Anda di halaman 1dari 18

PAKISTAN

Dari Era Ayub Khan sampai Era Bhutto

B. Musidi
Abstract
Ayub Khans coup detat signed muhajirs politicians loosed their position in the
Pakistan politic to military and indigneus people. The Pakistan politic was dominated by
Pakistan military which jointed with Punjabi and Sindhi landlords.
East Pakistan began moved to upheaval and succeeded to gain independence, and West
Pakistan faced rivalry between military and civil as a manifestation of anciety from
military and civil domination of Punjabi and Sindhi.
The fall of Zulfikar Ali Bhutto signed the military domination again in Pakistan.

Pengantar
Keberagaman penduduk Pakistan (Burki, 1991, p. 39-42) diawali dengan
membanjirnya gelombang pengungsi pertama yang berdatangan dari Delhi, the United
Provinces (Uttar Pradesh), the Central Provinces (Madhya Pradesh), Bombay, Gujarat,
wilayah-wilayah kerajaan: Bhopal, Hyderabad dan Junagadh, dan gelombang kedua
dari Punjab Timur. Di Punjab dan Benggala Timur didapati orang-orang Hindu. Kondisi
Punjab diperumit dengan adanya orang Sikh yang mencapai separoh dari jumlah
penduduk propinsi itu. Ketika garis perbatasan dibuat untuk memisahkan India dari
Pakistan, sejumlah besar kaum Muslim berada di Punjab dan Benggala India, demikian
juga orang Hindu berada di kedua propinsi tersebut.
Mohammad Ali Jinnah menerima pemilahan (Bolitho, 1954, p. 181) dengan
keyakinan bahwa baik India maupun Pakistan akan tetap memiliki minoritas besar
Muslim dan Hindu. Ia menghimbau kaum Muslim untuk pindah dari India ke Pakistan,
terutama dari mereka yang memiliki ketrampilan yang tidak dimiliki Pakistan secara
melimpah. Kedua sayap Pakistan ekonominya berbasis agraris, sementara tingkat
urbanisasi dan melek huruf rendah. Itu berarti bahwa sumber daya manusia tidak
mungkin memenuhi tuntutan sebuah negara baru, karenanya perlu mendatangkan dari
luar. Jinnah mendorong para pedagang, pengusaha perbankan, dokter, pengacara, dan
pegawai negeri sipil Muslim dari berbagai propinsi minoritas untuk pindah ke Pakistan,
tetapi ia tidak menghendaki perpindahan penduduk demi alasan keagamaan
Pada tanggal 11 Agustus 1947 jutaan orang sedang bergerak dalam dua arah
yang berlawanan: orang Hindu dan Sikh ke India, dan orang-orang Islam ke Pakistan.
Perpindahan pnduduk itu memecahkan permasalahan politik bahwa Pakistan akan
menghadapi sejumlah besar orang Hindu dan Sikh yang tinggal di Punjab dan Sindh.
Akibat dari perpindahan itu secara keagamaan Pakistan menjadi homogin. Selama ini
tidak ada catatan dalam sejarah yang menunjukkan adanya perpindahan penduduk
sebesar 14 juta orang. Sebagai pembanding adalah perpindahan orang-orang Benggali
Drs. B. Musidi, M.Pd., adalah dosen tetap pada Program Studi Pendidikan Sejarah, FKIP - Universitas
Sanata Dharma Yogyakarta

ke India pada tahun 1971, orang-orang Ethiopia ke Somalia pada tahun 1970-an, orangorang Kamboja ke Thailand juga pada tahun 1970-an, orang-orang Afghan ke Pakistan
pada awal tahun 1980-an tidak melibatkan sebegitu banyak orang atau terjadi pada
suatu periode dalam waktu yang singkat. Setelah gerakan itu Pakistan Barat hanya
memiliki sedikit penduduk non Muslim (95%).
Arus pengungsi (Burki, 1991, p. 139) yang dari perkotaan (propinsi-propinsi
Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, Bombay, Gujarat) dan dari pedesaan (daerah-daerah
sebelah timur Punjab) sangat mempengaruhi perekonomian dan politik Pakistan.
Migrasi tahun 1946-1951 akan memperkenalkan unsur pertama dari perubahan yang
berkelanjutan ke dalam sebuah masyarakat yang adalah tetap sungguh berubah-ubah
untuk suatu waktu selanjutnya.
Perkembangan politik Pakistan dapat dimulai dari datangnya kaum Muslim
perkotaan. Mayoritas pengungsi dari wilayah kota India ditarik ke kota-kota Pakistan
barat daya, kebanyakan di Karachi (tempat lahir Jinnah) dan Hyderabad. Kebanyakan
dari pengungsi itu memilih kedua kota itu karena alasan ekonomi. Pada tahun 1947
Karachi bukan kota besar, lebih kecil dari Lahore dan tidak memiliki prasarana untuk
sebuah perkotaan yang besar. Kaum pendatang yang tidak tertampung di kota itu lalu
memilih Hyderabad, Sukkur, dan kota-kota lain di daerah pedalaman. Pada tahun 1951,
tahun sensus pertama bagi Pakistan, para pengungsi berjumlah 57% dari penduduk
Karachi, 65% dari Hyderabad dan 55% dari Sukkur. Secara keseluruhan para pengungsi
itu berjumlah 46% dari gabungan penduduk 12 kota besar Pakistan.
Kebudayaan pengungsi berbeda secara signifikan dari kebudayaan penduduk
setempat (pribumi). Kaum pengungsi (muhajir) itu datang dari sebuah wilayah yang
pasca the Indian Mutiny tahun 1857 telah melihat kematian politik dari kebanyakan
kelompok elite. The Mutiny dan sesudahnya meninggalkan para nawab (para gubernur
propinsi) dan para tuan tanah menjadi sengsara dan tanpa kekuasaan politik. Dampak
terpenting adalah terbentuknya sebuah struktur masyarakat egalitarian, Kongres
dengan cepat berubah menjadi sebuah organisasi politik yang didukung oleh massa.
Kaum Muslim perkotaan dari India utara dan tengah sedang mencari identitas mereka
sendiri. Liga Muslim yang dibangun oleh para nawab dan tuan tanah, dengan cepat
diambil alih oleh kelas-kelas profesional perkotaan. Struktur, konstitusi, dan prosedur
kerjanya semuanya didemokratisasi. Akibatnya dengan dibentuknya Pakistan, kaum
pengungsi yang telah datang dari kota-kota India utara dan tengah mulai bekerja untuk
pembangunan sebuah bentuk dalam sebuah sistem perwakilan.
Kendati the Mutiny tahun 1857 telah membantu membawa modernisasi sosial
dan politik bagi banyak orang di India utara dan tengah, tetapi tidak untuk kawasan
India barat laut. Punjab tetap setia kepada Inggris dan membantu Inggris
mengembalikan tata tertib. Kompensasi yang diberikan oleh Inggris berupa tanah
lungguh (jagir) bagi orang-orang Punjab. Dampaknya berupa para tuan tanah Sindhi.
Sistem pemerintahan yang dikembangkan bersifat paternalistik untuk menangani
persoalan-persoalan politik dan ekonomi. Itu berarti bahwa kepemimpinan pengungsi
dan pribumi amat berbeda. Kaum pengungsi menghendaki suatu pemisahan yang jelas
antara agama dan negara. Ada unsur yang kuat di kalangan pribumi untuk
mengalihkan sentimen di propinsi-propinsi Punjab, Sindh dan Propinsi Barat Laut
menuju ke Pakistan, yang sesuai dengan perintah-perintah Quran dan Sunnah. Dalam

sektor ekonomi para pengungsi minatnya kecil untuk mengembangkan pertanian,


menekankan usaha perorangan, menyukai perekonomian bebas. Di daerah Punjab,
Sindh, dan Propinsi Barat Laut, Inggris telah membangun irigasi dan prasarana
pemasaran pertanian dan the Land Alienation Act of 1901, telah membatasi aktivitas
wiraswasta di bidang pertanian.
Dengan demikian ada pertentangan antara kultur pengungsi dan pribumi. Kaum
pengungsi meyakini sekularisme, politik liberal, perdagangan bebas; pribumi meyakini
pembangunan sebuah negara Islam dan sebuah perekonomian yang diurus oleh negara.
Pertentangan terjadi pada saat reorganisasi Liga Muslimin dan pertentangan berikutnya
adalah penyusunan sebuah konstitusi bagi negeri yang baru.
Liga Muslimin terpecah (Mahmud, 1998, p. 273-274) menjadi tiga faksi. Ketika
Jinnah dan Liaqat masih hidup, dari ketiga faksi itu yang paling berpengaruh adalah
faksi yang didominasi oleh kaum pengungsi dan dipimpin oleh Liaqat. Jinnah telah
menahan dirinya dari persaingan yang terjadi dalam partainya. Liaqat adalah seorang
tokoh politik yang kurang terkenal dan sepeninggal Jinnah kedua faksi lainnya
menunjukkan identitas mereka sendiri. Salah satunya adalah faksi dari Benggala yang
kurang kompak dan kekalahannya pada pemilu 1954 memudarkan faksi dari Benggala.
Pada tataran nasional terjadi persaingan antara kaum pengungsi, para tuan tanah dan
pimpinan keagamaan. Antara tahun 1951-1954 kekuatan politik berada di bawah Liaqat,
kemudian antara tahun 1954-1957 bandul politik berayun makin lebar, tetapi pada
tahun 1958 mulailah muncul tokoh-tokoh pribumi, ketika wakil mereka, Malik Feroz
Khan Noon menjadi perdana menteri. Munculnya militer dalam kancah politik tidak
memudarkan peran dari kaum pribumi.
Pertentangan antara kedua kultur juga terjadi di tingkat Dewan Konstituante.
Selama empat tahun, Dewan telah memperdebatkan prinsip-prinsip dasar konstitusi.
Fokus perdebatan terjadi atas isu peranan agama yang dianut penduduk, sementara di
Pakistan Timur menahan minoritas Hindu yang cukup besar. Karenanya tidak dapat
menjadi solusi yang mudah bagi Islamisasi, di samping itu kaum pengungsi telah
memberi mereka sebuah pendekatan sekular terhadap politik dan itu selanjutnya
memperkeruh isu. Pada akhirnya ketiga faksi diakomodasi. Mukadimah konstitusi
menerima kedaulatan Allah atas manusia; semua perundang-undangan di Pakistan
adalah untuk menyesuaikan diri dengan Quran dan Sunnah; dan negara tidak pernah
akan menempatkan atas buku undang-undang yang mengotori entah kitab suci atau
untuk menerima praktek Nabi.
Masalah melindungi hak-hak propinsi-propinmsi federasi menghadapi
gangguan yang mungkin oleh pemerintah pusat dipecahkan dengan menggabungkan
sejumlah ketentuan khusus dalam konstitusi. Konstitusi banyak mengambil dari
praktek yang dibangun pada the India Act of 1935. Pokok-pokok perhatian pemerintah
pertama dirumuskan dan kemudian dibagi ke dalam kategori-kategori pusat, propinsi,
dan tanggung jawab bersama.
Ada sedikit hal baru dalam konstitusi selain ketentuan Islamisasi, yaitu bahwa
Pakistan tetap menjadi anggota Persekemakmuran Inggris Raya di bawah seorang
presiden. Para anggota badan pembuat undang-undang pusat dan propinsi dipilih
setiap lima tahun. Kekuasaan efektif yang berada di pusat ada di tangan perdana
menteri, yang dipilih oleh sebuah mayoritas sederhana dari badan pembuat undang-

undang nasional; para menteri utama propinsi dengan cara yang sama dipilih dan
diberi tanggung jawab untuk hal-hal atas mana konstitusi memberi mereka yurisdiksi.
Jendral Iskander Mirza menjadi presiden pertama di bawah konstitusi baru dan
Chaudhri Muhammad Ali dipilih menjadi perdana menteri. Chaudhri Mohammad Ali
adalah seorang pengungsi dari Jullundur, Punjab Timur, seorang anggota birokrat sipil
yang berpengaruh dan telah dilibatkan dalam menyusun struktur administrasi dari
negara baru Pakistan. Dalam kapasitas itu ia telah bekerja erat dengan Liaqat Ali Khan,
perdana menteri pertama. Ia dianggap tepat untuk menduduki posisi itu dari sistem
yang didominasi oleh kaum pengungsi ke tangan para pemimpin pribumi.
Tetapi proses pribumisasi tidak berjalan lancar karena konstitusi 1956 lebih
bernuansa politik dan ekonomi dari pada komunitas pengungsi. Transisi diperkuat oleh
formasi partai Republik pada tahun 1956, yang membawa bersama-sama sejumlah
politisi pribumi berpengaruh ke Pakistan Barat dan yang telah tinggal di luar kekuasaan
oleh Liga Muslimin. Presiden Iskander Mirza adalah pelindung partai baru. Kaum
Republik berhasil menyingkirkan Liga Muslim pimpinan Chaudhri Muhammad Ali.
Choudhri Mohammad Ali mengundurkan diri, digantikan oleh Malik Feroz Khan
Noon, yang menjadi perdana menteri. Proses pribumisasi berjalan lebih cepat daripada
yang dapat diterima oleh mereka yang mempunyai ingatan yang hidup akan cara
kebanyakan pemimpin partai Republik telah menentang pembentukan Pakistan.
Kekacauan politik berikutnya diakhiri oleh kudeta Jendral Ayub Khan dan masuknya
militer ke dalam politik disambut dengan perasaan dibebaskan oleh aneka lapisan
penduduk yang telah menjadi lelah karena kasak-kusuk para politisi. Pertanyaannya
adalah bagaimana lika-liku proses pribumisasi itu berjalan. Untuk keperluan itu perlu
dirunut secara cermat bagaimana sepak terjang militer dalam mengatur negeri.

1. Era Ayub Khan


a. Konstitusi II
Penyelesaian masalah pengungsi (Burki,1991, p. 46-52), pembentukan Demokrasi
Dasar (Basic Democracies), pembentukan Liga Muslimin Pakistan, dan pemindahan ibu
kota dari Karachi yang didominasi oleh kaum pengungsi, ke pasukan garnisun di
Rawalpindi mengantar ke perencanaan konsitusi Pakistan II. Komisi kecil pengacara
yang ditunjuk berhasil menyusun sebuah dokumen yang amat berbeda dari konstitusi
1956, dengan cabang eksekutif di bawah pengawasan langsung dari presiden yang
dipilih secara tidak langsung, bernama badan pemilih presiden. Kekuasaan badan
pembuat undang-undang pusat dan propinsi sangat dibatasi sehingga hanya memiliki
yuridiksi terbatas atas RUU Keuangan. Presiden dapat memveto sebuah undangundang yang dibuat badan pembuat undang-undang, tetapi badan membuat undangundang tidak diberi kekuasaan untuk menolak vetonya. Dua hal dari konstitusi lama
masih tetap dipertahankan dalam konstitusi yang baru, yaitu sistem keseimbangan bagi
badan pembuat undang-undang dibagi sama antara Pakaistan Barat dan Pakistan
Timur, dan semua undang-undang harus mengikuti prinsip-prinsip dasar Islam
(Mahmud, 1988, p. 278-286).
Sistem politik Ayub memiliki sejumlah fleksibilitas yang cukup elastik untuk
mengakomodasi kelompok-kelompok yang mendapat untung dari kemajuan ekonomi

dan melanjutkannya sampai ambil bagian dalam keputusan politik. Lembaga


Demokrasi Dasar (bukan partai-partai politik baru, bahkan bukan Konstitusi 1962)
memberi sistem Ayub banyak elastisitasnya. Fleksibilitas ini menjadi lenyap ketika
Ayub mulai mencari dukungan dari Demokrasi Dasar dan berpaling lagi ketika sudah
mengerjakannya selama tahun pertama pemerintahannya, ke birokrasi sipil yang tetap
elitis, tidak hanya dalam komposisinya tetapi juga dalam pandangannya.
Ada tiga set lingkungan yang mengubah filsafat politik Ayub Khan. Pertama
pemilu presiden tahun 1964, Partai Oposisi Gabungan (COP) menetapkan Fatima Jinnah
sebagai calon mereka. Ternyata Fatima Jinnah adalah seorang petarung yang ulet.
Tetapi kalah dalam perolehan suara. Kedua setelah Ayub dipilih ulang Pakistan
dibiarkan terlibat dalam konflik bersenjata dengan India atas isu Kashmir. Konflik
bersenjata ini berlangsung selama 17 hari dengan beberapa konsekuensi yang tidak
diharapkan seperti ketidakpuasan terbuka dari para jendral muda dengan kondisi
perang. Ketiga, merosotnya kesehatan Ayub Khan. Memburuknya kesehatan Ayub
Khan menyebabkan ia harus berobat keluar negeri dan menyerahkan sebagian besar
kekuasaannya kepada para pegawai sipil.
Permassalahan-permasalahan politik di atas ditambah dengan kemerosotan di
bidang ekonomi. Gerakan menentang Ayub mulai bermunculan. Pada musim semi
tahun 1968 ketidakpuasan mulai berkembang. Pada tahun 1969 gerakan diambilalih
oleh Zulfikar Ali Bhutto di Pakistan Barat dan Mujib-ur-Rahman di Pakistan Timur.
Ketika keduanya menolak berkompromi militer masuk ke arena politik, lalu menuntut
pengunduran di Ayub Khan, menyatakan keadaan darurat, membatalkan konstitusi,
dan menunjuk Jendral Yahya Khan sebagai presiden. Sebelum pembahasan peristiwaperistiwa pada pemerintahan militer kedua, perlu mencermati lebih dulu periode Ayub
Khan secara rinci.
Jendral Ayub Khan, pada tanggal 7 Oktober 1958 memecat perdana menteri dan
kabinetnya, membubarkan Majelis Nasional, membatalkan konstitusi, membubarkan
semua partai politik, melarang semua kegiatan politik, dan mengangkat dirinya sebagai
diktator dengan gelar administrator utama keadaan darurat, dua puluh hari kemudian
memecat Jendral Iskander Mirza sebagai presiden. Tanggal 27 Oktober 1958 menandai
awal pemerintahan seseorang yang berakhir untuk beberapa dekade.
Selanjutnya Ayub Khan bergerak cepat dalam berbagai fron, seperti menangani
nasib para pengungsi di Punjab Barat dan Sindh. Penyelesaian masalah pengungsi di
Punjab Timur itu tidak hanya menghidupkan kembali sektor pertanian, tetapi juga
memperkenalkan sebuah unsur baru dalam peta politik yang sudah ruwet. Hubungan
dekat kelompok ini dengan militer, terutama kelompok opsir, memberinya sebuah
keunggulan politik yang tidak akan datang pada struktur politik lama yang dibiarkan
berkepanjangan.
Struktur politik yang ada belum mengakomodasi kepentingan Ayub Khan dan
para pendukungnya, karenanya Ayub Khan lalu mengambil empat langkah yang
dirancang dan dilaksanakan dengan hati-hati. Sementara itu Ayub Khan membangun
sistem pemerintahan lokal yang representatif, mmenciptakan sebuah partai politik baru
dengan para anggota yang kebanyakan diambil dari para pendukungnya, memindah
ibu kota dari Karachi ke Rawalpindi, dan memberlakukan konstitusi yang kedua.

Langkah pertama adalah menciptakan sebuah sistem pemerintahan lokal dengan


seruan yang jelas kepada kaum tuan tanah kecil dan para petani menengah dari Punjab
dan Propinsi Barat Laut. Meskipun penyelesaian beberapa pengungsi di pedesaan
Sindh, para tuan tanah besar tetap yang terpenting di propinsi itu. Demokrasi Dasar
yang dilancarkan pada tahun 1960, menyusun sebuah sistem dewan-dewan lokal yang
berhubungan. Dewan-dewan Uni dijadikan dasar sistem. Keanggotaannya rata-rata
sepuluh, dipilih atas dasar hak pilih dewasa, tiap uni melayani para pemilih kira-kira
1000 orang. Distrik pemilihan dewan uni mencakup beberapa desa. Tidak mudah para
tuan tanah besar membangun sebuah pengawasan pribadi atas sebuah wilayah yang
luas. Bagi para politisi yang berpengaruh atas suatu wilayah yang luas, Ayub Khan
menggunakan
Peraturan
Diskualifikasi
Badan-Badan
Pemilihan
(EBDO),
mengumumkan adanya pemberantasan korupsi dan penipuan dari politik dalam negeri
agar para politisi yang tidak dikehendaki tidak memanfaatkan sistem yang baru. Para
anggota dewan uni memilih perwakilan-perwakilan untuk dewan-dewan tehsil,
sebaliknya, mengirim perwakilan-perwakilan untuk dewan-dewan tehsil, dan
selanjutnya untuk dewan-dewan divisi dan propinsi. Mengingat dewan-dewan uni,
termasuk para ketua mereka, semua perwakilan yang dipilih oleh rakyat, dewan tingkat
atas menggambarkan suatu campuran dari anggota yang dipilih dan yang ditunjuk.
Anggota-anggota yang ditunjuk kebanyakan para birokrat yang bekerja di bidang itu.
Birokrat juga mengatuai tehsil, distrik, divisi dan propinsi.
Sistem Demokrasi Dasar melayani dengan baik maksud untuk mana ia telah
dibangun, ia tidak hanya memberi sebuah suara untuk para petani menengah dari
Punjab dan Propinsi Barat Laut tetapi juga mengubah birokrasi sipil yang terkenal dari
sebuah alat untuk mempertahankan tata tertib ke sebuah kendaraan yang penting untuk
mempromosikan perkembangan.
Meskipun pemilu pertama bagi sistem Demokrasi Dasar diselenggarakan tanpa
partai-partai politik, Ayub Khan segera mendapat kesimpulan yang jelas bahwa sebuah
sistem politik tidak dapat berjalan tanpa partai-partai. Tetapi dengan mencabut
larangan pembentukan partai, akan berarti menghidupkan kembali partai-partai yang
telah menunda kekacauan pada saat-saat sebelum kudeta. Para pemilih Ayub Khan dari
para tuan tanah kecil, petani menengah, dan industrialis baru dari Punjab dan Propinsi
Perbatasan Barat Laut akan sulit untuk mencapai pintu masuk, membiarkan pengaruh
dari partai-partai lama. Ayub Khan adalah seorang politisi yang terlalu cerdik untuk
membiarkan kebangunan kembali partai-partai lama tanpa pertama-tama menempatkan
sebuah payung politik untuk menghimpun para pengikutnya sendiri, caranya dengan
memanggil sebuah konvensi para pemimpin politik untuk membentuk kembali Liga
Muslim. Undangan disebarluaskan tidak hanya kepada para pemimpin tua tetapi juga
para wakil dari aneka unsur dari para pemilih Ayub Khan. Dengan cepat para
pemimpin tua membentuk the Convention Muslim League dan kemudian membentuk
Dewan Liga Muslimin. Akibatnya partai Liga Muslimin Ali Jinnah pecah menjadi dua,
bukan lagi dua faksi yang berada dalam kerangka kerja sebuah partai tetapi dua partai
ideologi dan struktur yang berbeda. Dewan Liga Muslimin adalah sebuah sempalan
dari faksi Liaqat Ali Khan dan faksi dari para bangsawan tuan tanah yang telah
membantu pembentukan Pakistan. Itu berarti Liga Muslimin lama dengan nama dan
wajah yang baru. Konvensi Liga Muslimin adalah sebuah gejala baru yang menjadi
sebuah gambaran tetap dalam suasana Pakistan, sebuah partai politik tanpa ideologi

yang nyata yang dapat bersandar untuk mendukung koalisi kelompok-kelompok dalam
kekuasaan.
Langkah ketiga berupa usaha pemindahan ibu kota Pakistan dari Karachi ke
Rawalpindi dengan dalih alasan ekonomi. Dalam sepuluh tahun terakhir pemerintah
federal telah tumbuh dan berkembang dan keputusan untuk menempatkan ibu kota
negeri di Karachi telah tidak diimbangi oleh suatu perencanaan fisik. Datangnya
pengungsi telah memenuhi kota, sehingga pemekaran kota akan menjadi sangat mahal,
di samping itu infrastruktur Karachi relatif sedikit. Bagi kota yang berpenduduk dua
juta ini untuk memenuhi kebutuhan air minum perlu dipasok dari jarak 60 mil dari
pedalaman, tidak didukung oleh pertanian dari pedalaman dan kebutuhan bahan
makanan harus dipasok dari ratusan mil jauhnya. Apapun alasan yang dipakai sebagai
pertimbangan, Kasrachi jaraknya 100 mil dari Rawalpindi, markas angkatan perang
Pakistan. Karachi didominasi oleh kelas pedagang industri, yang pada awalnya amat
dimusuhi oleh Ayub Khan dan para kolega militernya. Daerah para pemilih Ayub Khan
ingin bertani di sekitar Rawalpindi. Distrik Rawalpindi dan daerah sekitarnya telah
menjadi wilayah perekrutan pasukan Inggris pada abad ke 19 dan 20. Angkatan perang
Pakistan yang dengan cepat mekar sudah berbalik ke tempat yang sama dalam usaha
untuk perekrutan. Karenanya bagi sebuah pemerintahan militer, Rawalpindi menjadi
sebuah kota yang ideal bila dibandingkan dengan Karachi. Jendral Yahya Khan ditunjuk
oleh Jendral Ayub Khan untuk menyelidiki sebuah lokasi baru bagi tempat pemerintah
pusat. Ia telah memberikan banyak alasan ekonomi guna merekomendasikan sebuah
situs dekat Rawalpindi, tetapi alasan yang lebih tepat adalah alasan politik. Dengan
demikian Pakistan memindahkan ibu kotanya dari tempat kelahiran Jinnah ke sebuah
kota yang letaknya hanya 40 mil dari kota Rehana, tempat lahir Ayub Khan. Dengan
cara ini Ayub Khan memberi tanda pemutusan yang jelas dengan masa silam, sebuah
dokumen baru sedang digelar untuk menutupi dan memperdalam keretakan.
Langkah-langkah itu (penyelesaian masalah pengungsi, pembentukan sistem
pemerintahan lokal, dan pemindahan ibu kota) mengarah kepada langkah keempat
strategi Ayub Khan yaitu pengumuman konstitusi baru yang diselesaikan pada tanggal
23 Maret 1962 telah dapat memenangkan dukungan rakyat untuk sebuah konstitusi
baru. Ide pokok di balik konstitusi yang baru itu adalah untuk menjauhkan pemerintah
dari rakyat. Model parlemen Inggris digantikan dengan model presidensial Perancis.
Cabang eksekutif menjadi amat berkuasa. Presiden dipilih secara tidak langsung oleh
rakyat tetapi oleh 80.000 Demokrat Dasar (Basic Democrats), dan sekali dipilih, ia tidak
dapat dengan mudah diganti. Cabang legislatif yaitu Dewan Nasional, para anggotanya
juga dipilih secara tidak langsung, dapat mngusulkan RUU tetapi tidak dapat
memberlakukannya menjadi undang-undang tanpa persetujuan presiden. Sementara
presiden mempunyai kekuasaan untuk meragukan kehendak badan legislatif terhadap
hal-hal yang dianggap penting; ada ketentuan-ketentuan bahwa presiden dapat
memberlakukan perundang-undangan bahkan jika tidak disetujui oleh Dewan
Legislatif.
b. Jatuhnya Ayub Khan
Kendati Ayub Khan itu seorang administrator yang efisien dan fokus pada
pembangunan ekonomi tetapi ia tidak populer. Jendral Ayub Khan digusur oleh Jendral
Yahya Khan lewat sebuah kudeta militer kedua dalam sejarah Pakistan, pada tanggal 23

Maret 1969. Kudeta Ayub Khan sebagai akibat dari kekacauan politik akibat kaum
politisi telah gagal dalam kewajiban mereka sebuah sistem politik yang dapat berjalan
secara berkelanjutan. Kemapanan militer telah mencapai sebuah reputasi buat kejujuran,
integritas, dan efisiensi (kebajikan ini tidak dimiliki oleh kaum politisi), sehingga ketika
militer campur tangan dalam politik pada bulan Oktober 1958 mendapat dukungan dari
rakyat yang mencemaskan tingkah laku para politisi (Burki, 1991, p. 52-56).
Sayangnya sejak militer itu berkuasa reputasi untuk kejujuran, integritas, dan
efisiensi menjadi makin pudar. Ayub Khan membiarkan anak-anaknya untuk
meninggalkan angkatan perang guna memasuki dunia industri dan salah seorang di
antaranya terbukti berhasil. Sejumlah opsir senior diberi kesempatan untuk menggarap
tanah pertanian yang luas yang baru saja diberi irigasi di Propinsi Sindh, dan banyak
pegawai sipil senior dicurigai memperkaya diri sendiri dengan ijin-ijin yang dibagikan
secara selektif untuk impor-impor industri dan untuk pembangunan perusahaanperusahaan baru. Setelah enam tahun berjalan kesegaran pemerintah mulai surut;
tuntutannya untuk mengadakan pembersihan ternyata tidak terwujud. Ayub Khan
mungkin dapat bertahan dalam pemerintahan jika ia tidak berperang dengan India
pada akhir tahun 1965 dan jika ia tidak mendapat serangan jantung pada musim semi
tahun 1968
Perang India-Pakistan pada tahun 1965 telah mengganggu momentum penting
perkembangan ekonomi yang dimulai sejak Ayub Khan berkuasa, bahkan rata-rata
pertumbuhan ekonomi Pakistan pernah berada di antara yang tertinggi di negaranegara berkembang. Perang tidak hanya mengalihkan militer menuju perkembangan,
tetapi ia juga mengakibatkan suatu kemerosotan tajam dalam aliran bantuan asing.
Bangsa Pakistan diminta mengencangkan ikat pinggang, dan barang kali telah memiliki
kehendak demikian jika capaian-capaian nyata telah terjadi dalam medan
pertemupuran. Tetapi perang telah mendatangkan kekacauan. Kedua negara yang
berperang mendaku memperoleh kemenangan. Ketika akhirnya perdamaian
ditandatangani dengan India di kota Tashkent, Soviet selatan, syarat-syaratnya telah
meninggalkan kesan bahwa keuntungan pada akhirnya berada di pihak India (Ganguly,
1986, p. 91).
Kehidupan politik pemerintahan Ayub Khan mengalami titik balik dengan
adanya Deklarasi Tashkent (Wolpert, 2009, p. 394-397; Kulke, 1986, p. 337). Zulfikar Ali
Bhutto, menteri luar negeri Ayub Khan mundur dari pemerintahan dengan memberi
kesan kuat bahwa apa yang tidak hilang di medan perang diserahkan di Tashkent. India
akan mengubah sikapnya terhadap Pakistan yaitu dari konfrontasi ke kerja sama,
kepada semangat Tashkent. Zulfikar Ali Bhutto akan berusaha mengalihkan Pakistan ke
satelitnya dengan menahan perangkap kerja sama damai. Rakyat menganggap itu
sebuah peringatan serius. Kata-katanya bergema untuk waktu yang lama di telinga
mereka yang selalu percaya bahwa Pakistan harus selalu berjaga jika itu untuk
melindungi integritas nasionalnya. Deklarasi Tashkent digunakan oleh Zulfikar Ali
Bhutto untuk menarik rakyat yang telah kecewa terhadap rezim militer.
Pada awal tahun 1968 otoritas Ayub Khan menghadapi pukulan terakhir berupa
serangan jantung yang fatal yang menyebabkannya berada di luar kantor untuk
beberapa bulan. Ini merupakan suatu kesempatan bagi pimpinan militer untuk
memakai konstitusinya sendiri, yaitu Konstitusi 1962. Dalam kasus presiden sedang

sakit keras tugas menjalankan pemerintahan diambilalih oleh juru bicara Dewan
Nasional. Ketika itu juru bicaranya adalah Abdul Jabbar Khan, seorang poltisi dari
Benggala yang telah memperlihatkan loyalitas istimewa terhadap Ayub Khan. Dengan
membiarkan Jabbar Khan menjadi presiden dua hal diselesaikan yaitu akan memberi
sebuah tes bagi konstitusi baru selama suatu periode krisis, dan hal itu akan
meyakinkan orang-orang Benggali bahwa mereka tidak dihukum untuk selamanya
menjadi partner politik yunior pada tingkat nasional. Bahkan ketika Ayub Khan pelanpelan sembuh, kendali pemerintahan diambilalih oleh kalangan pegawai sipil kecil.
Situasi politik telah berubah secara dramatis ketika Ayub Kan kembali berkuasa.
Zulfikar Ali Bhutto sudah mendirikan sebuah partai baru the Pakistan People party dengan tujuan untuk mengembalikan kekuasaan kepada rakyat dalam kerangka
ekonomi dan sosial berdasarkan Sosialisme Islam. Untuk keperluan itu Zulfikar Ali
Bhutto tidak dapat mengharapkan bahwa Ayub Khan akan secara suka rela
menyerahkan kekuasaannya kepada para politisi seperti dirinya sendiri. Bila Ayub
Khan dipaksa menyerahkan kekuasaan, barang kali akan menyerahkannya kepada para
jendral dan berarti militer akan kembali berkuasa.
Zulfikar Ali Bhutto cukup cerdik. Setelah meninggalkan pemerintahan ia
berkeliling ke seluruh negeri guna mencari informasi tentang kemauan rakyat, dan
hasilnya ia mengetahui bahwa kemerosotan ekonomi telah mempengaruhi rakyat
terutama penduduk pedesaan sebagai akibat kemerosotan yang tajam akan hasil-hasil
pertanian. Berdasarkan temuan-temuan di lapangan Zulfikar Ali Bhutto kemudian
merumuskan program partai politiknya. Ia juga menjadi tahu bahwa antipati terhadap
India, kendati sudah menjadi sentimen umum, tetapi tidak dirasa cukup kuat bahwa
mereka akan mengurbankan hidup mereka. Di samping itu isu-isu lainnya juga
mendapat perhatian dari rakyat. Ayub Khan dinilai gagal mengantarkan Pakistan
kepada janji-janji untuk mengembalikan negeri ke sebuah negara yang sesuai dengan
prinsip-prinsip Islam, juga gagal untuk membagikan keuntungtan-keuntungan dari
adanya pertumbuhan ekonomi yang telah terjadi selama sepuluh tahun
pemerintahannya. Hal itu semua mendukung kampanye Bhutto. Ketika Ayub Khan,
dua gubernur propinsi, dan para menteri pusat dan propinsi telah menjelajahi negeri
mempromosikan kemajuan ekonomi yang penting yang dibuat pada dekade 1958-1968.
Bhutto dan para koleganya mengikti mereka ke mana-mana, sambil memperingatkan
rakyat betapa kecil mereka telah diuntungkan dari semua yang dikatakan oleh
pemerintah telah diselesaikan. Tepat pada pertengahan dekade, Mahbub ul Haq,
ekonom utama pemerintah mengumumkan hipotesis 22 keluarga. Dalam sebuah pidato
yang disampaikan di Karachi, Haq mengumumkan bahwa keuntungan-keuntungan
pokok dari unjuk kerja perekonomian Pakistan yang istimewa adalah tidak perlu rakyat
pada umumnya tetapi 22 keluarga industri khususnya. Pidato 22 keluarga Haq muncul
pada saat Bhutto sudah mulai memusatkan perhatian rakyat kepada pembagian yang
tidak adil dari tambahan-tambahan bagi kemakmuran nasional. Pidato 22 keluarga Haq
persis yang dibutuhkan oleh Bhutto.
Kampanye melawan ketidakadilan Bhutto mendorong pimpinan orang Benggali
menyuarakan tuntutan-tuntutan mereka bagi otonomi propinsi. Orang Benggali selalu
merasa didiskriminasi . Partai Benggali, Liga Awami mencanangkan program enam
butir yang diarahkan untuk membatasi kekuasaan-kekuasaan pemerintah pusat pada
bidang pertahanan, politik luar negeri dan mata uang. Program enam butir itu

diumumkan oleh Mujibur Rahman di Lahore, kota tempat the Pakistan Resolution yang
hampir tiga dekade sebelumnya dilancarkan oleh politisi Benggali lainnya.
Agitasi melawan Ayub Khan memperoleh dimensi baru dengan diumumkannya
program enam butir. Langkah kampanye oposisi makin cepat; apa yang dimulai sebagai
kampanye ekonomi di kota-kota kecil dan pedesaan Pakistan berubah menjadi sebuah
ketidaktaatan sipil massa. Pemimpin demi pemimpin ditahan, tetapi gerakan berlanjut
sehingga mencapai sebuah momentum. Pada bulan-bulan awal tahun 1969, Ayub Khan
mengundang para pemimpin oposisi setelah mengakui bahwa Konstitusi 1962-nya
harus diserahkan untuk kepentingan sebuah sistem yang lebih representatif. Ia berusaha
keras untuk memperoleh persetujuan, tetapi Zulfikar Ali Bhutto menolak untuk bekerja
sama Zulfikar Ali Bhutto menghendaki pengunduran diri Ayub Khan, yang akhirnya
muncul pada tanggal 25 Maret 1969, ketika Jendral Yahya Khan mengambil alih
kedudukan presiden di Rawalpindi. Dengan perkembangan-perkembangan itu
mulailah kepemimpinan militer yang kedua di Pakistan. Keadaan ini bertahan selama
30 bulan dan penuh dengan kejadian, selama itu kedua sayap terlibat dalam perang
saudara yang sangat berdarah mendahului kebangkitan sayap sebelah timur sebagai
negara Bangladesh merdeka. Pada tahun 1968, tuntutan enam butir Liga Awami buat
otonomi propinsi nampaknya tidak masuk akal bagi para pemimpin di sayap barat.
Pada bulan Desember 1971, para pemimpin yang sama adalah untuk mengakui jauh
lebih.

2. Era Yahya Khan


Sistem politik yang dibangun oleh Ayub Khan dibongkar oleh Yahya Khan dan
para kolega militernya. Pendekatan politik mereka sangat kontradiktif. Ayub Khan telah
menempatkan suatu kepercayaan terhadap kaum politisi, paling tidak bagi mereka yang
telah disiapkan untuk menerima sistem Demokrasi Dasar, sebuah tingkat sentralisasi
yang tinggi, dan keseimbangan kedua sayap negeri. Para penggantinya menyingkirkan
para politisi, dengan keyakinan bahwa misi yang dibangun mereka adalah untuk
menyelesaikan hanya dapat dikerjakan jika militer bekerja sendiri dan tanpa sejumlah
besar kontak yang dekat dengan para politisi. Dalam administrasi yang baru para
pegawai sipil diberi peran kedua; sejumlah orang sipil yang dipercayai oleh Ayub khan
dirumahkan dalam rangka pembersihan birokrasi sipil. Marsekal Udara Nur Khan,
Laksamana Abdul Alam, dan Jendral S.G.M. Pirzada dan Abdul Hamid semuanya
mempunyai kekuasaan politik yang besar daripada yang diberikan oleh Ayub Khan
kepada kolega-kolega militernya( Burki, 1991, p. 56-61; Mahmud, 1988, p. 28).
Pendekatan Yahya Khan juga kontradiktif. Ketika ia memiliterkan politik, ia juga
mengenalkan sejumlah perubahan yang membelokkan negeri ke situasinya sebelum
1955, ketika para politisi dan demokrasi parlementer sudah menduduki kekuasaan
tertinggi. Kontradiksi mengarah kepada sebuah konflik yang serius antara militer
politisi.
Untuk memfasilitasi pengembalian ke demokrasi parlementer, Yahya Khan
melembagakan sejumlah perubahan yang sangat penting dalam penyelesaian politik.
Cakupan dan kepentingan perubahan-perubahan itu harus melepaskan kepemimpinan
militer baru. Prinsip keseimbangan adalah fundasi pada mana konstitusi 1956 dan 1962

dibangun. Penduduk Pakistan Timur yang lebih besar adalah sebuah alasan mengapa
itu telah membuat para politisi hampir satu dekade untuk menyetujui konstitusi 1956.
Satu orang satu suara akan berarti bahwa suatu perwakilan yang lebih besar harus
diberikan kepada Pakistan Timur dalam Badan Konstituante Nasional. Para elite politik
kenamaan dari Pakistan Barat ini tidak dipersiapkan untuk menerima. Sebuah jalan
yang mungkin adalah prinsip keseimbangan yang memberi perwakilan yang sama
untuk kedua sayap negeri. Tetapi Pakistan Barat pada awal tahun 1950-an masih bukan
sebuah sayap. Pakistan Barat cukup dibuat menjadi tiga propinsi) Perbatasan Barat
Laut, Punjab dan Sindh), sejumlah negara kerajaan (Bahawalpur, Kalat, dan Khairpur
yang terbesar di antara kerajaan-kerajaan itu), dan wilayah Balochistan yang diurus dari
pusat. Dewan dari semua bagian administratif yang berbeda itu menjadi sebuah Unit
atau satu sayap, oleh karena itu sebuah prakondisi untuk penerimaan prinsip
keseimbangan. Pada tanggal 30 September 1955, banyak kesatuan-kesatuan
administratif Pakistan Barat digabung untuk membentuk sebuah propinsi.
Satu setengah dekade kemudian, Yahya Khan memutuskan untuk menerima
tuntutan Benggala bagi perwakilan atas dasar jumlah penduduk. Sejak tuntutan itu
diterima, pemeliharaan sebuah unit dari Pakistan Barat tidak pernah sangat dibuat
dengan rencana sebuah unit; bagi mereka keduanya adalah ketidaknyamanan
administratif dan sebuah gangguan politik. Lagi pula, jika prinsip keseimbangan tidak
menjadi dasar konstitusi baru yang dijinkan oleh Yahya Khan, ingatan akan sebuah
unit dari Pakistan Barat juga lebih lama perlu. Pemerintah militer menerima alasan
sebuah Komisi Pembubaran Sebuah Unit, dibentuk untuk reorganisasi Pakistan Barat
menjadi empat propinsi: Balochistan, Perbatasan Barat Laut, Punjab dan Sindh.
Propinsi-propinsi itu sejajar dengan Pakistan Timur, terdiri dari lima unit, yang mana
memberi kekuasaan kepada pemerintah federal di bawah ketentuan dari sebuah
konstitusi baru.
Sebuah Legal Framework Order, diumumkan pada tanggal 30 Maret 1970,
membuat garis besar dalam mana Dewan Nasional yang baru akan disusun dan
kewajiban-kewajiban pembuat konstitusinya akan ada. Dewan 300 dipilih secara
langsung oleh rakyat, dengan 162 dipilih oleh Pakistan Timur dan 138 dipilih oleh
keempat propinsi Pakistan Barat. Pemilu diselenggarakan pada tanggal 5 Oktober 1970
dan Dewan Nasional hanya diberi waktu 120 hari untuk menghasilkan sebuah
konstitusi baru. Jika dewan tidak dapat melengkapi rancangan konstitusi pada waktu
yang sudah ditetapkan, dewan itu akan dibubarkan dan putaran pemilu lain akan
diselenggarakan. Presiden memiliki hak untuk membuktikan konstitusi demikian
sehingga dokumen yang disiapkan oleh dewan tidak berlawanan dengan lima prinsip
dasar dalam the Legal Framework Order. The Framework menghendaki agar Pakistan
menjadi sebuah negara Islam; berdemokrasi yang didasarkan atas sistem pemilihan
yang bebas dan jujur; mempertahankan integritas wilayahnya; berusaha untuk
memperkecil ketidakseimbangan ekonomi antara kedua sayap negeri; dan propinsipropinsi memperoleh otonomi maksimum tanpa melemahkan pemerintah federal.
Pemilu diselenggarakan pada tanggal 7 Desember 1970, akibat terjadinya
bencana angin siklon di Pakistan Timur. Mujib-ur-Rahman memperjuangkan otonomi
bagi Pakistan Timur. Pemilu bulan Desember itu merupakan titik balik. Pemerinatah
pusat telah lamban mengambil tindakan perbaikan, bantuan baru tiba setelah bantuan
internasional berdatangan. Bagi orang Benggali hal itu merupakan bukti lain kelalaian

dari Pakistan Barat. Program Enam Butir Mujib-ur-Rahman yang menuntut otonomi
propinsi yang lengkap memperoleh arti baru dan mendesak (Wolpert, 2009, p. 408-412).
Pemilu menghasilkan akibat yang tidak diduga sebelumnya, yaitu berupa
bangkitnya para pemimpin politik dengan dua mandat yang berbeda. Mandat Mujib-urRahman adalah untuk membahas suatu tingkatan otonomi bagi Pakistan Timur (Barnds,
1972, p. 240-241). Bagi rakyat Pakistan Barat setelah pemilu bulan Desember 1970, orang
Benggali tidak mencapai titik temu kembali dengan orang Pakistan Barat. Pemilu itu
telah mengantar orang Benggali menuju ke kemerdekaan setahun kemudian. Sebuah
kampanye politik yang sama sekali berbeda memenangkan Zulfikar Ali Bhutto di
Pakistan Barat. Program politik Bhutto mengarah kepada restrukturisasi total ekonomi
Pakistan. Rakyat dijanjikan sosialisme: negara menguasai puncak-puncak ekonomi
yang berwibawa kuat dan akses yang sama bagi seluruh rakyat untuk bahan-bahan
kebutuhan pokok seperti makanan, kesehatan, pendidikan, dan perlindungan. Mujibur-Rahman telah memenangkan dukungan atas dasar sebuah program yang menuntut
ekonomi individual dan persamaan sosial.
Mujib-ur-Rahman pada dasarnya adalah seorang politisi propinsi dengan
beberapa minat dari hal-hal yang berhubungan dengan para pemilihnya. Ia bukan
orang yang canggih; ia tidak memahami ekonomi dan tidak menaruh perhatian tentang
masalah-masalah luar negeri. Tujuan utamanya adalah kemakmuran Benggala Timur.
Dalam mengejar tujuan ini, ia telah bergabung dengan Mohammad Ali Jinnah dan
mengambil bagian yang aktif dalam pergerakan Pakistan. Bertahun-tahun ketika ia
memulai untuk proyek kepentingan Pakistan Timur, untuk para pemilihnya meluas
secara luar biasa.
Inisiasi politik Zulfikar Ali Bhutto telah terjadi jauh lebih kemudian dari pada
Mujib dan di bawah lingkungan yang amat berbeda; ia sudah dipilih dengan amat teliti
oleh Jendral Ayub Khan untuk mewakili Sindh dalam kabinet. Ketika Bhutto
diperkenalkan kepada politik, ia tidak mempunyai pemilih pribadinya sendiri dan tidak
mengembangkan sesuatu paling lama ia tetap berada dengan Ayub Khan. Hanya
setelah mengundurkan diri dari tugasnya sebagai menteri luar negeri dan mulai
berkeliling ke seluruh negeri bahwa ia mengembangkan pengikut pribadi. Seperti
Mujib, ukuran pengikut Bhutto naik tajam, berlawanan dengan Mujib, rakyat ditarik ke
Bhutto karena sesuatu yang baru dari sebab bahwa ia telah mulai mendukung. Jenis
populisme Bhutto bukan suatu gejala baru dalam perpolitikan di Dunia Ketiga. Dengan
sengaja ia telah membuat gaya dan idiomnya setelah para pemimpin Dunia Ketiga
seperti Sukarno, Nkrumah, Peron dan Castro. Tetapi untuk Pakistan Barat, pendekatan
populis ini adalah sebuah perkembangan baru. Sampai saat itu para politisi Pakistan
Barat telah mengikuti sebuah pendekatan kunci yang amat rendah, lebih suka
berunding di antara mereka sendiri agaknya daripada untuk menggunakan dukungan
rakyat untuk lebih lanjut tujuan-tujuan dan ambisi-ambisi mereka. Bhutto adalah
seorang model pemimpin baru. Dengan demikian para pemilih yang telah digarapnya
untuk dirinya sendiri adalah baru. Sejak pemimpin baru naik pentas, para pemilih
masih tetap bertahan.
Tabrakan antara kekuatan Bhutto dan Mujib segera setelah pemilu diumumkan
tidak dapat dihindari. Pasca pemilu Pakistan Barat dan Pakistan Timur masing-masing
telah memperoleh pemimpin mereka sendiri, mandat mereka yang amat berbeda telah

disahkan oleh rakyat. Mujib menghendaki otonomi untuk Pakistan Timur, sementara
Bhutto menghendaki pemulihan pemerintahan sipil dan suatu pengaturan kembali
perekonomian. Keduanya tidak bersedia duduk bersama selama 120 hari di Dewan
Nasional guna merancang sebuah konstitusi yang sejajar dengan prinsip-prinsip luar
yang telah diletakkan dalam the Legal Framework Order-nya Yahya Khan.
Setelah pemilu kejadian-kejadian begitu cepat berlalu. Dewan Nasional yang
baru diundang bersidang pada tanggal 3 Maret 1971, tetapi Bhutto memutuskan untuk
memboikot sidang, dengan berdalih bahwa ia sedang berusaha mencari kesepahaman
dengan Mujib atas isu-isu konstitusional penting sebelum ia dan kolega-koleganya
dapat masuk ke Dewan Nasional. Yahya Khan menjawabnya dengan menunda sidang
Dewan Nasional dan tindakan itu mendorong Mujib memerintahkan para pengikutnya
untuk tidak bekerja sama dengan pemerintahan militer. Pada minggu pertama bulan
Maret bendera Pakistan mulai diganti dengan bendera Liga Awami (Wolpert, 2009, p.
404-405).
Pada tanggal 7 Maret, Mujib-ur-Rahman mulai mengajukan syarat-syarat baru
untuk menghadiri sidang Dewan Nasional. Itu berarti Jendral Yahya Khan dan para
koleganya harus lebih dulu mengakomodasi Liga Awami, menerimanya sebagai
mayoritas dalam Dewan Nasional dan Mujib-ur-Rahman sebagai perdana menteri.
Syarat-syarat yang diajukan oleh Mujib tidak diterima dan setelah perundingan selama
dua minggu akhirnya Jendral Yahya Khan melancarkan operation searhlight untuk
melawan Liga Awami. Mujib-ur-Rahman ditahan dan dibawa ke Pakistan Barat,
sejumlah besar pengikutnya lari ke Calcutta, India, guna membentuk pemerintahan di
pengasingan. Operasi dilancarkan pada tanggal 25 Maret dan berakhir sampai 17
Desember, ketika Mukti Bahini dengan dibantu oleh angkatan perang India memaksa
pasukan Pakistan secara resmi menyerah dalam sebuah upacara resmi pengambilan
Dhaka dan membangun negara Bangladesh merdeka (Ganguly, 1986, p. 107; 135).

Era Bhutto
a. Munculnya Bhutto
Zulfikar Ali Bhutto telah bergabung ke pemerintah Yahya Khan sebagai
pembantu perdana menteri segera sebelum menyerahnya pasukan Pakistan kepada
pasukan India di Dhaka. Dalam kapasitas itu ia berkunjung ke New York untuk
merundingkan pemecahan sebuah solusi damai bagi krisis yang terjadi di Pakistan
Timur. Sehari sebelum pasukan Pakistan menyerah, ia telah datang pada sidang Dewan
Keamanan, ia merobek-riobek resolusi yang diajukan oleh Polandia untuk mengakhiri
pertempuran di Pakistan Timur. Ia bersumpah untuk melancarkan perang selama seribu
tahun dengan India ketika ia meninggalkan ruangan Dewan Keamanan. Kejadian ini
dilihat oleh jutaan rakyat di televisi Pakistan, sehingga terbentuk dalam benak rakyat
Pakistan sebagai seorang patriot kenamaan dengan menolak untuk menyerahkan
bahkan ketika pasukannya sendiri menyerah kepada pasukan penyerbu. Pertunjukan
ini memenangkan dukungan bagi Bhutto bahkan dari mereka yang dulunya tidak
memilihnya dalam pemilu bulan Desember tahun 1970. Para opsir muda yang merasa
dihina oleh sikap para jendral juga terkesan akan sikapnya. Ketika Bhutto berkunjung
ke Rawalpindi, para opsir itu diam-diam mengadakan kudeta menentang kolega-kolega

senior mereka. Jendral Yahya Khan didesak untuk mengundurkan diri dan Bhutto
sebaliknya disumpah sebagai presiden dan administrator utama keadaan darurat.

b. Konstitusi 1973
Era Bhutto berlangsung selama lima setengah tahun, selama itu perekonomian
diatur kembali, sektor publik diberi sejumlah besar keunggulan, pendekatan Pakistan ke
dunia luar dirumusulang atas dasar suatu hubungan dengan India yang tidak lebih
lama mencari kesamaan dengannya, dan sebuah konsensus baru dikembangkan dan
atas dasar isu-isu konstitusional di kalangan para pemain politik yang berbeda. Pada
tanggal 5 Juli 1977, Bhutto disingkirkan oleh militer, yang mengambil kontrol sekali lagi
tidak keluar dari ambisi politik, tetapi karena adanya ketegangan-ketegangan akibat
perlakuan Bhutto terhadap para pemimpin politik lainnya, partai-partai mereka, dan
program-program mereka (Burki, 1991, p. 61-65; (Mahmud, 1998, p. 289-293) .
Prisip kesamaan antara kedua sayap secara garis besar sama yaitu dasar
konstitusi 1956 dan 1962. Dengan sekarang Pakistan dibagi menjadi empat bagian yang
tidak sama, adalah bukan pemecahan yang mudah untuk masalah membagi kekuasaan
antara pusat dan propinsi-propinsi. Dominasi Punjab ditakuti oleh propinsi-propinsi
yang lebih kecil. Punjab hampir memiliki 60% penduduk dan sebuah perwakilan yang
besar dalam angkatan perang; juga menghasilkan separoh dari GNP. Berikutnya adalah
Sindh dilihat dari luasnya dan kesejahteraan, memiliki sebuah potensi pertanian luar
biasa yang tidak digunakan, kendati irigasi sudah sampai di Punyab pada awal dekade
abad keduapuluh. Pertanahan di Sindh masih dalam proses dekolonisasi oleh para
petani, entah imigran dari Punjab atau pensiunan para opsir tentara. Sindh juga
mengakomodasi kelompok imigran yang berasal dari India utara dan tengah pasca
pemisahan. Kaum migran (muhajir) menetap di kota-kota besar Sindh (di Karachi,
Hyderabad, Sukkur, dan Khairpur) dan memiliki sedikit hubungan dengan budaya
politik Sindh pedesaan. Kebuyaan pedesaan Sindh didominasi oleh para tuan tanah
besar (weidara), misal Zulfikar Ali Bhutto. Propinsi Barat Laut sama heterogennya
seperti Sindh, dalam perbatasan-perbatasannya hidup suku Pathan sama seperti
Punjabi. Orang Pathan dibagi menjadi dua kelompok (yang berasal dari wilayah suku
dalam mana pukhtunwali masih ditakuti). Orang-orang Punjabi memiliki kehadiran
ekonomi yang penting di kota-kota Peshawar dan Abbotabad. Akhirnya propinsi
Balochistan kendati penduduknya paling sedikit, luas wilayahnya dua kali lipat
besarnya Punjab. Balokistan paling miskin dari keempat propinsi tetapi memiliki
kekayaan potensial, misalnya gas dan deposit yang besar akan batu bara dan marmer,
mungkin besi, emas dan tembaga. Orang Balochistan tidak seperti orang-orang Pathan,
adalah orang yang amat bebas. Mereka juga menolak civilisasi pemerintah Inggris, lebih
menyukai hidup di bawah hukum mereka sendiri. Tetapi ada suatu perbedaan penting
dan kepentingan politik besar anatara orang-orang Pathan dan Balochis: suku Pathan
hidup dalam komunitas-komunitas sedikit bebas yang egaliter, pada hal orang Balochis
dibagi menjadi suku-suku, masing-masing di bawah pengawasan sirdar (ketua suku)
yang amat kuat.
Karenanya, Pakistan yang muncul pada tahun 1971 adalah sebuah mosaik
warna-warni dari banyak penduduk yang berbeda. Mereka berbicara dalam bahasa
yang berbeda Punjabi, Sindhi, Baruhi, Saraiki dan memiliki banyak budaya yang

berbeda. Perbedaan-perbedaan itu tetap berada di bawah selama Benggala masih


menjadi bagian dari Pakistan, lalu masalah mendapatkan sebuah solusi yang dapat
berjalan untuk kesertaan kekuasaan antara dua sayap yang menyibukkan semua
perhatian politik. Dengan Benggala sekarang memisahkan diri, fokus berubah ke
perbedaan-perbedaan internal Pakistan Barat.
Trauma kekalahan di Pakistan Timur telah dapat membuatnya mungkin bagi
para politisi Pakistan Barat untuk menyetujui sebuah konstitusi baru. Pada tanggal 4
April 1972 Bhutto mengundang Dewan Nasional untuk bersidang di Islamabad.
Anggotanya sebanyak 139 orang. 138 dipilih dari Pakistan Barat dan Nurul Amin salah
seorang dari dua orang non Liga Awami yang sudah kembali ke Pakistan Timur. Pada
tanggal 20 Oktober 1972, hanya enam bulan setelah sidang pertama Dewan sebuah
catatan konstitusional ditandatangani oleh para pemimpin dari partai-partai politik
yang berbeda. Konstitusi disahkan oleh Presiden Bhutto pada tanggal 12 April 1973. Itu
berarti Pakistan pada hari lahirnya yang ke 26 memperoleh konstitusinya yang ketiga.
Konstitusi mewakili sebuah konsensus atas tiga hal: peranan Islam dalam politik,
kesertaan kekuasaan antara pemerintah federal dan propinsi-propinsi federasi, dan
pembagian tanggung jawab antara presiden dan perdana menteri.
Bhutto lebih menyukai model pemerintahan presidensiil (seperti model Ayub
Khan), tetapi ia didesak untuk menerima sebuah sitem parlementer yang dimodifikasi.
Modifikasi dimaksudkan untuk melindungi perdana menteri dari perubahanperubahan yang tidak teratur dalam kesetiaan partai dari model yang telah
melumpuhkan pemerintah pada periode sebelum Ayub Khan. Di bawah prosedurprosedur konstitusi baru, pemakaian kehendak politik yang sungguh-sungguh
diperoleh untuk mengganti perdana menteri. Sebuah mosi tidak percaya melawan
perdana menteri dibuat sungguh tidak mungkin, pada akhirnya untuk sepuluh tahun.
Sejak konstitusi diberlakukan, Bhutto mengundurkan diri sebagai presiden dan menjadi
perdana menteri. Fazal Elahi Chaudhurry, ditunjuk menjadi presiden.
Ketakutan-ketakutan dari propinsi-propinsi kecil mengenai dominasi Punjab
ditenangkan dengan pembentukan sebuah badan pembuat undang-undang yang
bikameral sebuah Senat dengan perwakilan propinsi yang sama dan sebuah Dewan
dengan kursi-kursi yang dibagi sesuai dengan jumlah penduduk sama seperti kata
Bhutto yang serius bahwa ia tidak akan campur tangan pada kerja dari pemerintah
propinsi dalam mana PPP tidak mempunyai suatu mayoritas. Ketika konstitusi berlaku
ada dua pemerintahan non PPP berjalan di Peshawar ibu kota Propinsi Barat Laut, dan
di Quetta, ibu kota Balochistan.
Konsensus ketiga meletakkan Pakistan jauh dari maksud yang ditambahkan
dalam Konstitusi 1956 dan Konstitusi 1962. Konstitusi yang baru juga meletakkan jalan
aksi untuk diikuti oleh negara dalam hubungannya dengan dunia luar. Secara khusus
konstitusi memperoleh Negara akan berusaha memelihara dan memperkuat hubungan
persaudaraan di antara negara-negara Muslim yang didasarkan atas kesatuan Islam.
Segera setelah pengambilan kosntitusi, menjadi jelas bagi oposisi bahwa Bhutto
tidak sungguh-sungguh bermaksud menerima konsensus yang telah dicapai dengan
mereka. Pemerintah oposisi di Bochistan dan Propinsi Barat Laut secara terbuka
didiskriminasi, para pemimpin mereka sering dikritik tidak patriotik, dan akhirnya
pada tanggal 12 Februari 1974, pemerintah Balochistan dibubarkan atas tuduhan telah

menghasut rakyat propinsi itu memberontak melawan penguasa pusat. Pemerintah di


Propinsi Barat Laut mengundurkan diri karena simpati dengan mereka yang berada di
Balochistan.
Pada tanggal 24 Mei sebuah amandemen terhadap konstitusi
memberi
eksekutif kekuasaan untuk menyatakan ilegal partai politik yang ditemukan bekerja
sama dalam cara merugikan kedaulatan atau integritas negeri. Kekuasaan ini
dilaksanakan dengan persetujuan MA, dan seperti didemonstrasikan oleh kejadiankejadian berikutnya, mahkamah sudah mengharuskan. Kekuasaan ini digunakan untuk
melarang partai Liga Awami, yang sekarang menjadi oposisi efektif satu-satunya bagi
PPP, dan sebuah langkah lain diambil terhadap tujuan Bhutto yang tidak dinyatakan
tetapi sekarang merupakan tujuan yang jelas untuk tujuan terakhir akan menjadi pemilu
yang lain, yang mana akan menempatkan PPP dalam seluruh komando Dewan
Nasional. Pemilu untuk Dewan Nasional dicatat untuk tanggal 7 Maret 1977, dan untuk
keempat propinsi akan diselenggarakan pada tanggal 10 Maret.

c. Pemilu 1977
Pada tanggal 7 Maret 1977 Zulfikar Ali Bhutto menyatakan maksud
pemerintahnya guna menyelenggarakan pemilu bagi Dewan Nasional dan Dewan
Propinsi. Tanpa diperkiranakan sebelumnya pihak oposisi mampu membuat koalisi
bernama the Pakistan National Alliance (PNA) untuk bergabung dalam pemilu. Oposisi
berhasil menetapkan program bersama yang menarik banyak orang dan dimungkinkan
untuk menangguk sejumlah kursi baik di tingkat nasional maupun di tingkat propinsi.
Tetapi setelah hasil pemilu diumumkan pada tanggal 8 Maret, dari 192 kursi yang
diperebutkan hanya 36 kursi yang direbut oleh PNA, di Punjab PNA hanya
memperoleh 8 dari 116 kursi yang diperebutkan.
Dampak dari pengumuman hasil pemilu mudah ditebak, demonstrasidemonstrasi terjadi setiap hari, situasi menjadi makin buruk. Untuk mengatasi hal itu
Bhutto lalu mengundang para politisi untuk berunding, dan sekali lagi militer turun
tangan. Bhutto dan para pemimpin PNA ditahan, dan Jendral Zia-ul-Haq
mengumumkan akan menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu 90 hari.
Tindakan yang diambil oleh militer ini disebut fair play.

d. Jatuhnya Bhutto
Selama 21 bulan berikutnya Bhutto masih mendominasi perpolitikan di Pakistan
setelah pengusirannya pada tanggal 5 Juli 1977. Selama waktu ini ia tetap dalam
penjara. Penahannya yang pertama adalah dalam penjagaan perlindungan yang telah
diperintahkan oleh Jendral Zia-ul-Haq untuk menyelamatkan Bhutto dari kemarahan
rakyat dalam suatu suasana yang jelas-jelas berlawanan dengan perdana menteri
sebelumnya. Kemudian iklim politik membaik, pada tanggal 17 Juli, dua minggu setelah
coup detat, ia mengundang para pengikutnya di lapangan rumput tempat ia
dipenjarakan. Segera setelah dibebaskan ia bermaksud untuk bertarung dalam pemilu
yang dijanjikan akan dielenggarakan pada bulan Oktober 1977 seperti yang telah
diumumkan oleh penguasa militer yang telah mngambil alih pemerintahan (Wolpert,

2009, p. 428; Burki, 1991, p. 66-67).


Peristiwa-peristiwa setelah Bhutto keluar dari tahanan kemudian berubah arah.
ketika ia berkunjung ke Karachi dan kemudian ke Lahore, media cetak memuji-mujinya,
tetapi kemudian mulai muncul berita-berita yang mengungkap penyalahgunaan
kekuasaan ketika ia berkuasa. Setelah diadakan penyelidikan-penyelidikan kemudian
mulailah seruan-seruan untuk meminta pertanggungjawabannya berupa sebuah kasus
yang diajukan ke Mahkamah Tinggi di Lahore yang menuduh Bhutto ikut serta dalam
persekongkolan untuk membunuh seorang lawan politiknya. Mahkamah tidak hanya
fokus kepada tuduhan kriminal bagi Bhutto tetapi juga pada bagaimana ia telah
mengatur negara selama masa pemerintahannya. Kemudian pemerintah mengeluarkan
buku putih yang merinci kesalahan-kesalahan pemerintahannya. Penyelidikanpenyelidikan dan reaksi rakyat memperlihatkan bagaimana rakyat telah dipojokkan
Pendapat Bhutto bahwa waktu akan membersihkan namanya terbukti keliru.
Mahkamah Lahore memutuskan pada tanggal 19 Maret 1978 mendapatinya bahwa
Bhutto menjadi dalang penyergapan bulan November 1974, untuk membunuh Ahmad
Raza Kasuri, seorang pelindung politik yang berbalik menjadi lawan politiknya.
Mahkamah memerintahkan untuk mengeksekusi Bhutto. Keputusan hukum final
muncul pada tanggal 31 Maret 1979, ketika Mahkamah Tinggi Negeri menolak untuk
meninjau kembali putusan mereka sebelumnya dan pada tanggal 4 April 1979 Zulfikar
Ali Bhutto dihukum gantung di Rawalpindi.

Penutup
Perkembangan politik di Pakistan mulai Ayub mengambil kekuasaan sampai
dengan jatuhnya Zulfikar Ali Bhutto ditandai oleh makin kuatnya kerjasama antara sipil
dan militer pribumi. Kelompok pengungsi (muhajir yang pada awal berdirinya Pakistan
sangat mendominasi perpolitikan di Pakistan pada dekade kedua pasca merdeka sudah
bergeser ke tangan pribumi. Kerja sama dari kaum pribumi itu terjadi antara kaum tuan
tanah, khususnya Punjab dan Sindh, dengan militer sangat mewarnai perpolitikan
mulai akhir tahun 1960-an sampai Jendral Zia-ul-Haq merebut kekuasaan, kendati
kerjasama ini lebih didominasi oleh militer.
Arus pengungsi dari Uttar Pradesh, Madhya Pradesh, Bombay, Gujarat dan
daerah-daerah sebelah timur Punjab merupakan titik awal terjadi perubahan politik
yang berkelanjutan di Pakistan. Para pengungsi itu mayoritasnya tinggal di barat daya,
khususnya di Karachi dan Hyderabad. Mereka memilih tempat itu karena alasan
ekonomi.
Secara signifikan kultur pengungsi dan pribumi amat berbeda.
Sistem
pemerintahan di Punjab dikembangkan secara paternalistik untuk menangani politik
dan perekonomian. Kaum pengungsi menghendaki suatu pemisahan yang nyata antara
agama dan negara. Di kalangan pribumi ada kecenderungan kuat di Punjab, Sindh dan
Propinsi Barat Laut menuju ke Pakistan yang sesuai dengan perintah-perintah Quran
dan Sunnah. Kaum pengungsi meyakini sekularisme, politik liberal, perdagangan bebas,
sementara kaum pribumi meyakini pembangunan sebuah negara Islam dan sebuah
perekonomian yang diurus oleh negara. Pertentangan antara pribumi dan pengungsi
mulai mencuat pada saat reorganisasi Liga Muslimin, di tingkat Dewan Konstituante.

Hal baru dalam konstitusi selain Islamisasi, juga bahwa Pakistan masih tetap
bergabung menjadi anggota Negara-Negara Persekemakmuran Inggris. Proses
pribumisasi tidak berjalan lancar karena konstitusi 1956 lebih bernuansa politik dan
ekonomi daripada komunitas pengungsi. Mulai tahun 1960-an dominasi militer menjadi
makin signifikan, kendati ada usaha untuk kembali kepada sipil yang dilancarkan oleh
Zulfikar Ali Bhutto. Perkembangan yang terjadi selanjutnya rupanya lebih merupakan
tarik ulur di kalangan pribumi itu sendiri, yaitu antara militer dan kaum politisi sipil.

Daftar Pustaka
Barnds, William, J. 1972, India, Pakistan and the West, New York, Praeger Books.
Bolitho, Hector, 1954, Jinnah, Creator of Pakistan, London, John Murray, Albermale Street.
Brecher, Michael, 1959, Nehru, A Political Biography, London, Oxford University Press.
Burki, Shahid Javed, 1991,
Westview Press.

Pakistan, The Continuing Search for Nationhood, Oxford,

Ganguly, Summit, 1986, The Origins of War In South Asia, Indo-Pakistani Conflicts Since
1947, London, Westview Press.
Kulke, Hermann & Ruthermund, Dietmar, 1986, A History of India, New Jersey, Barners
Noble Books.
Mahmud, S.F., 1988, A Concise History of Indo-Pakistan, Oxford, Oxford University Press.
Wolpert, Stanley, 2009, A History of India, Oxford, Oxford University Press.

Anda mungkin juga menyukai