Anda di halaman 1dari 22

BAB I

LATAR BELAKANG

Merupakan suatu keadaan yang disebabkan iritasi atau penekanan radiks


saraf cervical ditandai dengan adanya nyeri pada leher yang dijalarkan pada bahu
dan lengan sesuai dengan radiks yang terganggu (Emil, 2004). Penyebab adalah
karena adanya proses degenerasi pada vertebra dan discus intervertebralis, contoh
yang sering terjadi adalah spondylosis cervicalis yang sering didapatkan pada pasien
yang berusia lanjut dan merupakan penyebab terbanyak disfungsi medula spinalis
pada pasien yang berusia lebih dari 55 tahun (Rubin, 2007). Spondylosis cervicalis
sendiri dapat bermanifestasi pada banyak hal. Keluhan yang sering didapatkan
adalah nyeri pada daerah leher. Rasa nyeri tersebut dapat menjalar ke bagian bahu
maupun tangan. Apabila sudah terjadi penekanan pada saraf spinal, dapat
mengakibatkan kelemahan pada tangan dan juga kekakuan pada bagian leher.
(Regan, 2010)
Vertebrae cervical yang sering terkena adalah segmen cervical bawah dan
sering didapatkan pada C5-C6 dan C6-C7. Hal ini diakibatkan karena struktur
anatomi dan juga biomekanik pada leher (Susilo, 2010). Vertebrae cervical yang
sering terkena adalah segmen cervical bawah dan sering didapatkan pada C5-C6
dan C6-C7. Hal ini diakibatkan karena struktur anatomi dan juga biomekanik pada
leher (Rana, 2009).
Cervical root syndrome dapat diterapi melalui rehabilitasi medik untuk
meningkatkan fleksibilitas dan kekuatan otot-otot leher, terapi latihan dapat dilakukan
oleh pasien sendiri di rumah dan tidak memerlukan biaya atau bantuan orang lain,
sedangkan terapi modalitas dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri,
meningkatkan metabolisme dan memperbaiki vakularisasi (Cailiet, 1991)

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1

ANATOMI
a. Tulang dan jaringan ikat
Tulang belakang cervical terdiri dari 7 vertebra yang secara
keseluruhan membentuk kurva lordosis bila dilihat dari lateral. Dapat dibagi
menjadi 2 regio, regio atas (C1, C2) dan regio bawah (C3 - C7). Terdapat
perbedaan nyata antara kedua regio tersebut baik secara anatomi maupun
fungsionalnya (Saladin, 2003)
Regio atas
Secara struktural terdapat perbedaan yang jelas antara tulang C 1 (atlas)
dan C2 (axis). Tulang C1 tidak mempunyai corpus vertebra, berbetuk cincin
dengan kedua masa lateral dihubungkan dengan arkus anterior dan
posterior. Sedangkan C2 mempunyai corpus vertebra, arkus anterior yang
menebal ditengah membentuk prosesus odontoid, arkus posterior, dan
prosesus spinosus (Saladin, 2003)

Gambar 2.1 Vertebra Cervicalis 1 dan 2 (Netter, 2006)

Regio bawah
Vertebra Cervical 3, 4, 5 :
2

Mempunyai processus spinosus yang bercabang.


Vertebra Cervical 6 dan 7 :
1) Processus spinosus tidak bercabang dan lebih panjang.
2) Merupakan transisional vertebra, mirip dengan vertebrae thoracal.
3) Permukaan superior konkaf, terdapat processus uncinatus pada tiap sisi
sendinya disebut uncovertebral von Luschka (Saladin, 2003).

Gambar 2.2 Vertebra cervical 4 dan 7


(Anatomy and Physiology Study Blue, 2014)
b. Discus Intervertebralis
1) Pada vertebra cervical lebih kecil
2) Terdiri dari nucleus pulposus, annulus fibrosus, dan 2 cartilaginus end
plate.
3) Lebih tertutup tulang bila dibandingkan dengan vertebra yang lain
(Saladin, 2003).

c. Articulatio
Persendian antara kepala dan vertebra Cervical atas :
1) Articulatio atlantooccipitalis
2) Articulatio atlantoepistrophica
Persendian tiap vertebra cervical, mempunyai 5 buah facies articularis :
3

1) Satu articulatio corpus vertebra yang dipisahkan oleh discus


intervertebralis.
2) Dua sendi uncovertebralis von Luschka yang merupakan sendi palsu
dan tidak dibatasi membrana synovia.
3) Dua articulation facet yang terletak di belakang corpus Oleh karena
bentuk persendian pada cervical seperti Sadel sehingga terjadi gerakan
yaitu : fleksi-ekstensi, lateral-bending, dan rotasi (Cailliet, 1991;
Saladin, 2003).

Gambar 2.3 articulatio Vertebra Cervicalis


(Netter, 2006)

d. Saraf
Saraf yang keluar dari vertebrae Cervical berjumlah 8, dimulai dari C 1
sampai dengan C8. Pada daerah cervical sendiri terdapat dua plexus yakni
plexus cervicalis (C1-C4) dan plexus brachialis (C4-T1). Masing-masing memiliki
miotom dan dermatom berbeda antara lain:

Gambar 2.4 Pleksus Brachialis (Netter, 2006)


Tabel 2.1 Dermatom dan Miotom

(Saladin, 2003)
e. Biomekanik leher
Vertebrae cervical mempunyai fungsi sebagai penopang kepala dan
mempertahankan posisi kepala dan untuk stabilitas dan mobilitas. Gerakan
fleksi ekstensi terjadi pada articulatio atlantooccipitalis, juga bisa terjadi di
antara C1 dan C2. Semua itu dikendalikan oleh otot-otot suboccipital dan
ligamentum atlantooccipital. Gerakan fleksi-ekstensi dan pembatasan lateral
fleksi disebabkan oleh uncovertebral. Bentuk dari corpus yang lebih lebar
pada arah lateral memungkinkan pergerakan fleksi-ekstensi dibanding dengan
lateral-fleksi (Cailliet, 1991; Saladin, 2003).
Pergerakan rotasi pada persendian atlantoaxial seperti fenomena kursi
putar, dengan stabilisasi dan kontrol oleh ligamentum yang membentuk kapsul
persendian atlantoaxial yang bersifat diarthrosis. Bentuk corpus dari C3-C7
yang seperti pelana memungkinkan untuk gerakan miring dan rotasi. Posisi
dari persendian posterior hampir tegak lurus pada bidang sagittal sehingga
memungkinkan rotasi pada bidang horizontal dan lateral bending. Pada
spatium intervertebral C5-C6 terjadi range of motion yang besar pada gerak
fleksi-ekstensi dan kemungkinan menjadi faktor penyebab dalam terjadinya
spondylosis pada bagian ini (Cailliet, 1991; Saladin, 2003).

Range of Motion (R.O.M.) adalah luas gerak yang bisa dilakukan oleh
suatu sendi dengan seluruh kekuatan. Tiap sendi memiliki R.O.M. yang
berbeda-beda yang diukur menggunakan goniometer. Pada bagian cervical
R.O.M normal pada fleksi adalah 70. Pada ekstensi 40. Pada lateral bending
60. Dan pada rotasi 90 (Cailliet, 1991).
2.2

DEFINISI
Cervical Root Syndrome atau Cervical Disc Syndrome merupakan
kumpulan gejala akibat penekanan pada saraf spinal yang sering diakibatkan
oleh proses degenerasi pada vertebrae dan discus intervertebralis pada
daerah leher. Kondisi ini sering diakibatkan oleh spondylosis cervicalis atau
osteoartritis yang terjadi pada vertebrae Cervical (Rubin, 2007).

2.3

EPIDEMIOLOGI
Cervical Root Syndrome sering didapatkan pada orang yang berusia
lebih dari 55 tahun (Rubin, 2007). Penderita Cervical Root Syndrome ini
sendiri diperkirakan antara 85 per 100.000 orang di Amerika Serikat (Abbed,
2007). Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Makela dan rekan, nyeri
leher dialami oleh 9,5% laki-laki dan 13,5% perempuan (Malanga, 2009).
Meskipun insidennya tinggi dan terlihat dengan pemeriksaan radiologi namun
sering tidak menunjukan gejala atau keluhan (asimptomatis) (Susilo, 2010).

2.4

ETIOLOGI
Kerusakan dapat terjadi sebagai akibat penekanan material diskus
yang mengalami ruptur, adanya perubahan degeneratif pada tulang, arthritis
atau cedera lain yang memberi tekanan pada akar saraf. Pada usia paruh
baya, perubahan degeneratif pada diskus dapat menyebabkan tekanan pada
radix saraf. Pada usia muda, radiculopathy cervical cenderung terjadi karena
rupturnya diskus sebagai akibat dari trauma. Material diskus kemudian
menekan akar saraf dan menyebabkan rasa sakit (Eubanks, 2010).

2.5

FAKTOR RESIKO
a. Genetik
7

Didapatkan faktor familial pada penderita cervical root syndrome, sehingga


faktor genetik diperkirakan memiliki peran dalam terjadinya penyakit ini.
(Regan, 2010)
b. Umur
Berbagai sumber menyatakan adanya hubungan antara bertambahnya usia
dengan angka kejadian dari Cervical Root Syndrome. Spondylosis cervicalis
lebih sering ditemukan pada usia di atas 40 tahun dibanding usia di bawah 40
tahun dan insiden tertinggi terjadi pada usia lebih dari 55 tahun. Proses
degenerasi pada vertebrae dan discus intervertebral merupakan
penyebabnya, dimana bertambahnya usia berbanding lurus dengan
berjalannya proses degenerasi. (Regan, 2010)
c. Jenis Kelamin
Terdapat penelitian dimana laki-laki lebih cepat mengalami proses degenerasi
bila dibandingkan dengan perempuan. Pada laki-laki terkadang didapatkan
mulainya proses degenerasi pada usia 30 tahun, sedangkan pada wanita
biasanya dimulai pada usia 40 tahun. Tetapi dari jumlah penderita tidak
didapatkan perbedaan yang signifikan, dimana perbandingan jumlah penderita
cervical root syndrome antara pria dan wanita adalah 1:1. (Regan, 2010)
d. Trauma
Trauma akibat kecelakaan merupakan faktor risiko cervical root syndrome.
Selain itu cervical root syndrome dapat juga disebabkan proses wear and
tear, yaitu proses penggunaan sendi terus menerus yang akan menyebabkan
degenerasi pada sendi (Susilo, 2010).
e. Pekerjaan
Pekerjaan dapat menyebabkan trauma berulang seperti mengangkat beban
berat pada kuli dan gerakan berlebihan pada penari profesional merupakan
faktor risiko cervical root syndrome. Keadaan lain yang dapat ditemukan
seperti pada pekerjaan yang menggunakan komputer dalam waktu yang
cukup lama dan penjahit pakaian. Hal ini akan menyebabkan postur tubuh
yang kurang baik sehingga menyebabkan peningkatan beban tubuh ke bagian
cervical (Cailliet, 1991).

2.6

PATOFISIOLOGI

Discus intervertebralis terdiri dari nucleus pulposus yang merupakan


jaringan elastis dikelilingi oleh annulus fibrosus dan terbentuk oleh jaringan
fibrosus. Kandungan air dalam nucleus pulposus tinggi, tetapi semakin tua
umur seseorang kadar air dalam nucleus pulposus semakin berkurang
terutama setelah seseorang berumur 40 tahun, bersamaan dengan itu terjadi
perubahan degenerasi pada begian pusat discus, akibatnya discus akan
menjadi tipis, sehingga jarak antara vertebrae yang berdekatan mejadi kecil
dan ruangan discus menjadi sempit. Selanjutnya annulus fibrosus mengalami
penekanan dan menonjol keluar. Penonjolan bagian discus ini akan
menyebabkan jaringan sekitarnya seperti corpus vertebrae yang berbatasan
dengannya akan mengalami suatu perubahan. Perubahannya yang terjadi
adalah terbentuknya jaringan ikat baru yang disebut osteofit. Kombinasi antara
menipisnya discus yang menyebabkan penyempitan ruangan discus dan
timbulnya osteofit akan mempersempit diameter kanalis spinalis. Pada kondisi
normal diameter kanalis spinalis adalah 17 mm sampai 18 mm. Tetapi pada
kondisi CRS, kanalis ini menyempit dengan diameter pada umumnya antara 9
mm sampai 10 mm. Pada keadaan normal, akar-akar saraf akan menempati
seperempat sampai seperlima, sedangkan sisanya akan diisi penuh oleh
jaringan lain sehingga tidak ada ruang yang tersisa. Bila foramen
intervertebralis ini menyempit akibat adanya osteofit, maka akar-akar saraf
yang ada didalamnya akan tertekan. Saraf yang tertekan ini mula-mula akan
membengkok. Perubahan ini menyebabkan akar-akar saraf tersebut terikat
pada dinding foramen intervertebralis sehingga mengganggu peredaran
darah. Selanjutnya kepekaan saraf akan terus meningkat terhadap
penekanan, yang akhirnya akar-akar saraf kehilangan sifat fisiologisnya.
Penekanan akan menimbutkan rasa nyeri di sepanjang daerah yang
mendapatkan persarafan dari akar saraf tersebut (Susilo, 2010)

2.7

TANDA DAN GEJALA


a. Nyeri Leher
Gejala utama biasanya berupa nyeri pada bagian belakang leher atau daerah
sekitarnya (trapezius). Timbulnya nyeri terjadi perlahan-lahan walaupun
terkadang timbul mendadak. Rasa nyeri sendiri biasanya bersifat kronik dan
terjadi ketika ada aktivitas yang berat atau keadaan umum yang menurun.
Terkadang rasa nyeri menjalar ke bahu atau lengan atas dan juga dapat
9

mengenai daerah cervical atas yang menyebabkan nyeri occipital. (Cailliet,


1991).
b. Kaku Leher (Stiffness)
Kaku leher dimulai pada pagi hari dan bertambah berat dengan adanya
aktivitas. Gerakan leher menjadi terbatas dan terkadang disertai dengan
krepitasi dan nyeri. (Cailliet, 1991)
c. Gejala Radikuler
Tergantung pada radix saraf yang terkena oleh spur atau iritasi oleh synovitis
dari facet sendiri dan biasanya bersifat unilateral. Pasien mengeluh adanya
paresthesia numbness dan jarang disertai nyeri. Paresthesia numbness
sendiri tergantung pada bagian vertebrae Cervical mana yang mengalami
spondylosis, dan memiliki manifestasi yang berbeda-beda (Susilo, 2010) .
d. Parese
Jarang didapatkan parese kecuali bila terdapat penekanan yang hebat pada
radix saraf atau medulla spinalis yang menyebabkan terjadinya myelopati
(Susilo, 2010).
e. Gejala-gejala lain
Pada sedikit kasus dapat disertai dengan penekanan mendadak pada a.
vertebralis yang bisa mengakibatkan nyeri kepala, vertigo dan tinnitus.
(Cailliet, 1991).
2.8

DIAGNOSIS
A. Anamnesa
1. Nyeri dan kaku di belakang leher dan sekitarnya
2. Rasa nyeri dan tebal yang menjalar ke bahu dan lengan
3. kelemahan pada lengan dengan keluhan tidak mampu untuk menyisir
rambut, memasang bra, atau untuk mengambil dompet dalam saku.
4. Iritasi pada akar saraf keenam dan ketujuh dapat menyebabkan nyeri
pada bahu, lengan, lengan bawah, pergelangan tangan, dada dan mati
rasa serta kesemutan pada telunjuk, jari tengah dan jari manis (Jackson,
2010).

B. Pemeriksaan Fisik
1. Inspeksi
Perhatikan sikap tubuh pasien saat menanyakan riwayat penyakit,
bagaimana posisi kepala dan leher selama wawancara biasanya pasien
10

menekukan kepala menjauhi sisi yang cedera dan leher terlihat kaku.
Gerak leher ke segala arah menjadi terbatas, baik yang mendekati
maupun menjauhi sisi cedera (Noerjanto, 1996).
2. Palpasi
- Nyeri tekan di bagian belakang leher
- Spasme otot-otot leher
- Pemeriksaan ROM leher terbatas dan nyeri terutama pada
-

gerakan lateral bending dan rotasi


Dapat terjadi defisit sensoris dan hiporeflexia. Jarang ditemukan

parese dan atrofi otot (Cailiet 1991).


C. Pemeriksaan neurologi
1. Pemeriksaan fungsi motorik
Pemeriksaan fungsi motorik sangat penting untuk menentukan tingkat
radiks servikal yang terkena sesuai dengan distribusi mytomal. Sebagai
contoh: kelemahan pada abduksi pundak menunjukan radikulopati C 5.
Kelemahan pada fleksi siku dan ekstensi pergelangan tangan
menunjukan radikulopati C7 dan kelemahan pada ekstensi ibu jari dan
deviasi ulnar dan pergelangan tangan menunjukan radikulopati C 8.
Pemeriksaan reflex tendon membantu menentukan tingkat radiks yang
terkena, seperti reflek bisep mewakili tingkat radiks C 5-6, reflex bisep
mewakili tingkat radiks C7-8.
2. Pemeriksaan fungsi sensori.
Pemeriksaan fungsi sensori dilakukan bila ada gangguan sensorik.
Namun seringkali gangguan sensorik tidak sesuai dermatomal atlas
anatomi. Hal ini disebabkan adanya daerah persyarafan yang tumpang
tindih satu sama lain. Pemeriksaan ini juga menunjukan tingkat
subyektifitas yang tinggi (Noerjanto, 1996).

D. Pemeriksaan khusus (Tes Provokasi)


1. Tes Spurling
Tes spurling atau tes kompresi foraminal, dilakukan dengan cara posisi
leher diekstensikan dan kepala dirotasikan ke salah satu sisi, kemudian
berikan tekanan ke bawah pada puncak kepala. Hasil positif bila
terdapat nyeri radikuler kearah ekstremitas ipsilateral sesuai arah rotasi
kepala. Pemeriksaan ini spesifik namun tidak sensitif guna mendeteksi
adanya radikulopati servikal. (Tejo, 2009)

11

Gambar 2.5 Tes Spurling


(http://s0ftpedia.pw/files/spurling%20test&id=mix)
2. Tes Lhermitte
Penderita disuruh duduk kemudian oleh pemeriksa dilakukan kompresi
pada kepala dalam berbagai posisi (miring kiri, miring kanan, tengadah,
menunduk). Hasil tes dinyatakan positif bila pada penekanan dirasa
adanya nyeri yang dijalarkan (Tejo, 2009).

Gambar 2.6 Tes Lhermitte


(Tejo, 2009)
3. Tes Distraksi Kepala
Distraksi kepala akan menghilangkan nyeri yang diakibatkan oleh
kompresi terhadap radiks syaraf (Tejo, 2009)

Gambar 2.7 Tes Distraksi Kepala


(Tejo, 2009)
12

4. Tes Valsava
Dengan tes ini, tekanan intrakranial dinaikkan, bila terdapat proses
desak ruang di kanalis vertebralis bagian cervical, maka dengan
dinaikkannya tekanan intratekal akan membangkitkan nyeri radikuler.
Nyeri syaraf ini sesuai dengan tingkat proses patologis di kanalis
vertebralis bagian cervical. Cara meningkatkan tekanan intratekal
menurut valsava ini adalah pasien disuruh mengejan sewaktu ia
menahan nafasnya. Hasil positif bila timbul nyeri radikuler yang
berpangkal di leher menjalar ke lengan (Tejo, 2009)

Gambar 2.8 Tes Valsava


(Tejo, 2009)

5. Tes Nafziger
Dilakukan pada posisi berbaring atau berdiri dengan menekan vena
jugularis dengan kedua tangan pemeriksa sementara pasien mengejan,
akan terjadi peningkatan tekanan intracranial yang akan diteruskan
sepanjang rongga arachnoidal medulla spinalis. Adanya proses desak
ruang kanalis vertebralis akan menimbulkan nyeri radikuler (Tejo,
2009).
E. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan radiografi cervical
Foto polos cervical biasanya rutin dilakukan pada pasien dengan
cervical root syndrome dengan kecurigaan spondilosis servikalis. Untuk
keperluan tersebut maka foto dibuat dengan berbagai proyeksi anteriopostrior, lateral, obliq kanan-kiri. Pada pemeriksaan ini dinilai keadaan
tulang, foramen, diskus, adanya spur hingga dapat ditentukan tingkat
spondilosis.
2. MRI

13

Salah satu prosedur untuk mendiagnosis cervical spondylosis,


keuntungannya dapat memberikan gambaran dalam bermacam
potongan, tidak invasif, dan dapat mengidentifikasi kompresi radiks
spinal.
3. EMG
Untuk menilai lokasi radiks yang terlibat (Emil, 2004).
2.9 Penatalaksanaan
A. Medikamentosa
Pemberian obat NSAID (Anti Inflamasi Non Steroid) dan muscle
relaxant untuk menghilangkan rasa nyeri. Bila terdapat gejala radikuler
bisa disertai dengan pemberian kortikosteroid oral. Bila nyeri dirasa
sangat mengganggu bisa ditambahkan opioid dengan beberapa
ketentuan (Susilo, 2010).
B. Non Medikamentosa
1. Memperbaiki postur fisiologis
Mengurangi forward-head posture
Mengurangi lordosis yang berlebihan
2. Rehabilitasi medik
a. Fisioterapi
Terapi Modalitas
o Traksi cervical
Traksi leher pada posisi supinasi dengan sudut leher, beban dan
durasi dari traksi disesuaikan dengan toleransi dan respon dari
pasien. Tujuan dari traksi adalah untuk mengembalikan posisi
vertebra. Indikasi dilakukan traksi leher adalah adanya osteoartritis
dan penyakit degeneratif pada discus intervertebralis. Kontraindikasi
antara lain bila terdapat neoplasma dan lesi post-trauma. Pada
penderita spondylosis cervical biasa diberikan terapi dengan beban
10-20 lbs yang dilakukan 2-3 kali sehari selama 15 menit (Susilo,
2010) .
o Terapi panas dan terapi dingin
Terapi modalitas bertujuan untuk mengurangi rasa nyeri (Susilo,
2010). Terapi modalitas yang biasa digunakan adalah:
a) SWD (Short Wave Diathermy) adalah elektroterapi yang bekerja
dengan menaikan temperatur pada jaringan menggunakan
gelombang frekuensi tinggi. Frekuensinya 27,12 MHz dan
panjang gelombangnya 11 meter. SWD memiliki beberapa fungsi
antara lain meningkatkan metabolisme, meningkatkan sirkulasi
darah, mengurangi kontraksi otot. SWD juga akan menurunkan
14

rasa nyeri, meningkatkan elastisitas dan oksigenasi jaringan.


(Malanga, 2010).
Terdapat dua macam SWD, yang pertama adalah tipe
kontinu dimana akan didapatkan pemberian panas secara terus
menerus dari alat, dan kedua yakni pulsed mode yang
memberikan jeda dalam tiap pemanasan. Cara yang kedua akan
meningkatkan efek non-thermal. Pemberian SWD akan
mengembalikan potensial membran ke tingkat semula, dimana
pada inflamasi potensial membran suatu sel akan turun sehingga
fungsinya terganggu. Selain itu juga SWD akan mengembalikan
keseimbangan dan transpor ion di membran sel (Susilo, 2010).
SWD diberikan pada inflamasi kronik, dan biasanya mulai
diberikan terapi maksimal satu minggu setelah mulainya proses
peradangan. Indikasi diberikannya SWD adalah inflamasi dan
juga proses degenarasi, baik pada spondylosis cervical,
osteoarthritis lutut, sprain ligament pada tumit, dan juga pada
sinusitis. Kontraindikasi SWD misalnya tumor ganas, inflamasi
akut, pengguna pacu jantung, perdarahan dan demam tinggi.
Lama pemberian SWD 5-30 menit tergantung derajat
penyakitnya. (Malanga, 2010)
b) TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) adalah
terapi modalitas yang tidak invasif dan tidak adiktif. TENS adalah
salah satu elektroterapi yang paling sering digunakan sebagai
analgesia atau penghilang rasa sakit. Metode yang dilakukan
pada TENS adalah pemberian arus listrik ke saraf dan
menghasilkan panas untuk mengurangi kekakuan, meningkatkan
mobilitas dan menghilangkan nyeri. Peralatan TENS terdiri dari
stimulator bertenagakan baterai dan elektroda yang ditempelkan
pada bagian yang akan diberikan terapi. Selain itu TENS bisa
dikombinasikan dengan steroid topikal untuk pengobatan rasa
nyeri yang dinamakan dengan Iontoforesis (Susilo, 2010).
Mekanisme kerja dari TENS adalah dengan pengaturan
neuromodulasi seperti penghambatan pre sinaps pada medulla
spinalis, pelepasan endorfin yang merupakan analgesia alami
dalam tubuh dan penghambatan langsung pada saraf yang
15

terangsang secara abnormal. Mekanisme analgesia TENS


adalah stimulasi elektrik akan mengurangi nyeri dengan
penghambatan nosiseptif pada pre sinaps. Indikasi dilakukan
TENS adalah rasa nyeri tidak berat, dismenore dan
inkontinensia. Kontraindikasinya antara lain pasien penggunan
pacu jantung, defisit neurologis dan pada pasien yang
mengandung (Susilo, 2010).
Terapi Latihan
Pada penderita Cervical Root Syndrome akan didapatkan nyeri,
kekakuan dan keterbatasan ruang gerak sendi akibat dari penekanan
radix saraf. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya kelemahan otot
yang berujung pada postur yang buruk. Postur yang buruk akan
memperberat perjalanan penyakit ini. (Regan, 2010)
Terapi latihan bertujuan untuk :
a. Mengurangi rasa nyeri
b. Mengurangi lordosis cervical
c. Memperbaiki kekuatan otot
d. Meningkatkan postur pada ADL
e. Mempertahankan fleksibilitas atau rentang sendi (R.O.M)
Terapi Latihan juga akan membantu proses pengurangan rasa
nyeri selain mengembalikan keadaan pasien ke kondisi normalnya.
Pada keadaan nyeri, pasien akan cenderung untuk tidak
menggerakan kepala. Hal ini dapat menyebabkan spasme otot leher
yang lama-kelamaan akan menyebabkan atrofi otot. Atrofi otot akan
menambah rasa nyeri pada pasien Cervical Root Syndrome karena
otot leher akan mengalami penurunan fungsinya dalam
mempertahankan posisi kepala (Susilo, 2010).
Terapi Latihan dapat berupa :
a) Latihan penguatan otot leher
Latihan penguatan otot dilakukan secara isotmetrik, yakni
melawan tahanan yang tidak bergerak atau dengan mempertahankan
leher pada posisi statik. Latihan isometrik cervical ini dilakukan secara
self resistance pada posisi duduk.
(1) Fleksi
16

Pasien meletakkan ke dua tangan dan menekan dahi dengan


telapak tangan, kemudian kepala melakukan gerakan fleksi
(mengangguk) tetapi ditahan dengan tangan agar tidak terjadi
gerakan.
(2) Lateral Bending
Pasien menekan dengan tangan pada sisi lateral kepala dan
mecoba untuk lateral fleksi kepala, tahanan diberikan pada
telinga dan bahu, di usahakan tidak terjadi gerakan.
(3) Ekstensi axial
Pasien menekan belakang kepala dengan kedua tangan dimana
tahanan diberikan pada belakang kepala dekat puncak kepala.
(4) Rotasi
Pasien menekan dengan satu tangan menahan pada daerah
atas dan lateral dari mata dan mencoba memutar kepala (rotasi)
tetapi tetap ditahan agar tidak terjadi gerakan. (Cailliet, 1991)
Preskripsi untuk latihan kekuatan sebagai berikut (Susilo,
2010) :
a) Intensitas (beban) : 100% dari kontraksi maksimum
b) Durasi : 5 detik tiap kontraksi
c) Repetisi : 5-10 kontraksi
d) Frekuensi : 5 hari tiap minggu
e) Lama program : 4 minggu atau lebih
Kerugian latihan ini adalah terjadinya peningkatan tekanan
darah, disebabkan peningkatan denyut jantung tanpa perubahan
perifer umum. Pada penderita penyakit jantung, latihan isometrik
dapat menyebabkan timbulnya disaritmia ventrikel (Susilo,
2010).
b) Latihan fleksibilitas / stretching otot leher
Bila terdapat rasa tidak enak akibat postur yang buruk atau
adanya spasme otot, maka R.O.M aktif akan membantu
menghilangkan stress pada struktur leher dan memperbaiki sirkulasi.
Tujuan dari latihan stretching pada otot leher adalah menambah
fleksibilitas dalam fleksi, ekstensi, rotasi dan lateral fleksi secara aktif.
(Cailliet, 1991)
17

Semua gerakan dilakukan perlahan sampai full R.O.M dan


dilakukan beberapa kali. Posisi pasien duduk dengan leher tergantung
secara rileks pada kursi atau berdiri rileks. Setelah itu pasien di minta
untuk :
(1) Menekuk leher ke depan dan belakang.
(2) Menekuk kepala ke lateral kanan dan kiri, merotasikan kepala
pada masing-masing sisi.
(3) Putar bahu, elevasi, retraksi, kemudian relaks dari scapula.
(4) Putar secara melingkar lengan mengelilingi bahu. Dikerjakan
dengan siku fleksi dan ekstensi, menggunakan gerakan sirkuler yang
luas maupun kecil. Posisi lengan ke depan atau agak menyamping.
Gerakan searah maupun berlawanan jarum jam harus digerakkan
karena membantu dalam latihan postur yang benar. Sendi harus
digerakkan secara penuh setidaknya 2-3 kali sehari. (Cailliet, 1991)
c) Latihan postur
Postur yang buruk akan menambah lordosis cervical dan
penambahan beban yang berlebih pada leher. Postur yang dimaksud
salah satunya adalah forward-head posture. Postur yang tidak tepat ini
juga berpengaruh pada penekanan annulus fibrosus dan
menyebabkan penyempitan foramen intervertebrale sehingga terjadi
iritasi pada saraf bagian cervical. (Cailliet, 1991)
Latihan postur sangat membutuhkan kesadaran dalam
melakukan latihan yang teratur. Yang dilakukan adalah melakukan
teknik relaksasi otot dan stretching untuk mengembalikan ROM
normal.

Pada ADL juga harus dievaluasi untuk mencegah posisi

yang memperburuk kondisi cervical serta dilakukan edukasi :


(1) Cara mengangkat barang dengan lutut fleksi.
(2) Hindari hiperekstensi leher dan forward-head posture yang terlalu
lama dan berlebihan.
(3) Perbaiki lingkungan pekerjaan penderita seperti kursi dan meja
yang kurang sesuai ukuran tingginya, lingkungan tidur seperti bantal
yang sesuai tingginya dan matras untuk membantu relaksasi otot
(Susilo, 2010) .
Ortesa
18

Pemasangan cervical colar bertujuan untuk proses imobilisasi serta


mengurangi kompresi pada radiks saraf. Salah satu jenis collar yang
banyak digunakan adalah SOMI (sterna occipital mandibular immobilizer)
brace, digunakan terus menerus selama 1 minggu, diubah secara
intermitten pada minggu ke dua. Harus diingat bahwa imobilisasi hanya
bersifat sementara dan harus dihindari akibatnya yaitu berupa atrofi otot
dan kontraktur. Hilangnya nyeri, hilangnya tanda spurling, dan perbaikan
deficit motorik dapat dijadikan indikasi untuk melepas collar (Turana,
1995).

2.10
DIAGNOSA BANDING
1. Sindroma Thoracic Outlet
2. Carpal Tunnel Syndrome (Cailliet, 1991)
2.11
KOMPLIKASI
Komplikasi-komplikasi yang dapat timbul antara lain atrofi otot-otot leher dan
lengna serta ketidakmampuan tangan untuk melakukan aktifitas (Sidharta,1984).
2.12

PROGNOSIS

Prognosis cervical root syndrome umumnya baik, namun sering terjadi


kekambuhan gejala (Sidharta, 1984).

19

20

DAFTAR PUSTAKA
Anatomy and Physiology. 2014. Study Blue
(http://www.studyblue.com/notes/note/n/anatomy--physiology-/deck/4113566)
Cailliet, Rene. 1990. Neck and Arm Pain ; F.A Davis Company, Callifornia.
Emil R. 2004. Sindroma servikal. Semarang: FK UNDIP.
Eubanks, J. cervical radiculopathy. National Institute of Neurological Disorders and
Stroke. American Family Physician, Jan. 1, 2010. University of Maryland
School of Medicine: Maryland Spine Center.

http://s0ftpedia.pw/files/spurling%20test&id=mix

Jackson, Ruth. 2010. The Classic: The cervical root syndrome. Scranton, IA USA

Malanga G. 2009. Cervical Radiculopathy Clinical Presentation.


(http://emedicine.medscape.com/article/94118-clinical#showall)
Noerjanto M. 1996. Nyeri tengkuk. Dalam: Hardinoto S, Setiawan Soetedjo. Nyeri
pengenalan dan tatalaksana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
Netter, Frank H. 2006. Atlas Of Human Anatomy. 4th edition. Elsevier: Pensylvania,
USA.
Regan, John J. 2010. Spondylosis cervical. SpineUniverse
Rubin, 2007. Neck pain. Mayo clinic, California
Saladin. 2003. Anatomy and physiology: The Unity Of Form and Function. 3 rd Ed.
New York: McGraw-Hill Companies
Sidharta, Priguna1984 ; Neurologi klinis dan Pemeriksaan ; Cetakan pertama, p.t
Dian Rakyat, Jakarta.
Susilo, Wahyu Agung. 2010. Pengaruh terapi modalitas dan terapi latihan terhadap
penurunan rasa nyeri pada cervical root syndrome di RSUD dr Moerwadi. FK
Universitas Muhamadiyah, Surakarta.
Tejo B. 2009. Cervical root syndrome. Universitas Diponegoro, Semarang.
21

Turana Y.1995. Pendekatan Diagnosa Dan Tatalaksana pada radikulopati servikal.


Jakarta: FKUI.

22

Anda mungkin juga menyukai