Bab 1 Ra
Bab 1 Ra
PENDAHULUAN
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan (Skoner DP, 2001;
ARIA WHO, 2001).
Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia (ARIA WHO, 2008; Dept of health
and human service, 2002). Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi, 14,3% pada laki-laki dan 12% perempuan (ARIA WHO,
2008). Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%) (Harianto, 2009).
Data tersebut menunjukkan tingginya angka insidensi rinitis alergi pada usia
sekolah dan produktif (Sudiro et al, 2010).
Rhinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh alergen serbuk sari,
spora lumut selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis
alergi perenial menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh
alergen dalam rumah, seperti: debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu
binatang, dan sebagainya. ARIA WHO membuat klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan lama dan seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang
dialami pasien, bukan berdasarkan penyebab. Klasifikasi baru membagi rinitis
alergi menjadi 2 kategori yaitu intermiten dan persisten. Kategori intermiten
adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4
minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4
hari dalam seminggu dan berlangsung dari 4 minggu (Christine DV, 2005).
Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma. Rinitis
alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan.
Dokter perlu mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi
yang menetap (Bernstein JA, 2001).
Kekambuhan dari rhinitis alergi menyebabkan penurunan produktivitas
kerja sampai kehilangan hari sekolah. Keadaan ini dapat menggangu kualitas
hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala, dan kelemahan kognitif (ARIA
WHO, 2008).
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi (ARIA WHO, 2008).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto D,dkk, 2012; Boies,
2010).
Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung (Snell R S, 2006).
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter (Soetjipto D, dkk, 2012).
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto D, dkk, 2012).
(Perdhana, 2013)
Gambar 2.1 Hidung Bagian Dalam
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah
hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kieselbach (Soetjipto D, dkk, 2012). Vena-vena membentuk
pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri (Boeis, 2010).
( Budiman, 2011)
Gambar 2.2 Pembuluh Darah di Dinding Lateral Hidung
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum (Boeis, 2010).
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa (Soetjipto D, dkk, 2012).
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring (Snell R S, 2006).
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang tidak bersilia (Soetjipto D, dkk, 2012). Mukosa sinus paranasal berhubungan
langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus
menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh
darah (Soetjipto D, dkk, 2012).
2.2 Definisi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan (Skoner DP, 2001;
ARIA WHO, 2001).
DeGuzman DA, dkk 2013, berpendapat bahwa rhinitis alergi adalah
peradangan yang di perantarai IgE-antigen dan sel membran yang melapisi
hidung. Penyakit ini ditandai dengan bersin, obstruksi, rhinorrhea, dan hidung
gatal. Penyakit ini juga dapat disertai dengan konjungtivitis alergi (ditandai
dengan gatal, mata berair yang juga mungkin merah atau bengkak). Rhinitis alergi
dapat terjadi musiman, menetap, atau dapat terjadi secara sporadis setelah
eksposur tertentu.
2.3 Epidemiologi
Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma
meningkat di seluruh dunia termasuk di AS (Kay AB, 2001). Sekitar 56 juta orang
atau 20% penduduk AS menderita rinitis alergi dan 5% menderita asma. Berbagai
penelitian menunjukkan 78-94% penderita asma pada remaja dan dewasa juga
menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga menderita asma
(Naclerio RM, 2002).
Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia (ARIA WHO, 2008, Dept of health
and human service, 2002). Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi, 14,3% pada laki-laki dan 12% perempuan (ARIA WHO,
2008). Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%) (Harianto, 2009).
Data tersebut menunjukkan tingginya angka insidensi rinitis alergi pada usia
sekolah dan produktif (Sudiro et al, 2010).
2.4 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas (Irawati N, dkk, 2012, Snow J B,
2003):
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi (Lakhani et al, 2012)
1. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul terus
menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen
inhalan atau tungau debu rumah (house dust mite) dan alergen ingestan berupa
makanan.
2. Rinitis alergi musiman (seasonal). Rinitis hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen),
rerumputan, dan spora jamur.
Berdasarkan ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) WHO,
2007, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi (ARIA WHO, 2007)
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, sekolah dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas
seperti ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas haria, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, sekolah, dan hal-hal lain yang mengganggu.
eksudasi plasma yang kemudian akan mengisi sinusoidal. Sehingga muncul gejala
seperti bengkak, hidung buntu dan hidung berair. Selain itu, kedua mediator
tersebut juga akan merangsang sensoris dihidung sehingga timbul gatal pada
hidung dan bersin-bersin (Ramirez-Jimenez et al, 2012).
Late-phase Response
Fase ini terjadi 4-6 jam setelah paparan alergen. Secara klinis, gejala yang
ditimbulkan mirip dengan fase early-phase response. Namun pada umumnya
kongesti hidung merupakan gejala yang mendominasi pada fase ini. Fase ini
melibatkan akumulasi dari sel-sel inflamasi. Akumulasi tersebut dipicu oleh
meningkatnya ekspresi dari molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), dan sitokinsitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-8, GM-CSF, serta TNF. Molekul dan sitokin
tersebut dapat meningkatkan migrasi transendotelial, infiltrasi dan perekrutan dari
sel T yang aktif, eosinophil, basophil, neutrophil, dan makrofag sebagai sel-sel
inflamasi pada mukosa hidung (Ramirez-Jimenez et al, 2012; Togias et al,2011).
10
11
12
13
14
Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial dan urtikaria. Lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA (Irawati N, dkk,
2012).
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point
Titration/ SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk
allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test) (Irawati N, dkk, 2012).
Test
Prick test
Kegunaan
Paling sensitif untuk tes kulit-IgE
Rhinometry akustik
kerja
mengkuantifikasi tingkat sumbatan
15
Sweat Chlorida
hidung
Dapat menyingkirkan polip karena
fibrosis kistik
Berguna untuk mempertimbangkan
(ANCA)
Radiografi
CT/MRI
dari anatomi
menilai perubahan anatomi, terutama
pada penyakit sinus yang lebih rumit
(Journal of Otolaryngology, 2007)
Granulomatosis Wegner
Sarcoidosis
sistemik
adenopati, sesekali pioderma
Rinitis virus
gangrenosum
Sumbatan hidung dan buntu, infeksi
sembuh sendiri dengan atau tanpa
Rinitis Vasomotor
dan bau.
Mungkin berhubungan dengan
kehamilan, penggunaan kontrasepsi
oral, atau hipotiroidisme. Obat terkait
16
pengobatan hipertiroidisme.
Sumbatan hidung, demam, nyeri wajah,
erial
Rinitis kerja
(kronis)
Dipicu oleh bahan kimia atau iritasi di
lingkungan kerja
Atresia Choanal, deviasi septum,
adenoid yang membesar, benda asing,
turbinates hipertrofik
17
2.11
Penatalaksanaan
18
19
20
21
22
23
24
b. Fototerapi
Fototerapi adalah modalitas pengobatan yang efektif untuk inflamasi yang
telah berhasil digunakan dalam praktek dermatologi selama beberapa dekade. The
XeCl Iradiasi laser UV-B dan dicampur penyinaran dengan UV-A (25%), UV-B
(5%) dan cahaya tampak (70%) (MUV/VIS) menghasilkan penghambatan
tergantung dosis alergen yang diinduksi pada kulit (Cosma et al, 2004; Koreck et
al, 2004.). Pengembangan baru perangkat phototherapeutic untuk mengobati
penyakit radang hidung mukosa. Intranasal UV-B fototerapi dengan media-dosis
308 nm excimer XeCl secara signifikan menekan gejala pada hidung pasien
dengan demam yang parah (Cosma et al, 2004). Rhinophototherapy terdiri dari
MUV/VIS ini juga dapat memberi efek yang signifikan untuk menekan gejala
klinis seperti bersin- bersin, rhinorrhea, dan gatal hidung (Koreck et al, 2005).
c. Imunoterapi
Imunoterapi alergen adalah pengobatan yang bertujuan memodulasi sistem
imun pasien dengan cara memberikan allergen dengan dosis yang ditingkatkan
secara bertahap. Sehingga selain mampu mengurangi gejala rhinitis alergi
sekaligus juga mengurangi timbulnya gejala saat terpapar allergen di kemudian
hari. Terapi ini perlu diberikan jika semua terapi sebelumnya, baik secara tunggal
maupun kombinasi, tidak dapat memberikan hasil. Terapi ini diberikan selama 6-8
bulan dengan menaikkan dosis setiap minggu sampai mencapai dosis maksimal
kemudian dilanjutkan dengan memberikan dosis maksimal tersebut sebagai dosis
maintenance setiap 3-4 minggu sekali selama 3-5 tahun. Setelah itu biasanya
pasien memiliki efek proteksi terhadap allergen dalam jangka waktu yang cukup
lama (Small et al, 2011).
d. Operatif
25
BAB 3
KESIMPULAN
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin. Penyakit ini juga dapat disertai dengan konjungtivitis alergi (ditandai
dengan gatal, mata berair yang juga mungkin merah atau bengkak). Rhinitis alergi
dapat terjadi musiman, menetap, atau dapat terjadi secara sporadis setelah
eksposur tertentu yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.
26
DAFTAR PUSTAKA
Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi ketujuh. Jakarta: EGC; 2010; 210-218.
ARIA WHO 2001 ( Allergic Rhinitis and its impact on asthma) workshop report.
Introduction. Jallergy Clin Immunol.2001; Suppl 5: S148.
ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.
ARIA WHO 2008 Update (allergic rhinitis and its impact on asthma).
Introduction. J Allergy Clin Immunol. 2008;63 Suppl 86:4-14.
Bernstein JA. Cost-benefit analysis for allergen immunotherapy. Immunol Allergy
Clinics of N America 2000; 20: 593-607.
Csoma, Z., Ignacz, F., Bor, Z., Szabo, G., Bodai, L., Dobozy, A. & Kemny, L.
(2004). Intranasal Irradiation with the Xenon Chloride Ultraviolet B
Laser Improves Allergic Rhinitis. Journal of Photochemistry and Photobiology
B : Biology, Vol.75, No.3,pp.137-144
27
28
Small, P., & Kim, H. (2011). Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology , 7 (1), 1-8.
Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker; 2003; 708-731.
Sudiro, M., Teti H. S. M., Bambang. P. (2010). Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran.
Universitas Padjadjaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Vol 42.
Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
2006; 803-805.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., & Wardani, R. S. (2012). Hidung. In E. A.
Soepardi, N. Iskandar , J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher (pp. 96-100).
Jakarta, Indornesia: Balai Penerbit FK UI.
Togias, A, dkk. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Ankara
University. Turkey: 2011.
U.S. Department of Health and Human Services. clinics patient. Asean ORL
Head&Neck Agency for Healthcare Research and Quality. Congress.
Singapore; 2002. Management of Alllergic and Nonallergic rhinitis.
29