Jelajahi eBook
Kategori
Jelajahi Buku audio
Kategori
Jelajahi Majalah
Kategori
Jelajahi Dokumen
Kategori
Pembahasan
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari usus halus ?
Usus halus adalah saluran yang memiliki panjang 6 m. Fungsi usus halus
adalah mencerna dan mengabsorpsi chyme dari lambung.. Usus halus memanjang dari
pyloric sphincter lambung sampai sphincter ileocaecal, tempat bersambung dengan
usus besar (gambar 1,1). Usus halus terdiri atas tiga bagian , yaitu: duodenum,
jejunum, ileum.3
ini terdapat pancreas dan duodenal papilla, tempat bermuaranya pancreas dan kantung
empedu. Empedu berfungsi mengemulsikan lemak dengan bantuan lipase. Pankreas
menghasilkan amilase yang berfungsi mencerna hidrat arang menjadi disakarida dan
tripsin yang berfungsi mencerna protein menjadi asam amino/albumin dan
polipeptida. Dinding usus halus mempunyai lapisan mukosa yang banyak
mengandung kelenjar brunner yang berfungsi memproduksi getah intestinum.
Jejunum memiliki panjang antara 1,5 m 1,75 m. Di dalam usus ini, makanan
mengalami pencernaan secara kimiawi oleh enzim yang dihasilkan dinding usus.
Getah usus yang dihasilkan mengandung lendir dan berbagai macam enzim yang
dapat memecah makanan menjadi lebih sederhana. Di dalam jejunum, makanan
menjadi bubur yang lumat yang encer.
Usus penyerapan (ileum), panjangnya antara 0,75m 3,5m terjadi penyerapan
sarisari makanan. Permukaan dinding ileum dipenuhi oleh jonjot-jonjot usus/vili.
Adanya jonjot usus mengakibatkan permukaan ileum menjadi semakin luas sehingga
penyerapan makanan dapat berjalan dengan baik.
Dinding jonjot usus halus tertutup sel epithelium yang berfungsi untuk
menyerap zat hara. Terdapat sekitar 1000 mikrovili (gambar 3) dalam tiap sel.
Dinding tersebut juga mengeluarkan mucus. Enzim pada mikrovili menghancurkan
makanana menjadi partikel yang cukup kecil untuk diserap. Di dalam setiap jonjot
terdapat pembuluh darah halus dan saluran limfa yang menyerap zat hara dari
permukaan jonjot. Vena porta mengambil glukosa dan asam amino, sedangkan asam
lemak dan gliserol masuk ke sel limfa.2,5
Usus besar atau kolon dalam anatomi adalah bagian usus antara usus buntu dan
rektum. Fungsi utama organ ini adalah menyerap air dari feses.
Usus besar terdiri dari :
a.
b.
c.
d.
tiga kali sehari dan dirangsang oleh refleks gatrokolik setelah makan, terutama setelah
makanan yang pertama kali dimakan pada hari itu.
Propulsi feses ke dalam rektum menyebabkan terjadinya distensi dinding
rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani
eksterna dan interna. Sfingter interna dikendalikan oleh sistem saraf otonom,
sedangkan sfingter eksterna dikendalikan oleh sistem saraf voluntar. Refleks defekasi
terintegrasi pada medula spinalis segmen sakral kedua dan keempat. Serabut
parasimpatis mencapai rektum melalui saraf splangnikus panggul dan menyebabkan
terjadinya kontraksi rektum dan relaksasi sfingter interna. Pada waktu rektum yang
tergang berkontraksi, otot levator ani berelaksasi, sehingga menyebabkan sudut dan
anulus anorektal hilang. Otot sfingter interna dan eksterna berelaksasi pada waktu
anus tertarik ke atas melebihi tinggi masa feses. Defekasi dipercepat dengan tekanan
intraabdomen yang meningkat akibat kontraksi voluntar otot dada dengan glotis yang
tertutup, dan kontraksi otot abdomen secara terus menerus (manuver atau peregangan
valsalva). Defekasi dapat dihambat oleh kontraksi voluntar sfingter eksterna dan
levator ani. Dinding rektumsecara bertahap menjadi relaks dan keinginan defekasi
menghilang.4
HISTOLOGI SALURAN CERNA BAWAH
Lapisan usus halus terdiri atas 4 lapisan yang sama dengan lambung, yaitu :
1. Lapisan luar adalah membran selulosa, yaitu peritornium yang melapisi
usus halus dengan erat.
2. Lapisan otot polos terdiri atas 2 lapisan serabut, lapisan luar yang
memanjang (longitudinal) dan lapisan dalam yang melingkar (serabut
sirkuler). Kontraksi otot polos dan bentuk peristaltic usus yang turut serta
dalam proses pencernaan mekanis, pencampuran makanan dengan enzimenzim
pencernaan
dan
pergerakkan
makanan
sepanjang
saluran
alveolar dan berisi banyak pembuluh darah, sel limfe, kelenjar, dan pleksus
syaraf yang disebut plexus of meissner. Pada duodenum terdapat kelenjar
blunner yang berfungsi untuk melindungi lapisan duodenum dari pengaruh
isi lambung yang asam. Sistem kerjanya adalah kelenjar blunner akan
mengeluarkan sekret cairan kental alkali.
4. Mukosa dalam terdiri dari epitel selapis kolumner goblet yang mensekresi
getah usus halus (intestinal juice). Intestinal juice merupakan kombinasi
cairan yang disekresikan oleh kelenjar-kelenjar usus (glandula intestinalis)
dari duodenum, jejunum, dan ileum. Produksinya dipengaruhi oleh
hormon sekretin dan enterokrinin. Pada lapisan ini terdapat vili (gambar 3)
yang merupakan tonjolan dari plica circularis (lipatan yang terjadi antara
mukosa dengan submukosa). Lipatan ini menambah luasnya permukaan
sekresi dan absorpsi serta memberi kesempatan lebih lama pada getah
cerna untuk bekerja pada makanan. Lapisan mukosa berisi banyak lipatan
Lieberkuhn yang bermuara di atas permukaan, di tengah-tengah villi.
Lipatan Lieberkuhn diselaputi oleh epithelium silinder.6
2. Bakteri enteroinvasif
Diare menyebabkan kerusakan dinding usus berupa nekrosis dan ulserasi, dan
bersifat sekretorik eksudatif. Cairan diare dapat bercampur lendir dan darah. Bakteri
yang termasuk dalam golongan ini adalah Enteroinvasive E. Coli (EIEC). S. Paratyphi
B, S. Typhimurium, S. enteriditis, S. choleraesuis, Shigela, Yersinia, dan C.
Pertringens tipe C. penyebab diare lainnya seperti parasit menyebabkan kerusakan
berupa ulkus besar (E. histolytica), kerusakan vilia yang penting untuk penyerapan
air, elektrolit, dan zat makanan (G. Lambdia)
c. Manifestasi klinis
Secara klinis diare karena infeksi akut dibagi menjadi dua golongan yaitu :
1. Koleriform, dengan diare yang terutama terdiri atas cairan saja
2. Disentriform, pada diare di dapat lendir kental dan kadang-kadang darah.
d. Penatalaksanaan
Pada orang dewasa, penata laksanaan diare akut akibat infeksi terdiri dari :
1. Rehidrasi sebagai prioritas utama pengobatan
Empat hal penting yang perlu diperhatikan adalah :
1) Jenis cairan
2) Jumlah cairan
3) Jalan masuk atau cara pemberian cairan
4) Jadwal pemberian cairan.
2. Identifikasi penyebab diare akut karena infeksi
3. Terapi simtomatik
4. Terapi defenitif
2) Diare kronik
11
3. Diare inflamasi
Diare dengan kerusakan kematian enterosit disertai peradangan. Fese
berdarah. Klompok ini paling sering ditemukan. Trbagi dua yaitu nonspesitik dan
spesitik.
c. Penatalaksanaan
a. Simtomatis
1. Rehidrasi
2. Antipasmodik, antikolinergik
3. Obat anti diare
a. Obat antimotilitas dan sekresi usus : Laperamid, ditenoksilat,
kodein fosfat.
b. Aktreotid (sadratatin)
c. Obat anti diare yang mengeraskan tinja dan absorpsi zat
toksin yaitu Arang, campura kaolin dan mortin.
4. Antiemetik (metoklopromid, proklorprazin, domperidon).
5. Vitamin dan mineral, tergantung kebutuhan, yaitu:
a. Vitamin Bie, asam, vitamin A, vitamin K
b. Preparat besi, zinc,dan lain-lain.
6. Obat ekstrak enzim pankreas.
7. Aluminium hidroksida, memiliki efek konstifasi, dan mengikat asam
empedu.
8. Fenotiazin dan asam nikotinat, menghambat sekresi anion usus.
b. Kausal
13
Pengobatan kausal diberikan pada infeksi maupun non infeksi Pada diare
kronik dengan penyebab infeksi, obat diberikan berdasarkan etiologinya.
3. Bagaimana morfologi cacing pada saluran cerna beserta siklusnya ?
Infeksi Cacing Usus
a. Nematoda usus
1. Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides)
Salah satu penyebab infeksi cacing usus adalah Ascaris lumbricoides atau
yang lebih dikenal dengan nama cacing gelang dan yang penularannya dengan
perantara tanah (Soil Transmitted Helmints). Infeksi yang disebabkan oleh
cacing ini disebut Askariasis.
Morfologi
Cacing jantan berukuran 10-30 cm, sedangkan betina 22-35 cm. Stadium
dewasa hidup dirongga usus halus. Seekor cacing betina dapat bertelur sebayak
100.000-200.000 butir perhari, dimana terdiri dari telur yang dibuahi dan yang
tidak dibuahi.
14
Telur Ascaris lumbricoides berkembang sangat baik pada tanah liat yang
mempunyai kelembaban tinggi dan pada suhu 25-300 C. Pada kondisi ini telur
tumbuh menjadi bentuk yang infektif (mengandung larva) dalam waktu 2-3
minggu.
15
17
18
19
Cacing dewasa jantan berukuran panjang 7-11 mm x lebar 0,4-0,5 mm. Cacing
dewasa Ancylostoma cenderung lebih besar dari pada Necator. Cacing dewasa
jarang terlihat, karena melekat erat pada mukosa usus dengan bagian mulutnya
yang berkembang dengan baik (gigi pada Ancylostoma dan lempeng pemotong
pada Necator).
kemudian. Dalam 5-8 hari akan tumbuh larva infektif filariform dan dapat tetap
hidup dalam tanah untuk beberapa minggu.
Infeksi pada manusia didapat melalui penetrasi larva filariform yang terdapat
di tanah ke dalam kulit. Setelah masuk ke dalam kulit, pertama-tama larva di bawa
aliran darah vena ke jantung bagian kanan dan kemudian ke paru-paru. Larva
menembus alveoli, bermigrasi melalui bronki ke trakea dan faring, kemudian
tertelan sampai ke usus kecil dan hidup di sana. Mereka melekat di mukosa,
mempergunakan struktur mulut sementara, sebelum struktur mulut permanen yang
khas terbentuk. Bentuk betina mulai mengeluarkan telur kira-kira 5 (lima) bulan
setelah permulaan infeksi, meskipun periode prepaten dapat berlangsung dari 6-10
bulan. Apabila larva filariform Ancylostoma duodenale tertelan, mereka dapat
berkembang menjadi cacing dewasa dalam usus tanpa melalui siklus paru-paru.
nekrosis jaringan usus yang berada dalam mulut cacing dewasa dan kehilangan
darah langsung dihisap oleh cacing dan terjadinya perdarahan terus-menerus di
tempat asal perlekatannya, yang kemungkinan diakibatkan oleh sekresi
antikoagulan oleh cacing.
Pada infeksi akut dengan banyak cacing, dapat disertai kelemahan, nausea,
muntah, sakit perut, diare dengan tinja hitam atau merah (tergantung jumlah darah
yang keluar), lesu dan pucat. Seperti pada infeksi parasit lainnya, jumlah cacing
yang banyak pada anak-anak dapat menimbulkan gejala sisa serius dan kematian.
Selama fase usus akut dapat dijumpai peningkatan eosinofilia perifer. Pada infeksi
kronik, gejala utamanya adalah anemia defisiensi besi dengan tanda pucat, edema
muka dan kaki, lesu dan kadar hemoglobin 5g/dL . Dapat dijumpai
kardiomegali, serta retardasi mental dan fisik.
4. Cacing Benang Manusia (Strongyloides stercoralis)
Manusia merupakan hospes utama cacing ini. Cacing ini dapat menyebabkan
penyakit stongilodiasis. Nematoda ini terutama terdapat di daerah tropik dan
subtropik sedangkan di daerah yang beriklim dingin jarang ditemukan.
Morfologi
Cacing betina yang hidup sebagai parasit di vilus duodenalum dan yeyunum.
Cacing betina berbentuk filiform, halus, tidak berwarna dan panjangnya kira-kira
2mm.
22
beberapa hari menjadi larva filariform yang infektif dan masuk dalam hospes
baru atau larva rhabditiform dapat mengulangi fase hidup bebas. Siklus tidak
langsung ini terjadi bilamana keadaan lingkungan sekitarnya optimum yaitu
sesuai dengan keadaan yang dibutuhkan untuk hidup bebas parasit ini.
3) Autoinfeksi
Larva rhabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus
atau di sekitar anus, misalnya pada pasien yang menderita obstipasi lama
sehingga bentuk rhabditiform sempat berubah menjadi filariform di dalam
usus, pada penderita diare menahun dimana kebersihan kurang diperhatikan,
bentuk rhabditiform akan menjadi filariform pada tinja yang masih melekat di
sekitar dubur. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongiloidiasis
menahun pada penderita.
Patologi dan Gejala Klinis
Bila larva filariform dalam jumlah besar menembus kulit akan timbul kelainan
kulit yang dinamakan creeping eruption yang sering disertai dengan rasa gatal
yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada mukosa usus muda.
Infeksi ringan
pada umumnya terjadi tanpa diketahui hospesnya karena tidak menimbulkan
gejala. Infeksi sedang dapat menyebabkan rasa sakit seperti tertusuk-tusuk di
daerah epigastrium tengah dan tidak menjalar. Gejala lain adalah ada terasa mual
dan muntah, diare dan konstipas yang saling bergantian. Pada Strongiloidiasis
juga terjadi
autoinfeksi dan hiperinfeksi.
Sindroma Hiperinfeksi Autoinfeksi merupakan mekanisme terjadinya infeksi
jangka panjang, apabila pada saat-saat tertentu keseimbangan dan imunitas
penderita menurun, maka infeksinya semakin meluas dengan peningkatan
produksi larva dan larva dapat ditemukan pada setiap jaringan tubuh, sehingga
terjadi kerusakan pada jaringan tubuh. Penderita dapat meninggal akibat
terjadinya peritonitis, kerusakan otak dan kegagalan pernafasan.
5. Cacing Kremi ( Enterobius vermicularis)
Morfologi telur cacing E. Vermicularis
24
Telur berbentuk lonjong dan lebih datar pada satu sisi (asimetrik). Mempunyai
ukuran 50 -60 mikron x 20 32 mikron. Dinding telur bening dan agak lebih tebal
dari dinding telur cacing tambang. Terdapat 3 lapisan dinding telur, lapisan
pertama (lapisan luar) berupa lapisan albuminous, tranclusent, bersifat sebagai
mekanikal protection, lapisan kedua berupa membran terdiri dari lemak, berfungsi
sebagai chemical protection, lapisan ketiga adalah lapisan dalam telur yang berisi
larva.Telur menjadi matang dalam waktu 6 jam setelah dikeluarkan. Telur resisten
terhadap desinfektan dan udara dingin. Dalam keadaan lembab telur dapat hidup
dalam 13 hari.
25
Telur
cacing
yang
infektif
dapat
bertahan
lama,
dapat
26
b. Trematoda Usus
1. Cacing Daun Raksasa (Fasciolopsis Buski)
Morfologi dan Daur Hidup
Pada umumnya bentuk badan cacing dewasa pipih dorsoventral dan simetri
bilateral, tidak mempunyai rongga badan. Ukuran panjang cacing dewasa sangat
beraneka ragam dari 1 mm sampai kurang lebih 75 mm. Tanda khas lainnya
adalah terdapatnya 2 buah batil isap, yaitu batil isap mulut dan batil isap perut.
Beberapa spesies mempunyai batil isap genital. Saluran pencernaan menyerupai
huruf Y terbalik yang dimulai dengan mulut dan berakhir buntu pada sekum. Pada
umumnya Trematoda tidak mempunyai alat pernafasan khusus, karena hidupnya
secara anaerob. Saluran ekskresi terdapat simetris bilateral dan berakhir di bagian
posterior. Susunan saraf dimulai dengan gangliondi bagian dorsal esofagus,
kemudian terdapat saraf yang memanjang dibagian dorsal, ventral dan lateral
badan. Cacing ini bersifat hermafrodit denagn alat reproduksi yang kompleks.
Cacing dewasa hidup di dalam tubuh hospes definitif. Telur diletakkan di
saluran hati, rongga usus, paru, pembuluh darah atau dijaringan tempat cacing
hidup dan telur biasanya keluar bersama tinja, dahak atau urin. Pada umumnya
telur berisis sel telur, hanya pada beberapa spesies telur sudah mengandung
mirasidium (M) yang mempunyai bulu getar. Bila sudah mengandung mirasidium
telur menetas di dalam air (telur matang). Pada spesies trematoda yang
mengeluarkan telur berisis sel telur, telur akan menjadi matang dalam waktu
kurang lebih 2-3 minggu. Pada beberapa spesies Trematoda, telu matang menetas
bila ditelan keong (hospes perantara) dan keluarlah mirasidium yang masuk
kedalam jaringan keong; atau telur dapat langsung menetas dan mirasidium
berenang di air; dalam waktu 24 jam kmirasidium harusn sudah menemukan
keong air agar dapat melanjutkan perkembangannya. Keong air disini berfungsi
sebagai hospes perantara pertama atau HP1. Dalam keong air tersebut mirasidium
berkembang menjadi sebuah kantung yang berisi embrio, disebut sporokista (S).
Sporokista ini dapat mengandung sporokista lain atau redia (R); bentuknya berupa
kantung yang sudah mempunyai mulut, faring, dan sekum. Didalam sporokista
dua / redia (R) , larva berkembang menjadi serkarian (SK).
28
Serkaria kemudian keluar dari keong air dan mencari hospes perantara dua
yang berupa ikan, tumbuh-tumbuhan air, ketam, udang batu, dan keong air
lainnya, atau dapat menginfeksi hospes definitive secara langsung seperti pada
Schistosoma. Dalam hospes perantara dua serkaria berubah menjadi metaserkaria
yang berbentuk kista. Hospes definitif mendapat infeksi bila makan hospes
perantara dua yang mengandung metaserkaria yang tidak dimasak dengan baik.
Infeksi cacing Schistosoma terjadi dengan cara serkaria menembus kulit hospes
definitif, yang kemudian berubah menjadi skistosomula, lalu berkembang menjadi
cacing dewasa dalam tubuh hospes.
Patologi dan Gejala Klinis
Kelainan yang disebabkan cacing daun tergantung dari lokalisasi cacing di
dalam tubuh hospes; selain itu juga ada pengaruh rangsanga setempat dan zat
toksin yang dikeluarkan oleh cacing. Reaksi sistemik terjadi karena absorbsi zat
toksin tersebut, sehingga menghasilkan gejala alergi, demam, sakit kepala dan
lain-lain. Cacing daun yang hidupdi rongga usus biasanya tidaka memberi gjala
atau hanya gejala gastrointestinal ringan seperti mual, muntah, sakit perut dan
diare. Bila cacing hidup di jaringan paru seperti Paragonimus, mungkin
menimbulkan gejala batuk, sesak nafas, dan batuk darah(hemoptisis). Cacing yang
hidup di salyuran empedu hati seperti Clonorchis, Opistrhorchis dan Fasciola
dapat menimbulakn rangsangan dan menyebabkan penyumbatan aliran empedu
sehingga menimbulkan gejala ikterus. Akibat lainya adalah peradangan hati
sehingga terjadi hepatomegali. Bila ini terjadi berlarut-larut, dapat mengakibatkan
sirosis hati. Cacing Schistosoma yang hidup di pembuluh darah, terutama telurnya
mengakibatkan kelainan yang berupa peradangan, pseudo-abses dan akhirnya
fibrosis jaringan alat yang di infiltrasi oleh telur cacing ini, seperti dinding usus,
dinding kandung kemih, hati, jantung, otak dan lain-lain.
c. Cestoda Usus
1. Taenia Saginata (Cacing-Pita Sapi) & Taenia Solium (Cacing-Pita Babi)
Cacing pita adalah parasit pada manusia maupun hewan ternak. Ada dua jenis
cacing pita yang menjadikan manusia sebagai inang antara maupun inang
permanen.
29
30
saginata yang memiliki siklus hidup hampir sama, namun inang perantaranya
adalah babi. Manusia terinfeksi dengan memakan daging babi berisi kista
Taenia solium. Cacing ini sedikit lebih kecil dari Taenia saginata (3-4 m
panjangnya), tetapi lebih berbahaya. Berbeda dengan Taenia saginata yang
hanya membentuk kista di daging sapi, Taenia solium juga mengembangkan
kista di tubuh manusia yang menelan telurnya. Kista tersebut dapat terbentuk
di mata, otak atau otot sehingga menyebabkan masalah serius. Selanjutnya,
jika tubuh membunuh parasit itu, garam kalsium yang terbentuk di tempat
mereka akan membentuk batu kecil di jaringan lunak yang juga mengganggu
kesehatan. Skoleks taenia solium memiliki 4 pengisap besar dengan dua baris
pengait. Cacing pita dewasa tumbuh menjadi sekitar 6 mm lebar dan 2-7 m
panjangnya, dengan sekitar 800 segmen yang disebut proglotida. Saat cacing
pita tumbuh di usus, proglotida matang yang disebut proglotida gravid akan
dilepas keluar tubuh manusia. Setiap proglotida gravid berisi organ reproduksi
jantan dan betina dan 30-40 ribu rumah telur berisi embrio.Taenia solium
memiliki pola penularan yang sangat mirip dengan taenia saginata. Manusia
adalah inang definitif dengan babi sebagai hospes perantara. Infeksi pada
manusia dimulai dengan mengkonsumsi daging babi mentah atau kurang
matang yang terinfeksi.
Daur Hidup
Sebuah proglotid gravid berisi kira-kira 100.000 buah telur. Pada saat
proglotid terlepas dari rangkaiannya dan menjadi koyak, terdapat cairan putih
susu yang mengandung banyak telur mengalir keluar dari sisi anterior
proglotid tersebut, terutama jika proglotid berkontraksi pada saat bergerak.
Telur-telur ini akan melekat pada rumput bersama dengan tinja, bila orang
berdefekasi di padang rumput atau karena tinja yang hanyut dari sungai pada
saat banjir. Ternak yang makan rumput ini akan terkontaminasi dan dihinggapi
cacing gelembung, karena telur yang tertelan bersama rumput tersebut akan
dicerna dan embrio heksakan akan menetas di dalam tubuh ternak. Embrio
heksakan yang menetas di saluran pencernaan ternak akan menembus dinding
usus, masuk ke saluran getah bening atau darah dan ikut dengan aliran darah
ke jaringan ikat di sela-sela otot untuk tumbuh menjadi cacing gelembung
32
yang disebut sistiserkus bovis, yaitu larva Taenia saginata yang terbentuk
setelah 12 s.d. 15 minggu.
Bila cacing gelembung yang ada di otot hewan ini termakan oleh
manusia, karena proses pemasakan yang tidak atau kurang matang, maka
skoleknya akan keluar dari cacing gelembung dengan cara evaginasi. Skolek
akan melekat pada mukosa usus halus seperti jejunum. Cacing Taenia saginata
dalam waktu 8 s.d. 10 minggu akan menjadi dewasa.
Telur dilepaskan bersama proglotid atau tersendiri melalui lubang
uterus. Embrio di dalam telur disebut onkosfer berupa embrio heksakan yang
tumbuh menjadi bentuk infektif dalam hospes perantara. Infeksi terjadi jika
menelan larva bentuk infektif atau menelan telur. Pada Cestoda dikenal dua
ordo, yang pertama Pseudophyllidea dan yang kedua adalah Cyclopyllidea.
dan otot, gejalanya mungkin tidak begitu nyata ; tetapi kalau infeksi cacing
pita Cysticercus menjalar ke otak, mata atau ke sumsum tulang akan
menimbulkan efek lanjutan yang parah.
Infeksi oleh cacing pita genus Taenia di dalam usus biasanya disebut
Taeniasis. Ada dua spesies yang sering sebagai penyebab-nya, yaitu Taenia
solium dan Taenia saginata. Menurut penelitian di beberapa desa di Indonesia,
angka infeksi taenia tercatat 0,823%., frekuensinya tidak begitu tinggi.
Namun demikian, cara penanganannya perlu mendapat perhatian, terutama
kasus-kasus taeniasis Taenia solium yang sering menyebabkan komplikasi
sistiserkosis.
Cara infeksinya melalui oral karena memakan daging babi atau sapi
yang mentah atau setengah matang dan me-ngandung larva cysticercus. Di
dalam usus halus, larva itu menjadi dewasa dan dapat menyebabkan gejala
gastero- intestinal seperti rasa mual, nyeri di daerah epigastrium, napsu makan
menurun atau meningkat, diare atau kadang-kadang konstipasi. Selain itu, gizi
penderita bisa menjadi buruk se-hingga terjadi anemia malnutrisi. Pada
pemeriksaan darah tepi didapatkan eosinofilia. Semua gejala tersebut tidak
spesifik bahkan sebagian besar kasus taeniasis tidak menunjukkan gejala
(asimtomatik).
Cacing
dewasa
taenia
saginata
(cacing
pita
sapi)
biasanya
menyebabkan gejala klinis yang ringan, seperti sakit ulu hati, perut merasa
tidak enak, mual, muntah, mencret, pusing atau gugup. Gejala-gejala tersebut
disertai dengan ditemukannya proglotid cacing yang bergerak-gerak lewat
dubur bersama dengan atau tanpa tinja. Gejala yang lebih berat dapat terjadi,
yaitu apabila proglotid menyasar masuk apendiks, atau terdapat ileus yang
disebabkan obstruksi usus oleh strobilla cacing. Berat badan tidak jelas
menurun. Eosinofilia dapat ditemukan di darah tepi.
Meskipun infeksi ini biasanya tidak menimbulkan gejala, beberapa
penderita merasakan nyeri perut bagian atas, diare dan penurunan berat badan.
Kadang-kadang penderita bisa merasakan keluarnya cacing melalui duburnya.
2. Diphyllobothrium Latum (Cacing-Pita Ikan)
34
35
kembali oleh manusia (Manusia dan hewan lainnya (tikus) terinfeksi ketika
mereka sengaja atau tidak sengaja makan bahan yang terkontaminasi oleh
serangga), maka di rongga usus halus telur menetas dan membentuk larva
sistiserkoid, kemudian keluar ke rongga usus dan menjadi dewasa dalam waktu 2
minggu atau lebih. Apabila sistiserkoid pecah maka keluarlah skolek yang
selanjutnya akan melekat pada mukosa usus. Skolek akan berkembang lebih lanjut
menghasilkan proglotid immature, dan seterusnya berulang siklus tersebut (Proses
pendewasaan kurang lebih 2 minggu).
Orang dewasa kurang rentan dibandingkan dengan anak. Kadang-kadang telur
dapat menetas di rongga usus halus menjadi sistiserkoid sebelum dilepaskan
bersama tinja. Keadaan ini disebut autoinfeksi internal. Autoinfeksi dapat terjadi
pada infeksi Hymenolepis nana, dimana telur mampu mengeluarkan embrio
hexacanth mereka yang kemudian menembus villus dan meneruskan siklus
infektif tanpa melalui lingkungan luar. Hal ini menyebabkan cacing dapat
memperbanyak diri dalam tubuh hospes. Masa hidup cacing dewasa adalah 4-6
minggu, tetapi autoinfeksi internal memungkinkan infeksi bertahan selama
bertahun-tahun. Cacing di dalam usus dapat mencapai jumlah 1.000 sampai 8.000
ekor pada seorang penderita.
Daur Hidup
Segmen cacing yang mengandung telur yang mengandung telur gravid keluar
dari tubuh bersama feses anjing secara spontan. Segmen tersebut secara aktif
bergerak di daerah anus atau jatuh ke tanah dan membebaskan telur cacing.
Kapsul cacing yang berisi embrio akan termakan oleh larva pinjal. Kapsul tersebut
pecah sehingga onkosfer menetas dan membebaskan embrio di dinding usus larva
pinjal yang selanjutnya berkembang mesnjadi sistiserkoid di dalam jaringan tubuh
larva. Saat pinjal menyelesaikan metamorfosisnya dan menjadi dewasa,
sistiserkoid mejadi infektif. Anjing yang tanpa sengaja memakan pinjal maka akan
terinfeksi oleh cacing Dipylidium sp. Di dalam usus akan mengalami evaginasi,
skoleks akan melekat diantara villi usus halus dan lama-lama akan berkembang
sebagai cacing dewasa.
RISIKO
DAN
KELOMPOK
RISIKO
TINGGI YANG
pada
institusi:
institusi
Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu din ilai dulu derajat dehidrasi.
Dehidrasi terdiri dari dehidrasi ringan, sedang dan berat. Ringan bila pasien
mengalami kekurangan cairan 2-5% dari berat badan. Sedang bila pasien kehilangan
cairan 5-8% dari Berat Badan. Berat bila pasien kehilangan cairan 8-10% dari Berat
Badan.
Prinsip menentukan jumlah cairan yang akan diberikan yaitu sesuai dengan
jumlah cairan yang keluar dari tubuh. Macam-macam pemberian cairan:
Bila skor kurang dari 3 dan tidak ada syok, maka hanya diberikan cairan
peroral (sebanyak mungkin sedikit demi sedikit). Bila skor lebih atau sama 3 disertai
syok diberikan cairan per intravena.
Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang
nasogastrik atau intravena.
Bila dehidrasi sedang/berat sebaiknya pasien diberikan cairan melalui infus
pembuluh darah. Sedangkan dehidrasi ringan/sedang pada pasien masih dapat
diberikan cairan per oral atau selang nasogastrik , kecuali bila ada kontra indikasi atau
oral/saluran cerna atas tak dapat dipakai. Pemberian per oral diberikan larutan oralit
42
yang hipotonik dengan komposisi 29 g glukosa, 3,5 g NaCI, 2,5 g Natrium Bikarbonat
dan 1,5 g KCI setiap liter. Contoh oralit generik, renalyte, pharolit dl I.
Pemberian cairan dehidrasi terbagi atas:
sekitar
90%.
Obat
profilaktik
lain
termasuk
trimetoprim-
sulfametoksazol dan bismuth subsalisilat. Patogen spesifik yang hares diobati a.l.
Vibrio cholerae, Clostridium difficile, parasit, traveler's diarrhea, dan infeksi karena
penyakit seksual (gonorrhea, sifilis, klamidiosis, and herpes simpleks). Patogen yang
mungkin diobati termasuk Vibrio non kolera, Yersinia, dan Campylobacter, dan bila
gejala lebih lama pada infeksi Aeromonas, Plesiomonas dan E coli enteropathogenic.
Obat pilihan bagi diare karena Clostridium difficile yaitu metronidazol oral 25-500
mg 4 x/hari selama 7-10 hari. Vankomisin merupakan obat alternatif, tetapi lebih
mahal dan hares dimakan oral karena tidak efektif bila diberikan secara parenteral.
Metronidazol intravena diberikan pada pasien yang tidak dapat mentoleransi
pemberian per oral. Obat antimikroba dapat dilihat pada Tabel 6.
44