Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Stroke adalah suatu penyakit defisit neurologis akut yang disebabkan oleh
gangguan pembuluh darah otak yang terjadi secara mendadak dan dapat
menimbulkan cacat atau kematian. Stroke atau penyakit serebrovaskuler adalah
penyebab kematian utama kedua setelah jantung. Tercatat lebih dari 4,6 juta orang
meninggal di seluruh dunia, dua dari tiga kematian terjadi di negara berkembang. Di
Indonesia dari tahun ke tahun, jumlah penderita stroke mengalami peningkatan
seiring dengan meningkatnya status ekonomi masyarakat Indonesia dan adanya
transisi epidemiologik dan demografik. Bahkan, Indonesia merupakan negara dengan
jumlah penderita stroke terbesar di Asia Penyakit stroke tidak hanya diderita oleh
orang usia lanjut, tetapi juga usia produktif, dimana usia produktif merupakan tulang
punggung bangsa untuk kemajuan suatu negara yang kontribusi kerjanya ditunggu
bangsa.
Setiap tahun, lebih dari 2 juta orang mengalami cedera kepala, 75.000
diantaranya meninggal dunia dan lebih dari 100.000 orang yang selamat akan
mengalami disabilitas permanen. Kasus trauma terbanyak disebabkan oleh
kecelakaan lalu lintas, disamping kecelakaan industri, kecelakaan olahraga, jatuh dari
ketinggian maupun akibat kekerasan. Trauma kepala didefinisikan sebagai trauma
non degeneratif non konginetal yang terjadi akibat ruda paksa mekanis eksteral
yang menyebabkan kepala mengalami gangguan kognitif, fisik dan psikososial baik
sementara atau permanen. Trauma kepala dapat menyebabkan kematian/kelumpuhan
pada usia dini.

1.2 Tujuan Pembahasan


Dalam penyusunan makalah ini tentunya memiliki tujuan yang diharapkan
berguna bagi para pembaca dan khususnya kepada penulis sendiri. Dimana tujuannya
dibagi menjadi dua macam yang pertama secara umum makalah ini bertujuan
menambah wawasan mahasiswa/I dalam menguraikan suatu persoalan secara holistik
dan tepat, dan melatih pemikiran ilmiah dari seorang mahasiswa/I fakultas
kedokteran, dimana pemikiran ilmiah tersebut sangat dibutuhkan bagi seorang dokter
agar mampu menganalisis suatu persoalan secara cepat dan tepat. Sedangkan secara
khusus tujuan penyusunan makalah ini ialah sebagai berikut :
Melengkapi tugas small group discussion skenario tiga modul dua puluh dua
dengan judul skenario Mendadak Pelo.
Menambah khasanah ilmu pengetahuan para pembaca dan penulis.
Sebagai bahan referensi mahasiswa/I Fakultas Kedokteran UISU dalam
menghadapi ujian akhir modul.
Itulah merupakan tujuan dalam penyusunan makalah ini, dan juga sangat
diharapkan dapat berguna setiap orang yang membaca makalah ini. Semoga seluruh
tujuan tersebut dapat tercapai dengan baik.

1.3

Metode dan Teknik


Dalam penyusunan makalah ini kami mengembangkan suatu metode yang

sering digunakan dalam pembahasan-pembahasan makalah sederhana, dimana kami


menggunakan metode dan teknik secara deskriptif dimana tim penyusun mencari
sumber data dan sumber informasi yang akurat lainnya setelah itu dianalisis
sehinggga diperoleh informasi tentang masalah yang akan dibahas setelah itu
berbagai referensi yang didapatkan dari berbagai sumber tersebut disimpulan sesuai
dengan pembahasan yang akan dilakukan dan sesuai dengan judul makalah dan
dengan tujuan pembuatan makalah ini.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Skenario
SEMESTER VII MODUL XXII (PERSARAFAN)
SKENARIO 3
MENDADAK PELO
Tuan H, berumur 65 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan hemiparese
dextra secara tiba-tiba sewaktu baru bangun tidur, diikuti dengan bicara pelo. Sakit
kepala (-), muntah proyektil (-), kejang parsial (-). Dokter rumah sakit menghitung
SSS pasien untuk menentukan diagnosa dan pemeriksaan penunjang lebih lanjut.
Sebelumnya, 15 tahun yang lalu pasien pernah mengalami commtio cerebri dengan
GCS 13.
Pada pemeriksaan diperoleh:
Sens

: CM

TD

: 160/100 mmHg

HR

: 88 x/menit

Temp : 37C

2.2 Cerebrovascular Disease (CVD)


2.2.1 Definisi
Cerebrovascular disease (CVD) atau stroke mengacu kepada setiap gangguan
neurologik mendadak yang terjadi akibat pembatasan atau berhentinya aliran darah
melalui sistem suplai arteri otak. Istilah stroke biasanya digunakan secara spesifik
untuk menjelaskan infark serebrum. Istilah yang masih lama dan masih sering
digunakan adalah cerebrovaskular accident (CVA).

Secara umum, stroke digunakan sebagai sinonim Cerebro Vascular Disease


(CVD) dan Kurikulum Inti Pendidikan Dokter di Indonesia (KIPDI) mengistilahkan
stroke sebagai penyakit akibat gangguan peredaran darah otak (GPDO). Stroke atau
gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan otak (brain attack),
merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas). Gejala stroke dapat bersifat fisik,
psikologis dan perilaku. Gejala fisik yang paling khas adalah paralisis, kelemahan,
hilangnya sensasi diwajah, lengan atau tungkai disalah satu sisi tubuh, kesulitan
berbicara, kesulitan menelan dan hilangnya sebagian penglihatan disatu sisi. Seorang
dikatakan terkena stroke jika salah satu atau kombinasi apapun dari gejala diatas
berlangsung selama 24 jam atau lebih.
2.2.2 Epidemiologi
Insiden stroke bervariasi di berbagai negara di Eropa, diperkirakan terdapat
100-200 kasus stroke baru per 10.000 penduduk per tahun. Di Amerika diperkirakan
terdapat lebih dari 700.000 insiden stroke per tahun, yang menyebabkan lebih dari
160.000 kematian per tahun, dengan 4.8 juta penderita stroke yang bertahan hidup.
Rasio insiden pria dan wanita adalah 1.25 pada kelompok usia 55-64 tahun, 1.50 pada
kelompok usia 65-74 tahun, 1.07 pada kelompok usia 75-84 tahun dan 0.76 pada
kelompok usia diatas 85 tahun.
2.2.3 Klasifikasi
Stroke sebagai diagnosis klinis untuk gambaran manifestasi lesi vaskular
serebral, dapat dibagi dalam:
1. Transient ischemic attack (TIA)
2. Stroke-in-evolution
3. Completed stroke yang dibagi menjadi:
a. Completed stroke yang hemoragik
b. Completed stroke yang non-hemoragik

Pembagian klinis lain sebagai variasi klasifikasi di atas adalah:


1) Stroke non-hemoragik, yang mencakup:
a. Transient ischemic attack (TIA)
b. Stroke-in-evolution
c. Thrombotic stroke
d. Embolic stroke
e. Stroke akibat kompresi terhadap arteri oleh proses di luar arteri, seperti
tumor, abses, granuloma
2) Stroke hemoragik
Klasifikasi stroke dalam jenis yang hemoragik dan non-hemoragik memisahkan
secara tegas kedua macam itu, seolah-olah dapat dibedakan berdasarkan manifestasi
klinis masing-masing. Walaupun peningkatan tekanan intrakranial yang serentak
mengiringi stroke hemoragik cenderung menghasilkan sakit kepala dan muntahmuntah beserta penurunan derajat kesadaran, namun demikian semau gejala itu pun
dapat dijumpai pada stroke non hemoragik (trombotik). Satu-satunya cara yang akurat
untuk mendiferensiasi stroke hemoragik dan non-hemoragik ialah dengan bantuan CT
scan dan pungsi lumbal.
Stroke hemoragik, stroke ini merupakan perdarahan serebral dan mungkin
perdarahan subaraknoid, disebabkan oleh pecahnya pembuluh darah otak pada area
otak tertentu. Biasanya kejadian saat melakukan aktifitas atau saat aktif, namun bisa
juga terjadi saat istirahat. Kesadaran klien umumnya menurun. Stroke nonhemoragik, stroke ini dapat berupa iskemia atau emboli dan trombosis serebral,
biasanya terjadi saat istirahat, bangun tidur, atau dipagi hari. Tidak terjadi perdarahan
namun terjadi iskemia yang menimbulkan hipoksia dan selanjutnya dapat
menimbulkan edema sekunder.

2.2.4 Etiologi dan Faktor Risiko


Beberapa penyebab dari stroke adalah:
a. Trombosis (bekuan darah didalam pembuluh darah otak dan leher).
Aterosklerosis serebral dan pelambatan sirkulasi serebral adalah penyebab
utama, trombosis serebral merupakan penyebab yang umum pada serangan
stroke.
b. Embolisme serebral (bekuan darah atau material lain yang dibawa ke otak
dari bagian tubuh yang lain). Abnormalitas patologik pada jantung kiri,
seperti endokarditis, infeksi, penyakit jantung rematik dan infark miokard
serta infeksi pulmonal adalah tempat-tempat asal emboli. Embolus biasanya
menyumbat arteri serebral tengah atau cabang-cabang yang merusak
sirkulasi serebral.
c. Iskemia (penurunan aliran darah ke area otak). Iskemia serebral (insufisiensi
suplai darah ke otak) terutama karena konstriksi ateroma pada arteri yang
menyuplai darah ke otak.
d. Hemoragi serebral (pecahnya pembuluh darah serebral dengan perdarahan
kedalam jaringan otak atau ruang sekitar otak). Hemoragi dapat terjadi diluar
durameter (hemoragi ekstradural dan epidural), dibawah durameter
(hemoragi subdural), diruang subarakhnoid (hemoragi subarakhnoid) atau
didalam subtansi otak (hemoragi intraserebral).
Stroke pada anak-anak dan orang dewasa muda sering ditemukan jauh lebih
sedikit daripada hasil di usia tua, tetapi sebagian stroke pada kelompok usia yang
lebih muda bisa lebih buruk. Kondisi turun temurun predisposisi untuk stroke
termasuk penyakit sel sabit, sifat sel sabit, penyakit hemoglobin SC (sickle cell),
homosistinuria, hiperlipidemia dan trombositosis. Namun belum ada perawatan yang
memadai untuk hemoglobinopati, tetapi homosistinuria dapat diobati dengan diet dan
hiperlipidemia akan merespon untuk diet atau mengurangi lemak obat jika perlu.

Identifikasi dan pengobatan hiperlipidemia pada usia dini dapat memperlambat proses
aterosklerosis dan mengurangi risiko stroke atau infark miokard pada usia dewasa.
Faktor risiko untuk terjadinya stroke dapat diklasifikasikan berdasarkan
kemungkinannya untuk dimodifikasi atau tidak (nonmodifiable, modifiable, atau
potentially modifiable) dan bukti yang kuat (well documented atau less well
documented).
1. Non modifiable risk factors:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Berat badan lahir rendah
d. Ras/etnis
e. Genetik
2. Modifiable risk factors
a. Well-documented and modifiable risk factors
1) Hipertensi
2) Paparan asap rokok
3) Diabetes
4) Atrial fibrilasi dan beberapa kondisi jantung tertentu
5) Dislipidemia
6) Stenosis arteri karotis
7) Sickle cell disease
8) Terapi hormonal pasca menopause
9) Diet yang buruk
10) Inaktivitas fisik
11) Obesitas

b. Less well-documented and modifiable risk factors


1) Sindroma metabolik
2) Penyalahgunaan alkohol
3) Penggunaan kontrasepsi oral
4) Sleep-disordered breathing
5) Nyeri kepala migren
6) Hiperhomosisteinemia
7) Peningkatan lipoprotein (a)
8) Peningkatan lipoprotein-associated phospholipase
9) Hypercoagulability
10) Inflamasi
11) Infeksi

2.2.5 Gejala Klinis


Tanda dan gejala dari stroke dapat berupa defisit lapang pandang seperti
kehilangan setengah lapang penglihatan, Kehilangan penglihatan perifer, dan
diplopia. Defisit motorik (seperti hemiparesis, hemiplegia, attaksia, disartria dan
disfagia). Defisit sensori (seperti parestesia). Defisit verbal (seperti afasia eksprensif:
tidak mampu membentuk kata yang dapat dipahami, Afasia reseptif: tidak mampu
memahami kata yang dibicarakan, Afasia global: kombinasi afasia eksprensif dan
reseptif). Defisit kognitif (seperti kehilangan memori jangka pendek dan panjang,
penurunan lapang perhatian, perubahan penilaian, kerusakan untuk berkosentrasi).
Defisit emosional (seperti kehilangan kontrol diri, labilitas emosional, penurunan
toleransi pada situasi yang menimbulkan stres, depresi, menarik diri, perasaan
isolasi).

2.2.6 Patofisiologi
Gangguan pasokan aliran darah otak dapat terjadi di mana saja di dalam arteriarteri yang membentuk Sirkulus Willisi: arteria karotis interna dan sistem
vertebrobasilar atau semua cabang-cabangnya. Secara umum, apabila aliran darah ke
jaringan otak terputus selama 15 sampai 20 menit, akan terjadi infark atau kematian
jaringan. Perlu diingat bahwa oklusi di suatu arteri tidak selalu menyebabkan infark
di daerah otak yang diperdarahi oleh arteri tersebut. Alasannya adalah bahwa
mungkin terdapat sirkulasi kolateral yang memadai ke daerah tersebut. Proses
patologik yang mendasari mungkin salah satu dari berbagai proses yang terjadi di
dalam pembuluh darah yang memperdarahi otak. Patologinya dapat berupa (1)
keadaan penyakit pada pembuluh itu sendiri, seperti pada aterosklerosis dan
trombosis, robeknya dinding pembuluh, atau peradangan; (2) berkurangnya perfusi
akibat gangguan status aliran darah, misalnya syok atau hiperviskositas darah; (3)
gangguan aliran darah akibat bekuan atau embolus infeksi yang berasal dari jantung
atau pembuluh ekstrakranium; atau (4) ruptur vaskular di dalam jaringan otak atau
ruang subaraknoid.

Suatu stroke mungkin didahului oleh Transient Ischemic Attack (TIA) yang
serupa dengan angina pada serangan jantung. TIA adalah serangan-serangan defisit
neurologik yang mendadak dan singkat akibat iskemia otak fokal yang cenderung
membaik dengan kecepatan dan tingkat penyembuhan bervariasi tetapi biasanya
dalam 24 jam. TIA mendahului stroke trombotik pada sekitar 50% sampai 75%
pasien.
Secara patologi stroke dibedakan menjadi sebagai berikut:
1) Stroke Iskemik
Infark iskemik serebri, sangat erat hubungannya dengan aterosklerosis
(terbentuknya

ateroma)

dan

arteriolosklerosis.

Aterosklerosis

dapat

menimbulkan bermacam-macam manifestasi klinik dengan cara:


a.

Menyempitkan lumen pembuluh darah dan mengakibatkan insufisiensi


aliran darah

b.

Oklusi mendadak pembuluh darah karena terjadinya thrombus atau


perdarahan aterom

c.

Merupakan terbentuknya thrombus yang kemudian terlepas sebagai


emboli

d.

Menyebabkan dinding pembuluh menjadi lemah dan terjadi aneurisma


yang kemudian dapat robek.
Embolus akan menyumbat aliran darah dan terjadilah anoksia jaringan otak

di bagian distal sumbatan. Di samping itu, embolus juga bertindak sebagai


iritan yang menyebabkan terjadinya vasospasme lokal di segmen di mana
embolus berada. Gejala kliniknya bergantung pada pembuluh darah yang
tersumbat. Ketika arteri tersumbat secara akut oleh trombus atau embolus, maka
area sistem saraf pusat (SSP) yang diperdarahi akan mengalami infark jika tidak
ada perdarahan kolateral yang adekuat. Di sekitar zona nekrotik sentral,

10

terdapat penumbra iskemik yang tetap viabel untuk suatu waktu, artinya
fungsinya dapat pulih jika aliran darah baik kembali.
Iskemia SSP dapat disertai oleh pembengkakan karena dua alasan: Edema
sitotoksik yaitu akumulasi air pada sel-sel glia dan neuron yang rusak; Edema
vasogenik yaitu akumulasi cairan ektraselular akibat perombakan sawar darahotak. Edema otak dapat menyebabkan perburukan klinis yang berat beberapa
hari setelah stroke mayor, akibat peningkatan tekanan intrakranial dan kompresi
struktur-struktur di sekitarnya.
2) Stroke Hemoragik
Stroke hemoragik, yang merupakan sekitar 15% sampai 20% dari semua
stroke, dapat terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur
sehingga terjadi perdarahan ke dalam ruang subarakhnoid atau langsung ke
dalam jaringan otak. Sebagian dari lesi vaskular yang dapat menyebabkan
perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah aneurisma sakular dan malformasi
arteriovena (MAV).
Mekanisme lain pada stroke hemoragik adalah pemakaian kokain atau
amfetamin, karena zat-zat ini dapat menyebabkan hipertensi berat dan
perdarahan intraserebrum atau subarakhnoid. Perdarahan intraserebrum ke
dalam jaringan otak (parenkim) paling sering terjadi akibat cedera vaskular
yang dipicu oleh hipertensi dan ruptur salah satu dari banyak arteri kecil yang
menembus jauh ke dalam jaringan otak. Biasanya perdarahan di bagian dalam
jaringan otak menyebabkan defisit neurologik fokal yang cepat dan memburuk
secara progresif dalam beberapa menit sampai kurang dari 2 jam. Hemiparesis
di sisi yang berlawanan dari letak perdarahan merupakan tanda khas pertama
pada keterlibatan kapsula interna.

11

Penyebab pecahnya aneurisma berhubungan dengan ketergantungan dinding


aneurisma yang bergantung pada diameter dan perbedaan tekanan di dalam dan
di luar aneurisma. Setelah pecah, darah merembes ke ruang subarakhnoid dan
menyebar ke seluruh otak dan medula spinalis bersama cairan serebrospinalis.
Darah ini selain dapat menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial, juga
dapat melukai jaringan otak secara langsung oleh karena tekanan yang tinggi
saat pertama kali pecah, serta mengiritasi selaput otak.
2.2.7 Diagnosis
Untuk mendapatkan diagnosis dan penentuan jenis patologi stroke, segera
ditegakkan dengan:
1) Skor Stroke: Algoritma Gajah Mada

2) Pemeriksaan penunjang
Untuk membedakan jenis stroke iskemik dengan stroke perdarahan
dilakukan pemeriksaan radiologi CT-Scan kepala. Pada stroke hemoragik
akan terlihat adanya gambaran hiperdens, sedangkan pada stroke iskemik
akan terlihat adanya gambaran hipodens.

12

2.2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang cepat, tepat, dan cermat memegang peranan besar dalam
menentukan hasil akhir pengobatan. Betapa pentingnya pengobatan stroke sedini
mungkin, karena jendela terapi dari stroke hanya 3-6 jam. Hal yang harus dilakukan
adalah:
-

Stabilitas pasien dengan tindakan ABC (Airway, breathing, Circulation)

Pertimbangkan intubasi bila kesadaran stupor atau koma atau gagal napas 19

Pasang jalur infus intravena dengan larutan salin normal 0,9 % dengan
kecepatan 20 ml/jam, jangan memakai cairan hipotonis seperti dekstrosa 5 %
dalam air dan salin 0, 45 %, karena dapat memperhebat edema otak

Berikan oksigen 2-4 liter/menit melalui kanul hidung

Jangan memberikan makanan atau minuman lewat mulut

Buat rekaman elektrokardiogram (EKG) dan lakukan foto rontgen toraks

Ambil sampel untuk pemeriksaan darah: pemeriksaan darah perifer lengkap


dan trombosit, kimia darah (glukosa, elektrolit, ureum, dan kreatinin), masa
protrombin, dan masa tromboplastin parsial

Jika ada indikasi, lakukan tes-tes berikut: kadar alkohol, fungsi hati, gas
darah arteri, dan skrining toksikologi

Tegakkan diagnosis berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik

CT Scan atau resonansi magnetik bila alat tersedia

Terapi darurat memiliki tiga tujuan, yaitu: yang pertama mencegah terjadinya
cedera otak akut dengan memulihkan perfusi ke daerah iskemik non infark, yang
kedua membaikkan cedera saraf sedapat munkin, yang ketiga mencegah cedera
neurologik lebih lanjut dengan melindungi sel didaerah iskemik dari kerusakan lebih
lanjut.
Pada stroke iskemik akut, mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari
apa yang disebut sebagai strategi neuroprotektif. Terapinya dapat berupa hipotermia,
13

dan pemakaian obat neuroprotektif seperti antikoagulasi, trombolisis intravena,


trombolisis intra arteri. Selain itu terapi yang digunakan adalah terapi perfusi dimana
dilakukan induksi hipertensi untuk meningkatkan tekanan darah arteri rata-rata
sehingga perfusi otak dapat meningkat. Pengendalian edema dan terapi medis umum
juga dilakukan, serta terapi bedah untuk mencegah tekanan dan distorsi pada jaringan
yang masih sehat.
2.2.9 Komplikasi
Komplikasi medis yang sering menyebabkan kematian dalam bulan pertama
setelah stroke adalah: yang pertama terjadi pembengkakan otak diikuti oleh dislokasi
yang menyebabkan tertekannya pusat-pusat vital diotak yang mengendalikan
pernapasan dan denyut jantung. Kedua, terjadi pneumonia aspirasi yang diakibatkan
masuknya makanan atau cairan kedalam paru oleh karena mengalami disfagia.
Ketiga, terjadi bekuan darah di arteri jantung dan paru. Keempat, terjadi infeksi
saluran kemih, infeksi dada, dan infeksi kulit akibat dekubitus. Kelima, terjadi
komplikasi kardiovaskuler seperti gagal jantung.
Setelah stroke iskemik atau perdarahan intraserebrum, sel yang mati dan
hematom itu diganti oleh kista yang mengandung cairan serebrospinalis. Pada kondisi
ini mungkin pasien mengalami komplikasi yang dapat menyebabkan kematian atau
cacat. Gejala sisa stroke mencakup komplikasi antara lain: 80% pasien stroke
mengalami penurunan parsial atau total gerakan dan kekuatan lengan atau tungkai di
salah satu sisi tubuh, 30% mengalami masalah komunikasi, 30% mengalami kesulitan
menelan (disfagia), 10% mengalami masalah melihat, banyak pasien stroke menderita
sakit kepala, tanpa pencegahan yang memadai, 10-20% pasien dapat mengalami
dekubitus.

14

2.2.10 Prognosis
Prognosis stroke dapat dilihat dari 6 aspek yakni: death, disease, disability,
discomfort, dissatisfaction, dan destitution. Keenam aspek prognosis tersebut terjadi
pada stroke fase awal atau pasca stroke. Untuk mencegah agar aspek tersebut tidak
menjadi lebih buruk maka semua penderita stroke akut harus dimonitor dengan hatihati terhadap keadaan umum, fungsi otak, EKG, saturasi oksigen, tekanan darah dan
suhu tubuh 20 secara terus-menerus selama 24 jam setelah serangan stroke.
Prognosis fungsional stroke pada infark lakuner cukup baik karena tingkat
ketergantungan dalam activity daily living (ADL) hanya 19 % pada bulan pertama
dan meningkat sedikit (20 %) sampai tahun pertama. Sekitar 30-60 % penderita
stroke yang bertahan hidup menjadi tergantung dalam beberapa aspek aktivitas hidup
sehari-hari. Dari berbagai penelitian, perbaikan fungsi neurologik dan fungsi aktivitas
hidup sehari-hari pasca stroke menurut waktu cukup bervariasi.
Suatu penelitian mendapatkan perbaikan fungsi paling cepat pada minggu
pertama dan menurun pada minggu ketiga sampai 6 bulan pasca stroke. Prognosis
stroke juga dipengaruhi oleh berbagai faktor dan keadaan yang terjadi pada penderita
stroke. Hasil akhir yang dipakai sebagai tolok ukur diantaranya outcome fungsional,
seperti kelemahan motorik, disabilitas, quality of life, serta mortalitas. Prognosis
jangka panjang setelah TIA dan stroke batang otak/serebelum ringan secara signifikan
dipengaruhi oleh usia, diabetes, hipertensi, stroke sebelumnya, dan penyakit arteri
karotis yang menyertai. Pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik
dibandingkan pasien dengan TIA memiliki prognosis yang lebih baik dibandingkan
pasien dengan stroke minor. Tingkat mortalitas kumulatif pasien dalam penelitian ini
sebesar 4,8 % dalam 1 tahun dan meningkat menjadi 18,6 % dalam 5 tahun.

15

2.3 Trauma Kepala


2.3.1 Definisi
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.
Menurut Brunner dan Suddarth (2001), cedera kepala adalah cedera yang
terjadi pada kulit kepala, tengkorak dan otak, sedangkan Doenges, (1999) cedera
kepala adalah cedera kepala terbuka dan tertutup yang terjadi karena, fraktur
tengkorak, kombusio gegar serebri, kontusio memar, leserasi dan perdarahan serebral
subarakhnoid, subdural, epidural, intraserebral, batang otak. Cedera kepala
merupakan proses dimana terjadi trauma langsung atau deselerasi terhadap kepala
yang menyebabkan kerusakan tengkorak dan otak.
Beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa cedera kepala adalah
trauma pada kulit kepala, tengkorak, dan otak yang terjadi baik secara langsung
ataupun tidak langsung pada kepala yang dapat mengakibatkan terjadinya penurunan
kesadaran bahkan dapat menyebabkan kematian.
2.3.2 Klasifikasi
Menurut, Brunner dan Suddarth, (2001) cedera kepala ada 2 macam yaitu:
a. Cedera kepala terbuka
Luka kepala terbuka akibat cedera kepala dengan pecahnya tengkorak atau
luka penetrasi, besarnya cedera kepala pada tipe ini ditentukan oleh massa

16

dan bentuk dari benturan, kerusakan otak juga dapat terjadi jika tulang
tengkorak menusuk dan masuk kedalam jaringan otak dan melukai
durameter saraf otak, jaringan sel otak akibat benda tajam/ tembakan,
cedera kepala terbuka memungkinkan kuman pathogen memiliki abses
langsung ke otak.
b. Cedera kepala tertutup
Benturan kranial pada jaringan otak didalam tengkorak ialah goncangan
yang mendadak. Dampaknya mirip dengan sesuatu yang bergerak cepat,
kemudian serentak berhenti dan bila ada cairan akan tumpah. Cedera kepala
tertutup meliputi: kombusio gagar otak, kontusio memar, dan laserasi.
Rosjidi (2007), mengklasifikasikan trauma kepala menjadi derajat berdasarkan
nilai dari Glasgow Coma Scale (GCS) nya, yaitu:
a. Ringan
1) GCS = 13 15
2) Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30
menit
3) Tidak ada kontusio tengkorak, tidak ada fraktur cerebral, hematoma.
b. Sedang
1) GCS = 9 12
2) Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi
kurang dari 24 jam.
3) Dapat mengalami fraktur tengkorak.
c. Berat
1) GCS = 3 8
2) Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam.
17

3) Juga meliputi kontusio serebral, laserasi, atau hematoma intrakranial.


Berdasarkan ATLS (2004) cedera kepala diklasifikasikan dalam berbagai aspek.
Secara praktis dikenal 3 deskripsi klasifikasi, yaitu berdasarkan; mekanisme, beratnya
cedera, dan morfologi.
1. Mekanisme Cedera Kepala
Cedera otak dibagi atas cedera tumpul dan cedera tembus. Cedera tumpul
biasanya berkaitan dengan kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau pukulan
benda tumpul. Cedera tembus disebabkan oleh luka tembak ataupun tusukan.
2. Beratnya Cedera Kepala
Glasgow Coma Scale (GCS) digunakan secara umum dalam deskripsi
beratnya penderita cedera otak. Penderita yang mampu membuka kedua
matanya secara spontan, mematuhi perintah, dan berorientasi mempunyai nilai
GCS total sebesar 15, sementara pada penderita yang keseluruhan otot
ekstrimitasnya flaksid dan tidak membuka mata ataupun tidak bersuara maka
nilai GCS-nya minimal atau sama dengan 3. Nilai GCS sama atau kurang dari 8
didefinisikan sebagai koma atau cedera otak berat. Berdasarkan nilai GCS,
maka penderita cedera otak dengan nilai GCS 9- 13 dikategorikan sebagai
cedera otak sedang, dan penderita dengan nilai GCS 14-15 dikategorikan
sebagai cedera otak ringan.

18

2.3.3 Patofisiologi
Pada cedera kepala, kerusakan otak dapat terjadi dalam dua tahap yaitu cedera
primer dan cedera sekunder. Cedera primer merupakan cedera pada kepala sebagai
akibat langsung dari suatu ruda paksa, dapat disebabkan oleh benturan langsung
kepala dengan suatu benda keras maupun oleh proses akselerasi-deselerasi gerakan
kepala.
Pada trauma kapitis, dapat timbul suatu lesi yang bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil, tanpa kerusakan pada
duramater, dan dinamakan lesi kontusio. Lesi kontusio di bawah area benturan
disebut lesi kontusio coup, di seberang area benturan tidak terdapat gaya kompresi,
sehingga tidak terdapat lesi. Jika terdapat lesi, maka lesi tersebut dinamakan lesi
kontusio countercoup. Kepala tidak selalu mengalami akselerasi linear, bahkan

19

akselerasi yang sering dialami oleh kepala akibat trauma kapitis adalah akselerasi
rotatorik.
Bagaimana caranya terjadi lesi pada akselerasi rotatorik adalah sukar untuk
dijelaskan secara terinci. Tetapi faktanya ialah, bahwa akibat akselerasi linear dan
rotatorik terdapat lesi kontusio coup, countercoup dan intermediate. Yang disebut lesi
kontusio intermediate adalah lesi yang berada di antara lesi kontusio coup dan
countrecoup. Akselerasi-deselerasi terjadi karena kepala bergerak dan berhenti secara
mendadak dan kasar saat terjadi trauma. Perbedaan densitas antara tulang tengkorak
(substansi solid) dan otak (substansi semi solid) menyebabkan tengkorak bergerak
lebih cepat dari muatan intra kranialnya. Bergeraknya isi dalam tengkorak memaksa
otak membentur permukaan dalam tengkorak pada tempat yang berlawanan dari
benturan (countrecoup).
Kerusakan sekunder terhadap otak disebabkan oleh siklus pembengkakan dan
iskemia otak yang menyebabkan timbulnya efek kaskade, yang efeknya merusak
otak. Cedera sekunder terjadi dari beberapa menit hingga beberapa jam setelah cedera
awal. Setiap kali jaringan saraf mengalami cedera, jaringan ini berespon dalam pola
tertentu yang dapat diperkirakan, menyebabkan berubahnya kompartemen intrasel
dan ekstrasel. Beberapa perubahan ini adalah dilepaskannya glutamin secara
berlebihan, kelainan aliran kalsium, produksi laktat, dan perubahan pompa natrium
pada dinding sel yang berperan dalam terjadinya kerusakan tambahan dan
pembengkakan jaringan otak. Neuron atau sel-sel fungsional dalam otak, bergantung
dari menit ke menit pada suplai nutrien yang konstan dalam bentuk glukosa dan
oksigen, dan sangat rentan terhadap cedera metabolik bila suplai terhenti. Cedera
mengakibatkan hilangnya kemampuan sirkulasi otak untuk mengatur volume darah
sirkulasi yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam
otak.

20

2.3.4 Gejala Klinis


Gejala-gejala yang ditimbulkan tergantung pada besarnya dan distribusi cedera
otak.
1. Cedera kepala ringan
a. Kebingungan saat kejadian dan kebinggungan terus menetap setelah
cedera.
b. Pusing menetap dan sakit kepala, gangguan tidur, perasaan cemas.
c. Kesulitan berkonsentrasi, pelupa, gangguan bicara, masalah tingkah
laku Gejala-gejala ini dapat menetap selama beberapa hari, beberapa
minggu atau lebih lama setelah konkusio cedera otak akibat trauma
ringan.
2. Cedera kepala sedang
a. Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebinggungan
atau hahkan koma.
b. Gangguan kesedaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba defisit
neurologik, perubahan TTV, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo dan gangguan
pergerakan.
3. Cedera kepala berat
a. Amnesia tidak dapat mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
b. Pupil tidak aktual, pemeriksaan motorik tidak aktual, adanya cedera
terbuka, fraktur tengkorak dan penurunan neurologik.
c. Nyeri, menetap atau setempat, biasanya menunjukan fraktur.
d. Fraktur pada kubah kranial menyebabkan pembengkakan pada area
tersebut.

21

2.3.5 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada cedera kepala memiliki prinsip penanganan untuk
memonitor tekanan intrakranial pasien. Terapi medika mentosa digunakan untuk
menurunkan oedem otak bila terdapat oedem pada gambaran profil CT Scan pada
pasien .Penurunan aktifitas otak juga dibutuhkan dalam prinsip penatalaksanaan pada
cedera kepala agar dapat menurunkan hantaran oksigen dengan induksi koma.Pasien
yang mengalami kejang diberikan terapi profilaksis.
a. Terapi farmakologis
Terapi farmakologi menggunakan cairan intravena ditujukan untuk
mempertahankan status cairan dan menghindari dehidrasi.Bila ditemukan
peningkatan

tekanan

intracranial

yang

refrakter

tanpa

cedera

difus,

autoregulasibaik dan fungsi kardiovaskular adekuat, pasien bisa diberikan


barbiturat. Mekanisme kerja barbiturat adalah dengan menekan metabolisme
serebral, menurunkan aliran darah ke otak dan volume darah serebral, merubah
tonus vaskuler, menahan radikal bebas dari peroksidasi lipid mengakibatkan
supresi burst. Penggunaan saline hipertonis efektif pada neuro trauma dengan
hasil

pengkerutan

otak

sehingga

menurunkan

tekanan

intrakranial,

mempertahankan volume intravaskular volume.Dengan akses vena sentral


diberikan NaCl 3% 75 cc/jam dengan Cl 50%, asetat 50% target natrium 145150 dengan monitor pemeriksaan natrium setiap 4-6 jam. Setelah target tercapai
dilanjutkan dengan NaCl fisiologis sampai 4-5 hari.
b. Terapi nutrisi
Dalam 2 minggu pertama pasien mengalami hipermetabolik, kehilangan
kurang lebih 15% berat badan tubuh per minggu. Penurunan berat badan
melebihi 30% akan meningkatkan mortalitas. diberikan kebutuhan metabolism
istirahat dengan 140% kalori/ hari dengan formula berisi protein > 15%

22

diberikan selama 7 hari. Pilihan enteral feeding dapat mencegah kejadian


hiperglikemi, infeksi.
Pasien dengan CT Scan normal dapat keluar dari UGD dengan peringatan
apabila : mengantuk atau sulit bangun (bangunkan setiap 2 jam), mual dan muntah,
kejang, perdarahan/keluar cairan dari hidung atau telinga, nyeri kepala hebat,
kelemahan/gangguan sensibilitas pada ekstrimitas, bingung dan tingkah laku aneh,
pupil anisokor, penglihatan dobel/gangguan visus, nadi yang terlalu cepat/terlalu
pelan, pola nafas yang abnormal.
Beberapa ahli melakukan skoring cedera kepala sedang dengan Glasgow Coma
Scale Extended (GCSE) dengan menambahkan skala Postrauma Amnesia (PTA)
dengan sub skala 0-7 dimana skor 0 apabila mengalami amnesia lebih dari 3 bulan,
dan skor 7 tidak ada amnesia. Bachelor (2003) membagi cedera kepala sedang
menjadi:
1. Risiko ringan : tidak ada gejala nyeri kepala, muntah dan dizziness
2. Risiko sedang : ada riwayat penurunan kesadaran dan amnesia post trauma
3. Risiko tinggi : nyeri kepala hebat, mual yang menetap dan muntah.
Penanganan cedera kepala sedang sering kali terlambat mendapat penanganan
Karena gejala yang timbul sering tidak dikenali . Gejala terbanyak antara lain :
mudah lupa, mengantuk, nyeri kepala, gangguan konsentrasi dan dizziness.
Penatalaksanaan

utamanya

ditujukan

pada

penatalaksanaan

gejala,

strategi

kompensasi dan modifikasi lingkungan (terapi wicara dan okupasi) untuk disfungsi
kognitif, dan psiko edukasi.
2.3.6 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi akibat trauma kepala adalah:
a. Kejang pasca trauma
23

Kejang yang terjadi setelah masa trauma yang dialami pasien merupakan
salah satu komplikasi serius. Insidensinya sebanyak 10%, terjadi di awal
cedera 4-25% (dalam 7 hari cedera), terjadi terlambat 9-42% (setelah 7 hari
trauma). Faktor risikonya adalah trauma penetrasi, hematom (subdural,
epidural, parenkim), fraktur depresi kranium, kontusio serebri, GCS <10.
b. Demam dan menggigil
Demam dan mengigil akan meningkatkan kebutuhan metabolisme dan
memperburuk outcome. Sering terjadi akibat kekurangan cairan, infeksi,
efek sentral. Penatalaksanaan dengan asetaminofen, neuro muskular
paralisis. Penanganan lain dengan cairan hipertonik, koma barbiturat,
asetazolamid.
c. Hidrosefalus
Berdasarkan lokasinya, penyebab obstruksi dibagi menjadi komunikan dan
non komunikan. Hidrosefalus komunikan lebih sering terjadi pada cedera
kepala dengan obstruksi, kondisi ini terjadi akibat penyumbatan di sistem
ventrikel. Gejala klinis hidrosefalus ditandai dengan muntah, nyeri kepala,
papil odema, demensia, ataksia dan gangguan miksi.
d. Spastisitas
Spastisitas adalah fungsi tonus yang meningkat tergantung pada kecepatan
gerakan.

Membentuk

ekstrimitas

pada

posisi

ekstensi.

Beberapa

penanganan ditujukan pada : pembatasan fungsi gerak, nyeri, pencegahan


kontraktur, dan bantuan dalam memposisikan diri. Terapi primer dengan
koreksi posisi dan latihan ROM, terapi sekunder dengan splinting, casting,
dan terapi farmakologi dengan dantrolen, baklofen, tizanidin, botulinum dan
benzodiazepin.

24

e. Agitasi
Agitasi pasca cedera kepala terjadi > 1/3 pasien pada stadium awal dalam
bentuk delirium, agresi, akatisia, disinhibisi, dan emosi labil. Agitasi juga
sering terjadi akibat nyeri dan penggunaan obat-obat yang berpotensi
sentral. Penanganan farmakologi antara lain dengan menggunakan
antikonvulsan,

antihipertensi,

antipsikotik,

buspiron,

stimulant,

benzodiazepin dan terapi modifikasi lingkungan.


2.3.7 Prognosis
Prognosis pada cedera kepala mengacu pada tingkat keparahan yang dialami.
Nilai GCS saat pasien pertama kali datang ke rumah sakit memiliki nilai prognosis
yang besar. Nilai GCS antara 3-4 memiliki tingkat mortalitas hingga 85%, sedangkan
nilai GCS diatas 12 memiliki nilai mortalitas 5-10%. Gejala-gejala yang muncul
pasca trauma juga perlu diperhatikan seperti mudah letih, sakit kepala berat, tidak
mampu berkonsentrasi dan irritable.

25

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Stroke atau gangguan aliran darah di otak disebut juga sebagai serangan otak
(brain attack), merupakan penyebab cacat (disabilitas, invaliditas). Gejala stroke
dapat bersifat fisik, psikologis dan perilaku. Gejala fisik yang paling khas adalah
paralisis, kelemahan, hilangnya sensasi diwajah, lengan atau tungkai disalah satu sisi
tubuh, kesulitan berbicara, kesulitan menelan dan hilangnya sebagian penglihatan
disatu sisi. Seorang dikatakan terkena stroke jika salah satu atau kombinasi apapun
dari gejala diatas berlangsung selama 24 jam atau lebih. Beberapa penyebab dari
stroke adalah trombosis, embolisme serebral, hemoragi serebral, iskemia, dan lainlain.
Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang
menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau
gangguan fungsional jaringan otak. Menurut Brain Injury Association of America,
cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun
degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat
mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan
kemampuan kognitif dan fungsi fisik.

3.2 Saran
Dalam penyelesaian makalah ini kami juga memberikan saran bagi para
pembaca dan mahasiswa yang akan melakukan pembuatan makalah berikutnya:

Kombinasikan metode pembuatan makalah berikut

Pembahasan yang lebih mendalam

26

Pembahasan secara tepat dan benar


Beberapa poin di atas merupakan saran kami berikan, apabila ada yang ingin
melanjutkan penelitian terhadap makalah ini .
Demikianlah makalah ini disusun serta besar harapan nanti makalah ini dapat
berguna bagi pembaca khususnya bagi mahasisiwa fakultas kedokteran UISU dalam
menambah wawasan dan ilmu pengetahuan. Kami terima kritik dan saran demi
kesempurnaan makalah kami.

27

DAFTAR PUSTAKA
-

Guyton, Arthur C. dan Hall, John E. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 22.
Jakarta: EGC; 1997

Price SA, Wilson LM. Anatomi dan Fisiologi Sistem Saraf. In: Pendit BU,
Hartanto H, Wulansari P, Mahanani DA,Editors. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit, 6th ed. Jakarta: EGC; 2005

Sherwood L. Fisiologi Manusia Dari Sel ke Sistem, 2th ed. Jakarta: EGC;2001.

Snell RS. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. In: Hartanto H, Editors.
Sistem Saraf, 6th ed.Jakarta: EGC.

Snell RS. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. In: Dimanti A,


Editors. Pendahuluan dan Organisasi Susunan Saraf. 5th ed. Jakarta: EGC; 2007.

28

BIODATA PENULIS
1. AGUNG TRIDADI
2. ALDI KURNIA KASMAN
3. CHAIRIA YETISYAM HSB
4. EMMYLYA SUMARTI E.S
5. GUNTAR MADISON
6. HARI MUSTAFA
7. IRMA LESTARI
8. LIKA RIRIN NOPRIDAWATI
9. MUHAMMAD BENNI
10. NANDA NUR AMELIA
11. RETRI DELLA ROSA
12. RODIA AZIZA
13. SISKA HAYULI SIREGAR

29

7112080007
7112080314
7112080125
7112080083
7112080082
7112080246
7112080334
7112080323
7112080179
7112080233
7112080263
7112080001
7112080101

Anda mungkin juga menyukai