TETANUS
3. Etiologi Tetanus
Kuman tetanus yang dikenal sebagai Clostridium tetani, berbentuk batang yang
langsing dengan ukuran panjang 2-5um dan lebar 0,3-0,5 um, termasuk gram positif dan
beifat anaerob. Clostridium tetani dapat dibedakan dari tipe lain berdasarkan flagella
antigen. Spora yang dibentuk oleh C. tetani ini sangat resisten terhadap panas dan antiseptik.
Ia dapat tahan walaupun telah diautoklaf (1210C, 10-15 menit) dan juga resisten terhadap
fenol dan agen kimia lainnya. Bakteri Clostridium tetani ini banyak ditemukan di tanah,
kotoran manusia dan hewan peliharaan dan di daerah pertanian.
Toksin kuman C. tetani berbentuk spora. Bentuk spora dalam suasana anaerob dapat
berubah menjadi kuman vegetatif yang menghasilkan eksotoksin. Toksin ini menjalar
intrakasonal sampai ganglin/simpul saraf dan menyebabkan hilangnya keseimbanngan tonus
otot sehingga terjadi kekakuan otot baik lokal maupun mnyeluruh. Bila toksin banyak,
selain otot bergaris, otot polos dan saraf otak juga terpengaruh.
Kuman tetanus ini membentuk spora yang membentuk lonjong dengan ujung yang
bulat, khas seperti batang koren api merupakan basil berbentuk batang yang bersifat
anaerob, membentuk spora (tahan panas), gram positif, mengeluarkan eksotoksin yang
bersifat neurotoksin (yang efeknya mengurangi ektivitas kendali SSP), yang mula-mula
akan menyebabkan kejang otot dan saraf perifer setempat. Timbulnya teteanus ini terutama
oleh clostiridium tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang
salah. C. tetani menghasilkan dua buah eksotoksin, yaitu tetanolysin dan
tetanospasmin.Fungsi dari tetanoysin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
memengaruhi tetanus. Tetanospasmin merupakan toksin yang cukup kuat.
Basil ini banyak ditemukan pada kotoran kuda, usus kuda, dan tanah yang dipupuk
kotoran kuda. Penyakit tetanus banyak terdapat pada luka dalam, luka tusuk, luka dengan
jaringan mati (corpus alienum) karena merupakan kondisi yang baik untuk proliferasi
kuman anaerob. Luka dengan infeksi piogenik di mana bakteri piogenik mengonsumsi
eksogen pada luka sehingga suasana menjasi anaerob yang penting bagi tumbuhnya basil
tertentu.
Media penularan tetanus berupa:
Luka tusuk, gigitan binatang, luka bakar .
Luka operasi yang tidak dirawat dan dibersihkan dengan baik , OMP, caries gigi.
Pemotongan tali pusat yang tidak steril.
Penjahitan luka robek yang tidak steril.
Penginfeksian kuman Clostridium tetani lebih mudah bila klien belum terimunisasi.
4. Patofisiologi Tetanus
Biasanya penyakit ini terjdi setelah luka tusuk yang dalam misalya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka tersebut
menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang kotor dan pada bayi
dapat melalui tali pusat luka bakar dan patah tulang yang terbuka juga akan mengakibatkan
keadaan anaerob yang ideal untuk pertumbuhan clostridium tetani.
Tetanus terjadi sesudah pemasukan spora yang sedang tumbuh, memperbanyak diri dan
mneghasilkan toksin tetanus pada potensial oksidasi-reduksi rendah (Eh) tempat jejas yang
2
terinfeksi. Cara kerja toksin: Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui sumbu
limbik masuk ke sirkulasi darah dan masuk ke Susunan Saraf Pusat (SSP). Toksin bersifak
antigen , sangat mudah diikat jaringan syaraf dan bila dalam keadaan terikat tidak dapat lagi
dinetralkan oleh toksin spesifik. Toksin yang bebas dalam darah sangat mudah dinetrakan
oleh antitoksin spesifik. Plasmid membawa gen toksin. Toksin yang dilepas bersama sel
bakteri sel vegetative yang mati dan selanjutnya lisis. Toksin tetanus (dan toksin batolinium)
di gabung oleh ikatan disulfit. Toksin tetanus melekat pada sambungan neuromuscular dan
kemudian diendositosis oleh saraf motoris, sesudah ia mengalami ia mengalami
pengangkutan akson retrograt kesitoplasminmotoneuron-alfa. Toksin keluar motoneuron
dalam medulla spinalis dan selanjutnya masuk interneuron penghambat spinal. Dimana toksi
ini menghalangi pelepasan neurotransmitter . Toksin tetanus dengan demikian meblokade
hambatan normal otot antagonis yang merupakan dasar gerakan yang disengaja yang di
koordinasi, akibatnya otot yang terkena mempertahankan kontraksi maksimalnya, system
saraf otonom juga dibuat tidak stabil pada tetanus.
Spora yang masuk dan berada dalam lingkungan anaerobic berubah menjadi bentuk
vegetatif dan berkembang biak sambil menghasilkan toxin. Dalam jaringan yang anaerobic
ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oxigen
jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, garam kalsium yang dapat diionisasi. Secara
intra axonal toxin disalurkan ke sel saraf (cel body) yang memakan waktu sesuai dengan
panjang axonnya dan aktifitas serabutnya. Belum terdapat perubahan elektrik dan fungsi sel
saraf walaupun toksin telah terkumpul dalam sel. Dalam sumsum belakang toksin menjalar
dari sel saraf lower motorneuron ke lekuk sinaps dan diteruskan ke ujung presinaps dari
spinal inhibitory neurin. Pada daerah inilah toksin menimbulkan gangguan pada inhibitory
transmitter dan menimbulkan kekakuan. Masa inkubasi 2 hari sampai 2 bulan dan rata-rata 10
hari.
5. Pathway
Suasana
Suasana yang
yang memungkinkan
memungkinkan organisme
organisme anaerob
anaerob Clostridium
Clostridium tetani
tetani berpoliferasi
berpoliferasi
disebabkan
disebabkan keadaan/porte
keadaan/porte dentre
dentre antara
antara lain
lain luka
luka tusuk
tusuk dalam
dalam dan
dan kotor
kotor serta
serta belum
belum
terimunisasi,
terimunisasi, luka
luka karena
karena lalu
lalu lintas,
lintas, luka
luka bakar,
bakar, luka
luka tembak,
tembak, gigitan
gigitan hewan/manusia,
hewan/manusia,
gigi
gigi berubang,
berubang, lesi
lesi pada
pada mata,
mata, infeksi
infeksi telinga,
telinga, tonsil,
tonsil, perawatan
perawatan luka/tali
luka/tali pusat
pusat yang
yang tidak
tidak
baik
baik
Clostridium
Clostridium Tetani
Tetani mengeluarkan
mengeluarkan toksin,
toksin, toksin
toksin di
di absorbsi
absorbsi pada
pada ujung
ujung saraf
saraf
motorik
dan
melalui
sumbuk
silindrik
SSP
motorik dan melalui sumbuk silindrik SSP
Dari
Dari susunan
susunan limfatik
limfatik kesirkulasi
kesirkulasi darah
darah arteri
arteri dan
dan masuk
masuk ke
ke SSP
SSP
Toksin
Toksin bersifat
bersifat neurotoksik/tetanospasmin,
neurotoksik/tetanospasmin, tetanulisin,
tetanulisin, menghancurkan
menghancurkan sel
sel darah
darah
merah,
merah, merusak
merusak leukosit
leukosit
Kesulitan
Kesulitan
membuka
membuka mulut
mulut
(trismus),
(trismus), kaku
kaku
kuduk
kuduk
(epistotonus),
(epistotonus),
kaku
kaku dinding
dinding perut
perut
(perut
(perut papan),
papan), dan
dan
kaku
kaku tulang
tulang
belakang
belakang
Sulit
Sulit
menelan/men
menelan/men
yusu
yusu
Intake
Intake nutrisi
nutrisi
tidak
tidak adekuat
adekuat
Kejang
Kejang tonik
tonik umum,
umum, kejang
kejang rangsang
rangsang
(terhadap
visual,
suara
dan
taktil)
(terhadap visual, suara dan taktil) kejang
kejang
spontan,
spontan, kejang
kejang pada
pada abdomen,
abdomen, dan
dan
retensi
retensi urin
urin
Perubaha
Perubaha
n
n
eiminasi
eiminasi
uri
uri dan
dan
alvi
alvi
8.
8. Ggg
Ggg
pemenuha
pemenuha
n
n eliminasi
eliminasi
uri
uri dan
dan alvi
alvi
Perubahan
Perubahan
mobilitas
mobilitas
fisik
fisik
6.
6. ggg
ggg
mobilitas
mobilitas
fisik
fisik
Penurunan
Penurunan
kemampua
kemampua
n
n batuk
batuk
1.Bersihan
1.Bersihan
Jalan
Jalan napas
napas
tidak
tidak efektif
efektif
Peningkatan
Peningkatan
permeabilitas
permeabilitas
darah/otak
darah/otak
Proses
Proses inflamasi
inflamasi
dijaringan
dijaringan otak
otak
(peningkatan
(peningkatan suhu
suhu
tubuh),
tubuh), perubahan
perubahan
tingkat
tingkat kesadaran,
kesadaran,
perubahan
perubahan frekuensi
frekuensi
nadi
nadi
Peningkatan
Peningkatan sekret
sekret
dan
dan penurunan
penurunan
kemampuan
kemampuan batuk
batuk
7.
7. ggg
ggg ADL
ADL
2.
Hipertermi
3.
3. Perubahan
Perubahan
nutrisi
nutrisi kurang
kurang
dari
dari
kebutuhan
kebutuhan
Penurunan
Penurunan tingkat
tingkat
kesadaran,
kesadaran,
penurunan
penurunan perfusi
perfusi
jaringan
jaringan otak
otak
6. Manifestasi Klinis
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah
Penurunan
Penurunan
9.
9. koping
koping tidak
tidak
5.
4.
Risiko
5. risiko
risiko
4.
Risiko
terutama pada rahang dan leher. Dalam
waktu 48 jam Koma
penyakit ini menjaditingkat
nyata dengan
efektif
tingkat
efektif
tinggi
tinggi
tinggi
tinggi kejang
kejang
kesadaran,
kesadaran,
gejala umum: berulang
trauma/cede
trauma/cede
ra
ra
berulang
10.kecemasan
10.kecemasan
penurunan
penurunan
perfusi
perfusi jaringan
jaringan
4
otak
otak
a.
b.
c.
d.
e.
f.
g.
h.
i.
j.
k.
l.
makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan kemudian sebagian kuman tersebut
masukl ke saluran pernafasan bagian bawah dan menyebabkan terjadinya infeksi kuman
di tempat tersebut, sebagian lagi masuk ke pembuluh darah dan menginfeksi saluran
pernafasan.
f. Asfiksia. Suatu keadaan dimana sekatan atau halangan pernafasan berlaku hingga
memyebabkan berlakunya kekurangan oksigen pada sel-sel badan.
g. Atelektasis karena obstruksi secret.
9. Faktor predisposisi
a. Umur tua atau anak-anak
b. Luka yang dalam dan kotor
c. Belum terimunisasi
10. Prognosa
Sangat buruk bila ada OMP (Otitis Media Purulenta), luka pada kulit kepala.
Semakin buruk jika masa inkubasi makin pendek.
Semakin buruk pada pasien yang berusia muda seperti neonates.
Frekuensi kejang.
11. Pencegahan
Pencegahan penyakit tetanus meliputi :
a. Mencegah terjadinya luka.
b. Merawat luka secara adekuat.
c. Anak mendapatkan imunisasi DPT diusia 3-11 Bulan.
d. Ibu hamil mendapatkan suntikan TT minimal 2 X
e. Pencegahan terjadinya luka & merawat luka secara adekuat.
f. Pemberian antitoksin tetanus.
g. Pemberian anti tetanus serum (ATS) dalam beberapa jam setelah luka, akan memberikan
kekebalan pasif, sehingga mencegah terjadinya tetanus akan memperpanjang masa
inkubasi. Umumnya diberikan dalam dosis 1500 U intramuscular setelah dilakukan tes
kulit.
h. Di Negara barat, pencegahan tetanus dilakukan dengan pemberian tolsoid dan TIGH.
12. Pemeriksaan diagnostik
a. Diagnosa didasarkan pada riwayat perlukaan disertai keadaan klinis kekakuan otot
rahang.
b. Laboratorium ; leukositosis ringan, peninggian tekanan otak, deteksi kuman sulit
c. Pemeriksaan EKG dapat terlihat gambaran aritmia ventrikuler
13. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada klien dengan tetanus meliputi:
a. Darah
Glukosa darah: hipoglikemia merupakan predisposisi kejang.
6
Kolostridium tetani adalah kuman yang mengeluarkan toksin yang bersifat neurotoksik
(tetanus spasmin), yang mula-mula akan menyebabkan kejang otot dan saraf ferifer setempat.
Tetani yang didukung oleh adanya luka yang dalam dengan perawatan yang salah. Selain diluar
tubuh manusia, tersebar luas di tanah. Juga terdapat ditempat yang kotor, besi berkarat sampai
pada tusuk sate bekas. Jika kondisi basil baik (didalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin.
Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan
tetanospasmin, yaitu toksin yang neutropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.
1. Anamnesis/Pengkajian
Anamnesis pada tetanus meliputi anamnesis riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeiksaan
diagnostik, dan pengkajian psikososial (pada anak perlu dikaji dampak hospitalisasi)
a. Keluhan utama
Sering menjadi alasan klien atau orang tua membawa anaknya untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah panas badan tinggi, kejang dan penurunan tingkat
kesadaran.
b. Riwayat penyakit sekarang
Faktor riwayat penyakit sangat penting diketahui untuk mengetahui predisposisi
penyebab sumber luka. Tanyakan dengan jelas tentang gejala yang timbul seperti
kapan mulai serangan, sembuh, atau bertambah buruk. Keluhan kejang perlu
mendapat perhatian untuk dilakukan pengkajian lebih mendalam, bagaimana sifat
timbulnya kejang stimulus apa yang yang sering menimbulkan kejang, dan tindakan
apa yang telah diberikan dalam upaya menurunkan keluhan kejang tersebut. Adanya
penurunan atau perubahan pada tingkat kesadaran dihubungkan dengan toksin tetanus
yang menginflamasi jaringan otak. Keluhan perubahan perilaku juga umum terjadi.
Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi latergik, tidak responsif dan koma.
c. Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian penyakit yang pernah dialami klien yang memungkinkan adanya
hubungan atau menjadi predispossi keluhan sekarang meliputi pernahkan klien
mengalami luka dan luka tusuk yang dalam misalnya tertusuk paku, pecahan kaca,
terkena kaleng, atau luka yang menjadi kotor; karena jatuh ditempat yang kotor dan
terluka atau kecelakaan dan timbul luka yang tertutup debu /kotoran. Juga luka bakar
dan patah tulang terbuka. Adakah porte dentree lainnya seperti luka gores yang
ringan kemudian menjadi bernanah; gigi berlubang dikorek dengan benda yang kotor
atau OMP yang dibersihkan dengan kain yang kotor.
d. Pengkajian Psikososiospiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien juga penting untuk menila
respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan perubahan peran klien
dalam keluarga dan masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat. Apakah ada dampak
yang timbul pada klien yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa cemas,
rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan
terhadap dirinya yang salah (gangguan citra tubuh)
Pada pengkajian pada klien anak perlu diperhatikan dampak hospitalisasi pada anak
dan family center. Anak dengan tetanus sangat rentan terhadap tindakan invasif yang
sering dilakukan untuk mengurangi keluhan, hal ini memberi dampak pada stress anak
dan dan menyebabkan anak kurang kooperatif terhadap tindakan keperawatan dan
medis. Pengkajian psikososial yang terbaik dilaksanakan saat observasi aak-anak
bermain atau selama berinteraksi dengan orang tua. Anak-anak sering kali tidak
mampu untuk mengekspresikan perasaan mereka dan cenderung untuk
memperlihatkan masalah melalui tingkah laku.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada klien tetanus biasanya didapatkan peningkatan suhu tubuh lebih dari normal 38-40
derajat. Keadaan ini biasanya dihubungkan dengan proses inflamasi dan toksin tetanus yang
sudah mengganggu pusat pengatur suhu tubuh. Penurunan denyut nadi terjadi berhubugan
penurunan perfusi jaringan otak. Apabila disertai peningkatan frekuensi pernapasan sering
berhubungan dengan peningkatan laju metabolisme umum. Tekanan darah biasanya normal.
a. Breathing (B1)
Inspeksi apakah klien batuk, produksi sputum, sesak napas, penggunaan otot bantu napas,
dan peningkatan frekuensi pernapasan yang sering didapatan pada klien tetanus yang
disertai adanya ketidakefektifan bersihan jalan napas. Palpasi toraks didapatkan taktil
premitus seimbang kanan dan kiri. Auskultasi bunyi napas tambahan seperti ronkhi pada
klien dengan peningkatan produksi sekret dan kemampuan batuk yang menurun.
b. Blood (B2)
Pengkajian pada sistem kardiovaskular didapatkan renjatan (syok hipovolemik) yang
sering terjadi pada klien tetanus. Tekanan darah biasanya normal, peningkatan denyut
jantung. Adanya anemis karena hancurnya eritrosit.
c. Brain (B3)
Pengkajian brain merupakan pemeriksaan fokus dan lebih lengkap dibandingkan
pengkajian sistem lainnya.
Pengkajian tingkat kesadaran. Kesadaran klien biasanya compos mentis. Pada keadaan
lanjut tingkat kesadaran klien tetanus mengalami penurunan pada tingkat latergi, stupor,
dan semikomatosa.jika klien sudah mengalami koma maka penilaian GCS sangat penting
untuk menilai tingkat kesadaran klien dan bahan evaluasi untuk pemantauan pemberian
asuhan.
Pengkajian fungsi serebral. Status mental: observasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya
bicara, ekspresi wajah, dan aktivitas motorik klien. Pada klien tetanus tahap lanjut
biasanya status mental klien mengalami perubahan.
Pengkajian Saraf Kranial. Premeriksaan saraf kranial meliputi pemeriksaan saraf
kranial I-XII.
Saraf I . Biasanya pada klien tetanus tidak ada kelainan penciuman.
Saraf II. Tes ketajaman penglihatan pada kondisi normal.
Saraf III, IV, dan VI . Dengan alasan yang tidak diketahui, klien tetanus mengeluh
mengalami fotofobia atau sensitive yang brlebihan erhadap cahaya. Respon kejang
umum akibat stimulus rangsangan cahaya perlu perhatikan perawat guna
9
Anak
Manifestasi klinis timbulnya sakit secara tiba-tiba dengan masa inkubasi 5-14 hari, dimulai
dengan ketegangan otot yang makin bertambah terutama pada rahang dan leher. Setelah 48
jam pemeriksaan fisik yang mungkin didapatkan adalah sebagai berikut :
Trismus spasme otot-otot mastikatorius yng berfungsi sebagai otot mengunyah.
Kaku kuduk sampai epistotonus (karena otot-otot erector trunki ).
Ketegangan otot dinding perut (perut seperti papan).
Kejang tonik (merupakan manifestasi toksin yang terdapat dalam kornu anterior).
Risus sardonikus (karena spasme otot mukan sehingga alis tertarik ke atas, susut mulut
tertarik keluar dan kebawah/ mulut mencucu seperti mulut ikan serta bibir tertekan kuat
pada gigi).
Kesulitaan menelan, geisha, mudah terangsang, nyeri kepala.
Asfiksia sampai sianosis (akibat serangan pada otot pernapasan dan laring).
Retensi urine (karena spasme otot uretral).
Risiko fraktur kolumna vertebralis (karena kontraksi otot sangat kuat pada saat seangan
kejang).
Bayi
Terutama pada neonates (sering disebut tetanus neonatorum). Tetanus neonatorum
merupakan penyebab kejang yang sering dijumpai pada berat bayi lahir rendah yang bukan
karena trauma kelahiran atau asfiksia, tetapi disebabkan oleh infeksi selama masa neonatal,
yang antara lain terjadi sebagai akibat pemotongan tali pusat atau perawatannya yang tidak
aseptic. Kebanyakan tetanus neonatorum ini terdapat pada bayi baru lahir setelah mendapat
bantuan persalinan dari dukun beranak yang belum pernah mendpat pelatihan persalinan
dari program Depkes.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan bayi tidak mau menetek secara tiba-tiba
meskipun sebeumnya bias. Suhu tubuh dapat naik sampai 39 0 C. mulut mencucu seperti
mulut ikan (gejala khas) kemudian timbul kejang deserti sianosis , kaku kuduk, tubuh
epistotonus. Perjalanan penyakit lebih cepat melalui 3 stadium seperti tetanus anak besar.
Bayi tidak mau menetek dan mulut mencucu (sebenarnya adalah karena trismus pada otototot mulut).
Diagnosis Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan akumulasi secret di dala takea.
2. Hipertermi yng berhubungan dengan proses inflamasi dan efek toksin dijaringan otak.
3. Risiko tinggi kejang berulang yang berhubungan dengan kejang rangsang (terhadap
visual, suara, dan taktil).
4. Gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan yang berhubungan denan asupan nutrisi tidak
adekuat.
5. Risiko tinggi trauma/cedera yang berhubngan dengan adanya kejang umum.
6. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan kejang umum.
7. Gangguan ADL yang berhubungan dengan adanya kejang umum dan kelemahan fisik.
8. Gangguan pemenuhan eliminasi urine yang behubungan dengan spasme abdomen.
11
9. Koping individu yang berhubungn dengan tidak efektif pognosos penyakit yang tidak
jelas.
10. Ansietas yang berhubungan dengan prognosis penyakit , kemungkinan kejang berulang.
Perencanaan
Tujuan perncanaan secara umum adalah menghindari komplikasi akibat serangan kejang,
menjaga kepatenan jalan nafas, menurunkan panas tubuh, menurunkan stimulus rangsang
kejang, meningkatkan koping individu, dan menurunkan tingkat kecemasan .
HIPERTERMI YANG BERHUBUNGAN DENGAN PROSES INFLAMASI DAN EFEK
TOKSIN DI JARINGAN OTAK
Tujuan : dalam 3x 24 jam perawatan suhu tubuh menurun
Criteria : suhu tubuh 36-37 0 C
INTERVENSI
RASIONAL
Monitor suhu tubuh
Peningkatan suhu tubuh menjadi stimulus rangsang
kejang pada klien tetanus.
Beri kompres dingin di kepala
Pertahankan bedrest total selama fase Mengurangi peningkatan proses metabolisme umum
akut
yang terjadi pada klien tetanus
Kolaborasi terapi pemberian terapi: ATS ATS dapat mengurangi dampak toksin tetanus di
dan antimikroba
juaringan otak dan antimikroba dapat mengurangi
inflamasi skunder dari toksin
14
DAFTAR PUSTAKA
Theodore R. 1993. Ilmu Bedah. EGC. Jakarta
Marlyn Doengoes. 1993. Nursing Care Plan. Edisi III, Philadelpia
DepKe RI (2001), Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis, Cetakan VI, Jakarta.
Bahar, Asril (2001), Tuberkulosis Paru dalam Tjokronegoro, A., ed. Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid
II, Edisi III. Jakarta. BPFKUI 2001. 819-829
Bahar, Asril, Pengobatan Tuberkulosis Mutakhir dalam Tjokronegoro, A., ed. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam Jilid II, Edisi III. Jakarta. BPFKUI 2001. 830-838.
Speizer, Frank E (2000), Penyakit Paru Karena Lingkungan dalam Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Volume III, Edisi 13. EGC.
Nuzulhook Official Site.2011. ASUHAN KEPERAWATAN (ASKEP) TETANUS.[INTERNET].
http://www.nuzulul-fkpwebunair.ac.id Diakses Selasa, 21 Oktober 2014 pukul o7.30 pm
15
16