Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

Ikterus neonatorum merupakan fenomena biologis yang timbul akibat


tingginya produksi dan rendahnya ekskresi bilirubin selama masa transisi pada neonatus.
Pada neonatus produksi bilirubin 2 sampai 3 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa
normal. Hal ini dapat terjadi karena jumlah eritrosit pada neonatus lebih banyak dan usianya
lebih pendek.1
Banyak bayi baru lahir, terutama bayi kecil (bayi dengan berat lahir < 2500 g atau
usia gestasi <37 minggu) mengalami ikterus pada minggu pertama kehidupannya. Data
epidemiologi yang ada menunjukkan bahwa lebih 50% bayi baru lahir menderita ikterus yang
dapat dideteksi secara klinis dalam minggu pertama kehidupannya. Pada kebanyakan kasus
ikterus neonatorum, kadar bilirubin tidak berbahaya dan tidak perlu pengobatan.1
Peningkatan kadar bilirubin (hiperbilirubinemia) merupakan salah satu fenomena
klinis yang paling sering ditemukan pada bayi baru lahir. Lebih dari 85% bayi cukup bulan
yang kembali dirawat dalam minggu pertama kehidupan disebabakan oleh keadaan ini.
Hiperbilirubinemia menyebabkan bayi terlihat berwarna kuning, keadaan ini timbul akibat
akumulasi pigmen bilirubin (4Z, 15 Z bilirubin IX alpha) yang berwarna ikterus pada sklera
dan kulit. Pada masa transisi setelah lahir, hepar belum berfungsi secara optimal, sehingga
menyebabkan dominasi bilirubin tak terkonjugasi di dalam darah. Pada kebanyakan bayi baru
lahir, hiperbilirubinemia merupakan fenomena yang normal, tetapi pada beberapa bayi,
terjadi peningkatan bilirubin secara berlebihan sehingga bilirubin berpotensi menjadi toksik
dan dapat menyebabkan kematian. Dengan demikian, setiap bayi yang mengalami kuning,
harus dibedakan apakah ikterus yang terjadi merupakan keadaan yang fisiologis atau
patologis serta dimonitor apakah mempunyai kecenderungan untuk berkembang menjadi
hiperbilirubinemia yang berat.1
Berikut ini laporan suatu kasus bayi berusia 3 hari, berjenis kelamin perempuan, yang
mengalami hiperbilirubinemia.

BAB III
STATUS PASIEN

Telah lahir bayi perempuan berusia 3 hari pada tanggal 09 Oktober 2015 pukul 04.20
WIB dengan berat badan lahir 2900 gram dan panjangnya 45 cm. APGAR skor pada menit
pertama adalah 7 dan pada menit kelima adalah 10. Pada pemeriksaan fisik didapatkan suhu
35,9C, denyut nadi

150 kali permenit, frekuensi pernafasan 48 kali permenit, tidak

ditemukannya sianosis, tidak ditemukan kuning pada kulit nya, tidak ditemukannya retraksi
pada sela sela iga, gerakan nya aktif dan menangis kuat. Bayi sudah di suntik vitamin K dan
hepatitis.
Bayi tersebut dilahirkan dari seorang ibu G3P2A0 dengan jenis persalinan partus
sungsang. Ibu selalu memeriksakan kehamilannya di dokter. Pada usia kehamilan minggu ke
16 ibu baru mengetahui kalo sedang mengandung janin.
Pada minggu ke 34 masa kehamilan, ketuban ibu pecah dan pada saat itu dilakukan
persalinan secara sectio caesar. Ketika bayi baru lahir pada usia hari pertama dan hari kedua,
ASI ibu tidak keluar. Sudah dibantu oleh fisioterapi untuk memompa tetapi ASI nya tetap
tidak keluar.

Gambar 1. Hari ke - 4 usia kehidupan , kuning


pada dada.

Gambar 2. Hari ke 4 usia kehidupan,


kuning pada wajah.

Pada hari ke 4 usia kehidupan bayi, bayi masih tampak kuning pada kulit wajah dan
dada nya dengan kadar bilirubin total 14,9 mg/dL, serta pada pagi hari ibu memberikan PASI
dan ASI sebanyak 40 cc dan pada malam hari sebanyak 160 cc.
Pada hari ke 5 usia kehidupan bayi, bayi masih tampak kuning pada kulit wajah dan
dada nya, serta berat badan nya menjadi 3400 gram. Pada pagi hari ibu memberikan ASI
sebanyak

60

cc

dan

pada

malam

hari

sebanyak

60cc.

Infus sudah dilepas tetapi bayi masih diberikan amoxan 3 x 0,6 cc.

Gambar 3. Hari ke 5 usia kehidupan bayi,


kuning pada dada.

Pada hari ke 6 usia kehidupan bayi, bayi masih terlihat kuning pada wajahnya tetapi
kuning pada dada nya sudah menghilang. Kadar bilirubin total 12,9 mg/dL dengan berat
badan 3400 gram. Pada pagi hari dan siang hari ibu memberikan ASI dengan total sebanyak
1500 cc. Keluarga bayi meminta kepada perawat dan dokter agar bayi bisa pulang ke rumah.
Bayi laki laki ini pun pulang ke rumah bersama ayah dan ibu nya.

3
Gambar 5. Hari ke 6 usia kelahiran. kuning
pada dahi.

Selama dilakukannya observasi, bayi di tempatkan di dalam inkubator dan diberikan


terapi sinar biru oleh dokter.

Gambar 5. Bayi di tempatkan di dalam inkubator


dan diberikan terapi sinar biru selama observasi.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
II. 1. Definisi
Ikterus adalah deskolorasi kuning pada kulit, membran mukosa, dan sklera akibat
peningkatan kadar bilirubin dalam darah. Orang dewasa tampak kuning bila kadar bilirubin
serum > 2mg/dl, sedangkan pada neonates bila kadar bilirubin > 5 mg/dl.2
Ikterus neonatorum adalah keadaan klinis pada bayi yang ditandai oleh pewarnaan
ikterus pada kulit dan sklera akibat akumulasi bilirubin tak terkonjugasi yang berlebihan.
Ikterus secara klinis akan mulai tampak pada bayi baru lahir bila kadar bilirubin darah 5 7
mg/dl. Peningkatan kadar plasma bilirubin serum disebut hiperbilirubinemia.
Ikterus terbagi menjadi 2 jenis, yaitu ikterus fisiologis dan ikterus patofisiologi.
Berikut perbedaan dari kedua jenis ikterus tersebut yang terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Perbedaan ikterus fisiologis dan ikterus patofisiologi.
Ikterus Fisiologis
1. Umumnya terjadi

pada

BBL,

kadar bilirubin tak terkonjugasi

Ikterus Patofisiologi
1. Ikterus terjadi sebelum 24 jam
2. Setiap peningkatan kadar bilirubin
serum

pada minggu pertama >2mg/dl.


2. Pada bayi cukup bulan yang

yang

memerlukan

fototerapi.
3. Peningkatan kadar bilirubin total

mendapat susu formula kadar


4

Sumber : Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama, 2014, Badan Penerbit IDAI, Hal : 147 - 148

bilirubin

akan

mencapai

serum >0,5 mg/dl/jam.


4. Adanya tanda tanda penyakit

puncaknya sekitar 6 8 mg/dl

yang mendasari pada setiap bayi


(muntah, letargis, malas menetek,

pada hari ke 3 kehidupan


kemudian menurun cepat selama
2

hari

diikuti

penurunan berat badan yang cepat,

dengan

apnea, takipnea atau suhu yang

penurunan yang lambat sebesar1

tidak stabil).
5. Ikterus bertahan setelah 8 hari

mg/dl selama 1 2 minggu.


3. Pada bayi cukup bulan yang

pada bayi

mendapat ASI kadar bilirubin

cukup bulan atau

setelah 14 hari pada bayi kurang

puncak akan mencapai kadar yang

bulan.

lebih tinggi (7 14 mg/dl) dan


penurunan terjadi lebih lambat.
Bisa terjadi dalam 2 4 minggu,
bahkan dapat mencapai waktu 6
minggu.
4. Pada bayi kurang bulan yang
mendapat

susu

formula

akan

mengalami peningkatan dengan


puncak yang lebih tinggi dan lebih
lama,

begitu

juga

dengan

penurunannyajika tidak diberikan


fototerapi

pencegahan.

Peningkatan sampai 10 12 mg/dl


masih dalam kisaran fisiologis,
bahkan hingga 15 mg/dl tanpa
disertai

kelainan

metabolisme

bilirubin.

Setelah menganalisis data di atas, maka kita dapat memastikan bahwa bayi perempuan
berusia 3 hari ini mengalami ikterus fisiologis karena bayi dilahirkan dengan cukup bulan
meskipun usia kehamilan 34 minggu tetapi berat badan bayi sudah memenuhi standart
kategori untuk bayi dengan berat lahir normal. Bayi tersebut memiliki kadar bilirubin total
nya 16,8 mg/dl dan tanpa dengan adanya muntah, letargis, malas menetek, penurunan berat
badan yang cepat, apnea, takipnea atau suhu yang tidak stabil. Bayi juga diberikan susu
5

formula karena pada usia kehidupan pertama dan keduanya air ASI ibu belum keluar. Maka
dari itu, penurunan kadar bilirubin bisa menjadi lambat. Selain itu bayi diberikan cairan infus
KAEN 3 B yang berfungsi untuk memelihara keseimbangan air dan elektrolit pada keadaan
dimana asupan makanan per oral tidak mencukupi. Untuk pencegahannya, bayi akan
diberikan terapi fototerapi sinar biru agar kadar bilirubin indirek dalam darah tidak mencapai
kadar neurotoksik.
Penyebab Hiperbilirubinemia pada Neonatal
Jaundice bisa disebabkan karena peningkatan produksi bilirubin dan penurunan
ekskresi bilirubin.
Penyebab tersering jaundice dini adalah peningkatan produksi bilirubin, seperti
inkompabilitas golongan darah fetus ibu dengan akibat isoimunisasi. Imunisasi ibu terjadi
jika eritrosit bocor dari fetus ke sirkulasi maternal. Eritrosit fetus membawa antigen yang
berbeda yang dikenal sebagai benda asing oleh sistem imun ibu yang membentuk antibodi
untuk melawannya (sensitisasi ibu). Antibodi ini (IgG) melewati barrier plasenta ke dalam
sirkulasi fetal dan terikat ke eritrosit fetal.
Pada inkompibilitas Rh, sekuestrasi dan penghancuran eritrosit yang berlapis antibodi
mengambil tempat dalam sistem retikuloendotelial fetus.
Pada inkompatibilitas ABO, hemolisis terjadi intravaskular, complement mediated
dan biasanya tidak seberaat pada Rh disease. Inkompatibilitas Rh biasanya baru muncul pada
kehamilan kedua. Bayi yang baru lahir dengan inkompatibilitas Rh, tampak pucat,
hepatosplenomegali dan cepat menjadi jaundice dalam umur beberapa jam. Jika masalahnya
berat, bayi dapat lahir dengan edema generalisata (hidrops fetalis).
Inkompatibilitas ABO biasanya timbul pada kehamilan pertama. ABO hemolytic
disease terbatas pada bayi dengan golongan darah A atau B yang lahir dari ibu dengan
golongan darah O. ABO hemolytic disease jarang timbul pada ibu dengan golongan darah A
atau B. Jaundice yang timbul tidak secepat pada Rh disease, dan kadar bilirubin serum >12
mg/dl pada umur 3 hari adalah tipikal.
Polisitemia dapat menyebabkan hiperbilirubinemia, karena peningkatan jumlah sel
darah merah absolut menyebabkan peningkatan produksi bilirubin melalui pemecahan
eritrosit dengan kecepatan normal.Selama pemisahan plasenta pada saat lahir, dapat terjadi
perdarahan dari sirkulasi maternal kedalam sirkulasi fetal (maternal fetal transfusion) atau
karena keterlambatan penjepitan tali pusat. Twin to twin transfusion juga dapat
menyebabkan polisitemia.
6

Hipoksia intrauterine dan penyakit penyakit pada ibu seperti diabetes mellitus dapat
menyebabkan polistemia neonatus.
Induksi partus dengan oksitosin tampak berhubungan dengan neonatal jaundice, ada
hubungan yang signifikan antara hiponatremia dan jaundice pada bayi atau ibu yang
mendapatkan oksitosin untuk induksi partus. Efek vasopressin like action dan oksitosin
memacu transport elektrolit dan air seperti pembengkakan eritrosit dan peningkatan fragilitas
osmotik dan dapat menyebabkan hiperbilirubinemia. Pemberian steroid pada permulaan
pemberian oksitosin dan 4 jam berikutnya dapat mencegah hiperbilirubinemia.
Peningkatan bilirubin dalam sirkulasi enterohepatik diyakini merupakan hal yang
penting pada neonatal jaundice. Neonatal beresiko untuk mengabsorpsi bilirubin intestinal
karena empedu neonatus mengandung kadar bilirubin monoglukoronida yang tinggi sehingga
lebih mudah dikonversikan menjadi bilirubin, juga mengandung sejumlah glukoronidase
dalam lumen intestinal yang menghidrolisis bilirubin terkonjugasi menjadi bilirubin yang
mudah diabsorpsi dari intestinal. Empedu neonatus kurang mengandung flora intestinal untuk
mengubah bilirubin terkonjugasi menjadi urobilinoid dan mekonium, intestinal mengandung
akumulasi selama kehamilan, mengandung bilirubin dalam jumlah yang signifikan. Keadaan
yang memperlama pasase mekonium (misalnya penyakit Hirschsprung, ileus mekonium,
meconium pluge syndrome) berhubungan dengan hiperbilirubinemia.
Pemberian ASI telah diidentifikasi sebagai faktor yang berhubungan dengan neonatal
jaundice. Bayi bayi yang mendapat ASI mempunyai kadar bilirubin serum yang lebih tinggi
dibandingkan bayi bayi yang mendapat susu formula. Pada usia 5 hari hiperbilirubinemia
tak terkonjugasi ini dapat bertahan selama beberapa minggu sampai beberapa bulan.
Pada bayi yang mendapat ASI terdapat dua bentuk neonatal jaundice, yaitu early
(berhubungan dengan breast feeding) dan late (berhubungan dengan ASI). Bentuk early onset
diyakini berhubungan dengan proses pemberian minum, sedangkan bentuk late onset diyakini
dipengaruhi oleh kandungan ASI ibu yang mempengaruhi proses konjugasi dan ekskresi.
Jaundice selama minggu pertama kehidupan sering dideskripsikan sebagai breast
feeding jaundice untuk membedakan dari breast milk jaundice yang berhubungan dengan
kurangnya intake ASI.
Diduga sirkulasi bilirubin enterohepatik dapat dipicu dengan glukoronidase atau zat
lain di dalam ASI, yang menyebabkan kadar lemak bebas yang dapat menghambat
glukoroniltransferase hepatik. Faktor lain yang mungkin berhubungan dengan jaundice pada
bayi yang mendapat ASI antara lain, intake kalori, intake cairan, penurunan berat badan,

keterlambatan pasase mekonium, flora intestinal, dan hambatan bilirubin glukoronil


transferase.
Bayi sehat yang mendapat ASI dengan hiperbilirubinemia yang tak terkonjugasi,
mempunyai kadar Hb, retikulosit dan apusan darah yang normal, tanpa inkompabilitas
golongan darah dan tanpa kelainan lain pada pemeriksaan fisik, dianggap mengalami early
breast feeding jaundice. Beberapa bayi dengan breast milk jaundice menunjukan
peningkatan kadar asam empedu, menandakan adanya disfungsi hati ringan atau kolestasis.
Neonatal Jaundice
Secara umum tidak ada bayi yang jaundice sejak lahir, walaupun jaundice akan
timbul segera setelahnya. Hal ini dikarenakan kemampuan plasenta untuk membersihkan
bilirubin dari sirkulasi fetus dalam beberapa hari berikutnya, hampir semua bayi mengalami
peningkatan kadar bilirubin serum (>1,4 mg/dl). Dengan meningkatnya kadar bilirubin
serum, kulit menjadi lebih jaundice dengan urutan sefalo kaudal. Mula mula ikterus
tampak di kepala dan bergerak ke arah kaudal ke telapak tangan dan telapak kaki.
Kramer menemukan kadar bilirubin indirek serum sebagai perkembangan jaundice,
seperti pada gambar 7.

Grade Lokasi

Kadar
Bilirubin
dan 4 8 mg/dl

Kepala

leher
Tubuh

5 12 mg/dl

sebelah atas
Tubuh

8 16 mg/dl

sebelah
bawah

dan

paha
Lengan dan 11 18 mg/dl

tungkai
bawah
Telapak

tangan

Gambar 7. Kramer Grading

>15 mg/dl
dan

telapak kaki
8

Sumber : Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi Jilid 1 Cetakan kedua 2011. Badan
Penerbit IDAI, Hal 273.
Walaupun demikian jika kadar bilirubin >15 mg/dl, seluruh tubuh akan ikterik. Cara
terbaik untuk melihat jaundice adalah dengan menekan kulit secara hati hati dengan jari
dibawah penerangan yang cukup. Setidaknya 1/3 bayi akan tampak jaundice.
Setelah mengevaluasi data diatas, didapatkan bahwa neonatal jaundice ini disebabkan
oleh penurunan ekskresi bilirubin yang tepatnya disebabkan oleh kurangnya intake ASI
( kategori breast milk jaundice ) dan tidak berhubungan dengan inkompatibilitas ABO
maupun Rh disease. Bayi baru lahir ini termasuk dalam Kramer 1 , yaitu jaundice pada
kepala dan leher dengan kadar bilirubin 4 8 mg/dl , serta Kramer 2, yaitu tubuh sebelah atas
tepatnya pada dada dan punggung dengan kadar bilirubin 5 12 mg/dl .
Metabolisme Bilirubin
Bilirubin adalah pigmen kristal berwarna jingga ikterus yang merupakan bentuk akhir
dari pemecahan katabolisme heme melalui proses reaksi oksidasi-reduksi. Bilirubin berasal
dari katabolisme protein heme, dimana 75% berasal dari penghancuran eritrosit dan 25%
berasal dari penghancuran eritrosit yang imatur dan protein heme lainnya seperti mioglobin,
sitokrom, katalase, dan peroksidase. Metabolisme bilirubin meliputi pembentukan bilirubin,
transportasi bilirubin, asupan bilirubin, konjugasi bilirubin, dan ekskresi bilirubin.
GAMBAR
Langkah oksidase pertama adalah biliverdin yang dibentuk dari heme dengan bantuan
enzim heme oksigenase yaitu enzim yang sebagian besar terdapat dalam sel hati, dan organ
lain. Biliverdin yang larut dalam air kemudian akan direduksi menjadi bilirubin oleh enzim
biliverdin reduktase. Bilirubin bersifat lipofilik dan terikat dengan hidrogen serta pada pH
normal bersifat tidak larut.
Pembentukan bilirubin yang terjadi di sistem retikuloendotelial, selanjutnya
dilepaskan ke sirkulasi yang akan berikatan dengan albumin. Bilirubin yang terikat dengan
albumin serum ini tidak larut dalam air dan kemudian akan ditransportasikan ke sel hepar.
Bilirubin yang terikat pada albumin bersifat nontoksik.
Pada saat kompleks bilirubin-albumin mencapai membran plasma hepatosit, albumin
akan terikat ke reseptor permukaan sel. Kemudian bilirubin, ditransfer melalui sel membran
yang berikatan dengan ligandin (protein Y), mungkin juga dengan protein ikatan sitotoksik

lainnya. Berkurangnya kapasitas pengambilan hepatik bilirubin yang tak terkonjugasi akan
berpengaruh terhadap pembentukan ikterus fisiologis.
Bili
Patomekanisme Ikterus
Berdasarkan metabolisme normal bilirubin di atas, maka mekanisme terjadinya ikterus
berkaitan dengan; (1) produksi bilirubin, (2) ambilan bilirubin oleh hepatosit, (3) ikatan
bilirubin intrahepatosit, (4) konjugasi bilirubin, (5) sekresi bilirubin, dan (6) ekskresi
bilirubin. Pada sebagian besar kasus, lebih dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan
bilirubin akibat hemolisis dari satu mekanisme terlibat, misalnya kelebihan bilirubin akibat
hemolisis dapat menyebabkan kerusakan sel hati atau kerusakan duktus biliaris, yang
kemudian dapat mengganggu transpor, sekresi dan eksresi bilirubin. Di pihak lain, gangguan
eksresi bilirubin dapat mengganggu ambilan dan transpor bilirubin. Selain itu, kerusakan
hepatoselular memperpendek umur eritrosit, sehingga menambah hiperbilirubinemia dan
gangguan proses ambilan bilirubin oleh hepatosit. (buku dioagnosis tata laksana)
Pengelolaan bayi ikterus yang mendapat ASI
Berikut ini adalah elemen elemen kunci yang perlu diperhatikan pada pengelolaan
early jaundice pada bayi yang mendapat ASI (Tabel 2).
Tabel 2. Pengelolaan ikterus dini (early jaundice) pada bayi yang mendapat ASI.
1. Observasi semua feses awal bayi. Pertimbangkan untuk merangsang
pengeluaran jika feses tidak keluar dalam waktu 24 jam.
2. Segera mulai menyusui dan beri sesering mungkin. Menyusui yang sering
dengan waktu yang singkat lebih efektif dibandingkan dengan menyusui yang
lama dengan frekuensi yang jarang walaupun total waktu yang diberikan
adalah sama.
3. Tidak dianjurkan pemberian air, dekstrosa atau formula pengganti.
4. Observasi berat badan, bak dan bab yang berhubungan dengan pola menyusui.
5. Ketika kadar bilirubin mencapai 15 mg/dl, tingkatkan pemberian minum,
rangsang pengeluaran / produksi ASI dengan cara memompa, dan
menggunakan protokol penggunaan fototerapi.
6. Tidak terdapat bukti bahwa early jaundice berhubungan dengan abnormalitas
ASI, sehingga penghentian menyusui sebagai suatu upaya hanya diindikasikan
jika ikterus menetap lebih dari 6 hari atau meningkat di atas 20 mg/dl, atau ibu
10

memiliki riwayat bayi sebelumnya terkena kuning.


Sumber : Buku Ajar Neonatologi Edisi Pertama, 2008, Badan Penerbit IDAI, Hal : 147 - 148

Penanganan Jaundice
Fototerapi terdiri dari radiasi bayi jaundice dengan lampu energi foton yang berasal
dari lampu akan merubah struktur molekul bilirubin dengan dua cara sehingga bilirubin
diekskresi ke empedu atau urin tanpa membutuhkan glukuronidase hepatik seperti biasanya.
Pilihan lampu yang digunakan masih diperdebatkan. Sinar biru khusus (atau biru
super, tapi bukan biru biasa) tampaknya lebih baik dari sinar putih atau hijau, walaupun
warna putih lebih tidak mengganggu terhadap paramedis. Secara umum fototerapi digunakan
untuk mencegah supaya bilirubin tidak mencapai kadar yang memerlukan exchange
transfusion.
Bayi bayi sehat cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum
sudah <14 15 mg/dl sehingga bayi dapat dipulangkan.
Optimisasi pemberian ASI pada periode perinatal adalah penting, jika kadar bilirubin
meningkat, dianjurkan untuk mendukung ibu agar lebih sering menyusui dengan interval 2
jam dan tidak memberikan makanan tambahan, atau setidaknya 8 10 kali per 24 jam.
Pemberian yang sering mungkin tidak akan meningkatkan intake tetapi akan meningkatkan
peristaltik dan frekuensi BAB sehingga meningkatkan ekskresi bilirubin. Jika pemberian ASI
dihentikan, pemberian PASI dapat dimulai selama 24 48 jam atau ASI dan PASI diberikan
selang seling. Pemberian ASI yang dipanaskan juga dapat menurunkan kadar bilirubin serum.
Penurunan kadar bilirubin serum 2 5mg/dl sesuai dengan diagnosis breast milk jaundice.
Jadi pemberian ASI dilanjutkan lagi, penting untuk memberikan ASI dengan menggunakan
pompa payudara. Penghentian ASI selama 24 48 jam berhasil menurunkan kadar bilirubin
serum dan menurunkan kebutuhan fototerapi pada 81 87 bayi jaundice.
Pada penanganan jaundice menurut saya perlu ditambahkan dalam pencegahan
pemberian zat zat yang mengikat albumin dan menggeser bilirubin sehingga menyebabkan
kernikterus. Obat obatan yang dapat menyebabkan hal tersebut adalah sulfonamid dan
seftriakson. Pilihan terapi untuk menurunkan kadar bilirubin tidak terkonjugasi antara lain
fototerapi, exchange transfusion, pemutusan sirkulasi enterohepatik dan induksi enzim.
Efektivitas fototerapi tergantung pada kualitas cahaya yang dipancarkan lampu
(panjang gelombang), intensitas cahaya (iradiasi), luas permukaan tubuh, ketebalan kulit dan
pigmentasi, lama paparan cahaya. Fototerapi yang intensif seharusnya dapat menurunkan

11

kadar bilirubin total serum 1-2 mg/dL dalam 4-6 jam, sehingga kadar bilirubin harus
dimonitor setiap 4-12 jam.

Kesimpulan
Telah dilaporkan kasus bayi baru lahir usia 4hari dengan diagnosa NCB SMK
Hiperbilirubinemia. Langkah paling penting penanganan jaundice adalah menentukan
penyebabnya. Bayi melakukan fototerapi dengan sinar biru selama 4 hari dan terjadi
penurunan kadar bilirubin total dari 16,8mg/dl sampai menjadi 12,9 mg/dl. Bayi bayi yang
sehat dan cukup bulan, fototerapi dapat dihentikan jika kadar bilirubin serum sudah <14,5
mg/dl sehingga bayi dapat dipulangkan. .

Daftar Pustaka
1. Sastroasmoro, Sudigdo. Tatalaksana Ikterus Neonatorum. 2004. HTA Indonesia
2. Juffrie M. Buku Ajar Gastroenterologi Hepatologi Jilid 1. Cetakan kedua 2011.
Badan Penerbit IDAI.
3. Kosim M.S. Buku Ajar Neonatologi. Edisi Pertama. Cetakan pertama 2014. Badan
Penerbit IDAI.

12

Anda mungkin juga menyukai