Anda di halaman 1dari 27

A.

JUDUL
Pemanfaatan Limbah Rumput Laut Eucheuma sp Di Kabupaten Rote Ndao Menjadi Produk
Bioetanol Untuk Meningkatkan Nilai Ekonomis Dan Kesejahteraan Masyarakat Pesisir
B. LATAR BELAKANG MASALAH
Sejak lima tahun terakhir Indonesia mengalami penurunan produksi minyak nasional
yang disebabkan menurunnya secara alamiah (natural decline) cadangan minyak pada sumursumur yang berproduksi. Di lain pihak, pertambahan jumlah penduduk telah meningkatkan
kebutuhan sarana transportasi dan aktivitas industri yang berakibat pada peningkatan kebutuhan
dan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM) nasional. Untuk memenuhi kebutuhan BBM
tersebut, pemerintah mengimpor sebagian BBM. Menurut Ditjen Migas, impor BBM terus
mengalami peningkatan yang cukup signifikan dari 106,9 juta barrel pada 2002 menjadi 116,2
juta barrel pada 2003 dan 154,4 juta barrel pada 2004. Dilihat dari jenis BBM yang diimpor,
minyak solar (ADO) merupakan volume impor terbesar setiap tahunnya. Pada 2002, impor BBM
jenis ini mencapai 60,6 juta barrel atau 56,7% dari total, kemudian meningkat menjadi 61,1 juta
barrel pada 2003 dan 77,6 juta barrel pada 2004.
Melihat kondisi tersebut, pemerintah telah mengumumkan rencana untuk mengurangi
ketergantungan Indonesia pada bahan bakar minyak, dengan meluncurkan Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk
mengembangkan sumber energi alternatif sebagai pengganti Bahan Bakar Minyak. Walapun
kebijakan tersebut menekankan penggunaan batu bara dan gas sebagai pengganti BBM,
kebijakan tersebut juga menetapkan sumber daya yang dapat diperbaharui seperti bahan bakar
nabati sebagai alternatif pengganti BBM.
Kebutuhan nasional untuk mewujudkan bahan bakar nabati sedikitnya 18 miliar liter per
tahun. Akan tetapi keterbatasan bahan baku menjadi kendala utama karena harus berbagi dengan
berbagai industri lain. Industri yang menggunakan etanol misalnya saja kosmetik, farmasi,
sampai kimia. Industri Etanol mempunyai prospek yang sangat bagus di Indonesia, karena
kebutuhan etanol di Indonesia terus mengalami peningkatan. Hal ini tidak diimbangi dengan
kapasitas produksi industri etanol di Indonesia, yang hanya berjumlah sekitar 9 industri. Akan
tetapi, saat ini banyak produsen yang menghasilkan bioetanol dengan kemurnian di bawah 95%.
Sebetulnya bioetanol berkadar kemurnian 95% masih layak dimanfaatkan sebagai bahan bakar.

Hanya saja, dengan kadar kemurnian itu perlu penambahan zat antikorosif pada tangki bahan
bakar agar tidak menimbulkan karat. Karena penggunaan bahan bakar alternatif ini menjadi salah
satu pilihan yang diharapkan dapat memenuhi permintaan kebutuhan bahan bakar yang semakin
meningkat, maka perlu dikembangkan etanol dengan kadar yang lebih tinggi lagi yaitu 99,6%.
Alkohol merupakan bahan kimia yang diproduksi dari bahan baku tanaman yang
mengandung selulosa seperti kayu, cairan buangan pabrik pulp dan tongkol biasanya disebut
dengan bioethanol. Ubi kayu, ubi jalar, dan jagung merupakan tanaman pangan yang biasa
ditanam rakyat hampir di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan ampas rumput yang merupakan
limbah dari pembuatan agar-agar lebih ramah lingkungan karena termasuk memanfaatkan
limbah.
Indonesia yang merupakan negara kepulauan dengan panjang garis pantai sekitar 81.000
km merupakan kawasan pesisir dan lautan yang memiliki berbagai sumberdaya hayati yang
sangat besar dan beragam. Salah satu komoditi perairan Indonesia yang sangat berpotensi untuk
dikembangkan adalah rumput laut. Namun tidak semua hasil panen Eucheuma cottonii dapat
diekspor sebagai bahan baku kosmetik dan bahan makanan, karena ada saja bagian bagian
yang tidak masuk kedalam kriteria kelayakan sebagai bahan baku untuk diekspor. Sisa hasil
panen ini ada yang terserang penyakit, pertumbuhannya terhambat karena kurangnya nutrisi yang
sangat dibutuhkan dalam masa pertumbuhan, serangan gulma, serta adanya serangan predator
luar seperti ikan yang merusak pertumbuhan Eucheuma cottonii.
Beberapa penelitian sebelumnya telah membahas tentang pemanfaatan alga sebagai
bahan bakar alternatif, salah satunya adalah penelitian dari Jorge Alberto Vieira Costa dan
Michele Greque de Morais dari Laboratory of Biochemical Engineering, College of Chemistry
and Food Engineering, Federal University of Rio Grande, Brazil (2010) yang melaporkan bahwa
mikroalga ternyata dapat dijadikan sebagai sumber bahan baku utama dalam pembuatan biofuel
pengganti energi fosil karena ramah lingkungan, dan mampu mengurangi emisi gas
karbondioksida yang berdampak pada efek rumah kaca dan pemanasan global.
Selanjutnya ada pula hasil penelitian sebelumnya tentang rumput laut dari jenis
Eucheuma cottonii yaitu dari hasil penelitian Luthfy (1988) yang melaporkan bahwa rumput laut
jenis Eucheuma cottonii ternyata mengandung kadar abu 19,92 %, protein 2,80 %, lemak 1,78 %,
serat kasar 7,02 % dan mengandung karbohidrat yang cukup tinggi yaitu sekitar 68,48 %.
Adanya lignin dalam bahan berselulosa ini akan menghambat aktifitas enzim yang terdapat

didalam ragi dalam proses pengkonversian gula sederhana menjadi etanol. Sehingga untuk
meningkatkan proses hidrolisis, maka perlu dilakukan proses delignifikasi untuk mendegradasi
lignin dari struktur selulosa dengan menggunakan bantuan senyawa katalis, salah satu caranya
adalah dengan menggunakan katalis kimia berupa senyawa NaOH. Dari hasil penelitian Samsul
Rizal (2005), penambahan konsentrasi katalis NaOH hingga 8% ternyata mampu meningkatkan
kandungan selulosa dalam produksi pulp dari jerami, sehingga diperoleh hasil produksi optimum
selulosa sekitar 91,4 % dengan sisa lignin dalam pulp yang hanya mencapai sekitar 1,2 % saja.
Berdasarkan catatan Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Departemen Kelautan dan
Perikanan Indonesia, produksi rumput laut nasional pada 2004 baru sekitar 410.570 ton. Pada
tahun 2005 skala tersebut meningkat menjadi 910.636 ton. Begitu pula pada 2006, skala
produksinya mengalami peningkatan menjadi 1.079.850 ton. Pada tahun 2007, produksi rumput
laut nasional meningkat lagi menjadi 1.343.700 ton. Areal strategis yang dapat digunakan untuk
budidaya rumput laut di seluruh Indonesia adalah 21.500 Ha (Anonim, 2007).
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara wilayah daratan dengan karakteristik
daratannya dan wilayah lautan dengan karakteristik lautannya dan membawa dampak yang
cukup signifikan terhadap pembentukan karakteristik wilayah sendiri yang lebih khas.
Kekhasannya ini tidak hanya berlaku pada karakteristik sumber daya manusia dan kelembagaan
sosial yang terdapat di sekitarnya.
C. PERUMUSAN MASALAH
Krisis energi yang terjadi di berbagai negara di belahan dunia saat ini sudah memasuki
tahapan yang sangat serius dan memprihatinkan sehingga harus segera dicari metode pemecahan
masalahnya, termasuk Indonesia. Menurut data PDSI (2008), saat ini sumber energi dunia masih
didominasi oleh sumber daya alam yang tidak terbarukan antara lain minyak bumi, batubara dan
gas alam, yakni sekitar 80,1%, dimana masing-masing penggunaanya adalah olahan minyak
bumi sebesar 35,03%, batubara sebanyak 24,59% dan gas alam sekitar 20,44%. Sumber energi
terbarukan lainnya, tetapi mengandung resiko yang cukup tinggi adalah energi nuklir yaitu
sekitar 6,3%. Dilain pihak sumber energy yang terbarukan lainnya baru dikembangkan sekitar
13,6%, terutama biomassa tradisional, yaitu hanya sekitar 8,5% saja.
Meningkatnya penggunaan etanol sebagai salah satu sumber energi alternatif akan
meningkatkan permintaan bahan baku. Mengingat hingga saat ini teknologi proses pembuatan

etanol yang telah mantap dikembangkan adalah teknologi starch - based (Sun and Cheng, 2002),
maka dikhawatirkan akan terjadi kompetisi antara ketersediaan bahan baku untuk pangan, pakan,
dan untuk sumber energi. Selain itu, untuk menggantikan semua kebutuhan bahan bakar minyak
dunia saat ini dengan etanol maka diperlukan luas tanah, lahan pertanian, hutan, dan lain-lain
yang tak terbatas.
Apalagi jika melihat bahwa saat ini di berbagai negara, khususnya negara berkembang
sudah menunjukkan indikasi adanya krisis pangan dan energi sehingga sangatlah perlu untuk
segera dicari sumber bahan baku pembuatan etanol lain. Sumber bahan baku potensial yang
ketersediaannya melimpah, berharga murah, belum banyak dimanfaatkan orang dan mengandung
struktur gula sederhana yang dapat diubah menjadi etanol adalah bahan-bahan berlignosellulosa
yang dalam beberapa dekade terakhir, menjadi salah satu obyek penelitian yang menarik untuk
mengetahui potensi dari bahan bahan lignoselulosa dalam memproduksi etanol.
Namun pembuatan etanol dari bahan berselulosa memerlukan beberapa tahapan sebelum
masuk pada tahapan fermentasi untuk menghasilkan etanol. Hal ini disebabkan karena struktur
selulosa yang lebih kompleks sehingga harus dirombak agar proses fermentasi untuk
menghasilkan etanol dapat berlangsung dengan optimal. Menurut Shofiyanto (2008), bahan
selulosa pada limbah dapat dimanfaatkan sebagai sumber karbon untuk produksi etanol dengan
melakukan proses hidrolisis terlebih dahulu. Proses hidrolisis dilakukan dengan tujuan untuk
mendapatkan gula sederhana yang kemudian difermentasi oleh khamir untuk menghasilkan
etanol.
Persediaan bahan bakar mulai menipis sedangkan kebutuhan energi semakin meningkat.
Untuk itu perlu dikembangkan energi alternatif yang terbarukan. Bioetanol salah satu energi
yang terbarukan. Indonesia merupakan negara yang berpotensi besar dalam pengembangan
sumber energi yang terbarukan karena memiliki sumber nabati yang melimpah seperti rumput
laut. Limbah pengolahan rumput laut merupakan masalah yang perlu dicarikan upaya
pemanfaatannya yang lebih baik, padahal kandungan dalam limbah pengolahan tersebut masih
dapat dimanfaatkan, sehingga hal ini diharapkan bukan saja memberikan nilai tambah pada
usaha pengolahan rumput laut, selain itu dapat menanggulangi masalah pencemaran lingkungan
yang ditimbulkan, terutama masalah bau yang dikeluarkan serta estetika lingkungan yang kurang
baik (Devis, 2008).

D. TUJUAN
Tujuan penulisan karya tulis ini adalah:
1. Mengenalkan potensi Kabupaten Rote Ndao sebagai penghasil rumput laut yang sangat
potensial dan memberikan kontribusi yang besar terhadap produksi rumput laut nasional.
2. Meningkatkan nilai ekonomis rumput laut melalui penerapan teknologi sederhana
menjadi produk bioetanol yang multiguna.
E. LUARAN YANG DIHARAPKAN
Luaran yang diharapkan dari penulisan karya tulis ini adalah:
1. Dapat dijadikan solusi alternatif penggunaan bahan bakar nabati melalui pengolahan
limbah rumput laut menjadi bioetanol yang dapat diterapkan untuk mengurangi
penggunaan Bahan Bakar Minyak (BBM) dalam negeri.
2. Dapat dijadikan sebagai mata pencaharian masyarakat pesisir Pulau Rote melalui
pengolahan rumput laut menjadi bioetanol sehingga mengurangi pengangguran dan
meningkatkan pendapatan
F. KEGUNAAN
Kegunaan penulisan karya tulis ini adalah sebagai program dan karya inovatif dan kreatif
pemanfaatan rumput laut di sekitar pantai / laut di Kabupaten Rote Ndao menjadi produk
bioetanol yang potensial sebagai bahan bakar alternatif yang ramah lingkungan.
G. TINJAUAN PUSTAKA
Definisi dan Morfologi Rumput laut (Eucheuma spinosum)
Rumput laut (seaweed) adalah ganggang berukuran besar (macroalgae) yang merupakan
tanaman tingkat rendah dan termasuk kedalam divisi thallophyta. Dari segi morfologinya,
rumput laut tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun, Secara
keseluruhan, tanaman ini mempunyai morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda.
Bentuk-bentuk tersebut sebenarnya hanyalah thallus belaka. Bentuk thallus rumput laut ada
bermacam-macam, antara lain bulat, seperti tabung, pipih, gepeng, dan bulat seperti kantong dan
rambut dan sebagainya (Aslan, 1998)
Thallophyta adalah tanaman yang morfologinya hanya terdiri dari thallus, tanaman ini
tidak mempunyai akar, batang dan daun sejati. Fungsi ketiga bagian tersebut digantikan oleh

thallus. Tiga kelas utama rumput laut dari thallophyta adalah Rhodophyceae (ganggang merah),
Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau) yang ketiganya dibedakan
oleh kandungan pigmen dan klorofil. Rhodophyceae yang umumnya berwarna merah, coklat,
nila dan bahkan hijau mempunyai sel pigmen fikoeritrin. Phaeophyceae umumnya berwarna
kuning kecoklatan karena selselnya mengandung klorofil a dan c. Chlorophyceae umumnya
berwarna hijau karena sel-selnya mengandung klorofil a dan b dengan sedikit karoten (Direktorat
Jenderal Perikanan, 1990).
Rumput laut memerlukan substrat sebagai tempat menempel biasanya pada karang mati,
moluska, pasir dan lumpur. Kejernihan air kira-kira sampai 5 meter atau batas sinar matahari bisa
menembus air laut. Tempat hidup Chlorophyceae umumnya lebih dekat dengan pantai, lebih ke
tengah lagi Phaeophyceae, dan lebih dalam alga Rhodophyceae. Pengukuran kedalaman secara
umum untuk rumput laut yang baik adalah pada waktu air surut. Pada waktu air surut, kedalaman
rumput laut berada pada kedalaman 30 50 cm dari permukaan laut. Fotosintesa berlangsung
tidak hanya dibantu oleh sinar matahari, tetapi juga oleh zat hara sebagai bahan makanannya.
Tidak seperti tumbuhan pada umumnya yang zat haranya tersedia di dalam tanah, zat hara alga
diperoleh dari air laut sekitarnya. Penyerapan zat hara dilakukan melalui seluruh bagian
tumbuhan dan zat hara bukan menjadi penghambat pertumbuhan rumput laut. Hal ini terjadi
karena adanya sirkulasi yang baik dari zat hara yang ada di darat dengan dibantu oleh gerakan air
(Indriani dan Sumiarsih, 1991).
Eucheuma spinosum merupakan rumput laut dari kelompok Rhodopyceae (alga merah)
yang mampu menghasilkan karaginan. Eucheuma dikelompokkan menjadi beberapa spesies
yaitu Eucheuma edule, Eucheuma spinosum, Eucheuma cottoni, Eucheuma cupressoideum dan
masih banyak lagi yang lain. Kelompok Eucheuma yang dibudidayakan di Indonesia masih
sebatas pada Eucheuma cottoni dan Eucheuma spinosum. Eucheuma cottoni dapat menghasilkan
kappa karaginan dan telah banyak diteliti baik proses pengolahan maupun elastisitasnya
(Romimohtarto dan Juwana, 2005).

Ciri-ciri dan Taksonomi Eucheuma spinosum

Rumput laut ini dikenal dengan nama daerah agar-agar. Dalam dunia perdagangan,
rumput laut ini dikenal dengan istilah spinosum yang berarti duri yang tajam. Rumput laut ini
berwarna cokelat tua, hijau cokelat, hijau kuning, atau merah ungu. Ciri-ciri lainnya adalah
memiliki thallus silindris, lilin, dan kenyal (Sudradjat, 2008). Eucheuma adalah alga merah yang
biasa ditemukan di bawah air surut rata-rata pada pasut bulan-setengah. Alga ini mempunyai
thallus yang silindris berdaging dan kuat dengan bintil-bintil atau duri-duri yang mencuat ke
samping pada beberapa jenis, thallusnya licin. Warna alganya ada yang tidak merah, tetapi hanya
coklat kehijau-hijauan kotor atau abu-abu dengan bercak merah.Di Indonesia tercatat empat
jenis, yakni Eucheuma spinosum, Eucheuma edule, Eucheuma alvarezii dan Eucheuma serra
(Romimohtarto dan Juwana, 2005).
Ciriciri dari genus Eucheuma sp. yaitu thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silinder
atau pipih. Waktu masih hidup warnanya hijau hingga kemerahan dan bila kering warnanya
kuning kecoklatan. (Direktorat Jenderal Perikanan, 1990). Ciri-ciri rumput laut jenis Eucheuma
spinosum yaitu thallus silindris; percabangan thallus berujung runcing atau tumpul; dan
ditumbuhi nodulus (tonjolan-tonjolan), berupa duri lunak yang tersusun berputar teratur
mengelilingi cabang, lebih banyak dari yang terdapat pada Eucheuma cottonii. Ciri-ciri lainnya
mirip seperti Eucheuma cottoni. Jaringan tengah terdiri dari filamen tidak berwarna serta
dikelilingi oleh sel-sel besar, lapisan korteks, dan lapisan epidermis (luar). Pembelahan sel terjadi
pada bagian apikal thallus (Anggadireja dkk, 1986).
Eucheuma spinosum tumbuh melekat pada rataan terumbu karang, batu karang, batua,
benda keras, dan cangkang kerang. Eucheuma spinosum memerlukan sinar matahari untuk
proses fotosintesis sehingga hanya hidup pada lapisan fotik. Habitat khas dari Eucheuma adalah
daerah yang memperoleh aliran air laut yang tetap, lebih menyukai variasi suhu harian yang kecil
dan substrat batu karang mati (Aslan, 1998). Eucheuma spinosum termasuk dalam kelas
Rhodophyceae atau alga merah dengan klasifikasi sebagai berikut:.
Kingdom

: Plantae

Divisi

: Rhodophyta

Kelas

: Rhodophyceae

Ordo

: Gigartinales

Famili

: Solieracea

Genus

: Eucheuma

Species

: Eucheuma spinosum

Ekologi dan Penyebaran Rumput Laut


Rumput laut tumbuh hampir diseluruh bagian hidrosfir sampai batas kedalaman 200
meter. Di kedalaman ini syarat hidup untuk tanaman air masih memungkinkan. Jenis rumput laut
ada yang hidup diperairan tropis, subtropis, dan diperairan dingin. Di samping itu, ada beberapa
jenis yang hidup kosmopolit seperti Ulva lactuca, Hypnea musciformis, Colpomenia sinuosa,
dan Gracilaria verrucosa. Rumput laut hidup dengan cara menyerap zat makanan dari perairan
dan melakukan fotosintesis. Jadi pertumbuhannya membutuhkan faktor-faktor fisika dan kimia
perairan seperti gerakan air, suhu, kadar garam, nitrat, dan fosfat serta pencahayaan sinar
matahari (Puncomulyo, 2006).
Beberapa jenis alga di Indonesia yang memiliki nilai ekonomi yang tinggi yaitu
Eucheuma sp, salah satu jenis dari kelompok alga merah terutama jenis alvarezii dan spinosum
terdapat di perairan Indonesia seperti Bali, Pameungpeuk, Sulawesi Selatan, Sulawesi utara dan
Maluku (Satari,1998).
Kadi dan Atmaja (1988), menambahkan bahwa pemanenan rumput laut dapat dilakukan
sekitar 1-3 bulan dari saat penanaman. Selanjutnya dikatakan bahwa persyaratan lingkungan
yang harus dipenuhi bagi budidaya Eucheuma adalah:
a. Substrat stabil, terlindung dari ombak yang kuat dan umumnya di daerah terumbu karang.
b. Tempat dan lingkungan perairan tidak mengalami pencemaran.
c. Kedalaman air pada waktu surut terendah 1- 30 cm.
d. Perairan dilalui arus tetap dari laut lepas sepanjang tahun.
e. Kecepatan arus antara 20 - 40 m/menit.
f. Jauh dari muara sungai.
g. Perairan tidak mengandung lumpur dan airnya jernih.
h. Suhu air berkisar 27280C dan salinitas berkisar 30 -37 ppt.
Rumput laut merupakan tumbuhan marine-macroalgae yang merupakan salah satu
sumberdaya hayati laut yang komersial dan penting. Rumput laut ini termasuk kelompok primitif
dari tumbuhan autotrofik tak berbunga (Thalophyta) yang tumbuh di perairan laut intertidal,
dangkal dan kadang-kadang di bawah muka air hngga kedalaman laut 100 m serta di perairan
estuaria (Kaladharan dan Kaliaperumal, 1999). Struktur kerangka tubuhnya tidak berdaun,

berbatang dan berakar, sehingga semuanya terdiri atas batang (thallus) saja.Tumbuhan ini hidup
di tempat-tempat berbatu atau berkarang yang dijadikannya sebagai substrat tempat melekatkan
alat penempel rhizoid atau holdfast. Rumput laut merupakan bahan baku untuk pembuatan koloid
seperti agar, algin dan karaginan yang sering digunakan dalam industri pangan, kimia dan
farmasi. Rumput laut mengandung protein, vitamin, mineral dan trace element. Ada juga rumput
laut yang digunakan sebagai bahan makanan langsung, makanan temak, sebagai pupuk, bahan
pembuat kertas dan bahan obat-obatan (Sumpeno, 2007).
Ampas Rumput Laut
Rumput laut merupakan bahan baku awal pembuatan agar-agar adalah tanaman yang
hanya perlu waktu 45 hari untuk memanennya diperkirakan potensi budidaya rumput laut setiap
tahun ada 1,2 juta hektar. Pada 2001, terdapat 27.847 ton rumput laut. Sedangkan limbah Industri
agar-agar yang berupa ampas rumput laut merupakan salah satu sumber bahan baku bioethanol
yang potensial karena kandungan selulosanya tinggi. Selain itu, satu pabrik besar agar-agar
dengan kapasitas produksi 80 ton per bulan dapat menghasilkan limbah serat sebanyak 56 ton per
bulan (Ujiani, 2007).
Selain itu pertimbangan pemakaian ampas rumput laut sebagai bahan baku proses
produksi bioethanol juga didasarkan pada pertimbangan ekonomi. Pertimbangan keekonomian
pengadaan bahan baku tersebut bukan saja meliputi harga produksi tanaman sebagai bahan baku,
tetapi juga meliputi biaya pengelolaan tanaman, biaya produksi pengadaan bahan baku, dan
biaya bahan baku untuk memproduksi setiap liter ethanol/bio-ethanol. Memanfaatkan ampas
rumput laut sebagai bahan baku bioethanol dapat menghindari persaingan antara pangan dengan
BBN. Oleh karena itu kita berusaha memanfaatkan limbah ampas ini supaya mempunyai nilai
jual yang lebih tinggi. Di Indonesia tercatat ada tiga pabrik besar di daerah Pasuruan Jawa timur
yaitu PT. Agar Swallow menghasilkan limbah sebanyak 672 ton/tahun, PT. Agar sehat makmut
lestari menghasilkan 189 ton/tahun dan juga CV. Agar sari raya menghasilkan 14 ton/tahun.
Rumput laut merupakan salah satu sumber devisa negara dan sumber pendapatan bagi
masyarakat pesisir dan merupakan salah satu komoditi laut yang sangat populer dalam
perdagangan dunia, karena pemanfaatannya yang demikian luas dalam kehidupan sehari-hari,
baik sebagai sumber pangan, obat-obatan dan bahan baku industri (Indriani dan Sumiarsih,
1991).

Rumput laut juga dikelompokkan berdasarkan senyawa kimia yang dikandungnya,


sehingga dikenal rumput laut penghasil karaginan (karagenofit), agar (agarofit) dan alginat
(alginofit). Berdasarkan cara pengelompokan tersebut, maka ganggang merah (Rhodophyceae)
seperti Eucheuma sp. dikelompokkan sebagai rumput laut penghasil karaginan karena memiliki
kadar karaginan yang demikian tinggi, sekitar 62-68% berat keringnya (Aslan, 1998).
Salah satu jenis rumput laut yang dibudidayakan di sulawesi selatan adalah Eucheuma
spinosum. Jenis ini mempunyai nilai ekonomis penting karena sebagai penghasil karaginan,
dalam dunia industri dan perdagangan karaginan mempunyai manfaat yang sama dengan agaragar dan alginat yaitu karaginan dapat digunakan sebagai bahan baku untuk industri farmasi,
kosmetik, makanan dan lain-lain (Mubarak dkk, 1990). Eucheuma merupakan jenis rumput laut
yang banyak dicari oleh masyarakat. Hal ini disebabkan karena industri makanan, kosmetika,
dan farmasi memerlukan carrageenin yang terkandung dalam Eucheuma untuk dijadikan
sebagai bahan campuran (Nontji, 2002). Karaginan merupakan senyawa polisakarida galaktosa.
Senyawa-senyawa polisakarida mudah terhidrolisis dalam larutan yang bersifat asam dan stabil
dalam suasana basa. Karaginan banyak digunakan pada sediaan makanan, sediaan farmasi dan
kosmetik sebagai bahan pembuat gel, pengental atau penstabil (Nehen, 1987).
Bioethanol
Bioetanol adalah etanol yang diproduksi dari bahan baku berupa biomassa seperti jagung,
singkong, sorgum, kentang, gandum, tebu, bit, rumput laut dan juga limbah biomassa seperti
tongkol jagung, limbah jerami, dan limbah sayuran lainnya. Bioetanol memang potensial
dimanfaatkan sebagai bahan bakar kendaraan bermotor, Syaratnya, etanol alami itu mesti
berkadar kemurnian 99,5%. Syarat itu mutlak karena jika berkadar di bawah 90%, mesin tidak
bisa menyala karena kandungan airnya terlampau tinggi. Sebetulnya bioetanol berkadar
kemurnian 95% masih layak dimanfaatkan sebagai bahan bakar motor. Hanya saja, dengan kadar
kemurnian itu perlu penambahan zat antikorosif pada tangki bahan bakar agar tidak
menimbulkan karat. Semakin besar kadar etanol, semakin bagus performa mesin. Masalahnya,
etanol bersifat higroskopis, mudah menarik molekul air dari kelembapan udara. Di Indonesia
yang udaranya lembab, problem ini bisa menjadi masalah serius.
Bioetanol diproduksi dengan teknologi biokimia, melalui proses fermentasi bahan baku,
kemudian etanol yang diproduksi dipisahkan dari air dengan proses distilasi. Cara lama

dilakukan dengan destilasi tetapi kemurnian hanya sampai 96%. Maka kemudian dilakukan
proses dehidrasi molecular sieve karena proses ini dapat menghilangkan air hingga kadar etanol
menjadi 99,5% dan dihasilkan etanol absolute (murni).
Secara umum ethanol/bio-ethanol dapat digunakan sebagai bahan baku industri turunan
alkohol, campuran untuk miras, bahan dasar industri farmasi, campuran bahan bakar untuk
kendaraan. Mengingat pemanfaatan ethanol/bio-ethanol beraneka ragam, sehingga grade ethanol
yang dimanfaatkan harus berbeda sesuai dengan penggunaannya. Untuk ethanol/bio-ethanol
yang mempunyai grade 90-96,5% vol dapat digunakan pada industri.
Sedangkan ethanol/bioethanol yang mempunyai grade 96-99,5% vol dapat digunakan
sebagai campuran untuk miras dan bahan dasar industri farmasi. Berlainan dengan besarnya
grade ethanol/bioethanol yang dimanfaatkan sebagai campuran bahan bakar untuk kendaraan
yang harus betul-betul kering dan anhydrous supaya tidak korosif, sehingga ethanol/bio-ethanol
harus mempunyai grade sebesar 99,5-100% vol. Perbedaan besarnya grade akan berpengaruh
terhadap proses konversi karbohidrat menjadi gula (glukosa) larut air.
H. METODE PENULISAN
Pengumpulan Data
Data yang digunakan dalam penulisan karya tulis ini merupakan data sekunder yang
diperoleh melalui kajian pustaka serta observasi atau pengamatan lapangan, serta olahan
berdasarkan pustaka yang ada. Data-data penulis berasal dari buku penunjang, artikel, jurnal
ilmiah, hasil-hasil penelitian, dan online internet serta sumber data lainya yang mendukung
penulisan ini.
Pengolahan Data
Data-data yang diperoleh kemudian diolah dengan pendekatan penulisan yang bersifat
deskriptif analisis, yaitu :
a. Mengidentifikasi permasalahan yang ada kemudian dibandingkan dengan teori dan
pustaka yang mendukung.
b. Menganalisis permasalahan berdasarkan teori dan pustaka serta data pendukung
kemudian mencari alternatif pemecahan masalah berdasarkan perumusan masalah.

c. Menentukan kesimpulan dari hasil analisis kemudian menentukan rekomendasirekomendasi yang dapat digunakan untuk kesempurnaan penulisan berikutnya.
Analisis dan Sintesis Data
Karya tulis ini dianalisis dengan melalui beberapa tahap, antara lain :
1. Penggalian ide dan penyusunan gagasan serta penyiapan data yang diperlukan.
2. Analisis permasalahan berdasarkan objek penulisan yang telah ditentukan, yang
diungkapkan melalui latar belakang, perumusan masalah, tujuan, luaran yang diharapkan
dan kegunaan penulisan hingga uraian teori dari konsep berdasarkan pustaka yang
relevan.
3. Pengumpulan data dan informasi yang mendukung objek penulisan.
4. Melakukan analisis berdasarkan permasalahan yang ada, kemudian memberikan solusi
alternatif pemecahan masalah.
Pengambilan Simpulan
Simpulan diambil secara konsisten berdasarkan analisis dan sintesis pada pembahasan
yang tetap mengacu pada tujuan penulisan karya tulis ini.
Perumusan Rekomendasi / Saran
Rekomendasi dirumuskan sebagai alternatif pemikiran atau prediksi transfer gagasan dari
karya tulis ini sehingga mudah diadopsi oleh masyarakat.
I. HASIL DAN PEMBAHASAN
Secara ekonomi, rumput laut memiliki potensi ekonomi yang tinggi, antara lain karena
beberapa sifatnya sebagai komoditi: 1. mempunyai peluang ekspor yang terbuka luas, 2. harga
relatif stabil, 3. teknologi pembudidayaannya cukup sederhana; sebingga mudah dikuasai.
Disamping itu, siklus pembudidayaannya yang relatif singkat dan kebutuhan modal usahanya
yang relatif kecil, memberi peluang bagi pengusaha rumah tangga untuk bisa mengusahakannya.
Lebih lanjut, rumput laut merupakan komoditas yang tak tergantikan karena tidak ada produk
sintetisnya sehingga usaha pembudidayaannya sangat prospektif. Usaha ini tergolong jenis usaha
yang padat karya, dalam arti mampu menyerap tenaga kerja cukup tinggi. Kebutuhan tenaga

kerja ini bisa untuk memenuhi kebutuhan kegiatan pembudidayaan, panen, dan pengelolaan
pasca panennyam termasuk kegiatan penjualannya.
Kegunaan rumput laut sangat luas, dengan penerapan pemakaiannya di banyak
kepentingan kehidupan. Beberapa jenis rumput laut bisa digunakan sebagai bahan pangan dan
bahan industri makanan, farmasi, kosmetik, cat, tekstil dan bahkan kertas sehingga mempunyai
kesempatan untuk dijadikan komoditas yang bernilai tambah. Peluang pasar rumput laut baik
untuk pemenuhan kebutuhan dalam negeri maupun permintaan ekspor.
Data produksi rumput laut membedakan hasil rumput laut menurut surnbemya, yaitu
rumput laut dari hasil pengumpulan alami dan rumput laut hasil budidaya. Dalam statistik
perkembangan produksi rumput laut dari hasil budidaya di Indonesia, baru dimulai tahun 1999.
Perincian produksi rumput laut dalam statistik ini dibuat oleh Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Walaupun praktik budidaya rumput laut sudah dimulai sejak 1975, namun dalam
statistik ini produksi tahun 1977 hingga 1998 tidak diketahui, berapa volume mput laut hasil
budidaya. Pada tahun 1985 atau setelah satu dasawarsa sejak dan mulainya kegiatan budidaya,
produksi rumput laut bant terlihat secara nyata.
Sementara itu, kedudukan rumput laut sebagai komoditas dari sector perikanan kelautan
bisa diikuti pada Tabel 1. Tabel ini menyajikan perkembangan produksi budidaya rumput laut
diantara komoditas perikanan dan kelautan menurut jenis komoditi. Di sana terlihat, khususnya
rumput laut mengalami kenaikan dari tahun 2002-2006 yaitu sekitar 62,01% per tahun, (dari
223.080 ton, meningkat menjadi 1.341.141 ton pada tahun 2006).
Pengusahaan rurnput laut sebagai industri, telah menempatkan diri sebagai komoditas
ekspor yang mendatangkan devisa bagi negara. Pembudidayaannya di pihak lain, merupakan
lapangan kerja yang menjadi sumber pendapatan nelayan, menyerap tenaga kerja, serta mampu
memanfaatkan lahan perairan pantai di kepulauan Indonesia yang sangat potensial. Ini
menempatkan rumput laut sebagai komoditas yang sangat prospektif untuk dikembangkan.
Wilayah Potensial Pengembangan Eucheuma
Wilayah potensial untuk pengembangan budidaya rumput laut Eucheuma terletak
perairan pantai Nanggro Aceh Darusalam (Sabang), Sumatera Barat (Pesisir Selatan, Mentawai),
Riau (Kepulauan Riau, Batam), Sumatera Selatan; Bangka Belitung, Banten (dekat Ujung Kulon,
Teluk Bantefl. Panjang), DKI Jakarta (Kepulauan Seribu), Jawa Tengah (Karimun Jawa), Jawa

Timur (Situbondo dan Banyuwangi Selatan, Madura), Bali (Nusa Dua) Kutuh hung Payung,
Nusa Penida, Nusa Lembongan) dan Buleleng, Nusa Tenggara Barat (Lombok Barat dan
Lombok Selatan, pantai Utara Sumbawa Besar, Bima, dan Sumba), Nusa Tenggara Timur
(Maumere, Larantuka, Kupang, P. Roti selatan), Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi Tengah,
Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan (Pulau Laut),
Kalimantan Timur, Maluku (P. Seram, P. Osi, Halmahera, Kep.

Aru dan Kei),

Papua(Biak,Sorong). Rumput laut Eucheuma di Indonesia umumnya tumbuh di perairan yang


mempunyai rataan terumbu karang. la melekat pada substrat karang mati atau kulit kerang
ataupun batu gamping di daerah intertidal dan subtidal. Tumbuh tersebar hampir diseluruh
perairan Indonesia.
Potensi Rumput Laut di Kabupaten Rote Ndao
Perkembangan perekonomian NTT tidak dapat hanya digerakkan oleh kegiatan
perekonomian di Kota Kupang saja. Hal tersebut mengindikasikan perlunya pemberdayaan
perekonomian di daerah-daerah. Semangat pemberdayaan perekonomian pada umumnya sudah
cukup terdengar di beberapa kawasan di NTT, sebut saja pengolahan potensi pariwisata Taman
Nasional Riung, KAPET Mbay, Industri pembekuan Ikan di Labuan Bajo, serta Kawasan
Industri Bolok dan beberapa lainnya, walaupun terdapat beberapa diantaranya yang belum
terdapat realisasinya atau realisasi masih sangat minim seperti pada kasus KAPET Mbay.
Pemberdayaan perekonomian daerah, secara khusus di Kabupaten Rote Ndao dilakukan dengan
mengoptimalkan sumber daya kelautan yang ada. Pengoptimalan tersebut dilakukan dengan
budidaya rumput laut yang secara intensif dilakukan di wilayah Kecamatan Rote Timur, Rote
Barat Laut, dan Rote Barat Daya. Dibandingkan dengan usaha kelautan lainnya, usaha ini banyak
memiliki keunggulan yaitu :
1. Usaha ini tidak membutuhkan biaya yang besar baik dalam investasi maupun
opersionalnya
2. Teknologi yang dibutuhkan untuk menjalankan usaha ini cukup sederhana
3. Masa panen yang relatif singkat hanya 45 hari yang artinya tingkat pengembaliannya
cukup cepat
4. Permintaan pasar akan komoditas ini sangat tinggi dan cenderung meningkat.
Potensi Budidaya Rumput Laut di Rote

Dengan memperhitungkan keuntungan budidaya rumput laut dan luasnya daerah pantai
yang belum dimanfaatkan, sebagian warga pesisir telah menjadikan usaha budidaya sebagai mata
pencarian utama. Tercatat pemanfaatan lahan untuk budidaya rumput laut di Kabupaten Rote
mencapai 2.714,98 ha, tersebar di 6 kecamatan dan 31 desa. Dari total lahan yang dimanfaatkan
pada tahun 2003 dihasilkan 1.935 ton rumput laut kering, dan meningkat pada tahun 2004
menjadi 3.964 ton. Pemanfaatan daerah pantai pada tahun 2004 yang seluas 2.714,98 ha tersebut
hanya sebesar 8,30% dari total luas pantai yang ideal untuk digunakan sebagai lahan budidaya
yang seluruhnya mencapai 32.700 ha. Sementara untuk tahun 2005 terjadi peningkatan
pemanfaatan lahan budidaya sebesar 1,8%, menjadi 3.298 ha atau seluas 10,1%. Sehingga luas
daerah potensial mencapai 89,9%, hal tersebut menunjukan besarnya potensi ekonomi yang
masih belum dimanfaatkan. Selain itu, angka tersebut juga menggambarkan tantangan bagi
petani dan pemerintah serta instansi lain untuk mengoptimalkan sumber daya yang ada.
Produktivitas
Pada tahun 2005 produksi rumput laut kering dari ke 48 desa pantai tersebut mencapai
5.086 ton atau rata-rata 103,80 ton per desa. Sementara penyerapan tenaga kerja adalah sebesar
7.146 jiwa atau rata-rata 146 jiwa per desa pantai. Namun demikian tingkat produksi rumput laut
masing-masing desa pantai pada umumnya tidak cukup merata, terdapat beberapa daerah yang
mampu menghasilkan rumput laut dalam jumlah besar dengan penyerapan tenaga kerja yang
cukup banyak. Sementara beberapa daerah hanya mampu berproduksi dalam jumlah yang relatif
sedikit. Faktor yang sangat mempengaruhi tingkat produktivitas budidaya rumput laut adalah
jumlah tenaga kerja.
Sumber Daya Manusia (SDM)
Tidak kurang dari 2.691 KK atau 7.146 jiwa pada tahun 2005 terlibat dalam usaha
budidaya rumput laut di Kabupaten Rote. Selain penduduk pesisir pantai, petani rumput laut
yang terdapat di beberapa desa pantai juga berasal dari luar daerah. Pada umumnya petani
pendatang ini sebelumnya adalah penggarap ladang atau penggembala yang bertempat tinggal di
bagian tengah pulau. Pada umumnya pengerjaan budidaya rumput laut dilakukan dalam sistem
kekeluargaan, dimana pengerjaannya dilakukan oleh orang tua dan anak-anaknya. Jumlah kepala

keluarga yang melakukan budidaya adalah sebanyak 2.691 KK, sehingga rata-rata dalam satu
keluarga atau KK terdapat 2 sampai 4 orang yang melakukan usaha budidaya rumput laut.
Jenis dan Metode Budidaya
Spesies rumput laut yang dibudidayakan di perairan Rote adalah Eucheuma cottonii, dari
divisio algae merah dan marga eucheuma. Jenis ini umumnya tumbuh di daerah pasang surut
(intertidal) atau daerah yang selalu terendam air (subtidal) melekat pada substrat di dasar
perairan. Selain itu persyaratan lain untuk tumbuhnya jenis ini adalah adanya gerakan air, cahaya
yang cukup untuk terjadinya variasi suhu dan memperoleh aliran air laut yang tetap. Kondisi
tersebut sangat ideal untuk perairan Rote yang memiliki pantai dengan daerah pasang surut yang
relatif luas dengan pasokan aliran air yang tetap, sehingga pada saat surut daerah pantai tidak
mengalami kekeringan. Selain itu pantai-pantai Rote juga memiliki tingkat pencahayaan
matahari yang sangat banyak yang memungkinkan adanya variasi suhu yang cukup untuk
kebutuhan budidaya jenis eucheuma tersebut.
Teknik budidaya rumput laut yang paling umum digunakan NTT yaitu teknik rakit apung
dan teknik long line. Metode budidaya long line disamping paling murah dalam investasi juga
paling sederhana dalam penggunaannya. Selain itu metode tersebut juga relatif aman terhadap
beberapa predator seperti bulu babi. Namun demikian selain beberapa keunggulannya metode
tersebut juga memiliki kekurangan yaitu, rentan terhadap gelombang dan angin yang cukup
keras, akibatnya pada saat musim gelombang atau angin cukup kencang produktivitas petani
cenderung mengalami penurunan. Walaupun metode ini cukup rentan terhadap gelombang dan
angin namun tetap menjadi metode yang paling dominan digunakan petani karena selain
keunggulan-keunggulan di atas, juga karena sebagian pantai tempat budidaya berada di belakang
pulau-pulau kecil yang terletak di depan pulau utama (Pulau Rote), akibatnya arus gelombang di
daerah pantai tersebut relatif tidak terlalu besar.
Tingkat Produksi
Secara kuantitas hasil budidaya rumput laut dari tahun ke tahun selama 3 tahun terakhir
terus mengalami peningkatan, dari produksi 1.935 ton pada tahun 2003 meningkat menjadi 3.964
ton pada tahun 2004 dan pada tahun 2005 produksinya menjadi 5.086 ton. Peningkatan jumlah
produksi dari tahun ke tahun, selain disebabkan oleh bertambahnya areal budidaya dan jumlah

petani rumput laut, juga disebabkan oleh semakin meningkatnya kemampuan atau kompetensi
petani dalam budidaya, mulai dari pemililihan dan pemeliharaan bibit, penanaman, perawatan
dan perlakuan terhadap rumput laut pasca panen.
Tingkat produktivitas budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh steril atau tidaknya
lingkungan budidayanya, yang dimaksud adalah lingkungan tersebut terbebas dari hama yang
meliputi parasit dan binatang predator. Dibandingkan dengan binatang predator, hama parasit
jauh lebih merugikan bagi petani. Saat ini hama yang paling sering menyerang tanaman rumput
laut adalah hama ais-ais. Hama ini menjadi sangat mengganggu karena sampai saat ini petani
Rote belum dapat menemukan cara untuk memberantasnya. Selain itu rumput laut sangat sensitif
dan mudah terserang hama ini. Hama tersebut menyebabkan batang-batang rumput laut patah
akibatnya rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik sehingga sangat menurunkan
produktivitas petani.
Selain hama, budidaya rumput laut sangat dipengaruhi oleh kondisi cuaca. Cuaca yang
buruk (berangin dan gelombang besar), akan berpengaruh negatif terhadap produktivitas petani.
Namun demikian walaupun secara kuantitas tingkat produksi jauh menurun, tingkat kerugian
yang dialami petani masih dapat ditoleransi. Hal ini terjadi karena cuaca dapat diperhitungkan
atau diramalkan sehingga pada musim angin dan ombak petani cenderung menurunkan tingkat
produksi atau memindahkan lokasi tanam ke daerah-daerah yang terlindung. Berbeda dengan
hama yang datangnya tidak dapat diprediksi sehingga menimbulkan kerugian yang lebih besar.
Prospek Usaha Budidaya Rumput Laut
Usaha budidaya rumput laut di Indonesia pada umumnya dan NTT khususnya
menunjukkan adanya peningkatan yang berlangsung secara kontinu, dalam kurun waktu lima
tahun terakhir (tahun 2000 sampai tahun 2004) permintaan terhadap bahan baku rumput laut
kering, baik dari dalam maupun luar negeri cenderung mengalami peningkatan terutama
permintaan dari pasar Cina dan Korea. Selain permintaan yang terus mengalami permintaan nilai
jual (harga jual) juga cenderung mengalami peningkatan, dari sekitar Rp 600/kg pada tahun 1998
menjadi berkisar antara Rp 4.500 sampai Rp 5.000/kg pada tahun 2006.
Demikian pula usaha budidaya rumput laut di Pulau Rote, jumlah produksinya masih
belum dapat memenuhi permintaan pasar. Sementara dalam hal nilai jual, walaupun lebih
dipengaruhi oleh posisi pengumpul dimana posisi petani lemah, namun harga tetap cenderung

terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Dari ke dua aspek tersebut dapat dikatakan
bahwa prospek usaha budidaya rumput laut masih sangat terbuka dan sangat menjanjikan.
Menyikapi prospek dan peluang tesebut terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh
pengusaha atau petani, antara lain pemasaran, biaya produksi dan kendala produksi.
Kendala Produksi
Selain menjadi usaha yang sangat profitable, usaha budidaya rumput laut tidak terlepas
dari permasalahan yang menjadi kendala untuk peningkatan skala usaha. Kendala yang umum
dialami oleh petani di Kabupaten Rote antara lain adalah pemahaman petani tentang teknik
budidaya yang benar masih kurang, mutu produk masih kurang diperhatikan dan yang paling
dominan adalah masalah harga, dimana harga ditentukan oleh pembeli atau pengumpul. Saat ini
kemampuan petani dalam beberapa hal dapat dikatakan masih kurang memuaskan, hal ini dapat
dilihat dari penanganan hama rumput laut yang kadang tidak tepat sehingga hama dapat
menyebar dan menyerang seluruh areal produksi. Selain pada periode tanam, kemampuan petani
dalam penanganan pasca panen juga masih sangat kurang. Beberapa pengumpul masih
mengeluhkan teknik penjemuran petani yang dilakukan di atas pasir yang menyebabkan rumput
laut kering banyak tercampur dengan butiran pasir dan kotoran lain. Hal ini menunjukkan bahwa
petani belum sepenuhnya sadar akan tuntutan mutu produk yang dihasilkan. Sebagai akibatnya
posisi petani akan selalu lemah dalam transaksi jual beli produk. Permasalahan yang paling
dominan dihadapi petani adalah masalah harga dimana petani hanya bisa menerima berapapun
tingkat harga yang ditawarkan oleh pembeli atau pengumpul. Pada kondisi ini petani akan
kesulitan dalam memperhitungkan tingkat laba yang akan diperoleh dalam beberapa kurun waktu
yang akan datang, sebab sangat dimungkinkan sewaktu-waktu harga komoditi tersebut akan
jatuh atau meningkat tajam tanpa sepengetahuan petani. Hal yang sangat tidak diharapkan adalah
terjadinya penuruhan harga dimana biaya produksi yang dikeluarkan tetap dan cenderung
mengalami peningkatan, namun demikian hal ini sangat mungkin terjadi. Lain halnya apabila
pembentukan harga dilakukan oleh kedua pihak (petani dan pengumpul) maka petani akan lebih
bisa memprediksikan fluktuasi harga karena mereka terlibat didalamnya. Pada kondisi tersebut
petani dapat mengambil keputusan untuk menahan atau menjual produknya untuk
mengoptimalkan keuntungannya.

Pembuatan Bioetanol
Proses pembuatan bioetanol ini meliputi tiga tahap. Tahap pertama adalah proses
pretreatment (pre-hidrolisa dan hidrolisa). Tahap kedua adalah proses Fermentasi dengan
penambahan bakteri Sacharomycess cerevisiae. Tahap ketiga adalah pemurnian menggunakan
destilasi dan molecular sieve. Pabrik bioetanol ini beroperasi selama 24 jam per hari dengan
masa kerja 330 hari pertahun. Produk utama yang dihasilkan berupa bioetanol. Kapasitas
produksi pabrik bioetanol adalah 19.000 Kg/hari dan kebutuhan air proses sebesar 2861,93
m3/hari.
Sifat Fisika dan Kimia
Bahan Baku Utama
Komposisi rumput laut adalah sebagai berikut (www.google.com) :
Air : 27,8%
Karbohidrat : 33,3%
Protein : 5,4%
Lemak : 8,6%
Abu : 22,25%
Serat kasar : 3%
Komposisi ampas rumput laut adalah sebagai berikut (www.google.com) :
Selulosa : 20%
Hemiselulosa : 70%
Lignin : 10%
1

Sifat fisik rumput laut adalah sebagai berikut (www.google.com):


Bentuk : Berbentuk thallus (ganggang).
Warna : tergantung jenis rumput laut (kebanyakan hijau)
Batang : bentuk batang tidak berstruktur.
Hemiselulosa ((C5H8O4)n)
Berdasarkan Wertheirm (1956) Komponen utama dari hemiselulosa adalah sebagai berikut:
Sifat fisika hemiselulosa :
- Mempunyai serat dengan warna putih.

- Tidak larut dalam air dan organik lainnya.


Sifat kimia hemiselulosa :
- Polimer alam berupa zat karbohidrat (polisakarida).
- Terhidrolisa dalam larutan asam membentuk glukosa.
- Bereaksi dengan asam asetat membentuk selulosa asetat.
Kegunaan Bioetanol
Kegunaan ethanol/bioethanol (alkohol) berdasarkan literatur adalah sebagai berikut:
Berdasarkan Fessenden (1992) kegunaan ethanol adalah:
1

Digunakan dalam minuman keras.

Sebagai pelarut dan reagensia dalam laboratorium dan industri.

Sebagai bahan bakar.


Etanol mempunyai nilai kalor (Q) sebesar 12.800 Btu/lb. Sedangkan jika dicampur

dengan gasoline dimana prosentase 10% etanol dan 90% gasoline akan menghasilkan produk
dengan nama dagang Gasohol yang dihasilkan nilai kalor (Q) sebesar 112.000 Btu/gallon (Hunt,
1981).
Berdasarkan Austin (1984) kegunaan ethanol adalah:
1

Sebagai bahan industri kimia.

Sebagai bahan kecantikan dan kedokteran.

Sebagai pelarut dan untuk sintesis senyawa kimia lainnya.

Sebagai bahan baku (raw material) untuk membuat ratusan senyawa kimia lain, seperti
asetaldehid, etil asetat, asam asetat, etilene dibromida, glycol, etil klorida, dan semua etil
ester.

Berdasarkan Uhlig (1998) kegunaan ethanol adalah :


1

Sebagai pelarut dalam pembuatan cat dan bahan-bahan komestik.

Diperdayakan di dalam perdagangan domestik sebagai bahan bakar.

Produk
Produk Utama
Berdasarkan Saunders (1969) sifat Fisika bioetanol/etanol adalah sebagai berikut :
1

Merupakan senyawa aromatik yang volatile (mudah menguap).

Konstanta kesetimbangan (Ka) adalah 10-18.

Mudah terbakar.

Mudah terbakar dan berbau tajam (menyengat).

Termasuk B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun).

Spesific gravity 0,7851 pada suhu 200C.

7
Tabel 1. Sifat Fisika Ethanol
Besaran
Berat Molekul
Titik beku, oC
Titik didih normal, oC
Temperatur kritis, oC
Tekanan kritis, kPa
Volume kritis, L/mol
Faktor kompressibilitas kritis, z
Densitas, pada 20 oC , g/ml
Viskositas, pada 20 oC, mPa.s (=cP)
Kelarutan dalam air, pada 20 oC
Panas penguapan, pada t.d normal, J/g
Panas pembakaran, pada 25 oC, J/g
Panas pembentukan
Panas spesifik, pada 20oC, J/g.C.s
Warana cairan
(Othmer, 1945)

Nilai
46
-114,1
+78,32
243,1
6383,48
0,167
0,248
0,7893
1,17
Larut
839,31
29676,69
104,6
2,42
Jernih

Berdasarkan Othmer (1945) sifat Kimia bioetanol/etanol adalah sebagai berikut:


Etanol merupakan gugus hidroksil dan dapat bereaksi secara dehidrasi, dehidrogenasi,
oksidasi, dan esterifikasi. Sifat kimia ethanol dengan senyawa lain yaitu :
1

Dapat bereaksi dengan NaOH membentuk sodium etoxida


C2H5OH + NaOH C2H5ONa +H2O

Reaksi esterifikasi
Ester dapat dibuat dengan mereaksikan ethyl alkohol dengan asam anhidrida atau asam halid.
CH3CH2OH + CH3COOH CH3COOC2H5 + H2O
Dehidrasi.
Ethyl alkohol dapat didehidrasi menjadi etilen atau ethyl ether.
CH3CH2OH CH2 CH2 + H2O

2CH3CH2OH CH3CH2OCH2CH3 + H2O


Dehidrogenasi.
Ethyl alkohol dapat dihidrogenasi menjadi asetaldehida dalam fase uap dengan bantuan
bermacam katalis.
CH3CH2OH CH3CHO + H2
Tabel 2. Standart Ethanol di Indonesia

Produk Samping
a. Karbon dioksida (CO2)
Bedasarkan Douglas (1974) sifat Fisika dari CO2 adalah sebagai berikut:
1

Rasa asam

Temperatur kritis = 31,1oC

Tekanan kritis = 734 kPa

Densitas gas pada 0oC dan tekanan 1 atm (101,32 kPa) = -78,50C

Densitas liquid pada 00C dan tekanan 101,32 kPa = 1,976 g/liter

Viskositas pada 250C = 0,015 cp

Panas pembentukan pada 250C = 373,4 Btu/mol

Panas latent penguapan = 149,6 Btu/lb

Spesifik gravity 1,53 pada basis udara 1

10 Melting point 56,60C pada 5,2 atm


11 Kelarutan dalam air 179,7 cm3 CO2 dalam 100 cm3 air pada 00C
12 Larut dalam alkohol
13 Tidak berbau, tidak berwarna.
Berdasarkan Othmer (1945) Sifat kimia dari CO2 adalah sebagai berikut:
1

CO2 merupakan oksidator akhir dari produk karbon

CO2 dapat bereaksi dengan H2


CO2 + H2 CO + H2O
CO2 dapat bereaksi dengan amoniak yang terjadi pada pabrik urea untuk menghasilkan

ammonium karbamat.
CO2 + 2 NH3 NH2COONH4
b. Lignin
Sifat Fisika dari lignin adalah sebagai berikut (www.google.com) :
Berupa padatan (amorf)
Berwarna cokelat
Sifat kimia dari lignin adalah sebagai berikut (www.google.com) :
1

Dapat diperoleh dari pengasaman dengan HCl pekat

Dapat terdegradasi oksidatif menjadi vanilin (antibiotik turunan) dengan menggunakan


NaOH dan nitrobenzena

c. Xylose (C5H10O5)
Sifat Fisika dari xylose adalah sebagai berikut (www.wikipedia.com) :
1

Berbentuk padatan berupa gula kayu

Berwarna

Sifat Kimia dari xylose adalah sebagai berikut (www.wikipedia.com) :


1

BM = 150,13 g/mol

Titik lebur = 144-145 0C

Kepadatan pada 20 0C = 1,525 g/cm3

Dapat dihidrogenasi katalitik menghasilkan pengganti gula xylitol.

Uraian Jenis Manfaat dan Sifat Karaginan


Karaginan merupakan getah rumput laut yang diekstraksi dengan air atau larutan alkali
dari spesies tertentu dari kelas Rhodophyceae (alga merah). Karaginan merupakan senyawa
hidrokoloid yang terdiri atas ester kalium, natrium, magnesium dan kalium sulfat dengan
galaktosa 3,6 anhidrogalaktosa kopolimer (Winarno, 1996). Menurut Hellebust dan Cragie
(1978), karaginan terdapat dalam dinding sel rumput laut atau matriks intraselulernya dan
karaginan merupakan bagian penyusun yang besar dari berat kering rumput laut dibandingkan
dengan komponen yang lain.
Jumlah dan posisi sulfat membedakan macam-macam polisakarida Rhodophyceae,
seperti yang tercantum dalam Federal Register, polisakarida tersebut harus mengandung 20%
sulfat berdasarkan berat kering untuk diklasifikasikan sebagai karaginan. Berat molekul
karaginan tersebut cukup tinggi yaitu berkisar 100-800 ribu (Deman, 1989).
Hal yang perlu diperhatikan dalam pembuatan karaginan adalah proses ekstraksi yang
meliputi cara ekstraksi, pH, lama dan suhu. Proses pengolahan karaginan dimulai dengan sistem
ekstraksi dengan suatu basa yang kemudian dilanjutkan dengan penyaringan, pengendapan dan
penggilingan hingga menjadi suatu tepung. Rasyid (2003), menjelaskan bahwa perbedaan
penggunaan basa berpengaruh pada kekentalan dan kekuatan gel karaginan. Jika diinginkan
suatu produk yang kental dengan kekuatan gel rendah maka digunakan garam natrium, untuk gel
yang elastis digunakan garam kalsium sedangkan garam kalium menghasilkan gel yang keras.
Untuk kappa karaginan lebih sensitif terhadap ion-ion kalium sedangkan iota karaginan lebih
sensitif dengan ion-ion kalsium. Mangione dkk (2005), telah meneliti tentang pengaruh K dan
Na pada sifat gel kappa karaginan, dimana kedua ion tersebut memiliki peran yang berbeda
dalam menaikkan gel makroskopik kappa karaginan. Adanya ion Na menghasilkan struktur yang
lebih tidak teratur dibandingkan dengan adanya ion K. Sehingga akan diteliti pengaruh Ca, K dan
Na pada sifat kekentalan iota karaginan.

Derajat keasamaan (pH) berpengaruh pada pembuatan karaginan. Menurut Rumajar dkk
(1997), randemen tertinggi sebesar 50% di dapat pada perlakukan pH 10. Selanjutnya menurut
Suryaningrum (1988), ekstrak dilakukan dalam kondisi basa pada pH 8-9. Berdasarkan uraian
tersebut maka pada penelitian ini akan dibuat tepung karaginan dengan cara ekstraksi pada pH 8,
8,5, 9, 9,5 dan 10. Lama proses ekstraksi juga mempengaruhi karaginan yang dihasilkan.
Menurut Setyowati (2000), randemen terbesar yaitu 67,77% diperoleh untuk jenis Eucheuma
spinosum dengan lama ekstraksi optimal 2 jam. Sedangkan menurut Rumajar dkk (1997), bahwa
randemen tertinggi yaitu 50% didapat dengan lama ekstraksi 90 menit. Selain itu, waktu
ekstraksi juga mempengaruhi kadar sulfat. Lama ekstraksi 2 jam memberikan hasil rata-rata
kadar sulfat tertinggi sebesar 19,44% sedangkan terendah pada lama ekstraksi 1 jam sebesar
18,318%.
Menurut Rumajar dkk (1997), kandungan sulfat rata-rata pada lama ekstraksi 30 menit
sebesar 22,07%, lama ekstraksi 60 menit 21,74% dan lama ekstraksi 90 menit menjadi 21,21%.
Dimana dengan bertambah lama ekstraksi akan menurunkan kandungan sulfat karaginan,
sehingga akan dilakukan penelitian dengan lama ekstraksi 2 jam. Karaginan dapat terlepas dari
dinding sel dan larut jika kontak dengan panas. Rumajar dkk (1997) mengemukakan bahwa
degradasi panas yang terjadi akibat waktu ekstraksi yang terlalu lama menyebabkan perubahan
atau putusnya susunan rantai molekul. Besarnya suhu pada saat ekstraksi juga perlu diperhatikan.
Suhu ekstraksi menurut Rasyid (2003) adalah 85-950C, Setyowati (2000), pada suhu 90 0C, Aslan
(1998) pada suhu 90-950C dan Mukti (1987), pada suhu optimum 90-950C.
Sifat Dasar Karaginan
Sifat dasar karaginan terdiri dari 3 tipe karaginan yaitu kappa, iota dan lamda karaginan.
Tipe karaginan yang paling banyak dalam aplikasi pangan adalah kappa karaginan. Sifat-sifat
karaginan meliputi kelarutan, viskositas, pembentukan gel dan stabilitas pH. Berikut ini beberapa
sifat karaginan :
1. Dalam air dingin, seluruh garam dari lambda karaginan dapat larut, sedangkan pada kappa dari
iota karaginan hanya garam natrium yang larut.
2. Lambda karaginan larut dalam air panas (temperature 40-60 0C). Kappa dari iota karaginan
larut temperature di atas 700C.

3. Kappa, lambda, dan iota karaginan larut dalam susu panas. Dalam susu dingin, kappa dan iota
tidak larut, sedangkan lambda karaginan akan membentuk dispersi.
4. Kappa karaginan dapat membentuk gel dengan ion kalium, sedangkan iota karaginan
membentuk gel dengan ion kalsium. Lambda karaginan tidak dapat membentuk gel.
5. Semua jenis karaginan stabil pada pH netral dan alkali. Pada pH asam karaginan akan
terhidrolisis.
J. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan dan saran dari penulisan karya tulis ini adalah:
1. Rumput laut Euchema sp yang ketersediaannya melimpah di dalam negeri khususnya di
Kabupaten Rote Ndao dapat dimanfaatkan menjadi produk bioetanol sebagai bahan bakar
alternatif yang ramah lingkungan dan dapat diaplikasikan oleh masyarakat sekitar untuk
menghemat energi dan meningkatkan pendapatan masyarakat.
2. Pemanfaatan rumput laut Euchema sp menjadi produk bioetanol mampu meningkatkan
nilai ekonomis rumput laut dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui
pengolahan limbah hasil laut.
K. DAFTAR PUSTAKA
Anggadireja, J., A. Zatnika, W. Syatrniko, S.I., dan Z. Moor. 1993. Teknologi Produk Perikanan
Dalam Industri Farmasi; Potensi dan Pemanfaatan Makro Alga Laut. Makalah Stadium
General Teknologi dan Altematif Produk Perikanan Dalam Industri Farmasi. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.
Anonim. Pabrik Bioetanol Dari Ampas Rumput Laut Dengan Proses Fermentasi. Tugas akhir.
Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya
Aslan, L.M. 1998. Budidaya Rumput Laut. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Hal : 97.
Bank Indonesia Kupang. Perkembangan Ekonomi Makro Regional. Hasil Kajian Potensi Rumput
Laut Di kabupaten Rote Ndao. Nusa Tenggara Timur.
Fessenden dan Fessenden. 1982. Kimia Organik. Erlangga. Jakarta.
Luthfy, S. 1988. Mempelajari Ekstraksi Karaginan dengan Metoda Semi Refine dari Eucheuma
cottonii. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. 106 pp.

Mubarak, H., S. Ilyas, W. Ismail, I.S. Wahyuni, S.T. Hartati, E. Pratiwi, Z. Jangkaru dan R.
Arifudin. 1990. Petunjuk Teknis Budidaya Rumput Laut php/kan/pt/ 13/1990. Jakarta: hal
93.
Shofiyanto, M.E. 2008. Hidrolisis Tongkol Jagung oleh Bakteri Selulotik untuk Produksi
Bietanol dalam Kultur Campuran. Skripsi.
Sun, Y. and Cheng, J. 2002. Hydrolysis of Lignocellulosic Materials for Ethanol Production: A
Review. Bioresource Technology, Vol. 83, pp. 1-11.
Winarno, F.G.. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Jakarta: pt.gramedia pustaka utama.

Anda mungkin juga menyukai