Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Jika kita berbicara masalah sejarah maka tidak terlepas dari pembahasan masyarakat serta
interaksi di dalamnya. Masyarakat sebagai salah-satu obyek sejarah tentulah berinteraksi satu
dengan yang lainnya. Masyarakat menurut ilmu sosiologi

sebagaimana yang dijelaskan oleh

Mujenah, S.H. dalam sebuah diskusi kelas terdiri dari kumpulan manusia yang membentuk satukesatuan karena adanya kepentingan dan tujuan yang sama kemudian berinteraksi satu sama lain.
Karena manusia itu banyak maka bermacam-macam interaksi dilakukan. Karena bermacammacam interaksi maka memungkinkan terjadinya bentrok interaksi atau kepentingan. Oleh karena
itu manusia tentunya memerlukan suatu aturan agar interaksi itu berjalan lancar dan terhindar
dari bentrok kepentingan. Seperangkat aturan yang dibutuhkan manusia untuk menjaga agar tidak
terjadi bentrok kepentingan itu sering kali kita sebut norma atau tatatertib atau lebih popular lagi
dalam

kajian

ilmu

pengetahuan

yang

lebih

kompleks

disebut

hukum.

Manusia

sangat

membutuhkan hukum untuk mengatur kehidupannya.


Menurut aliran sosiologi yang dipelopori oleh Hammaker, Eugen Erlich, dan Max Weber, hukum
merupakan hasil interaksi sosial dalam masyarakat. Hukum adalah gejala masyarakat, karenanya
perkembangan hukum (timbulnya, berubahnya dan lenyapnya) sesuai dengan perkembangan
masyarakat. Perkambangan hukum merupakan cermin dari perkembangan masyarakat.[1]
Salah satu bentuk interaksi manusia adalah perkawinan kemudian dari perkawinan akan
membentuk keluarga dan dari keluarga terbentuklah masyarakat. Karena hukum merupakan
gejala masyarakat sebagaimana dijelaskan oleh aliran sosiologi maka dari perkawinan timbullah
hukum yang disebut hukum perkawinan, karena dari perkawinan ini terbentuk keluarga maka
dalam hal yang lebih luas terciptalah hukum keluarga yang mengatur hubungan hukum yang
terjadi dalam lingkup keluarga. Seperti yang digambarkan oleh Prof Subekti (menggunakan istilah
Hukum Kekeluargaan) adalah hukum yang mengatur perihal hubungan-hubungan hukum yang
timbul dari hubungan kekeluargaan.[2] Dengan singkat Prof Khoiruddin Nasution mengatakan di
dalam bukunya, Hukum Keluarga adalah hukum yang mengatur hubungan antar anggota keluarga.
Maksud keluarga dari pengertian ini terbatas pada keluarga pokok (nuclear family), yaitu: bapak,
ibu, dan anak/anak-anak, baik ketika masih dalam satu rumah tangga maupun setelah terjadi
perpisahan, entah karena meninggal ataupun perceraian.[3]
PEMBAHASAN
A.

Sejarah Hukum Keluarga di Indonesia

Waktu terus berjalan dan zaman terus berkembang, kotraksi didalam masyarakat semakin
berkembang dan semakin kompleks, begitu juga hukum keluarga, seiring perkembangan

masyarakat hukum keluarga juga berkembang. Karena waktu yang begitu lama dan kontraksi
masyarakat terus berkembang sehingga hukum keluarga menjadi banyak dan semakin kompleks
juga akibat penyesuaian terhadap perkembangan masyarakat yang semakin kompleks, maka
terciptalah banyak hukum keluarga. Dalam hal ini dibahas sebatas mengenai sejarah hukum
keluarga di Indonesia.
Didalam sejarah, Berdasarkan kemerdekaan Indonesia (17 Agustus 1945), hukum keluarga
Indonesia terbagi dalam dua masa yaitu hukum keluarga prakemerdekaan dan hukum keluarga
pascakemerdekaan.

Hukum

keluarga

prakemerdekaan

dibagi

dua

yaitu

hukum

keluarga

prapenjajahan (prakolonial), dan hukum keluarga zaman penjajahan (kolonial). Dan hukum
keluarga pascakemerdekaan dibagi dalam tiga yaitu hukum keluarga awal kemerdekaan, hukum
keluarga sesudah tahun 1950, dan terbentuknya undang-undang perkawinan baru, [4] dalam
redaksi yang berbeda Prof. Khoiruddin Nasution membagi dengan sebutan Masa Orde Lama, Orde
Baru, dan Reformasi.[5]Sehingga secara keseluruhan dibagi dalam lima bagian, berikut uraiannya.
1.

Hukum Keluarga Indonesia Prakolonial

Hukum Keluarga Prakolonial juga bisa kita sebut Hukum Keluarga Masa Kerajaan. Sebagaimana Ali
Sodiqin membagi periode perkembangan Hukum Islam Indonesia dengan menyebutkan Masa
Kerajaan Islam (Abad XII-XVII M).[6]
Pada masa ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan seperti agama dan budaya masyarkat.
Hukum tidak bisa terlepas dari budaya masyarakat dan agama. Seperti yang dijelaskan dalam
beberapa literatur, jauh sebelum datangnya penjajah dari Eropa, masyarakat Indonesia telah
mengenal beberapa macam hukum seperti hukum adat dan Hukum Islam (pasca datangnya
Islam). Hukum adat misalnya, telah dikenal oleh masyarakat jauh sebelum penjajah bahkan Islam
datang. Setelah Islam datang terjadi akulturasi budaya lokal dengan ajaran Islam. Sebuah proses
yang wajib ketika datangnya kebudayaan baru. Setelah Islam datang, kemudian terjadi adaptasi
serta adopsi ajaran Islam oleh masyarakat adat setempat, sehingga pada perkembangannya
ajaran Islam dan budaya lokal menyatu dan tumbuh bersama sehingga melahirkan budaya baru
(perpaduan antara tradisi lokal dan ajaran Islam). Hal ini dapat dibuktikan di beberapa daerah
seperti yang terjadi pada masyarakat Minangkabau dengan ungkapan yang terkenal hukum adat
bersendikan syara dan syara bersendikan kitabullah (Al-Quran).[7]
Selain itu, bukti eksistensi hukum adat dan Hukum Islam sebelum datangnya penjajah hingga
datangnya penjajah adalah adanya lembaga peradilan klasik yang terbentuk kala itu, seperti
lembaga tahkim, kemudian ahlu al-hall wa al-aqd dalam bentuk Peradilan Adat, kemudian dalam
perkembangannya Peradilan Swapraja (disebut juga Peradilan Serambi atau juga Peradilan Masjid
dan sejenisnya) pada masa kerajaan-kerajaan Islam kemudian menjadi Peradilan Agama hingga
sekarang. Seperti pada Kerajaan Mataram Yogyakarta, Sultan Hamengku Buwono X menulis secara

singkat, bahwa Peradilan Serambi (disingkat PS) telah ada sejak zaman Sultan Agung. Struktur
Organisasi

PS

diketuai

dinamakan Pathok Nagari.

oleh
Selain

Hakim
PS

dan
ada

dibantu

empat

juga

orang

Peradilan

ulama,
Perdata

yang
yang

disebut Nawala Pradata Dalam. Bukti lebih lanjut seperti adanyaStatuta Batavia 1642 kemudian
dipergunakannya kitab Muharrar dan PepakemCirebon[8] serta peraturan-peraturan lain didaerah
lain.
Hal diatas telah menunjukkan pengaruh kuat Islam di Indonesia dalam aspek hukum perdata,
terutama dalam bidang hukum perkawinan[9] atau kekeluargaan.
2.

Hukum Keluarga Indonesia Zaman Kolonial

Zaman kolonial dimulai dari masuknya kompi-kompi pedagang Eropa ke Indonesia, mulai dari
Portugis, Belanda, Inggris, dan ditambah lagi dari Asia yaitu Jepang.
Masuknya bangsa Eropa berawal dari kedatangan kompi pedagang Portugis ke Indonesia dengan
tujuan memperoleh rempah-rempah untuk di jual di perdagangan internasional. Masuknya
Portugis diikuti oleh kompi-kompi pedagang Belanda dan seterusnya. Masuknya kompi-kompi
pedagang ini sangat menentukan nasib Bangsa Indonesia dalam perkembangan selanjutnya.
Berawal dari masuknya Portugis dan Belanda sangat mempengarugi konstruksi sosial yang ada,
hal ini tidak serta merta diterima oleh penduduk masyarakat setempat buktinya dapat terlihat dari
penolakan yang berujung menjadi perlawanan dari penduduk asli. Lambat laun para penjajah
(dalam hal ini adalah Belanda) berhasil menduduki Indonesia dan membuat penduduk asli tak
berdaya. Awal kedatangan Belanda ke Indonesia hingga terbentuknya VOC tidak terlalu
mempengaruhi kondisi hukum yang ada. Namun perubahan terjadi ketika daerah jajahan diambil
alih oleh Pemerintah Belanda. Terjadi rekonstruksi bidang hukum yang serius. Semula Hukum
Islam diterima dan dijadikan dasar hukum secara keseluruhan (receptio incomplexu) namun
situasi terbalik ketika diambil alih oleh Pemerintah Belanda menjadi berlaku sebagian (hanya yang
diresepsi oleh hukum adat atau teorireceptio). Kondisi ini memberikan keperihatinan bagi Hukum
Islam dan penerapannya. Dalam perkembangan selanjutnya Pemerintah Belanda menerapkan
hukum yang baru bagi negeri jajahan yaitu diterapkannya hukum Barat (termanifestasi dalam BW
Hinda-Belanda).
Belanda sebagai penjajah terlama memberikan pengaruh yang cukup besar bagi sistem kehidupan
masyarakat, termasuk sistem hukum,[10] karena secara filosofis dinyatakan bahwa perubahan
social menghendaki hukum juga berubah sesuai tuntutan perubahan social[11] yang terjadi.
Dalam pemaparan yang lebih dalam dapat diungkap melalui pertikaian antara dua teori tentang
keberlakuan Hukum Islam di Indonesia, yaitu teori receptio in complexu dan teori receptio.
Teorireceptio in complexu ini ditandai dari sikap minus (tiada intervensi) penjajah terhadap Hukum
Islam, teori ini dikemukakan oleh Lodewejik Willem Christian van den Berg (1845-1927). Melalui

kantor

dagang

Belanda

(VOC),

dikeluarkanlahResolute de Indieshe Regeering yang

berisi

pemberlakuan hukum waris dan hukum perkawinan Islam pada pengadilan VOC bagi orang
Indonesia. Resolusi ini dikenal dengan nama Compendium Freijer, yang merupakan legislasi
Hukum Islam pertama di Indonesia.[12]
Sebagai tambahan, pada masa penjajahan Belanda, perkawinan diatur dalam beberapa peraturan
menurut golongannya. Pertama, bagi orang-orang Eropa berlaku Kitab Undang-undang Hukum
Perdata (Burgelijk Wetboek). Kedua, bagi orang-orang Tionghoa, secara umum juga berlaku
Burgelijk Wetboek dengan sedikit pengecualian, yakni hal-hal yang berhubungan dengan
pencatatan jiwa dan acara sebelum perkawinan. Ketiga bagi golongan Arab dan Timur Asing yang
bukan Tionghoa berlaku hukum adat mereka. Keempat, bagi orang Indonesia asli berlaku hukum
adat mereka, ditambah untuk orang Kristen berlaku Undang-undang Perkawinan Kristen Jawa dan
Ambon

(Huwelijk

Ordonantie

Christen

Indonesiers

Java,

Minahasa

an

Amboina

(HOCI))

berdasarkan stbl. No. 74 Tahun 1993. Kelima, bagi orang yang tidak menggunakan salah satunya
berlaku peraturan Perkawinan Campuran.[13]
3.

Hukum Keluarga Awal Kemerdekaan Hingga Berakhirnya Orde Lama

Pembagian ini mengkombinasikan pembagian menurut Prof Abdulkadir Muhammad dan Prof
Khoiruddin Nasution yakni mulai dari awal kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945 hingga Tahun
1966 (berakhirnya Orde Lama seiring dengan turunnya Soekarno). Dalam masa ini Indonesia
mengalami babak baru, babak kemerdekaan. Pada masa ini baik pemerintah maupun masyarakat
disibukkan dengan usaha mengisi kemerdekaan yang baru saja diraih sehingga perhatian pada
hukum perkawinan kurang diperhatikan. Adapun untuk menjaga kekosongan hukum (vacuum
racht) masih diadopsi hukum yang ada pada zaman kolonial Belanda misalnya BW. Namun bukan
berarti perhatian pemerintah terhadap hukum perkawinan/keluarga tidak ada. Setahun setelah
kemerdekaan dikeluarkan peraturan perundangan yang mengatur mengenai perkawinan terutama
perkawinan yaitu UU No. 22 Tahun 1946 tentang Nikah, Talak, dan Rujuk. Walaupun telah ada UU
tersebut namun jangkauan berlakunya masih terbatas yaitu hanya untuk wilayah Jawa dan
Madura, hingga dikeluarkan UU No. 32 Tahun 1954 sebagai perluasan jangkauan dari UU No. 22
Tahun 1946.
Menurut Wasit Aulawi, dari pasal-pasal yang ada, secara ekplisit UU No. 22 Tahun 1946 hanya
mengatur pencatatan perkawinan, talak dan rujuk, yang berarti hanya menyangkut hukum acara,
bukan materi hukum perkawinan.[14] Pada masa berlakunya Undang-undang ini (UU No. 22 Tahun
1946) masih terkekang dengan teori receptio. Teori receptio ini membatasi kewenangan peradilan
agama dan menghambat perkembangan hukum keluarga Islam dan agama Islam pada khususnya,
[15] hingga runtuhnya Orde Lama dan digantikan Orde Baru.
4.

Hukum Keluarga Masa Orde Baru

Masa ini dimulai dari lengsernya Soekarno dari kursi jabatan kepresidenan hingga runtuhnya
pemerintahan Soeharto yaitu jatuhnya Orde Baru pada bulan Mei 1998. Pada masa inilah mulai
nampak klimaks dari pembicaraan hukm keluarga sebagai warisan orde sebelumnya. Terbukti pada
tahun 1974 terbentuk Undang-undang tentang keluarga yaitu UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan. Ini tidak lain dari hasil perjuangan sebelumnya dalam membuat rancangan undangundang tentang perkawinan. Undang-undang ini (UU No. 1 Tahun 1974) merupakan Undangundang tentang perkawinan pertama yang terbentuk pada masa Orde Baru.
Kehadiran

UU

No.

Tahun

1974

ini

disusul

dengan

lahirnya

beberapa

peraturan

pelaksana. Pertama, PP No. 9 Tahun 1975 yang diundangkan tanggal 1 April 1975.Kedua Peraturan
Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri. Ketiga Petunjuk Mahkamah Agung R.I.[16]
Dalam Pasal 67 PP No. 9 Tahun 1975 disebutkan: (1) Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada
tanggal 1 Oktober 1975, (2) Mulai berlakunya Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan
secara epektif dari undang-undang No. 1 Tahun 1974. Bagi Umat Islam diatur dalam Peraturan
Menag No. 3 Tahun 1075 dan No. 4 Tahun 1975, kemudian diganti dengan Peraturan Menag No. 2
Tahun 1990. Bagi yang beragama selain Islam diatur dalam Keputusan Mendagri No. 221a Tahun
1975, tanggal 1 Oktober 1975 tentang Pencatatan Perkawinan dan Perceraian pada Kantor Catatan
Sipil.[17]
Kemudian Pada Tahun 1983 lahir pula PP No. 10 yang mengatur Izin Perkawiann dan Perceraian
bagi Pegawai Negeri Sipil yang ditetapkan pada tanggal 21 April 1983. Selanjutnya disusul lagi
dengan Undang-undang No. 7 Tahun 1989 tantang Peradilan Agama.
Kemudian pada tahun 1990 keluar PP No. 45 yang berisi perubahan PP No. 10 Tahun 1983.
Kemudian satu tahun sesudahnya berhasil disusun Kompilasi Hukum Islam mengenai perkawinan,
pewarisan, dan perwakafan.[18]
Inilah sejarah panjang mengenai perjalanan peraturan perundang undangan khususnya menegenai
perkawinan selama masa Orde Baru. Adapun paparan mengenai landasan historis penyususan dan
perdebatan

yang

muncul

ketika

itu

dapat

dilihat

dari

refensi

yang

tertuang

dalam footnote terutama bukunya Prof Khoiruddin Nasution.[19]


5.

Hukum Keluarga Masa Reformasi Sampai Sekarang

Sejak jatuhnya Orde Baru, Indonesia mengalami sejarah baru. Kondisi ini menimbulkan banyak
perubahan terutama dalam hal penegakan hukum dan Hak Asasi Manusia. Misalnya munculnya
Mahkamah Konstitusi dan berdirinya KPK. Ini semua dalam hal penegakan hukum agar menuju
Indonesia yang lebih baik. Telah 14 tahun usia reformasi namun masih bisa dikatakan bahwa
perubahan dalam hukum perkawinan/keluarga masih tidak ada, yang ada adalah perluasan
kompetensi bagi pengadilan agama yang tertuang dalam UU No. 3 tahun 2006. Baru-baru tahun
2012 terjadi wacana menarik mengenai UU No. 1 Tahun 1974 yaitu pasal 43 pasal 1 yang berbunyi

Anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunyadan
keluarga ibunya tidak memeliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasrkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata mempunyai hubungan darah sebagai
ayahnya sehingga ayat tersebut harus dibaca Anak yang dilahirkan di luar perkawinan
mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti
lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga
ayahnya.[20]
B.

Hubungan Darah dalam Keluarga

Ada dua hal yang perlu dibedakan dalam subbab ini yaitu hubungan keluarga dan hubungan darah.
Menurut Abdulkadir Muhammad, hubungan keluarga dan hubungan darah adalah dua konsep yang
berbeda. Hubungan keluarga adalah hubungan dalam kehidupan keluarga yang terjadi karena
ikatan perkawinan dan karena ikatan hubungan darah. Sedang hubungan darah adalah pertalian
darah antara manusia yang satu dengan manusia yang lain karena berasal dari leluhur yang sama
(tunggal leluhur).[21] Adapun mengenai dekat-jauhnya hubungan darah dapat dinyatakan dalam
istilah atau sebutan dalam hubungan keluarga.[22]Istilah atau sebutan yang dimaksud disini
misalnya sebutan bagi orang yang melahirkan kita adalah ibu, yang melahirkan ibu/bapak adalah
nenek dan seterusnya. Adapun untuk mengukur dekat-jauhnya hubungan darah dapat dihitung
dengan jumlah kelahiran, setiap kelahiran disebut derjat (tingkat)[23]dan tiap kelahiran dihitung
satu tingkat.
Adapun yang perlu dijabarkan disini adalah arti penting hubungan darah. Hubungan darah
mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan dan perwalian.[24] Misalnya dalam hal
perkawinan hubungan darah dapat menjadi penghalang perkawinan. Kemudian dalam hal
pewarisan dapat menjadi urutan dan prioriatas ahli waris, misalnya tidak mungkin seorang cucu
memperoleh warisan dari kakeknya jika ayahnya masih hidup. Kemudian dalam hal perwalian
menentukan urutan perioritas menjadi wali, misalnya jika tidak ada hubungan satu tingkat maka
digantikan dengan hubungan dua tingkat dan seterusnya.
C.

Hubungan Darah dan Garis Keturunan

Hal yang perlu ditekankan disini mengenai garis keturunan. Ada tiga macam garis keturunan yaitu
garis keturunan dari pihak ayah, dari pihak ibu dan dari keduanya.
Adapun hubungan darah yang mengutamakan garis ayah disebut patrilineal, bias dari garis ini
adalah kedudukan suami lebih utama dari kedudukan isteri sehingga tidak jarang peran
perempuan pasif dan cenderung disubordinasikan. Berbeda dengan garis keturunan ibu yang
disebut dengan matrilineal peran isteri lebih utama dibanding peran suami atau setidaknya

sejajar.

Adapun

garis

keturunan

yang

mengambil

dari

pihak

ayah

dan

pihak

ibu

disebut parental ataubilateral, suami dan isteri memiliki kedudukan yang berimbang dan tidak
ada yang lebih utama ataupun superior. Lebih jauh lagi bahwa hubungan suami isteri adalah
hubungan mitra, sejajar dan saling membutuhkan dan saling mengisi.[25]
Ada dua pertanyaan yang perlu dijawab dalam subbab ini yaitu; UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun
1974) menganut sistem yang mana? Bagaimana dengan BW? Pertama, menurut Abdulkadir
Muhammad bahwa Undang-undang Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974) menganut sistem parental
(bilateral) dalam hubungan keluarga. Hal ini dapat dibuktikan dari beberapa pasal seperti pasal 45
ayat (1) bahwa Kedua orang tua wajib memelihara danmendidik anak-anak mereka sebaikbaiknya.
Kemudian pasal 47 ayat (1) Anak yang belum mencapai umur 18 tahun (delapan belas) tahun
atau belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya selama
mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Pasal 35 ayat (1) Harta benda diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama.
Kemudian pasal 51 (2) Wali sedapat-dapatnya diambil dari keluarga anak tersebut atau orang
lain yang sudahdewasa berpikiran sehat, adil, jujur dan berkelakuan baik. [26]
Jelas sekali dari beberapa pasal diatas dapat dipahami bahwa UU No. 1 Tahun 1974 menganut
hubungan garis keturunan dari ayah dan ibu. Kemudian dipertegas lagi sesuai putusan MK No.
46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak Luar Kawin. Setelah menguji materiil UU No.
1 Tahun 1974 pasal 43 ayat (1) menghasilkan perubahan cara baca menjadi Anak yang dilahirkan
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta
dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan
teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan

perdata

dengan

keluarga

ayahnya.[27] Sampai

disini

tentang

Undang-undang

perkawinan sudah jelas.


Selanjutnya adalah mengenai BW sebenarnya menganut sistem parental (bilateral) namun
sayangnya masih tampak mengutamakan peran bapak. Hal ini dapat dilihat dari perbandingan
beberpa pasal berikut.
Pasal 298 yang berbunyi Setiap anak, berapapun juga umurnya, wajib menghormati dan
menghargai orang tuanya. Orang tua wajib memelihara dan mendidik anak-anak mereka yang
masih dibawah umur. Kehilangan kekuasaan orang tua atau kekuasaan wali tidak membebaskan
mereka dari kewajiban untuk memberi tunjangan menurut besarnya pendapat mereka guna
membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak-anak mereka itu. Bagi yang sudah dewasa berlaku
ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Bagian 3 bab ini.[28]

Pasal 299 yang berbunyi Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak sampai dewasa tetap
berada dalam kekuasaan kedua orang tuanya, sejauh kedua orang tua tersebut tidak dilepaskan
atau dipecat dari kekuasaan itu.
Bandingkan dengan pasal selnjutnya ayitu pasal 300 yang berbunyi Kecuali jika teradi pelepasan
atau pemecatan dan berlaku ketentuan-ketentuan mengenai pisah meja dan ranjang, bapak
sendiri yang melakukan kekuasaan itu. Bila bapak berada dalam keadaan tidak mungkin
melakukan kekuasaan oran tua, kekuasaan itu dilakukan oleh ibu, kecuali dalam hal adanya pisah
meja dan ranjang. Bila ibu juga tidak dapat atau tidak berwenang, maka oleh Pengadilan Negeri
diangkat seorag wali sesuai dengan pasal 359.[29]
Dari pasal-pasal itu dapat dilihat peran bapak dan ibu akan menjadi terpisah jika terjadi
perpisahan meja atau ranjang dalam hal ini diartikan perceraian. Peran bapak nampaknya lebih
dahulu dari peran ibu terlihat dari pasal 300. Kemudian ibu akan menjadi wali jika dalam sang
bapak dalam kondisi tertentu, misalnya si bapak tidak mungkin melaksanakan kekuasaan orang
tua atau tidak mampu lagi atau tidak memiliki kuasa, hal ini nampaknya terjadi karena konsepsi
masyarakat pada masa itu.
D.

Kekuasaan Orang Tua

Adapun yang akan diuraikan dalam pembahasan subbab ini adalah sebatas kekuasaan orang tua
kepada anak. Tidak membahas mengenai hak dan kewajiban antara suami-isteri. Mengenai
kekuasaan orang tua diatur dalam KUH Perdata buku I title XIV pasal 298-329 dan dalam UU
Perkawinan pasal 45-49.
Selanjutnya pembagian dalam subbab ini mengacu pada buku Titik Triwulan Tatik.
1.

Kekuasaan orang tua terhadap pribadi anak

Mengacu ke pasal 299 KUH Perdata yang bebunyi Selama perkawinan orang tuanya, setiap anak
sampai dewasa tetap berada dalam kekuasaan orang tuanya sejauh kedua orang tua tersebut
tidak dilepaskan atau dipecat dari kekuasaan itu. Dari pasal ini dapat ditarik beberapa pengertian
sebagai

berikut.

Pertama, Kekuasaan orang tua berada pada kedua orang tua dan tidak hanya pada ayah saja. Ini
artinya KUH Perdata tidak mengakui atau tidak membebani dari salah satu pihak melainkan
keduanya selama perkawinan masih utuh/berlangsung atau selama tidak dicabut kekuasaannya
terhadap anaknya. Kedua, jika perkawinan itu bubar atau jika kekuasaan orang tua itu dicabut
karena hal tertentu maka kekuasaan itu akan berakhir. Ketiga, jika berakhir karena perpisahan,
Pengadilan Negeri dengan mendengar dan memanggil dengan sah orang tua dan keluarga sedarah
dan semenda anak-anak yang masih dibawah umur, akan memetapkan siapa dari kedua orang tua
itu yang akan melakukan kekuasaan orang tua atas diri tiap-tiap anak, hal ini sesuai dengan pasal

246 KUH Perdata. Jika kedua orang tua tidak mampu karena kondisi tertentu, demi kebaikan si
anak pengadilan sesuai dengan tugas dan kewajibannya akan mengangkat seorang wali untuk
menjalankan kekuasaan orang tua yang tidak memungkinkan itu. Jadi dalam kondisi ini anak
berada di bawah perwalian meskipun orang tuanya tidak buabar. Dan Keempat, jika anak telah
dewasa dan kondisi anak tersebut normal maka kekuasaan orang tua berakhir karena si anak telah
dewasa dan cakap hukum. Dewasa dimaksud disini adlah telah berusia 21 tahun penuh atau telah
kawin.
Mengacu pasal 298 (1) KUH Perdata dan pasal 45 (1) UU Perkawinan maka orang tua mempunyai
kewajiban memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan sebaik-baiknya. Dan ketika
kekuasaannya dicabut bukan berarti kewajibannya juga bebas, melainkan tetap ada menurut
pendapatan mereka guna membiayai pemeliharaan dan pendidikan anak tersebut.
2.

Kekuasaan orang tua terhadap kekayaan si anak

Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap kekayaan anak diatur dalam pasal 307-318 KUH
Perdata dan pasal 48 UU Perkawinan. Kekuasaan orang tua terhadap kekayaan anak meliputi: (1)
mengurus harta kekayaan si anak [pasal 307 BW]; (2) bertanggung jawab atas harta kekayaan
dan hasilnya, apabila diperbolehkan [308 BW]; (3)tidak memindah-tangankan harta kekayaan si
anak tanpa ijin si anak atau pengadilan [309 BW jo pasal 48 UUP].[30] Ada beberapa hal yang
perlu diperhatikan orang tua dalam kekuasaannya terhadap harta si anak yaitu: mengurus,
bertanggung jawab atas harta dan hasilnya, dan tidak memindahkan-tangankan harta kekayaan si
anak kecuali dalam hal darurat karena kepentingan si anak menghendaki.[31]
E.

Perwalian

Perwalian adalah pengawasan terhadap anak di bawah umur, yang tidak berada di bawah
kekuasan orang tua serta pengurusan benda atau kekayaan anak tersebut diatur oleh undangundang. Anak yang berda di bawah perwalian adalah: (1) anak sah yang kedua orang tuanya telah
dicabut kekuasaannya sebagi orang tua; (2) Anak sah yang kedua orang tuanya bercerai; (3) anak
yang lahir di luar perkawinan (naturlijk kind).[32] Ketentuan tentang perwalian diatur dalam KUH
Perdata pasal 331 sampai dengan pasal 344 dan pasal 50 sampai pasal 54 Undang-undang
Perkawinan dan juga dalam KHI. Adapun asas-asas perwalian sebagia berikut.
1.

Asas tak dapat dibagi-bagi (ondeelbaarheid)

Asas ini menghendaki wali hanya satu orang, tidak boleh lebih. Namun ini tidak mutlak, atrtinya
ada pengecualian yaitu: (1) bagi perwalian yang dilakukan oleh ibu sebagai orang tua yang hidup
terlama jika ia kawin lagi maka suaminya menjadi wali peserta (pasal 51 BW)[33]; (2) jika dirasa
perlu dilakukan penunjukan seorang wali untuk mengurus harta kekayaan yang berada di luar
negeri, hal ini berdasarkan pasal 361 BW.
2.

Asas

kesepakatan/persetujuan

dari keluarga

Pengangkatan wali menurut asas ini melalui kesepakatan keluarga. Hakim akan mengangkat
seorang wali setelah mendengar pendapat atau memanggil keluarga sedarah, atau semenda. Hal
ini berarti meminta kesepakatan dari pihak keluarga yang ada, jika memang tidak ada keluarga
maka tidak perlu. Adapun jika ada setelah dipanggil namun tidak datang dapat dituntut
berdasarkan pasal 524 KUHP.
Pasal 354 KUH Perdata menentukan bahwa orang tua yang hidup terlama dengan sendirinya
menjadi wali.[34] Selain itu perwalian akan terjadi dengan adanya penunjukan dengan surat
wasiat (testamen) atau akte khusus, hal ini dapat dipahami dari pasal 355 (1) BW. Kemudian
perwalian ditentukan oleh hakim. Inilah pemaparan singkat yang mengatur mengenai terjadinya
perwalian. Selanjutnya adalah berakhirnya perwalian, perwalian akan berkhir jika si anak telah
dewasa, si anak meninggal dunia, timbulnya kembali kekuasaan orang tua, dan pengesahan anak
luar kawin. Terkait dalam hubungan dengan tugas wali ada beberapa hal yang menyebabkan
berakhirnya perwalian misalnya: (1) wali meninggal dunia; (2) wali dipecat atau dicabut dari
perwalian (Pasal 380 KUH Perdata).
F.

Pengampuan

Dalam KUH Perdata, Pengampuan diatur dalam pasal 433 sampai dengan pasal 462. Pengampuan
hakikatnya merupakan bentuk khusus dari perwalian, yaitu diperuntukkan bagi orang dewasa
tetapi berhubung dengan suatu hal (keadaan mental atau fisik tidak/kurang sempurna) ia tidak
dapat bertindak dengan leluasa.[35] Adapun alasan pengampuan dapat dilihat dalam BW pasal
433 sampai pasal 434 misalnya dungu, gila, mata gelap/buta, boros, lemah akal pikiran, merasa
tidak cakap mengurus kepentingan sendiri dengan baik. Kemudian yang perlu dipaparkan disini
adalah

berakhirnya

pengampuan.

Dalam

bukunya

Titik

Triwulan

Tutik

sebagai

yaitu

secara absolut, curandus meninggal atau adanya putusan pengadilan yang menyatakan sebabsebab dan alasan-alasan di bawah pengampuan telah hapus, dan secara relatif, curator
meninggal, curator dipecat.
PENUTUP
Kesimpulan
Hukum Keluarga Indonesia mengalami pasang surut dalam lintasan sejarah Indonesia. Sejarah
Hukum Keluarga Indonesia dapat digambarkan dengan periodesasi sejarah kemerdekaan dan
pemerintahan Indonesia atau bisa juga dengan menggunakan teori-teori tentang keberlakuan
Hukum Islam dalam masyarakat Indonesia. Pada zaman pracolonial dan awal colonial hukum
keluarga Indonesia berasal dari Hukum Islam dan hukum adat, dimana pada masa ini yang
berlaku adalah teori receptio in complexu. Kemudian pada masa colonial (pemerintahan diambil
alaih oleh Pemerintah Kerajaan Belanda) Hukum Islam didegradasi keberadaannya dalam
masyarakat dan diganti dengan peraturan yang dikeluarkan oleh colonial Belanda sehingga pada

masa ini Hukum Islam khususnya Hukum Keluarga mengalami desakan dan penyempitan, adapun
teori yang digunakan oleh pemerintahan colonial untuk menyokong politik hukum ini adalah
dengan mengemukakan teori receptio (Hukum Islam yang berlaku adalah Hukum Islam yang
diterima oleh Hukum Adat). Kemudian setelah Indonesia merdeka terlihat upaya dalam
menghilangkan bekas-bekas teori receptio yang dikemukakan oleh colonial misalnya dengan
adanya teori receptio exit dari Hazairin, sehingga seiring bertambahnya usia kemerdekaan, Hukum
Keluarga mulai mendapat perhatian serius masyarakat Indonesia. Terbukti dengan terbentuknya
Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 kemudian diperluas wilayah berlakunya dengan UndangUndang No. 32 Tahun 1954 dan pada akhirnya Undang-Undang Perkawianan No. 1 Tahun 1974
terbentuk setelah mengalami perjalanan yang panjang. Kemudian diiringi dengan PP No. 9 Tahun
1975, disusul PMA No. 3 Tahun 1975, PMA No. 4 Tahun 1975, Peraturan Mendagri No. 221a Tahun
1975, PP No. 10 Tahun 1983, Undang-Undang No. 7 Tahun 1989. Kemudian pada tahun 1991
terjadi unifikasi Hukum Keluarga Islam yang menghasilakan Kompilasi Hukum Islam yang
diundangkan melalui Inpres No. 1 Tahun 1991. Inilah sederetan bukti eksistensi perhatian
masyarakat terhadap Hukum Keluarga Indonesia dalam lintasan sejarah. Satu hal yang tidak boleh
dilupakan dalam sejarah Hukum Keluaraga Indonesia, bahwa terjadi formatisasi Hukum Islam
dengan upaya mentransformasikan Hukum Islam (khususnya Hukum Keluarga) ke dalam aturan
perundangan. Terbukti dengan lahirnya UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, dengan
ketentuan ini berarti terjadi perubahan hukum dari yang rasial-etnis (pada masa kolonial) kepada
hukum yang berdasar agama.
Adapun mengenai hubungan darah yang perlu dijabarkan disini adalah arti penting hubungan
darah. Hubungan darah mempunyai arti penting dalam hal perkawinan, pewarisan dan perwalian.
Misalnya dalam hal perkawinan hubungan darah dapat menjadi penghalang perkawinan. Kemudian
dalam hal pewarisan dapat menjadi urutan dan prioriatas ahli waris, misalnya tidak mungkin
seorang cucu memperoleh warisan dari kakeknya jika ayahnya masih hidup. Kemudian dalam hal
perwalian menentukan urutan perioritas menjadi wali, misalnya jika tidak ada hubungan satu
tingkat maka digantikan dengan hubungan dua tingkat dan seterusnya.
UU No. 1 Tahun 1974 menganut hubungan kekerabatan/garis keturunan dari ayah dan ibu. Hal ini
dipertegas lagi dengan putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan Anak Luar
Kawin. Adapun BW sebenarnya menganut sistem parental (bilateral) namun sayangnya masih
tampak mengutamakan peran bapak.
Adapun mengenai kekuasaan orang tua terhadap anak dimulai sejak anak itu dilahirkan dan
bahkan ketika dalam kandungan apabila kepentingannya menghendaki. Kekuasaan orang tua akan
berakhir ketika si anak telah dewasa dan cakap hukum, kekuasaan orang tua dicabut, atau terjadi
perpisahan antara suami dan isteri. Kekuasaan orang tua asli dilaksanakan oleh orang tuanya

sendiri yang masih terikat perkawinan terhadap anak-anaknya yang belum dewasa. Kemudian
perwalian dan bimbingan dilaksanakan oleh wali, dapat salah satu ibunya atau bapaknya yang
tidak dalam ikatan perkawinan lagi atau orang lain terhadap anak-anak yang belum dewasa.
Sedangkan Pengampuan merupakan pemeliharaan atau bimbingan yang dilaksanakan oleh kurator
(yaitu keluarga sedarah atau orang yang ditunjuk) terhadap orang-orang dewasa karena
dinyatakan tidak cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.

DAFTAR PUSTAKA

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia (Cetakan Revisi), Bandung: PT Citra Aditya
Bakti, 2010.
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXI., Jakarta: PT Intermasa, 1987.
Muhammad Soddiq & Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, Jakarta: Pradnya
Paramita, 2008.
Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2010.
________, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di
Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan Dalam Hukum
Perkawinan/Keluarga Islam, Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009.
________, Hukum Perkawian 1: Edisi Revisi, Yogyakarta: ACAdeMIA dan Tazzafa, 2005.
Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Implementasinya di Indonesia, Yogyakarta:
Beranda, 2012.
Titik Truwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2010.
Rachmadi Usman, Aspek-Aspek Hukum Perorangan & Kekeluargaan di Indonesia, Jakarta: Sinar
Grafika, 2006.
D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar KAwin Pasca Keluarnya Putusan MK
Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Jakarta: Prestasi Pustaka, 2012.
Adi Wati dan Sri Indrawati, Hukum Perdata (Block Book), Denpasar: FH-Udayana, 2008.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Terbitan Pustaka Mahardika.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

[1] Muhammad Siddiq Tgk. Armia, Perkembangan Pemikiran Teori Ilmu Hukum, (Jakarta: Pradnya
Paramita, 2008), hlm. 9.
[2] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, cet. XXI., (Jakarta: PT Intermasa, 1987), hlm. 16.

[3] Khoiruddin Nasution, Pengantar dan Pemikiran: Hukum Keluarga (Perdata) Islam Indonesia,
(Yogyakarta: Tazzafa & ACAdeMIA, 2010), hlm. 8.
[4] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, (Bandar Lampung: PT Citra Aditya Bakti,
cetakan revisi 2010), hlm. 60-64.
[5] Baca Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan
Hukum Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status
Perempuan Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009),
hlm. 30-95.
[6] Ali

Sodikin, Fiqh

Ushul

Fiqh:

Sejarah,

Metodologi

dan

Impementasinya di

Indonesia,

(Yogyakarta: Beranda, 2012), hlm. 181.


[7] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 57.
[8] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan
Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam), hlm. 16-20.
[9] Ali Sodiqin, Fiqh Ushul Fiqh: Sejarah, Metodologi dan Impementasinya di Indonesia, hlm. 182.
[10] Ali Sodikin, Ibid, hlm. 188.
[11] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 59.
[12] Idris Ramulyo, Azas-azas Hukum Islam: Sejarah Timbul dan Berkembangnya,(Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1993), dalam Ali Sodikin, Ibid, hlm. 189.
[13] Zaini Ahmad Noeh, Lima tahun Undang-Undang Peradilan Agama, hlm. 19-20 dalam
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan
Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009), hlm. 28-29.
[14] Wasit Aulawi, Sejarah Perkembangan Hukum Islam di Indonesia, hlm. 57-58 dalam
Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan , hlm. 32.
[15] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 61.
[16] Khoiruddin Nasution, Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum
Perkawinan Di Dunia Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan
Dalam Hukum Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009), hlm. 48.
[17] Ibid.
[18] Ibid. Hlm. 49.
[19] Hukum Perdata (Keluarga) Islam Indonesia Dan Perbandingan Hukum Perkawinan Di Dunia
Muslim: Studi Sejarah, Metode Pembaruan, Dan Materi. & Status Perempuan Dalam Hukum
Perkawinan/Keluarga Islam, (Yogyakarta: ACAdeMIA & Tazzafa, 2009).

[20] Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan


Anak Luar Kawin dalam D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, (Jakarta: Prestasi Pustaka,
2012), hlm. 217.
[21] Lihat Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, hlm. 69-70.
[22] Ibid.
[23] Pahami Pasal 290-297KUH Perdata.
[24] Adi Wati dan Sri Indrawati, Hukum Perdata, (Denpasar: FH-Udayana, 2008), hlm. 13.
[25] Khoiruddin Nasution, Hukum Perkawinan 1, ( ACAdeMIA & Tazzafa, 2005), hlm 53.
[26] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974
[27] Amar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010 Terhadap Persoalan
Anak Luar Kawin dalam D.Y. Witanto, Hukum Keluarga: Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, hlm. 217.
[28] Kitab Undang-undang Hukum Perdata
[29] Ibid.
[30] Titik Sriwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sitem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2008), hlm. 82
[31] Pasal 48 UU Perkawinan (UU No. 1 Tahun 1974)
[32] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, hlm. 52-53.
[33] Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, hlm. 88.
[34] Ibid.
[35] Ali Afandi, Hukum Waris, Hukum Keluarga, dan Hukum Pembuktian Menurut KUH Perdata,
Jakarta Bina Aksara, hlm. 93. Dalam Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum
Nasional

Anda mungkin juga menyukai