PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sistem saraf manusia merupakan jalinan jaringan saraf yang saling
berhubungan, sangat khusus, dan kompleks. Sistem saraf ini mengkoordinasikan,
mengatur, dan mengendalikan interaksi antara seorang individu dengan lingkungan
sekitarnya. Sistem tubuh yang penting ini juga mengatur aktivitas sebagian besar
sistem tubuh lainnya. Tubuh mampu berfungsi sebagai satu kesatuan yang harmonis
karena pengaturan hubungan saraf di antara berbagai sistem. Fenomena mengenai
kesadaran, daya pikir, daya ingat, bahasa, sensasi, dan gerakan semuanya berasal dari
sistem ini.
Infeksi sistem saraf merupakan penyakit yang menjadi perhatian dunia dan
penyebab yang penting dalam morbiditas dan mortalitas. Tetanus dan meningitis
dilaporkan sebagai penyebab kedua tersering pada kasus neuroinfeksi di salah satu
rumah sakit di Nigeria (setelah stroke) dengan jumlah sebanyak 97 (12,42%). Pada
anak-anak, kasus meningitis kurang lebih terjadi 890.000 kasus pertahunnya (500.000
di Afrika, 210.000 di negara-negara Pasifik, 100.000 di Eropa dan 80.000 di
Amerika). Dari kasus ini, 160.000 orang berakhir dengan kecacatan, dan 135.000
lainnya berakibat fatal. Menurut data WHO (2014) kasus ensefalitis viral di Asia
mencapai sekitar 68.000 kasus tiap tahunnya, dengan penyebab utama japanese
encephalitis virus. Case fatality rate hampir mencapai 30% dan sequele permanen
dari aspek neurologis atau psikiatrik dapat terjadi pada 30-50% pasien.
Tumor susunan saraf pusat (SSP) ditemukan sebanyak 10% dari neoplasma
seluruh tubuh. Amerika Serikat di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap
tahun. Tumor ganas primer dari sistem saraf pusat terjadi pada 16.500 individu dan
diperkirakan 13.000 kematian di Amerika Serikat, tingkat mortilitas adalah sebesar 6
per 100.000. Data ini didapati hampir sama di dunia. Tumor primer (SSP) dijumpai
10% dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum. Selain
itu, didapati 80% tumor otak terletak pada intrakranial dan 20% di dalam kanalis
spinalis. Lokasi tumor terbanyak berada di lobus parietalis (18,2%), sedangkan
tumor-tumor lainnya tersebar di beberapa lobus otak, suprasellar, medulla spinalis,
cerebellum, brainstem dan cerebellopontine angle dan multiple. Dari hasil
pemeriksaan Patologi Anatomi (PA), jenis tumor terbanyak yang dijumpai adalah
Meningioma (39,26 persen), sisanya terdiri dari berbagai jenis tumor dan lain-lain
yang tak dapat ditentukan.
1.3
BAB II
PEMBAHASAN
3
2.1 Skenario
SEMESTER VII MODUL XXII (PERSARAFAN)
SKENARIO 4
KESADARAN MENURUN
Nyonya S umur 45 tahun diantar ke rumah sakit dengan kesadaran menurun
secara perlahan-lahan. Sebelumnya pasien ini demam naik turun, tidak pernah
mencapai normal lebih kurang 6 hari ini, kejang dijumpai, frekuensi 3x, kejang
parsial dan didapati adanya muntah proyektil (+). Sebelumnya pasien mengeluhkan
sakit kepala terus menerus, kalau mengedan atau batuk, kepala makin terasa sakit.
Sensorium
: somnolen
TD
: 140/90 mmHg
HR
: 100 x/menit
Temp
: 38 C
Pemeriksaan neurologis:
Kaku kuduk (+), Brudzinsky sign (+), Kernig sign (+)
Pemeriksaan nervus cranialis:
Nervus II
Nervus VII
: Hb 12 g%
Leukosit
: 15.000/mm3
Trombosit
: 188.000/mm3
KGD ad random
: 120 mg%
Na+
: 135 mEq/L
Ureum
: 30 mg/dl
K+
: 3,5 mEq/L
Kreatinin
Cl-
: 0,5 mg/dl
: 95 mEq/L
Oleh dokter dianjurkan pemeriksaan Head CT Scan dan Lumbal Punction (LP)
influenzae,
Escherichiacoli,
Klebsiella
pneumoniae,
Peudomonas aeruginosa.
Meningitis dapat disebabkan oleh virus, bakteri, riketsia, jamur, cacing dan
protozoa. Penyebab paling sering adalah virus dan bakteri. Meningitis yang
disebabkan oleh bakteri berakibat lebih fatal dibandingkan meningitis penyebab lain
karena mekanisme kerusakan dan gangguan otak yang disebabkan oleh bakteri
maupun produk bakteri lebih berat.
Infectious Agent meningitis purulenta mempunyai kecenderungan pada
golongan umur tertentu, yaitu golongan neonatus paling banyak disebabkan oleh
E.Coli, S.beta hemolitikus dan Listeria monositogenes. Golongan umur dibawah 5
tahun (balita) disebabkan oleh H.influenzae, Meningococcus dan Pneumococcus.
Golongan umur 5-20 tahun disebabkan oleh Haemophilus influenzae, Neisseria
6
meningitidis dan Streptococcus Pneumococcus, dan pada usia dewasa (>20 tahun)
disebabkan oleh Meningococcus, Pneumococcus, Stafilocccus, Streptococcus dan
Listeria.
Penyebab meningitis serosa yang paling banyak ditemukan adalah kuman
Tuberculosis dan virus. Meningitis yang disebabkan oleh virus mempunyai prognosis
yang lebih baik, cenderung jinak dan bisa sembuh sendiri. Penyebab meningitis virus
yang paling sering ditemukan yaitu Mumpsvirus, Echovirus, dan Coxsackie virus ,
sedangkan Herpes simplex, Herpes zooster, dan enterovirus jarang menjadi penyebab
meningitis aseptik (viral).
Patofisiologi
Kuman-kuman masuk ke dalam susunan saraf pusat secara hematogen/langsung
menyebar di nasofaring, paru-paru (pneumonia, bronkopneumonia) dan jantung
(endokarditis), selain itu per kontinuitatum di peradangan organ / jaringan di dekat
selaput otak misalnya abses otak, otitis media, martoiditis dan trombosis, sinus
kavernosus.
Invasi kuman
(meningokok,
pneumokok,
hemofilus
influenza,
streptokok) ke dalam ruang subaraknoid menyebabkan reaksi radang pada pia dan
araknoid, CSS dan sistem ventrikulus.
Mula-mula pembuluh darah meningeal yang kecil dan sedang mengalami
hiperemi, dalam waktu yang sangat singkat terjadi penyebaran sel-sel leukosit
polimorfonuklear ke dalam ruang subaraknoid, kemudian terbentuk eksudat. Dalam
beberapa hari terjadi pembentukan limfosit dan histiosit dan dalam minggu ke 2 selsel plasma. Eksudat terbentuk dan terdiri dari dua lapisan, yaitu bagian luar
mengandung leukosit, polimorfonuklear dan fibrin sedangkan di lapisan dalam
terdapat makrofag.
Perkontuinitatum
terjadi pada infeksi bakteri) menyumbat sirkulasi cairan cerebrospinal juga eksudat
tadi dapat menetap di jaringan otak dan menyebabkan abses otak.
Manifestasi Klinis
Keluhan pertama biasanya nyeri kepala. Rasa nyeri ini dapat menyebar ke
tengkuk dan punggung. Tengkuk menjadi kaku. Kaku kuduk disebabkan oleh
mengejangnya otot-otot ekstensor tengkuk. Bila hebat, terjadi opistotonus, yaitu
tengkuk kaku dalam sikap kepala tertengadah dan punggung dalam sikap
hiperekstensi, kesadaran menurun. Tanda Kernig & Brudzinski positif.
Terjadi secara akut dengan panas tinggi, mual, muntah, gangguan pernapasan,
kejang, nafsu makan berkurang, minum sangat berkurang, konstipasi diare, biasanya
disertai septicemia dan pneumonitis. Kejang terjadi pada lebih kurang 44% anak
dengan penyebab hemofilus influenza, 25% streptokok pneumonia, 78% oleh
streptokok dan 10% oleh infeksi meningokok. Gangguan kesadaran berupa apati,
letargi, renjatan, koma. Selain itu dapat terjadi koagulasi intravaskularis diseminata.
Tanda-tanda iritasi meningeal seperti kaku kuduk, tanda kernig brudzinski dan
fontanela menonjol untuk sementara waktu belum timbul. Pada anak yang lebih besar
dan orang dewasa, permulaan penyakit juga terjadi akut dengan panas, nyeri kepala
yang bisa hebat sekali, malaise umum, kelemahan, nyeri otot dan nyeri punggung.
Biasa dimulai dengan gangguan saluran pernapasan bagian atas. Selanjutnya terjadi
kaku kuduk, opistotonus, dapat terjadi renjatan, hipotensi dan taki kardi karena
septicemia. Gangguan kesadaran berupa letargi sampai koma yang dalam dapat
dijumpai pada penderita. Nyeri kepala dapat hebat sekali, rasanya seperti mau pecah
dan bertambah hebat bila kepala digerakkan. Nyeri kepala dapat disebabkan oleh
proses radang pembuluh darah. Meningeal, tetapi juga dapat disebabkan oleh
peningkatan tekanan intracranial yang disertai fotofobi dan hiperestesi, suhu badan
makin meningkat, tetapi jarang disertai gemetar (chills).
Meningitis Tuberkulosa terdiri dari tiga stadium, yaitu stadium I atau stadium
prodormal selama 2-3 minggu dengan gejala ringan dan nampak seperti gejala infeksi
biasa. Pada anak-anak, permulaan penyakit bersifat subakut, sering tanpa demam,
muntah-muntah, nafsu makan berkurang, murung, berat badan turun, mudah
tersinggung, cengeng, opstipasi, pola tidur terganggu dan gangguan kesadaran berupa
apatis. Pada orang dewasa terdapat panas yang hilang timbul, nyeri kepala,
konstipasi, kurang nafsu makan, fotofobia, nyeri punggung, halusinasi, dan sangat
gelisah. Stadium II atau stadium transisi berlangsung selama 1 3 minggu dengan
gejala penyakit lebih berat dimana penderita mengalami nyeri kepala yang hebat dan
kadang disertai kejang terutama pada bayi dan anak-anak. Tanda-tanda rangsangan
meningeal mulai nyata, seluruh tubuh dapat menjadi kaku, terdapat tanda-tanda
peningkatan intrakranial, ubun-ubun menonjol dan muntah lebih hebat. Stadium III
atau stadium terminal ditandai dengan kelumpuhan dan gangguan kesadaran sampai
koma. Pada stadium ini penderita dapat meninggal dunia dalam waktu tiga minggu
bila tidak mendapat pengobatan sebagaimana mestinya.
Pemeriksaan Diagnostik
1. Analisis CSS dari fungsi lumbal :
10
perlu
bahwa
ensefalitis
lebih
melibatkan
susunan
saraf
pusat
gejala sisanya pada 20-40% penderita yang hidup adalah kelainan atau gangguan
pada kecerdasan, motoris, penglihatan, pendengaran secara menetap.
Tentunya keadaan seperti diatas tidak terjadi dengan begitu saja,tetapi hal
tersebut dapat terjadi apabila infeksi pada jaringan otak tersebut mengenai pusatpusat fungsi otak. Karena ensefalitis secara difus mengenai anatomi jaringan otak,
maka sukar untuk menentukan secara spesifik dari gejala klinik kira-kira bagian otak
mana saja yang terlibat proses peradangan itu. Angka kematian untuk ensefalitis
masih relatif tinggi berkisar 35-50% dari seluruh penderita. Sedangkan yang sembuh
tanpa kelainan neurologis yang nyata dalam perkembangan selanjutnya masih
mungkin menderita retardasi mental dan masalah tingkah laku.
Etiologi
Berbagai macam mikroorganisme dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya
bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta dan virus. Penyebab yang terpenting dan
tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi karena virus langsung menyerang otak atau
reaksi radang akut karena infeksi sistemik atau vaksinasi terdahulu.
Berbagai jenis virus dapat menimbulkan ensefalitis, meskipun gejala klinisnya
sama. Sesuai dengan jenis virus, serta epidemiologinya, diketahui berbagai macam
ensefalitis virus. Klasifikasi yang diajukan oleh Robin ialah:
1.
b.
14
2.
3.
Ensefalitis pasca infeksi : pasca morbili, pasca varisela, pasca rubela, pasca
vaksinia, pasca mononukleosis infeksious dan jenis-jenis yang mengikuti
infeksi traktus respiratorius yang tidak spesifik.
Meskipun di Indonesia secara klinis dikenal banyak kasus ensefalitis, tetapi
Setempat
Virus hanya terbatas menginfeksi selaput lendir permukaan atau organ
tertentu.
15
Pada keadaan permulaan timbul demam, tetapi belum ada kelainan neurologis.
Virus akan terus berkembang biak, kemudian menyerang susunan saraf pusat dan
akhirnya diikuti kelainan neurologis.
Kelainan neurologis pada ensefalitis disebabkan oleh:
-
Invasi dan perusakan langsung pada jaringan otak oleh virus yang sedang
berkembang biak.
Reaksi jaringan saraf pasien terhadap antigen virus yang akan berakibat
demielinisasi, kerusakan vaskular, dan paravaskular. Sedangkan virusnya
sendiri sudah tidak ada dalam jaringan otak.
kekuatan teraupetik dari system imun dan agen-agen tubuh yang dapat menghambat
multiplikasi virus. Banyak virus yang penyebarannya melalui manusia. Nyamuk atau
kutu menginokulasi virus Arbo, sedang virus rabies ditularkan melalui gigitan
binatang. Pada beberapa virus seperti varisella-zoster dan citomegalo virus, pejamu
dengan sistem imun yang lemah, merupakan faktor risiko utama.
Pada umumnya, virus bereplikasi diluar SSP dan menyebar baik melalui
peredaran darah atau melalui sistem neural (virus herpes simpleks, virus varisella
zoster). Patofisiologi infeksi virus lambat seperti subakut skelosing panensefalitis
(SSPE) sanpai sekarang ini masih belum jelas. Setelah melewati sawar darah otak,
virus memasuki sel-sel neural yang mengakibatkan fungsi-fungsi sel menjadi rusak,
kongesti perivaskular, dan respons inflamasi yang secara difus menyebabkan
ketidakseimbangan substansia abu-abu (nigra) dengan substansia putih (alba).
Adanya patologi fokal disebabkan karena terdapat reseptor-reseptor membran
sel saraf yang hanya ditemukan pada bagian-bagian khusus otak. Sebagai contoh,
16
virus herpes simpleks mempunyai predileksi pada lobus temporal medial dan inferior.
Patogenesis dari ensefalitis herpes simpleks sampai sekarang masih belum jelas
dimengerti. Infeksi otak diperkirakan terjadi karena adanya transmisi neural secara
langsung dari perifer ke otak melaui saraf trigeminus atau olfaktorius.
Virus herpes simpleks tipe I ditransfer melalui jalan nafas dan ludah.Infeksi
primer biasanya terjadi pada anak-anak dan remaja. Biasanya subklinis atau berupa
somatitis, faringitis atau penyakit saluran nafas. Kelainan neurologis merupakan
komplikasi dari reaktivasi virus. Pada infeksi primer, virus menjadi laten dalam
ganglia trigeminal. Beberapa tahun kemudian,rangsangan non spesifik menyebabkan
reaktivasi yang biasanya bermanifestasi sebagai herpes labialis.
Gejala Klinis
Trias ensefalitis yang khas ialah demam, kejang, kesadaran menurun.
Manifestasi klinis tergantung kepada:
1.
2.
3.
17
18
menentukan etiologi dari ensefalitis, bahkan pada postmortem. Kecuali pada kasuskasus non viral seperti malaria falsifarum dan ensefalitis fungal, dimana dapat
ditemukan indentifikasi morfologik. Pada kasus viral, gambaran khas dapat dijumpai
pada rabies (badan negri) atau virus herpes (badan inklusi intranuklear).
Pemeriksaan Penunjang
Gambaran cairan serebrospinal dapat dipertimbangkan meskipun tidak begitu
membantu. Biasanya berwarna jernih, jumlah sel 50-200 dengan dominasi limfosit.
Kadar protein meningkat, sedangkan glukosamasih dalam batas normal. Pada fase
awal penyakit ensefalitis viral, sel- sel di LCS sering kali polimorfonuklear, baru
kemudian menjadi sel- sel. LCS sebaiknya dikultur untuk mengetahui adanya infeksi
virus, bakteri & jamur.
Pada ensefalitis herpes simpleks, pada pemeriksaan LCS dapat ditemukan
peningkatan dari sel darah merah, mengingat adanya proses perdarahan di parenkim
otak.
menandakan adanya kerusakan pada jaringan otak. Pada feses ditemukan hasil yang
positif untuk entero virus.
Dengan pemeriksaan pencitraan neorologis (neuroimaging), infeksi virus dapat
diketahui lebih awal dan biasanya pemeriksaan ini secara rutin dilakukan pada pasien
dengan gejala klinis neurologis.
a. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan pemeriksaan penunjang yang paling dianjurkan pada
kasus ensefalitis. Bila dibandingkan dengan CT-scan, MRI lebih sensitif
dan mampu untuk menampilkan detil yang lebih bila terdapat adanya
19
kelainan-kelainan.
Pada
kasus
ensefalitis
herpes
simpleks,
MRI
20
Terapi kausal:
Pengobatan anti virus diberikan pada ensefalitis yang disebabkan virus, yaitu
dengan memberikan asiklovir 10 mg/kgBB/hari IV setiap 8 jam selama 10-14 hari.
Pemberian antibiotik polifragmasi untuk kemungkinan infeksi sekunder. Terapi
Ganciklovir merupakan pilihan utama untuk infeksi citomegali virus. Dosis
Ganciklovir 5 mg/kgBB dua kali sehari.kemudian dosis diturunkan menjadi satu kali,
lalu dengan terapi maintenance. Preparat sulfa (sulfadiasin) untuk ensefalitis karena
toxoplasmosis. Vaksin anti rabies. Semua penyakit yang disebabkan arbovirus sampai
saat ini tidak ada terapi yang spesifik,sehingga terapi yang digunakan hanyalah terapi
suportif dan simtomatis.
Terapi Simptomatik:
Obat antikonvulsif diberikan segera untuk memberantas kejang. Tergantung
dari kebutuhan obat diberikan IM atau IV. Obat yang diberikan ialah valium dan
luminal. Untuk mengatasi hiperpireksia, diberikan surface cooling dengan
menempatkan es pada permukaan tubuh yang mempunyai pembuluh besar, misalnya
pada kiri dan kanan leher, ketiak, selangkangan, daerah proksimal betis dan diatas
kepala. Sebagai hibernasi dapat diberikan largaktil 2 mg/kgBB/hari dan phenergan 4
mg/kgBB/hari IV atau IM dibagi dalam 3 kali pemberian. Diberikan antipiretikum
seperti parasetamol, bila keadaan telah memungkinkan pemberian obat peroral.
Untuk mengurangi edema serebri dengan deksametason 0,2 mg/kgBB/hari IM dibagi
3 dosis dengan cairan rendah natrium. Bila terdapat tanda peningkatan tekanan
intrakranial, dapat diberikan manitol
22
23
d. Tumor metastasis
Lesi-lesi metastasis menyebabkan sekitar 5-10% dari seluruh tumor otak dan
dapat berasal dari setiap tempat primer. Tumor primer paling sering berasal dari
paru-paru dan payudara. Lesi metastasis dapat tunggal atau multipel, dan dapat
merupakan stadium lanjut dari proses metastasis atau sebagai tanda pertama
tumor primer yang tidak diketahui sebelumnya.
Patofisiologi
Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik progresif. Gejalagejalanya timbul dalam rangkaian kesatuan sehingga menekankan pentingnya
anamnesis dalam pemeriksaan penderita. Gejala-gejala sebaiknya dibicarakan dalam
suatu perspektif waktu. Kapan gejala mulai timbul? Apakah ada hubungannya dengan
sesuatu hal lain? Berapa lama gejala-gejala ini sudah dialami?
Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya dianggap disebabkan oleh dua
faktor: gangguan fokal akibat tumor dan kenaikan tekanan intrakranial. Gangguan
fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada jaringan otak, dan infiltrasi atau invasi
langsung pada parenkim otak dengan kerusakan jaringan neural. Tentu saja disfungsi
terbesar terjadi pada tumor infiltratif yang tumbuh paling cepat (yaitu glioblastoma
multiforme).
Perubahan suplai darah akibat tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan
nekrosis jaringan otak. Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi
sebagai hilangnya fungsi secara akut dan mungkin dapat dikacaukan dengan
gangguan serebrovaskuler primer. Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan
kepekaan neuron dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah
ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga menekan parenkim
otak sekitarnya sehingga memperberat gangguan neurologis fokal.
24
Manifestasi Klinis
Trias klasik tumor otak adalah nyeri kepala, muntah, dan papiledema. Namun,
gejala sangat bervariasi bergantung pada tempat lesi dan kecepatan pertumbuhannya.
a. Nyeri kepala
Nyeri dapat digambarkan bersifat dalam, terus menerus, tumpul, dan
kadang-kadang hebat sekali. Nyeri ini paling hebat saat pagi hari dan menjadi
lebih hebat pada saat beraktivitas yag biasanya meningkatkan tekanan
intrakranial, seperti membungkuk, batuk, atau mengejan sewaktu buang air
besar. Nyeri kepala sedikit berkurang jika diberi aspirin dan kompres dingin di
tempat yang sakit.
b. Mual dan muntah
Mual dan muntah terjadi akibat rangsangan pusat muntah di medula
oblongata. Muntah paling sering terjadi pada anak dan berhubungan dengan
peningkatan ICP disertai pergeseran batang otak. Muntah dapat terjadi tanpa
didahului mual dan dapat bersifat proyektil.
c. Papiledema
Papiledema disebabkan oleh stasis vena yang menimbulkan pembengkakan
dan pembesaran diskus optikus. Bila terlihat pada pemeriksaan funduskopi,
tanda ini mengisyaratkan peningkatan ICP. Dapat terjadi gangguan penglihatan
yang berkaitan dengan papiledema yaitu pembesaran bintik dan amaurosis
fugaks (ketika penglihatan berkurang).
Penatalaksanaan
Pengobatan bedah pada tumor otak terutama berkisar di sekitar reseksi bedah,
kemoterapi, dan terapi radiasi. Semakin berkembanganya teknik pembedahan,
penemuan laser, dan alat-alat yang dibantu komputer memungkinkan reseksi tepat
pada pasien tumor otak yang dapat dicapai. Reseksi bedah tetap merupakan terapi
25
utama karena dapat membunuh dan membuang sel tumor. Selain itu, reseksi bedah
memungkinkan evaluasi histologis dan penentuan derajat tumor secara akurat
sementara memungkinkan pasien kembali berfungsi aktif selama menjalani terapi
tambahan. Kemoterapi dilakukan dalam berbagai cara, termasuk cara sistemik, intraarterial, atau dengan memasukkan polimer yang membawa agen kemoterapi secara
langsung ke jaringan tumor.
2.4.2 Tumor Medula Spinalis
Definisi
Tumor medula spinalis adalah tumor yang berkembang dalam tulang belakang
atau isinya dan biasanya menimbulkan gejala akibat terlibatnya medula spinalis atau
radiks saraf. Tumor medula spinalis primer merupakan seperenam dari semua tumor
otak dan mempunyai prognosis yang lebih baik, karena sekitar 60%nya bersifat jinak.
Klasifikasi
Tumor medula spinalis diklasifikasikan sesuai lokasi tumor terhadap dura dan
medula spinalis. Klasifikasi utama membedakan tumor ekstradural dan intradural.
Tumor intradural kemudian dibagi lagi menjadi ekstramedular dan intramedular.
a. Tumor ekstradural
Pada umumnya berasal dari kolumna vertebralis atau dari dalam ruang
ekstradural. Sembilan puluh persen tumor ekstradural bersifat ganas. Tumor
kolumna vertebralis yang paling umum adalah karsinoma metastasis.
Neoplasma ekstradural dalam ruangan ekstradural adalah karsinoma dan
limfoma yang biasanya bermetastasis.
Gejala pertama umumnya berupa nyeri yang menetap dan terbatas pada
daerah tumor, diikuti oleh nyeri yang menjalar menurut pola dermatom. Nyeri
setempat ini paling hebat terjadi pada malam hari dan menjadi lebih hebat oleh
26
gerakan tulang belakang dan istirahat baring. Nyeri radikular diperberat saat
batuk dan mengedan. Nyeri dapat berlangsung selama beberapa minggu atau
beberapa bulan sebelum keterlibatan medula spinalis.
Perjalanan klinis yang lazim dari tumor ekstradural adalah kompresi cepat
akibat invasi tumor pada medula spinalis, kolaps kolumna vertebralis, atau
perdarahan dari dalam metastasis. Begitu timbul gejala kompresi medula
spinalis, maka dengan cepat fungsi medula spinalis akan hilang sama sekali.
Kelemahan spastik dan hilangnya sensasi getar dan posisi sendi di bawah
tingkat lesi merupakan tanda awal kompresi medula spinalis. Tanpa dekompresi
bedah yang cepat, parestesia dan defisit sensorik akan cepat berkembang
menjadi paraplegia yang ireversibel.
Diagnosis tumor medula spinalis ekstradural dapat ditegakkan dengan
radiogram
tulang
belakang.
Sebagian
besar
penderita
tumor
akan
sama
seperti
mielogram
dalam
akurasi
diagnostik.
CSF
memperlihatkan kadar protein yang meningkat dan kadar glukosa yang normal.
Pengobatan bergantung pada sifat alami lesi; metastasis ekstradural
membutuhkan penanganan segera. Terapi yang diperlukan adalah analgesik,
kortikosteroid, terapi radiasi, kemoterapi, dan terapi hormonal.
b. Tumor intradural
1) Tumor ekstramedular intradural
Terletak di antara dura mater dan medula spinalis. Sebagian besar tumor
di daerah ini merupakan neurofibroma atau meningioma jinak. Tumor-tumor
ini dapat menekan medula spinalis dan dapat diangkat dengan pembedahan.
27
grisea.
Kerusakan
serabut-serabut
yang
menyilang
ini
kerusakan pada sel-sel kornu anterior. Gejala dan tanda lainnya adalah nyeri
tumpul sesuai dengan tinggi lesi, impotensi pada pria, dan gangguan sfingter
pada kedua jenis kelamin.
Radiogram akan memperlihatkan pelebaran kanalis vertebralis dan erosi
pedikulus. Pada mielogram, CT scan, atau MRI tampak pembesaran medula
spinalis. Terkadang dapat dilakukan pengangkatan tumor intramedular,
terutama pada ependimoma dan hemangioblastoma, namun sering terjadi
kekambuhan.
29
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Infeksi adalah invasi dan multiplikasi kuman (mikro-organisme) di dalam
jaringan tubuh. Yang dimaksud dengan kuman ialah bakteri, spiroketa riketsia,
protozoa, metazoa, dan virus. Penyakit infeksi pada sistem saraf yang kami bahas
pada makalah ini adalah meningitis dan ensefalitis. Meningitis adalah infeksi cairan
otak disertai radang yang mengenai piameter (lapisan dalam selaput otak) dan
arakhnoid serta dalam derajat yang lebih ringan mengenai jaringan otak dan medula
spinalis yang superfisial. Meningitis dibagi menjadi dua golongan berdasarkan
perubahan yang terjadi pada cairan otak yaitu meningitis serosa dan meningitis
purulenta. Ensefalitis adalah suatu peradangan akut dari jaringan parenkim otak yang
disebabkan oleh infeksi dari berbagai macam mikroorganisme dan ditandai dengan
gejala-gejala umum dan manifestasi neurologis. Berbagai macam mikroorganisme
dapat menimbulkan ensefalitis, misalnya bakteria, protozoa, cacing, jamur, spirokaeta
dan virus. Penyebab yang terpenting dan tersering ialah virus. Infeksi dapat terjadi
karena virus langsung menyerang otak atau reaksi radang akut karena infeksi sistemik
atau vaksinasi terdahulu.
30
3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para
pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya :
31
DAFTAR PUSTAKA
-
Ganong, William F. 2003. Fisiologi Saraf & Sel Otot. Dalam H. M. Djauhari
Widjajakusumah: Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 20. Jakarta: EGC.
Lumbantobing, S. M. 2012. Neurologi Klinik: Pemeriksaan Fisik dan Mental.
6. Jakarta: EGC
R.D, Adams., M, Victor. 1997. Principles of Neurology. 6th ed vol 2. New York:
McGraw Hill Co
32