Anda di halaman 1dari 53

Rhinitis Alergika

Pengertian rinitis alergi


Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien
atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut (von Pirquet,
1986). Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis
alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat
setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1. Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2. Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya (Irawati,
Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rinitis alergi berdasarkan
rekomendasi dari WHO Iniative ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000,
yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4 minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai,
berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas (Bousquet et al,
2001).
Etiologi

Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi genetik dalam
perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis
alergi (Adams, Boies, Higler, 1997). Penyebab rinitis alergi tersering adalah alergen inhalan pada
dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti
urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides
farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan
binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai
tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi
merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan
memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau
aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).
Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya debu rumah, tungau,
serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur, coklat,
ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan
lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan mukosa, misalnya
bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003).
Patofisiologi rinitis alergi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan tahap sensitisasi dan
diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase yaitu immediate phase allergic
reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang berlangsung sejak kontak dengan alergen
sampai 1 jam setelahnya dan late phase allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL)

yang berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan
dapat berlangsung 24-48 jam.

Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau monosit yang
berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan menangkap alergen yang
menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah diproses, antigen akan membentuk fragmen
pendek peptide dan bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II (Major Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1) yang akan
mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai
sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13.
IL-4 dan IL-13 dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel
limfosit B menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi darah
akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel mastosit atau basofil (sel

mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses ini disebut sensitisasi yang menghasilkan
sel mediator yang tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang
sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya
dinding sel) mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk
(Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga dikeluarkan Newly Formed
Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2), Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4),
bradikinin, Platelet Activating Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF
(Granulocyte Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan
rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan
sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore.
Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamin merangsang
ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM1). pada RAFC, sel mastosit juga akan
melepaskan molekul kemotaktik yang menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di
jaringan target. Respons ini tidak berhenti sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan
mencapai puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan jenis
dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan mastosit di mukosa
hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan Granulocyte Macrophag Colony
Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau
hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya
seperti Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major Basic
Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain faktor spesifik
(alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang
merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).
Secara mikroskopik tampak adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran
sel goblet dan sel pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa dan submukosa

hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan. Diluar keadaan serangan,
mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang
tahun, sehingga lama kelamaan terjadi perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi
jaringan ikat dan hiperplasia mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan
masuknya antigen asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:
1. Respon primer
Terjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat non spesifik dan
dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya dihilangkan, reaksi berlanjut
menjadi respon sekunder.
2. Respon sekunder
Reaksi yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil dieliminasi pada
tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah ada defek dari sistem
imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.
3. Respon tersier
Reaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi ini dapat bersifat
sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh tubuh.
Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1, atau reaksi
anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik, tipe 3 atau reaksi kompleks
imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan
jaringan yang banyak dijumpai di bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati,
Kasakayan, Rusmono, 2008).
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang. Sebetulnya
bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan
sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap

serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis
(Soepardi, Iskandar, 2004). Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung
tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda
hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam melintang pada tengah punggung hidung
akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat
dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak. Disertai
dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata termasuk edema kelopak mata, kongesti
konjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii. Tanda
faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda
laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA
Workshop Group. WHO, 2001). Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala,
masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal drip. Beberapa
orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur
(Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa.
Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja. Gejala rinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak
air mata keluar (lakrimasi). Kadang-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama
atau satu-satunya gejala yang diutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).
Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karena faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi
rinitis alergi, respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat
ditegakkan berdasarkan anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5
kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encer lebih dari satu jam, hidung tersumbat,
dan mata merah serta berair maka dinyatakan positif (Rusmono, Kasakayan, 1990).

2. Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan allergic shinner, yaitu bayangan gelap
di daerah bawah mata karena stasis vena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain
itu, dapat ditemukan juga allergic crease yaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian
sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung
tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna
pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat.
Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya
seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali menunjukkan nilai
normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan
RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent Assay
Test). Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis, tetap
berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak
menunjukkan kemungkinan alergi inhalan. Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi
makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati,
2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan
atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-point Titration/SET). SET dilakukan
untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang
bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji

kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan
diet eliminasi dan provokasi (Challenge Test). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai
diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada
diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika
gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a.

Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara


inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang
paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi
dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi-1 (klasik) dan generasi -2 (non
sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah
otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat
simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan
atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal
hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rinitis medikamentosa.
Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal
(beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat
antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena
aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor (Mulyarjo, 2006).

b.

Operatif - Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka
inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai
AgNO3 25 % atau troklor asetat (Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).

c.

Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan


hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

Komplikasi rinitis alergi


Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a.

Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi
sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebih eosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia
epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa. b. Otitis media yang sering residif,
terutama pada anak-anak.

c.

Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para nasal.
Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosa yang menyebabkan
sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan udara rongga sinus. Hal
tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan
menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh
mediator protein basa yang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin
parah (Durham, 2006).

Pneumonia
1. Pengertian Pneumonia
Pneumonia adalah proses infeksi akut yang mengenai jaringan paru-paru (alveoli)
(Silalahi. L, 2004). Menurut Fauzi (2006) pneumonia adalah suatu radang paru yang disebabkan

oleh bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing. Selanjutnya,
menurut Price dan Wilson (2006) pneumonia adalah peradangan akut parenkim paru yang
biasanya berasal dari suatu infeksi. Sedangkan menurut Sudoyo.A.W, dkk (2006) Pneumonia
adalah peradangan yang mengenai parenkim paru, distal dari bronkiolus terminalis yang
mencakup bronkiolus respiratorius, dan alveoli, serta menimbulkan konsolidasi jaringan paru dan
gangguan pertukaran gas setempat.
2. Etiologi
Penyebab paling sering pneumonia didapat dari masyarakat dan nosokomial (Price dan
Wilson, 2006). Adapun pembagian dari masing-masing penyebab tersering pneumonia dari
masyarakat antara lain adalah : Streptococus pneumonia, mycoplasma pneumonia, haemophilus
influenza, legionella pneumophilia, clhamydia pneumonia, anaerob oral (aspirasi), influenza tipe
A dan B, dan adenovirus. Sedangkan dari nosokomial antara lain adalah : basil usus gram negatif
(misal, escherichia coli, klobsiella pneumonia), pseudomonas aeruginosa, staphylococus aureus,
dan anaerob oral (aspirasi).
3. Patofisiologi
Streptococus pneumonia
Respon peradangan
Edema alveolar
Pembentukan exudate
Alveoli dan bronkiolus terisi cairan exudat, sel darah dan fibrin bakteri
Pneumonia

Dari bagan diatas terlihat adanya gangguan terminal pada jalan nafas dan alveoli oleh
mikroorganisme patogen yaitu bakteri Streptococus pneumonae, Staphylococcus aureus.
Kemudian terdapat infiltrate yang biasanya mengenai pada multiple lobus. Terjadinya destruksi
sel dengan menanggalkan debris cellular ke dalam lumen, yang mengakibatkan gangguan fungsi
alveolar dan jalan nafas. Pada anak, kondisi ini dapat akut dan kronik misalnya AIDS, Cystic

Fibrosis, aspirasi benda asing dan congenital yang dapat meningkatkan resiko pneumonia.
(Suryadi dan Yulianti. R, 2001).
4. Patogenesis
Pneumonia dapat terjadi akibat menghirup bibit penyakit di udara atau kuman ditenggorokan
terhisap masuk ke paru-paru. Penyebaran juga bisa melalui darah dari luka tempat lain, misalnya
dikulit. Jika melalui saluran nafas, agen (bibit penyakit) yang masuk akan dilawan oleh berbagai
sistem pernafasan tubuh manusia, misalnya dengan batuk-batuk atau oleh perlawanan sel-sel
pada lapisan lendir tenggorokan, hingga gerakan rambut-rambut halus (silia). Untuk
mengeluarkan mukus (lendir) tersebut keluar. Tentu itu semua tergantung besar kecilnya ukuran
penyebabnya (Ranuh, 2006).
Proses patogenesis pneumonia terkait dengan 3 faktor, yaitu :
a.

Keadaan (immunitas) inang.

b. Mikroorganisme yang menyerang pasien, dan


c.

Lingkungan yang berinteraksi satu sama lain (Sudoyo, 2006),


Menurut Price dan Wilson (2006), pneumoccocus masuk kedalam paru-paru melalui jalan

pernafasan secara percikan (droplet) mukus atau saliva. Lobus bagian bawah paru sering terkena
efek gravitasi. Setelah mencapai alveoli, maka pneomoccocus menimbulkan respon khas yang
terdiri dari empat tahap berurutan yaitu :
a.

Stadium Kongesti (4 sampai 12 jam pertama)


Eksudat serosa masuk kedalam alveoli melalui pembuluh darah yang berdilatasi dan bocor.

b. Stadium Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)


Paru-paru tampak merah dan bergranula (hepatisasi = seperti hepar) karena sel-sel darah merah,
fibrin, dan leukosit polimorfonuklear mengisi alveoli.
c.

Stadium Hepatisasi Kelabu (3 sampai 8 hari)


Paru-paru tampak kelabu karena leukosit dan fibrin mengalami konsolidasi di dalam alveoli yang
terserang

d. Stadium Resolusi (7 sampai 11 hari)


Eksudat mengalami lisis dan direabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali pada
strukturnya semula.

5. Gejala Umum
Gejala penyakit pneumonia biasanya didahului infeksi saluran nafas atas akut selama
beberapa hari, selain didapatkan demam, menggigil, suhu tubuh meningkat dapat mencapai 40
derajat celcius, nyeri dada, dan batuk dengan dahak kental, terkadang dapat berwarna kuning
hingga hijau. Pada sebagian penderita juga menemui gejala lain seperti nyeri perut, kurang nafsu
makan, sakit kepala, nyeri otot, kelemahan, muntah-muntah, tekanan atau stress, dan
mengeluarkan bunyi yang abnormal ketika bernafas (Arief. N, 2006).
6. Diagnosa
Setelah mengetahui gejala klinis dan kelainan fisik melalui pemeriksaan fisik masih diperlukan
pemeriksaan penunjang seperti rontgen dan laboratorium. Hal ini perlu untuk memperkuat
diagnosis apakah seorang mengidap pneumonia atau tidak, kelainan yang tampak pada foto
rontgen penderita pneumonia dapat berupa bercak putih setempat atau tersebar diseluruh paru,
ataupun gambaran lainnya bila terdapat komplikasi pneumonia. Gambaran foto rontgen itu
kadang dapat dibedakan dengan penderita tuberkulosis (TB) yaitu gambaran bercak putih
dibagian atas paru. Pemeriksaan penunjang lain adalah pemeriksaan laboratorium berupa
pemeriksaan hitung sel darah tepi, pemeriksaan terhadap kuman
(mikrobiologi), ataupun pemeriksaan lainnya. Pada penderita pneumonia, jumlah leukosit (sel darah
putih) dapat melebihi batas normal (10.000/L). (Arief N, 2006). Pengambilan sputum/dahak juga
diperlukan guna dibiakan sehingga mengetahui mikroorganisme penyebab pneumonia, dan obat apa
saja yang tepat untuk mikroorganisme tersebut. Pengambilan sputum dilakukan dengan cara
dibatukkan ataupun didahului proses perangsangan (induksi) untuk mengeluarkan dahak dengan
menghirup NaCL 3%. Selain itu dahak dapat diperoleh dengan menggunakan alat tertentu (misalnya,
protective brush, semacam sikat untuk mengambil sputum pada saluran nafas bawah). Sputum yang
telah diambil dimasukkan kedalam botol steril dan ditutup rapat. Dahak itu segera (tidak boleh lebih
dari 4 jam) dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan.

7. Faktor-faktor yang mempengaruhi


Banyak faktor yang mempengaruhi tingginya insiden pneumonia pada anak balita yaitu : umur,
jenis kelamin, status gizi, riwayat BBLR, status imunisasi, status pemberian ASI, polusi udara,

kepadatan hunian, membedong anak (menyelimuti berlebihan), defisiensi vitamin A (Prabu, 2009).
Sedangkan faktor yang meningkatkan angka kematian pada pneumonia yaitu : umur kurang dari 2
bulan, tingkat sosio ekonomi rendah, kurang gizi, BBLR, tingkat pendidikan ibu yang rendah, tingkat
jangkauan pelayanan kesehatan yang rendah, kepadatan tempat tinggal, imunisasi yang tidak memadai,
menderita penakit kronis, aspek kepercayaan setempat dalam praktek pencarian pengobatan yang salah
(Depkes RI, 2002).
8. Klasifikasi
Menurut WHO (2003), klasifikasi pneumonia dibagi atas :
a.

Pneumonia sangat berat


Tanda klinisnya adalah : batuk atau kesulitan bernafas yang disertai dengan sianosis sentral, tidak
dapat minum dan disertai penarikan dinding dada sebelah bawah ke dalam (severe chest
indrawing).

b. Pneumonia berat
Tanda klinisnya adalah : berhenti menyusu (jika sebelumnya menyusu dengan baik), kejang rasa
kantuk yang tidak wajar atau sulit bangun, stridor pada anak yang tenang, mengi, demam (38 c
atau lebih) atau suhu tubuh yang rendah (dibawah 35,5 c), pernapasan cepat 50 kalipermenit
atau lebih, batuk atau kesulitan bernafas tanpa disertai sianosis sentral, grunting, serangan apnea,
distensi abdomen, dapat minum, dan disertai penarikan dinding dada bagian bawah ke dalam
pada waktu anak menarik nafas (severe chest indrawing).
c.

Pneumonia
Tanda klinisnya adalah : batuk (atau kesulitan bernafas) tanpa penarikan dinding dada dan
disertai pernafasan cepat. Batas nafas cepat ialah untuk usia kurang 1 tahun aalah 50 kali per
menit atau lebih dan untuk usia 1-4 tahun adalah 40 kali per menit atau lebih.

d. Bukan Pneumonia (batuk atau pilek biasa)


Tanda klinis adalah : batuk (atau kesulitan bernafas), tanpa pernafasan cepat, atau tanpa
penarikan dinding dada, dan tidak tanda-tanda pneumonia.
e.

Pneumonia persisten
Tanda klinisnya adalah : penarikan dinding dada, frekuensi pernafasan yang tinggi, dan demam
ringan. Penyebab yang mungkin adalah tuberkulosis, pneumonia clhamedia, dan pneumonia
pneumokistik.

9. Pencegahan penyakit pneumonia


Menurut Dinkes DKI (2005) Pencegahan penyakit Pneumonia dapat dilakukan dengan cara
meningkatkan tahap menjaga kesehatan, seperti : pemberian ASI eksklusif, menjauhi tempat yang
sesak dan berdebu, mengutamakan tempat tinggal yang bersih, pengadaan rumah dengan ventilasi
yang memadai, perbaikan lingkungan serta perilaku hidup bersih dan sehat. Peningkatan gizi balita
dengan pemberian nutrisi yang baik, istirahat yang cukup, dan menghindari kontak dengan
penderita, menghindari pajanan asap rokok, asap dapur dan asap kendaraan bermotor, menutup
hidung dan mulut dengan sapu tangan ketika batuk dan bersin, pemberian imunsasi DPT dan
campak sesuai jadwal, dan penderita yang sakit harus berobat dan menghindari kontak dengan
orang sehat.
Vaksinasi dapat membantu mencegah sebagian jenis bakteri pada golongan anak-anak dan
golongan dewasa yang berisiko. Vaksin yang diberikan adalah :
a.

Suntikan Pneumococal untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh streptoccus


pneumonia.

b. Vaksin influenza
c.

Vaksin Hib untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh influenza haemopilus jenis B.
Vaksin ini diberikan pada bayi dan anak-anak yang berusia diantara 2 sampai 15 bulan (Fauzi,
2006)..
Selain itu, vaksin pnumococcal polusaccharide mampu memberi pertahanan terhadap kuman
streptococcus pneumonia, bakteri yang dikenal pasti sebagai penyebab meningitis dan radang
paru-paru. Vaksin itu juga untuk mencegah pneumonia yang disebabkan oleh kuman
streptococcus pneumonia dikalangan anak-anak berusia 2 tahun keatas dan orang tua yang
mengalami penyakit-penyakit kronik(Fauzi, 2006).

10. Penatalaksanaan pneumonia


Menurut WHO (2003) penatalakasanaan pnumonia terdiri dari :
a. Pneumonia sangat berat
Penatalaksanaannya melalui cara :
1) Rawat dirumah sakit
2) Berikan oksigen

3) Terapi antibiotik dengan cara memberikan kloramfenikol secara intramuskular setiap 6 jam.
Apabila pada anak terjadi perbaikan (biasanya setelah 3-5 hari), pemberiannya diubah menjadi
kloramfenikol oral. Berikan kloramfenikol paling selama 10 hari. Jika kloramfenikol tidak
tersedia, berikan benzilpensilin ditambah dengan golongan aminoglikosida (contohnya,
gentamisin). Kloramfenikol juga efektif untuk meningitis bakterialis, yang dapat terjadi pada
anak dengan pneumonia. Diduga pneumonia stafilokokus jika terdapat tanda perburukan klinis
walaupun diberikan pengobatan dengan kloramfenikol, atau hasil foto rontgen dada
memperlihatkan gambaran pneumatokel atau empiema. Pneumonia stafilokokus sebaiknya
diobati dengan kloksasilin (atau fluklosasilin, oksasilin, nafsilin, atau methisilin) ditambah
gentamisin , paling sedikit diberikan selama 3 minggu
4) Obati demam dengan cara efektif dengan memberikan parasetamol.
Beri parasetamol jika suhu aksila lebih dari 39c, kecuali pada bayi muda : 10 sampai 15 mg per
kg berat badan per oral, setiap 6 jam. Menyeka dengan air suam-suam kuku atau air dingin
sebaiknya tidak dilakukan karena hal tersebut akan meningkatkan konsumsi oksigen dan
meningkatkan produksi karbon dioksida yang dapat menyebabkan kegagalan pernapasan pada
anak yang menderita pneumonia
5) Obati mengi dengan memberikan bronkodilator kerja singkat (seperti salbutamol yang diuapkan)
kemudian nilai responnya setelah 15 menit jika diperlukan, pemberiannya dapat diulang.
6) Perawatan suportif melalui :
a). Makanan, dimana anak dengan pneumonia berat dapat mengalami kesulitan makan karena adanya
pernafasan cepat atau sulit bernafas. Anjurkan anak untuk sering makan-makanan ringan dan
tetap terus minum ASI. Membiarkan ibu tetap tinggal bersama anaknya dirumah sakit merupakan
hal yang penting dan jangan memaksa anak untuk makan.
b). Cairan, peningkatan kehilangan cairan terjadi selama infeksi pernafasan akut, khususnya jika
terdapat pernafasan cepat atau demam. Kehilangan cairan dari paru terutama terdiri dari air. Oleh
karena itu, untuk mengganti cairan pada anak tanpa disetai diare. Berikan ASI, air bersih, minum
susu, dan cairan lain yang berkadar garam rendah.
c). Sekresi, karena banyak bayi yang tidak dapat bernafas dengan normal melalui mulut, sumbatan
pada hidung yang padat menyebabkan gawat pernafasan dan kesulitan pemberian ASI. Gunakan
spuit plastik (tanpa jarum) untuk menghisap dengan hati-hati adanya secret hidung jika

diperlukan untuk menghasilkan jalan nafas. Gunakan tetes hidung isotonis jika hidung tersumbat
oleh mukus yang kering.
d). Suhu lingkungan, tidak membuat suhu terlalu panas atau dingin pada anak yang menderita
pneumonia merupakan hal yang penting. Tekanan panas dan dingin
dapat meningkatkan produksi karbon dioksida dan mencetuskan terjadinya kegagalan pernafasan.
Suhu lingkungan yang netral memperkecil konsumsi oksigen.
7) Hati-hati dengan pemberian terapi cairan
Anak yang menderita pneumonia berat dapat mensekresi hormon anti diuretik (ADH) dalam
jumlah besar secara tidak sesuai dan berisiko terjadi kelebihan cairan serta edema paru. Oleh
karena itu jika anak dalam keadaan shock, sebaiknya hindari pemberian cairan intravena dan
sebagai gantinya dapat diberikan secara oral atau dengan selang nasogastrik.
8) Nilai ulang setiap 2 jam oleh perawat dan setiap 2 kali sehari oleh dokter.
Apabila anak memiliki respon buruk terhadap pengobatan : maka periksa adanya komplikasi
seperti empiema dimana terdapat demam persisten, perkusi yang pekak, adanya cairan pleura
pada pemeriksaan sinar X. Gagal jantung, jika adanya pembesaran hati, denyut jantung > 160
x/menit, pembeseran jantung, bunyi murmur jantung, tekanan vena yang tinggi, pengaliran darah
yang buruk ke ekstermitas, bronkospasme. Antibiotika diganti dengan kloksasilin ditambah
dengan gentamicin jika diduga adanya pneumonia stafilokokus. Bila pneumonia menetap lebih
dari 10 hari walaupun telah diberi therapi antibiotik, pertimbangkan penyebab pneumonia
persisten.
b. Pneumonia Berat
Penatalaksanaannnya dengan cara :
1. Rawat di rumah sakit
2.

Apabila perawatan untuk semua anak dengan penarikan dinding dada tidak memungkinkan
dapat dipertimbangkan untuk memberikan terapi antibiotika di rumah dengan pengawasan yang
ketat pada anak yang tidak mengalami penarikan dinding dada yang hebat, sianosis, atau tanda
penyakit yang sangat berat.

3. Berikan oksigen jika frekuensi pernafasan > 70 x/menit, terdapat penarikan dinding dada yang
hebat atau gelisah.

4. Terapi antibiotika dengan memberikan benzilpenisillin/ampisilin secara intra muskuler setiap 6


jam paling sedikit selama 3 hari. Setelah anak membaik ganti dengan ampisilin atau amoksilin
oral

Tuberkulosis
Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis atau TB (singkatan yang sekarang ditinggalkan adalah TBC) adalah suatu
penyakit yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium tuberculosis. Penyakit ini
adalah salah satu penyakit tertua yang diketahui menyerang manusia. Penyakit ini biasanya
menyerang paru-paru (disebut sebagai TB Paru), walaupun pada sepertiga kasus, organ-organ
lain ikut terlibat. Jika diterapi dengan benar tuberkulosis yang disebabkan oleh kompleks
Mycobacterium tuberculosis, yang peka terhadap obat, praktis dapat disembuhkan. Tanpa terapi
tuberkulosa akan mengakibatkan kematian dalam lima tahun pertama pada lebih dari setengah
kasus. (PDPI, 2006)
Epidemiologi Tuberkulosis
Walaupun pengobatan TB yang efektif sudah tersedia tapi sampai saat ini TB masih
menjadi problem kesehatan dunia yang utama. Pada tahun 1992 WHO telah mencanangkan
tuberculosis sebagai Global Emergency. Laporan WHO tahun 2004 menyatakan bahwa terdapat
8,8 juta kasus baru tuberculosis pada tahun 2002 dan 3,9 juta adalah kasus BTA positif. Sepertiga
penduduk dunia telah terinfeksi kuman tuberculosis dan menurut regional WHO jumlah terbesar
kasus TB terjadi di Asia Tenggara yaitu 33% dari seluruh kasus TB di dunia. Indonesia berada
dalam peringkat ketiga terburuk setelah China dan India di dunia untuk jumlah penderita TB.
Setiap tahun muncul 500 ribu kasus baru dan lebih dari 140 ribu lainnya meninggal. Perkiraan
kejadian BTA sputum positif di Indonesia adalah 266.000 tahun 1998. Berdasarkan survey
kesehatan rumah tangga 1985 dan survey kesehatan nasional 2001, TB menempati rangking
nomer 3 sebagai penyebab kematian tertinggi di Indonesia. Prevalensi nasional terakhir TB paru
diperkirakan 0,24%. (Amin dan Asril, 2006)

Etiologi Tuberkulosis
Penyebab penyakit ini adalah bakteri kompleks
Mycobacteria

termasuk

dalam

famili

Mycobacteriaceae

Mycobacterium

tuberculosis.

dan

dalam

termasuk

ordo

Actinomycetales. kompleks Mycobacterium tuberculosis meliputi M. tuberculosis, M. bovis, M.


africanum, M. microti, dan M. canettii. Dari beberapa kompleks tersebut, M. tuberculosis
merupakan jenis yang terpenting dan paling sering dijumpai. (Mansjoer, 2001)
M.tuberculosis berbentuk batang, berukuran panjang 5 dan lebar 3, tidak membentuk
spora, dan termasuk bakteri aerob. Mycobacteria dapat diberi pewarnaan seperti bakteri lainnya,
misalnya dengan Pewarnaan Gram. Namun, sekali mycobacteria diberi warna oleh pewarnaan
gram, maka warna tersebut tidak dapat dihilangkan dengan asam. Oleh karena itu, maka
mycobacteria disebut sebagai Basil Tahan Asam atau BTA. Beberapa mikroorganisme lain yang
juga memiliki sifat tahan asam, yaitu spesies Nocardia, Rhodococcus, Legionella micdadei, dan
protozoa Isospora dan Cryptosporidium. Pada dinding sel mycobacteria, lemak berhubungan
dengan arabinogalaktan dan peptidoglikan di bawahnya. Struktur ini menurunkan permeabilitas
dinding sel, sehingga mengurangi efektivitas dari antibiotik. Lipoarabinomannan, suatu molekul
lain dalam dinding sel mycobacteria, berperan dalam interaksi antara inang dan patogen,
menjadikan M. tuberculosis dapat bertahan hidup di dalam makrofaga. (PDPI, 2006)
Patogenesis Tuberkulosis
TB paru terdiri dari primer dan post primer, TB paru primer adalah infeksi yang
menyerang pada orang yang belum mempunyai kekebalan spesifik, sehingga tubuh melawan
dengan cara tidak spesifik. Pada fase ini kuman merangsang tubuh membentuk sensitized cell
yang khas sehingga uji PPD (Purified Protein Derivative) akan positif. Di paru terdapat fokus
primer dan pembesaran kelenjar getah bening hilus atau regional yang disebut komplek primer.
Pada infeksi primer ini biasanya masih sulit ditemukan kuman dalam dahak. (Silbernagl dan
Lang, 2007)
Kuman tuberculosis yang masuk melalui saluran nafas akan bersarang di jaringan paru
sehinggaakan terbentuk suatu sarang pneumoni, yang disebut sarang primer atau afek primer.

Sarang primer ini mungkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan sarang
reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju hilus
(limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembearan kelenjar getah bening
(limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional akan mengalami
salah satu nasib berikut:
1. Sembuh dengan tidak meniggalkan cacat sama sekali (resuscitation ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Gohn, garis fibrotic,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara:
a. Perkontinuatum, menyebar ke sekitarnya. Salah satu contohnya adalah
epituberklosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya atau tertelan
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Penyebaran ini berkaitan dengan
daya tahan tubuh, jumlah dan virulensi kuman. Sarang yang ditimbulkan dapat
sembuh secara spontan, akan tetapi bila tidak terdapat imuniti yang adekuat,
penyebaran ini akan menimbulkan keadaan cukup gawat seperti tuberculosis
milier, meningitis TB, dll. (PDPI, 2006)
TB paru post primer adalah TB paru yang menyerang orang yang telah mendapatkan
infeksi primer dan dalam tubuh orang tersebut sudah ada reaksi hipersensitif yang khas. Infeksi
ini berasal dari reinfeksi dari luar atau reaktivasi dari infeksi se-belumnya. Proses awal berupa
satu atau lebih pnemonia lobuler yang disebut fokus dari Assman. Fokus ini dapat sembuh
sendiri atau menjadi progresif (meluas), melunak, pengejuan, timbul kavitas yang menahun dan
mengadakan penyebaran ke beberapa tempat. (Depkes, 2005)
Gejala penting TB paru post primer adalah :
1) Batuk lebih dari 4 minggu, gejala ini paling dini dan paling sering dijumpai, biasanya
ringan dan makin lama makin berat.
2) Batuk darah atau bercak saja.
3) Nyeri dada yang berkaitan dengan proses pleuritis di apikal.
4) Sesak nafas yang berkaitan dengan retraksi, obstruksi, thrombosis, atau rusaknya
Parenkim paru yang luas
5) Wheezing yang berkaitan dengan penyempitan lumen endo-bronkhial.
6) Gejala umum yang tidak khas yaitu lemah badan, demam, anoreksia, berat badan turun

Klasifikasi Tuberkulosis
Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang jaringan paru, tidak termasuk pleura.
1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA) TB paru dibagi atas:
a. Tuberkulosis paru BTA (+) adalah:
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan hasil BTA positif
- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak

menunjukkan BTA positif dan kelainan

radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.


- Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA positif dan biakan positif
b. Tuberkulosis paru BTA (-)
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologic menunjukkan tuberkulosis aktif.
- Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan M. tuberculosis
positif
2. Berdasarkan tipe pasien
Tipe pasien ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya. Ada beberapa tipe
pasien yaitu :
a. Kasus baru
Adalah pasien yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah pernah
menelan OAT kurang dari satu bulan.
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah pasien tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
Bila BTA negatif atau biakan negatif tetapi gambaran radiologik dicurigai lesi
aktif / perburukan dan terdapat gejala klinis maka harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
- Infeksi non TB (pneumonia, bronkiektasis dll) Dalam hal ini berikan dahulu antibiotik
selama 2 minggu, kemudian dievaluasi.
- Infeksi jamur
- TB paru kambuh

Bila meragukan harap konsul ke ahlinya.


c. Kasus defaulted atau drop out
Adalah pasien yang tidak mengambil obat 2 bulan berturut-turut atau lebih sebelum masa
pengobatannya selesai.
d. Kasus gagal
- Adalah pasien BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif pada
akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
- Adalah pasien dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi BTA
positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan
e. Kasus kronik / persisten
Adalah pasien dengan hasil pemeriksaan BTA masih positif setelah selesai pengobatan
ulang kategori 2 dengan pengawasan yang baik. (PDPI, 2006)
Diagnosa Tuberkulosis
Untuk menegakkan diagnosis TB paru, perlu diketahui tentang : gambaran klinik,
pemeriksaan jasmani, gambatan foto toraks, pemeriksaan basil tahan asam, pemeriksaan uji
tuberkulin dan pemeriksaan laboratorium penunjang.
Gambaran klinik
Gambaran klinik TB paru dapat dibagi atas : gejala sistemik (umum) dan gejala respiratorik
(paru).
1) Gejala sistemik (umum), berupa :
a) Demam
Salah satu keluhan pertama penderita TB paru adalah demam seperti gejala influenza.
Biasanya demam dirasakan pada malam hari disertai dengan keringat malam, kadang-kadang
suhu badan dapat mencapai 40 41 C. Serangan seperti influenza ini bersifat hilang timbul,
dimana ada masa pulih diikuti dengan se rangan berikutnya setelah 3 bulan, 6 bulan, 9 bulan
(dikatakan sebagai multiplikasi 3 bulan). Rasmin mengatakannya sebagai serangan influenza
yang melompat-lompat dengan masa tidak sakit semakin pendek dan masa serangan semakin
panjang.
b) Gejala yang tidak spesifik

TB paru adalah peradangan yang bersifat kronik, dapat ditemukan rasa tidak enak badan
(malaise), nafsu makan berkurang yang menyebabkan penurunan berat badan, sakit kepala dan
badan pegal-pegal. Pada wanita kadang-kadang dapat dijumpai gangguan siklus haid.
2) Gejala respiratorik (paru)
a) Batuk
Pada awal teljadinya penyakit, kuman akan berkembang biak di jaringan paru; batuk baru
akan terjadi bila bronkus telah terlibat. Batuk merupakan akibat dari terangsangnya bronkus,
bersifat iritatif. Kemudian akibat terjadinya peradangan, batuk berubah menjadi produktif karena
diperlukan untuk membuang produk-produk ekskresi dari peradangan. Sputum dapat bersifat
mukoid atau purulen.
b)Batuk darah
Terjadi akibat pecahnya pembuluh darah; berat atau ringannya batuk darah tergantung
dari besarnya pembuluh darah yang pecah. Gejala batuk darah ini tidak selalu terjadi pada setiap
TB paru, kadang-kadang merupakan suatu tanda perluasan proses TB paru. Batuk darah tidak
selalu ada sangkut pautnya dengan terdapatnya kavitas pada paru.
c)Sesak napas
Sesak napas akan terjadi akibat luasnya kerusakan jaringan paru, didapatkan pada
penyakit paru yang sudah lanjut. Sedangkan pada penyakit yang baru tidak akan dijumpai gejala
ini.
d)Nyeri dada
Biasanya terjadi bila sistem saraf terkena, dapat bersifat lokal atau pleuritik.
Pemeriksaan jasmani
Secara umum pemeriksaan jasmani paru menggambarkan keadaan struktural jaringan
paru, pemeriksaan ini tidak memberikan keterangan apa penyebab penyakit paru tersebut.
Namun demikian mungkin ada beberapa hal yang dapat dipakai sebagai pegangan pada TB paru
yaitu lokasi dan kelainan struktural yang terjadi. Pada penyakit yang lanjut mungkin dapat
dijumpai berbagai kombinasi kelainan seperti konsolidasi, fibrosis, kolaps atau efusi.
Gambaran foto toraks

Pemeriksaan foto toraks standar untuk menilai kelainan pada paru ialah foto toraks PA
dan lateral, sedangkan foto top lordotik, oblik, tomogram dan floroskopi dikerjakan atas indikasi.
Crofton mengemukakan beberapa karakteristik radiologik pada TB paru :
-

Bayangan lesi terutama pada lapangan atas paru


Bayangan berawan atau berbercak
Terdapat kavitas tunggal atau banyak
Terdapat kalsifikasi
Lesi bilateral terutama bila terdapt pada lapangan alas paru
Bayangan abnormal menetap pada foto toraks ulang setelah beberapa minggu.
Letak lesi pada orang dewasa biasanya pada segmen apikal dan posterior lobus atas,

segmen posterior lobus bawah, meskipun dapat juga mengenai semua segmen.
Gambaran radiologik TB paru tidak memperlihatkan hanya satu bentuk sarang saja, akan
tetapi dapat terlihat berbagai bentuk sarang secara bersamaan sekaligus yang merupakan bentuk
khas TB paru. Adapun bentuk sarang yang dijumpai pada kelainan radiologik adalah : sarang
dini/sarang minimal, kavitas non sklerotik, kavitas sklerotik, keadaan penyebaran penyakit yang
sudah lanjut. Kelainan radiologik foto toraks hendaklah dinilai secara teliti, karena TB paru dapat
memberikan semua bentuk abnormal pada pemeriksaan radiologik dan dikenal dengan istilah
"great imitator". (PDPI, 2006)
Pemeriksaan basil tahan asam
Penemuan basil tahan asam (BTA) dalam sputum, mempunyai arti yang sangat penting
dalam menegakkan diagnosis TB paru, namun kadang-kadang tidak mudah untuk menemukan
BTA tersebut. BTA barn dapat ditemukan dalam sputum, bila bronkus sudah terlibat, sehingga
sekret yang dikeluarkan melalui bronkus akan mengandung BTAPemeriksaan mikroskopik
langsung dengan BTA (--), bukan berarti tidak ditemukan Mycobacterium tuberculosis sebagai
penyebab, dalam hal penting sekali peranan hasil biakan kuman. Faktor-faktor yang dapat
menyebabkan basil bakteriologik negatip adalah :
-

belum terlibatnya bronkus dalam proses penyakit, terutama pada awal sakit,
terlalu sedikitnya kuman di dalam sputum akibat dari cara pengambilan bahan yang tidak

adekuat,
cara pemeriksaan bahan yang tidak adekuat,
pengaruh pengobatan dengan OAT, terutama rifampisin.
Bila diagnosis TB paru semata-mata berdasarkan pada ditemukannya BTA dalam sputum,

maka sangat banyak TB paru yang terlewat tanpa pengobatan. Sedangkan justru pada TB paru

yang baru dengan sputum BTA (--) dan belum menular pada orang lain, paling mudah diobati
dan disembuhkan sempurna. (PDPI, 2006)
Pemeriksaan uji tuberkulin
Pemeriksaan uji tuberkulin merupakan prosedur diagnostik paling penting pada TB paru
anak, kadang-kadang merupakan satu-satunya bukti adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis.
Sedangkan pada orang dewasa, terutama di daerah dengan prevalensi TB paru masih tinggi
seperti Indonesia sensitivitasnya rendah. Hal ini sesuai dengan penelitian Handoko dkk terhadap
penderita TB paru dewasa yang menyimpulkan bahwa reaksi uji tuberkulin tidak mempunyai arti
diagnostik, hanya sebagai alat bantu diagnostik saja, sehingga uji tuberkulin ini jarang dipakai
untuk diagnosis kecuali pada keadaan tertentu, di mana sukar untuk menegakkan diagnosis.
(PDPI, 2006)
Pemeriksaan laboratorium penunjang
Pemeriksaan laboratorium rutin yang dapat menunjang untuk mendiagnosis TB paru dan
kadang-kadang juga dapat untuk
mengikuti perjalanan penyakit yaitu :
- laju endap darah (LED)
- jumlah leukosit
- hitung jenis leukosit.
Dalam keadaan aktif/eksaserbasi, leukosit agak meninggi dengan geseran ke kiri dan
limfosit di bawah nilai normal, laju endap darah meningkat. Dalam keadaan regresi/menyembuh,
leukosit kembali normal dengan limfosit nilainya lebih tinggi dari nilai normal, laju endap darah
akan menurun kembali. (PDPI, 2006)
Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis terbagi menjadi 2 fase yaitu, fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4-7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
Obat Anti Tuberkulosis
Obat yang dipakai :
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan:

INH

Rifampicin

Pirazinamid

Streptomisin

Etambutol

2. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2)


-

Kanamisin

Amikasin

Kuinolon

Obat lain masih dalam penelitian yaitu makrolid dan amoksilin dan asam klavulanat

Beberapa obat berikut ini belum tersedia di Indonesia antara lain: Kapreomisin,
Sikloserin, PAS, Derivat INH dan Rifampisin, Thioamides (ethioamide dan
prothioamide)

Kemasan
-

Obat Tunggal, disajikan secara terpisah, yakni INH, Rifampisin, Pirazinamid dan
Etambutol

Obat Kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combination-FDC). Kombinasi dosis tetap
ini terdiri dari 3 atau 4 obat dalam satu tablet.

Dosis Obat
Obat

Dosis

Dosis yang Dianjurkan

Dosis

(mg/kgBB/hari

(mg/kgBB/hari)

Max

Dosis (mg) / Berat Badan (kg)

)
Harian
Intermitten
R
8-12
10
10
H
4-6
5
10
Z
20-30
25
35
E
15-20
15
30
S
15-18
15
15
Tabel 1. Dosis Obat Tuberkulosis (PPDI, 2006)

600
300
1000

<40
300
150
750
750
Sesuai BB

40-60
450
300
1000
1000
750

>60
600
450
1500
1500
1000

Pengembangan pengobatan TB paru yang efektif merupakan hal yang paling penting
untuk menyembuhkan pasien dan menghindari MDR TB (Multidrug resistance tuberculosis).

Pengembangan strategi DOTS untuk mengontrol epidemic TB merupakan priority utam WHO.
International Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUALTD) dan WHO menyarankan
untuk menggantikan paduan obat tunggal dengan kombinasi dosis tetap dalam pengobatan TB
primer pada tahun 1998. Dosis obat tuberculosis kombinasi dosis tetap berdasarkan WHO.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
1. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
2. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan kesalahan pengobatan
yang tidak disengaja
3. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang benar dan
standar
4. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
5. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat penurunan
penggunaan monoterapi
Penetuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang dosis yang telah
ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih termasuk dalam batas dosis
terapi dan non toksik. (PDPI, 2006)
Paduan Obat Anti Tuberkulosis
Pengobatan tuberculosis dibagi menjadi:
1. TB Paru (kasus baru), BTA positif atau pada foto thoraks lesi luas. Paduan obat yang
dianjurkan : 2RHZE/4RH atau 2RHZE/6HE atau 2RHZE/4R3H3
Paduan ini dianjurkan untuk:
a. TB Paru BTA (+), kasus baru
b. TB Paru BTA (-), dengan gambaran radiologi lesi luas
2. TB Paru (kasus baru), BTA negative, pada foto thoraks lesi minimal. Paduan obat yang
dianjurkan: 2RHZE/4RH atau 6RHE atau 2RHZE/4R3H3
3. TB Paru kasus kambuh
Sebelum ada hasil uji resistensi dapat diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan dengan
hasil uji resistensi. Bila tidak terdapat hasil uji resistensi dapat diberikan obat RHE
selama 5 bulan

4. TB Paru kasus gagal pengobatan


Sebelum ada hasil uji resistensi seharusnya diberikan obat lini 2 (contoh paduan: 3-6
bulan Kanamisin, Ofloksasin, Etionamid, Sikloserin dilanjutkan 15-18 bulan Ofloksasin,
Etionamid, Sikloserin). Dalam keadaan tidak memungkinkan pada fase awal dapat
diberikan 2RHZES/1RHZE. Fase lanjutan sesuai dengan hasil uji resistensi dapat
diberikan obat RHE selama 5 bulan. Dapat pula dipertimbangkan tindakan bedah untuk
mendapatkan hasil yang optimal.
5. TB Paru kasus putus obat
Pasien TB Paru kasus lalai berobat, akan dimulai pengobatan kembali sesuai dengan
criteria sebagai berikut:
a. Berobat > 4 bulan
-

BTA saat ini negative


Klinis dan radilogi tidak aktif atau ada perbaikan maka pengobatan OAT dihentikan.
Bila gambaran radiologi aktif, lakukan analisis lebih lanjut untuk memastikan
diagnosis TB denganmempertimbangkan juga kemungkinan penyakit paru lain. Bila
terbukti TB maka pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kuat
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

BTA saat ini positif


Pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut dan jangka waktu
pengobatan yang lama.

b. Berobat < 4 bulan


-

Bila BTA positif, pengobatan dimulai dari awal dengan paduan obat yang lebih kaut
dan jangka waktu pengobatan yang lebih lama.

Bila TB negative, gambaran foto toraks positif TB aktif pengobatan diteruskan.

6. TB Paru kasus kronik


-

Pengobatan TB paru kasus kronik, jika belum ada hasil uji resistensi, berikan
RHZES. Jika telah ada hasil uji resistensi, sesuaikan dengan hasil uji resistensi
(minmal terdapat 4 macam OAT yang massif sensitive) ditambah dengan obat lini 2
seperti kuinolon, betalaktam, makrolid, dll. Pengobatan minimal 18 bulan. Jika tidak
mampu dapat diberikan INH seumur hidup. Pertimbangkan pembedahan untuk

meningkatkan kemungkinan penyembuhan. Kasus TB kronik perlu dirujuk ke dokter


spesialis paru. (PDPI, 2006)
Efek Samping Obat
Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping. Oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi
dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi simptomatis maka pengobatan
OAT dapat dilanjutkan.
1. Isoniazid
Efek samping ringan dapat berupa tanda-tanda keracunan pada syaraf tepi, kesemutan, rasa
terbakar di kaki dan nyeri otot. Efek ini dapat dikurangi dengan pemberian piridoksin dengan
dosis 100 mg/hari atau dengan vitamin B kompleks. Pada keadaan tersebut pengobatan dapat
diteruskan. Kelainan lain ialah menyerupai defisiensi piridoksin (syndrome pellagra). Efek
samping berat dapat berupa hepatitis imbas obat yang terjadi pada kurang lebih 0,5% pasien. Bila
terjadi hepatitis imbas obat atau ikterik, hentkan OAT dan pengobatan sesuai dengan pedoman
TB pada keadaan khusus.
2. Rifampisin
Efek samping ringan yang dapat terjadi dan hanya memerlukan pengobatan simptomatis ialah:
-

Sindrom Flu berupa demam, menggigil dan nyeri tulang

Sindrom dispepsi, berupa sakit perut, mual, anorexia, muntah-muntah kadang diare.

Gatal-gatal dan kemerahan

Efek samping yang berat namun jarang terjadi:


-

Hepatitis imbas obat atau ikterik, bila terjadi hal tersebut, OAT harus distop dulu dan
penatalaksanaan sesuai pedoman TB pada keadaan khusus.

Purpura, anemia hemolitik yang akut, syok dan gagal ginjal. Bila salah satu dari
gejala ini terjadi, Rifampisin harus segera dihentikan dan jangan diberikan lagi
walaupun gejalanya telah menghilang.

Sindrom respirasi yang ditandai dengan sesak nafas.

Rifampisin dapat menyebabkan warna merah pada air seni, keringat, air mata dan air liur. Warna
merah tersebut terjadi karena proses metabolism obat dan tidak berbahaya. Hal ini harus
diberitahukan kepada pasien agar mereka mengerti dan tidak perlu khawatir.
3. Pirazinamid
Efek samping utama adalah hepatitis imbas obat (penatalaksanaan sesuai pedoman TB
pada keadaan khusus). Nyeri sendi juga dapat terjadi (beri aspirin) dan kadang-kadang
dapat menyebabkan arthritis gout. Hal ini kemingkinan disebabkan berkurangnya
ekskresi dan penimbunan asam urat. Kadang-kadang terjadi reaksi demam, mual,
kemerahan dan reaksi kulit yang lain.
4. Etambutol
Etambutol dapat menyebabkan gangguan penglihatan berupa berkurangnya ketajaman,
buta warna untuk warna merah dan hijau. Meskipun demikian keracunan okuler tersebut
tergantung dengan dosis yang diapakai, jarang sekali terjadi pada dosis 15-25
mg/kgBB/hari atau 30 mg/kgBB yang diberikan 3 kali seminggu. Gangguan penglihatan
akan kembali normal dalam beberapa minggu setelah obat dihentikan. Sebaiknya
etambutol tidak diberikan pada anak karena risiko kerusakan okuler untuk dideteksi.
5. Streptomisin.
Efek samping utama adalah kelainan syaraf VIII (Nervus Vestibulocochlearis) yang
berkaitan dengan keseimbangan dan pendengaran. Risiko efek samping tersebut akan
meningkat seiring dengan peningkatan dosis yang digunakan dan umur pasien. Risiko
tersebut akan meningkat pada pasien dengan gangguan fungsi ekskresi ginjal. Gejala efek
samping yang terlihat adalah telinga berdenging (tinnitus), pusing dan kehilangan
keseimbangan. Keadaan ini dapat dipulihkan bila obat segera dihentikan atau dosisnya
dikurangi 0,25 gram. Jika pengobatan diteruskan makan kerusakan alat keseimbangan
makin parah dan menetap.
Reaksi hipersensitivitas kadang terjadi berupa demam yang timbul tiba-tiba disertai sakit
kepala, muntah dan eritema pada kulit. Efek samping sementara dan ringan (jarang
terjadi) seperti kesemutan sekitar mulut dan telinga yang mendenging dapat terjadi segera
setalah suntikan. Bila reaksi ini mengganggu maka dosis dapat dikurangi 0,25 gram.
Streptomisisn dapat menembus sawar plasenta sehingga tidak boleh diberikan pada
perempuan hamil sebab dapat merusak saraf pendengaran janin. (PDPI, 2006)

Pengobatan Tuberkulosis pada Keadaan Khusus


Gejala TBC adalah dimulai dengan batuk-batuk ringan, tetapi lama-lama tambah hebat
hingga keluar darah sedikit-sedikit. Gejala-gejala lainnya adalah: penderita tampak pucat, badan
lemah semakin kurus, suhu badan naik dan kalau malam hari mengeluarkan keringat. Kadangkadang ada juga yang suaranya sampai habis.
Menjaga kesehatan dengan sebaik-baiknya sebagai daya pertahanan alam. Menjuhi
sumber penularan. Selain itu bagi yang biasa ke dokter, dapat juga minta penyuntikan vaksin
BCG. Seorang ibu yang menderita TBC paru-paru, sebaiknya tidak menyusui anaknya selama
belum sembuh. Seseorang yang menderita penyakit tertentu, di samping TB, memerlukan
pengobatan yang berhati-hati sehingga tidak terjadi kesalahan pemberian obat.

a. Kehamilan
Pada prinsipnya pengobatan Tuberkolosis (TB) pada kehamilan tidak berbeda dengan
pengobatan TB pada umumnya. Menurut WHO, hampir semua Obat Anti Tuberkolosis (OAT)
aman untuk kehamilan, kecuali streptomisin. Streptomisin tidak dapat dipakai pada kehamilan
karena bersifat permanent ototoxic dan dapat menembus barier placenta. Keadaan ini dapat
mengakibatkan terjadinya gangguan pendengaran dan keseimbangan yang menetap pada bayi
yang akan dilahirkan. Perlu dijelaskan kepada ibu hamil bahwa keberhasilan pengobatannya
sangat penting artinya supaya proses kelahiran dapat berjalan lancar dan bayi yang akan
dilahirkan terhindar dari kemungkinan tertular TB.

b. Ibu menyusui dan bayinya


Pada prinsipnya pengobatan TB pada ibu menyusui tidak berbeda dengan pengobatan
pada umumnya. Semua jenis OAT aman untuk ibu menyusui. Seorang ibu menyusui yang
menderita TB harus mendapat paduan OAT secara adekuat. Pemberian OAT yang tepat
merupakan cara terbaik untuk mencegah penularan kuman TB kepada bayinya. Ibu dan bayi

tidak perlu dipisahkan dan bayi tersebut dapat terus disusui. Pengobatan pencegahan dengan INH
diberikan kepada bayi tersebut sesuai dengan berat badannya.

c. Penderita TB pengguna kontrasepsi


Rifampisin berinteraksi dengan kontrasepsi hormonal (pil KB, suntikan KB, susuk KB),
sehingga dapat menurunkan efektifitas kontrasepsi tersebut. Seorang penderita TB sebaiknya
mengggunakan kontrasepsi non-hormonal, atau kontrasepsi yang mengandung estrogen dosis
tinggi (50 mcg).

d. Penderita TB dengan infeksi HIV/AIDS


Tatalaksana pengobatan TB pada penderita dengan infeksi HIV/AIDS adalah sama
seperti penderita TB lainnya. Obat TB pada penderita HIV/AIDS sama efektifnya dengan
penderita TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip pengobatan penderita TB-HIV adalah
dengan mendahulukan pengobatan TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan
stadium klinis HIV sesuai dengan standar WHO. Penggunaan suntikan Streptomisin harus
memperhatikan Prinsip-prinsip Universal Precaution (Kewaspadaan Keamanan Universal)
Pengobatan penderita TB-HIV sebaiknya diberikan secara terintegrasi dalam satu UPK untuk
menjaga kepatuhan pengobatan secara teratur.

e. Penderita TB dengan hepatitis akut


Pemberian OAT pada penderita TB dengan hepatitis akut dan atau klinis ikterik, ditunda
sampai hepatitis akutnya mengalami penyembuhan. Pada keadaan dimana pengobatan Tb sangat
diperlukan dapat diberikan streptomisin (S) dan Etambutol (E) maksimal 3 bulan sampai
hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan dengan Rifampisin (R) dan Isoniasid (H) selama 6

bulan.

f. Penderita TB dengan kelainan hati kronik


Bila ada kecurigaan gangguan faal hati, dianjurkan pemeriksaan faal hati sebelum
pengobatan Tb. Kalau SGOT dan SGPT meningkat lebih dari 3 kali OAT tidak diberikan dan bila
telah dalam pengobatan, harus dihentikan. Kalau peningkatannya kurang dari 3 kali, pengobatan
dapat dilaksanakan atau diteruskan dengan pengawasan ketat. Penderita dengan kelainan hati,
Pirasinamid (Z) tidak boleh digunakan. Paduan OAT yang dapat dianjurkan adalah 2RHES/6RH
atau 2HES/10HE.

g. Penderita TB dengan gagal ginjal


Isoniasid (H), Rifampisin (R) dan Pirasinamid (Z) dapat di ekskresi melalui empedu dan
dapat dicerna menjadi senyawa-senyawa yang tidak toksik. OAT jenis ini dapat diberikan dengan
dosis standar pada penderita-penderita dengan gangguan ginjal.
Streptomisin dan Etambutol diekskresi melalui ginjal, oleh karena itu hindari
penggunaannya pada penderita dengan gangguan ginjal. Apabila fasilitas pemantauan faal ginjal
tersedia, Etambutol dan Streptomisin tetap dapat diberikan dengan dosis yang sesuai faal ginjal.
Paduan OAT yang paling aman untuk
penderita dengan gagal ginjal adalah 2HRZ/4HR.
h. Penderita TB dengan Diabetes Melitus
Diabetes harus dikontrol. Penggunaan Rifampisin dapat mengurangi efektifitas obat oral
anti diabetes (sulfonil urea) sehingga dosis obat anti diabetes perlu ditingkatkan. Insulin dapat
digunakan untuk mengontrol gula darah, setelah selesai pengobatan TB, dilanjutkan dengan anti
diabetes oral. Pada penderita Diabetes Mellitus sering terjadi komplikasi retinopathy diabetika,
oleh karena itu hati-hati dengan pemberian etambutol, karena dapat memperberat kelainan

tersebut.
i. Penderita TB yang perlu mendapat tambahan kortikosteroid
Kortikosteroid hanya digunakan pada keadaan khusus yang membahayakan jiwa
penderita seperti:

Meningitis TB

TB milier dengan atau tanpa meningitis

TB dengan Pleuritis eksudativa

TB dengan Perikarditis konstriktiva.

Selama fase akut prednison diberikan dengan dosis 30-40 mg per hari, kemudian
diturunkan secara bertahap. Lama pemberian disesuaikan dengan jenis penyakit dan kemajuan
pengobatan. (WHO, 2003)

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)


I.

DEFINISI

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik
Kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam
setahun, sekurang-kurangnya dua tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema
Suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, disertai kerusakan dinding alveoli. Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis
kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat
dengan obstruksi jalan napas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
II.

PERMASALAHAN DI INDONESIA
Di Indonesia tidak ada data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Pada Survai Kesehatan

Rumah Tangga (SKRT) 1986 asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat ke - 5
sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab kesakitan utama. SKRT Depkes RI 1992
menunjukkan angka kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat
ke - 6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia.
Faktor yang berperan dalam peningkatan penyakit tersebut :
Kebiasaan merokok yang masih tinggi (laki-laki di atas 15 tahun 60-70 %)
Pertambahan penduduk
Meningkatnya usia rata-rata penduduk dari 54 tahun pada tahun 1960-an menjadi 63 tahun
pada tahun 1990-an
Industrialisasi
Polusi udara terutama di kota besar, di lokasi industri, dan di pertambangan
Di negara dengan prevalensi TB paru yang tinggi, terdapat sejumlah besar penderita yang
sembuh setelah pengobatan TB. Pada sebagian penderita, secara klinik timbul gejala sesak
terutama pada aktiviti, radiologik menunjukkan gambaran bekas TB (fibrotik, klasifikasi) yang

minimal, dan uji faal paru menunjukkan gambaran obstruksi jalan napas yang tidak reversibel.
Kelompok penderita tersebut dimasukkan dalam kategori penyakit Sindrom Obstruksi
Pascatuberkulosis (SOPT).
Fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia yang bertumpu di Puskesmas sampai di rumah
sakit pusat rujukan masih jauh dari fasiliti pelayanan untuk penyakit PPOK. Disamping itu
kompetensi sumber daya manusianya, peralatan standar untuk mendiagnosis PPOK seperti
spirometri hanya terdapat di rumah sakit besar saja, sering kali jauh dari jangkauan Puskesmas.
Pencatatan Departemen Kesehatan tidak mencantumkan PPOK sebagai penyakit yang
dicatat. Karena itu perlu sebuah Pedoman Penatalaksanaan PPOK untuk segera disosialisasikan
baik untuk kalangan medis maupun masyarakat luas dalam upaya pencegahan, diagnosis dini,
penatalaksanaan yang rasional dan rehabilitasi
III. FAKTOR RISIKO
1. Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih
penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan :
a. Riwayat merokok
- Perokok aktif
- Perokok pasif
- Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang
rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
- Ringan : 0-200
- Sedang : 200-600
- Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
3. Hipereaktiviti bronkus
4. Riwayat infeksi saluran napas bawah berulang
5. Defisiensi antitripsin alfa - 1, umumnya jarang terdapat di Indonesia
IV. PATOGENESIS DAN PATOLOGI

Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia sel
goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Emfisema
ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding
alveoli. Secara anatomik dibedakan tiga jenis emfisema:
- Emfisema sentriasinar, dimulai dari bronkiolus respiratori dan meluas ke perifer, terutama
mengenai bagian atas paru sering akibat kebiasaan merokok lama.
- Emfisema panasinar (panlobuler), melibatkan seluruh alveoli secara merata dan terbanyak pada
paru bagian bawah
- Emfisema asinar distal (paraseptal), lebih banyak mengenai saluran napas distal, duktus dan
sakus alveoler. Proses terlokalisir di septa atau dekat pleura
Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat ireversibel dan terjadi karena perubahan
struktural pada saluran napas kecil yaitu : inflamasi, fibrosis, metaplasi sel goblet dan hipertropi
otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas.

Konsep patogenesis PPOK

Perbedaan patogenesis asma dan PPOK

V. DIAGNOSIS
Gejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan jelas dan tanda inflasi paru.
Diagnosis PPOK di tegakkan berdasarkan :
A. Gambaran klinis
a. Anamnesis
- Keluhan
- Riwayat penyakit
- Faktor predisposisi
b. Pemeriksaan fisis
B. Pemeriksaan penunjang
a. Pemeriksaan rutin
b. Pemeriksaan khusus
A. Gambaran Klinis
a. Anamnesis
- Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
- Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
- Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
- Terdapat faktor predisposisi pada masa bayi/anak, mis berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi
saluran napas berulang, lingkungan asap rokok dan polusi udara

- Batuk berulang dengan atau tanpa dahak


- Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi
b. Pemeriksaan fisis
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan
Inspeksi
- Pursed - lips breathing (mulut setengah terkatup mencucu)
- Barrel chest (diameter antero - posterior dan transversal sebanding)
- Penggunaan otot bantu napas
- Hipertropi otot bantu napas
- Pelebaran sela iga
- Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis i leher dan edema tungka.
- Penampilan pink puffer atau blue bloater
Palpasi; Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar
Perkusi; Pada emfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, hepar
terdorong ke bawah.
Auskultasi
- suara napas vesikuler normal, atau melemah
- terdapat ronki dan atau mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa
- ekspirasi memanjang
- bunyi jantung terdengar jauh
Pink puffer
Gambaran yang khas pada emfisema, penderita kurus, kulit kemerahan dan pernapasan pursed
lips breathing
Blue bloater
Gambaran khas pada bronkitis kronik, penderita gemuk sianosis, terdapat edema tungkai dan
ronki basah di basal paru, sianosis sentral dan perifer.

Pursed - lips breathing


Adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang.
Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi sebagai
mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik.
B. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan rutin
1. Faal paru
Spirometri (VEP1, VEP1prediksi, KVP, VEP1/KVP
- Obstruksi ditentukan oleh nilai VEP1 prediksi ( % ) dan atau VEP1/KVP ( % ).
Obstruksi : % VEP1(VEP1/VEP1 pred) < 80% VEP1% (VEP1/KVP) < 75 %
- VEP1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan
memantau perjalanan penyakit.
- Apabila spirometri tidak tersedia atau tidak mungkin dilakukan, APE meter walaupun
kurang tepat, dapat dipakai sebagai alternatif dengan memantau variabiliti harian pagi
dan sore, tidak lebih dari 20%
Uji bronkodilator
- Dilakukan dengan menggunakan spirometri, bila tidak ada gunakan APE meter.
- Setelah pemberian bronkodilator inhalasi sebanyak 8 hisapan, 15 - 20 menit kemudian
dilihat perubahan nilai VEP1 atau APE, perubahan VEP1 atau APE < 20% nilai awal dan
< 200 ml.
- Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil.
2. Darah rutin; Hb, Ht, leukosit
3. Radiologi
Foto toraks PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain
Pada emfisema terlihat gambaran :
- Hiperinflasi
- Hiperlusen
- Ruang retrosternal melebar

- Diafragma mendatar

Jantung menggantung (jantung pendulum / tear drop / eye drop appearance)


Pada bronkitis kronik :
Normal
Corakan bronkovaskuler bertambah pada 21 % kasus

b. Pemeriksaan khusus (tidak rutin)


1. Faal paru
- Volume Residu (VR), Kapasiti Residu Fungsional (KRF), Kapasiti Paru Total (KPT), VR/KRF,
VR/KPT meningkat
- DLCO menurun pada emfisema
- Raw meningkat pada bronkitis kronik
- Sgaw meningkat
- Variabiliti Harian APE kurang dari 20 %
2. Uji latih kardiopulmoner
- Sepeda statis (ergocycle)
- Jentera (treadmill)
- Jalan 6 menit, lebih rendah dari normal
3. Uji provokasi bronkus
Untuk menilai derajat hipereaktiviti bronkus, pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktiviti
bronkus derajat ringan
4. Uji coba kortikosteroid
Menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau
metilprednisolon) sebanyak 30 - 50 mg per hari selama 2minggu yaitu peningkatan VEP1

pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan
faal paru setelah pemberian kortikosteroid
5. Analisis gas darah, Terutama untuk menilai :
- Gagal napas kronik stabil
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik

6. Radiologi
- CT - Scan resolusi tinggi
- Mendeteksi emfisema dini dan menilai jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak
terdeteksi oleh foto toraks polos
- Scan ventilasi perfusi Mengetahui fungsi respirasi paru
7. Elektrokardiografi
Mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh Pulmonal dan hipertrofi ventrikel
kanan.
8. Ekokardiografi; Menilai funfsi jantung kanan
9. Bakteriologi
Pemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan
untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas
berulang merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.
10. Kadar alfa-1 antitripsin
Kadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda),
defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia.
VI. DIAGNOSIS BANDING
Asma
SOPT (Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis)
Adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis
dengan lesi paru yang minimal

KANKER PARU
Tumor paru merupakan keganasan pada jaringan paru (Price, Patofisiologi, 1995).
Kanker paru merupakan abnormalitas dari sel sel yang mengalami proliferasi dalam paru
(Underwood, Patologi, 2000). Tumor adalah neoplasma pada jaringan yaitu pertumbuhan
jaringan baru yang abnormal. Paru merupakan organ elastis berbentuk kerucut dan letaknya
didalam rongga dada. Jenis tumor paru dibagi untuk tujuan pengobatan, meliputi SCLC ( Small
Cell Lung Cancer ) dan NSLC ( Non Small Cell Lung Cancer / Karsinoma Skuamosa,
adenokarsinoma, karsinoma sel besar.
Kanker paru adalah tumor berbahaya yang tumbuh diparu, sebagian besar kanker paru
berasal dari sel-sel didalam paru tapi dapat juga berasal dari bagian tubuh lain yang terkena
kanker. ( Zerich 150105 Weblog, by Erich ).
B.

ETIOLOGI

Meskipun etiologi sebenarnya dari kanker paru belum diketahui, tetapi ada beberapa faktor yang
bertanggung jawab dalam peningkatan insiden kanker paru :
1. Merokok.
Tak diragukan lagi merupakan faktor utama. Suatu hubungan statistik yang defenitif telah
ditegakkan antara perokok berat (lebih dari dua puluh batang sehari) dari kanker paru (karsinoma
bronkogenik). Perokok seperti ini mempunyai kecenderung sepuluh kali lebih besar dari pada
perokok ringan. Selanjutnya orang perokok berat yang sebelumnya dan telah meninggalkan
kebiasaannya akan kembali ke pola resiko bukan perokok dalam waktu sekitar 10 tahun.
Hidrokarbon karsinogenik telah ditemukan dalam ter dari tembakau rokok yang jika dikenakan
pada kulit hewan, menimbulkan tumor.
2. Iradiasi.
Insiden karsinoma paru yang tinggi pada penambang kobalt di Schneeberg dan
penambang radium di Joachimsthal (lebih dari 50 % meninggal akibat kanker paru) berkaitan
dengan adanya bahan radioaktif dalam bentuk radon. Bahan ini diduga merupakan agen etiologi
operatif.

3. Kanker paru akibat kerja.


Terdapat insiden yang tinggi dari pekerja yang terpapar dengan karbonil nikel (pelebur
nikel) dan arsenic (pembasmi rumput). Pekerja pemecah hematite (paru paru hematite) dan
orang orang yang bekerja dengan asbestos dan dengan kromat juga mengalami peningkatan
insiden.
4. Polusi udara.
Mereka yang tinggal di kota mempunyai angka kanker paru yang lebih tinggi dari pada
mereka yang tinggal di desa dan walaupun telah diketahui adanya karsinogen dari industri dan
uap diesel dalam atmosfer di kota. ( Thomson, Catatan Kuliah Patologi,1997).
5. Genetik.
Terdapat perubahan/ mutasi beberapa gen yang berperan dalam kanker paru, yakni :
a. Proton oncogen.
b. Tumor suppressor gene.
c. Gene encoding enzyme.
6. Diet.
Dilaporkan bahwa rendahnya konsumsi betakaroten, seleniumdan vitamin A
menyebabkan tingginya resiko terkena kanker paru. (Ilmu Penyakit Dalam, 2001).
C.

KLASIFIKASI

Pada Klasifikasi menurut WHO untuk Neoplasma Pleura dan Paru paru (1977) :
1. Karsinoma Bronkogenik.
a.

Karsinoma epidermoid (skuamosa).


Kanker ini berasal dari permukaan epitel bronkus. Perubahan epitel termasuk metaplasia,

atau displasia akibat merokok jangka panjang, secara khas mendahului timbulnya tumor. Terletak
sentral sekitar hilus, dan menonjol kedalam bronki besar. Diameter tumor jarang melampaui

beberapa centimeter dan cenderung menyebar langsung ke kelenjar getah bening hilus, dinding
dada dan mediastinum.
b.

Karsinoma sel kecil (termasuk sel oat).


Biasanya terletak ditengah disekitar percabangan utama bronki. Tumor ini timbul dari sel

sel Kulchitsky, komponen normal dari epitel bronkus. Terbentuk dari sel sel kecil dengan inti
hiperkromatik pekat dan sitoplasma sedikit. Metastasis dini ke mediastinum dan kelenjar limfe
hilus, demikian pula dengan penyebaran hematogen ke organ organ distal.
c.

Adenokarsinoma (termasuk karsinoma sel alveolar).


Memperlihatkan susunan selular seperti kelenjar bronkus dan dapat mengandung mukus.

Kebanyakan timbul di bagian perifer segmen bronkus dan kadang kadang dapat dikaitkan
dengan jaringan parut local pada paru paru dan fibrosis interstisial kronik. Lesi seringkali
meluas melalui pembuluh darah dan limfe pada stadium dini, dan secara klinis tetap tidak
menunjukkan gejala gejala sampai terjadinya metastasis yang jauh.
d.

Karsinoma sel besar.


Merupakan sel sel ganas yang besar dan berdiferensiasi sangat buruk dengan sitoplasma

yang besar dan ukuran inti bermacam macam. Sel sel ini cenderung untuk timbul pada
jaringan paru - paru perifer, tumbuh cepat dengan penyebaran ekstensif dan cepat ke tempat
tempat yang jauh
e.

Gabungan adenokarsinoma dan epidermoid.

f.

Lain lain.

1). Tumor karsinoid (adenoma bronkus).


2). Tumor kelenjar bronchial.
3). Tumor papilaris dari epitel permukaan.
4). Tumor campuran dan Karsinosarkoma
5). Sarkoma

6). Tak terklasifikasi.


7). Mesotelioma.
8). Melanoma.(Price, Patofisiologi, 1995).

D.

PATOFISIOLOGI
Sebab-sebab keganasan tumor masih belum jelas, tetapi virus, faktor lingkungan, faktor

hormonal dan faktor genetik semuanya berkaitan dengan resiko terjadinya tumor. Permulaan terjadinya
tumor dimulai dengan adanya zat yang bersifat intiation yang merangasang permulaan terjadinya
perubahan sel. Diperlukan perangsangan yang lama dan berkesinambungan untuk memicu timbulnya
penyakit tumor.
Initiati agen biasanya bisa berupa nunsur kimia, fisik atau biologis yang berkemampuan bereaksi
langsung dan merubah struktur dasar dari komponen genetik ( DNA ). Keadaan selanjutnya
diakibatkan keterpaparan yang lama ditandai dengan berkembangnya neoplasma dengan terbentuknya
tumor, hal ini berlangsung lama meingguan sampai tahunan.
Kanker paru bervariasi sesuai tipe sel daerah asal dan kecepatan pertumbuhan. Empat tipe sel
primer pada kanker paru adalah karsinoma epidermoid ( sel skuamosa ). Karsinoma sel kecil ( sel oat ),
karsinoma sel besar ( tak terdeferensiasi ) dan adenokarsinoma. Sel skuamosa dan karsinoma sel kecil
umumnya terbentuk di jalan napas utama bronkial. Karsinoma sel kecil umumnya terbentuk dijalan
napas utama
bronkial. Karsinoma sel besar dan adenokarsinoma umumnya tumbuh dicabang bronkus perifer
dan alveoli. Karsuinoma sel besar dan karsinoma sel oat tumbuh sangat cepat sehigga
mempunyai progrosis buruk. Sedangkan pada sel skuamosa dan adenokar. Paru merupakan organ
yang elastis, berbentuk kerucut dan letaknya di dalam rongga dada atau toraksinoma prognosis
baik karena pertumbuhan sel ini lambat.

E.

MANIFESTASI KLINIS

1.

Gejala awal.

Stridor lokal dan dispnea ringan yang mungkin disebabkan oleh obstruksi bronkus.
2. Gejala umum.
a. Batuk

Kemungkinan akibat iritasi yang disebabkan oleh massa tumor. Batuk mulai sebagai batuk
kering tanpa membentuk sputum, tetapi berkembang sampai titik dimana dibentuk sputum yang
kental dan purulen dalam berespon terhadap infeksi sekunder.
b. Hemoptisis
Sputum bersemu darah karena sputum melalui permukaan tumor yang mengalami ulserasi.
c. Anoreksia, lelah, berkurangnya berat badan.
Adapun manifestasi klinik lainnya adalah : manifestasi klinik pada penderita tumor paru yaitu:
a. Batuk yang terus menerus dan berkepanjangan
b. Napas pendek-pendek dan suara parau
c. Batuk berdarah dan berdahak
d. Nyeri pada dada, ketika batuk dan menarik napas yang dalam
e. Hilang nafsu makan dan berat badan

F.

KOMPLIKASI

Adapun beberapa komplikasi dari ca.paru adalah :


- Hematorak
- Pneumotorak
- Empiema
- Endokarditis
- Abses paru
- Atelektasis

G.

PENATALAKSANAAN

Tujuan pengobatan kanker dapat berupa :


a.

Kuratif

Memperpanjang masa bebas penyakit dan meningkatkan angka harapan hidup klien.
b.

Paliatif.

Mengurangi dampak kanker, meningkatkan kualitas hidup.


c.

Rawat rumah (Hospice care) pada kasus terminal.

Mengurangi dampak fisis maupun psikologis kanker baik pada pasien maupun keluarga.
d.

Supotif.

Menunjang pengobatan kuratif, paliatif dan terminal sepertia pemberian nutrisi, tranfusi darah
dan komponen darah, obat anti nyeri dan anti infeks
Penatalaksanaan ca.paru ada terbagi atas :
1.
a.

Penatalaksanaan medik :
Pembedahan, memiliki kemungkinan kesembuhan terbaik, namun hanya < 25% kasus

yang bisadioperasi dan hanya 25% diantaranya ( 5% dari semua kasus ) yang telah hidup setelah
5 tahun.Tingkat mortalitas perioperatif sebesar 3% pada lobektomi dan 6% pada
pneumonektomi.
b.

Radioterapi radikal, digunakan pada kasus kanker paru bukan sel kecil yang tidak bisa

dioperasi.Tetapi radikal sesuai untuk penyakit yang bersifat lokal dan hanya menyembuhklan
sedikit diantaranya.
c.

Radioterapi paliatif, untuk hemoptisis, batuk, sesak napas atau nyeri local

d.

Kemoterapi, digunakan pada kanker paru sel kecil, karena pembedahan tidak pernah sesuai

denganhistologi kanker jenis ini. Peran kemoterapi pada kanker bukan sel kecil belum jelas.
e.

Terapi endobronkia, seperti kerioterapi, tetapi laser atau penggunaan stent dapat

memulihkan gejala dengan cepat pada pasien dengan penyakit endobronkial yang signifikan
f.

Perawatan paliatif, opiat terutama membantu mengurangi nyeri dan dispnea. Steroid

membantu mengurangi gejala non spesifik dan memperbaiki selera makan

PNEUMOTORAK
I. Defenisi
Pneumotorak adalah adanya udara dalam raongga pleura. Biasanya pnemotorak hanya
temukan unilateral, hanya pada blast-injury yang hebat dapat ditemukan pnemotorak bilateral.
(Halim danusantoso, 2000) Pneumutorak adalah adanya udara dalam rongga pleura akibat
robeknya pleura (Silvia. A Price, 1999). Pneumotorak adalah keluarga udara dari paru yang
cedera kedalam rongga pleural (Dieane C Baughman, 2000)
II.

Klasifikasi Dan Etiologi


Berdasarkan penyebabnya pnemutorak dapat dibagi atas :

a. Pneumotorak Traumatik
Pneumutorak traumstik yaitu pneumotorak yang terjadi akibat penetrasi kedalam rongga pleura
karena luka tembus, luka tusuk, leka tembak atau tusukan jarum.
Pneumaotorak traumatik dibagi 2 jenis yaitu :

Pneumotorak traumatik bukan latrogenik

Pneumotorak traumatik bukan latrogenik adalah pneumotorak yang terjadi karena jejas
kecelakaan misalnya : jejas dada terbuka/tertutup, barotrauma.

Pneumatorak traumatik Iatrogenik

Pneumotorak yang terjadi akibat tindakan oleh tenaga medis.


Pneumotorak traumatik Iatrogenik aksidental

Pneumotorak yang terjadi pada tindakan medis karena kesalahan/komplikasi tindakan


tersebut,misalnya pada tindakan biopsi pleural, biopsi transbronkial biopsi/aspirasi paru
perkutaneus, barotrauma.
Pneumatorak traumatik Iatrogenik artifisial (deciberate)
Pneumotorak yang sengaja dikerjakan dengan cara mengisi udara kedalam pleura melalui
jarum dengan suatu alat Maxuell Box biasanya untuk terapi tuberkulosis (sebelum era
antibiotik) atau untuk menilai permukaan paru.

b. Pneumotorak Spontan
Pneumotorak spontan adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu pneumotorak
yang terjadi secara tiba-tiba dan tak terduga atau tanpa penyakit paru-paru yang mendasarinya,
penumotorak spontan ini dapat menjadi 2 yaitu :

Pneumotorak spontan primer

Pneumotorak spontan primer adalah suatu pneumotorak yang terjadi adanya penyakit paru
yang mendasari sebelumnya umumnya pada individu sehat, dewasa muda, tidak berhubungan
dengan aktivitas belum diketahui penyebabnya.

Pneumotorak spontan sekunder

Pneumotorak spontan sekunder adalah suatu pneumotorak yang terjadi adanya riwayat
penyakit paru yang mendasarinya (pneumotorak, asma bronkial, TB paru, tumor paru dll).
Pada klien pneumotorak spontan sekunder bilateral, dengan resetasi torakoskopi dijumpai
metastasis paru yang primernya berasal dari sarkoma jaringan lunak di luar paru. (Silvia A
Price, 1995)
III. Manifestasi Klinis

Dispnea (jika luas)

Nyeri pleuritik hebat

Trakea bergeser menjauhi sisi yang mengalami pneumotorak

Takikardia

Sianosis (jika luas)

Pergerakan ada berkurang dan terhambat pada bagian yang terkena

Perkusi hipersonor diatas pneumotorak

Perkusi meredup diatas paru-paru yang kollaps

Suara napas berkurang pada sisi yang terkena

Premitus vokal dan raba berkurang

IV. Patofisiologi
Pleura secara anatomis merupakan satu lapis mesoteral, ditunjang oleh jaringan ikat,
pembuluh-pembuluh dara kapiler dan pembuluh getah bening, rongga pleura dibatasi oleh 2
lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis yang melapisi otot-otot dinding dada,
tulang dan kartilago, diapragma dan menyusup kedalam pleura dan tidak sensitif terhadap nyeri.
Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10 - 20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas diantara
kedua lapisan pleura.
Patogenesis pneumotorak spontan sampai sekarang belum jelas
a.

Pneumotorak Spontan Primer


Pneumotorak spontan primer tejadi karena robeknya suatu kantong udara dekat pleura

viseralis. Penelitian secara patologis membuktikan bahwa pasien pneumotorak spontan yang
parunya dipesersi tampak adanya satu atau dua ruang berisi udara dalam bentuk blab dab bulla.
Bulla merupakan suatu kantong yang dibatasi sebagian oleh pleura fibrotik yang menebal
sebagian oleh jaringan fibrosa paru sendiri dan sebagian lagi oleh jaringan paru emfisematus.
Blab terbentuk dari satu alveoli yang pecah melalui suatu jaringan intertisial kedalam lapisan
fibrosa tipis pleura viseralis yang kemudian berkumpul dalam bentuk kista. Mekanisme
pembentukan bulla/blab belum jelas, banyak pendapat mengatakan terjadinya kerusakan bagian
apeks paru akibat tekanan pleura yang lebih negatif. Pada pneumotorak spontan terjadi apa bila
dilihat secara patologis dan radiologis terdapat bulla di apeks paru. Observasi klinik yang
dilakukan pada pasien pneumotorak spontan primer ternyata mendapatkan pneumotorak lebih

banyak dijumpai pada pasien pria berbadan kurus dan tinggi. Kelainan intrinsik jaringan konektif
mempunyai kecenderungan terbentuknya blab atau bulla yang meningkat.
Bleb atau bulla yang pecah masih belum jelas hubungan dengan aktivitas yang berlebihan,
karena pada orang-orang yang tanpa aktivitas (istirahat) juga dapat terjadi pneumotorak.
Pecahnya alveoli juga dikatakan berhubungan dengan
obstruksi check-valve pada salurana napas dapat diakibatkan oleh beberapa sebab antara lain:
infeksi atau infeksi tidak nyata yang menimbulkan suatu penumpukan mukus dalam bronkial.
b. Pneumotorak Spontan Sekunder
Disebutkan bahwa terjadinya pneumotorak ini adalah akibat pecahnya bleb viseralis atau bulla
pneumotorak dan sering berhubungan dengan penyakit paru yhang mendasarinya. Patogenesis
pneumotorak ini umumnya terjadi akibat komplikasi asma, fibrsosis kistik, TB paru, penyakitpenyakit paru infiltra lainnya (misalnya pneumotorak supuratif, pneumonia carinci).
Pneumotorak spontan sekunder lebih serius keadaanya karena adanya penyakit yang
mendasarinya.
V. Komplikasi
Timbulnya infeksi sekunder pada fungsi toraks darurat maupun secara akibat pemasangan WSD
sangat ditakutkan. Infeksi dapat berupa empiema ataupun abses paru (Halim Danusantoso, 2000)
VI. Prognosis
Pneumotorak pada orang dewasa muda prognosisnya sangat baik. Hal ini diakibatkan
karena jaringan parunya sendiri masih cukup baik, kecuali daerah tempat terjadinya kebocoran
dengan terapi yang tepat, kesembuhan yang dicapai selalu sempurna dan kemungkinan kambuh
prkatis kecil sekali, tgerkecuali bila penderita kemudian hari menjadi seorang perokok, juga bila
terapi terhadap penyakit dasarnya (TB) tidak sempurna.
Sebaliknya pneumotorak pada orang dewasa setengah tua atau memang sudah tua, apabila
kalau dia seorang perokok, maka pada sudah ada emfisema paru dengan tekanan udara
intrapulmonal yang tinggi, maka pada keadaan sedemikian kesembuhan dapat disusul dengan
suatu kekambuhan yang bahkan dapat sampai berkali-kali. (Halim Danusantoso, 2000)

VII.

Penatalaksanaan

1. Berikan oksigen konsentrasi tinggi untuk mengatasi hipoksi


2. Ubah menjadi pneumotorak sederhana dengan memasukkan jarum berdasarkan besar
kedalam rongga pleura untuk menghilangkan tekanan.
3. Selang dada dimasukkan untuk membuang udara dan cairan yang tersisa.
(Diane C Baughman, 2000)

Anda mungkin juga menyukai