Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

TETANUS

A. KONSEP MEDIS TETANUS


1. Pengertian Tetanus
Penyakit tetanus merupakan salah satu infeksi yang berbahaya karena mempengaruhi
sistem urat saraf dan otot. Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein
yang berarti menegang. Penyakit ini adalah penyakit infeksi di mana spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang dan spasme dan paralisis pernapasan.
Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot (spasme) tanpa disertai
gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman clostridium tetani, tetapi
akibat toksin (tetanospasmin) yang dihasilkan kuman. Tetanus adalah penyakit infeksi yang
diakibatkan toksin kuman Clostridium tetani, bermanifestasi sebagai kejang otot
paroksismal, diikuti kekakuan otot seluruh badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak
pada otot masseter dan otot-otot rangka.
Tetanus yang juga dikenal dengan lockjaw , merupakan penyakit yang disebakan oleh
tetanospasmin, yaitu sejenis neurotoksin yang diproduksi oleh Clostridium tetani yang
menginfeksi sistem urat saraf dan otot sehingga saraf dan otot menjadi kaku (rigid). Kitasato
merupakan orang pertama yang berhasil mengisolasi organisme dari korban manusia yang
terkena tetanus dan juga melaporkan bahwa toksinnya dapat dinetralisasi dengan antibodi
yang spesifik.
Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa tetanus adalah penyakit infeksi
yang diakibatkan oleh toksin kuman Clostridium tetani,yang ditandai dengan gejala
kekakuan dan kejang otot (Ritharwan,2004).
2. Klasifikasi
Tetanus berdasarkan bentuk klinis dibagi menjadi 3 yaitu:
a. Tetanus local: biasanya ditandai dengan otot terasa sakit, lalu timbul rebiditas dan
spasme pada bagian paroksimal luar. Gejala itu dapat menetap dalam beberapa minggu
dan menghilang.
b. Tetanus general: yang merupakan bentuk paling sering, biasanya timbul mendadak
dengan kaku kuduk, trismus, gelisah, mudah tersinggung daan sakit kepala merupakan
manifestasi awal. Dalam waktu singkat kontraksi otot somatic meluas. Timbul kejang
tetanik bermacam grup otot, menimbulkan aduksi lengan dan ekstensi ekstremitas bagian
bawah. Pada mulanya, spasme berlangsung beberapa detik sampai beberapa menit dan
terpisah oleh periode relaksasi.
c. Tetanus segal: varian tetanus local yang jarang terjadi. Masa inkubasi 1-2 hari terjadi
sesudah otitis media atau luka kepala dan muka. Paling menonjol adalah disfungsi saraf
III, IV, VII, IX, dan XI tersering saraf otak VII diikuti tetanus umum.
Berdasarkan berat gejala dapat dibedakan menjadi 3 stadium, yaitu:
a. Trismus (3 cm) tanpa kejang torik umum meskipun dirangsang
b. Trismus (3 cm atau lebih kecil) dengan kejang torik umum bila dirangsang.
c. Trismus (1 cm) dengan kejang torik umum spontan.
1

3. Etiologi Tetanus
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani, berbentuk batang yang
langsing dengan ukuran panjang 2-5um dan lebar 0,3-0,5 um, termasuk gram positif dan
beifat anaerob. Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella
antigen. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.
Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap
fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian.
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat
berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar
intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus
otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak,
selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang membentuk lonjong dengan ujung yang
bulat, khas seperti batang koren api merupakan basil berbentuk batang yang bersifat
anaerob, membentuk spora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi ektivitas kendali SSP), yang mula-mula
akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama
oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang
salah. C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin.Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat.
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk
kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan
jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi
kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik di mana bakteri piogenik mengonsumsi
eksogen pada luka sehingga suasana menjasi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil
tertentu.
Media penularan tetanus berupa:
Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar .
Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik , OMP, caries gigi.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Penginfeksian kuman Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.
4. Patofisiologi Tetanus
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi
dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan
keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan
mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang
2

terinfeksi. Cara kerja toksin: Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu
limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak
antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi
dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan
oleh antitoksin spesifik. Plasmid membawa gen toksin. Toksin yang dilepas bersama sel
bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium)
di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan
kemudian diendositosis oleh saraf motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami
pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron
dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi
ini menghalangi pelepasan neurotransmitter . Toksin tetanus dengan demikian meblokade
hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di
koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system
saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen
jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan
panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar
dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari
spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory
transmitter dan menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10
hari.

5. Pathway
Suasana
Suasana yang
yang memungkinkan
memungkinkan organisme
organisme anaerob
anaerob Clostridium
Clostridium tetani
tetani berpoliferasi
berpoliferasi
disebabkan
disebabkan keadaan/porte
keadaan/porte dentre
dentre antara
antara lain
lain luka
luka tusuk
tusuk dalam
dalam dan
dan kotor
kotor serta
serta belum
belum
terimunisasi,
terimunisasi, luka
luka karena
karena lalu
lalu lintas,
lintas, luka
luka bakar,
bakar, luka
luka tembak,
tembak, gigitan
gigitan hewan/manusia,
hewan/manusia,
gigi
gigi berubang,
berubang, lesi
lesi pada
pada mata,
mata, infeksi
infeksi telinga,
telinga, tonsil,
tonsil, perawatan
perawatan luka/tali
luka/tali pusat
pusat yang
yang tidak
tidak
baik
baik

Clostridium
Clostridium Tetani
Tetani mengeluarkan
mengeluarkan toksin,
toksin, toksin
toksin di
di absorbsi
absorbsi pada
pada ujung
ujung saraf
saraf
motorik
dan
melalui
sumbuk
silindrik
SSP
motorik dan melalui sumbuk silindrik SSP

Dari
Dari susunan
susunan limfatik
limfatik kesirkulasi
kesirkulasi darah
darah arteri
arteri dan
dan masuk
masuk ke
ke SSP
SSP

Toksin
Toksin bersifat
bersifat neurotoksik/tetanospasmin,
neurotoksik/tetanospasmin, tetanulisin,
tetanulisin, menghancurkan
menghancurkan sel
sel darah
darah
merah,
merah, merusak
merusak leukosit
leukosit

Perubahan fisiologis intrakranial


Penekanan
Penekanan area
area
fokal
fokal kortikal
kortikal

Kesulitan
Kesulitan
membuka
membuka mulut
mulut
(trismus),
(trismus), kaku
kaku
kuduk
kuduk
(epistotonus),
(epistotonus),
kaku
kaku dinding
dinding perut
perut
(perut
(perut papan),
papan), dan
dan
kaku
kaku tulang
tulang
belakang
belakang

Sulit
Sulit
menelan/men
menelan/men
yusu
yusu

Intake
Intake nutrisi
nutrisi
tidak
tidak adekuat
adekuat

Kejang
Kejang tonik
tonik umum,
umum, kejang
kejang rangsang
rangsang
(terhadap
visual,
suara
dan
taktil)
(terhadap visual, suara dan taktil) kejang
kejang
spontan,
spontan, kejang
kejang pada
pada abdomen,
abdomen, dan
dan
retensi
retensi urin
urin

Perubaha
Perubaha
n
n
eiminasi
eiminasi
uri
uri dan
dan
alvi
alvi
8.
8. Ggg
Ggg
pemenuha
pemenuha
n
n eliminasi
eliminasi
uri
uri dan
dan alvi
alvi

Perubahan
Perubahan
mobilitas
mobilitas
fisik
fisik
6.
6. ggg
ggg
mobilitas
mobilitas
fisik
fisik

Penurunan
Penurunan
kemampua
kemampua
n
n batuk
batuk

1.Bersihan
1.Bersihan
Jalan
Jalan napas
napas
tidak
tidak efektif
efektif

Peningkatan
Peningkatan
permeabilitas
permeabilitas
darah/otak
darah/otak
Proses
Proses inflamasi
inflamasi
dijaringan
dijaringan otak
otak
(peningkatan
(peningkatan suhu
suhu
tubuh),
tubuh), perubahan
perubahan
tingkat
tingkat kesadaran,
kesadaran,
perubahan
perubahan frekuensi
frekuensi
nadi
nadi

Peningkatan
Peningkatan sekret
sekret
dan
dan penurunan
penurunan
kemampuan
kemampuan batuk
batuk

7.
7. ggg
ggg ADL
ADL

2.
Hipertermi

3.
3. Perubahan
Perubahan
nutrisi
nutrisi kurang
kurang
dari
dari
kebutuhan
kebutuhan

Penurunan
Penurunan tingkat
tingkat
kesadaran,
kesadaran,
penurunan
penurunan perfusi
perfusi
jaringan
jaringan otak
otak

6. Manifestasi Klinis
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah
Penurunan
Penurunan
9.
9. koping
koping tidak
tidak
5.
4.
Risiko
5. risiko
risiko
4.
Risiko
terutama pada rahang dan leher. Dalam
waktu 48 jam Koma
penyakit ini menjaditingkat
nyata dengan
efektif
tingkat
efektif
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi kejang
kejang
kesadaran,
kesadaran,
gejala umum: berulang
trauma/cede
trauma/cede
ra
ra

berulang

10.kecemasan
10.kecemasan

penurunan
penurunan
perfusi
perfusi jaringan
jaringan
4
otak
otak

a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.

j.

k.
l.

Masa inkubasi tetanus berkisar antara 2-21 hari


Trismus (kesukaran membuka mulut) karena spasme otot-otot mastikatoris
Kaku kuduk sampai epistotonus karena ketegangan otot-otot erector trunki
Ketegangan otot rahang dan leher (mendadak)
Ketegangan otot dinding perut dan tulang belakang
Kejang tonik terutama bila dirangsang karena toksin terdapat di kornu anterior
Risus sardonikus karena spasme otot muka (alias tertarik ke atas), sudut mulut tertarik ke
luar dan ke bawah, bibir tertekan kuat pada gigi
Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan (sering merupakan
gejala dini)
Spasme yang khas, yaitu badan kaku dengan epistotonus, ekstremitas inferior dala
keadaan ekstensi, lengan kaku dan tangan mengepal kuat. Keadaan tetap sadar, spasme
mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi, kemudian tidak jelas lagi dan serangan
tersebut disertai rasa nyeri. Kadang-kadang terjadi perdarahan intramuscular karena
kontraksi yang kuat.
Asfiksia dan sianosis terjadi akibat serangan pada otot pernapasan dan laring. Retensi
urine dapat terjadi karena spasme otot uretral. Fraktur kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
Panas biasanya tidak tinggi dan terdapat pada stadium akhir.
Biasanya terdapat leukositosis ringan dan kadang-kadang peninggian tekanan cairan
otak.

7. Gambaran umum yang khas pada tetanus


a. Badan kaku dengan epistotonus
b. Tungkai dalam ekstensi
c. Lengan kaku dan tangan mengepal
d. Biasanya keasadaran tetap baik
e. Serangan timbul proksimal dan dapat dicetuskan oleh karena :
Rangsang suara, rangsang cahaya, rangsang sentuhan, spontan
Karena kontriksi sangat kuat dapat terjadi aspiksia, sianosis, retensi urine, fraktur
vertebralis (pada anak-anak), demam ringan dengan stadium akhir. Pada saat kejang
suhu dapat naik 2-4 derakat celsius dari normal, diaphoresis, takikardia dan sulit
menelan.
8. Komplikasi
Komlplikasi yang timbulkan oleh tetanus antara lain :
a. Laringospasme menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di rongga mulut. Hal ini
memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi.
b. Infeksi nosokomial.
c. Sepsis (pada neonates).
d. Patah tulang.
e. Bronkopneumonia. Bronchopneumoni adalah salah satu jenis pneumonia yang
mempunyai pola penyebaran berbercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di
dalam bronchi dan meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya.(Smeltzer ;
Suzanne C, 2002 : 572)
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophillus influenzae atau karena aspirasi
5

makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut
masukl ke saluran pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman
di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran
pernafasan.
f. Asfiksia. Suatu keadaan dimana sekatan atau halangan pernafasan berlaku hingga
memyebabkan berlakunya kekurangan oksigen pada sel-sel badan.
g. Atelektasis karena obstruksi secret.
9. Faktor predisposisi
a. Umur tua atau anak-anak
b. Luka yang dalam dan kotor
c. Belum terimunisasi
10. Prognosa

Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.
Semakin buruk jika masa inkubasi makin pendek.
Semakin buruk pada pasien yang berusia muda seperti neonates.
Frekuensi kejang.

11. Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
a. Mencegah terjadinya luka.
b. Merawat luka secara adekuat.
c. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan.
d. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
e. Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat.
f. Pemberian antitoksin tetanus.
g. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan
kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa
inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes
kulit.
h. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIGH.
12. Pemeriksaan diagnostik
a. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot
rahang.
b. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
c. Pemeriksaan EKG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler
13. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
a. Darah
Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
6

BUN: peningkatan BUN mempunyai potensi kejang dan merupakan indikasi


nepro toksik akibat dari pemberian obat.
Elektrolit (K, Na): ketidakseimbangan elektroit merupakan predisposisi kejang
kalium (normal 3,80-5,00 meq/dl).
b. Skull Ray: untuk mengidentifikasi adanya proses desak ruang dan adanya lesi.
c. EEG: teknik untuk menekan aktifitas listrik otak melalui tengkorak yang utuh untuk
mengetahui focus aktifitas kejang, hasil biasanya normal.
14. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada klien dengan tetanus ada 2 macam yaitu farmakologi dan nonfarmakologi.
a. Farmakologi
1) Anti Tetanus Serum (ATS)
o Dewasa 50.000 U/ hari , selama 2 hari berturut-turut , (hari I) diberikan
dalam infuse glukosa 5 % 100 ml, (hari ke II) diberikan IM lakukan uji
kulit sebelum pemberian.
o Anak 20.000 U/ hari , selama 2 hari. Pemberian secara drif infuse 40.000
U bias dilakuakan sekaligus melewati IV line.
o Bayi 10.000 U/hari, selama 2 hari . Pemberian secara drif infuse 20.000 U
bisa dilakukan sekaligus melewati IV line.
2) Antitoksin: antitoksin 20.000 1u/ 1.M/5 hari. pemberian baru diberikan setelah
dipastikan tidak ada reaksi hipersensitivitas.
3) Anti kejang (antikonvulsan)
Fenobarbital (luminal): 3 x 100 mg/1.M. Untuk anak diberikan mula-mula 60100 mg/1.M lalu dilanjutkan 6x30 mg/hari (max. 200mg/hari).
Klorpromasin: 3x25 mg/1.M/hari. Untuk anak-anak mula-mula 4-6 mg/kg BB.
Diazepam: 0,5-10 mg/kg BB/1.M/4 jam, dll.
4) Antibiotic: penizilin procain 1juta 1u/hari atau tetrasifilin 1gr/hari/1.V. Dapat
memusnahkan tetani tetapi tidak mempengaruhi proses neurologiknya.
b. Non-farmakologi
1) Merawat dan membersihkan luka sebaik-baiknya,
2) Diet TKTP. Pemberian tergantung kemampuan menelan. Bila trismus,
diberikan lewat sonde parenteral.
3) Isolasi pada ruang yang tenang, bebas dari rangsangan luar.
4) Menjaga jalan nafas agar tetap efisien.
5) Mengatur cairan dan elektrolit.
6) Pembedahan
Problema pernafasan ; Trakeostomi (k/p) dipertahankan beberapa minggu;
intubasi trakeostomi atau laringostomi untuk bantuan nafas.
Debridemen atau amputasi pada lokasi infeksi yang tidak terdeteksi
Oksigen 2 liter/ menit.
B. KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN TETANUS
Penyakit tetanus adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh toksin kuman kolostridium
tetani yang mermanisfestasi dengan kejang otot secara paroksismal dan diikuti kekakuan seluruh
badan. Kekakuan tonus otot ini selalu tampak pada otot masester dan otot rangka.
7

Kolostridium tetani adalah kuman yang mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf ferifer setempat.
Tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar
tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat ditempat yang kotor, besi berkarat sampai
pada tusuk sate bekas. Jika kondisi basil baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin.
Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan
tetanospasmin, yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
1. Anamnesis/Pengkajian
Anamnesis pada tetanus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeiksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi)
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti
kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang stimulus apa yang yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan
apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus
yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergik, tidak responsif dan koma.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predispossi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami luka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca,
terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena jatuh ditempat yang kotor dan
terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu /kotoran. Juga luka bakar
dan patah tulang terbuka. Adakah porte dentree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah; gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor
atau OMP yang dibersihkan dengan kain yang kotor.
d. Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menila
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh)

Pada pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasif yang
sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak pada stress anak
dan dan menyebabkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan
medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat observasi aak-anak
bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak
mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk
memperlihatkan masalah melalui tingkah laku.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40
derajat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang
sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubugan
penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
a. Breathing (B1)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatan pada klien tetanus yang
disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
b. Blood (B2)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang
sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal, peningkatan denyut
jantung. Adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
c. Brain (B3)
Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian sistem lainnya.
Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat latergi, stupor,
dan semikomatosa.jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian
asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Premeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII.
Saraf I . Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI . Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotofobia atau sensitive yang brlebihan erhadap cahaya. Respon kejang
umum akibat stimulus rangsangan cahaya perlu perhatikan perawat guna
9

memberikan i tervensi untuk menurunkan stimulasi cahaya tersebut..


Saraf V. Refleks maseter meningkat. Mulut condong kedepan seperti mulut ikan
(ini adalah gejala khas tetanus).
Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal , wajah simetris.
Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif atau tuli persepsi.
Saraf IX dan X. Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka mulut
(trismus).
Saraf XI. Didapatkan kaku kuduk , ketegangan otot rahang dan leher mendadak.
Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan tidak ada fasikulasi.
Indra pengecapan normal.
Pengkajian Sistem Motorik. Kekuatan otot menurun, kontrol keseimbangan dan
koordinasi pada tetanus tahap lanjut mengalami perubahan .
Pengkajian Refleks. Pemeriksaan refleks profunda , pengetukan pada tendon, ligamentum
dan periosteum derajat reflex pada respon normal.
Gerakan Involunter. Tidak ditemukan adanya tremor, tic, dan distonia. Pada keadaan
tertentu, klien biasanya mengalami kejang umum terutama pada anak dengan tetanus
disetai peningkatan suhu tubuh yang tinggi .Kejang sekunder berhubungan dengan area
fokal kortikal yang peka.
Pengkajian Sistem Sensorik. Pemeriksaan pada tetanus biasanya didapatkan perasaan raba
normal, perasaan nyeri normal, perasaan suhu normal, tidak ada perasaan abnormal
dipermukaan tubuh, perasaan propriosefsi normal, dan perasaan deskriminatif normal.
B4 (Bladder)
Penurunan volume urine output berhubungan dengan penurunan perfusi dan penurunan
curah jantung ke ginjal. Adanya retensi urine karena kejang umum. Pada klien yang sering
kejang sebaiknya urine dikeluarkan dengan menggunakan kateter.
B5 (Bowel)
Mual sampai muntah disebabkan peningkatan produksi asam lambung. Pemenuhan nutrisi
pada klien tetanus menurun karena anoreksia dan adanya kejang, kaku pada dinding perut
(perut papan) merupakan tanda khas tetanus. Adanya spasme otot menyebabkan kesulitan
BAB.
B6 (Bone)
Adanya kejang umum sehinga menggganggu mobilitas klien dan menurunkan aktivitas
sehari-hari. Perlu dikajiapabila klien mengalami patah tulang terbuka yang memungkinkan
port de entre kuman klostridium tetani , sehinggga memerlukan perawatan luka yang
optimal. Adanya kejang memberikan risiko pada fraktur vertebra pada bayi, ketegangan dan
spasme otot.
Pengkajian pada Anak dan Bayi
Pengkajian pada anak sedikit berbeda dengan klien dewasa, hal ini disebabkan pengkajian
anamnesis lebih banyak pada orang tua dan pemeriksaan fisik berbeda karena belum
sempurnanya organ pertumbuhan terutama pada neonates. Untuk memudahkan penilaian
klinis , gejala pada neonates pada anak dibagi menjadi dua, meliputi anak dan bayi :
10

Anak
Manifestasi klinis timbulnya sakit secara tiba-tiba dengan masa inkubasi 5-14 hari, dimulai
dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Setelah 48
jam pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan adalah sebagai berikut :
Trismus spasme otot-otot mastikatorius yng berfungsi sebagai otot mengunyah.
Kaku kuduk sampai epistotonus (karena otot-otot erector trunki ).
Ketegangan otot dinding perut (perut seperti papan).
Kejang tonik (merupakan manifestasi toksin yang terdapat dalam kornu anterior).
Risus sardonikus (karena spasme otot mukan sehingga alis tertarik ke atas, susut mulut
tertarik keluar dan kebawah/ mulut mencucu seperti mulut ikan serta bibir tertekan kuat
pada gigi).
Kesulitaan menelan, geisha, mudah terangsang, nyeri kepala.
Asfiksia sampai sianosis (akibat serangan pada otot pernapasan dan laring).
Retensi urine (karena spasme otot uretral).
Risiko fraktur kolumna vertebralis (karena kontraksi otot sangat kuat pada saat seangan
kejang).
Bayi
Terutama pada neonates (sering disebut tetanus neonatorum). Tetanus neonatorum
merupakan penyebab kejang yang sering dijumpai pada berat bayi lahir rendah yang bukan
karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal,
yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
aseptic. Kebanyakan tetanus neonatorum ini terdapat pada bayi baru lahir setelah mendapat
bantuan persalinan dari dukun beranak yang belum pernah mendpat pelatihan persalinan
dari program Depkes.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tidak mau menetek secara tiba-tiba
meskipun sebeumnya bias. Suhu tubuh dapat naik sampai 39 0 C. mulut mencucu seperti
mulut ikan (gejala khas) kemudian timbul kejang deserti sianosis , kaku kuduk, tubuh
epistotonus. Perjalanan penyakit lebih cepat melalui 3 stadium seperti tetanus anak besar.
Bayi tidak mau menetek dan mulut mencucu (sebenarnya adalah karena trismus pada otototot mulut).
Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret di dala takea.
2. Hipertermi yng berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin dijaringan otak.
3. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil).
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan denan asupan nutrisi tidak
adekuat.
5. Risiko tinggi trauma/cedera yang berhubngan dengan adanya kejang umum.
6. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang umum.
7. Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8. Gangguan pemenuhan eliminasi urine yang behubungan dengan spasme abdomen.
11

9. Koping individu yang berhubungn dengan tidak efektif pognosos penyakit yang tidak
jelas.
10. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit , kemungkinan kejang berulang.
Perencanaan
Tujuan perncanaan secara umum adalah menghindari komplikasi akibat serangan kejang,
menjaga kepatenan jalan nafas, menurunkan panas tubuh, menurunkan stimulus rangsang
kejang, meningkatkan koping individu, dan menurunkan tingkat kecemasan .
HIPERTERMI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROSES INFLAMASI DAN EFEK
TOKSIN DI JARINGAN OTAK
Tujuan : dalam 3x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Criteria : suhu tubuh 36-37 0 C
INTERVENSI
RASIONAL
Monitor suhu tubuh
Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus rangsang
kejang pada klien tetanus.
Beri kompres dingin di kepala

Memberikan respon dingin pada pusat pengatur


panas dan pada pembuluh darah besar.

Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi peningkatan proses metabolisme umum
akut
yang terjadi pada klien tetanus

Kolaborasi terapi pemberian terapi: ATS ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus di
dan antimikroba
juaringan otak dan antimikroba dapat mengurangi
inflamasi skunder dari toksin

RESIKO TINGGI KEJANG BERULANG YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG


RANGSANG (TERHADAP VISUAL, SUARA DAN TAKTIL)
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan resiko kejang berulang tidak terjadi.
Kriteria: klien tidak mengalami kejang
intervensi
Rasionalisasi
Kaji stimulus kejang
stimulus kejang pada tetanus adalah rangsangan
cahaya dan peningkatan suhu tubuh
Hindari stimulus cahaya, kalau perlu Penurunan rangsangan cahaya dapat membantu
klien ditempatkan pada ruangan dengan menurunkan stimulus rangsangan kejang
pencahayaan yang kurang
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sinkop,
akut
ataksia terjadi
12

Kolaborasi pemberian terapi: diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang


fenoborbital
Catatan : fenoborbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi
RESIKO CEDERA YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG, PERUBAHAN
STATUS MENTAL, DAN PENURUNAN TINGKAT KESADARAN
Tujuan: dalam waktu 3x24 jam perawatan klien bebas dari cedera yang disebabkan oleh kejang
dan penurunan kesadaran
Kriteria: klien tidak mengalami cedera bila kejang berulang terjadi
intervensi
Rasionalisasi
Monitor kejang pada tangan, kaki mulut Gambaran tribalitas sistem persarafan pusat
dan otot-otot muka lainnya
memerlukan evaluasi yang sesuai dengan intervensi
yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi
Persiapkan lingkungan yang aman seperti Melindungi klien bila kejang terjadi
batasan ranjang, papan, pengan, dan alat
suction selalu berada di dekat klien
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi resiko jatuh/terluka jika vertigo, sinkop,
akut
ataksia terjadi
Kolaborasi pemberian terapi: diazepam, Untuk mencegah atau mengurangi kejang
fenoborbital
Catatan : fenoborbital dapat menyebabkan
respiratorius depresi dan sedasi
HAMBATAN MOBILITAS FISIK BERHUBUNGAN DENGAN KEJANG BERULANG
Tujuan: tidak terjadi kontraktur, footdrop, gangguan integritas kulit, fungsi usus dan kandung
kemih optimal, serta peningkatan kemampuan fisik
Kriteria: skala ketergantungan klien menurun menjadi bantuan minimal
intervensi
rasionalisasi
Tinjauan kemampuan fisik dan kerusakan Mengidentifikasikan
kerusakan
fungsi
dan
yang terjadi
menentukan pilihan intervensi
Kaji tingkat imobilisasi, gunakan skala tingkat ketergantungan minimal care (hanya
tingkat ketergantungan
memerlukan bantuan minimal), partial care
(memerlukan bantuan sebagian), total care
(memerlukan bantuan komplit dari perawat dan
klien yang memerlukan pengawasan khusus karena
risiko cedera yang tinggi)
Berikan perubahan posisi yang teratur Perubahan
posisi
yang
teratur
dapat
pada klien
mendistribusikan berat badan secara menyeluruh
dan memfasilitasi peredaran darah serta mencegah
dekubitus
Pertahankan body alignment adekuat, Mencegah terjadinya kontraktur atau foot drop serta
berikan latihan ROM pasif jika klien dapat mempercepat pengembalian fungsi tubuh
sudah bebas panas dan kejang
nantinya
Berikan perawatan kuliat yang adekuat, Memfasilitasi sirkulasi dan mencegah gangguan
lakukan masase, ganti pakaian klien integritas kulit
dengan bahan linen, dan pertahankan
13

tempat tidur dalam keadaan kering


Berikan perawatan mata, bersihkan mata
dan tutup dengan kapas basah sesekali
Kaji adanya nyeri,kemerahan, dan
bengkak pada area kulit

Melindungi mata dari kerusakan akibat terbukanya


mata tetrus-menerus
Indikasi adanya kerusakan kulit dan deteksi dini
adanya deubitus pada area lokal yang tertekan

ANSIETAS BERHUBUNGAN DENGAN ANCAMAN, KONDISI SAKIT DAN


PERUBAHAN KESEHATAN
Tujuan: ansietas hilang atau berkurang
Kriteria: mengenl perasaannya , dapat mengidentifikasi penyebab atau faktor yang
mempengaruhinya dan menyatakan ansietas berkurang/hilang
intervensi
Rasionalisasi
Kaji tanda verbal dan nonverbal ansietas , Reaksi verbal/nonverbal dapat menunjukan rasa
dampingi klien dan lakukan tindaka bila agitasi, marah dan gelisah
menunjukan prilaku yang merusak
Jelaskan sebab terjadinya kejang
Memberikan dasar konsep agar klien kooperatif
terhadap tindakan untuk mengurangi kejang
Khindari konfrontasi
Konfrontasi dapat meningkatkan rasa marah,
menurunkan
kerja
sama
dan
mungkin
memperlambat penyembuhan
Mulai melakukan tindakan untuk Mengurangi rangsangan eksternal yang tidak perlu
mengurangi kecemasan. Beri lingkungan
yang tenang dan suasana penuh istirahat
Tingkatkan kontrol sensasi klien
Kontrol sensasi klien (dan dalam menurunkan
ketakutan) dengan cara memberikan informasi
tentang keadaan klien, menekankan pada
penghargaan terhadap sumber-suber koping
(pertahanan diri) yang positif , membantu latihan
relaksasi dan teknik-teknik pengalihan dan
memberikan respon balik yang positif
Orientasikan klien terhadap prosedur Orientasi dapat menurunkan ansietas
rutin dan aktivitas yang diharapkan
Beri kesempatan kepada klien untuk Dapat
menghilangkan
ketegangan
terhadap
mengungkapkan ansietasnya
kehawatiran yang tidak di ekspresikan
Berikan privasi untuk klien dan orang Memberi waktu untuk mengekspresikan perasaan,
terdekat
menghilangkan ansietas dan prilaku adaptasi
Adanya keluarga dan teman-teman yang dipilih
klien melayani aktivitas dan pengalihan (misalnya
membaca) akan menurunkan perasaan terisolasi.

14

DAFTAR PUSTAKA
Theodore R. 1993. Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Marlyn Doengoes. 1993. Nursing Care Plan. Edisi III, Philadelpia
DepKe RI (2001), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan VI, Jakarta.
Bahar, Asril (2001), Tuberkulosis Paru dalam Tjokronegoro, A., ed. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi III. Jakarta. BPFKUI 2001. 819-829
Bahar, Asril, Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Tjokronegoro, A., ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi III. Jakarta. BPFKUI 2001. 830-838.
Speizer, Frank E (2000), Penyakit Paru Karena Lingkungan dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Volume III, Edisi 13. EGC.
Nuzulhook Official Site.2011. ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) TETANUS.[INTERNET].
http://www.nuzulul-fkpwebunair.ac.id Diakses Selasa, 21 Oktober 2014 pukul o7.30 pm

15

16

Anda mungkin juga menyukai