PENDAHULUAN
Bells palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus Facialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan. Bell;s palsy merupakan penyebab paralisis fasial
yang paling sering didunia. Sindrom ini pertama kali dideskripsikan pada
tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama Sir Charles
Bell.
Bells palsy ini diketahui oleh pasien ketika pasien dalam keadaan
sedang bercermin atau bisa diketahui dari orang-orang sekitarnya. Bells
palsy terjadi secara tiba-tiba, berupa kelumpuhan ringan sampai total
pada salah satu sisi wajah, sehingga menyebabkan pasien sulit
tersenyum atau menutup salah satu kelopak mata, dapat terjadi rasa nyeri
di sekitar rahang atau di belakang telinga pada salah satu sisi wajah yang
terpengaruh, wajah melorot menjadikan wajah sulit berekspresi. Hal ini
sangat menyiksa diri karena membuat orang menjadi kurang percaya diri.
Wajah kelihatan tidak cantik karena mulut mencong, mata tidak bisa
berkedip, mata berair, dll.
Tujuan penatalaksaan rehabilitasi medik pada penderita Bells
palsy ialah untuk memulihkan kekuatan dari otot wajah yang mengalami
kelemahan,
melancarkan
sirkulasi
darah
pada
wajah,
mencegah
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI
Istilah Bells Palsy (kelumpuhan bell) biasanya digunakan untuk
kelumpuhan nervus Facialis jenis perifer yang timbul secara akut, yang
penyebabnya belum diketahui, tanpa adanya kelainan neurologik lain.
Pada sebagian besar penderita Bells Palsy kelumpuhannya akan
sembuh, namun pada beberapa diantara mereka kelumpuhannya sembuh
dengan meninggalkan gejala.
BeIls palsy adalah kelumpuhan atau paralisis wajah unilateral
karena gangguan nervus Fasialis perifer yang bersifat akut dengan
penyebab yang tidak teridentifikasi dan dengan perbaikan fungsi yang
terjadi dalam 6 bulan.
2.2 EPIDEMIOLOGI
Secara umum, Bell palsy terjadi lebih sering pada orang dewasa.
Insiden tahunan yang telah dilaporkan berkisar 11-40 kasus per 100.000
populasi. Puncak insiden terjadi antara dekade kedua dan keempat (15-45
tahun). Tidak dijumpai perbedaan prevalensi dalam jenis kelamin. Di
Amerika Serikat, kejadian tahunan Bell palsy adalah sekitar 23 kasus per
100.000 orang. Bell palsy diperkirakan menyumbang sekitar 60-75% dari
kasus kelumpuhan wajah akut unilateral, dengan sisi kanan terkena 63%.
Orang dengan diabetes memiliki risiko 29% lebih tinggi dari yang
dipengaruhi oleh Bell palsy dibandingkan orang tanpa diabetes.
2.3 ETIOLOGI
Secara klinis, Bells palsy telah didefinisikan idiopatik, dan
penyebab proses inflamasi masih tidak jelas. Beberapa teori telah diduga
sebagai penyebab dari Bells palsy, antara lain iskemik vaskular,
imunologi, infeksi dan herediter telah diduga menjadi penyebab. Adanya
peran genetik juga telah dikemukakan sebagai penyebab Bells palsy,
terutama kasus Bells palsy yang rekuren ipsilateral atau kontralateral.
2
Terdapat pula beberapa teori yang telah di kemukakan yang terdiri dari
teori ischemic vascular, teori virus, teori kombinasi.
Teori ischemic vascular. Teori ini dikemukakan oleh Mc. Groven pada
tahun 1955 menyatakan bahwa adanya ketidak stabilan otonomik
dengan respon simpatis yang berlebihan. Hal ini dapat menyebabkan
spame pada arteriol dan statis pada vena dibagian bawah kanalis
spinalis. Vasospasme ini menyebabkan isemik dan terjadinya oedema.
Hasilnya adalah paralisis flaksid perifer dari semua otot yang melayani
ekspresi wajah.
Teori infeksi virus. Teori ini menyatakan bahwa beberapa penyebab
infeksi yang dapat ditemukan pada kasus nervus Facialis adalah otitis
media, meningitis bakteri, infeksi HIV, penyakit limfe. Pada tahun 1972
Mc Cromick menyebutkan bahwa pada fase laten HSV tipe 1 pada
ganglion geniculatum dapat mengalami reaktivasi kembali saat daya
tahan tubuh menurun. Adanya reaktivasi kembali dari infeksi ini
menyebabkan terjadinya reaksi inflamasi dan oedem saraf Facialis
sehingga saraf terjepit dan terjadi kematian sel saraf karena sel saraf
tidak mendapatkan suplai oksigen yang cukup.
Teori
kombinasi dikemukakan
oleh
cephalicus.
Diawali
dengan
penggembungan
aksoplasma,
kompresi pada aliran vena dan selanjutnya terjadi kompresi saraf dan
kehilangan akson-akson, dan dengan cepat terjadi kehilangan endoneural
tube yang kemudian menyebabkan derajat ketiga dari trauma. Pada
derajat empat dan lima, karena kebanyakan atau semua endoneural tube
telah dirusak, sama seperti perineurium pada derajat keempat trauma,
dan
perineurium
dan
epineurium
pada
trauma
derajat
kelima,
unit yang dijumpai sebelum terjadi degenerasi. Akibat dari faktor-faktor ini,
dapat terjadi suatu tic atau kedutan involunter. Terdapat juga gerakan
yang tidak wajar, seperti gerakan mulut dengan berkedip, atau menutup
mata dengan tersenyum. Penyebab lain dari gerakan abnormal selama
regenerasi mungkin karena terjadi perubahan pada myoneural junction.
Selain faktor-faktor ini, kemungkinan terjadi perubahan didalam dan
disekitar nukleus saraf fasialis di batang otak, sama seperti perubahan
pada hubungan sentral menuju badan sel. Kombinasi dari faktor-faktor ini,
dapat menyebabkan spasme yang terjadi pada sisi wajah yang paralisis,
menyebabkan mata menutup dan sudut mulut menarik. Spasme ini dapat
dirasakan cukup nyeri.
Paparan udara yang dingin, mengendarai mobil dengan jendela
terbuka, terpapar angin yang cukup kencang diduga sebagai salah satu
penyebab dari Bells palsy, karena nervus Facialis bisa sembab, akibatnya
ia
terjepit
di
dalam
foramen
Stilomastoideus
dan
menyebabkan
Sudut mulut pada sisi yang terkena lesi jatuh dan tidak bisa diangkat.
ditambah
dengan
gangguan
pendengaran
yaitu
Hyperakusis.
Lesi setinggi ganglion Geniculatum.
Gejala: sama seperti gejala pada lesi diantara N. Stapedius dan
Ganglion Geniculatum ditambah dengan gangguan sekresi kelenjar
hidung dan gangguan sekresi air mata.
Gangguan yang paling sering ditemui adalah kerusakkan pada
tempat setinggi Foramen Stylomastoideus dan pada setinggi ganglion
geniculatum. Penyebab yang sering terjadi pada ganglion Geniculatum
adalah Herpes zoster, mastoiditis, otitis media.
2.6 DIAGNOSA
Dalam mendiagnosis kelumpuhan saraf fasialis, harus dibedakan
kelumpuhan sentral atau perifer. Kelumpuhan sentral terjadi hanya pada
bagian bawah wajah saja, otot dahi masih dapat berkontraksi karena otot
dahi dipersarafi oleh kortek sisi ipsi dan kontra lateral sedangkan
kelumpuhan perifer terjadi pada satu sisi wajah.
A. Anamnesa
Mata kering.
Nyeri kepala.
B. PEMERIKSAAN FISIK
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pada penyakit Bells palsy juga dilakukan pemeriksaan penunjang
dengan tujuan untuk membedakan penyebab sekunder dari paralisis
nervus Facialis.
Dibutuhkan
pemeriksaan
CT
Scan
untuk
mengetahui
adanya
intervensi
fisioterapi
yang
digunakan
untuk
Infra red
9
vasodilatasi
terhadap
pembuluh
jaringan
otot,
darah,
pigmentasi,
destruksi
jaringan,
Electrical Stimulation
Efek fisiologis ketika menetapkan jenis yang dirasakan
adalah
tusukan-tusukan
ringan
karena
stimulasi
saraf
dari
jaringan
tubuh
yang
dimaksudkan
untuk
10
otot
untuk
serta
melepaskan
meningkatkan
adanya
gerakan
perlengketan.
menginisiasi
sedikit
gerakan,
dan
terdapat
11
sinkinesis
dan
hipertonisitas.
Strategi
yang
sehingga
mereka
membutuhkan
psikolog
untuk
saat
tidur
(involunter)
14
15
DAFTAR PUSTAKA
Gilden DH. Clinical practice Bells palsy. N Engl J Med. 2004; 351:132331. 18.
Handoko Lowis, Maulana N Gaharu, 2012; Bells Palsy, Diagnosis dan
Tata Laksana di Pelayanan Primer. Artikel Pengembangan
Pendidikan Keprofesian Berkelanjutan (P2KB). Jurnal Indonesia
Medical Assocation. Vol:62 No1. Neurologist, Jakarta: Medical
Center Hospital
Hato N, Yamada H, Kohno H, Matsumoto S, Honda N, Gyo K, et al.
Valacyclovir and prednisolone treatment for Bells palsy: a
multicenter, randomized, placebo-controlled study. Otol Neurotol.
2007;28:408-13.
Hill MD, Midroni G, Goldstein WC, Deeks SL, Low DE, Morris AM.The
spectrum of electrophysiological abnormalities in Bells palsy. Can J
Neurol Sci. 2001;28:130-3.
J
Indon
Med
Assoc.
2012.
Volume:
62,
Nomor:
1,
http://indonesia.digitaljournals.org/index.php/idnmed/article/viewFile
/1118/1104.
Lo B. Emergency medicine-neurology: Bells palsy. Eastern Virginia:
Medscape. 2010.
Sidharta, P. 2008. Neurologi Klinis Dalam Praktek Umum. Jakarta: Dian
Rakyat.
16