Anda di halaman 1dari 34

KARIM (31), BARU saja memarkirkan truk malam itu. Hari mulai gelap.

Lampu
penerang tak menyisakan cahaya barang sedikit pun. Semua terlihat pekat. Hitam
dan gelap. Listrik hidup bisa dihitung dengan jari setiap minggunya. Selebihnya,
warga menggunakan pelita. Lampu kecil dengan bahan bakar minyak tanah.
Saya bertemu Karim di Tematu, Lanjak, Kapuas Hulu yang berbatasan dengan
Malaysia. Ia punya truk sendiri. Saban harinya, Karim mengangkut pekerja sawit.
Sebulan paling dapat Rp 1,5 juta, kata Karim. Ada nada mengeluh dalam
ucapannya.
Karim mantan pekerja kayu. Ketika illegal logging (IL) masih marak, Karim bekerja
sebagai teli atau pengukur kayu di Lanjak. Lanjak pelabuhan nomor dua. Nomor
satu Tangit. Sebelumnya, pelabuhan di Lanjak khusus menurunkan kayu dari sekitar
Danau Sentarum. Sementara Pelabuhan di Tangit, merupakan area pengumpulan
kayu yang berasal dari seluruh hulu Sungai Kapuas, sampai hilir Muara Kerang.
Bahkan, dari Nanga Silat di Sintang. Dari Tangit, kayu dibawa langsung dengan truk
menuju Lubuk Antu, Malaysia.
Karim tak hanya mengukur. Ia juga tangani penerimaan, pembelian dan pengiriman
kayu. Dalam sehari dapat Rp 2 juta. Ia bekerja kayu dari tahun 2000-2004. Kini, ia
sanggup membeli rumah, mobil dan menyekolahkan keluarga.
Seperti juga pekerja kayu lainnya, Karim bekerja menggunakan modal cukong kayu
dari Malaysia. Cukong adalah sebutan bagi bos dalam bahasa China. Ia bekerja
untuk Wong Hing King, biasa dipanggil Hengking. Ia terkenal sebagai cukong
pekerja kayu manual, pakai chain saw dan sepeda.
Hengking bekerja di hutan yang dekat dengan jalan lintas utara. Jarak hutan sekitar
5-10 km dari jalan. Wilayah operasinya mulai dari Badau, Lanjak, Embalau Hulu atau
Benua Martinus. Kayu yang sudah dikeluarkan dari hutan, ditaruh di pinggir jalan
lintas utara. Setelah itu dibawa dengan truk menuju Badau.
Menurutnya, sistem manual tak terlalu besar dampaknya. Ketika pohon besar
ditebang, pohon kecil jadi tumbuh. Hengking hanya menampung kayu dari warga. Ia
tak buka sawmill di Kapuas Hulu.
Ada dua metode dalam pengerjaan IL. Kerja mekanis dan manual. Kerja mekanis
menggunakan berbagai alat berat. Seperti, buldoser, eksafator dan lainnya. Kerja
mekanis biasanya di dataran rendah, sedang atau tinggi. Lokasi lahannya kering.
Modalnya besar. Kerja manual hanya menggunakan chain saw, sepeda dan rel.
Lokasi kerjanya di daerah basah atau rawa. Modalnya tidak sebesar kerja mekanis.
Namun, kerja di sekitar rawa, keuntungannya lebih tinggi. Sebab, biasanya terdapat
kayu ramin yang harganya tinggi. Kedua metode kerja tersebut, cukongnya lain.

Sistem mekanis harus membuat jalan sendiri atau jalur logging. Jalur logging
terpanjang, terdapat di hulu labian. Warga menyebutnya jalur Apeng. Panjangnya
sekitar 40 km. Jalur itu dari hulu Labian masuk sampai ke Sungai Tamam Baloh,
yang terdiri dari dua batang sungai. Jalur loggingnya langsung masuk ke sawmill di
Guntul. Jalur logging juga terdapat di Sungai Luar, panjang sekitar 10 km. Jalur
logging di Kerangkang dan Jalur logging di Sumpak.
Logging sekali jalan ada delapan log kayu. Kayu diangkut dengan truk beroda 12.
Kadang, bagian belakang juga diberi gandengan. Panjang kayu sekitar 15 meter.
Kalau diameter kayu 1,5 meter, kayu dipotong delapan hingga sepuluh meter.
Sebab, bila terlalu panjang, mesin penjepit atau loader, tak akan sanggup
mengangkat kayu.
Pengolahan kayu lapis tak ada di sepanjang perbatasan. Pernah ada yang coba
mendirikan di Badau. Namun tak jadi. Sebab, proses membuat kayu lapis terlalu
panjang.
Sistem kerjanya berdasarkan kepercayaan. Ibaratnya, pakai air basin saja sudah
dapat duit, katanya. Air basin adalah air ludah. Maksudnya, hanya dengan modal
kepercayaan, para pekerja kayu seperti dirinya, sudah bisa bekerja.
Ketika pertama bekerja dengan Hengking, Karim membawa satu kayu truk. Satu
truk kayu setara dengan 2,7 tan. Ia malah diberi uang lebih dari harga satu truk
kayunya. Tujuannya, agar bisa bekerja dan mencari kayu lagi.
Menurutnya, cukong kayu dari Malaysia bersikap baik. Mereka berani memberikan
uang sebagai modal terlebih dahulu.
Ketika IL belum marak di perbatasan, Karim membawa kayu ke Pontianak. Ia biasa
membawa 2-3 rakit ke Pontianak. Pembayarannya, butuh waktu satu hingga dua
bulan untuk mencairkan uangnya. Di Malaysia, hari itu setor kayu, langsung dibayar
juga.
Pembayaran juga dilakukan dengan sistem borongan. Misalnya, bawa kayu hingga
100 ribu batang. Selesai satu minggu, baru berhitung. Ongkos angkutan, biaya
tambahan selama perjalanan ditanggung kontraktor. Pengusaha dari Malaysia,
terima bersih kayu sampai di log pond atau lokasi penumpukan kayu di perbatasan.
Ia punya karyawan belasan tukang chain saw dan pekerja sepeda. Kalau ada
karyawan kecelakaan atau meninggal, akan ditanggung biaya perawatan atau
pemakamannya. Namanya kerja di hutan, ada saja kecelakaan, kata Karim.
Saat kayu marak, Lanjak penuh dengan pekerja kayu, supir truk, kernet, dan
lainnya. Sedari pagi, suasana ramai sangat terasa. Orang berlalu lalang mengejar

setoran angkutan kayu. Banyak truk datang dari Putussibau, Sintang, Pontianak,
Singkawang, bahkan dari Jawa.
Dari memberangkatkan satu truk, dia dapat untung Rp 1 juta. Meskipun afkir atau
ada cacat, kayu tetap dibeli cukong. Sebab, kalau sudah masuk timber dan diolah,
akan menjadi kayu baik semua.
Seperti juga Karim, Antonius Hermanto (39), warga Ukit-Ukit, Lanjak, bekerja
sebagai kontraktor kayu untuk Hengking. Saat kayu sedang marak, ia merantau dan
bekerja di Malaysia. Para perantau biasanya bekerja di empat sektor. Sebagai
pekerja bangunan atau jalan, buruh perkebunan sawit dan kilang kayu atau sawmill.
Pada 2003, ia mulai tertarik bekerja di perkayuan. Alasannya, sebagian besar
pekerja kayu dari orang luar Lanjak, terutama Sambas.
Dari pada kita nonton, lebih baik jadi pemain, kata Anton. Dia hanya kebagian tiga
kontrak. Sekali kontrak 3 bulan.
Anton mengenal Hengking dari temannya. Ia berkata pada Hengking, sebagai warga
lokal, banyak kenal orang dan punya lokasi garapan. Ia sanggup menyediakan lahan
garapan kayu. Kedatangannya tak bawa kayu. Ia hanya bawa badan. Malah,
sebelum membawa kayu, ia pinjam uang pada Hengking Rp 50 juta. Uang itu
sebagai bekal kerja mencari pekerja chain saw dan pekerja sepeda dari Sambas.
Ia datang ke Hengking dengan membawa daftar hadir rapat di kampung dan rumah
betang. Selain itu, ia bawa berita acara penyerahan lokasi, terutama dari kepala
dusun. Ada kesepakatan fee, tentang pekerja, pembayaran fee, keterlibatan orang
kampung mengontrol kubikasi kayu. Dengan itu, bisa jadi modal pinjam uang ke
Hengking, kata Anton.
Menurutnya, mendapatkan lokasi tebangan di hutan, perlu pendekatan khusus pada
pemimpin di kampung. Orang itu mesti punya pengaruh dan dihormati. Atau, ia
keturunan bangsawan. Dari pendekatan itu, ia menyampaikan bahwa ada hutan di
kampung yang bisa diusahakan. Juga mengenai cara dan pembagian hasilnya. Ia
akan memprioritaskan orang setempat sebagai pekerja. Terutama sebagai pembuat
jalan, potong kayu dan chain saw.
Anton punya lokasi garapan kayu di Sungai Tebelian, Embaloh Hulu. Jarak dari jalan
lintas utara sekitar 2 km. Bahkan, lokasi garapan itu, jarak 1 km sudah bisa
produksi. Kayu yang diambil jenis tertentu dan berkelas. Misalnya, meranti, kapur,
jelutung. Kayu yang tak diambil, jenis sempeti, rengas, bintangor dan resak. Kayu
itu untuk membuat rumah bagi warga.
Para pekerja chain saw dibayar Rp 30 ribu setiap satu tan. Ia punya 30 pekerja
chain saw. Dalam sehari sanggup menghasilkan 30-40 tan. Setelah kayu

glondongan dipotong jadi kayu balok sesuai ukuran yang diinginkan, kayu dibawa
tukang sepeda. Kayu ditaruh dekat jalur lintas utara. Jalur lintas utara merupakan
jalan utama menuju Badau.
Supir dan kernet truk datang dan menawarkan jasa angkutan. Truk bebas membawa
kayu siapa saja. Supir truk akan diberi kwitansi. Ada tiga lapis kwitansi sekali
pengiriman kayu. Warna putih, kuning dan merah. Kwitansi warna putih diberikan
kepada supir. Warna putih untuk cukong kayu Malaysia. Bon warna kuning disimpan
kontraktor kayu. Hengking akan bayar truk. Setelah itu, ia potong ongkos dari kayu
yang disetor.
Selama perjalanan, Anton bekali truk untuk bayar pungutan dari aparat pemerintah,
maupun warga setempat. Setelah melewati pertigaan jalan Malindo atau biasa
disebut Simpang Nyamai (dalam bahasa Dayak Iban, artinya, Simpang Nyaman).
Setiap truk harus bayar pos bea cukai Rp 50 ribu. Di pos ini, ada polisi, TNI, Pemda.
Setelah itu, melewati tanah warga. Di lokasi ini, truk harus bayar Rp 25 ribu. Kayu
berakhir di lapangan penumpukan cukong Malaysia. Ia harus bayar parkir
penumpukan kayu, 12 ringgit.
Sesampai di sana, kayu dipindah ke truk Malaysia. Namun, ada juga truk yang
langsung ke Malaysia. Setiap cukong ada lapangan bongkar kayu. Kayu hasilnya
sedikit, karena banyak yang masuk ke pajak, kata Anton.
Pada kontrak pertama, Anton dapat Rp 25 juta. Kontrak kedua, Rp 20-30 juta. Hasil
kedua lebih besar, karena tak perlu keluarkan uang untuk buat jalan. Kontrak ketiga,
Rp 11-15 juta. Hasilnya lebih kecil, karena hutan mulai habis.

Pembabatan Hutan di Danau Sentarum


Pembabatan hutan tak hanya terjadi di dataran lapang. Tapi juga di sekitar Danau
Sentarum. Danau air tawar seluas 132 ribu hektar itu, memiliki keanekaragaman
hayati terbesar. Danau Sentarum penyumbang perikanan darat terbesar di Kalbar.
Juga, jadi penyeimbang aliran air Sungai Kapuas. Sungai terpanjang di Indonesia
yang melewati tujuh dari 14 wilayah di Kalbar. Panjang Sungai Kapuas sekitar 1100
km.
Danau Sentarum merupakan muara dari sebagian besar sungai besar di Kapuas

Hulu. Sebut saja Sungai Leboyan, Sibau, Mendalam, Batang Lupar, dan lainnya.
Danau Sentarum terdiri dari puluhan danau. Namun, keelokan dan ketenangan
danau mulai terusik. Seiring maraknya illegal logging (IL) di Kalbar, sekitar 19982004. IL berawal di Tekura, Puring Kencana, Badau sekitar 1998. Di Lanjak mulai
2000. Tahun 2004, IL berakhir.
Ribuan orang menebang dan membuka hutan di sekitar danau. Perusahaan kayu
membangun sawmill atau pengolahan kayu, dan pelabuhan pengangkutannya di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) yang menuju Danau Sentarum.
DAS Sungai Leboyan sebagian besar buka kayu. Aktivitas kayu terdapat di Leboyan
bagian hulu, Kelawik, Nanga Ngaung, Nganti, Kapar Tekalong, Lubuk Bandung,
Manggin, Meliau, Tempurau, Semangit dan Semalah. Ada empat pelabuhan besar di
DAS Leboyan. Yaitu, di Nanga Semantik, Tapang Teluk, Desa Melembah dan Sungai
Bunut.
Danau Kasen menjadi salah satu dari kegiatan IL. Mereka mengambil kayu dari
Bukit Peninjau, seluas 300-400 hektar. Bukit itu milik warga rumah betang Meliau,
kata Sodik, anggota Badan Musyawarah Desa (BPD). Warga di rumah betang Meliau,
sehari-hari menjadi nelayan dan petani.
Kayu yang diambil terdiri dari jenis luih, keladan, kelasau bukit dan meranti. Kayu
tekam tidak boleh diambil. Warga menggunakannya untuk bangun rumah. Ini jenis
kayu kelas satu. Kayu itu tenggelam di air.
Ada 19 kamp di desa itu. Kamp merupakan tempat tinggal pekerja, selama
menjalankan aktivitas IL, mulai dari penebangan hingga pengangkutan kayu.
Salah satu kontraktor penebang kayu di Danau Kasen bernama Suwardi. Setiap
kontraktor punya dua bagian. Pekerja chain saw dan pekerja sepeda. Chain saw
bertugas menebang dan memotong kayu, sesuai ukuran yang diinginkan. Pekerja
sepeda bertugas mengangkut kayu yang sudah digergaji dengan sepeda.
Sistem kerjanya secara rombongan. Satu rombongan sekitar 10 orang. Jumlah
pekerja sepeda, biasanya dua kali lipat dari pekerja chain saw. Bila jumlah pekerja
chain saw satu rombongan, sepeda dua rombongan.
Kontrak kerjanya tiga bulan saja. Cara kerja dibagi tiap wilayah dan blok. Setelah itu
membuat jalan untuk jalur pengangkutan kayu. Pekerja sepeda sebagian besar
orang Sambas. Mereka sangat ahli dan kuat membawa kayu dengan sepeda.
Kemampuan mereka diakui. Mereka memodifikasi sepeda roda dua dengan
tambahan besi pada rangkanya.
Pekerja chain saw biasanya warga setempat. Chain saw bawa dua anak buah. Selain

memotong kayu, pekerja chain saw harus memotong balok kayu menjadi beberapa
ukuran. Kayu digergaji dengan ukuran 12x20 cm atau 20x20 cm dan panjang antara
360-420 cm. Ukuran disesuaikan dengan kebutuhan.
Sebelum mengerjakan suatu hutan, biasanya ada survei ke lokasi tebangan. Bila
dianggap memiliki prospek, mereka mendatangi kepala dusun atau desa untuk
minta izin. Kepala dusun mengadakan rapat dengan warga. Dalam pertemuan ada
beberapa hal jadi kesepakatan. Misalnya, tak boleh menebang kayu di bekas ladang
warga. Tak boleh menebang kayu ke atas bukit, sebab bisa membuat longsor. Ada
pembagian hasil atau fee kepada warga. Uang diserahkan ke kas desa. Setelah itu,
setiap rumah dapat bagian.
Di danau tidak ada sawmill. Warga tak mengizinkan. Sebab, limbah sawmill yang
berupa kayu atau serbuk gergajian, akan dibuang ke danau atau sungai. Hal itu
membahayakan kehidupan di danau. Pernah ada yang minta izin hingga dua kali.
Namun, warga tidak mengizinkan, kata Sodik.
Setiap wilayah tak ada standar pembagian fee. Tergantung rapat warga dan
kontraktor. Orang buka kayu biasanya tergantung kesepakatan. Di Meliau, setiap
satu balok kayu, desa dapat Rp 5 ribu untuk kas desa. Dalam satu hari, kontraktor
menebang sekitar 5.000-6.000 balok.
Para pekerja chain saw dibayar per tan. Satu tan setara dengan 1,6 kubik. Tiap satu
tan, pekerja chain saw mendapat Rp 50 ribu. Satu tan terdiri dari 8-10 balok kayu.
Dalam sehari bisa hasilkan 5-6 tan. Pekerja membawa kayu balok dari Bukit
Peninjau ke Danau Kasen. Jaraknya sekitar 6 km. Kayu diikat dengan sepeda.
Pekerja sepeda dibayar Rp 50 ribu per tan. Dalam satu hari bisa 5 kali angkut.
Jalur sepeda lebarnya sekitar satu hingga satu setengah meter menyusuri hutan.
Agar bisa lewat, pekerja menempatkan papan selebar 10 cm di atas jalur yang
sudah dibuka. Nah, di papan itulah, para pekerja sepeda harus mengarahkan
sepedanya, supaya tidak terpelosok. Sepeda harus dituntun. Mereka harus punya
keseimbangan yang baik. Sebab, sekali sepeda jatuh, bisa berakibat fatal. Pekerja
bisa tertimpa sepeda dan kayu. Sekali angkut bisa 2-4 batang kayu. Yang beratnya
mencapai 150-200 kg.
Tukang angkut dengan sepeda, pasti dicari dari Sambas. Cara mencari para pekerja
ini, ditunjuk kepala rombongan. Orang ini harus punya kapasitas dan jaringan
pekerja sepeda di Sambas. Biaya transportasi dari Sambas, makan selama
perjalanan hingga orang itu masuk ke lokasi kayu, butuh biaya sekitar Rp 200 ribu.
Sebelum pekerja sepeda keluar dari rumah, keluarganya harus diberi uang Rp 500-1
juta. Agar, keluarga bisa mencukupi kebutuhannya.
Kontraktor kayu menyediakan kamp bagi pekerja chain saw dan sepeda. Ia

menanggung semua kebutuhan pekerja selama di kamp. Segala keperluan dihitung


sebagai bon atau hutang. Bon akan dihitung, setelah hasil chain saw dan sepeda
selesai. Setelah itu, sisanya buat pekerja.
Sekali kontrak tukang sepeda dapat Rp 7-8 juta. Pekerja chain saw dapat Rp 5-6
juta, karena ada anak buah. Pembayaran fee dibayar satu kali kontrak. Kontrak
dengan karyawan tiga bulan.
Danau Kasen merupakan pelabuhan transit. Setelah itu, pekerja mengangkut kayu
dan dihilirkan menuju Lanjak. Lanjak merupakan pelabuhan kayu di wilayah Danau
Sentarum dan Kapuas. Dari Danau Kasen kayu dirangkai 6-7 batang. Lalu, dihilirkan
ke Sungai Leboyan, melalui Sungai Sematik. Caranya, pekerja mengikat kayu
dengan drum. Sehingga kayu bisa mengapung. Butuh waktu satu hari membawa
kayu ke hilir.
Setelah tiba di Sungai Leboyan, pekerja merangkai kayu menjadi rakit. Setiap rakit
terdiri dari 30 kayu. Setiap rakit terikat satu dengan lainnya. Setelah terkumpul
1.000 batang, rakit didorong menggunakan motor bandong atau motor air, menuju
Lanjak lewat Danau Sentarum.
Lanjak merupakan terminal kayu. Upah pekerja angkut kayu ke truk, Rp 100 ribu.
Sewa truk Rp 350 ribu. Selanjutnya, pekerja mengangkut kayu menuju Badau. Jarak
Lanjak dan Badau sekitar 123 km.
Selain dapat fee dari kayu yang ditebang, warga juga menebang kayu di sekitar
kampung mereka. Mereka menebang kayu pada musim kemarau, antara April
September. Saat itu, sebagian besar permukaan danau kering. Ketika musim
penghujan tiba, warga membawa kayu yang sudah ditebang dengan rakit, menuju
rumah Betang.
Aparat tak pernah datang ke lokasi. Mereka tutup mata. Padahal mereka tahu,
kata Sodik.
TNI dan polisi biasanya minta upeti langsung pada pengusaha kayu dari Malaysia.
Mereka jarang minta ke warga. Terutama warga lokal. Pada hari besar kenegaraan
atau keagamaan, aparat terkadang minta jatah juga. Mereka juga jadi perantara
bagi yang ingin masuk ke lokasi tebangan baru.
Akibat IL, sekarang ini, kayu terdekat dari perkampungan berjarak tiga km. Dulu,
satu km sudah ada kayu. Ketika Danau Kasen ditutup, masih terdapat sekitar
5.000-6.000 batang kayu di danau, kata Sodik.

Para Cukong Penyokong Dana

Yosep Unja (43), juga kontraktor kayu yang bekerja pada Hengking. Ia berasal dari
Ukit-Ukit, Embaloh Hulu. Unja punya garapan di Limpasuk, sekitar 40 km dari
Badau. Untuk bawa kayu menuju Badau, ia bayar sewa truk Rp 175 ribu.
Sama seperti Anton, ia juga tak mau sekedar sebagai penonton di daerahnya
sendiri. Apalagi harga kayu cukup lumayan. Ada cukong kayu dari Malaysia sebagai
pembeli dan pemberi modal kerja. Dan, ada peraturan memberikan izin pembukaan
dan pemanfaatan hasil hutan 100 hektar.
Cukong kayu Malaysia juga berebut kayu. Mereka selalu berusaha memberi
pelayanan terbaik, bagi para kontraktor. Menurutnya, cukong paling bagus adalah
Hengking. Sebab, kalau warga perlu, dia gampang bantu. Kalau kayu datang,
Hengking langsung bayar. Dia selalu bawa stok uang, kata Unja. Kontraktor jual
kayu senilai Rp 50 juta, langsung pinjam Rp 50 juta, juga akan diberi.
Menurutnya, ada sekitar 20 cukong kayu di perbatasan yang menampung dan
mengusahakan langsung kayu dari Indonesia. Antara lain, Ngu Tung Peng alias
Apeng, Hengking, Robin, Hendri, Simon, Lily, Aseng, Ling, Simon, dan lainnya.
Menurut Anas dari WWF Kalbar, cukong warga lokal juga banyak. Misalnya, Shaang
dari Lanjak. Imelda dari Ukit-Ukit. Yusuf Baja dari Lanjak. Sawang dari Lanjak. Haji
Ali dari Jongkong. Sukardi dari Jawa Timur. Dadang dari Semitau. B. Saren dari
Benua Martinus. Mathias Eges dari Benua Martinus. Agap dari Bukung. Edmundus
dari Ukit-Ukit.
Unja langsung bawa kayu ke Hengking. Harga kayu cukup berfariasi. Kayu meranti,
400-600 ringgit tiap tan. Kayu jelutung, 700 ringgit tiap tan. Kayu kapur, 400-600
ringgit tiap tan. Kayu ramin, 800-1500 ringgit tiap tan. Kayu ramin ada kategori A, B
dan C. Kayu ini diekspor ke Jepang, Singapura, dan Thailand. Ramin digunakan
sebagai bahan bangunan dan alat rumah tangga. Harganya mencapai $ 900 tiap
satu tan, kata Anas.
Ketika usaha kayu ditutup, Unja rugi Rp 30 juta. Ia harus bayar karyawan,
transportasi kepulangan karyawan dan lainnya. Belum lagi kayu yang tak bisa
diangkut dan dijual.
Selain menampung kayu dari para kontraktor, cukong dari Malaysia juga mendirikan
sawmill di Indonesia. Awalnya kayu-kayu persegi dibawa langsung ke Malaysia.
Karena tak ada gangguan, orang Malaysia mendirikan timber atau pengolahan kayu
sendiri.
Kalau dari awal dicegah masuk, tidak akan ada illegal logging, Matius (48), Dusun
Tematu, Lanjak.

Ia merasa bingung, mengapa orang Malaysia bebas masuk ke Kapuas Hulu. Tak
mungkin orang Jakarta tak tahu. Ia anggap pemerintah Indonesia malu-malu untuk
ambil cukai. Padahal, kalau pemerintah mau fasilitasi pendirian sawmill yang
dikelola pemerintah, uangnya bisa untuk pembangunan di Kalbar. Sebab, sawmill
ada SPTH-nya. Ada SPK. Sehingga ada pemasukan bagi masyarakat. Akhirnya, cukai
diambil raja-raja kecil di kampung. Namun, uangnya untuk kepentingan sendiri.
Padahal, dari hasil kayu jumlahnya miliaran.
Malaysia mendirikan perusahaan yang menampung kayu illegal dari Indonesia.
Setiap kayu yang masuk diberikan sertifikasi, sehingga jadi kayu legal. Setiap tan
bayar 15 ringgit. Kayu yang dibawa ke Malaysia, betul-betul grate A. kayu tak ada
noda atau pecah, kata Matius.
Negosiasi pembuatan sawmill maupun pengusahaan kayu, berada di rumah betang.
Setelah dapat uang, biasanya rumah betang berganti dengan beton. Itu salah satu
ciri dari adanya sawmill atau aktivitas illegal logging, kata Matius.
Matius pernah bekerja sebagai manager di sawmill. Sawmill butuh 200-300 balok.
Sistem kerja ada tiga shift. Ukuran kayu 15x9 cm dengan panjang 16 feet. Ukuran
kayu 12x9 cm dengan panjang 14 feet.

Di Kecamatan Batang Lupar, ada tujuh sawmill. Pertama,


di Guntul. Ini lokasi sawmill paling besar milik Apeng. Sawmill itu punya 8 mesin
bend saw atau gergaji pita, 2 gergaji pembelah (break down) dan 8 pemotong
(cutter). Bend saw merupakan mesin penggergajian statis bagi kayu gelondongan.
Pekerja di Guntul jumlahnya ribuan. Mereka datang dari seluruh wilayah di
Indonesia. Terutama dari Sambas, Jawa, NTT dan Sulawesi Selatan. Kedua, Sumpak,
terdapat dua bend saw dan satu mesin pemotong. Ketiga, Tematu, ada dua bend
saw, dua pemotong dan satu pembelah. Keempat, Sepan, ada dua bend saw dan
satu pembelah. Kelima, Sungai Luar, ada tiga bend saw, tiga pemotong dan satu
pembelah. Keenam, Ukit-Ukit, ada satu bend saw, satu pemotong. Ketujuh, Kelawik,
ada tiga bend saw, dua pemotong, dan sa tu pembelah.
Kecamatan Embaloh Hulu, ada satu sawmill di Kerangkang, terdapat empat mesin
bend saw, empat pemotong dan satu mesin pembelah.
Henri Jali (62), kepala dusun Sungai Luar, menyerahkan wilayah hutannya pada

cukong Malaysia bernama Mr. Ling. Fee untuk rumah betang 25 ribu ringgit, kata
Jali. Saat itu, satu ringgit nilanya Rp 2.200.
Ia sudah lama jadi kepala dusun di rumah betang Sungai Luar. Pekerjaan warga di
rumah betang, menoreh karet bekerja di Malaysia. Zaman kayu warga mengerjakan
sendiri kayu, dan bekerja sama dengan perusahaan Malaysia.
Perusahaan tidak sengaja masuk. Ada warga yang mengajak toke masuk, kata
Jali. Toke merupakan sebutan untuk pengusaha dalam bahasa China.
Perjanjian dengan warga, boleh ambil kayu, tapi harus bangun rumah betang yang
ditinggali warga. Kayu jenis tertentu, seperti kayu belian tak boleh diambil. Kayu itu
untuk membangun rumah. Yang di gunung tidak boleh ditebang lagi, karena warga
takut kehilangan sumber air.
Sebagai pimpinan di sawmill, Ling punya wakil dua orang. Namanya, Ayu dan Acien.
Ketua Dusun Luar, Hen. Wakil, Awa. Bagian lapangan, Paulus Jimbau. Setelah era
kayu berakhir, Jimbau jadi anggota DPRD Kapuas Hulu.
Sawmill di Sungai Luar punya tujuh bend saw dan satu mesin pembelah. Sistem
kerja harian, pakai tan. Bagian sawmill sehari dapat bayaran Rp 100 ribu. Bagian
bend saw Rp 150-300 ribu.
Warga setiap hari ke Malaysia, belanja kebutuhan sehari-hari. Beli gula, kopi, beras,
dan lainnya. Dulu, bukan main makanan. Sekarang, makan ayam sebulan sekali
saja sudah lumayan, kata Iding.
Rumah betang terdiri dari 30 pintu. Listrik untuk penerangan gunakan generator
kecil yang mampu buat 200 lampu menyala. Di kamp ada ratusan lampu. Sawmill
ada dua genrator. Satu 5 ribu watt dan 25 ribu watt.
Kayu dari Sungai Luar dibawa ke Pelabuhan Sibu, Sarawak. Selanjutnya ekspor ke
Jepang dan Korea. Mereka punya log yard atau lapangan bagi kayu log di Badau.
Kalau lapangan bagi kayu log di danau bernama log pond.
Selain menjarah hutan secara manual dan mekanis pembabatan hutan juga
dilakukan di Taman Nasional Betung Kerihun (TNBK) dan Taman Nasional Danau
Sentarum (TNDS).
Seperti yang dilakukan Zulkifli (31) sekitar tahun 2000. Dia bersama kakak dan
beberapa orang lainnya, menebang kayu di sekitar hulu Sungai Sibau. Kayu
ditebang dan dibiarkan dulu di sungai, kata Zulkifli. Agar orang tidak masuk ke
wilayah itu, bagian masuk ke sungai ditutup beberapa kayu gelondongan. Kayu
dipasang melintang.

Setelah terkumpul, kayu glondongan diikat sebagai rakit. Lalu, dibawa dengan cara
menghanyutkan dan mengikuti aliran sungai hingga ke Putussibau. Perjalanan
butuh waktu sehari semalam. Setelah sampai di Putussibau, ada pedagang
pengumpul. Dari Putussibau, kayu dibawa ke Danau Sentarum.
Uang sangat berlimpah saat itu, kata Zulkifli.
Zulkifli selalu menabung. Dari pekerjaannya tersebut, ia bisa membuat rumah,
kendaraan dan lainnya. Beda dengan keluarga kakaknya. Begitu kayu habis, habis
juga uangnya.

BICARA MENGENAI IL di Kapuas Hulu, tak bisa dipisahkan dengan orang yang satu
ini. Namanya, Ngu Tung Peng alias Goh Tian Tek alias Syamsul Bahri alias Apeng.
Syamsul Bahri merupakan nama Islamnya. Pria dengan tinggi sekitar 180 cm
tersebut, merupakan orang paling dicari pihak keamanan Indonesia. Namun, dia
juga dianggap dewa penolong bagi warga di wilayah Kapuas Hulu bagian
perbatasan dengan Malaysia.
Apeng orangnya pemberani dan pekerja keras. Ia berasal dari suku Pucau. Di
daratan China, suku ini terkenal berani. Apeng selalu bawa senjata di bawah jok
mobilnya. Ada mandau, senjata laras pendek, panjang hingga soft gun.
Ia memiliki lahan kayu di berbagai wilayah dunia yang ada hutannya. Seperti, di
Indonesia, Kamboja, Thailand, Brasil dan Afrika. Ia pernah babat hutan di
Lhoksumawe, Aceh, sekitar 1980-an. Apeng juga membabat hutan di Sorong, Irian
Jaya.
Di Thailand, dia harus berperang dengan pasukan pemberontak pemerintah,
sebelum membabat hutan di sana. Jadi, ketika dia membabat hutan di Kalimantan,
ia anggap biasa saja. Sebab, tak perlu menggunakan senjata. Cukup mendatangi
para ketua adat dan dusun. Bernegosiasi dengan pejabat di pemerintahan, aparat
kepolisian dan TNI.
Dalam pelantikan Gubernur Kalbar, Usman Djafar, Apeng hadir di Gedung DPRD
Kalbar. Ia mengenakan dasi dan pakaian resmi. Sebagian besar orang tak
mengenalnya. Usman Djafar menjabat Gubernur Kalbar pada 2003-2008.
Apeng pernah beristri orang Dayak Iban. Ia pandai bahasa Iban. Setelah itu, nikah
dengan Wati, perempuan Jawa yang dia temui, ketika membabat hutan di Aceh. Dia
punya dua anak dari Wati.
Apeng operator lapangan. Dia punya perusahaan bernama Green Atlantic di Sibu,

Sarawak, Malaysia. Pimpinan perusahaan bernama Robert Ngu, adiknya. Ketika


masuk ke Kapuas Hulu, awalnya Apeng sebagai rekanan dari PT Plantana Rasyindo.
Rasyindo singkatan dari Roni Aswar Anas. Roni anak Aswar Anas, Menteri
Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Kabinet Pembangunan VI, 19931998.
Ketika peresmian PT Plantana di wilayah tersebut, 1997, Kolonel (inf) Erwin Sudjono,
ipar Presiden Indonesia, SBY, hadir. Erwin menjabat sebagai Danrem Alambhana
Wanawai (Korem 121/ABW). Ia datang bersama puluhan petinggi Hankam dari
Jakarta. Pengamanan sangat ketat. Bahkan, ada pasukan-pasukan bayangan untuk
pengamanan. Sejak 2 Mei 2006, Erwin menjabat sebagai Pangkostrad dengan
pangkat Mayor Jenderal. Ia pensiun sebagai Kepala Staf Umum (Kasum) ABRI
dengan pangkat Letnan Jenderal.
Sebagai kontraktor land clearing atau pembersihan lahan dari PT Plantana, Apeng
menghadiri acara tersebut. Land clearing merupakan salah satu cara atau kedok
untuk mendapatkan kayu.
PT Plantana bergerak di bidang perkebunan. Saat itu, perusahaan mengusahakan
lahan perkebunan seluas 60 ribu hektar di Badau, Lanjak dan Kantuk. Mereka juga
membuat pembibitan sawit.
Plantana sempat memiliki lahan seluas 1.500 hektar. Tak sabar mengikuti proses
perkembangan perusahaan, Apeng bergerak sendiri mencari kayu. Apeng
menggunakan celah dari peraturan pemerintah. Nur Mahmudi Ismail sebagai
Menteri Kehutanan dan Perkebunan (Menhutbun) pada Kabinet Persatuan Nasional,
1999-2000, memberikan izin pada warga, memanfaatkan hutan seluas 100 hektar
dan 5.000 kubik kayu.
Dengan peraturan tersebut, Apeng mendirikan koperasi dan mendanai warga
membuat IPK (Izin Pemanfaatan Kayu). Untuk dapatkan izin, koperasi harus
merogoh uang sekitar Rp 15-20 juta. Izin tersebut selesai dalam waktu sebulan.
Yang memberikan izin tentu bupati, kata Hefni.
Bupati Kapuas Hulu saat itu, Yakobus Frans Layang, 1995-2000. Setelah itu, Abang
Tambul Husin. Ia jadi bupati dua periode. Tahun 2000-2005 dan 2005-2010. Abang
Tambul Husin sangat tertutup dan tak mau berkomentar, bila bicara mengenai IL di
Kapuas Hulu.
Ketika 100 hektar habis, warga bisa minta izin lagi. Karena koperasi bayar pajak, hal
itu dibolehkan. Ada penyalahgunaan pada peluang yang diberikan. Yang semula
satu hektar, akhirnya satu benoa dikuasai. Izin 100 hektar tak dikontrol dalam
pelaksanaannya. Izin dekat rumah, tapi kerjanya di hulu sungai.

Saat itulah timbul istilah IL. Adanya perusahaan besar yang masuk, membuat hal itu
bisa dilaksanakan. Faktor orang dalam yang mengajak investor masuk, turut
memperparah IL. Akhirnya, setiap kampung membuat sendiri. Proses jual belinya
juga gampang. Bahkan, asal ada lokasi, akan mudah buka hutan. Karena itu,
kearifan lokal jadikan hutan sebagai alam yang harus dipelihara jadi hilang.
Sebuah laporan dari WWF Kalbar mengenai IL 2002-2004 di TNBK menulis,
penebangan dan penjualan kayu di kecamatan sepanjang perbatasan sudah
berlangsung sejak empat tahun lalu (1999). Menurut Camat Badau Parbubu LT.
Thobing, hal ini didukung oleh Pemda Kapuas Hulu. Latar belakang penebangan ini,
issue masuknya perusahaan perkebunan antara dua negara yang berlokasi di
sepanjang perbatasan dengan Sarawak (Malaysia).
Pertimbangan bupati saat itu, Yakobus Frans Layang, jika kerjasama perkebunan ini
benar-benar terlaksana, masyarakat adat diperbolehkan mengerjakan kayu dan
dijual ke Malaysia. Mengapa ke Malaysia? Negara ini membeli kayu dengan harga di
atas standar, mudah transportasinya, serta urusan birokrasinya tidak berbelit-belit.
Cukup dengan uang muka alias tutup mulut, maka kayu mereka pun lolos.
Menurut Humas Polda Kalbar, AKBP Suhadi, seperti dikutip dari ANTARA, Polda telah
mencatat ada 15 perusahaan milik Apeng beroperasi di Kalbar. Semua perusahaan
menggunakan nama koperasi unit desa (KUD) dan koperasi simpan pinjam. Dengan
memiliki koperasi, Apeng leluasa dapatkan izin pembukaan lahan hutan 100 hektar,
sesuai izin Hak Pengusahaan Hutan 100 Hektar, yang pernah dikeluarkan
pemerintah.
Padahal, sebagai warga negara asing, Malaysia, Apeng tidak berhak membuat
koperasi dan dapatkan hak pengelolaan hutan. Sehingga aktivitas yang dilakukan
Apeng merupakan kejahatan, kata Suhadi.
Laporan dari WWF Kalbar mengenai IL menulis, Untuk mendapatkan dana dari
pemerintah dan menghidupkan koperasi, sebagian koperasi berusaha dengan cara
membuat ukiran dan seni, serta pengadaan sembako. Mereka membuat pintu
ukiran dari kayu panyau. Pintu ini dijual ke Putussibau dan Pontianak dengan harga
Rp 500.000-Rp.700.000/pintu. Koperasi ini adalah titipan dari Imelda (sepupu
Bupati, Yakobus Frans Layang), dengan tujuan membuka hutan untuk mendapatkan
kayu. Imelda juga menjadi pembeli dan penampung kayu. Ia menguasai menguasai
pembelian kayu di Sungai Labian (Ukit-Ukit) dan sekitarnya sampai ke daerah
Mungguk.
Izin yang diberikan Menteri Kehutanan, pada akhirya dievaluasi dan dicabut pada
2005. Sebab, izin banyak yang bermasalah dan menunggak pajak. Karenanya,
ketika dinyatakan sebagai DPO (daftar pencarian orang), Apeng tak terima. Sebab,

dalam mengerjakan berbagai proyek kayu, dia mendapat izin resmi dari
pemerintah. Dalam hal ini adalah bupati, sebagai kepada daerah.
Hingga sekarang Apeng masih berstatus sebagai DPO. Kalau ada yang melihat dan
mengetahui keberadaannya, harap beritahu polisi, kata Suhadi.
Apeng selalu melibatkan masyarakat setempat. Orang ditempatkan sesuai dengan
kemampuan yang dimiliki. Ada yang jadi supir traktor, eksafator, pengupas kayu
dan lainnya. Pekerja harian dibayar Rp 30 setiap jam. Rata-rata orang bekerja 7-8
jam. Pekerjanya ratusan orang dari seluruh Indonesia. Orang dari Malaysia dan
Banglades, juga ada.
Daerah yang pertama dikerjakan di Seriang, awal 2000. Kedua, Guntul, sekitar
2001. Ketiga, Mungguk, sekitar 2003. Keempat, Merakai, sekitar 2004. Setelah itu,
kayu diangkut ke Badau menggunakan truk. Lalu, diekspor melalui pelabuhan besar
di Kuching, Sarawak. Atau, menggunakan pelabuhan kecil di Serikai.
Metode yang dilakukan Apeng sebelum masuk, dia akan mendekati para ketua
kampung.
Nanti hutan kita dibuka. Buka peluang masyarakat. Kalau sudah marak, akan
dibuka sekolah, kata Antonius Leo (52), Temenggung di daerah aliran sungai (DAS)
Labian, menirukan ucapan Apeng. Temenggung adalah ketua adat bagi warga
Dayak.
Tugasnya, menangani ketika ada tanah hak adat terlanggar IL. Tanah sudah
diadatkan. Kalau ada alat berat IL lewat tanah merah, harus bayar adat. Ada
kepercayaan di warga, tanah merah bila terongkar, harus dikembalikan lagi.
Dendanya berupa potong babi, bayar parang, sirih dan pinang, dan lainnya.
Biasanya perusahaan tak mau tahu, alatnya apa saja. Pokoknya dibayar langsung
sekalian, kata Leo. Upacara adat dan sanksi Rp 5 juta. Uang itu untuk beli
perlengkapan upacara dan kebutuhan menyelenggarakan upacara adat. Setelah itu
tanah tersebut didoakan.
Pada setiap aksinya, Apeng selalu berkata pada warga, sudah dapat izin dari
pemerintah Kalbar. Untuk memuluskan usahanya mendapatkan kayu, Apeng
memberikan fee pada rumah betang. Besarnya, 10 ringgit tiap satu tan. Ada orang
kampung yang mencatat. Premi dibayar setiap bulan. Setiap kampung dibagi sama
besar. Setiap pintu sekitar Rp 300-400 ribu.
Ia membayar honor ketua dan wakil ketua kampung. Pada tahun pertama, uang
untuk ketua kampung besarnya Rp 1,5 juta. Wakil ketua kampung Rp 500 ribu.
Tahun ketiga, ketua Rp 500 ribu. Wakil ketua Rp 300 ribu. Apeng juga membayar
orang yang dianggap vokal dan kritis. Sebab, orang itu dianggap dapat

mempengaruhi warga di kampung atau rumah betang. Untuk menaklukkan orang


ini, Apeng menggelontorkan uang Rp 300 ribu.
Apeng menyatakan pernah membantu membiayai pembangunan rumah dinas
Kepolisian Resort Kapuas Hulu, kantor Polisi Sektor Embaloh Hulu di Desa Mataso,
Kecamatan Embaloh Hulu, serta beberapa ruang di Polres Kapuas Hulu.
Humas Polda Kalbar, Suhadi menyatakan, uang yang diperoleh Apeng merupakan
hasil mencuri di Indonesia. Sehingga tidak jadi masalah, jika uang itu digunakan
bagi pembangunan di wilayah Indonesia. Karena uang yang ia berikan merupakan
uang masyarakat Indonesia. Namun, membangun harus memiliki ketentuan dan
mesti sesuai dengan daftar isian perencanaan anggaran (DIPA). Jadi untuk
membangun itu tidak asal saja, katanya.
Suhadi menyatakan, jika Apeng mengungkap kepada siapa memberikan uang
selama berinvestasi illegal di Kalbar, tidak perlu dikhawatirkan. Apeng pencuri.
Mengapa kita takut dengan pencuri? katanya.
Yuyun Kurniawan dari Yayasan Titian menyatakan, Illegal logging merupakan salah
satu extra ordinary crime, karena sifat kejahatannya yang terorganisir.
Sebagai kejahatan terorganisasi, dalam prakteknya IL memiliki jaringan dengan
berbagai lapisan kelas mulai dari masyarakat biasa, pengusaha, birokrat bahkan
sampai politisi atau elit politik. Keberadaan aktor yang cukup lengkap terlibat dalam
praktek kejahatan ini, membuat praktek IL memiliki tingkat adaptasi cukup tinggi,
terhadap perubahan sistem atau penegakan hukum.
Sejak akhir 1990-an hingga sekarang, setidaknya telah terjadi lima bentuk modus
operandi yang digunakan dalam praktek IL. Pertama, anarchic logging. Kedua, HPHH
100 hektar. Ketiga, memanfaatkan proyek pembangunan. Seperti, proyek
pembukaan jalan, transmigrasi dan lainnya. Keempat, terintegrasi dalam skema
bisnis legal yang ada. Misalnya, perkebunan dan tambang. Kelima, memanfaatkan
celah penegakan hukum, seperti modus lelang kayu.
Dalam operasinya, Apeng merangkul masyarakat biasa, pejabat pemerintah, elit
politik dan aparat keamanan. Ia juga membangun berbagai tempat pertemuan,
fasilitas pemerintah, dan aparat keamanan. Sebagian besar dapat jatah. Lengkap
sudah. Hal itu dilakukan untuk satu tujuan: melancarkan usahanya.

UU OTONOMI DAERAH mulai berlaku pertengahan 1999, dan diperbaharui pada


2003. Namun, semangat otonomi sudah mulai berlaku sejak era reformasi. Kondisi
itu didukung beberapa kebijakan yang bersifat oportunis. Seperti, kebijakan HPHH
100 hektar. Misalnya, SK Menhut No. 310/Kpts-II/1999. Dalam konteks Kalbar, hal itu

bisa dilihat di Kabupaten Sintang. Hingga 2003, jumlah izin HPHH 100 hektar lebih
dari 600 izin. Ada sekitar 1.300 kelompok ajukan izin. Pada periode yang sama, di
Kabupaten Kapuas Hulu terdapat lebih dari 400 izin dikeluarkan.
Selain SK mengenai HPHH, Dephut memberi keleluasaan kepada provinsi dan
kabupaten, menerbitkan IUPHHK melalui SK Menhut No. 05.1/Kpts-II/2000. Kebijakan
Dephut ditindaklanjuti lima kabupaten di Kalbar. Kapuas Hulu melalui SK Bupati No.
2/2000. Sintang melalui SK Bupati No. 19/1999. Sanggau dengan SK Bupati No.
15/2000. Bengkayang melalui Perda No. 1/2000. Ketapang dengan Perda No.
29/2001.
Sehingga praktis pada era transisi dari sentralisasi ke otonomi, praktek illegal
logging berada pada puncak kejayaannya, kata Yuyun Kurniawan dari Yayasan
Titian.
Meski praktek IL lebih populer sejak era reformasi sampai saat ini, namun praktek
itu diyakini sudah terjadi. Indikasinya? Adanya penurunan kualitas dan kuantitas
hutan, serta tutupan di Indonesia.
Tapi, ada beberapa faktor penyebab praktek IL tidak muncul ke permukaan pada era
sentralisasi. Kebebasan menyampaikan pendapat, termasuk membongkar praktek
IL tidak mungkin dilakukan. Alasannya, Indonesia dalam cengkraman rejim yang
kuat dan dipengaruhi para pengusaha. Yang sebagian besar melakukan praktek
illegal.
Para pelaku IL adalah kegiatan usaha kehutanan. Seperti, HPH atau HTI yang dekat
dengan penguasa. Sehingga praktek-praktek IL tidak sempat muncul ke permukaan.
Namun, bukti adanya praktek ini, dapat dilihat dari besarnya angka degradasi dan
deforestasi hutan di Indonesia, sejak 1970-an hingga akhir 1990-an.
Pada era otonomi, praktek IL jadi isu penting di sektor kehutanan. Meski, setelah
masa transisi dari sentralisasi ke otonomi, sejak 2005 praktek IL mulai alami
penurunan. Seiring dengan munculnya tekanan dari berbagai pihak, baik nasional
dan internasional, terkait praktek IL di Indonesia. Akibat dari tekanan tersebut,
pemerintah mulai serius lakukan terobosan kebijakan. Antara lain, Inpres No. 4
Tahun 2005, tentang Penertiban Praktek Illegal Logging dan Peredaran Hasil Hutan
Illegal di Seluruh Indonesia.
Selain itu, adanya UU Pencucian Uang dan UU Tindak Pidana Korupsi, juga memberi
peran turut ciptakan ketakukan bagi aktor intelektual. Seperti, cukong dan pejabat
terkait di daerah, yang terlibat dalam praktek IL.
Di Kalbar, terdapat beberapa pejabat publik, mulai dari bupati sampai kepala dinas
yang harus berhadapan dengan proses hukum, terkait praktek IL. Meskipun secara

keseluruhan, prosentase pejabat publik yang diproses secara hukum, jauh lebih
kecil dibandingkan pelaku IL lainnya, kata Yuyun.
Menurutnya, ada beberapa faktor penyebab praktek IL di Kalbar. Pertama,
lemahnya penegakan hukum, serta tidak adanya ketegasan aturan terkait dengan
pemenuhan kebutuhan kayu lokal (domestic timber procurement). Bahkan, berada
pada kondisi governless atau tidak ada tata kelola.
Kedua, lemahnya manajemen pengelolaan sumber daya hutan. Terutama terkait
data dan informasi mengenai persediaan dan permintaan kayu, terutama untuk
kebutuhan lokal. Ketiga, kepedulian para pihak terhadap penggunaan kayu legal,
masih sangat rendah. Hal ini berlaku juga di tingkat pemerintah. Keempat, ada
banyak kawasan hutan tidak terkelola dengan baik. Atau, tidak dikonsesikan kepada
unit usaha yang bisa dibebankan tanggung jawab, dalam hal pengelolaannya.
Sehingga kawasan ini menjadi open access bagi para pelaku illegal logging, kata
Yuyun.
Disisi lain, pemerintah tidak ada sumber daya cukup, mengelola kawasan-kawsan
yang cenderung terbuka tersebut. Dari lebih 4 juta hektar kawasan hutan produksi
di Kalbar, hanya sekitar 1,7 hektar yang merupakan konsesi HPH. Yang tanggung
jawab pengamanannya berada di pemegang izin. Selebihnya, ada sekitar 2,3 juta
hektar kawasan terbuka untuk dimasuki. Sehingga rentan terjadinya praktek IL.
Kelima, masih ada perbedaan di tingkat pemerintah pusat, provinsi dan kabupaten,
terkait tanggung jawab dan wewenang pengelolaan hutan. Terutama yang
berpotensi terhadap pendapatan asli daerah (PAD).
Dibandingkan jumlah HPH dan industri kehutanan pada era 1970-1980-an, jumlah
usaha sektor kehutanan di Kalbar, saat ini menyusut lebih dari 75 persen. Pada
2004, Dephut mencabut sekitar 60 izin HPH di Kalbar, terkait kebijakan soft-landing
policy.
Mengenai penyebab IL, akademisi dari Universitas Tanjungpura (UNTAN), Adi
Suryadi, dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) menuturkan, Illegal
logging merupakan dampak ikutan dari HPH.
Menurutnya, kontrol pemerintah terhadap HPH sangat lemah. Tahun 1970-an,
pemerintah bangun sistem eksploitasi hutan. Paradigmanya berorientasi pada
produksi. Ketika HPH digalakkan, banyak perusahaan tak patuhi aturan pengelolaan
hutan. Kontrol terhadap HPH lemah. Kalau ada pelanggaran sanksinya lemah.
Sehingga IL berkembang dengan pesat. Alasannya, orientasi pembangunan pada
produksi dan ekonomi, ciptakan ekonomi yang kondusif. Sehingga eksploitasi
terhadap hutan bisa dilakukan.
Tingginya permintaan Eropa terhadap kayu, turut memperparah illegal logging,

kata Suryadi.
Menurut Yuyun dari Yayasan Titian, praktek IL dan perdagangan kayu illegal
mengalami pasang surut, tergantung beberapa faktor. Hal yang paling kuat adalah,
pengaruh faktor keamanan. Terutama berkaitan dengan tindakan penegakan hukum
atau operasi penertiban. Namun, operasi penegakan hukum terkait pemberantasan
IL dan perdagangan kayu illegal, sejatinya tidak bekerja atau digerakkan
berdasarkan sistem tata kelola yang baik, sebagaimana mestinya.
Operasi penegakan hukum cenderung terjadi, sebagai akibat atau ada beberapa
alasan. Pertama, tekanan kelompok dari dalam maupun luar negeri. Kedua,
hadirnya kepemimpinan baru. Sehingga operasi pemberantasan cenderung bersifat
show of power. Ketiga, upaya posisi tawar kelompok tertentu, dengan menggunakan
alat kekuasaan atau penegak hukum.
Upaya pemberantasan IL pada masa reformasi belum mendapatkan respon serius
secara politik di tingkat nasional. Namun, wacana praktek IL yang berdampak
secara sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan, sudah mulai jadi pembicaraan.
Tetapi, kembali lagi, upaya pemberantasan praktek kejahatan lingkungan pada
masa reformasi ini, disikapi secara kompromis untuk meredam semangat otonomi.
Sehingga kebijakan yang muncul cenderung bersifat oportunis. Yang pada
akhirnya, justru meningkatkan eskalasi praktek illegal logging di lapangan, kata
Yuyun.
Pada awal tahun 2000, pemerintah melakukan upaya lebih serius dengan
menggelar beberapa operasi pemberantasan IL. Seperti, Operasi Wana Bahari,
Wanalaga dan Hutan Lestari. Operasi melibatkan instansi penegak hukum lintas
sektoral. Dari Dephut, TNI dan Polri.
Tapi, pemberantasan IL di tingkat perdagangan kayu, kebijakan pemerintah masih
sama. Dari dulu hingga kini, pemerintah dan sebagian besar pihak, masih terpaku
pada tingkat perdagangan kayu yang mengarah pasar internasional atau ekspor.
Kondisi ini tidak lepas dari adanya aturan berbagai pihak di tingkat internasional,
yang menuntut perdagangan kayu legal. Seperti, Voluntary Partnership Agreement
(VPA) yang berlaku untuk pasar Eropa. Lacey Act yang berlaku bagi pasar Amerika.
Green Konyuho untuk pasar Jepang.
Ketiga wilayah pasar internasional tersebut, merupakan sasaran perdagangan kayu
Indonesia. Karenanya, pemerintah lebih menaruh perhatian pemberantasan IL yang
berhubungan dengan pasar tujuan tersebut. Padahal, perdagangan kayu di tingkat
domestik, sampai saat ini, masih di dominasi kayu illegal hasil tebangan
masyarakat. Sehingga, praktek IL masih dan akan terus berlangsung.

Terutama, bila pemerintah tidak menaruh perhatian pada sisi perdagangan kayu,
dan pemenuhan kayu bagi kebutuhan lokal, kata Yuyun.
Yosep Unja berpendapat, penanganan IL tak akan bisa dilakukan, kalau cukong
masih ada. Sebab, kerja kayu muncul karena ada pembeli. Kalau aparat keamanan
hanya menangkap yang kecil-kecil, tak bakal ada manfaatnya. Illegal logging
masih tetap berjalan. Tapi kalau yang diambil bosnya, illegal logging tak ada lagi,
kata Unja.
Alasan lain munculnya IL, karena masyarakat tidak merasakan sistem legal HPH,
memberikan manfaat bagi mereka. Karenanya, ketika ada sistem illegal, namun
memberikan keuntungan bagi warga, mereka ramai-ramai melakukannya.
Ia berpendapat, hampir semua tahapan eksploitasi hutan, warga selalu terlibat.
Mulai dari hilir hingga hulu. Mulai dari penebangan, pengukuran, pengangkutan, dan
lainnya. Peran serta warga sangat besar, Suryadi.
Dunia usaha kehutanan di Indonesia, secara nasional mengalami penurunan tajam
sekitar satu dekade terakhir. Situasi itu juga terjadi di Kalbar. Kondisi kawasan hutan
di Indonesia, termasuk di Kalimantan Barat, mengalami penurunan. Baik dari sisi
kualitas maupun kuantitas. Hal itu terjadi, akibat salah urus sektor kehutanan
sekitar tiga dekade, sejak bisnis kehutanan digalakkan pemerintah.
Kondisi itu memunculkan kritik dan tekanan dari dari dalam dan luar negeri.
Terutama terhadap pemerintah dan pelaku usaha sektor kehutanan. Menanggapi
kritikan tersebut, pemerintah dalam hal ini pihak Departemen Kehutanan, sejak
awal 2000 menjalankan soft-landing policy dengan memangkas usaha sektor
kehutanan, baik HPH maupun industri yang disesuaikan dengan carrying capacity
hutan di Indonesia.
Sasaran utama dari kebijakan itu, melakukan inventarisasi dan pencabutan izin,
kata Yuyun. Terutama terhadap unit-unit manajemen yang memiliki performa usaha
kurang baik. Akibatnya, terjadi penyusutan jumlah usaha sektor kehutanan, baik
HPH maupun industri.
Berdasarkan data dari Departemen Kehutanan, hingga 2007, jumlah HPH di Kalbar
tinggal 22 unit manajemen HPH. Setengah dari jumlah tersebut, tidak menunjukkan
aktifitas produksi di lapangan. Pertengahan 2010, Dephut juga mencabut enam izin
konsesi dari 22 konsesi di Kalbar. Saat ini, jumlah konsesi yang tersisa hanya 16
konsesi. Atau, menyusut 25 persen dari jumlah konsesi sebelumnya.
Menurutnya, secara umum, praktek IL di Kalbar, alami penurunan dibanding 10
tahun lalu. Namun, praktek itu bisa saja masih terus berlangsung di lapangan,
karena adanya kebutuhan kayu di tingkat lokal. Meskipun, dalam skala lebih kecil.

Karenanya, praktek IL yang terjadi sekarang, alasannya kebutuhan kayu lokal.


Praktek IL niscaya dihentikan. Mengapa demikian? Sebab, pemerintah daerah tidak
memiliki data dan informasi yang cukup, mengenai ketersediaan dan kebutuhan
kayu. Data dasar itu penting, pengelolaan sumber daya hutan, kata Yuyun.
Selain itu, negara-negara konsumen harus punya kebijakan mengurangi impor kayu
dari sumber illegal. Dan, beberapa negara konsumen sudah ambil langkah-langkah,
terkait dengan tanggung jawab menghentikan IL di negara produsen. Sudah ada
upaya perbaikan. Seperti, adanya kebijakan VPA, Lacey Act dan kebijakan sejenis
lainnya. Namun, berbagai inisiatif dari negara konsumen tersebut, harus diimbangi
dengan upaya kita, meningkatkan upaya diplomasi dan menaikkan posisi tawar,
kata Yuyun.
Sebab, setiap instrumen kebijakan di negara yang berbeda, memiliki persyaratan
khusus yang harus dipenuhi negara konsumen. Tujuannya, agar produknya bisa
diterima pasar negara yang bersangkutan. Dalam proses meningkatkan posisi tawar
dan diplomasi, tahapan ini sudah bukan lagi menjadi domain sektoral atau
kehutanan. Tapi berbagai sektor yang saling terkait, harus memiliki sinergisitas
yang tinggi. Agar, diplomasi perdagangan di level internasional, dapat
diperjuangkan secara maksimal, kata Yuyun.

Operasi Penutupan Illegal Logging


KETIKA SUSILO Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi presiden, kegiatan IL mulai
dipantau dan ditertibkan. Pada 2004, genderang perang terhadap IL dilaksanakan.
Tidak ada yang mau main-main dengan illegal logging, kata Lutfi Achmad (56),
Kepala TNBK. Resikonya terlalu berat. Sebab, IL menjadi program prioritas yang
dilakukan SBY.
Pemerintah pusat mencabut kewenangan pemerintah daerah memberikan izin
pembukaan lahan 100 hektar. Izin diatas 5.000 hektar dievalausi. Evaluasi
mencakup, siapa yang memberikan izin. Ada rancangan dan kegiatan atau tidak.
Izin memperhatikan kelestarian hutan atau tidak.
Penyetopan kayu membuat warga menderita dan tak ada yang dikerjakan selama
satu tahun, kata Karim. Warga banyak yang bangkrut karena tak kerja. Apalagi
bagi pemiliki kayu yang belum sempat masuk ke Malaysia. Padahal, mereka sudah
menggunakan uang sendiri.
Laporan WWF Kalbar menulis, sulitnya pemberantasan IL, karena didukung aparat
keamanan. Hampir semua aparat keamanan terlibat dalam penyelundupan kayu
ini, kata Edmundus, seorang cukong.

Pernyataan itu diperkuat Yusuf Baja, salah satu penampung dari Lanjak. Kami
dicukai Rp. 55.000 per tan-nya. Ini merupakan kewajiban yang harus disetor kepada
Kapolsek. Katanya sih untuk uang keamanan, kata Baja, Di sini nyaris tanpa
hukum. Yang terjadi adalah hukum rimba. Kelompok siapa yang dianggap paling
kuat, dialah yang berkuasa. Sehingga sebagian masyarakat tidak berdaya
menghadapi mereka.
Pembalakan itu begitu demontratif. Tak ada upaya penegakan hukum. Seolah tak
ada Negara, kata Anas Nasrullah dari WWF.
Atas dasar itulah, dibuat kesepakatan dengan warga. Intinya, warga diminta
membantu dalam upaya penanganan IL. Kemudian dimulailah pengumpulan
berbagai bukti lapangan mengenai IL. Ada pembuatan foto dan film sebagai bukti
adanya keberadaan IL. Upaya dilakukan dengan menyamar dan menyusup langsung
ke pusat-pusat kegiatan IL. Hal itu tak mudah. Sebab, para logger selalu mencurigai
orang asing yang masuk ke wilayah tersebut.
Pengumpulan bukti juga sebagai respon terhadap keluhan yang disampaikan
Suhartono, kepala TNBK waktu itu. Tak ada laporan mengenai IL di TNBK. Sehingga
ada langkah-langkah dengan PHKA, mengumpulkan bukti-bukti di lapangan.
Selain itu, ada kerja media massa secara lokal, nasional dan internasional. Juga ada
testimoni dari warga. Setiap minggu dibuat sebuah upaya, agar selalu muncul
berita mengenai IL di media, cetak maupun televisi.
Kegiatan juga dilakukan dengan memberikan tekanan pada RI, kata Syahir Syah,
dari WWF. Misalnya, membuat para pembeli kayu di Eropa, memboikot hasil kayu IL.
Sehingga ada keseriusan mengenai penertiban IL tersebut. Kegiatan juga dilakukan
dengan memberikan berbagai data mengenai IL, pada pemerintah. Setelah semua
bukti lengkap dan ada, pemerintah mulai melakukan operasi penangkapan yang
dilakukan secara gabungan.
Aparat keamanan melakukan operasi gabungan untuk menangkap cukong kayu.
Ada TNI, polisi, dan TNBK. Tapi, operasi cenderung bocor. Misalnya, Tim Wanalaga 1
dan 2. Tim tak menemukan pekerja sawmill di lapangan.
Pada 23 November-7 Desember 2004, berlangsung operasi gabungan antara
pasukan TNI dari 621 Libas (Lintas Batas) Banjarmasin, Kalimantan Selatan, TNBK,
dan kepolisian. Operasi berlangsung di kawasan barat TNBK, Desa Sebabai,
Kecamatan Batang Lupar, Kapuas Hulu. Lokasi sekitar 845 km arah timur dari kota
Pontianak. Berjarak 40 km dari jalur lintas utara, dan satu km dari perbatasan RIMalaysia.
Operasi berhasil menangkap tiga cukong kayu dari Malaysia. Chien Lok Ung alias

Alok. Ling Lik Ung alias Ling. Ngu Sie Kiong alias Kiong. Ketiganya anak buah Apeng.
Ketika tertangkap, mereka langsung dibawa ke tahanan Direktorat Reserse Kriminal
(Direskrim) Polda Kalbar.
Ada beberapa barang bukti ikut disita. Lima bulldozer. Satu loader (kepiting). Satu
unit mobil tangki minyak berplat Malaysia. Satu unit injection pump eksafator. Dua
buah dinamo starter bulldozer. Enam unit mobil Toyota Land Cruiser bernomor
Malaysia. Saat kejadian, kepala TNBK adalah, Agus Sutito.
Ketika berlangsung olah TKP di lokasi kejadian pada 17 Januari 2005, sekitar 25
warga bersenjata merebut dan membawa tiga Land Cruiser tersebut. Padahal, tim
olah TKP terdiri dari 27 orang. Anggota Polhut TNBK, sembilan orang. Anggota
Polhut Dishutbun Kapuas Hulu, dua orang. Staf Kejaksaan Negeri Kapuas Hulu, tiga
orang. Anggota Kodim 1206 Putussibau, empat orang. Anggota Penyidik Polres
Kapuas Hulu, empat orang. Anggota Perintis Polres Kapuas Hulu, empat orang. Dan,
seorang jurnalis dari TV 7, Yan Andrea.
Mereka disandera warga bersenjata pimpinan Stefanus Kuya, kata Yan Andrea.
Polisi tidak melakukan pengejaran terhadap pelaku. Malah, saat polisi diminta
mengawal perjalanan lima alat berat sitaan ke Putussibau, pihak Polres minta
imbalan sebesar Rp 24 juta kepada pihak TNBK. Tapi, hanya Rp 10 juta saja yang
disanggupi oleh TNBK, kata Yan Andrea.
Bahkan, ketika Kapolres Kapuas Hulu, AKBP Didi Haryono diminta konfirmasi
mengenai permasalahan tersebut, dia tak mau memberikan keterangan. Dia malah
menjadikan dirinya juru bicara dari aparat penegak hukum lainnya, menyangkut
kasus tersebut. Sebab, hal itu sudah menyangkut tim, katanya kepada Yan
Andrea. Jadi, informasinya harus keluar dari satu pintu.
Sebelum wawancara berlangsung, Didi melakukan pertemuan dengan Letkol Media
Purnama (Dandim 1206), Benny Santoso (Kepala Kejari) dan Nelson Samosir (Ketua
PN), di kantornya. Kemudian, ia menunjuk dirinya sendiri mewakili para aparat
tersebut. Didi akhirnya diganti dan masuk kotak di Propam Mabes Kepolisian di
Jakarta.
Kepala TNBK, Lutfi Achmad menyatakan, kayu-kayu gelondongan sitaan di TNBK
berjumlah sekitar 7.000-8.000 atau setara 35 ribu meter kubik. Diameter kayu
besar-besar. Bahkan ada yang 60-80 cm. Mengenai penjarahan kayu di TNBK, ia
menyatakan, Kesulitan utama menjaga TNBK dari segi luas wilayah, kata Achmad.
TNBK luasnya 800 ribu hektar. Sama dengan wilayah DKI Jakarta. Tapi, TNBK hanya
dijaga 120 petugas dan personil lokal.
Akses TNBK melalui empat jalur sungai. Yaitu, Sungai Embaloh, Mendalam, Kapuas

dan Sibau. Setiap akses didirikan pos pengamanan. Di Sungai Embaloh, pos berdiri
di Sadap. Nanga Opat di Sungai Mendalam. Di Sungai Kapuas, berdiri di Tanjung
Lokang, Bungan. Sungai Sibau, pos berdiri di Nanga Potan. Pos merupakan desa
terdekat ke TNBK. Jaraknya, satu hari berjalan kaki.
Ketika ada kayu yang masuk, kita punya pos di dalam. Sehingga hal itu bisa
termonitor, kata Achmad. Tapi, cukong menggunakan jalur logging, hutan lindung
di TNBK.
Kesulitan TNBK pada akses. Terutama yang berbatasan langsung dengan Malaysia.
TNBK sebelah utara berbatasan dengan Malaysia, sepanjang 148 km. Mulai dari
Batang Aik dan Lanjak Entimo. Sisanya berbatasan langsung dengan konsesi kebun
dan HPH Malaysia. Tahun 2007, ditemukan helipad di pos perbatasan. Tahun 2009,
ditemukan jalan syarat atau jalan traktor, masuk ke wilayah TNBK hingga 1,5 km.
Selain mengadakan operasi pemberantasan IL, aparat keamanan juga menutup
sawmill. Salah satunya di Sungai Luar. Pasukan Brimob datang dan menutup lokasi
tersebut. Warga pernah melakukan demo. Dalam demo tersebut, warga membawa
senjata tajam dan senapan lantak. Setelah itu, sawmill dibuka satu bulan, terus
ditutup lagi.
Wah, nanti kalau demo terus, akan melawan pemerintah. Sebab, bila ada Dayak
mati satu, kita akan perang, kata Henri Iding, kadus Sungai Luar.
Ketika sawmill ditutup, berbagai peralatan dijual orang kampung. Warga memotong
mesin sawmill dan menjadikannya besi bekas. Besi dijual kiloan. Setiap kilonya Rp
1000. Satu mesin beratnya sekitar 30 kg. Traktor beratnya mencapai 4-5 tan. Yang
beli tukang loak. Polisi datang untuk potong peralatan bersama orang kampung
setiap hari, kata Iding.
Menurutnya, warga Dayak ibarat babi dan ayam yang ditaruh di kandang. Tak bisa
ke mana-mana. Kalau pemiliknya ingat, mereka akan memberi makan. Tapi, kalau
tidak ingat, binatang itu akan kelaparan, kata Iding.
Setelah terbitnya Inpres (Instruksi Presiden) Nomor 4 Tahun 2005, tentang
Pemberantasan Penebangan Kayu Secara Ilegal di Kawasan Hutan dan
Peredarannya di Seluruh Wilayah RI, ada 18 instansi diberi kewenangan menindak
dan menertibkan praktek IL. Seperti, TNI, Polri dan beberapa instansi teknis terkait
di tingkat nasional sampai kabupaten. Dalam prakteknya, Inpres No. 4/2005, tidak
dapat diterapkan secara maksimal. Alasannya, konflik kepentingan antar sektor
cukup tinggi. Terutama di tingkat penegak hukum.
Hal ini terbukti dengan munculnya beberapa insiden, yang mengarah pada
perseteruan antar instansi, kata Yuyun. Seperti yang terjadi di Kalbar, baru-baru

ini. Antara SPORC Kalbar dengan Dishut Kabupaten Kubu Raya.

Dampak Sosial Illegal Logging

NANGA BADAU merupakan wilayah paling timur di


Kapuas Hulu yang berbatasan langsung dengan Lubuk Antu, Malaysia. Pada 1970an, ada beberapa HPH berlokasi di Badau. Ada PT. Rimba Ramin, Tawang Maju,
Benoa Indah, dan lainnya.
Warga tak tahu ada pengusahaan HPH di wilayah mereka. Perusahaan tak libatkan
warga. HPH menebang hutan seenaknya. Sekalian saja kami ambil kayunya. Tapi
kalau warga yang ambil kayu dibilang illegal logging, kata Luther Iding, Dewan
Adat Dayak (DAD) Badau.
Iding keturunan Dayak Iban. Sebuah sub suku Dayak, yang sebagian besar hidup di
perbatasan Indonesia dan Malaysia di Kapuas Hulu.
Ketika warga berusaha sendiri, ekonomi mulai terasa bergerak. Masyarakat bisa
menjual kayu secara langsung. Warga bisa membangun rumah dan beli kendaraan.
Dulu, rumah dan kantor tak ada yang terbuat dari semen. Setelah IL , sebagian
besar rumah dibangun dari semen. Wilayah itu juga mulai terbuka. Banyak
pendatang dari daerah lain. Mereka berdagang dengan membuka toko atau warung.
Kalau tak ada illegal logging, tak akan ada orang Padang dan Jawa jualan nasi di
sini, kata Iding.
Hal itu berimbas pada sektor ekonomi lainnya. Iding jualan onderdil kendaraan. Era
IL berlangsung, penjualan di tokonya bisa mencapai Rp 2-3 juta sehari. Sekarang,
dapat Rp 500 ribu, sulit sekali.
Iding punya empat truk. Sewa truk Rp 350 ribu, tiap rit atau sekali jalan. Satu truk
bisa membawa kayu tiga hingga empat kali. Dulu, ban bocor sedikit akan dibuang
dan ganti baru. Sebab, kerja rit. Kalau nunggu tambal ban, akan ketinggalan rit,
kata Iding. Sekarang ini, meski sudah bocor dua kali, akan tetap digunakan.
Sebagai pengurus DAD, ia kerap menangani permasalahan kehidupan warga Dayak.
Adat mengajar yang tak baik menjadi baik. Ketika IL masih ramai, hal yang kerap
terjadi pada warga adalah, konflik batas desa. Warga sama-sama mengklaim lokasi

itu wilayahnya. Bila ada perkara, penyelesaian secara adat. Misalnya, antara Desa
Empiam dan Empaik. Soal batas, sampai sekarang yang paling mengetahui adalah
orang adat, kata Iding.
Di Badau, perubahan kehidupan ekonomi dan sosial sangat terasa. Sebab, Badau
menjadi muara dan siklus akhir dari kegiatan IL. Bertemunya para pekerja IL,
kontraktor, cukong Malaysia, membuat peredaran uang sangat besar di Badau.
Orang kita tak bisa kelola duit. Uang IL macam uang judi. Senang dapat, senang
juga keluar, kata Iding.
Ada yang sabung ayam, judi, mabuk-mabukan, prostitusi, hingga punya istri lagi.
Kegiatan prostitusi berlangsung secara terbuka. Losmen dan penginapan penuh
dengan perempuan. Mereka siap melayani tamu yang datang. Biasanya ada germo
yang koordinir, kata Andre (32). Andre bekerja sebagai supir. Ia mengantar setiap
tamu yang menyewa mobilnya.
Setiap tiga bulan sekali, germo mengganti pekerja seks perempuan dari daerah lain.
Ada rotasi silang. Pekerja seks juga berasal dari perempuan pekerja yang diusir dari
Malaysia. Pemerintah Malaysia mengusir pekerja perempuan yang dianggap
bermasalah. Mereka yang datang dari Badau, akan dipulangkan melalui jalur di
Entikong, Sanggau. Yang masuk dari Entikong, akan dipulangkan lewat Badau.
Para pekerja perempuan ini, karena tak ada uang sama sekali, pada akhirnya
bekerja sebagai pelayan rumah makan atau pekerja seks. Uang tak ada. Apalagi
yang mau dikerjakan? kata Andre.
Pusat kegiatan ekonomi lainnya yang bergerak sangat cepat adalah Lanjak. Ketika
IL masih berlangsung, pasar Lanjak sangat ramai. Kegiatan ekonomi sangat terasa.
Lanjak jadi kekuatan ekonomi yang tiba-tiba bergerak cepat. Masalah sosial segera
muncul.
Orang di sini punya budaya minum. Apalagi zaman illegal logging, kata Matius.
Tak heran bila di sekitar pasar Lanjak, mudah menemukan orang minum alkohol.
Kegiatan mabuk-mabukan itu, berlangsung dari pagi sampai malam. Tak hanya per
botol, tapi sudah pakai krat, kata Lorens dari WWF.
Hampir setiap hari ada orang minum. Setelah minum, biasanya main perempuan.
Perempuan ini mangkal di losmen-losmen yang bertebaran di sekitar Lanjak.
Prostitusi berlangsung secara tersembunyi. Beda dengan di Badau yang
berlangsung secara terbuka.
Hermansyah (45), motoris speed boat di Lanjak, pernah merasakan nikmatnya era

IL. Ketika IL masih marak, ada 32 speed boat bermesin 40 PK tergabung di koperasi.
Setiap hari, mereka antar penumpang ke Semitau, kata Hermansyah. Setelah itu
balik lagi ke Lanjak.
Perjalanan Lanjak-Semitau butuh waktu sekitar satu setengah jam. Ongkosnya
sekitar Rp 950 ribu. Dalam sehari, mereka bisa dapatkan uang Rp 1,8 juta. Jumlah
itu belum termasuk ongkos bensin. Sekarang ini, tersisa lima speed boat.
Karenanya, speed boat harus antri dan bergilir. Dalam satu bulan, satu motoris
hanya antar penumpang sekali saja.
Hal sama dialami Pujiwati (40), pemilik warung di Lanjak. Dia punya lima anak.
Semasa IL marak, ia bisa dapatkan uang Rp 2 juta sehari. Sekarang mendapatkan
uang lima ratus ribu saja susah, kata Pujiwati, mantan transmigran di Nanga Silat,
Sintang.
Pelanggan warungnya supir dan kernet truk. Juga, para pekerja kayu. Dari jam 5
pagi, orang sudah datang untuk sarapan. Warung buka dari pagi hingga malam hari.
Malam hari truk masih berderet angkut kayu.
Banyak orang berjudi, minum dan main perempuan, kata Pujiwati. Termasuk
suaminya yang bekerja di kantor kecamatan. Setiap dapat uang, selalu berjudi.
Mereka biasanya main judi di samping kantor Koramil. Mereka leluasa berjudi di
sana.
Dari jualan di warung, ia bisa buat rumah dan beli motor. Sekarang, orang yang tak
bisa simpang uang, ya, tak punya apa-apa, kata Pujiwati.
Dampak sosial IL, banyak konflik wilayah dan kecemburuan sosial. Konflik identitas
juga muncul terkait penguasaan sumber daya alam. Seperti terjadi di DAS Labian.
Ada sekitar 22 kampung di DAS Labian. Jumlahnya penduduknya sekitar Rp 6 ribu.
IL sebagian besar terjadi di bagian hulu sungai. Misalnya, terjadi di Ukit-Ukit, Tebelu,
Kelawir, Jejawe dan Bakul 1, 2, dan 3. Ukit-Ukit dan Jejawe daerah paling parah
terkena IL. Erosinya sampai ke Danau Sentarum di Nanga Leboyan.
DAS Labian awalnya ditempati orang Dayak Tamam Baloh. Dalam
perkembangannya, orang Dayak Iban mulai menempati daerah itu. Terutama di
bagian hulu DAS Labian. Yang punya lokasi orang Labian. Tapi, malah tidak
diperhatikan. Orang Guntul saja yang sebagian besar dapat, kata Anton. Guntul
sebagian besar ditempati orang Dayak Iban.
Apeng dianggap tidak menepati janji dalam pembagian hasil. Hal itu menimbulkan
kecemburuan sosial. Kalau illegal logging tak dihentikan, akan terjadi konflik etnis.
Karena banyak konflik batas wilayah, kata Unja.

Warga di Embaloh Hulu merasa rugi dengan adanya IL. Sebab, mereka tak bisa
menggunakan air, untuk kebutuhan keperluan hidup sehari-hari. Cara berladang
warga juga terganggu. Sebab, saat ladang dipakai menjadi longsor.
Sungai Labian tak bisa digunakan. Bagian hulu sungai dibabat habis untuk sawmill
milik Apeng di Guntul. Pada 2002, warga mulai menyuarakan ketidaksetujuannya.
Apeng pernah memberikan bantuan air minum, dalam bentuk pemberian pipa-pipa
pralon dan semen. Namun, tak ada realisasi pembangunan.
Akhirnya, warga menyegel dan menahan alat berat, serta mobil milik Apeng. Warga
berdemontrasi sambil bawa senjata tajam dan senapan lantak. Warga bergeming
dan tak melepaskan alat berat. Negosiasi berjalan alot. Tuntutan warga hanya satu,
air untuk minum.
Apeng minta kepada aparat keamanan, Kodim dan pemerintah, mengambil alat
berat tersebut. Saat itu, aparat keamanan datang ke tempat warga. Kalau alat
berat tak dikembalikan, saya tinggal hitung mayat kalian, kata Unja, menirukan
ucapan pimpinan aparat kepolisian.
Unja dan beberapa warga sempat dipanggil ke Lanjak, dan ditanya Mayjen dari
Mabes TNI, yang sedang mengamati IL di wilayah itu. Dia juga sempat ketemu
Kapolda Kalbar, Nanan Sukarna, mengadukan permasalahan tersebut.
IL tak hanya berakibat pada rusaknya alam dan tata kelola SDA. Juga berimbas
pada satwa di dalamnya. Orang yang kerja di hutan, tidak peduli dengan binatang
apa. Ketemu akan dimakan, kata Anton. IL yang berada di hutan, bakal banyak
binatang. Namun, bila wilayah kerjanya dekat dengan jalan raya, jarang ada
binatang.
Berdasarkan studi yang dilaksanakan Yayasan Titian pada 2004, ada hubungan
sangat kuat antara IL dan praktek perburuan dan perdagangan satwa. Contohnya,
untuk menghemat pengeluaran logistik, para penebang biasanya mendapatkan
sumber makanan dari hasil buruan. Binatang yang eksotis dan punya nilai ekonomi
tinggi, seperti burung dan beberapa satwa lainnya, bisa jadi pendapatan lain bagi
pekerja kayu.
Karenanya, tak heran bila dalam area penebangan, para pekerja kayu memiliki
kandang sementara selama di hutan. Kandang berfungi memelihara binatang hasil
buruan. Sebelum mereka membawa keluar hutan dan menjualnya, kata Yuyun.
IL juga berdampak pada bangunan fisik rumah betang. Sepanjang jalur lintas utara,
perubahan mencolok terlihat dari struktur bangunan rumah betang. Meski masih
berbentuk rumah panjang, bangunan rumah tak lagi didominasi bahan dari kayu.

Sebagian besar rumah menggunakan semen. Bangunan rumah tak lagi berbentuk
panggung dan ti

i. Namun, rata dengan tanah. Identitas rumah betang dengan segala nilai filosofinya hilang.
Seiring dengan hilangnya cara penghuni memaknai hutan dan segala yang ada di dalamnya.
Orang yang tinggal di rumah betang mulai meninggalkan pertanian, kata Henri Jali, kepala
dusun di Sungai Luar.
Warga meninggalkan pekerjaan menoreh. Orang mulai berfoya-foya. Mulai timbul kesenjangan.
Banyak yang beli motor, mobil dan barang elektronik lainnya. Untuk membeli mobil Malaysia,
warga mengeluarkan uang sekitar 15 ribu ringgit, bagi Toyota Hilux double gardan. Dan, 30 ribu
ringgit, untuk membeli truk Delta. Mobil dapat diperoleh dengan cara kredit juga.
Kendaraan itu hanya bisa dipakai dari Badau hingga Mungguk, Embalau Hulu. Tak boleh lewat
dari Kecamatan Sibau utara. Tapi, bila ada surat izin darurat, diperbolehkan hingga ke
Putussibau. Misalnya, bawa orang sakit dan butuh berobat. Ada juga yang beli mobil atau motor,
namun tak bisa pakai kendaraan tersebut. Sehingga kendaraan jadi rusak. Sekarang ini, banyak
dari alat elektonik tersebut yang dijual, karena tak ada listrik lagi, kata Jali.
Meski IL membawa dampak meningkatnya perekonomian keluarga, namun banyak kerusakan
dan masalah sosial muncul. Illegal logging ibarat nikmat membawa sengsara, kata Matius (48).

Salah satu keuntungan IL, banyak jalan dibuat. Meski jalan untuk kegiatan IL, warga bisa
menggunakan jalan tersebut. Namun, ada juga pembuatan jalan bagi IL yang malah pakai dana
APBD. Namun, pembangunan jalan tak sepadan dengan keuntungan dan hasil IL. Ketika IL
marak, aparat Pemda Kapuas Hulu pernah berkata, jalan tidak dibangun supaya IL tidak semakin
marak. Sekarang illegal logging tidak ada, jalan tetap saja hancur, kata Matius.
Uang hasil IL tak sepadan dengan kerusakan lingkungan yang terjadi. Namun, pemikiran
konseptual tersebut, tentu tak bisa muncul begitu saja pada warga. Mana kita tahu, itu sepadan
atau tidak. Yang penting ada datang uang, kata Antonius Leo (52).
Dampak nyata akibat IL, juga terjadi pada wilayah tersebut. Pada 10-12 Oktober 2010, banjir
melanda 20 kecamatan di Kabupaten Kapuas Hulu. Banjir mengakibatkan kerusakan cukup
parah. Bahkan, ada tujuh kecamatan terendam banjir. Yaitu, Kecamatan Nanga Bunut Hilir,
Jongkong, Selimbau, Nanga Suhaid, Semitau, Silat Hilir dan Embaloh Hilir.
Kepala Badan Penanggulan Bencana Daerah (BPPD) Kalbar, Tri Budiarto mengatakan,
penyebab banjir adalah, curah hujan tinggi. Sehingga DAS di sekitar 20 kecamatan mengalami

peningkatan volume air. Saat volume air meningkat, kondisi hutan sudah hancur. Sehingga daya
serap terhadap air rendah, kata Budiarto.
Dari data yang terhimpun hingga akhir Oktober, akibat banjir, sebanyak 18.061 rumah terendam.
Empat rumah hanyut. 10 jembatan putus. 2.562 hektar sawah/ladang terendam. 95 ton karet
hanyut. 4.763 batang anakan karet rusak. Sekitar 9 hektar kebun palawija, 10,8 hektar kebun
sayur terendam. Sekitar 30 ton ikan tambak masyarakat hilang. Begitu juga dengan hewan
ternah. Sebanyak 40 ekor sapi, 5 kambing,103 ekor babi, 208 ekor bebek dan 1.548 ekor ayam,
turut terbawa banjir.
Kita belum bisa pastikan angka kerugian akibat banjir. Tapi, diperkirakan mencapai miliaran
rupiah, katanya.
Pihaknya bersama NGO di Kalbar, sudah menyiapkan program rehabilitasi kehidupan sosial,
ekonomi dan budaya, di daerah yang terkena bencana banjir. Rehabilitasi dilakukan agar,
kehidupan masyarakat setelah bencana kembali normal.
Untuk menghadapi bencana yang sewaktu-waktu terjadi, BPPD Kalbar sedang membangun
kelembagaan masyarakat peduli bencana di setiap desa. Kelompok-kelompok masyarakat siaga
bencana tersebut, akan menjadi ujung tombok Pemerintah Kalbar, untuk mendorong kesadaran
masyarakat terhadap bencana. Selain itu, agar warga tidak merusak lingkungan yang sudah ada.
Kelompok-kelompok masyarakat siaga bencana tersebut, akan dibina oleh NGO peduli
lingkungan hidup, katanya.
Selain bencana secara langsung, hampir di semua tempat terjadinya IL, ada perubahan kehidupan
pada masyarakat sekitar. Dalam kondisi itu, biasanya terjadi perubahan prilaku dari masyarakat
subsistem, jadi masyarakat konsumtif. Aturan sosial jadi sangat longgar, bahkan cenderung
hilang. Dalam jangka pendek terlihat ada peningkatan kesejahteraan. Terlebih lagi jika hal itu
dilihat dari sisi materi. Namun, jika IL berakhir, kondisi kesejahteraan jauh lebih rendah sebelum
IL muncul.
Gaya hidup konsumtif tidak lagi didukung tingkat pendapatan. Dalam kondisi tersebut, tingkat
kriminalitas cenderung meningkat.
Terlebih lagi aturan sosial sudah mulai hilang pada masa IL berlangsung, kata Yuyun.
Sekarang ini, ketika ajakan menjaga hutan terus disuarakan, ada juga rasa tak nyaman pada
warga. Sebab, negara-negara yang melarang, tak memberikan pengaruh langsung pada
kehidupan warga. Contohnya Matius. Ia mengkritisi negara-negara di Eropa. Kalau atas alasan
paru-paru dunia, mengapa menjaga hutan hanya diwajibkan bagi bangsa Indonesia, katanya

seolah bertanya.
Padahal, dulunya orang Eropa menebang kayu habis-habisan. Sekarang setelah hutan mereka
habis, datang ke kita untuk melarang orang tebang kayu, kata Matius.
Adi Suryadi, dosen Untan menyatakan, pembangunan paradigma ekonomi tidak memberdayakan
warga. Akibatnya, ketika IL terjadi dengan massif, dampak secara sosial sangat terasa. Terjadi
perubahan persepsi dan pola pikir di masyarakat, kata Suryadi.
Wawasan warga yang prakmatis lebih besar dari konsepsional. Hal ini berimbas pada perubahan
sikap dan prilaku warga terhadap hutan. Harusnya, kampanye terhadap pentingnya hutan,
menjadi hal yang harus dan terus dilakukan.
Perubahan pola prilaku konsumtif sangat terasa. Warga sudah sangat mengenal nilai uang.
Perubahan itu menggeser nilai-nilai prilaku. Nilai dan norma di warga semakin terpinggirkan.
Orang lebih berorientasi pada uang dan materi. Sehingga hal itu mengabaikan moral. Orang
mencari jalan pintas. Di pusat perkembangan IL yang marak, kita bisa melihat norma agama
dan sosial ditabrak secara terang-terangan, kata Suryadi.
Secara umum, sistem moral terpinggirkan. Nilai moral tidak berlaku. Sebagai gantinya, nilai
konsumtif yang berlaku. Dampak IL yang sangat terasa, terjadi migrasi masyarakat dan
ruralisasi. Juga, terbentuknya komunitas baru pada saat HPH dan IL marak. Perubahan prilaku
muncul, karena pendapatan warga meningkat dan tak terkontrol. Tingkat kriminalitas juga naik
tajam.
Saat IL marak, peran pemerintah tidak berfungsi dan berdaya, kata Suryadi.
Peran hukum adat malah terjadi penyalahgunaan. Instrumen hukum negara maupun adat menjadi
terpinggirkan. Secara konsepsional, pelaku usaha dan pemilik modal menguasai stratifikasi. Arti
stratifikasi adalah, pembedaan penduduk atau masyarakat kedalam kelas-kelas secara bertingkat
atas dasar kekuasaan, hak-hak istimewa dan prestise.
Stratifikasinya sangat timpang. Berlakunya hukum negara atau adat, ditentukan para pemilik
modal. Penguasa adalah pemilik modal, kata Suryadi.
Fenomena menjadi lebih rumit, ketika aparat yang seharusnya menegakkan hukum, malah
berkolaborasi dengan pemilik usaha, dalam hal penguasaan hutan tersebut. Bisa dibayangkan
bila, pemerintah dan pemodal akan membuat warga terpinggirkan dan termarjinalisasi. Hal itu
yang muncul saat IL berlangsung.
Bicara mengenai IL, aparatnya harus dibereskan dulu. Menurutnya, warga sekarang tak

akomodatif. Sebab, praktek IL untungkan warga. Karenanya, warga harus diberikan alternatif
mata pencaharian. Yang dipikirkan warga bukan legal atau ilegal. Tapi, apa yang membuat
manfaat bagi warga, kata Suryadi.

Setelah Illegal Logging dan Harapan Kedepan


SEKARANG MAU membuat rumah susah. Kalaupun ada, kayu jaraknya jauh. Manalah kita
mampu mikulnya, kata Antonius Leo (52), Temenggung di DAS Labian. Kayu yang jaraknya 510 km sudah habis. Bahkan, sekarang kalaupun kerja kayu diperbolehkan, orang tak akan mau
kerja kayu. Sebab, kayu mereka tak ada lagi.
Warga harus manfaatkan lahan untuk berkebun, supaya ada pendapatan. Warga inginkan karet.
Kalau ada gaharu lebih baik. Namun, warga harus dibina, kata Leo.
Sejak IL berakhir, warga dan Pemda jadi lebih dekat. Aparat Pemda bekerja sama dengan
berbagai LSM, mulai mendekati dan mengadakan pembinaan kepada warga. Kesadaran warga
jadi lebih baik.
Matius (48) menyatakan, dengan tutupnya IL, warga harus punya alternatif pekerjaan. Kalau
sawit dijadikan alternatif, tentu harus yang berkeadilan. Masyarakat jangan hanya jadi kuli, kata
Matius.
Ia masih ragu dengan sawit. Sebab, sawit belum menunjukkan hasil. Selain itu, pembagian 80
bagi perusahaan dan 20 bagi pemilik lahan, dianggap tidak adil.
Alternatif lainnya, warga ingin tanam karet. Warga menoreh sehari 5-10 kg. Dulu, harga
sekilonya Rp 2.500-5.000. Sekarang harga karet Rp 10 ribu. Karena itulah, warga ingin tanam
getah, kata Iding. Warga di pedalaman sering menyebut karet dengan nama getah. Namun,
mesti ada pendampingan dari pemerintah dan LSM terkait.
Yuyun Kurniawan menyatakan, sejauh ini upaya pemberantasan IL masih tahap pendekatan
penegakan hukum. Pendekatan melalui penyediaan alternatif pendapatan lain untuk
menggantikan IL, tidak dibangun secara bersamaan dengan upaya penegakan hukum, kata
Yuyun.
Akibatnya, ketika terjadi pemberantasan IL, terjadi kejutan ekonomi. Tidak hanya bagi pelaku
IL, tapi juga berdampak terhadap masyarakat secara luas. Hal itu terjadi, karena praktek IL telah
menciptakan dampak ikutan secara ekonomi, terhadap berbagai sektor usaha. Seperti,
transportasi, perdagangan dan lainnya.
Karenanya, perlu kerja sama yang kuat di tingkat pemerintah, untuk merencanakan penghentian

IL secara komprehensif atau luas dan lengkap. Tugas itu tidak hanya jadi tanggung jawab
penegak hukum, tetapi juga pemerintah daerah, kata Yuyun.
Lutfi Achmad (56), Kepala TNBK menyatakan, enam tahun pasca kayu, masyarakat terbelah
dua. Kelompok pertama, berharap kayu dibolehkan lagi. Mereka beralih ke pengusahaan IPK
perkebunan, kata Achmad. Kayunya kecil dan tak bisa dibawa ke Malaysia. Kayu diameternya
40-50 cm. Kayu itu digunakan untuk keperluan lokal saja. IPK biasanya di Lanjak. Luas IPK
setahun 3.000 hektar.
TNBK mengorganisir warga yang mau menanam karet. Saat ini, terbentuk 40 KK. Warga
diberikan karet unggul. Hasilnya empat kali lipat dari karet biasa. Sambil menunggu empat tahun
panen, warga menanam pohon gaharu.
Achmad berkata, sekarang ini, orang bisa produksi kayu, tapi tak bisa menjualnya. Industri
plywood tak mampu produksi lagi. Biayanya tak sebanding, kata Achmad.
Kelompok kedua, sudah sadar dan beralih ke usaha tani. Warga yang sudah sadar, karena pernah
bekerja di Malaysia. Di sana, mereka hanya jadi buruh. Kalau di Indonesia, mereka jadi pemilik.
Masyarakat seperti ini yang sedang digandeng, untuk membuat stimulan bagi warga sekitarnya.
Antonius Hermanto (39) dan Yosep Unja (43), merupakan orang yang pernah bekerja di
Malaysia, dan jadi pelaku IL. Setelah IL, WWF Kalbar berhasil mengajaknya beralih ke
pertanian. Mereka punya lembaga bernama, Belekam. Bele dalam bahasa Dayak Embalau berarti
Melihat. Lihatlah kami! Dari segi kekurangan maupun kelebihannya, kata Unja.
Belekam lahir pada 2005, pasca IL. Belekam merupakan Pusat Pembelajaran Pertanian Terpadu
(P3T). Tujuan dari kegiatan tersebut, meningkatkan alternatif peningkatan pendapatan
masyarakat.
Ada program jangka pendek, sedang dan panjang. Jangka pendek melalui beras. Jangka
menengah dengan karet. Jangka panjang dengan hasil hutan bukan kayu (HPK). Seperti gaharu,
dan buah-buahan. Tujuannya, menggali berbagai macam pendapatan. Kalau hanya
mengandalkan satu pendapatan alternatif saja, gampang digoncang, kata Anas dari WWF.
Selain kelompok LSM, pemerintah juga mulai merangkul warga. Begitu juga dengan pihak
perusahaan. Namun, upaya yang dilakukan belum signifikan. Begitu juga dengan janji
perusahaan kepada warga.
Sampai saat ini, UU Nomor 40 Tahun 2007, Pasal 67, tentang Perseroan Terbatas, bicara
mengenai CSR (Corporate Social Responsibility), belum menampakkan hasil. Harusnya, CSR
tak sekedar bantuan kepada warga. Tapi memberdayakan warga. Warga harus dipersiapkan jadi

pengelola atau pemangku kepentingan di sekitar hutan. Dan, warga harus disiapkan sebagai
pengusaha hutan. Dalam kontek ini, warga masih lemah.
Program pemerintah dan perusahaan masih jalan sendiri-sendiri. Hal itu membuat program tidak
terintegrasi. Harusnya pemerintah menjadi leading sector. Substansinya, warga tidak boleh
dibiarkan sendiri. Ini terkait dengan perspektif dan paralel dengan perspektif pembangunan hutan
berkelanjutan dan lingkungan.
Kadang mereka bicara tentang itu. Tapi, tidak singkron dengan pembangunan warga, kata
Suryadi.
Menurutnya, sistem HPH terbaru dan munculnya sawit, jadi semacam jalan masuk atau kantung
pengaman. Sebab, kalau alternatifnya tak diberikan, akan muncul konflik baru. Namun, ia juga
mengkritisi sawit yang dianggap belum sejahterakan warga di Kalbar. Parameternya bisa dilihat
dari sisi pendapatan yang tak signifikan. Banyak warga kehilangan lahan dan kebun, karena
dialihkan untuk sawit.
Janji kemitraan sampai saat ini belum terbukti, kata Suryadi. Tapi, pendapatan tidak satusatunya indikator. Yang lebih penting, bagaimana menjadi pengelola dan mandiri. Sebab, falsafah
pemberdayaan adalah keberpihakan. Repotnya, keberpihakan ke warga tidak ada.
Warga di sepanjang perbatasan, terus mengeliat memandang perkebunan sebagai salah satu
solusi, menangani kehidupan mereka. Bagi Matius, ia tak punya alternatif lain, selain sektor
perkebunan sawit. Namun, pembagian 80 bagian untuk perusahaan dan 20 untuk warga, sangat
tak sesuai, dan tak bisa membuat warga hidup layak. Ini tentu merugikan warga, katanya.
Di Malaysia, warga punya deviden di perusahaan sawit. Sehingga mereka mendukung sawit.
Pemerintah yang kerja, warga dapat deviden dari tanah yang mereka serahkan.
Luther Iding menyatakan, sekarang ini pengeluaran tak seimbang dengan pendapatan. Kerja di
perkebunan sawit Rp 30 ribu sehari. Ironisnya, karet yang sudah tumbuh malah dibakar, karena
dianggap tak ada harganya.
Ia berkata, kedepannya sektor perkebunan jadi dominan. Dengan berkebun karet, sebenarnya
warga sudah bisa mandiri. Sebab, mereka bisa bekerja kapan pun, tanpa terikat waktu. Kerja
menderas karet dari pukul 8-11 Wib. Kerja tiga jam, warga bisa dapatkan rata-rata 10 kg. Bila
harga karet Rp 8.000 ribu per kg, berarti warga bisa dapatkan Rp 80 ribu.
Jumlah itu jauh lebih besar, bila mereka bekerja di kebun sawit selama delapan jam penuh,
kata Iding.

Karet pemasarannya sangat fleksibel. Kalau harga karet di Malaysia mahal, warga akan menjual
karet ke Malaysia. Kalau di Indonesia lebih mahal, akan dijual di Indonesia. Warga jarang
berkebun lada. Prosesnya lama dan banyak kerja yang harus dilakukan. Sawit belum kita
katakan 100 persen, karena belum tahu hasilnya, kata Iding.
Sekarang ini, hutan di Kalimantan tak lagi rimbun. Sebagai gantinya, sawit menghampar di
berbagai tempat. Lokasi-lokasi bekas sawmill berdiri, tinggal rongsokan besi dan kayu
berserakan. Ilalang dan semak menutupi. Membuat lokasi itu semakin terbengkalai dan tak
terawat. Kondisinya sepi.
Kejayaan kayu tak meninggakan bekas pada kehidupan warga. Yang tersisa hanya kerusakan
alam dan kemiskinan struktural. Warga jadi pekerja saja. Ketika era kayu habis, mereka tidak
bisa bekerja apapun.***
Dimuat di Voice of Human Right (VHR), edisi Desember 2010-Januari 2011
Posted by Muhlis Suhaeri at 7:57 PM
Labels: Lingkungan

Anda mungkin juga menyukai