Anda di halaman 1dari 10

MENGEMBANGKAN ETOS KERJA DALAM ISLAM

JTD 3C
Adi Putra Wijaya

NIM.1241160029

Adit Ismail Saleh

NIM. 1241160071

Ahmad Nur Siswanto

NIM. 1241160006

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO


JARINGAN TELEKOMUNIKASI DIGITAL
POLITEKNIK NEGERI MALANG
2015

KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat,
karunia, serta taufik dan hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah tentang
Mengembangkan Etos Kerja Dalam Islam dengan baik meskipun banyak kekurangan
didalamnya. Dan juga kami berterima kasih pada Bapak Abdul Chalim, S. AG, MPD.i selaku
Dosen mata kuliah Agama Islam yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan
serta pengetahuan kita mengenai hal hal yang berkaitan dengan Etos Kerja. Kami juga
menyadari sepenuhnya bahwa di dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata
sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan
makalah yang telah kami buat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang
sempurna tanpa saran yang membangun.
Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang
yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang
kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di
masa depan.

Malang , September 2015

Penyusun

BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Sebagai manusia, kita diwajibkan untuk berusaha dalam menggapai sebuah cita-cita.
Kita tidak boleh hanya berpangku tangan dan pasrah. Ajaran agama kita melarang orang
yang hanya pasrah tanpa berusaha. Kewajiban kita hanya berusaha dan berdoa, serta
mengharap rahmat Allah swt. Namun harus diingat, Allah swt akan memberikan karuniaNya sesuai dengan usaha seseorang dan doa yang tulus. Oleh karena itu, berusahalah
sekuat tenaga dan berdoalah dengan khusyuk dan tulus. Agama Islam yang berdasarkan
Al-Quran dan Al-Hadits sebagai tuntunan dan pegangan bagi kaum muslimin
mempunyai fungsi tidak hanya mengatur dalam segi ibadah saja melainkan

juga

mengatur umat dalam memberikan tuntutan dalam masalah yang berkenaan dengan kerja.
Rasulullah SAW bersabda: bekerjalah untuk duniamu seakan-akan kamu hidup
selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan-akan kamu mati besok . Dalam
ungkapan lain dikatakan juga, Tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah,
Memikul kayu lebih mulia dari pada mengemis, Mukmin yang kuat lebih baik dari pada
muslim yang lemah. Allah swt. menyukai mukmin yang kuat bekerja. Nyatanya kita
kebanyakan bersikap dan bertingkah laku justru berlawanan dengan ungkapan-ungkapan
tadi.
Padahal dalam situasi globalisasi saat ini, kita dituntut untuk menunjukkan etos kerja
yang tidak hanya rajin, gigih, setia, akan tetapi senantiasa menyeimbangkan dengan nilainilai Islami yang tentunya tidak boleh melampaui rel-rel yang telah ditetapkan al-Qur an
dan as-Sunnah.

1.2 Tujuan
Tujuan dari Etos Kerja dalam Islam yaitu sebagai :
a) Orientasi ke masa depan, yaitu segala sesuatu direncanakan dengan baik, baik
waktu, kondisi untuk ke depan agar lebih baik dari kemarin.
b) Menghargai waktu dengan adanya disiplin waktu merupakan hal yang sangat
penting guna efesien dan efektivitas bekerja.
c) Tanggung jawab, yaitu memberikan asumsi bahwa pekerjaan yang dilakukan
merupakan sesuatu yang harus dikerjakan dengan ketekunan dan kesungguhan.
d) Hemat dan sederhana, yaitu sesuatu yang berbeda dengan hidup boros, sehingga
bagaimana pengeluaran itu bermanfaat untuk kedepan.
e) Persaingan sehat, yaitu dengan memacu diri agar pekerjaan yang dilakukan tidak
mudah patah semangat dan menambah kreativitas diri.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Tujuan Bekerja Dalam Islam
Urusan dunia merupakan perkara yang paling banyak menyita perhatian umat
manusia, sehingga mereka menjadi budak dunia, bahkan lebih parah lagi, sejumlah besar
Umat Islam memandang bahwa berpegang dengan ajaran Islam akan mengurangi
peluang mereka dalam mengais rizki. Ada sejumlah orang yang masih mau menjaga
sebagian kewajiban syariat Islam tetapi mereka mengira bahwa jika ingin mendapat
kemudahan di bidang materi dan kemapanan ekonomi hendaknya menutup mata dari
sebagian aturan islam terutama yang berkenaan dengan etika bisnis dan hukum halal
haram.
Islam tidak membiarkan seorang muslim kebingungan dalam berusaha mencari
nafkah, bahkan telah memberikan solusi tuntas dan mengajarkan etika mulia agar mereka
mencapai kesuksesan dalam mengais rizki dan membukakan pintu kemakmuran dan
keberkahan. Kegiatan usaha dalam kaca mata Islam memiliki kode etik dan aturan, jauh
dari sifat tamak dan serakah sehingga mampu membentuk sebuah usaha yang menjadi
pondasi masyarakat madani dan beradab.
Seluruh harta kekayaan milik Allah sementara manusia hanya sekedar sebagai
pengelola, maka orang yang bertugas sebagai pengelola tidak berhak keluar dari aturan
Pemilik harta (Allah), maka sungguh sangat menyedihkan bila terdapat sebagian orang
yang berpacu untuk meraih kenikmatan dunia dengan menghabiskan seluruh waktunya,
sementara mereka melupakan tujuan utama penciptaan, yaitu beribadah kepada-Nya
sebagaimana firman Allah: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah-Ku. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka
dan Aku tidak menghendaki supaya memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah
Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh. (QS. 51:56-58).
2.2 Manfaat Harta Halal
Manfaat harta yang bersih dan halal di tangan orang salih sangat banyak, ibarat pohon
kurma yang tidak menyisakan bagian sedikitpun melainkan seluruhnya bermanfaat untuk

manusia. Dengan hidup berkecukupan menuntut ilmu menjadi mudah, beribadah menjadi
lancar, bersosialisasi menjadi gampang, bergaul semakin indah, berdakwah semakin
sukses, berumah tangga semakin stabil dan beramal shalih semakin tangguh. Oleh karena
itu, harta ditangan seorang muslim bisa berfungsi sebagai sarana penyeimbang dalam
beribadah, dan perekat hubungan dengan makhluk.
Rasulullah bersabda: Nikmat harta yang baik adalah yang dimiliki laki-laki yang
salih. [1]
Bahkan harta tersebut akan menjadi sebuah energi yang memancarkan masa depan cerah,
dan sebuah kekuatan yang mengandung berbagai macam keutamaan dan kemuliaan
dunia dan akherat, serta penggerak roda dakwah dan jihad di jalan Allah.
Allah berfirman: Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang
hari secara tersembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapat pahala di sisi
Rabbnya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih
hati. (QS. 2:274)
Nabi juga memberi pujian kepada seorang muslim yang dermawan dan
membelanjakan hartanya di jalan kebaikan. Dari Abdullah bin Umar Nabi
bersabda: Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah dan tangan
yang di atas suka memberi dan tangan yang di bawah suka meminta. [2]
Dari Umar bin Khaththab berkata: Pernah suatu hari Rasulullah memerintahkan
kepada kami agar bersedekah dan ketika itu saya sedang memiliki harta yang sangat
banyak: maka saya berkata: Hari ini aku akan mampu mengungguli Abu Bakar lalu aku
membawa separoh hartaku untuk disedekahkan. Maka Rasulullah bersabda: Apa yang
kamu tinggalkan untuk keluargamu? Saya berkata: Aku tinggalkan untuk keluargaku
semisalnya. Lalu Abu Bakar datang membawa semua kekayaannya maka beliau
bersabda: Wahai Abu Bakar Apa yang kamu tinggalkan untuk keluargamu, ia menjawab:
Saya tinggalkan untuk mereka, Allah dan Rasul-Nya. Maka aku berkata: Saya tidak akan
bisa mengunggulimu selamanya. [3]
2.3 Islam Mencela Pemalas dan Peminta-minta

Islam sangat mencela pemalas dan membatasi ruang gerak peminta-minta serta
mengunci rapat semua bentuk ketergantungan hidup dengan orang lain, namun Al
Quran sangat memuji orang yang bersabar dan menahan diri dengan tidak meminta
uluran tangan orang lain dalam memenuhi kebutuhan hidup karena tindakan tersebut
akan menimbulkan berbagai macam keburukan dan kemunduran dalam kehidupan.
Imam Ibnul Jauzi berkata: Tidaklah ada seseorang yang malas bekerja melainkan
berada dalam dua keburukan; pertama; menelantarkan keluarga dan meninggalkan
kewajiban dengan berkedok tawakkal sehingga hidupnya menjadi batu sandungan orang
lain dan keluarganya berada dalam kesusahan, kedua; demikian itu suatu kehinaan yang
tidak menimpa kecuali pada orang yang hina dan gelandangan, sebab orang yang
bermartabat tidak akan rela kehilangan harga diri hanya karena kemalasan dengan dalih
tawakkal yang sarat dengan hiasan kebodohan, sebab boleh jadi seseorang tidak memiliki
harta tetapi masih tetap punya peluang dan kesempatan untuk berusaha. [4]
Seorang muslim harus berusaha hidup berkecukupan, memerangi kemalasan,
bersemangat dalam mencari nafkah, berdedikasi dalam menutupi kebutuhan, dan rajin
bekerja demi memelihara masa depan anak agar mampu hidup mandiri dan tidak menjadi
beban orang lain, sebab pemalas yang menjadi beban orang dan pengemis yang menjual
harga diri merupakan manusia paling tercela dan sangat dibenci Islam seperti yang telah
ditegaskan dalam sebuah hadits dari Abdullah Ibnu Umar bahwasannya Nabi
bersabda: Tidaklah sikap meminta-minta terdapat pada diri seseorang di antara kalian
kecuali ia bertemu dengan Allah sementara di wajahnya tidak ada secuil dagingpun. [5]
Yusuf bin Asbath berkata bahwa Sufyan Ats Tsauri berkata kepadaku: Aku meninggalkan
harta kekayaan sepuluh ribu dirham yang nanti dihisab oleh Allah, lebih aku cintai
daripada aku hidup meminta-minta dan menjadi beban orang lain. [6]
2.4 Etos Kerja Seorang Muslim
Apabila kita mencermati kehidupan para ulama dan imam sunnah, mereka telah
memberikan contoh dan teladan sangat mulia dalam menyeimbangkan antara
kepentingan mencari ilmu dan mencari nafkah. Bahkan setiap para nabi dan rasul
berusaha dan berkarya untuk menopang kelangsungan dalam menyebarkan risalah dan
dakwah, nabi Zakaria menjadi tukang kayu, nabi Idris menjahit pakaian dan nabi Daud

membuat baju perang, sehingga bekerja untuk bisa hidup mandiri merupakan sunnah
para utusan Allah maka berusaha untuk mencari nafkah baik dengan berniaga, bertani
dan berternak tidak dianggap menjatuhkan martabat dan tidak bertentangan dengan sikap
tawakkal. [7]
Inilah yang difahami oleh para utusan Allah dan para ulama salaf sehingga mereka
tergolong orang-orang yang rajin bekerja dan ulet dalam berusaha namun mereka juga
gigih dan tangguh dalam menuntut ilmu dan menyebarkan agama. Tidak mengapa
seorang bekerja di bidang dakwah dan urusan kaum muslimlin lalu mendapat imbalan
dari pekerjaan tersebut karena Umar bin Khaththab ketika menjadi Khalifah mencukupi
kebutuhan hidup keluarganya dari baitul mal. [8]
Cobalah renungkan kehidupan para utusan Allah dan para ulama salaf, kegiatan
mereka dalam mencari ilmu dan berdawah tidak melalaikan mereka mengais rizki yang
halal untuk menafkahi keluarganya. Oleh karena itu, kita harus bisa meneladani mereka
baik dalam menuntut ilmu maupun dalam mencari nafkah, janganlah malas bekerja
dengan alasan tidak bisa menuntut ilmu. Apapun bentuk usaha bagi seorang muslim yang
penting halal dan diperoleh dengan cara yang benar maka harus ditekuni dan dijalani
dengan penuh suka cita, tidak perlu gensi, dan rendah diri serta malu terhadap profesinya
yang dianggap oleh kebanyakan orang sebagai bentuk profesi hina dan tidak bermartabat,
padahal mulia dan tidaknya sebuah usaha atau profesi tidak bergantung pada bergengsi
atau tidaknya di pandangan manusia seperti bekerja di perusahan asing yang ternama
atau posisi jabatan kelas tinggi atau menduduki tempat yang banyak sabetannya, namun
kemuliaan sebuah usaha sangat ditentukan oleh kehalalan dan benarnya jenis usaha
dihadapan Allah serta terpuji dipandangan syareat.

BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran

DAFTAR PUSTAKA

http://www.academia.edu/5004065/Makalah_etos_kerja
http://jurnal-sdm.blogspot.co.id/2010/10/etos-kerja-definisi-fungsi-dan-cara.html
http://pengusahamuslim.com/etos-kerja-seorang-muslim/

Anda mungkin juga menyukai