sebagian sudah dimanfaatkan sebagai bahan baku industri, tapi masih ada porsi besar dari
potensi pati ini yang belum dimanfaatkan dan dapat digunakan untuk mendukung
peningkatan produktifitas ternak penghasil daging. Salah satu bahan berpati yang
diproduksi di Indonesia adalah ubikayu. Menurut Tisnadjaja (1996) produksi ubikayu
Indonesia adalah 13 juta ton setiap tahun. Sebagian besar dari produksi ubikayu,
digunakan oleh industri tapioka dan setiap tahun diperkirakan sekitar 1,2 juta ton onggok,
yaitu limbah padat industri tapioka yang masih mengandung 60 70 persen karbohidrat,
dikeluarkan oleh industri tapioka di Indonesia. Konsentrasi karbohidrat yang masih tinggi
pada onggok menjadikan onggok sebagai bahan pakan sumber energi potensil untuk
mendukung peningkatan kontinuitas sediaan ransum ternak.
Penggunaan onggok sebagai bahan pakan ternak telah lama diketahui, dilihat dari
kandungan zat makanannya onggok dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi. Hal ini
terutama ditunjukan oleh kandungan bahan ekstrak tanpa nitrogen ( BETN ) yang cukup
tinggi. Menurut Sutardi (1981) kandungan BETN onggok mencapai 76,1 persen sehingga
onggok merupakan sumber karbohidrat yang cukup potensial. Akan tetapi kandungan zat
makanan lain relatif rendah, sehingga untuk meningkatkan nilai hayatinya diperlukan
upaya lebih lanjut. Teknologi fermentasi merupakan salah satu alternatif yang dapat
meningkatkan nilai gizi bahan berkualitas rendah, mengubah rasa dan aroma menjadi
lebih baik, menambah daya tahan dan dapat mengurangi senyawa-senyawa racun dalam
bahan dasar. Hal tersebut di atas terjadi karena melalui kerja mikroba dalam proses
fermentasi dapat memecah komponen yang kompleks menjadi zat-zat yang lebih
sederhana sehingga mudah dicerna, seperti dikemukakan oleh Tisnadjaja (1996) bahwa
secara biologis pati dapat diubah menjadi glukosa, maltosa, etanol, dekstrin dan asamasam organik.
Beberapa jenis mikroba dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan nilai guna bahan
pakan berpati, salah satu diantaranya adalah ragi (Saccharomyses cereviseae), karena
selain kemampuannya dalam memecah komponen karbohidrat kompleks, juga
kandungan protein ragi memiliki persentase yang cukup tinggi dan sangat mudah dicerna.
Bau yang spesifik dari ragi akan memberikan aroma pada bahan pakan sehingga akan
meningkatkan palatabilitasnya. Secara umum ragi mengandung protein kasar 47-53
persen. Asam amino esensil yang terkandung dalam ragi sangat baik. Kandungan lysine
dan tripthopan pada ragi berturut turut adalah 7,8 dan 1,3 persen, lebih tinggi dari
kandungan asam amino tersebut pada tepung daging dan tepung ikan yaitu 3,45 dan 0,37
persen serta 4,6 dan 0,52 persen ( Suriawiria, 1985., Hartadi 1990 ). Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kadar protein ragi tergantung pada jenis ragi. Saccharomyses
cereviseae) merupakan jenis ragi yang memiliki protein yang baik untuk berperan dalam
upaya peningkatan nilai tambah bahan pakan yang memiliki nilai hayati rendah. Misalnya
melalui pembuatan protein sel tunggal dengan bahan dasar karbohidrat.
Teknologi biokonversi membuka peluang bagi upaya penganekaragaman bahan
pakan yang memiliki daya dukung bagi peningkatan produktifitas ternak. Dawson dan
Hopkins (1991), William dkk (1991), dan Wohlt dkk (1991) menyatakan bahwa
penambahan ragi secara in vitro pada kultur rumen dapat meningkatkan degradasi
selulosa dan menurunkan lag time pada pencernaan Hay. Artinya terjadi peningkatan laju
pencernaan bahan pakan berserat, sehingga nilai manfaat ransum menjadi lebih baik. Sapi
daging dan sapi perah yang mengkonsumsi ransum basal konsentrat dengan suplementasi
kultur ragi menunjukkan peningkatan in take bahan kering ransum ( Phillips dan Von
Tungeln. 1985., Hughes. 1988., dan Williams dkk 1991). Manifestasi selanjutnya dari
peranan ragi dalam ransum adalah terjadinya peningkatan pertambahan berat badan dan
nilai efisiensi penggunaan konsentrat pada ternak sapi (Fallon dan Harte. 1978., Hudyma
dan Gray. 1990., dan Mc Leod dkk., 1991).
Banyaknya konsumsi ransum dan pertambahan berat badan yang dicapai akan
menentukan efisiensi penggunaan ransum. Menurut Preston dan Willis (1974), jumlah
konsumsi ransum dipengaruhi oleh bobot badan. Apabila jumlah konsumsi ransum masih
berada dalam kisaran persentase kebutuhan sebesar 10-12 persen dari bobot badan pada
konsumi ransum segar (as fed), atau 1,4-2,7 persen dari bobot badan pada konsumsi
bahan kering ransum, maka ransum yang digunakan memiliki nilai efisiensi yang baik.
Metode
Jumlah ternak sapi Fries Holland jantan lepas sapih yang digunakan dalam
penelitian ini adalah empat ekor, ternak sapi tersebut telah berumur enam bulan dengan
kisaran bobot badan lebih kurang 100 kg. Sapi Fries Holland jantan lepas sapih ini
diperoleh dari peternak di kecamatan Tanjungsari kabupaten Sumedang. Kandang ternak
yang digunakan untuk penelitian adalah kandang individu dengan ukuran masing-masing
130 x 180 cm, tiap kandang dilengkapi fasilitas berupa bak makanan dan tempat minum
untuk ternak sapi.
Pemberian ransum disesuaikan dengan rekomendasi Church (1984), bahwa untuk
memenuhi kebutuhan zat makanan sapi dengan bobot badan 100 kg dibutuhkan bahan
kering ransum sebanyak 2,80 kg, protein kasar 361 g, TDN 1,89 kg, mineral kalsium 16 g
dan pospor 8 g. Ransum konsentrat yang digunakan untuk penelitian ini tersusun dari
bahan pakan sebagai berikut :
Tabel 1. Komposisi Bahan Pakan Pada Ransum Konsentrat (Ransum Basal)
Jenis Bahan Pakan
Persentase (%)
Wheat Pollard
Dedak Padi
Jagung Kuning
Bungkil Kelapa
Bungkil Biji Kapok
Ampas Kecap
Tepung Tulang
25,00
20,00
10,00
25,00
8,50
11,00
0,50
Jumlah
100,00
Persentase (%)
Bahan Kering
Protein
TDN
Kalsium
Pospor
86,00
16,50
68,00
0,80
0,40
pengujian dengan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan (Steel dan Torrie, 1980.,
Vincent Gasversz. 1991).
Hasil dan Pembahasan
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Bahan Kering Ransum
Konsumsi bahan kering ransum oleh sapi Fries Holland jantan lepas sapih pada
masing-masing perlakuan selama periode percobaan, dicantumkan pada Tabel 4.
Tabel 4. Konsumsi Bahan Kering Ransum Sapi Fries Holland Jantan
Lepas Sapih (kg/ekor/hari)
Periode (waktu)
Ransum
Perlakuan
R1
R2
R3
1
2,60
2,65
2,38
2
2,76
2,70
2,45
3
3,40
3,42
3,10
4
3,35
3,45
3,45
Rataan
3,02
3,05
2,84
(a)
(a)
(a)
Keterangan : huruf yang sama kearah kolom menunjukkan berbeda tidak nyata
R4
2,80
3,10
3,25
3,60
3,18
(a)
Rataan konsumsi bahan kering ransum berkisar dari 2,84 sampai 3,18
kg/ekor/hari. Dibandingkan kebutuhan bahan kering ransum untuk sapi dengan berat
badan 100 kg seperti dikemukakan oleh Church (1984), yaitu sebanyak 2,8 kg/ekor/hari,
maka penambahan produk fermentasi onggok oleh ragi (Saccharomyses cereviseae)
sampai 30 persen dalam konsentrat telah mengakibatkan peningkatan konsumsi bahan
kering ransum sebanyak 13,57 persen dari angka kebutuhannya. Namun, masih berada
dibawah angka kebutuhan bahan kering ransum yang diperlihatkan oleh Cullison (1974),
yaitu sebesar 3,2 kg/ekor/hari.
Hasil uji statistik untuk mengetahui pengaruh perlakuan terhadap konsumsi bahan
kering ransum menunjukkan bahwa penggunaan produk fermentasi onggok oleh ragi
(Saccharomyses cereviseae) sampai 30 persen dalam konsentrat untuk sapi perah Fries
Holland jantan lepas sapih memberikan pengaruh yang berbeda tidak nyata. Sehingga
produk fermentasi onggok oleh ragi (Saccharomyses cereviseae) dapat digunakan untuk
menggantikan sebagian konsentrat tanpa mengakibatkan terganggunya kemampuan sapi
untuk mengkonsumsi bahan kering ransum, bahkan terdapat peningkatan terhadap
konsumsi bahan kering ransum. Seperti dikemukakan oleh Hughes (1991) dan Williams
(1991), bahwa sapi daging dan sapi perah yang mengkonsumsi ransum konsentrat dengan
suplementasi kultur ragi menunjukkan peningkatan intake bahan kering ransum. Lebih
lanjut dikemukakan juga oleh Dawson dan Hopkins (1991) dan Wolt, dkk (1991) bahwa
penambahan ragi secara in vitro pada kultur rumen dapat meningkatkan degradasi
selulosa dan menurunkan lag time atau waktu tinggal bahan pakan berserat didalam
saluran pencernaan ternak ruminan. Selain itu, produk fermentasi dengan ragi
menimbulkan bau spesifik sehingga akan meningkatkan palatabilitas ransum dan pada
gilirannya akan meningkatkan konsumsi bahan kering ransum.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan sapi Fries Holland jantan lepas sapih pada masingmasing perlakuan penggunaan produk fermentasi onggok oleh ragi (Saccharomyses
cereviseae), dicantumkan pada Tabel 5.
Tabel 5. Pertambahan Bobot Badan Sapi Fries Holland Jantan Lepas Sapih
(kg/ekor/hari)
Periode (waktu)
Ransum
Perlakuan
R1
R2
R3
1
0,60
0,63
0,58
2
0,74
0,62
0,63
3
0,75
0,73
0,84
4
0,76
0,82
0,84
Rataan
0,71
0,70
0,72
(a)
(a)
(a)
Keterangan : huruf yang sama kearah kolom menunjukkan berbeda tidak nyata
R4
0,64
0,80
0,88
1,10
0,85
(a)
Ransum Perlakuan
R1
R2
R3
1
23,07
23,77
24,36
2
26,81
22,96
25,71
3
22,05
21,34
27,09
4
22,68
22,95
25,37
Rataan
23,65
22,95
25,37
(a)
(a)
(a)
Keterangan : huruf yang sama kearah kolom menunjukkan berbeda tidak nyata
R4
22,85
25,80
27,07
30,55
26,56
(a)
Phillips, W.A., and D.L. Von Tungeln. 1985. The effects of yeast culture on the post stress
performance of feeder calves. Nutr. Rep. Intr. 32:287.
Preston, T.K., and W.B. Willis. 1974. Intensive Beef Production. 2 nd Ed. Pergamon Press.
Oxford, New York, Torornto, Sidney, Paris, Frankfurt. Pp 181-183.
Steel, R.G.D., dan J.H. Torrie. Prinsip dan Prosedure Statistika Suatu Pendekatan
Biometrika. Edisi ke Dua. Penerbit PT. Gramedia.
Sutardi, T. 1981. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I. Departemen Ilmu Makanan Ternak.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. 72.
Suriawiria. U. 1985. Pengantar Mikrobiologi Umum. Penerbit Angkasa. Bandung.
Tillman. D.A., H. Hartadi., S. Reksohadiprodjo., S. Prawirokusumo., S. Lebdosoekojo.
1986. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Gadjah Mada University Press.
Tisnadjaja, D. 1996. Pemanfaatan bahan berpati sebagai bahan baku dalam industri asam
sitrat. Warta Biotek. Puslitbang Bioteknologi. LIPI. 3-5
Vincents Gasversz. 1991. Teknik Analisis Dalam Penelitian Percobaan. Edisi Pertama.
Penerbit Tarsito. Bandung.
Williams, P.E.V., C.A.G. Tait., G.M. Innes., C.J. Newbold. 1991. Effects of the inclusion
of yeast culture (Saccharomyses cereviseae plus growth medium) in the diet of dairy
cow on milk yield and forage degradation and fermentation pattern in the rumen of
steer. J. Anim. Sci. 69:3016.
Wohlt, J.E., A.D. Finkelstein., and C.H. Chung. 1991. Yeast culture to improve intake,
nutrient digestibility and performance by dairy catlle during early lactation. J. Dairy.
Sci. 74.1395.