Anda di halaman 1dari 4

Bundu

Afina Mahardhika, 1306402936

Aku akan bunuh diri.


Aku bisa mendengar keramaian pasar dari atas tempat ini. Suaranya seperti
kerumunan lalat. Aku juga bisa melihat orang-orang yang berjalan dengan warna
yang berbeda-beda sesuai pakaian dan barang bawaan mereka. Mereka sangat
banyak, tetapi tidak ada satu pun yang menyadariku berada di atas mereka.
Aku bisa melihat gedung-gedung tinggi yang kini tingginya sama denganku.
Tetapi orang-orang di dalam gedung itu terlalu sibuk untuk melihatku. Tidak ada yang
menarik dari menara air yang menyebabkan mereka akan melihat ke arahku.
Kalaupun ada, aku rasa mereka mengira aku adalah teknisi yang akan membenahi
menara air. Memang, akhir-akhir ini beberapa tempat di daerah ini mengalami
kekurangan air. Masuk akal.
Aku juga bisa melihat dengan jarak pandang yang lebih luas sekarang.
Bahkan, aku bisa melihat rumahku dan tetanggaku. Oh, tetanggaku. Aku tidak dapat
menahan pikiranku untuk tidak memikirkan dia. Aku masih ingin menemuinya, andai
aku bisa. Tetapi aku akan bunuh diri.
***
Bundu, Bundu! Lihatlah! Aku bisa menyelesaikan permainan ini dengan
cepat! Aku mendapat, uuh, ucapnya dengan semangat dan berakhir dengan
terbata-bata.
High

score,

kau

menyunggingkan senyum.

mendapatkan

high

score.,

tambahku

sambil

Ah, ya! Aku hebat, kan? ia menimpali dengan pertanyaan yang tidak
memerlukan jawaban. Kini ia kembali beradu dengan gadgetku.
Kian, ia begitu asyik memainkan permainan barunya. Begitu juga aku yang
asyik menatapnya. Matanya berkaca-kaca, seperti ingin menangis, tapi ia bahagia.
Matanya memang indah.
Bundu, terimakasih sudah menjaga Kian hari ini. Maafkan aku terlalu
merepotkanmu, kau pasti sibuk sekali. Kian, ayo pulang. kau tidak boleh tidur larut
malam. Suara dari sampingku membuyarkanku dari lamunan.
Aku hanya bisa tersenyum saat Reina, ibu Kian, datang menjemput Kian. Aku
selalu bersimpati pada mereka. Reina ditinggalkan oleh lelaki yang menanamkan
benih Kian di rahimnya. Sejak itu, aku dan Reina menjadi dekat. Ia bahkan pernah
mengungkapkan perasaannya padaku. Tapi aku tak bisa. Ada hal lain yang
menjadikanku cukup menjadi kawannya.
Reina

mengambil

gadget

yang

tengah

dimainkan

Kian

dan

mengembalikannya padaku. Lalu ia menarik tangan Kian yang ingin menyalamiku. Ia


merebut Kian dariku. Kian tidak menolak, ia selalu patuh pada ibunya. Kian
melambaikan tangannya padaku sambil tersenyum. Rambut hitam Kian yang panjang
tertiup angin hingga aromanya tercium olehku. Aah.. stroberi, baunya nikmat. Andai
aku bisa mencium bau ini setiap waktu.
Malam ini aku memimpikan Kian. Ia mengenakan gaun warna biru
kesukaannya. Kami berdua tengah berada di taman. Kian berbicara denganku
layaknya orang dewasa dalam tubuh gadis berusia lima tahun. Lalu ia menangis dan
memelukku begitu erat. Matanya menatapku seakan menginginkan sesuatu.
***

Gila! Bundu, kau sudah gila! teriak Reina ketika masuk ke dalam rumahku.
Apa yang kau inginkan dari anakku? Ia baru lima tahun! Kau benar-benar sudah
gila!
Aku terdiam melihat Reina yang tengah mondar-mandir di depanku. Ia seakan
mencari sesuatu untuk memecahkan kepalaku.
Kau harus pergi sejauh mungkin. Ucap Reina.
Jauh yang kau maksud adalah mati, bukan?
Ya, mati.
Tapi aku juga tidak mengerti. Kau tidak bisa mengobatiku. Aku sudah
hampir mati bahkan setiap kali aku menatap Kian..
Hentikan! Jangan sebut namanya! Kau harus pergi.
Aku tahu, aku minta maaf,
Tidak, aku tidak memaafkanmu. Ia baru berusia lima tahun dan kau sudah
mengambil harta berharganya. Dia sudah tidak perawan di usia lima tahun! Kau
bodoh dan gila! Pantaslah namamu Bundu, pandir!
Aku tahu saat seperti ini akan terjadi. Saat aku sudah tidak dapat menahan
naluri alamiahku pada gadis kecil itu, dan semuanya akan berakhir. Rasanya selama
ini aku menanti takdir buruk, dan takdir itu terjadi hari ini. Aku sudah menodai
Kianku tersayang. Aku melukainya dan aku pantas untuk mati.
Reina, aku tahu ini saatnya untukku menghabisi diriku sendiri. Tapi kamu
harus mengerti, aku mencintai anakmu seperti halnya kamu mencintaiku. Suatu hal
yang alamiah, dan aku tidak bisa menolaknya. Aku sudah mencoba, obat, psikiater,
gereja, Tuhan, tidak ada yang bisa menolongku. Inilah takdirku, mati saat ini. aku
menjelaskan dengan nada pasrah.

Dia bukan bagian dari takdirmu. Kau harus pergi, bukan berarti mati. Aku
sudah mengerti keadaanmu. Sekarang kau harus mengerti keadaanku dan anakku. Dia
bukan objek seksualmu. Kian adalah manusia merdeka yang telah memilih agar kau
tidak ada lagi di hidupnya. Reina menjelaskan dengan terbata-bata diselingi tangis,
lalu ia pergi. Aku tahu itu adalah kata-kata terakhir yang akan aku dengar darinya.
***
Sekarang aku berada pada dua sentimeter sebelum kematian. Aku tahu ada
cara lain untuk menyelamatkan Kian. Tapi dengan cara inilah tidak akan ada Kian
berikutnya.
Aku harus bunuh diri.

Anda mungkin juga menyukai