Anda di halaman 1dari 29

BAB 1

PENDAHULUAN
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan (Skoner DP, 2001;
ARIA WHO, 2001).
Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia (ARIA WHO, 2008; Dept of health
and human service, 2002). Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi, 14,3% pada laki-laki dan 12% perempuan (ARIA WHO,
2008). Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%) (Harianto, 2009).
Data tersebut menunjukkan tingginya angka insidensi rinitis alergi pada usia
sekolah dan produktif (Sudiro et al, 2010).
Rhinitis alergi musiman adalah rinitis yang dipicu oleh alergen serbuk sari,
spora lumut selama musim semi, musim panas, maupun musim gugur. Rinitis
alergi perenial menunjukkan gejala hayfever sepanjang tahun yang dipicu oleh
alergen dalam rumah, seperti: debu rumah tangga, kecoa, spora lumut, bulu
binatang, dan sebagainya. ARIA WHO membuat klasifikasi rinitis alergi
berdasarkan lama dan seringnya timbul gejala, dan berdasarkan gejala yang
dialami pasien, bukan berdasarkan penyebab. Klasifikasi baru membagi rinitis
alergi menjadi 2 kategori yaitu intermiten dan persisten. Kategori intermiten
adalah apabila gejala timbul kurang dari 4 hari perminggu atau kurang dari 4

minggu, sedangkan kategori persisten adalah apabila gejala timbul lebih dari 4
hari dalam seminggu dan berlangsung dari 4 minggu (Christine DV, 2005).
Penderita rinitis alergi mempunyai resiko berlanjut menjadi asma. Rinitis
alergi dan asma merupakan penyakit inflamasi yang sering timbul bersamaan.
Dokter perlu mengevaluasi adanya riwayat asma pada pasien dengan rinitis alergi
yang menetap (Bernstein JA, 2001).
Kekambuhan dari rhinitis alergi menyebabkan penurunan produktivitas
kerja sampai kehilangan hari sekolah. Keadaan ini dapat menggangu kualitas
hidup melalui timbulnya rasa lelah, sakit kepala, dan kelemahan kognitif (ARIA
WHO, 2008).
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Terapi pada rinitis alergi adalah
menghindari kontak dengan alergen penyebab, medikamentosa, operatif dan
imunoterapi (ARIA WHO, 2008).

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi dan Fisiologi Hidung
Rongga hidung atau kavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke
belakang, dipisahkan oleh septum nasi di bagian tengahnya menjadi kavum nasi
kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk kavum nasi di bagian depan disebut nares
anterior dan lubang belakang disebut nares posterior (koana) yang
menghubungkan kavum nasi dengan nasofaring (Soetjipto D,dkk, 2012; Boies,
2010).

Septum bagian luar dilapisi oleh mukosa hidung. Bagian depan dinding
hidung licin, yang disebut agar nasi dan di belakangnya terdapat konka-konka
yang mengisi sebagian besar dinding lateral hidung (Snell R S, 2006).
Pada dinding lateral terdapat 4 konka, dari yang terbesar sampai yang
terkecil adalah konka inferior, konka media, konka superior, dan konka suprema.
Konka suprema ini biasanya rudimeter (Soetjipto D, dkk, 2012).
Di antara konka-konka dan dinding laterla hidung terdapat rongga sempit
yang disebut meatus. Terdapat 3 meatus, yaitu meatus inferior, meatus media, dan
meatus superior. Pada meatus inferior terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimaris, pada meatus media terdapat muara sinus frontalis, sinus
maksilaris, dan sinus etmoid anterior. Sedangkan pada meatus superior bermuara
sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid (Soetjipto D, dkk, 2012).

(Perdhana, 2013)
Gambar 2.1 Hidung Bagian Dalam
Pendarahan hidung berasal dari a. maksilaris interna (bagian bawah
hidung), a. fasialis (bagian depan hidung). Bagian depan anastomosis dari cabang
a. sfenopalatina, a. etmoid anterior, a. labialis superior, dan a. palatina mayor,
yang disebut pleksus Kieselbach (Soetjipto D, dkk, 2012). Vena-vena membentuk

pleksus yang luas di dalam submucosa. Pleksus ini dialirkan oleh vena-vena yang
menyertai arteri (Boeis, 2010).

( Budiman, 2011)
Gambar 2.2 Pembuluh Darah di Dinding Lateral Hidung
Persarafan hidung pada bagian depan dan atas, saraf sensoris n. etmoid
anterior (cabang n. nasolakrimalis, cabang N. oftalmikus). Rongga hidung lainnya
saraf sensoris n. maksila. Saraf vasomotor (autonom) melalui ganglion
sfenopalatinum (Boeis, 2010).
Mukosa hidung berdasar histologik dan fungsional dibagi atas mukosa
pernapasan dan mukosa penghidu (olfaktorius). Mukosa pernapasan terdapat pada
sebagian besar rongga hidung berupa epitel torak berlapis semu yang mempunyai
silia dan di antaranya terdapat sel goblet. Pada bagian yang lebih sering terkena
aliran udara mukosanya lebih tebal dan kadang-kadang berubah menjadi epitel
skuamosa (Soetjipto D, dkk, 2012).
Dalam keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah
karena diliputi oleh palut lendir pada permukaannya yang dihasilkan oleh kelenjar
mukosa dan sel-sel goblet. Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai
arti penting dalam mobilisasi palut lendir di dalam kavum nasi yang didorong ke
arah nasofaring (Snell R S, 2006).

Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior dan
sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang tidak bersilia (Soetjipto D, dkk, 2012). Mukosa sinus paranasal berhubungan
langsung dengan mukosa rongga hidung di daerah ostium. Mukosa sinus
menyerupai mukosa hidung, hanya lebih tipis dan sedikit mengandung pembuluh
darah (Soetjipto D, dkk, 2012).
2.2 Definisi Rhinitis Alergi
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan (Skoner DP, 2001;
ARIA WHO, 2001).
DeGuzman DA, dkk 2013, berpendapat bahwa rhinitis alergi adalah
peradangan yang di perantarai IgE-antigen dan sel membran yang melapisi
hidung. Penyakit ini ditandai dengan bersin, obstruksi, rhinorrhea, dan hidung
gatal. Penyakit ini juga dapat disertai dengan konjungtivitis alergi (ditandai
dengan gatal, mata berair yang juga mungkin merah atau bengkak). Rhinitis alergi
dapat terjadi musiman, menetap, atau dapat terjadi secara sporadis setelah
eksposur tertentu.
2.3 Epidemiologi
Penelitian epidemiologi menunjukkan prevalensi rinitis alergi dan asma
meningkat di seluruh dunia termasuk di AS (Kay AB, 2001). Sekitar 56 juta orang
atau 20% penduduk AS menderita rinitis alergi dan 5% menderita asma. Berbagai
penelitian menunjukkan 78-94% penderita asma pada remaja dan dewasa juga

menderita rinitis alergi, dan 38% penderita rinitis alergi juga menderita asma
(Naclerio RM, 2002).
Prevalensi rinitis alergi di dunia saat ini mencapai 10-25% atau lebih dari
600 juta penderita dari seluruh etnis dan usia (ARIA WHO, 2008, Dept of health
and human service, 2002). Di Amerika Serikat, lebih dari 40 juta warganya
menderita rinitis alergi, 14,3% pada laki-laki dan 12% perempuan (ARIA WHO,
2008). Di Indonesia belum ada angka yang pasti, tetapi di Bandung prevalensi
rinitis alergi pada usia 10 tahun ditemukan cukup tinggi (5,8%) (Harianto, 2009).
Data tersebut menunjukkan tingginya angka insidensi rinitis alergi pada usia
sekolah dan produktif (Sudiro et al, 2010).
2.4 Etiologi
Berdasarkan cara masuknya alergen dibagi atas (Irawati N, dkk, 2012, Snow J B,
2003):
1. Alergen inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernapasan, misalnya
tungau debu rumah, kecoa, serpihan epitel kulit binatang, rerumputan, serta
jamur.
2. Alergen ingestan yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, sapi, telur, coklat, ikan laut, udang kepiting, dan kacang-kacangan.
3. Alergen injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin dan sengatan lebah.
4. Alergen kontaktan, yang masuk melalui kontak kulit atau jaringan mukosa,
misalnya bahan kosmetik, perhiasan.
2.5 Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya rinitis alergi dibagi (Lakhani et al, 2012)
1. Rinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala penyakit ini timbul terus
menerus, tanpa variasi musim. Penyebab yang paling sering ialah alergen

inhalan atau tungau debu rumah (house dust mite) dan alergen ingestan berupa
makanan.
2. Rinitis alergi musiman (seasonal). Rinitis hanya ada di negara yang
mempunyai 4 musim. Allergen penyebabnya spesifik, yaitu tepungsari (pollen),
rerumputan, dan spora jamur.
Berdasarkan ARIA (Allergic Rhinitis and its impact on Asthma) WHO,
2007, rinitis alergi berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi:
1. Intermitten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang
dari 4 minggu.
2. Persisten/ menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi (ARIA WHO, 2007)
1. Ringan bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan akivitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja, sekolah dan hal-hal lain yang
mengganggu.
2. Sedang-berat bila terdapat salah satu atau lebih dari gangguan tersebut di atas
seperti ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas haria, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja, sekolah, dan hal-hal lain yang mengganggu.

(ARIA WHO, 2007)


Gambar 2.3 Klasifikasi Rhinits Alergi berdasarkan ARIA WHO
2.6 Patofisiologi
Mukosa hidung terpapar terus-menerus dengan lingkungan luar; terutama
polusi udara, virus patogen, bakteri, spora jamur, dan alergen yang berasal dari
serbuk sari, debu rumah tungau, dan bulu binatang. Dengan demikian, hidung
mengkompensasi efek berbahaya dari udara yang terinspirasi dengan pemanasan
dan penyaringan udara (Ramirez-Jimenez et al, 2012)..
a. Fase Sensitisasi
Fase sensitisasi melibatkan 2 Antigen Presenting Cells (APC) yaitu
Makrofag dan Dendritic cells. Keduanya akan menangkap alergen yang
menempel pada mukosa hidung dan kemudian memproses alergen tersebut untuk

dipresentasikan ke sel T-helper (Th) 2 lewat Mayor Histocompatibility Complex


(MHC) tipe 2. Ikatan MHC tipe 2 pada APC dan T Cell Receptor (TCR) pada
permukaan Th-2 akan merangsang Th-2 untuk mengeluarkan sitokin seperti IL-3,
IL-4, IL-5 dan IL-13. Sitokin tersebut mampu mengubah sel B menjadi sel
plasma. Sel plasma inilah yang bertanggung jawab dalam produksi Ig E
(Ramirez-Jimenez et al, 2012; Togias et al, 2011).
b. Fase Gejala Klinis
Early-phase Response
Fase ini dimediasi oleh sel mast dan basophil. Setelah paparan alergen,
maka ikatan antara alergen dan Ig E akan menyebabkan degranulasi sel mast
sehingga terjadi pengeluaran mediator-mediator inflamasi seperti histamin,
prostaglandin, kininogen, dan protease (tryptase, chymase) serta TNF-.
Mediator-mediator tersebut akan menimbulkan gejala-gejala seperti hidung berair
(rhinorrhea) dengan cara menstimulasi sekresi kelenjar dan sel goblet,
vasodilatasi dan kebocoran pembuluh darah. Dilatasi pembuluh darah dan
pengisian sinus cavernosus akan menyebabkan hidung tersumbat dengan derajat
yang berbeda-beda. Histamin merupakan mediator yang paling penting dalam
timbulnya gejala-gejala seperti gatal pada hidung, bersin-bersin, dan hidung
berair. Sedangkan leukotriene memegang peranan penting pada timbulnya hidung
tersumbat. Proses tersebut terjadi 5 menit setelah paparan alergen. Kemudian,
dalam waktu 15 menit sel mast akan mengeluarkan mediator-mediator inflamasi
lain yang merupakan hasil dari metabolisme asam arakhidonat yaitu prostaglandin
D2; cystenil leukotriene C4, D4, dan E4; platelet-activating factor. Cystenil
leukotriene dan bradikinin menyebabkan dilatasi pembuluh darah, kebocoran dan

eksudasi plasma yang kemudian akan mengisi sinusoidal. Sehingga muncul gejala
seperti bengkak, hidung buntu dan hidung berair. Selain itu, kedua mediator
tersebut juga akan merangsang sensoris dihidung sehingga timbul gatal pada
hidung dan bersin-bersin (Ramirez-Jimenez et al, 2012).
Late-phase Response
Fase ini terjadi 4-6 jam setelah paparan alergen. Secara klinis, gejala yang
ditimbulkan mirip dengan fase early-phase response. Namun pada umumnya
kongesti hidung merupakan gejala yang mendominasi pada fase ini. Fase ini
melibatkan akumulasi dari sel-sel inflamasi. Akumulasi tersebut dipicu oleh
meningkatnya ekspresi dari molekul-molekul adhesi seperti intercellular adhesion
molecule-1 (ICAM-1), vascular cell adhesion molecule-1 (VCAM-1), dan sitokinsitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, IL-8, GM-CSF, serta TNF. Molekul dan sitokin
tersebut dapat meningkatkan migrasi transendotelial, infiltrasi dan perekrutan dari
sel T yang aktif, eosinophil, basophil, neutrophil, dan makrofag sebagai sel-sel
inflamasi pada mukosa hidung (Ramirez-Jimenez et al, 2012; Togias et al,2011).

10

(Togias et al, 2011)


Gambar 2.4 Patofisiologi Rhinithis Alergi
2.7 Manifestasi Klinis

11

Rhinorrhea episodik, bersin, obstruksi pada saluran hidung


dengan lakrimasi dan pruritis dari mukosa hidung, konjungtiva dan
orofaring adalah keunggulan klasik rhinitis alergi. Sengau
buntu hidung, pasca tetes hidung, bersin berulang, sekret hidung yang
dilaporkan pasien sebagai gejala yang paling mengganggu dari rhinitis alergi
(Lakhani et al, 2012).
Pada rhinoskopi anterior tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat
atau livid disertai adanya sekret ancer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Gejala spesifik lain pada anak ialah terdapatnya
bayangan gelap di daerah bawah mata yang terjadi karena statis vena sekunder
akibat obstruksi hidung. Selain itu sering juga tampak anak menggosok gososk
hidung karena gatal dengan punggung tangan (allergic salute). Keadaan
menggosok hidung ini lama kelamaan akan mengakibatkan timbulnya garis
melintang di dorsum nasi sepertiga bawah (allergic crease). Mulut sering terbuka
dengan lengkung langit langit yang tinggi sehingga menyebabkan gangguan
pertumbuhan gigi geligi (facies adenoid). Dinding posterior faring tampak
granuler dan edema (cobblestone appearance), serta dinding lateral faring
menebal. Lidah tampak seperti gambaran peta (geographic tongue) (Irawati, dkk,
2012).

12

(Basic Othorhinolaryngology, 2006)


Gambar 2.5 Perbedaan anatomi hidung bagian dalam orang normal dengan
penderita rhinitis alergi

(Basic Othorhinolaryngology, 2006)


Gambar 2.6 Gambaran endoskopi mukosa hidung pada penderita rhinitis alergi
2.8 Diagnosis

13

( Rondon et al, 2012)


Gambar 2.7 Diagnosis Rinitis Alergi
2.9 Pemeriksaan Penunjang

14

Invitro :
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat.
Demikian pula pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal,
kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya
selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial dan urtikaria. Lebih bermakna
adalah pemeriksaan IgE spesifik dengan RAST atau ELISA (Irawati N, dkk,
2012).
Invivo :
Allergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit,
uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-Point
Titration/ SET). SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Untuk
allergen makanan, uji kulit Intracutaneus Provocative Dilutional Food Test
(IPDFT), namun sebagai baku emas dapat dilakukan dengan diet eliminasi dan
provokasi (Challenge Test) (Irawati N, dkk, 2012).
Test
Prick test

Kegunaan
Paling sensitif untuk tes kulit-IgE

Serum IgE spesifik (RAST)

spesifik; mudah; hemat biaya


alternatif lain yang dapat dilakukan
untuk pengujian kulit yang tidak dapat
dilakukan; obat dan penyakit kulit lain

Nasal allergen challenge

tidak mempengaruhi hasil.


Partikulari yang berguna untuk rinitis

Rhinometry akustik

kerja
mengkuantifikasi tingkat sumbatan

15

Sweat Chlorida

hidung
Dapat menyingkirkan polip karena

itoplasma antineutrophil afterantibody

fibrosis kistik
Berguna untuk mempertimbangkan

(ANCA)
Radiografi

apabila terjadi vaskulitis


Dapat memperlihatkan abnormalitas

CT/MRI

dari anatomi
menilai perubahan anatomi, terutama
pada penyakit sinus yang lebih rumit
(Journal of Otolaryngology, 2007)

2.10 Diagnosa Banding


(Lakhani et al, 2012)
Tumor Hidung

Gejala unilateral, +/- perubahan visual,


hidung gatal berkurang, bersin

Granulomatosis Wegner

berkurang, epistaksis berulang.


Epistaksis,
sinusitis
berulang,
keterlibatan paru, hematuria, gejala

Sarcoidosis

sistemik
adenopati, sesekali pioderma

Rinitis virus

gangrenosum
Sumbatan hidung dan buntu, infeksi
sembuh sendiri dengan atau tanpa

Rinitis Vasomotor

pengobatan gejala (akut)


Gejala menetap, hipersekresi, pruritus
dan atau bersin terkait dengan
temperatur perubahan, kelembaban,
konsumsi makanan pedas atau alkohol,

Hormonal atau Rinitis Medikamentosa

dan bau.
Mungkin berhubungan dengan
kehamilan, penggunaan kontrasepsi
oral, atau hipotiroidisme. Obat terkait
16

dengan Gejala memicu rhinitis


termasuk inhibitor ACE, reserpin,
guanethidine, phentolamine, metildopa,
prazosin, beta blockers,
chlorpromazine, dekongestan nasal
topikal, aspirin, dan obat anti-inflamasi.
Sulit untuk mendiagnosa, namun dapat
teratasi setelah melahirkan, atau
Rhinosinusitis Bakt

pengobatan hipertiroidisme.
Sumbatan hidung, demam, nyeri wajah,

erial

memburuknya gejala tanpa pengobatan

Rinitis kerja

(kronis)
Dipicu oleh bahan kimia atau iritasi di

Kondisi struktural atau mekanis

lingkungan kerja
Atresia Choanal, deviasi septum,
adenoid yang membesar, benda asing,
turbinates hipertrofik

17

2.11

Penatalaksanaan

18

(ARIA WHO, 2007)


Gambar 2.8 Alogaritma Terapi Rhinitis Alergi
a. Medikamentosa

19

(ARIA WHO, 2007)

20

21

22

23

(Small et al, 2011)


Gambar 2.10 Dosis Anak dan dewasa untuk terapi rinitis Alergi

24

b. Fototerapi
Fototerapi adalah modalitas pengobatan yang efektif untuk inflamasi yang
telah berhasil digunakan dalam praktek dermatologi selama beberapa dekade. The
XeCl Iradiasi laser UV-B dan dicampur penyinaran dengan UV-A (25%), UV-B
(5%) dan cahaya tampak (70%) (MUV/VIS) menghasilkan penghambatan
tergantung dosis alergen yang diinduksi pada kulit (Cosma et al, 2004; Koreck et
al, 2004.). Pengembangan baru perangkat phototherapeutic untuk mengobati
penyakit radang hidung mukosa. Intranasal UV-B fototerapi dengan media-dosis
308 nm excimer XeCl secara signifikan menekan gejala pada hidung pasien
dengan demam yang parah (Cosma et al, 2004). Rhinophototherapy terdiri dari
MUV/VIS ini juga dapat memberi efek yang signifikan untuk menekan gejala
klinis seperti bersin- bersin, rhinorrhea, dan gatal hidung (Koreck et al, 2005).
c. Imunoterapi
Imunoterapi alergen adalah pengobatan yang bertujuan memodulasi sistem
imun pasien dengan cara memberikan allergen dengan dosis yang ditingkatkan
secara bertahap. Sehingga selain mampu mengurangi gejala rhinitis alergi
sekaligus juga mengurangi timbulnya gejala saat terpapar allergen di kemudian
hari. Terapi ini perlu diberikan jika semua terapi sebelumnya, baik secara tunggal
maupun kombinasi, tidak dapat memberikan hasil. Terapi ini diberikan selama 6-8
bulan dengan menaikkan dosis setiap minggu sampai mencapai dosis maksimal
kemudian dilanjutkan dengan memberikan dosis maksimal tersebut sebagai dosis
maintenance setiap 3-4 minggu sekali selama 3-5 tahun. Setelah itu biasanya
pasien memiliki efek proteksi terhadap allergen dalam jangka waktu yang cukup
lama (Small et al, 2011).
d. Operatif

25

Tindakan konkotomi parsial, konkoplasti atau multiple outfractured,


inferior turbinoplasty perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berta dan
tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25% atau
triklor asetat (Irawati N, dkk, 2012).
2.12 Komplikasi
Komplikasi dari rhinitis alergika yang paling sering muncul adalah (Irawati,
dkk, 2010):
1. Polip hidung
Beberapa peneliti menyebutkan bahwa rhinitis alergika merupakan salah satu
penyebab terbentuknya polip hidung dan kekambuhan polip hidung.
2. Otitis media serosa/efusi yang sering residif terutama pada anak anak.
3. Sinusitis paranasal
4. Asma bronkial
Pasien dengan rhinitis alergika memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk
menjadi asma bronkial.

BAB 3
KESIMPULAN
Rhinitis alergi merupakan gangguan fungsi hidung yang terjadi setelah
pajanan alergen melalui inflamasi mukosa hidung yang di perantarai IgE dengan
gejala karakteristiknya rinore, obstruksi hidung dan hidung gatal, serta bersinbersin. Penyakit ini juga dapat disertai dengan konjungtivitis alergi (ditandai
dengan gatal, mata berair yang juga mungkin merah atau bengkak). Rhinitis alergi
dapat terjadi musiman, menetap, atau dapat terjadi secara sporadis setelah
eksposur tertentu yang dapat sembuh spontan dengan atau tanpa pengobatan.

26

Rhinitis alergi dapat muncul akibat adanya paparan alergen. Berdasarkan


cara masuknya alergen dibagi atas beberapa yaitu alergen inhalan, alergen
ingestan, alergen injektan, dan alergen kontaktan.
Memastikan adanya rhinitis alergi harus dilakukan tes alergi. Tes
alergi In vivo dan in vitro merupakan tes yang digunakan langsung untuk
mendeteksi reaksi IgE. Pemeriksaan penunjang yang memiliki sensitifitas,
spesifisitas paling baik serta relatif murah dan cepat adalah tes alergi dengan
skin prick test.
Penatalaksanaan rhinitis alergi meliputi allergen avoidance,
medikamentosa, fototerapi, imunoterapi dan edukasi. Sedangkan terapi
pembedahan hanya dilakukan sebagai intervensi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Adams, G., Boies, L R., Higler, P A. Penyakit Hidung. Dalam : Boies Buku Ajar
Penyakit THT Edisi ketujuh. Jakarta: EGC; 2010; 210-218.
ARIA WHO 2001 ( Allergic Rhinitis and its impact on asthma) workshop report.
Introduction. Jallergy Clin Immunol.2001; Suppl 5: S148.
ARIA At A Glance Pocket Reference 2007 1st Edition. 2007.
ARIA WHO 2008 Update (allergic rhinitis and its impact on asthma).
Introduction. J Allergy Clin Immunol. 2008;63 Suppl 86:4-14.
Bernstein JA. Cost-benefit analysis for allergen immunotherapy. Immunol Allergy
Clinics of N America 2000; 20: 593-607.
Csoma, Z., Ignacz, F., Bor, Z., Szabo, G., Bodai, L., Dobozy, A. & Kemny, L.
(2004). Intranasal Irradiation with the Xenon Chloride Ultraviolet B
Laser Improves Allergic Rhinitis. Journal of Photochemistry and Photobiology
B : Biology, Vol.75, No.3,pp.137-144

27

DeGuzman AD, dkk. Allergic Rhinitis. Guadline for clinical Ambulatory.


University of Michigan: 2013.
Dorion D, dkk. The journal of Otolaryngology. Bimonthly. 2007.
Harianto, Sumarman I. Prevalensi rinitis alergi perenial pada penduduk usia 10
tahun ke atas di Kodya dan kabupaten Bandung. Makalah Kongres
Nasional PERHATI. Semarang; 2009.
Harsono G, dkk. Dalam: Faktor yang diduga menjadi resiko pada anak dengan
rhinitis alergi di RSU dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: 2007
Irawati, N., Kasakeyan, E., Rusmono, N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telonga Hidung Tenggorok Kepala Leher Edisi ketuju.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2012; 106-111.
Kay AB. Allergy and allergic diseases. N Engl J Med 2001; 344: 30-7.Naclerio
RM. Allergic rhinitis. N Engl J Med 2002; 325: 860-9.
Koreck, A., Csoma, Z., Boros-Gyevi, M., Ignacz, F., Bodai, L., Dobozy, A.,
Kemeny, L. (2004). Inhibition of Immediate Type Hypersensitivity
Reaction by Combined Irradiation with Ultraviolet and Visible Light.
Journal of Photochemistry and Photobiology B : Biology, Vol.77, No.1-3,
pp.93-96
Koreck, A.I., Csoma, Z., Bodai, L., Ignacz, F., Kenderessy, A.S., Kadocsa, E.,
Szabo, G., Bor, Z., Erdei, A., Szony, B., Homey, B., Dobozy, A. &
Kemny, L. (2005). Rhinophototherapy : A New Therapeutic Tool for the
Management of Allergic Rhinitis. The Journal of Allergy and Clinical
Immunology, Vol.115, No.3, pp. 541-547
Lakhani N, dkk. Clinical Manifestations of Allergic Rhinitis. Dept of Medicine.
Quueens University. Canada: 2012
Ramirez-Jimenez, F., Pavon-Romero, G., Juarez-Martinez, L., & Teran, M.
(2012). Allergic Rhinitis. Journal of Allergy and Therapy , 5 (006).
Rondon. C., Campo. P., Togias. A., Fokkens. W. J., Durham. S. R., Powe. D. G.
Mullol. J., Blanca. M. (2012). Local Allergic Rhinitis : Concept,
Pathophysiology, and Management. Jounal Allergy Clin Immunol, 129,
1460-7.
Skoner DP. Allergic rhinitis: definition, epidemiology, pathophysiology, detection
and diagnosis. J Allergy Clin Immunol. 2001; 108 Suppl.5:s2-8.

28

Small, P., & Kim, H. (2011). Allergic Rhinitis. Allergy, Asthma & Clinical
Immunology , 7 (1), 1-8.
Snow, J B., Ballenger, J J. Allergic Rhinitis. In: Ballengers Otorhinolaryngology
Head and Neck Surgery Edition 9th. Spain: BC Decker; 2003; 708-731.
Sudiro, M., Teti H. S. M., Bambang. P. (2010). Eosinofil Kerokan Mukosa Hidung
Sebagai Diagnostik Rinitis Alergi. Bagian Ilmu Kesehatan Telinga,
Hidung, Tenggorok, Bedah Kepala dan Leher. Fakultas Kedokteran.
Universitas Padjadjaran. Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung. Vol 42.
Snell, R S. Anatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran Edisi 6. Jakarta: EGC.
2006; 803-805.
Soetjipto, D., Mangunkusumo, E., & Wardani, R. S. (2012). Hidung. In E. A.
Soepardi, N. Iskandar , J. Bashiruddin, & R. D. Restuti, Buku Ajar Ilmu
Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher (pp. 96-100).
Jakarta, Indornesia: Balai Penerbit FK UI.
Togias, A, dkk. Pathophysiology of Allergic and Nonallergic Rhinitis. Ankara
University. Turkey: 2011.
U.S. Department of Health and Human Services. clinics patient. Asean ORL
Head&Neck Agency for Healthcare Research and Quality. Congress.
Singapore; 2002. Management of Alllergic and Nonallergic rhinitis.

29

Anda mungkin juga menyukai