Anda di halaman 1dari 9

KERANGKA ACUAN

RISET

WTO MINISTERIAL
MEETING 2013 (MC9)
sistem perdagangan multilateral dan gestur
penataan dunia di tengah krisis global

TIM Kajian
Men yambut wto ministerial meeting 2013

LATAR BELAKANG
In the situation where crisis is still hampering the global economy,
Indonesia continues to believe that the multilateral trading system
has a significant role in fostering a fair global trade, sustaining the

..
..
..
. economic growth, eradicating poverty and creating job
world .
.
opportunities... In this regard, the next MC9 will therefore be very
important to re-energize the negotiation process and the process
achieved so far, and to strengthen the multilateral trading system.
Finally, Indonesia fervently hopes that the exotic ambiance of the
land of the gods and goddess, the warm weather and the hospitality
of the people of Bali, will rejuvenate and renew the constructive
spirit of the Doha Development Agenda negotiation in the WTO 1

Demikian pernyataan delegasi Indonesia yang menjadi latar belakang


bagi kind offer, sebuah tawaran baik hati dari pemerintah Indonesia
untuk menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Menteri Organisasi
Perdagangan Dunia yang kesembilan (the ninth WTO Ministerial
Conference/MC9), pada Desember 2013 mendatang. Tawaran ini
disambut positif dalam the WTO General Council Meeting di bulan Juli
silam, yang tidak hanya dipandang sebagai wujud kebaikan hati
Indonesia untuk menjadi tuan rumah bagi MC9, tetapi lebih dari itu,
sebagai tanda komitmen kuat Indonesia kepada WTO.2
MC9 ini, tidak dapat dipandang sebagai sekedar pertemuan tingkat
menteri yang biasa, yang rutin diselenggarakan di dalam WTO, yang
atas kebaikan hati Indonesia, akan diselenggarakan di Bali pada
tahun
2013.
Terkandung
beragam
paradoks
yang
dapat
memperlihatkan permasalahan dalam tatanan dunia dan bekerjanya
kekuasaan global di balik penyelenggaraan MC9 ini. Pertama,
Konferensi
Tingkat
Menteri
WTO
kesembilan
yang
akan
diselenggarakan di Bali pada Desember 2013 ini merupakan konferensi
pertama yang diadakan di luar Jenewa, setelah protes besar-besar dari
gerakan sosial terhadap Konferensi Tingkat Menteri WTO yang keenam
di Hong Kong pada tahun 2005. Aksi protes yang dilakukan oleh ribuan
aktivis dari berbagai belahan dunia dalam MC6 Hong Kong 2005,
berujung pada pembubaran paksa dan penangkapan aktivitis oleh
Kepolisian Hong Kong. Pasca protes di Hong Kong, Konferensi Tingkat
Menteri WTO yang ketujuh dan kedelapan (MC7 dan MC8)
diselenggarakan di Jenewa pada tahun 2009 dan 2011.

1 WTO Sets Date for Inter-Ministerial Meeting in Bali, The Jakarta Globe,
accessed December 19, 2012, http://www.thejakartaglobe.com/news/wto-setsdate-for-inter-ministerial-meeting-in-bali/533288. Lihat juga, WTO agrees to
hold 9th Ministerial Conference in Bali, Indonesia, The World Trade
Organization official website, accessed January 2, 2013,
http://www.wto.org/english/news_e/news12_e/gc_26jul12_e.htm.
2 Ketua WTO General Council Ambassador, Elin Johansen berterima kasih atas
tawaran baik dari Indonesia ini dan menyatakan, a clear sign of its
commitment toward this organization. Elin Johansen, Statement by the
Chairperson of the General Council Ambassador Elin Ostebo Johansen, The
World Trade Organization official website, mp3 audio format, accessed
December 19, 2012,
http://www.wto.org/english/thewto_e/minist_e/minist_e.htm.

..
..
..
.tujuh tahun, untuk pertama kalinya Konferensi WTO akan
Berselang .
.
digelar kembali di luar Jenewa. Menjadi sebuah paradoks ketika
penyelenggaran konferensi di luar Jenewa ini akan dilakukan pada
sebuah era di mana terjadi kebangkitan kembali gerakan perlawanan
rakyat, mulai dari Arab Spring sampai kepada gerakan Occupy Wall
Street. Sebuah masa yang disebut oleh iek sebagai The Year of
Dreaming Dangerously.3 Sementara itu, pertemuan WTO telah menjadi
ibarat sebuah titik temu protes bagi para akvitivis dari berbagai isu
terhadap organisasi yang menjadi biang dari berbagai permasalahan
masyarakat dunia, mulai dari kemiskinan dan sampai kepada kerusakan
lingkungan.4
Kedua, terlepas dari kritik keras yang disuarakan oleh gerakan sosial
terhadap sistem perdagangan multilateral di bawah kerangka WTO,
pemerintah negara-negara anggotanya tetap berkeyakinan kuat akan
manfaat dari sistem perdagangan multilateral yang dibangun melalui
WTO, tidak hanya dalam meningkatkan kesejahteraan, namun juga
diyakini sebagai solusi untuk mengatasi krisis perekonomian global.
Setidaknya terdapat enam poin kritik yang diajukan gerakan protes
terhadap WTO dalam menata sistem perdagangan multilateral. WTO
dinilai sebagai sebuah organisasi yang mendorong terciptanya tatanan
dunia yang anti terhadap kaum miskin (anti-poor). Globalisasi yang
didorong oleh WTO telah meningkatkan ketimpangan global lebih besar
ketimbang era sebelumnya. Ketimpangan pendapatan di antara 20
persen populasi dunia tingkat atas dengan the bottom fifth telah
mengalami peningkatan dua kali lipat.5 Gerakan protes juga
melayangkan kritik terhadap WTO dikarenakan keberadaannya telah
menjadi lembaga supranasional yang mengancam kedaulatan negara,
khususnya negara-negara berkembang. Keberadaan WTO dikritik
sebagai lembaga pemerintahan yang ditopang oleh korporasi, yang
sifatnya tidak demokratis dan tidak bertanggung jawab, yang telah
menggantikan posisi pemerintah nasional serta merenggut otonomi
dalam menjalankan pembangunan.6 Selain itu, WTO juga menjadi
sasaran kritik atas dasar penyebaran liberalisasi perdagangan (free
trade) yang dinilai oleh gerakan sosial tidak sama dengan fair trade,
sebagai wujud rekolonisasi pertanian negara-negara Dunia Ketiga,
mendorong kenaikan harga obat-obatan yang esensial, dan lebih
melayani kepentingan korporasi ketimbang rakyat. 7Demikianlah kritik
3 Sebuah masa di mana mimpi-mimpi pembebasan (emansipatoris)
menggerakan protes rakyat di berbagai belahan dunia, New York, Tahrir
Square, London dan Athena. Slavoj iek, The Year of Dreaming Dangerously
(London & New York: Verso, 2012), 1.
4 Sebelum protes Hong Kong, pada tahun 1999 ribuan aktivis menentang
pertemuan WTO di Seattle Amerika Serikat, yang berujung pada kerusuhan
yang dikenal dengan peristiwa Battle in Seattle.
5 Monika Srivastava, WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round, India
Quarterly: A Journal of International Affairs 63 (2007): 96-120.
6 Monika Srivastava, WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round, 96-120.
7 Monika Srivastava, WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round, 96-120.

yang dilontarkan oleh gerakan sosial terhadap WTO yang tidak hanya
mencerminkan skeptisisme terhadap sistem perdagangan multilateral
(meskipun kritik-kritik tersebut tetap harus ditinjau kembali dalam
kerangka yang lebih menekankan pada bekerjanya kekuasaan dalam
tatanan dunia), namun juga dampak dari sistem perdagangan
multilateral yang bersifat eksploitatif. Akan tetapi, sistem perdagangan
multilateral yang dibangun melalui WTO tetap diyakini oleh pemerintah
negara-negara anggotanya akan membawa manfaat positif bagi
perekonomian dunia, setidaknya keyakinan inilah yang melandasi
kebaikan hati pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan rumah MC9
WTO di bulan Desember mendatang.
Ketiga, mandegnya negosiasi Putaran Pembangunan Doha (Doha
Development Round) sejak tahun 2006, menjadi cerminan bagaimana
pembangunan sistem perdagangan berbasis perdagangan bebas pada
level multilateral banyak mendapatkan hambatan. Banyak ahli yang
menilai kemandegan Putaran Doha sebagai wujud perkembangan yang
positif bagi negara-negara berkembang, terutama terkait dengan
ketimpangan posisi dan dampak negatif yang harus ditanggung oleh
negara-negara berkembang di dalam negosiasinya.8Akan tetapi,
meskipun negara-negara berkembang dapat bertarung di dalam
negosiasi WTO, mereka justru berada dalam posisi terjepit dalam
berhadapan dengan agenda perdagangan bebas di tingkat kawasan dan
bilateral (regional trade arrangements, RTA &bilateral free trade
agreement, FTAs), yang bahkan meliputi beragam bentuk kesepakatan
yang telah berhasil mereka hindari di dalam WTO. 9 Alhasil, terutama
pasca mandegnya Putaran Doha, kesepakatan perdagangan bebas baik
dalam skema regional maupun bilateral mengalami proliferasi yang
sangat cepat. Sampai dengan 10 Januari 2013, tercatat sebanyak 546
kesepakatan perdagangan regional (RTAs) yang telah dilaporkan ke
WTO.10 Dari jumlah tersebut, 354 kesepakatan telah memasuki fase
implementasi.11 Dengan demikian, bisa dikatakan bahwa skema
regional dan bilateral merupakan manifestasi pergeseran strategi
liberalisasi perdagangan yang mengalami kemandegan pada level
multilateral, sebuah back-up plan bagi gagalnya Putaran Doha.
Salah satu semangat utama dari MC9 adalah untuk membangkitkan dan
menghidupkan kembali negosiasi Putaran Pembangunan Doha yang
selama bertahun-tahun mengalami kemandegan. Sebuah gejala menarik
dapat dicermati dalam penataan perdagangan dunia yang mencoba
untuk menarik kembali liberalisasi perdagangan pada skema
8 Monika Srivastava, WTO, RTAs and the Collapse of Doha Round, 96-120.
9 Bhagirath Lal Das, Multitude of Mini WTOs Economic and Political Weekly,
October 29, 2006.
10 Regional Trade Agreements, The World Trade Organization official
website,accessed January 2,
2013,http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm.
11 Regional Trade Agreements, The World Trade Organization official
website,accessed January 2,
2013,http://www.wto.org/english/tratop_e/region_e/region_e.htm.

..
..
..
.. di tengah maraknya RTAs dan FTAs. Paradoks utama
multilateral
.
terkandung dalam keputusan pemerintah Indonesia untuk menjadi tuan
rumah MC9. Di satu sisi, Indonesia merupakan bagian dari kelompok
negara berkembang yang berada dalam posisi yang dirugikan dalam
negosiasi WTO khususnya Putaran Uruguay dan Doha. Selain itu,
Indonesia juga merupakan negara yang sangat aktif dalam menyepakati
perdagangan bebas baik dalam skema regional ataupun bilteral. Di sisi
lain, secara eksplisit, keyakinan akan manfaat dari WTO dan semangat
Putaran Doha merupakan landasan bagi Indonesia dalam menawarkan
diri untuk menjadi tuan rumah MC9, yang merupakan ranah
pertarungan tidak seimbang terutama bagi negara-negara berkembang,
yang juga sekaligus menjadi sarana bagi terbangunnya skema
perdagangan bebas pada level multilateral di tengah-tengah kepungan
RTAs dan FTAs.
Dalam perspektif tatanan global, fenomena penyelenggaraan MC9 di
Indonesia yang mengandung berbagai paradoks ini terjadi di tengah
krisis multi-dimensi yang melanda dunia. Krisis merentang mulai dari
kerusakan lingkungan sampai kepada krisis kapitalisme global sebagai
bagian dari tatanan dunia itu sendiri. Besarnya perhatian terhadap
krisis global yang menjadi tantangan utama dalam agenda
penyelenggaran MC9, memperlihatkan bahwa Pertemuan Tingkat
Menteri WTO pada Desember 2013 mendatang bukanlah sekedar
pertemuan seremonial yang rutin diikuti oleh negara-negara
anggotanya. Terkandung suatu gestur penataan dunia untuk menata
kekacauan (krisis) yang terkandung di dalam tatanan itu sendiri. WTO,
melalui MC9, merupakan salah satu pemberhentian (relay) dari
bekerjanya kekuasaan global dalam rangka menata dan menertibkan
kekacauan di dalam tatanan global yang secara inheren bersifat
eksploitatif.
MC9 tidak dapat dipandang hanya sebagai pertemuan rutin dan
konspiratif dari para dalang yang menguasai ekonomi dunia yang
berupaya melestarikan penindasan dan penghisapan terhadap rakyat
miskin di berbagai belahan dunia. Jika MC9 tetap hanya dipandang dari
sudut ini, maka gerakan perlawanan pun akan menjadi tak ubahnya
pertemuan rutin dan nostalgia seremonial dari para pemrotes yang juga
tidak berujung pada perubahan tatanan, atau bahkan justru terserap
dan diinklusi ke dalam tatanan itu sendiri. Fenomena MC9 dengan
sekelumit paradoksnya, membuka peluang bagi pemahaman terhadap
bekerjanya kekuasaan yang menopang tatanan dunia dengan segala
bentuk
kontemporalitasnya.
Penelusuran
kontekstual
atas
kontemporalitas kekuasaan global melalui MC9 WTO dapat menjadi
landasan yang sepadan bagi perlawanan terhadap berbagai gestur
penataan dalam tatanan dunia yang eksploitatif.
TUJUAN DAN SASARAN KAJIAN

Dalam rangka memberikan sambutan yang meriah dan pantas kepada


even bergengsi dunia WTO yang sedianya Ministerial Meeting-nya
diselenggarakan di Pulau Dewata Bali Desember 2013 mendatang,
perlu sekiranya diselenggarakan suatu sambutan yang bernuansa
akademik terhadapnya yang mampu menelisiknya dalam bentuk
kontemporernya. Hal ini dirasa perlu selain karena even ini terus
berkembang dan berevolusi, sambutan yang umumnya diberikan pun
umumnya belum mampu menyesuaikan dengan kontemporalitas
eksistensi organisasi dan even ini. Untuk mengisi kekosongan inilah
riset ini diselenggarakan, yaitu untuk:
1. Pertama-tama
memahami
dan
mengkontekstualisasikan
kontemporalitas WTO ini;
2. Kedua, untuk memahami mekanisme internalnya; dan kemudian,
3. Ketiga, menawarkan bentuk respon yang mampu menjawab
tantangan yang diberikannya.

KELUARAN
Keluaran yang diharapkan dari kajian ini adalah suatu dokumen
laporan kajian yang akan memuat:
1. Hasil analisis terhadap kontekstualisasi kontemporalitas WTO dalam
tatanan global;
2. Hasil analisis terhadap logika dan mekanisme internal WTO dalam
bekerjanya kekuasaan global;
3. Tawaran bentuk respon terhadap gestur penataan dunia melalui
WTO.
Dokumen laporan kajian ini kemudian dapat dijadikan sebagai
instrumen dalam gerak perlawanan terhadap MC9 WTO yang dikemas
dalam berbagai bentuk seperti buku, artikel, opini, leaflet dan berbagai
bentuk media informasi lainnya.

KERANGKA METODOLOGIDAN ANALISIS


Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan tatanan(order), yang
secara umum diartikan sebagai suatu kesatuan interaksi timbal balik
antara paradigma, institusi dan praktik, baik yang dominan maupun
periferal, yang terjadi dalam kerangka-waktu yang spesifik namun
simultan di seluruh dunia. Sekalipun simultan, ia tidak selamanya sama.
Oleh karenanya, pendekatan lain yang juga dipakai untuk membingkai
fenomena
ini
adalah
secara
tidak-merata-danterkombinasi(uneven-and-combined). Dengan demikian, bentuk dan

..
..
..
.. hari ini, khususnya
esensi WTO
.
fenomena atau relay singular

MC9, akan dipandang sebagai suatu


yang menjadi bagian dalam suatu
kesatuan besar tatanan dunia, dalam hal ini, tatanan politik ekonomi
global. Bentuk yang dimaksud adalah desain kerangka pengaturan
(governance) yang diterapkan WTO. Sementara esensi yang dimaksud
mencakup agenda dan retorika yang dicanangkan dan disuarakannya.
Adalah spesifisitas corak bentuk dan esensi WTO inilah yang hendak
dikontekstualisasikan keberadaan kontemporernya.
Secara metodologis, kajian ini menggunakan paradigma riset hibrid
atau campuran (mixed-method), yaitu mengkombinasikan antara
pendekatan kualitatif dan kuantitatif. Komposisinya adalah: pertama,
pendekatan kuantitiatif dipakai untuk mendeskripsikan secara obyektif
bentuk dan esensi dari WTO itu sendiri. Capaian (dan kegagalan) mayor
dan performa WTO, terutama sampai pada tercetusnya agenda MC9,
akan dipetakan dari data-data yang dikumpulkan melalui dokumendokumen resmi yang dirilis WTO (terutama tiga dokumen utamanya:
WTO Annual Report, World Trade Report dan International Trade
Statistics). Pendeskripsian ini akan dibingkai ke dalam kerangka yang
menunjukkan kiprah perjalanan panjang WTO menuju [reduced]
obstacles to international trade and ensuring a level playing field for
all, thus contributing to economic growth and development12
Kedua,
pendekatan
kualitatif
akan
digunakan
untuk
mengkontekstualisasikan
hasil
deskripsi
sebelumnya.
Metode
kontekstualisasi yang digunakan disini adalah apa yang disebut Michel
Foucault sebagai metode problematisasi.13 Melalui problematisasi,
suatu fenomena akan dilihat sebagai suatu solusi/jawaban bagi suatu
problem spesifik yang terdahulu. WTO, dalam versi termutakhirnya di
agenda MC9, akan dianggap sebagai suatu upaya untuk menjawab
tantangan yang dipersepsinyasecara subyektif sebagai problem. Secara
subyektif, maksudnya problem tersebut harus dilihat sebagai suatu
problem yang muncul hanya apabila dipandang dari posisi tertentu;
problem, dengan demikian adalah selalu problem bagi kelompok
tertentu.
Data-data
yang
dipakai
disini
adalah
rangkaian
diskursus/retorika yang mencoba membingkai suatu hal sebagai suatu
masalah, bahkan masalah bagi kita semua, dan suatu solusi sebagai
jawaban yang dipilih sebagai jawaban proper bagi masalah tersebut.
Perlu ditekankan, bukanlah benar salahnya masalah dan solusi yang
diperhatikan metode problematisasi, melainkan rupa-rupa mekanisme
pewacanaan bagi masalah dan solusi tersebut.

12About the WTO a statement by the Director-General, The World Trade


Organization official website, diakses pada 22 Januari 2013 dari
http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/wto_dg_stat_e.htm.
13Michel Foucault & Paul Rabinow, Polemics, Politics, and Problemizations,
dlm P. Rabinow, peny., Foucault Reader (NY: Pantheon Books, 1984), h. 381390.

Ketiga, masih dalam rangka kontekstualisasi. Perlu suatu kerangka


untuk memahami problem obyektif dari paradigma perdagangan dan
pembangunan yang dikampanyekan oleh WTO. Dengan mendudukkan
problem yang dihadapan WTO dalam kerangka kontradiksi internal
akumulasi kapitalis, maka statemen problem dan solusi yang coba
dikemukakan oleh MC9 akan dibaca-ulang sebagai sebentuk upaya
solutif dan resolutif bagi problem akumulasi kapital yang muncul
sebelum MC9, khususnya semenjak Putaran Doha. Untuk ini, kembali
pendekatan metodologis kuantitatif dipakai. Sampai di sini diharapkan
cukup untuk menopang klaim bahwa gagalnya Putaran Doha
merupakan gejala bagi suatu hal yang lebih besar, yaitu krisis
akumulasi kapitalisme global.
Keempat, dalam rangka memahami MC9 sebagai penataan ulang
ekstra-ekonomis bagi sistem ekonomi global, dengan demikian
melihatnya sebagai suatu gestur politikekonomi, maka kembali
pendekatan kualitatif dipergunakan untuk memproblematisasi proses
penataan-ulang ini sebagai suatu respon subyektif terhadap krisis dari
tatanan politik ekonomi terdahulu, yaitu neoliberalisme. Subyektivitas
respon yang dimaksud diartikan sebagai keberpihakan kepada amannya
keberlangsungan unit dasar dari tatanan politik ekonomi neoliberal,
yaitu negara berdaulat modern. Berangkat dari asumsi bahwa negara
berdaulat modern mendapatkan justifikasi kedaulatannya dari
perlindungannya terhadap kebebasan pasar, dan bahwa WTO
merupakan ajang perundingan dan negosisasi negara-negara untuk
merancang perlindungan bagi pasar, maka akan ditunjukkan bagaimana
desain WTO termutakhir menjadi jawaban bagi krisis legitimasi
kedaulatan negara berdaulat modern.
Setelah keempat ini diselesaikan, barulah kajian ini siap untuk
memasuki tahap kelima, yaitu secara obyektif mendeteksi aspek-aspek
eksploitatif dari MC9 WTO ini sebagai suatu penataan ulang ekonomi
global secara politis. Berbagai bentuk ketimpangan yang tidak
terselesaikan, dan yang selalu menjadi efek samping dari keberadaan
WTO, akan dipahami sebagai suatu kesatuan utuh melalui kerangka
pembangunan yang tidak merata dan terkombinasi (uneven and
combined development) dari kapitalisme global kontemporer. Akhirnya,
tahap keenam, merupakan puncak dari kajian ini, mencoba
mengusulkan tawaran normatif dan praktis. Tawaran normatif
merupakan proposal ideal untuk mengatasi problem eksploitasi, baik itu
yang bentuk baru maupun inti dasarnya yang selalu terbarui dalam
rupa-rupa kontemporernya. Tawaran praktis merupakan proposal ideal
untuk mengimplementasikan tawaran normatif tersebut, terutama
diluar kerangka yang mengasumsikan sentralitas pemerintah.

JADWAL

..
..
..
.. ini direncanakan akan dilaksanakan dalam kurun waktu
Kegiatan kajian
.
selama 8 (delapan) bulan. Jadwal pelaksanaan selengkapnya dapat
dilihat dalam tabel berikut.
Tabel 1
Jadwal Pelaksanaan Kegiatan
No
.
1
2
3
4
5
6
7

Kegiatan

Bulan ke4
5
6

Persiapan
Desk study
Pengumpulan data
FGD
Penyusunan dokumen
Publikasi dan diseminasi
nasional
Publikasi dan diseminasi
internasional

Jakarta, Januari2013

Tim Kajian

Anda mungkin juga menyukai