveappraisal
Skor
Rerata1
4.67
4.41
4.35
4.33
1.44
72
JURNAL PSIKOLOGI
73
SUBANDI
Tabel3
Sistemdukungankeluargadansosial3
No.
1
2
3
4
5
6
7
8
9
Nama
samaran
Wati
Rima
Budi
Sri
Endang
Priyo
Wulan
Bambang
Joko
Dukungan
KeluargaInti
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Sedang
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
Tinggi
pelajaransekolahdanmembimbingsaya
dalam urusan agama, dan ibu saya
seringkalimembantusayadalamurusan
rumah tangga. Namun, paman Priyo,
yang tinggal berdekatan dengan rumah
ayahnya, dianggap tidak banyak
memberikan dukungan. Akibatnya
Priyo dan keluarganya lebih memilih
meminta bantuan kepada tetangga
daripadakepadapamannyasendiri.
Pada kasus Joko, pihak keluarga
nuklir sangat mendukung. Namun,
pihak keluarga besar Joko hanya
memberi dukungan di tingkat sedang,
karena hanya pihak keluarga besar dari
istrinya yang memberikan dukungan
emosional dan finansial, sedangkan
pihak keluarga besarnya sendiri acuh
tak acuh terhadap permasalahannya.
Pihak tetangga Joko memberi berbagai
ragam sikap. Menurut istri Joko,
beberapa diantara tetangga tidak
memberi dukungan positif sama sekali,
bahkan mencemoohkan. Namun Joko
sendiri merasa memperoleh dukungan
74
Dukungan
KeluargaBesar
Tinggi
Sedang
Tinggi
Sedang
Sedang
Rendah
Sedang
Tinggi
Sedang
Dukungan
tetangga
Tinggi
Tinggi
Sedang
Sedang
Sedang
Sedang
Tinggi
Tinggi
Sedang
yangbesardarijemaahmasjidketikadia
melampuiproseskesembuhan.2
Pembahasan di atas menunjukkan
bahwa baik keluarga nuklir, keluarga
besar maupun pihak tetangga memberi
kan dukungan dari tingkat sedang
sampai tinggi. Hasil tersebut konsisten
dengan berbagai penelitian sebelumnya
yang menyatakan bahwa keluarga di
negara berkembang cenderung lebih
menunjukkan sikap toleransi dan
mendukung terhadap mereka yang
mengalami gangguan mental (Waxler,
1976; Guarnaccia, 1992). Penemuan saya
ini dapat menjadi informasi penting
seperti yang disarankan oleh peneliti
sebelumnya(Cohen,1992;Browne,1999;
Hopper dan Wanderling, 2000; Hopper,
2004). Mereka pada umumnya menya
takan perlunya dilakukan lebih banyak
penelitian etnografis untuk memberi
gambaran mengenai lingkungan sosial
dan dan dukungan keluarga pada pen
2
JURNAL PSIKOLOGI
JURNAL PSIKOLOGI
penuhkehangatan.KetikaRimamenun
jukkanperilakuyangtidakwajarselama
wawancara sedang berlangsung, kakak
nya merangkul Rima dengan lembut
untuk menenangkannya. Keluarganya
juga membiarkan Rima memasang
posterposter yang dibelinya di pasar
desa. Ayahnya juga menunjukkan sikap
toleran dengan membiarkan Rima
membuat gambargambar di tembok,
walaupuntembokitubarusajadicat.
PadakasusJoko,istriJokomenceri
takan bahwa pada awal munculnya
gangguan mental Joko seringkali
memukul istrinya dan anakanaknya.
Istrinya menanggapinya secara toleran.
IstriJokomengakuibahwahalitusangat
sulit untuk diterima, namun dia selalu
belajar untuk bersabar, sambil terus
berdoa di malam hari. Serupa dengan
hal tersebut, istri Bambang menyatakan
betapa sulitnya mengemong suaminya
ketika dia menunjukkan perilaku yang
tidakwajar.
Ciri kedua ngemong adalah sikap
tidak banyak menuntut. Hal tersebut
paling jelas terlihat dalam keluarga
Priyo. Ayah Priyo menyatakan bahwa
dia bersikeras bahwa anaknya tidak
perlu bekerja di sawah ataupun
melakukan pekerjaan rumah tangga.
Bahkan ketika Priyo sudah lulus SMA,
ayahnya tidak menuntut agar Priyo
harus mencari pekerjaan sebagaimana
pemuda lain di desanya. Pada kasus
Wulan, orang tuanya tidak menuntut
agardiakembalibersekolahkalausudah
sembuh. Orangtuanya menjaga agar
75
SUBANDI
76
bahwaseluruhanggotakeluargapende
rita gangguan mental menekankan
pentingnya ngemong. Kedua peneliti ini
selanjutnya menyarankan agar keluarga
yang memiliki anggota keluarga pende
rita gangguan mental dapat bersikap
toleran, penuh perhatian dan penuh
kasih sayang. Mereka menekankan agar
keluarga tidak menunjukkan sikap
mencela,menyalahkan,danbermusuhan
pada penderita gangguan mental dalam
keluarga Jawa. Namun Browne (1999)
mendapatkan hasil yang berbeda. Dia
mengidentifikasi beberapa keluarga
penderita gangguan mental yang justru
menunjukkan sikap mencela dan
permusuhan.
Dalampenelitianinisayamenemu
kan kedua tendensi tersebut. Anggota
keluarga menekankan pentingnya sikap
ngemong dalam mempercepat proses
penyembuhan. Namun saya juga
menyaksikan bagaimana beberapa
keluarga menunjukkan sikap mencela
dan permusuhan yang tinggi. Jadi,
keluarga Jawa lebih kompleks dan
beragam dibandingkan dengan citra
ideal keluarga dalam negara berkem
bang yang dikatakan selalu bersikap
tolerandanmendukung.
Diskusi
Penelitian ini mendukung peneli
tiansebelumnyabahwabebanpsikologis
dan penderitaan tidak hanya dirasakan
oleh keluarga pengasuh penderita
schizofrenia yang telah mengalami
gangguanmentaldalamjangkapanjang.
JURNAL PSIKOLOGI
JURNAL PSIKOLOGI
mengalamigangguan.Prinsipdasardari
ngemong adalah menghadapi seseorang
dimana
perilakunya
menyerupai
seorang anak. Misalnya, seorang suami
mungkin akan ngemong istrinya yang
memiliki banyak tuntutan, atau seorang
anakperempuandewasaharusngemong
ibunya yang impulsif. Konsep ini juga
dapat diterapkan pada lingkup masya
rakat yang lebih luas. Seorang kepala
desa harus ngemong warganya agar
konfliktidaktimbuldiantaramereka.
DaftarPustaka
Browne,K.O.(1999).LandscapesofDesire
andViolence:StoriedSelvesandMental
affliction in Central Java, Indonesia.
Unpublished Dissertation, Univer
sityofWisconsinMadison.
Cohen, A. (1992). Prognosis for schizo
phrenia in the third world: A re
evaluationofcrossculturalresearch.
Culture, Medicine and Psychiatry, 16,
5375.
Garcia,J.I.R.,Chang,C.L.,Young,J.S.,
Lopez,S.R.,danJenkins,J.H.(2006).
Family support predicts psychiatric
medication usage among Mexican
American individuals with schizo
phrenia. Social Psychiatry and
Psychiatric Epidemiology, 41(8), 624
631.
Geertz, H. (1961). The Javanese Family: A
Study of Kinship and Socialization.
New York: The Free Press of
Glencoe.
Good, B. J. dan Subandi, M. A. (2004).
ExperiencesofpsychosisinJavanese
77
SUBANDI
JURNAL PSIKOLOGI
Ostman,M.,danHansson,L.(2001).The
relationship between coping strate
gies and family burden among
relatives of admitted psychiatric
patients. Scandinavian Journal of
CaringSciences.15.159164.
Subandi,M.A.2007.Takut,Bingungdan
Teror: Dimensi Psikokultural dalam
Pengalaman
Psikotik.
Jurnal
Psikologi,34(1):4054
Tennakoon,L.,Fannon,D.,Doku,V.,O
Ceallaigh, S., Soni, W., Santamaria,
M., Kuipers, E., dan Sharma, T.
(2000). Experience of care giving:
Relatives of people experiencing a
first episode of psychosis. British
JournalofPsychiatry,177,529533.
Waxler, N. E. (1979). Is outcome for
schizophreniabetterinnonindustrial
societies? The case of Sri Lanka.
JournalofNervousandMentalDisease,
167(3),144158.
Weiss, M. G., Jadhav, S., Raguram, R.,
Vounatsou, P., dan Littlewood, R.
(2001). Psychiatric stigma across
culture:
Local
validation
in
BangaloreandLondon.Anthropology
danMedicine,8(1),7187.
Zaumseil, M., dan Lessmann, H. (1995).
Dealing with Schizophrenia in Central
Java.
http://www.fuberlin.de/
psychologie/klinische/java_99.pdf.
JURNAL PSIKOLOGI
79