Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

LAPORAN PENDAHULUAN
1.1 Konsep dasar rheumatic heart disease (RHD)
1.1.1 Definisi
Penyakit jantung rematik (PJR) atau dalam bahasa medisnya rheumatic heart
disease (RHD) adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung
yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral sebagai
akibat adanya gejala sisa dari demam rematik (Doengoes, 1993).
Reumatoid heart disease (RHD) adalah penyakit peradangan sistemik akut atau
kronik yang merupakan suatu reaksi autoimun oleh infeksi Streptococcus
Hemolyticus Grup A yang mekanisme perjalanannya belum diketahui, dengansatu
atau lebih gejala mayor yaitu Poliarthritis migrans akut, Karditis, Koreaminor,
Nodul subkutan dan Eritema marginatum (Lawrence M. Tierney, 2002).
Rheumatic fever adalah suatu penyakit inflamasi akut yang diakibatkan oleh
infeksi streptococcus hemolytic group A pada tenggorokan (faringitis), tetapi
tanpa disertai infeksi lain atau tidak ada infeksi streptococcus di tempat lain
seperti di kulit. Karakteristik rheumatic fever cenderung berulang (recurrence).
Rheumatic fever terdiri atas beberapa manifestasi klinis 1) arthritis (paling sering)
2) carditis (paling serius) 3) chorea (paling jarang dan tidak berkaitan) 4)
subcutaneous nodule 5) erythema marginatum (Udjianti, 2010).
Dari definisi diatas, dapat disimpulkan penyakit jantung reumatik atau Rheumatic
Heart Disease adalah suatu kondisi dimana terjadi kerusakan pada katup jantung
yang bisa berupa penyempitan atau kebocoran, terutama katup mitral sebagai
akibat adanya gejala sisa dari demam rematik yang diakibatkan oleh infeksi
streptococcus hemolytic group A pada tenggorokan (faringitis).

1.1.2 Etiologi

Penyebab terjadinya RHD diperkirakan adalah reaksi autoimun


(kekebalan tubuh) yang disebabkan oleh demam reumatik. Infeksi streptococcus
hemolitikus grup A pada tenggorok selalu mendahului terjadinya demam
reumatik baik demam reumatik serangan pertama maupun demam reumatik
serangan ulang. Infeksi Streptococcus -hemolyticus grup A pada tenggorok selalu
mendahului terjadinya demam rematik, baik pada serangan pertama maupun
serangan ulang. Sedangkan factor predisposisinya adalah:
1. Individu
a. Faktor genetic
Adanya antigen limfosit manusia (HLA) yang tinggi. HLA terhadap demam
rematik menunjkan hubungan dengan aloantigen sel B spesifik dikenal
dengan antibodi monoklonal dengan status reumatikus.
b. Jenis kelamin
Demam reumatik sering didapatkan pada anak wanita dibandingkan dengan
anak laki-laki. Tetapi data yang lebih besar menunjukkan tidak ada
perbedaan jenis kelamin, meskipun manifestasi tertentu mungkin lebih
sering ditemukan pada satu jenis kelamin.
c. Golongan etnik dan rasa
Data di Amerika Utara menunjukkan bahwa serangan pertama maupun ulang
demam reumatik lebih sering didapatkan pada orang kulit hitam dibanding
dengan orang kulit putih. Tetapi data ini harus dinilai hati-hati, sebab
mungkin berbagai faktor lingkungan yang berbeda pada kedua golongan
tersebut ikut berperan atau bahkan merupakan sebab yang sebenarnya.
d. Umur
Umur agaknya merupakan faktor predisposisi terpenting pada timbulnya
demam reumatik / penyakit jantung reumatik. Penyakit ini paling sering
mengenai anak umur antara 5-15 tahun dengan puncak sekitar umur 8
tahun. Tidak biasa ditemukan pada anak antara umur 3-5 tahun dan sangat
jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. Distribusi
umur ini dikatakan sesuai dengan insidens infeksi streptococcus pada anak

usia sekolah. Tetapi Markowitz menemukan bahwa penderita infeksi


streptococcus adalah mereka yang berumur 2-6 tahun.
e. Keadaan gizi dan lain-lain
Keadaan gizi serta adanya penyakit-penyakit lain belum dapat ditentukan
apakah merupakan faktor predisposisi untuk timbulnya demam reumatik.
f. Reaksi autoimun
Dari penelitian ditemukan adanya kesamaan antara polisakarida bagian
dinding sel streptokokus hemolitikus group A dengan glikoprotein dalam
katub mungkin ini mendukung terjadinya miokarditis dan valvulitis pada
reumatik fever.
g. Serangan demam rematik sebelumnya.
Serangan ulang demam rematik sesudah adanya reinfeksi dengan
Streptococcus hemolyticus grup A adalah sering pada anak yang
sebelumnya pernah mendapat demam rematik.
2. Lingkungan
a. Keadaan sosial ekonomi yang buruk
Mungkin ini merupakan faktor lingkungan yang terpenting sebagai
predisposisi untuk terjadinya demam reumatik. Insidens demam reumatik
di negara-negara yang sudah maju, jelas menurun sebelum era antibiotik
termasuk dalam keadaan sosial ekonomi yang buruk sanitasi lingkungan
yang buruk, rumah-rumah dengan penghuni padat, rendahnya pendidikan
sehingga pengertian untuk segera mengobati anak yang menderita sakit
sangat kurang; pendapatan yang rendah sehingga biaya untuk perawatan
kesehatan kurang dan lain-lain. Semua hal ini merupakan faktor-faktor
yang memudahkan timbulnya demam reumatik.
b. Iklim dan geografi
Demam reumatik merupakan penyakit kosmopolit. Penyakit terbanyak
didapatkan didaerah yang beriklim sedang, tetapi data akhir-akhir ini
menunjukkan bahwa daerah tropis pun mempunyai insidens yang tinggi,

lebih tinggi dari yang diduga semula. Didaerah yang letaknya agak tinggi
agaknya insidens demam reumatik lebih tinggi daripada didataran rendah.
c. Cuaca
Perubahan cuaca yang mendadak sering mengakibatkan insidens infeksi
saluran nafas bagian atas meningkat, sehingga insidens demam reumatik
juga meningkat.
1.1.3 Patofisiologi
Menurut hipotesa Kaplan dkk (1960) dan Zabriskie (1966), demam rematik
terjadi karena terdapatnya proses autoimun atau antigenic similarity antara
jaringan tubuh manusia dan antigen somatic streptococcus. Apabila tubuh
terinfeksi oleh Streptococcus beta-hemolyticus grup A maka terhadap antigen
asing ini segera terbentuk reaksi imunologik yaitu antibody. Karena sifat antigen
ini sama maka antibody tersebut akan menyerang juga komponen jaringan tubuh
dalam hal ini sarcolemma myocardial dengan akibat terdapatnya antibody
terhadap jaringan jantung dalam serum penderia demam rematik dan jaringan
myocard yang rusak. Salah satu toxin yang mungkin berperanan dalam kejadian
demam rematik ialah stretolysin titer 0, suatu produk extraseluler Streptococcus
beta-hemolyticus grup A yang dikenal bersifat toxik terhadap jaringan myocard.
Beberapa di antara berbagai antigen somatic streptococcal menetap untuk waktu
singkat dan yang lain lagi untuk waktu yang cukup lama. Serum imunologlobulin
akan meningkat pada penderita sesudah mendapat radang streptococcal terutama
Ig G dan A.
1.1.4 Klasifikasi
Demam reumatik merupakan kumpulan sejumlah gejala dan tanda klinik.
Demam reumatik merupakan penyakit pada banyak sistem, mengenai terutama
jantung, sendi, otak dan jaringan kulit. Tanda dan gejala akut demam reumatik
bervariasi tergantung organ yang terlibat dan derajat keterlibatannya. Biasanya

gejala-gejala ini berlangsung satu sampai enam minggu setelah infeksi oleh
Streptococcus.
Perjalanan klinis penyakit demam reumatik / penyakit jantung reumatik
dapat dibagi dalam 4 stadium, yaitu :
1. Stadium I
Berupa infeksi saluran nafas atas oleh kuman Beta Streptococcus Hemolyticus
Grup A.Keluhan :
a. Demam
b. Batuk
c. Rasa sakit waktu menelan
d. Muntah
e. Diare
f. Peradangan pada tonsil yang disertai eksudat.
2. Stadium II
Stadium ini disebut juga periode laten, ialah masa antara infeksi streptococcus
dengan permulaan gejala demam reumatik, biasanya periode ini berlangsung
1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulanbulan kemudian.
3. Stadium III
Stadium III ini ialah fase akut demam reumatik, saat ini timbulnya berbagai
manifestasi klinis demam reumatik (RHD). Manifestasi klinis tersebut dapat
digolongkan dalam gejala peradangan umum dan menifesrasi spesifik demam
reumatik (RHD).
Gejala peradangan umum :
a. Demam yang tinggi
b. Lesu
c. Anoreksia
d. Berat badan menurun
e. Kelihatan pucat
f. Epistaksis

g. Athralgia
h. Rasa sakit disekitar sendi
i. Sakit perut
4. Stadium IV
Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa
kelainan jantung atau tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apaapa. Pada penderita penyakit jantung reumatik dengan gejala sisa kelainan
katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan.
Pasa fase ini baik penderita demam reumatik maupun penyakit jantung
reumatik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi penyakitnya.
Sedangkan manifestasi klinik RHD menurut Jones (1982) :
1. Kriteria mayor
a. Arditis
Yaitu terjadi peradangan pada jantung (miokarditis dan atau endokarditis)
yang menyebabkan terjadinya gangguan pada katup mitral dan aorta
dengan manifestasi terjadi penurunan curah jantung (seperti hipotensi,
pucat, sianosis, berdebar-debar dan heart rate meningkat), bunyi jantung
melemah, dan terdengar suara bising katup pada auskultasi akibat stenosis
dari katup terutama mitral (bising sistolik), Friction rub.
b. Polyarthritis
Klien yang menderita RHD biasanya datang dengan keluhan nyeri pada sendi
yang berpindah-pindah, radang sendi-sendi besar, lutut, pergelangan kaki,
pergelangan tangan, siku (polyarthritis migrans), gangguan fungsi sendi.
c. Khorea Syndenham
Merupakan gerakan yang tidak disengaja / gerakan abnormal , bilateral,tanpa
tujuan dan involunter, serta sering kali disertai dengan kelemahan otot
,sebagai manifestasi peradangan pada sistem saraf pusat.
d. Eritema Marginatum
Eritema marginatum merupakan manifestasi RHD pada kulit, berupa bercakbercak merah dengan bagian tengah berwarna pucat sedangkan tepinya

berbatas tegas , berbentuk bulat dan bergelombang tanpa indurasi dan


tidak gatal. Biasanya terjadi pada batang tubuh dan telapak tangan.
e. Nodul Subcutan
Nodul subcutan ini terlihat sebagai tonjolan-tonjolan keras dibawah kulit
tanpa adanya perubahan warna atau rasa nyeri. Biasanya timbul pada
minggu pertama serangan dan menghilang setelah 1-2 minggu. Ini jarang
ditemukan pada orang dewasa.Nodul ini terutama muncul pada permukaan
ekstensor sendi terutama siku,ruas jari,lutut,persendian kaki. Nodul ini
lunak dan bergerak bebas.
2. Kriteria Minor
a. Mempunyai riwayat menderita demam reumatik /penyakit jantung
reumatik
b. Athralgia atau nyeri sendi tanpa adanya tanda obyektif pada sendi; pasien
kadang-kadang sulit menggerakkan tungkainya
c. Demam tidak lebih dari 39 derajad celcius
d. Leukositosis
e. Peningkatan Laju Endap Darah (LED)
f. C-Reaktif Protein (CRF) positif
g. P-R interval memanjang
h. Peningkatan pulse denyut jantung saat tidur (sleeping pulse)
i. Peningkatan Anti Streptolisin O (ASTO)
Selain kriteria mayor dan minor tersebut, terjadi juga gejala-gejala umum
seperti , akral dingin, lesu,terlihat pucat dan anemia akibat gangguan
eritropoesis.gejala lain yang dapat muncul juga gangguan pada GI tract
dengan manifestasi peningkatan HCL dengan gejala mual dan anoreksia.
Diagnosa ditegakkan bila ada dua kriteria mayor dan satu kriteria minor, atau
dua kriteria minor dan satu kriteria mayor.
1.1.5 Pencegahan

Jika kita lihat diatas bahwa penyakit jantung rematik sangat mungkin terjadi
dengan adanya kejadian awal yaitu demam rematik (DR). Pencegahan yang
terbaik adalah bagaimana upaya kita jangan sampai mengalami demam rematik
(DR) (terserang infeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus).
Ada beberapa faktor yang dapat mendukung seseorang terserang kuman tersebut,
diantaranya faktor lingkungan seperti kondisi kehidupan yang jelek, kondisi
tinggal yang berdesakan dan akses kesehatan yang kurang merupakan determinan
yang signifikan dalam distribusi penyakit ini. Variasi cuaca juga mempunyai
peran yang besar dalam terjadinya infeksi streptokokkus untuk terjadi DR.
Seseorang yang terinfeksi kuman Streptococcus beta hemolyticus dan mengalami
demam rematik, harus diberikan therapy yang maksimal dengan antibiotiknya.
Hal ini untuk menghindarkan kemungkinan serangan kedua kalinya atau bahkan
menyebabkan Penyakit Jantung Rematik
1.1.6 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan demam reumatik aktif atau reaktivasi kembali
diantaranya adalah :
1. Tirah baring dan mobilisasi (kembali keaktivitas normal) secara bertahap
2. Pemberantasan terhadap kuman streptokokkus dengan pemberian antibiotic
penisilin atau eritromisin. Untuk profilaksis atau pencegahan dapat diberikan
antibiotic penisilin benzatin atau sulfadiazine
3. Antiinflamasi (antiperadangan). Antiperadangan seperti salisilat dapat dipakai
pada demam reumatik tanpa karditis (peradangan pada jantung
Karena demam rematik berhubungan erat dengan radang Streptococcus
beta-hemolyticus grup A, maka pemberantasan dan pencegahan ditujukan pada
radang tersebut. Ini dapat berupa :
1. Eradikasi kuman Streptococcus beta-hemolyticus grup A
Pengobatan adekuat harus dimulai secepatnya pada DR dan dilanjutkan dengan
pencegahan. Erythromycin diberikan kepada mereka yang alergi terhadap
penicillin.

2. Obat anti rematik


Baik cortocisteroid maupun salisilat diketahui sebagai obat yang berguna untuk
mengurangi/menghilangkan gejala-gejala radang akut pada DR
3. Diet
Makanan yang cukup kalori, protein dan vitamin.
4. Istirahat
Istirahat dianjurkan sampai tanda-tanda inflamasi hilang dan bentuk jantung
mengecil pada kasus-kasus kardiomegali. Biasanya 7-14 hari pada kasus DR
minus carditis. Pada kasus plus carditis, lama istirahat rata-rata 3 minggu 3
bulan tergantung pada berat ringannya kelainan yang ada serta kemajuan
perjalanan penyakit.
5. Obat-obat Lain
Diberikan sesuai dengan kebutuhan. Pada kasus dengan dekompensasi kordis
diberikan digitalis, diuretika dan sedative. Bila ada chorea diberikan largactil
dan lain-lain.
1.1.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan darah
a. LED tinggi sekali
b. Lekositosis
c. Nilai hemoglobin dapat rendah
2. Pemeriksaan bakteriologi
a. Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.
b. Pemeriksaan serologi. Diukur titer ASTO, astistreptokinase, anti
hyaluronidase.
3. Radiologi
Pada pemeriksaan foto thoraks menunjukan terjadinya pembesaran pada jantung.
4. Pemeriksaan Echokardiogram
Menunjukan pembesaran pada jantung dan terdapat lesi
5. Pemeriksaan Elektrokardiogram

Menunjukan interval P-R memanjang.


6. Bukti-bukti infeksi streptococcus :
a. Kultur positif
b. Ruam skarlatina
c. Peningkatan antibodi streptococcus yang meningkat
1.1.8 Komplikasi
Komplikasi yang sering terjadi pada Penyakit Jantung Reumatik (PJR)
diantaranya adalah gagal jantung, pankarditis (infeksi dan peradangan di seluruh
bagian jantung), pneumonitis reumatik (infeksi paru), emboli atau sumbatan pada
paru, kelainan katup jantung, dan infark (kematian sel jantung).
1. Dekompensasi Cordis
Peristiwa dekompensasi cordis pada bayi dan anak menggambarkan terdapatnya
sindroma klinik akibat myocardium tidak mampu memenuhi keperluan
metabolic termasuk pertumbuhan. Keadaan ini timbul karena kerja otot
jantung yang berlebihan, biasanya karena kelainan struktur jantung, kelainan
otot jantung sendiri seperti proses inflamasi atau gabungan kedua faktor
tersebut.
Pada umumnya payah jantung pada anak diobati secara klasik yaitu dengan
digitalis dan obat-obat diuretika. Tujuan pengobatan ialah menghilangkan
gejala (simptomatik) dan yang paling penting mengobati penyakit primer.
2. Pericarditis
Peradangan pada pericard visceralis dan parietalis yang bervariasi dari reaksi
radang yang ringan sampai tertimbunnnya cairan dalam cavum pericard.
1.2 Konsep dasar asuhan keperawatan rheumatic heart disease (RHD)
1.2.1

Pengkajian Keperawatan
Pengkajian yang dilakukan terhadap pasien dibagi menjadi dua
bagian yaitu: Pengkajian primer (Primer assessment) dan pengkajian skunder

(secondary assessment). Data dapat diperoleh secara primer (klien) dan secara
skunder (keluarga, saksi kejadian/pengirim, tim kesehatan lain).
1.2.2

Diagnosa Keperawatan

1. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakadekuatan oksigen


menuju paru-paru.
2. Penurunan curah jantung berhubungan dengan disfungsi miokardium.
3. Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan gangguan aliran darah
sekunder akibat inflamasi.
4. Hypertermi berhubungan dengan kerusakan kontrol suhu sekunder akibat
infeksi penyakit.
5. Nyeri akut berhubungan dengan penimbunan asam laktat pada sendi.
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan metabolisme basal terganggu

1.2.3 Intervensi Keperawatan


1.2.4
1.2.5
1.2.6
D
1.2.7
Tujuan /
N
iagnosa
kriteria hasil

1.2.8

Intervensi

1.2.9

Rasional

1.2.101.2.11
P
1
ola nafas
tidak
efektif
berhubun
gan
dengan
ketidakad
ekuatan
oksigen
menuju
paru-paru

1.2.12
Setelah
diberikan askep
selama 2x24 jam
diharapkan pola
nafas efektif
dengan kriteria
hasil :
1. Pasien tidak sesak
nafas
2. Frekuensi pernapasan
normal (16-24 kali
permenit)

1.2.13
Mandiri
1. Evaluasi frekuensi pernapasan
dan kedalaman. Catat upaya
pernapasan, contoh adanya
dispnea, penggunaan otot
bantu pernapasan, pelebaran
nasal.
2. Auskultasi bunyi napas. Catat
area yang menurun atau tidak
adanya bunyi napas dan
adanya bunyi napas tambahan,
contoh krekels atau ronki
1.2.14
Kolaborasi
3. Bantu dalam pemasangan
kembali selang dada atau
torakosentesis bila
diindikasikan

1.2.15
Mandiri
1. Respon pasien bervariasi. Kecepatan
dan upaya mungkin meningkat karena
nyeri, takut, demam, penurunan volume
sirkulasi (kehilangan darah atau cairan),
akumulasi secret, hipoksia atau distensi
gaster. Penekanan pernapasan
(penurunan kecepatan) dapat terjadi dari
penggunaan analgesic berlebihan.
Pengenalan dini dan pengobatan
ventilasi abnormal dapat mencegah
komplikasi.
2. Auskultasi bunyi napas ditujukan untuk
mengetahui adanya bunyi napas
tambahan.
1.2.16
Kolaborasi
3. Reekspansi paru dengan pelepasan
akumulasi darah atau udara dari tekanan
negative pleural.

1.2.171.2.18
P
2
enurunan
curah
jantung
berhubun
gan
dengan
disfungsi
miokardi

1.2.19
Setelah
diberikan askep
selama 3x24 jam
diharapkan curah
jantung normal.
Dengan kriteria
hasil :
1. pasien tidak mudah
lelah

1.2.20
Mandiri
1.2.23
Mandiri
1. Kaji/pantau tekanan darah.
1. Perbandingan dari tekanan memberikan
Ukur pada kedua tangan /paha
gambaran yang lebih lengkap tentang
untuk evaluasi awal. Gunakan
keterlibatan/bidang masalah vaskular.
ukuran manset yang tepat dan
Hipertensi berat diklarifikasikan pada
teknik yang akurat.
orang dewasa sebagai peningkatan
2. Catat keberadaan, kualitas
tekanan diastolik sampai 130; hasil
denyutan sentral dan perifer.
pengukuran diastolik diatas 130
3. Amati warna kulit,
dipertimbangkan sebagai peningkatan

um

2. Pasien tidak sesak


napas
3. Tekanan darah normal
yaitu sistolik
4. (100-140)mmHg dan
diastolik (60-90)mmHg
5. Nadi normal (60-100
kali permenit)
6. Tidak ada sianosis
7. Tidak ada edema

4.
5.
6.

7.

kelembaban, suhu, dan masa


pengisian kapiler.
Catat edema umum/tertentu.
Anjurkan teknik relaksasi,
panduan imajinasi, aktivitas
pengalihan.
Pantau respon terhadap obat
untuk mengontrol tekanan
darah.
1.2.21
Kolaborasi
Berikan pembatasan cairan
dan diet natrium sesuai
indikasi
1.2.22

2.

3.

4.
5.
6.

7.

pertama, kemudian maligna. Hipertensi


sistolik juga merupakan faktor resiko
yang ditentukan untuk penyakit
serebrovaskular dan penyakit iskemi
jantung bila tekanan diastolik 90 sampai
115.
Denyutan karotis, jugularis, radialis, dan
femoralis mungkin teramati/ terpalpasi.
Denyut pada tungkai mungkin menurun,
mencerminkan efek dari vasokontriksi
(peningkatan SVR), dan kongesti vena.
Adanya pucat, dingin, kulit lembab dan
masa pengisian kapiler lambat mungkin
berkaitan dengan vasokontriksi atau
mencerminkan dekompensasi
/penurunan curah jantung.
Dapat mengindikasikan gagal jantung,
kerusakan ginjal atau vascular.
Dapat menurunkan rangsangan yang
menimbulakan stres, membuat efek
tenang, sehingga akan menurunkan TD.
Respon terhadap terapi obat steppen
(yang terdiri atas neureting, inhibitor
simpatis dan vasodilator) tergantung
pada individu dan efek sinergis obat.
Karena efek samping tersebut, maka
penting untuk menggunakan obat dalam
jumlah paling sedikit dan dosis paling
rendah
1.2.24
Kolaborasi
Pembatasan ini dapat menangani retensi
cairan dengan respon hipertensif, dengan
demikian menurunkan beban gagal
jantung.

1.2.251.2.26
G
3
angguan
perfusi
jaringan
berhubun
gan
dengan
gangguan
aliran
darah
sekunder
akibat
inflamasi

1.
2.
3.
4.

1.2.27
Setelah
diberikan askep
selama 3x24 jam
diharapkan tidak
ada gangguan
perfusi jaringan
dengan kriteria
hasil :
Pasien tidak merasa
nyeri
Tidak ada sianosis
Pasien tidak pucat
Tidak ada edema

1.2.321.2.33
H
1.2.34
Setelah
4
ypertermi
diberikan askep
berhubun
selama 1x24 jam
gan
diharapkan suhu
dengan
tubuh kembali
kerusaka
normal dengan
n kontrol
Kriteria hasil :
suhu
1. Suhu tubuh pasien
sekunder
normal (36,8 -37,2 ) C
akibat
2. Pasien tidak menggigil
infeksi
penyakit

1.2.28
Mandiri
1. Selidiki perubahan tiba-tiba
atau gangguan mental
kontinyu, contoh: cemas,
bingung, letargi, pingsan.
2. Lihat pucat, sianosis, belang,
kulit dingin atau lembab.
Catat kekuatan nadi perifer.
3. Kaji tanda edema.
4. Pantau pernapasan, catat
kerja pernapasan.
1.2.29
Kolaborasi
5. Pantau data laboratorium,
contoh: GDA, BUN,
creatinin, dan elektrolit.
1.2.35
Mandiri
1. Pantau suhu pasien (derajat
dan pola) perhatikan
menggigil atau diaforesis.
2. Berikan kompres mandi
hangat ; hindari penggunan
alcohol.
1.2.36
Kolaborasi
3. Berikan antipiretik,
misalnya : ASA (aspirin),
asetaminofen (Tylenol).
1.2.37

1.2.30
Mandiri
1. Perfusi serebral secara langsung
sehubungan dengan curah jantung dan
juga dipengaruhi oleh elektrolit atau
variasi asam basa, hipoksia, atau emboli
sistemik.
2. Vasokontriksi sistemik diakibatkan oleh
penurunan curah jantung mungkin
dibuktikan oleh penurunan perfusi kulit
dan penurunan nadi.
3. Indikator trombosis vena dalam.
4. Pompa jantung gagal dapat mencetuskan
distress pernapasan. Namun dispnea
tiba-tiba atau berlanjut menunjukkkan
komplikasi tromboemboli paru.
1.2.31
Kolaborasi
5. Indikator perfusi atau fungsi organ.
1.2.38
Mandiri
o
1. Suhu 38,9 41,1o C menunjukan
proses penyakit infeksius akut. Pola
demam dapat membantu dalam
diagnosis ; misal kurva demam lanjut
berakhir lebih dari 24 jam menunjukkan
pneumonia pnuemokokal, demam
scarlet atau tifoit ; demam remiten
(bervariasi hanya beberapa derajat pada
arah tertentu) menunjukan infeksi paru ;
kurva intermiten atau demam yang
kembali normal sekali dalam periode 24
jam menunjukan episode septic,
endokarditis septic, atau TB. Menggigil
sering mendahului puncak suhu. Catatan
: penggunaan antipirektik mengubah

2.

3.

1.2.401.2.41
N
5
yeri akut
berhubun
gan
dengan
penimbu
nan asam
laktat
pada
sendi

1.2.42
Setelah
diberikan askep
selama 2x24 jam,
diharapkan pasien
merasa nyaman
dengan kriteria
hasil :
1. Tidak ada nyeri
2. Pasien tidak meringis

1.2.471.2.48
In
6
toleransi
aktivitas
berhubun

1.2.49
Setelah
diberikan askep
selama 2x24 jam,
diharapkan pasien

1.2.43
Mandiri
1. Ketahui adanya nyeri.
Dengarkan dengan penuh
perhatian mengenai nyeri.
2. Beri tahu teknik untuk
menurunkan ketegangan otot
rangka, yang dapat
menurunkan intensitas nyeri.
3. Ajarkan strategi relaksasi
khusus (missal: bernafas
perlahan, teratur atau nafas
dalam kepalkan tinju
menguap).
1.2.50
Mandiri
1. Periksa tanda vital sebelum
dan segera setelah aktivitas,
khususnya bila pasien

1.

2.
3.

pola demam dan dapat dibatasi sampai


diagnosis dibuat atau bila demam tetap
lebih besar dari 38,9 oC.
Dapat membantu mengurangi demam.
Catatan : penggunaan air es atau alcohol
mungkin menyebabkan kedinginan,
peningkatan suhu secara actual. Selain
itu, alcohol dapat mengeringkan kulit.
1.2.39
Kolaborasi
Digunakan untuk mengurangi demam
dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus, meskipun demam mungkin
dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme, dan
meningkatkan outodestruksi dari sel-sel
yang terinfeksi.
1.2.44
Mandiri
Dengan mengetahui dan mendengarkan
penuh perhatian mengenai nyeri, akan
dapat dilakukan tindakan yang tepat
untuk mengatasi nyeri.
Teknik penurunan ketegangan otot
rangka dapat menurunkan intensitas
nyeri.
Strategi relaksasi dapat meningkatkan
rasa nyaman
1.2.45
1.2.46

1.2.52
Mandiri
1. Hipertensi ortostatik dapat terjadidengan
aktivitas karena efek obat (vasodilasi),
perpindahan cairan (diuretik) atau

gan
dapat melakukan
dengan
aktivitas dengan
metabolis
mandiri dengan
me basal
kriteria hasil :
tergangg 1. Pasien tidak mudah
u
lelah
2. Pasien tidak nyeri
3. Pasien tidak meringis
4. Pasien tidak lemas
5. Pasien tidak pucat

2.

3.
4.
5.

6.

1.2.54

menggunakan vasolidator,
diuretik, penyekat beta.
Catat respon kardiopulmonal
terhadap aktifitas, catat
takikardi, disritmia, dispnea,
berkeringat, pusat.
Kaji presipitator /penyebab
kelemahan contoh
pengobatan, nyeri, obat.
Evaluasi peningkatan
intoleran aktivitas.
Berikan bantuan dalam
aktivitas perawatan diri
sesuai indikasi. Selingi
periode aktivitas dengan
periode istirahat.
1.2.51
Kolaborasi
Implementasikan program
rehabilitasi jantung/aktifitas.

pengaruh fungsi jantung


2. Penurunan /ketidakmampuan
miokardium untuk meningkatkan
volume sekuncup selama aktivitas, dapat
menyebabkan peningkatan segera pada
frekuensi jantung dan kebutuhan
oksigen, juga peningkatan kelelahan dan
kelemahan.
3. Kelemahan adalah efek samping dari
beberapa obat (beta bloker, traquilizer
dan sedatif). Nyeri dan program penuh
stres juga memerlukan energi dan
menyebabkan kelemahan.
4. Dapat menunjukkan peningkatan
dekompensasi jantung daripada
kelebihan aktivitas.
5. Pemenuhan kebutuhan perawatan diri
pasien tanpa mempengaruhi stres
miokard/ kebutuhan oksigen berlebihan.
1.2.53
Kolaborasi
6. Peningkatan bertahap pada aktivitas
menghindari kerja jantung/konsumsi
oksigen berlebihan. Penguatan dan
perbaikan fungsi jantung dibawah stres,
bila disfungsi jantung tidak dapat
membaik kembali.

Anda mungkin juga menyukai