Anda di halaman 1dari 25

Referat

Hipertensi

Mohd Quarratul Aiman Bin Ishak


041114401089
Pembimbing:
dr.Erwin Azmar, Sp.PD

Bagian Ilmu Penyakit Dalam


Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya
Palembang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg
sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolik pada seseorang yang tidak
sedang mengkonsumsi obat antihipertensi.1
Sampai saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%,
sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3%
dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit
jantung di Indonesia.2 Pada Peringatan Hari Hipertensi 2007 di RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari,
SpJP (K) menyatakan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia pada daerah urban dan
rural berkisar antara 17-21%.2
Sebanyak 85-90% kasus hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut
sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil
hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder). Tidak ada data
akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder. Data yang tersedia pun sangat
tergantung pada lokasi di mana penelitian itu dilakukan. Diperkirakan terdapat sekitar
6% pasien yang menderita hipertensi sekunder, sedangkan di pusat rujukan dapat
mencapai sekitar 35%.3
Bila tidak diatasi, tekanan darah tinggi akan mengakibatkan jantung bekerja
keras hingga pada suatu saat akan terjadi kerusakan yang serius. Otot jantung akan
menebal (hipertrofi) dan mengakibatkan fungsinya sebagai pompa menjadi terganggu,
selanjutnya jantung akan berdilatasi dan kemampuan kontraksinya berkurang, yang
pada akhirnya akan terjadi gagal jantung. Gagal jantung adalah keadaan
ketidakmampuan jantung sebagai pompa darah untuk memenuhi secara adekuat
kebutuhan metabolisme tubuh.4
Gagal jantung yang disebabkan oleh hipertensi dikenal pula sebagai penyakit
jantung hipertensi (Hypertension Heart Disease). Penyakit jantung hipertensi ditandai
dengan adanya hipertrofi ventrikel kiri jantung sebagai akibat langsung dari peningkatan
bertahap tahanan pembuluh perifer dan beban akhir ventrikel kiri. Faktor yang
mempengaruhi proses terjadinya hipertrofi ventrikel kiri adalah derajat dan lamanya
peningkatan tekanan diastolik. Pengaruh faktor genetik pada proses ini lebih jelas.
Fungsi pompa ventrikel kiri selama hipertensi juga berhubungan erat dengan hipertrofi
ventrikel kiri. 4

1.2 Tujuan Umum


Tinjauan pustaka ini dibuat untuk memenuhi syarat ujian di bagian penyakit
dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Selain itu tinjauan pustaka ini juga di
harapkan bisa bermanfaat bagi semua pembacanya. Dengan membaca makalah ini di
harapkan bisa menambah pengetahuan bagi para pembaca tentang Hipetensi.

1.3 Rumusan Masalah


Hipertensi adalah penyakit yang harus di perhatikan,penyakit ini tidak boleh
disepelekan. Berdasarkan latar belakang di atas, saya akan merumuskan beberapa
masalah yaitu:
1.

Apa itu hipertensi ?

2.

Apa saja gejala hipertensi ?

3.

Apa penyebab hipertensi ?

4.

Bagaimana pengobatan hipertensi ?

5.

Bagaimana pencegahan hipertensi ?

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2. 1. Definisi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah yang sama atau melebihi 140 mmHg
sistolik dan/atau sama atau melebihi 90 mmHg diastolic pada seseorang yang tidak
sedang mengkonsumsi obat antihipertensi.1
2. 2. Epidemiologi
Sampai saat ini, prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%,
sedangkan tercatat pada tahun 1978 proporsi penyakit jantung hipertensi sekitar 14,3%
dan meningkat menjadi sekitar 39% pada tahun 1985 sebagai penyebab penyakit
jantung di Indonesia.2 Pada Peringatan Hari Hipertensi 2007 di RS Jantung dan
Pembuluh Darah Harapan Kita Jakarta, Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari,
SpJP (K) menyatakan bahwa prevalensi hipertensi di Indonesia pada daerah urban dan
rural berkisar antara 17-21%.2
Prevalensi hipertensi tergantung pada perbandingan komposisi ras dalam populasi
penelitian dan kriteria yang digunakan untuk menggambarkan kondisinya. Dalam
populasi suburban kulit putih seperti pada studi Framingham, hampir 1/5 populasi
memiliki tekanan darah >160/95 mmHg, sedangkan hampir populasi memiliki
tekanan darah >140/90 mmHg. Bahkan prevalensi yang lebih tinggi lagi telah
didokumentasikan dalam populasi bukan kulit putih. Pada wanita, prevalensi hipertensi
berkaitan erat dengan faktor usia, di mana terjadi peningkatan prevalensi hipertensi pada
wanita berusia >50 tahun. Peningkatan prevalensi ini diperkirakan berhubungan dengan
perubahan hormonal akibat menopause, meskipun mekanismenya masih belum jelas.
Adapun perbandingan frekuensi kejadian hipertensi antara wanita dan pria adalah
0,6:0,7 pada usia 30 tahun dan 1,1:1,2 pada usia 65 tahun.5
2. 3. Etiologi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu:
1. Hipertensi esensial atau hipertensi primer yang tidak diketahui penyebabnya,
disebut juga hipertensi idiopatik. Terdapat sekitar 95% kasus. Banyak faktor
yang mempengaruhinya, seperti genetik, lingkungan, hiperaktivitas susunan
saraf simpatis, sistem renin-angiotensin, defek dalam ekskresi Na, peningkatan
Na dan Ca intraselular, dan faktor-faktor yang meningkatkan risiko, seperti
obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia.6
2. Hipertensi sekunder. Terdapat sekitar 5% kasus. Penyebab spesifiknya diketahui,
seperti penggunaan estrogen, penyakit ginjal, hipertensi vaskular renal,
hiperaldosteronisme primer, sindroma Cushing, feokromositoma, koarktasio
aorta, hipertensi yang berhubungan dengan kehamilan, dan lain-lain.6

2. 4. Klasifikasi
Berdasarkan Joint National Committee VII, hipertensi diklasifikasikan sebagai berikut:
Kategori

TD Sistolik

TD Diastolik

Normal

<120 mmHg

dan

<80 mmHg

Prehipertensi

120-139 mmHg

atau

80-89 mmHg

Hipertensi stage I

140-159 mmHg

atau

90-99 mmHg

Hipertensi stage II

160 mmHg

atau

100 mmHg

Berdasarkan WHO-ISH, klasifikasi hipertensi adalah sebagai berikut:


Kategori

TD Sistolik

TD Diastolik

Optimal

<120 mmHg

<80 mmHg

Normal

<130 mmHg

<85 mmHg

Normal tinggi

130-139 mmHg

85-89 mmHg

Derajat 1 (ringan)

140-159 mmHg

90-99 mmHg

-subgrup borderline

140-149 mmHg

90-94 mmHg

Derajat 2 (sedang)

160-179 mmHg

100109 mmHg

Derajat 3 (berat)

180 mmHg

110 mmHg

Hipertensi sistolik

140 mmHg

<90 mmHg

-subgrup borderline

140-149 mmHg

<90 mmHg

2. 5. Manifestasi Klinis
Peningkatan tekanan darah terkadang merupakan satu-satunya gejala. Bila
demikian, gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, mata, otak, atau
jantung. Selain peningkatan tekanan darah, gejala-gejala lain yang sering ditemukan
antara lain adalah6:

Sakit kepala

Epistaksis

Telinga berdengung

Rasa berat di tengkuk

Susah tidur

Mata berkunang-kunang

2. 6. Diagnosis
Diagnosis hipertensi tidak dapat ditegakkan dalam satu kali pengukuran, hanya
dapat ditetapkan setelah dilakukan tiga kali pengukuran tekanan darah dalam interval 12 minggu atau 2 hari berturut-turut dengan pengukuran sebanyak dua kali atau lebih
dalam jarak waktu lebih dari 2 menit pada masing-masing pengukuran.7
2. 7. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk menunjang diagnosis hipertensi antara
lain adalah6,7:

Pemeriksaan laboratorium
o Darah perifer lengkap
o Kimia darah (kalium, natrium, ureum, kreatinin, gula darah puasa/pp 2
jam, kolesterol total, kolesterol LDL, kolesterol HDL, asam urat)
o Urinalisis
o Rontgen thorax PA/BNO
o Elektrokardiografi
o Echocardiografi
o Funduskopi mata
o USG ginjal dan saluran kemih

2. 8. Komplikasi
Komplikasi atau kerusakan organ yang dapat ditimbulkan oleh hipertensi antara
1,6

lain :

Hipertrofi ventrikel kiri

Infark miokard

Angina pektoris

Gagal jantung

Riwayat revaskularisasi koroner

Aterosklerosis pembuluh darah

Nefropati

Retinopati

Stroke

TIA (transient ischemic attack)

2. 9. Penatalaksanaan
Tujuan deteksi dan penatalaksanaan hipertensi adalah menurunkan risiko
penyakit kardiovaskular dan mortalitas serta morbiditas yang berkaitan. Tujuan terapi
adalah mencapai dan mempertahankan tekanan sistolik <140 mmHg dan tekanan
diastolik <90 mmHg dan mengontrol faktor risiko. Hal ini dapat dicapai melalui
modifikasi gaya hidup saja, atau dengan obat antihipertensi.6
Kelompok risiko dikategorikan menjadi6:
A : pasien dengan tekanan darah perbatasan, atau tingkat 1, 2, atau 3, tanpa gejala
penyakit kardiovaskular, kerusakan organ, atau faktor risiko lainnya. Bila dengan
modifikasi gaya hidup tekanan darah belum dapat diturunkan, maka harus diberikan
obat antihipertensi.
B :
pasien tanpa penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ lainnya, tapi
memiliki satu atau lebih faktor risiko, namun bukan diabetes melitus. Jika terdapat
beberapa faktor maka harus langsung diberikan obat antihipertensi.
C :
jelas.

pasien dengan gejala klinis penyakit kardiovaskular atau kerusakan organ yang

Faktor risiko1,6:

Usia (laki-laki >55 tahun, perempuan >65 tahun)

Merokok

Dislipidemia

Obesitas (IMT>30)

Inaktivitas fisik

Diabetes melitus

Jenis kelamin (pria dan wanita menopause)

Riwayat keluarga dengan penyakit kardiovaskular dini (laki-laki <55 tahun atau
perempuan <65 tahun)

Mikroalbuminuria atau LFG <60 ml/menit

Penatalaksanaan hipertensi berdasarkan klasifikasi risiko6:


TD (mmHg)

Kel. Risiko A

Kel. Risiko B

Kel. Risiko C

130-139/85-89

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup

Dengan obat

140-159/90-99

Modifikasi gaya hidup

Modifikasi gaya hidup

Dengan obat

160/100

Dengan obat

Dengan obat

Dengan obat

Modifikasi gaya hidup merupakan cara yang cukup efektif, dapat menurunkan risiko
kardiovaskular dengan biaya sedikit dan risiko minimal. Tatalaksana ini tetap dianjurkan
meski harus disertai obat antihipertensi karena dapat menurunkan jumlah dan dosis
obat. Langkah-langkah yang dianjurkan adalah6:

Menurunkan berat badan bila terdapat kelebihan (indeks massa tubuh 27)

Membatasi alkohol

Meningkatkan aktivitas fisik aerobik (30-45 menit/hari)

Mengurangi asupan natrium (<100 mmol Na/2,4 gr Na/6 gr NaCl/hari)

Mempertahankan asupan kalium yang adekuat (90 mmol/hari)

Mempertahankan asupan kalium dan magnesium yang adekuat

Berhenti merokok dan mengurangi asupan lemak jenuh dan kolesterol dalam
makanan

Penatalaksanaan dengan obat antihipertensi bagi sebagian besar pasien dimulai dengan
dosis rendah kemudian ditingkatkan secara titrasi sesuai dengan umur, kebutuhan, dan
usia. Terapi yang optimal harus efektif selama 24 jam, dan lebih disukai dalam dosis
tunggal karena kepatuhan lebih baik, lebih murah, dapat mengontrol hipertensi terusmenerus dan lancar, melindungi pasien terhadap berbagai risiko dari kematian
mendadak, serangan jantung, atau stroke akibat peningkatan tekanan darah mendadak
saat bangun tidur. Sekarang terdapat pula obat yang berisi kombinasi dosis rendah dua
obat dari golongan yang berbeda. Kombinasi ini terbukti memberikan efektivitas
tambahan dan mengurangi efek samping.6
Setelah diputuskan untuk memakai obat antihipertensi dan bila tidak terdapat indikasi
untuk memilih golongan obat tertentu, diberikan diuretik atau beta bloker. Jika respons
tidak baik dengan dosis penuh, dilanjutkan sesuai algoritma. Diuretik biasanya menjadi
tambahan karena dapat meningkatkan efek obat yang lain. Jika tambahan obat kedua
dapat mengontrol tekanan darah dengan baik minimal setelah 1 tahun, dapat dicoba
menghentikan obat pertama melalui penurunan dosis secara perlahan dan progresif.6
Pada beberapa pasien mungkin dapat dimulai terapi dengan lebih dari satu obat secara
langsung. Pasien dengan tekanan darah 200/120 mmHg harus diberikan terapi
dengan segera dan jika terdapat gejala kerusakan organ harus dirawat di rumah sakit.6
Penatalaksanaan umum hipertensi mengacu kepada tuntunan umum (JNC VII 2003,
ESH/ESC 2003), yaitu3:

Pengelolaaan lipid agresif dan pemberian aspirin sangat bermanfaat.

Pasien hipertensi pascainfark jantung sangat mendapat manfaat pengobatan


dengan penyekat beta, penghambat ACE atau antialdosteron.

Pasien hipertensi dengan risiko PJK yang tinggi mendapat manfaat dengan
pengobatan diuretik, penyekat beta, penghambat kalsium.

Pasien hipertensi dengan gangguan fungsi ventrikel mendapat manfaat tinggi


dengan pengobatan diuretik, penghambat ACE/ARB, penyekat beta dan
antagonis aldosteron.

Bila sudah dalam tahap gagal jantung hipertensi, maka prinsip pengobatannya
sama dengan pengobatan gagal jantung yang lain yaitu diuretik, penghambat
ACE/ARB, penghambat beta, dan penghambat aldosteron.

2.10 Pencegahan
Sebelum penyakit hipertensi menyerang kita akan lebih baik jika kita
mencegahnya terlebih dahulu. Cara yang tepat untuk mencegah hipertensi yaitu :
1. Tidak merokok karena nikotin dalam rokok dapat mengakibatkan jantung berdenyut
lebih cepat dan menyempitkan pembuluh darah kecil yang menyebabkan jntung
terpaksa memompa lebih kuat untuk memenuhi keprluan tubuh kit
2. Kurangi konsumsi garam karena garam berlebih dalam darah dapat menyebabkan
lebih banyak air yang disimpan dan ini mengakibatkan tekanan darah menjadi tinggi
3. Kurangi lemak, lemak yang berlebih akan terkumpul di sekeliling pembuluh darah
dan menjadikannya tebal dan kaku
4. Pertahankan berat badan ideal
5. Olahraga secara teratur
6. Hindari konsumsi alkohol
7. Konsumsi makanan sehat,rendah lemak,kaya vitamin dan mineral alami

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 KESIMPULAN
Seseorang dikatakan terkena hipertensi mempunyai tekanan dara sistolik
140mmHg dan tekanan darah diastoltik 90mmHg. Penyakit in adalah penyakit yang
berbahaya karena merupakan salah satu faktor resiko terjadinya stroke. Hipertensi
berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi 2, yaitu hipertensi primer atau merupakan
hipertensi dengan penyebab yang tidak diketahui secara pasti. Hipertensi sekunder yaitu
hipertensi yang disebabkan oleh penyebab spesifik tertentu, misalnya penyakit ginjal,
penyakit endokrin atau karena penyakit koartasio aorta.

3.2 SARAN
Setelah membaca tinjauan pustaka ini saya berpesan kepada para pembaca

Selalu menjaga kesehatan. Kesehatan merupakan anugerah yang tak ternilai


harganya. Karena di dalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang kuat.
Selalu memperhatikan asupan makanan yang masuk dalam tubuh kita.
Makanlah makanan yang bergizi tinggi yang dapat memenuhi semua
kebutuhan tubuh kita
Rajin berolahraga

DAFTAR PUSTAKA
1. Rani, Aziz, dkk. Panduan Pelayanan Medik. Jakarta: Pusat Penerbitan FKUI;
2006
2. Miftah, Suryadipraja. Prevalensi Congestive Hearth Failure (CHF). Available
from URL: library.usu.ac.id./download/fkm-hiswani12.pdf. Diakses tanggal 11
Oktober 2008.
3. Sudoyo, Aru W, dkk. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
FKUI; 2006
4. Price, Sylvia A. dan Wilson, Lorraine M. Patofisiologi Edisi 6 Volume I. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2006.
5. Kasper, dkk. Harrisons Principles of Internal Medicine 16th Edition. The
McGraw-Hill Company: 2005.
6. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI: 2001.
7. Salim, Edi Mart dkk. Standar Profesi Ilmu Penyakit Dalam, Palembang:
Lembaga Penerbitan Bagian Ilmu Penyakit Dalam FK UNSRI;2002:42

BAB I
PENDAHULUAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 8590% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat
ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).1
Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik (menurunnya suplai
darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan
jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang
menebal.2
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang
peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan
tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.3

Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat,pengkuran tekanan


darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan awal pasien
hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan pemeriksaan fisis untuk
mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor risiko penyakit
kardiovaskular
lain,
menyaring
penyebab-penyebab
sekunder
hipertensi,
mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain,
memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap detail
mengenai tekhnik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang
penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian besar
pengukuran dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen pengukur
tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Pada pemeriksaan fisis, Habitus tubuh,
seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal, tekanan harus
diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk dan berdiri
untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Pada pemeriksaan laboratorium
meliputi Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN atau kreatinin serum, Natrium,
kalium, kalsium, dan TSH serum, Hematokrit, elektrokardiogram, Glukosa darah puasa,
kolesterol total, HDL dan LDL, trigliserida.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non
farmakologi) dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin,
antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik, penyekat
kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).4
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACEInhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel
kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat
penyakit jantung hipertensi.2
BAB II
PEMBAHASAN
II.1.

Definisi

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 8590% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau idiopatik). Sejumlah 85-90 % hipertensi tidak diketahui
penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau Idiopatik).
Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi
sekunder).
Tidak ada data akurat mengenai prevalensi hipertensi sekunder dan sangat tergantung di
mana angka itu diteliti. Diperkirakan terdapat sekitar 6% pasien hipertensi sekunder
sedangkan di pusat rujukan dapat mencapai sekitar 35%. Hampir semua hipertensi
sekunder didasarkan pada 2 mekanisme yaitu gangguan sekresi hormon dan gangguan
fungsi ginjal. Pasien hipertensi sering meninggal dini karena komplikasi jantung (yang

disebut sebagai penyakit jantung hipertensi). Juga dapat menyebabkan strok, gagal
ginjal, atau gangguan retina mata.1,6
II.2.

Etiologi

Tekanan darah tinggi meningkatkan beban kerja jantung, dan seiring dengan
berjalannya waktu hal ini dapat menyebabkan penebalan otot jantung. Karena jantung
memompa darah melawan tekanan yang meningkat pada pembuluh darah yang
meningkat, ventrikel kiri membesar dan jumlah darah yang dipompa jantung setiap
menitnya (cardiac output) berkurang. Tanpa terapi, gejala gagal jantung akan makin
terlihat.
Tekanan darah tinggi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke.
Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya
suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan
serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung
yang menebal.
Tekanan darah tinggi juga berpenaruh terhadap penebalan dinding pembuluh darah yang
akan mendorong terjadinya aterosklerosis (peningkatan kolesterol yang akan
terakumulasi pada dinding pembuluh darah). Hal ini juga meningkatkan resiko seangan
jantung dan stroke. Penyakit jantung hipertensi adalah penyebab utama penyakit dan
kematian akibat hipertensi. Hal ini terjadi pada sekitar 7 dari 1000 orang.2
II.3.

Patofisiologi

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang
peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan
tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut. Peningkatan tekanan
darah menyebabkan perubahan yang merugikan pada struktur dan fungsi jantung
melalui 2 cara: secara langsung melalui peningkatan afterload dan secara tidak langsung
melalui nuerohormonal terkait dan perubahan vaskular. Peningkatan perubahan tekanan
darah dan tekanan darah malam hari dalam 24 jam telah dibuktikan sebagai faktor yang
paling berhubungan dengan berbagai jenis patologi jantung, terutama bagi masyarakat
Afrika-Amerika. Patofisiologi berbagai efek hipertensi terhadap jantung berbeda-beda
dan akan dijelaskan pada bagian ini.
Hipertrofi ventrikel kiri
Pada pasien dengan hipertensi, 15-20% mengalami hipertrofi ventrikel kiri (HVK).
Risiko HVK meningkat dua kali lipat pada pasien obesitas. Prevalensi HVK
berdasarkan penemuan lewat EKG(bukan merupakan alat pemeriksaan yang sensitif)
pada saat menegakkan diagnosis hipertensi sangatlah bervariasi.Penelitian telah
menunjukkan hubungan langsung antara derajat dan lama berlangsungnya peningkatan
tekanan darah dengan HVK.
HVK didefinisikan sebagai suatu penambahan massa pada ventrikel kiri, sebagai respon
miosit terhadap berbagai rangsangan yang menyertai peningkatan tekanan darah.
Hipertrofi miosit dapat terjadi sebagai kompensasi terhadap peningkatan afterload.

Rangsangan mekanik dan neurohormonal yang menyertai hipertensi dapat


menyebabkan aktivasi pertumbuhan sel-sel otot jantung, ekspresi gen (beberapa gen
diberi ekspresi secara primer dalam perkembangan miosit janin), dan HVK. Sebagai
tambahan, aktivasi sistem renin-angiotensin melalui aksi angiotensin II pada reseptor
angiotensin I mendorong pertumbuhan sel-sel interstisial dan komponen matrik sel.
Jadi, perkembangan HVK dipengaruhi oleh hipertrofi miosit dan ketidakseimbangan
antara miosit dan struktur interstisium skeleton cordis.
Berbagai jenis pola HVK telah dijelaskan, termasuk remodelling konsentrik, HVK
konsentrik, dan HVK eksentrik. HVK konsentrik adalah peningkatan pada ketebalan
dan massa ventrikel kiri disertai peningkatan tekanan dan volume diastolik ventrikel
kiri, umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi. Bandingkan dengan HVK
eksentrik, di mana penebalan ventrikel kiri tidak merata namun hanya terjadi pada sisi
tertentu, misalnya pada septum. LVH konsentrik merupakan pertanda prognosis yang
buruk pada kasus hiperetensi. Pada awalnya proses HVK merupakan kompensasi
perlindungan sebagai respon terhadap peningkatan tekanan dinding ventrikel untuk
mempertahankan cardiac output yang adekuat, namun HVK kemudian mendorong
terjadinya disfungsi diastolik otot jantung, dan akhirnya menyebabkan disfungsi sistolik
otot jantung.
Abnormalitas Atrium Kiri
Sering kali tidak terduga, perubahan struktur dan fungsi atrium kiri sangat umum terjadi
pada pasien dengan hipertensi. Peningkatan afterload membebani atrium kiri lewat
peningkatan tekanan end diastolik ventrikel kiri sebagai tambahan untukmeningkatkan
tekanan darah yang menyebabkan gangguan pada fungsi atrium kiri ditambah
peningkatan ukuran dan penebalan tarium kiri. Peningkatan ukuran atrium kiri pada
kasus hipertensi yang tidak disertai penyakit katup jantung atau disfungsi sistolik
menunjukkan kronisitas hipertensi dan mungkin berhubungan dengan beratnya
disfungsi diastolik ventrikel kiri. Sebagai tambahan, perubahan struktur ini menjadi
faktor predisposisi terjadinya atrial fibrilasi pada pasien-pasien tersebut. Atrial fibrilasi,
dengan hilangnya kontribusi atrium pada disfungsi diastolik, dapat mempercepat
terjadinya gagal jantung.
Penyakit Katup
Meskipun penyakit katup tidak menyebabkan penyakit jantung hipertensi, hipertensi
yang kronik dan berat dapat menyebabkan dilatasi cincin katup aorta, yang
menyebabkan terjadinya insufisiensi aorta signifikan. Beberapa derajat perubahan
perdarahan secara signifikan akibat insufisiensi aorta sering ditemukan pada pasien
dengan hipertensi yang tidak terkontrol. Peningkatan tekanan darah yang akut dapat
menentukan derajat insufisiensi aorta, yang akan kembali ke dasar bila tekanan darah
terkontrol secara lebih baik. Sebagai tambahan, selain menyebabkan regurgitasi aorta,
hipertensi juga diperkirakan dapat mempercepat proses sklerosis aorta dan
menyebabkan regurgitasi mitral.
Gagal Jantung
Gagal jantung adalah komplikasi umum dari peningkatan tekanan darah yang kronik.
Hipertensi sebagai penyebab gagal jantung kongestif seringkali tidak diketahui,

sebagian karena saat gagal jantung terjadi, ventrikel kiri yang mengalami disfungsi tidak
mampu menghasilkan tekanan darah yang tinggi, hal ini menaburkan penyebab gagal
jantung tersebut. Prevalensi disfungsi diastolik yang asimtomatik pada pasien dengan
hipertensi dan tanpa HVK (Hipertensi Ventrikel Kiri) adalah sekitar 33%. Peningkatan
afterload yang kronis dan terjadinya HVK dapat memberi pengaruh buruk terhadap fase
awal relaksasi dan fase komplaien lambat dari diastolik ventrikel.
Disfungsi diastolik umumnya terjadi pada seseorang dengan hipertensi. Disfungsi
diastolik biasanya, namun tidak tanpa kecuali, disertai dengan HVK. Sebagai tambahan,
selain peningkatan afterload, faktor-faktor lain yang ikut berperan dalam proses
terjadinya disfungsi diastolik adalah penyakit arteri koroner, penuaan, disfungsi sistolik,
dan abnormalitas struktur seperti fibrosis dan HVK. Disfungsi sistolik yang asimtomatik
biasanya juga terjadi. Pada bagian akhir penyakit, HVK gagal mengkompensasi dengan
meningkatkan cardiac output dalam menghadapi peningkatan tekanan darah, kemudian
ventrikel kiri mulai berdilatasi untuk mempertahankan cardiac output. Saat penyakit ini
memasuki tahap akhir, fungsi sistolik ventrikel kiri menurun. Hal ini menyebabkan
peningkatan lebih jauh pada aktivasi neurohormonal dan sistem renin-angiotensin, yang
menyebabkan peningkatan retensi garam dan cairan serta meningkatkan vasokontriksi
perifer. Apoptosis, atau program kematian sel, distimulasi oleh hipertrofi miosit dan
ketidakseimbangan antara stimulan dan penghambat, disadari sebagai pemegang peran
pentingdalam transisi dari tahap kompensata menjadi dekompensata. Pasien menjadi
simptomatik selama tahap asimtomatik dari disfungsi sistolik atau diastolik ventrikel
kiri, menerima perubahan pada kondisi afterload atau terhadap kehadiran gangguan lain
bagi miokard (contoh: iskemia, infark). Peningkatan tekanan darah yang tiba-tiba dapat
menyebabkan edema paru akut tanpa perlu perubahan pada fraksi ejeksi ventrikel kiri.
Secara umum, perkembangan dilatasi atau disfungsi ventrikel kiri yang asimtomatik
maupun yang simtomatik melambangkan kemunduran yang cepat pad status klinis dan
menandakan peningkatan risiko kematian. Sebagai tambahan, selain disfungsi ventrikel
kiri, penebalan dan disfungsi diastolik ventrikel kanan juga terjadi sebagai hasil dari
penebalan septum dan disfungsi ventrikel kiri.
Iskemik Miokard
Pasien dengan angina memiliki prevalensi yang tinggi terhadap hipertensi. Hipertensi
adalah faktor risiko yang menentukan perkembangan penyakit arteri koroner, bahkan
hampir melipatgandakan risiko. Perkembangan iskemik pada pasien dengan hipertensi
bersifat multifaktorial.
Hal yang penting pada pasien dengan hipertensi, angina dapat terjadi pada
ketidakhadiran penyakit arteri koroner epikardium. Penigkatan aferload sekunder akibat
hipertensi menyebabkan peningkatan tekanan dinding ventrikel kiri dan tekanan
transmural, menekan aliran darah koroner selama diastole. Sebagai tambahan,
mikrovaskular, diluar arteri koroner epikardium, telah terlihat mengalami disfungsi pada
pasien dengan hipertensi dan mungkin tidak mampu mengkompensasi peningkatan
metabolik dan kebutuhan oksigen.
Perkembangan dan progresifitas aterosklerosis, merupakan tanda penyakit arteri
koroner, di eksaserbasikan pada arteri yang menjadisubjek peningkatan tekanan darah
kronis mengurangi tekanan yang terkait dengan hipertensi dan disfungsi endotelial

menyebabkan gangguan pada sintesis dan pelepasan nitrit oksida yang merupakan
vasodilator poten. Penurunan kadar nitrit oksida menyebabkan perkembangan dan
makin cepatnya pembentukan arteriosklerotis dan plak. Gambaran morfologi plak
identik dengan plak yang ditemukan pada pasien tanpa hipertensi.
Arimia kardiak
Arimia kardia umumnya ditemukan pada pasien dengan hipertensi yang mengalami
arterial fibrilasi kontraksi ventrikel yang prematur dan ventrikuler takikardi.
Resiko henti jantung mendadak meningkat. Berbagai metabolismedipekirakan
memegang peranan dalam patogenesis aritmia termasuk perubahan struktur dan
metabolisme sel, ketidakhomogen miokard, perfusi yang buruk, fibrosis miokard dan
fluktuasi pada afterload. Semua faktor tersebut dapat menyebabkan peningkatanan
resiko ventrikel takiaritmia.
Artrial fibrilasi (paroksisimal, kronik rekuren, atau kronik persisten), sering ditemukan
pada pasien dengan hipertensi. Faktanya, peningkatan tekanan darah merupakan faktor
umum bagi artrial fibrilasi. Pada suatu penelitian hampir 50% pasien dengan artrial
fibrilasi mengidap hipertensi walaupun etiologi yang pasti tidak diketahui, abnormalitas
struktur atrium kiri, penyakit arteri koroner, dan HVK telah dianggap sebagi faktor yang
mungkin berperan. Perkembangan artrial fibrilasi dapat menyebabkan disfungsi sistolik
dekompensata, dan yang lebih penting, disfungsi diastolik, menyebabkan hlangnya
kontraksi atrium, dan juga meningkatkan resiko komplikasi tromboembolik, khususnya
stroke.
Kontraksi ventrikuler prematur, ventrikuler aritmia dan henti jantung mendadak
ditemukan lebih sering pada pasien dengan HVK daripada pasien tanpa HVK. Penyebab
arimitmia tersebut dianggap terjadi bersama-sama dengan penyakit arteri koroner dan
fibrosis miokard.3,5,7,9,10
II.4.

Diagnosis

Riwayat
Pemeriksaan awal pasien hipertensif harus menyertakan riwayat lengkat dan
pemeriksaan fisis untuk mengkonfirmasi diagnosis hipertensi, menyaring faktor-faktor
risiko penyakit kardiovaskular lain, menyaring penyebab-penyebab sekunder hipertensi,
mengidentifikasi konsekuensi kardiovaskular hipertensi dan komorbiditas lain,
memeriksa gaya hidup terkait-tekanan darah, dan menentukan potensi intervensi.
Sebagian besar pasien dengan hipertensi tidak memiliki gejala spesifik yang dapat
dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah mereka. Walaupun popular dianggap
sebagai gejala peningkatan tekanan arterial, sakit kepala lazim terjadi hanya pada pasien
dengan hipertensi berat. Suatu sakit kepala hipertensif khas terjadi pada waktu pagi dan
berlokasi di regio oksipital. Gejala nonspesifik lain yang dapat berkaitan dengan
peningkatan tekanan darah antara lain adalah rasa pusing, palpitasi, rasa mudah lelah,
dan impotensi. Ketika gejala-gejala didapati, mereka umum berhubungan dengan
penyakit kardiovaskular hipertensif atau dengan manifestasi hipertensi sekunder. Tabel
berikut mendaftarkan fitur-fitur nyata yang harus diselidiki dalam perolehan riwayat
dari pasien hipertensif.

Tabel Riwayat yang relevan


Durasi hipertensi
Terapi terdahulu: respon dan efek samping
Riwayat diet dan psikososial
Faktor-faktor risiko lain: perubahan berat badan, dislipidemia, kebiasaam merokok, diabetes,
inaktivitas fisik
Bukti-bukti hipertensi sekunder: riwayat penyakit ginjal; perubahan penampilan; kelemahan otot;
palpitasi, tremor; banyak berkeringan, sulit tidur, perilaku mendengkur, somnolens siang hari;
gejala-gejala hipo atau hipertiroidisme; penggunaan agen-agen yang dapat meningkatkan tekanan
darah
Bukti-bukti kerusakan organ target: riwayat TIA, stroke, kebutaan transien; angina, infark
miokardium, gagal jantung kongestif; fungsi seksual
Komorbiditas lain
Pengukuran tekanan darah
Pengukuran tekanan darah yang terpercaya tergantung pada perhatian terhadap detail
mengenai teknik dan kondisi pengukuran. Karena peraturan terkini yang melarang
penggunaan merkuri karena perhatian mengenai toksisitas potensialnya, sebagian besar
pengukuran kantor dibuat menggunakan instrumen aneroid. Akurasi instrumen
pengukur tekanan darah terotomatisasi harus dikonfirmasi. Sebelum pengukuran
tekanan darah, individu harus didudukkan selama 5 menit dalam kondisi hening dan
dengan privasi yang terjaga serta temperatur yang nyaman. Bagian tengah cuff harus
berada sejajar jantung, dan lebar cuff harus setara dengan sekurang-kurangnya 40%
lingkar lengan. Penempatan cuff, penempatan stetoskop, dan kecepatan deflasi cuff (2
mmHg/detik) penting untuk diperhatikan. Tekanan darah sistolik adalah yang pertama
dari sekurang-kurangnya dua ketukan suara Korotkoff regular, dan tekanan darah
diastolik adalah titik di mana suara Korotkoff regular terakhir didengar. Dalam praktik
saat ini, diagnosis hipertensi umumnya dilandasi oleh pengukuran dalam kondisi duduk
di tempat praktik.
Monitor ambulatorik yang tersedia sekarang adalah sepenuhnya otomatis, menggunakan
tekhik osilometrik, dan umumnya diprogram untuk membuat pembacaan setiap 15-30
menit. Namun pengawasan tekanan darah ambulatorik tidaklah sering digunakan secara
rutin di praktik klinis dan lazim disimpan bagi pasien yang dicurigai mengalami white
coat hypertension. JNC 7 juga telah merekomendasikan pengawasan ambulatorik untuk
resistensi terhadap penanganan, hipotensi simptomatik, kegagalan otonom, dan
hipertensi episodik.
Pemeriksaan fisik
Habitus tubuh, seperti tinggi dan berat badan, harus dicatat. Pada pemeriksaan awal,
tekanan harus diukur pada kedua lengan, dan lebih baik pada posisi terlentang, duduk
dan berdiri untuk mengevaluasi keberadaan hipotensi postural. Bahkan jika nadi

femoral teraba normal, tekanan arterial harus diukur sekurangnya sekali pada
ekstremitas inferioir pada pasien di mana hipertensi ditemui sebelum usia 30 tahun.
Kecepatan detak jantung juga harus dicatat. Individu hipertensif memiliki peningkatan
prevalensi untuk mengalami fibrilasi atrial. Leher harus dipalpasi untuk mencari
pembesaran kelenjar tiroid, dan para pasien harus diperiksa untuk tanda-tana hipo dan
hipertiroidisme. Pemeriksaan pembuluh darah dapat menyediakan petunjuk mengenai
penyakit vakular yang mendasari dan harus menyertakan pemeriksaan funduskopik,
auskultasi untuk bruit di arteri karotid dan femoral, dan palpasi denyut nadi femoral dan
pedal (pedis). Retina adalah satu-satunya jaringan di mana arteri dan arteriol dapat
diamati secara langsung. Seiring peningkatan tingkat keparahan hipertensi dan penyakit
atherosklerotik, perubahan funduskopik progresif antara lain seperti peningkatan refleks
cahaya arteriolar, defek perbandingan arteriovenous, hemorrhagi dan eksudat, dan, pada
pasien dengan hipertensi maligna, papiledema. Pemeriksaan pada jantung dapat
mengungkapkan bunyi jantung kedua yang menguat karena penutupan katup aorta dan
suatu gallop S4 yang dikarenakan kontraksi artrium terhadap ventrikel kiri yang tidak
seiring. Hipertropi ventrikel kiri dapat terdeteksi melalui keberadaan impuls apikal yang
menguat, bertahan, dan bertempat di lateral. Suatu bruit abdominal, terutama bruit yang
berlateralisasi dan terjadi selama sistole ke diastole, meningkatkan kemungkinan
hipertensi renovaskular. Ginjal pasien dengan penyakit ginjal polikistik dapat dipalpasi
di abdomen. Pemeriksaan fisis harus menyertakan pemeriksaan tanda-tanda CHF dan
pemeriksaan neurologis.
Tes laboratorium
Tabel dibawah ini mencantumkan tes-tes laboratorium yang direkomendasikan dalam
evaluasi awal pasien hipertensif. Pengukuran fungsi ginjal berulang, elektrolit serum,
glukosa puasa, dan lipid dapat dilakukan setelah pemberian agen antihipertensif baru
dan kemudian tiap tahun, atau lebih sering bila diindikasikan secara klinis. Tes
laboratorium yang lebih ekstensif dapat dilakukan bagi pasien dengan hipertensi
resistan-pengobatan yang nyata atau ketika evaluasi klinis menunjukkan bentuk
hipertensi sekunder.4
Tabel Tes laboratorium dasar untuk evaluasi awal
Sistem

Tes

Ginjal

Urinalisis mikroskopik, ekskresi albumin, BUN


atau kreatinin serum

Endokrin

Natrium, kalium, kalsium, dan TSH serum

Metabolik

Glukosa darah puasa, kolesterol total, HDL dan


LDL, trigliserida

Lain-lain

Hematokrit, elektrokardiogram

II.5.

Penatalaksanaan

Perubahan gaya hidup

Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik
pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang
meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan
sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif. Intervensi-intervensi ini
harus diarahkan untuk mengatasi risiko penyakit kardiovaskular secara keseluruhan.
Walaupun efek dari intervensi gaya hidup pada tekanan darah adalah jauh lebih nyata
pada individu dengan hipertensi, pada uji jangka-pendek, penurunan berat badan dan
reduksi NaCl diet juga telah terbukti mencegah perkembangan hipertensi. Pada individu
hipertensif, bahkan jika intervensi-intervensi ini tidak menghasilkan reduksi tekanan
darah yang cukup untuk menghindari terapi obat, namun jumlah pengobatan atau dosis
yang diperlukan untuk kontrol tekanan darah dapat dikurangi. Modifikasi diet yang
secara efektif mengurangi tekanan darah adalah penurunan berat badan, reduksi
masukan NaCl, peningkatan masukan kalium, pengurangan konsumsi alkohol, dan pola
diet sehat secara keseluruhan.
Tabel Modifikasi gaya hidup untuk mengatasi hipertensi
Reduksi berat badan

Memperoleh dan mempertahankan BMI <25


kg/m2

Reduksi garam

< 6 g NaCl/hari

Adaptasi rencana diet jenis-DASH

Diet yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran,


dan produk susu rendah-lemak dengan
kandungan lemak tersaturasi dan total yang
dikurangi

Pengurangan konsumsi alkohol

Bagi mereka yang mengkonsumsi alkohol,


minumlah 2 gelas/hari untuk laki-laki dan 1
gelas/hari untuk wanita

Aktivitas fisik

Aktivitas aerobik teratur, seperti jalan cepat


selama 30 menit/hari

Pencegahan dan penatalaksanaan obesitas adalah penting untuk mengurangi tekanan


darah dan risiko penyakit kardiovaskular. Pada uji jangka-pendek, bahkan penurunan
berat badan yang moderat dapat mengarah pada reduksi tekanan darah dan peningkatan
sensitivitas insulin. Reduksi tekanan darah rata-rata sebesar 6.3/3/1 mmHg telah diamati
terjadi dengan reduksi berat badan rata-rata sebesar 9.2 kg. Aktivitas fisik teratur
memudahkan penurunan berat badan, mengurangi tekanan darah, dan mengurangi risiko
keseluruhan untuk penyakit kardiovaskular. Tekanan darah dapat dikurangi oleh
aktivitas fisik intensitas moderat selama 30 menit, seperti jalan cepat, 6-7 hari per
minggu, atau oleh latihan dengan intensitas lebih dan frekuensi kurang.
Terdapat variasi individual dalam sensitivitas tekanan darah terhadap NaCl, dan variasi
ini mungkin memiliki dasar genetis. Berdasarkan hasil dari metaanalisis, penurunan
tekanan darah dengan pembatasan masukan NaCl harian menjadi 4.4-7.4 g (75-125
mEq) menghasilkan reduksi tekanan darah sebesar 3.7-4.9/0.9-2.9 mmHg pada individu
hipertensif dan reduksi yang lebih rendah pada individu normotensif. Diet yang kurang
mengandung kalium, kalsium, dan magnesium berkaitan dengan tekanan darah yang

lebih tinggi dan prevalensi hipertensi yang lebih tinggi. Perbandingan natrium-terhadapkalium urin memiliki hubungan yang lebih kuat terhadap tekanan darah dibanding
natrium atau kalium saja. Suplementasi kalium dan kalsium memiliki efek
antihipertensif moderat yang tidak konsisten, dan, tidak tergantung pada tekanan darah,
suplementasi kalium mungkin berhubungan dengan penurunan mortalitas stroke.
Penggunaan alkohol pada individu yang mengkonsumsi tiga atau lebih gelas per hari
(satu gelas standar mengandung ~14 g etanol) berhubungan dengan tekanan darah yang
lebih tinggi, dan reduksi konsumsi alkohol berkaitan dengan reduksi tekanan darah.
Mekanisme bagaimana kalium, kalsium, atau alkohol dapat mempengaruhi tekanan
darah masihlah belum diketahui.
Uji DASH secara meyakinkan mendemonstrasikan bahwa pada periode 8 minggu, diet
yang kaya buah-buahan, sayur-sayuran, dan produk susu rendah-lemak mengurangi
tekanan darah pada individu dengan tekanan darah tinggi-normal atau hipertensi ringan.
Reduksi masukan NaCl harian menjadi <6 g (100 mEq) menambah efek diet ini pada
tekanan darah. Buah-buahan dan sayur-sayuran merupakan sumber yang kaya akan
kalium, magnesium, dan serat, dan produk susu merupakan sumber kalsium yang
penting.
Terapi farmakologis
Terapi obat direkomendasikan bagi individu dengan tekanan darah 140/90 mmHg.
Derajat keuntungan yang diperoleh dari agen-agen antihipertensif berhubungan dengan
besarnya reduksi tekanan darah. Penurunan tekanan darah sistolik sebesar 10-12 mmHg
dan tekanan darah diastolik sebesar 5-6 mmHg bersama-sama memberikan reduksi
risiko sebesar 35-40% untuk stroke dan 12-16% untuk CHD dalam 5 tahun dari mula
penatalaksanaan. Risiko gagal jantung berkurang sebesar >50%. Terdapat variasi yang
nyata dalam respon individual terhadap kelas-kelas agen antihipertensif yang berbeda,
dan besarnya respon terhadap agen tunggal apapun dapat dibatasi oleh aktivasi
mekanisme counter-regulasi yang melawan efek hipotensif dari agen tersebut.
Pemilihan agen-agen antihipertensif, dan kombinasi agen-agen, harus dilakukan secara
individual, dengan pertimbangan usia, tingkat keparahan hipertensi, faktor-faktor risiko
penyakit kardiovaskular lain, kondisi komorbid, dan pertimbangan praktis yang
berkenaan dengan biaya, efek samping, dan frekuensi pemberian obat.
Diuretik
Diuretik thiazide dosis-rendah sering digunakan sebagai agen lini pertama, sendiri atau
dalam kombinasi dengan obat antihipertensif lain. Thiazide menghambat pompa
Na+/Cl di tubulus konvultus distal sehingga meningkatkan ekskresi natrium. Dalam
jangka panjang, mereka juga dapat berfungsi sebagai vasodilator. Thiazide bersifat
aman, memiliki efikasi tinggi, dan murah serta mengurangi kejadian klinis. Mereka
memberikan efek penurunan-tekanan darah tambahan ketika dikombinasikan dengan
beta blocker, ACE inhibitor, atau penyekat reseptor angiotensin. Sebaliknya,
penambahan diuretik terhadap penyekat kanal kalsium adalah kurang efektif. Dosis
biasa untuk hydrochlorothiazide berkisar dari 6.25 hingga 50 mg/hari. Karena
peningkatan insidensi efek samping metabolik (hipokalemia, resistansi insulin,
peningkatan kolesterol), dosis yang lebih tinggi tidaklah dianjurkan. Dua diuretik hemat
kalium, amiloride dan triamterene, bekerja dengan menghambat kanal natrium epitel di

nefron distal. Agen-agen ini adalah agen antihipertensif yang lemah namun dapat
digunakan dalam kombinasi dengan thiazide untuk melindungi terhadap hipokalemia.
Target farmakologis utama untuk diuretik loop adalah kotransporter Na +-K+-2Cl di
lengkung Henle ascenden tebal. Diuretik loop umumnya dicadangkan bagi pasien
hipertensif dengan penurunan kecepatan filtrasi glomerular [kreatinin serum refleksi
>220 mol/L (>2.5 mg/dL)], CHF, atau retensi natrium dan edema karena alasan-alasan
lain seperti penatalaksanaan dengan vasodilator yang poten, seperti monoxidil.
Penyekat sistem renin-angiotensin
ACE inhibitor mengurangi produksi angiotensin II, meningkatkan kadar bradikinin, dan
mengurangi aktivitas sistem saraf simpatis. Penyekat reseptor angiotensin II
menyediakan blokade reseptor AT1 secara selektif, dan efek angiotensin II pada reseptor
AT2 yang tidak tersekat dapat menambah efek hipotensif. Kedua kelas agen-agen ini
adalah agen antihipertensif yang efektif yang dapat digunakan sebagai terapi tunggal
atau dalam kombinasi dengan diuretik, antagonis kalsium, dan agen-agen penyekat alfa.
Efek samping ACE inhibitor dan penyekat reseptor angiotensin antara lain adalah
insufisiensi ginjal fungsional karena dilatasi arteriol eferen ginjal pada ginjal dengan
lesi stenotik pada arteri renalis. Kondisi-kondisi predisposisi tambahan terhadap
insufisiensi ginjal yang diinduksi oleh agen-agen ini antara lain adalah dehidrasi, CHF,
dan penggunaan obat-obat antiinflamasi non steroid. Batuk kering terjadi pada ~15%
pasien, dan angioedema terjadi pada <1% pasien yang mengkonsumsi ACE inhibitor.
Angioedema paling sering terjadi pada individu yang berasal dari Asia dan lebih lazim
terjadi pada orang Afrika Amerika dibanding orang Kaukasia. Hiperkalemia yang
disebabkan hipoaldosteronisme merupakan efek samping yang kadang terjadi baik pada
penggunaan ACE inhibitor maupun penyekat reseptor angiotensin.
Antagonis aldosteron
Spironolakton adalah antogonis aldosteron nonselektif yang dapat digunakan sendiri
atau dalam kombinasi dengan diuretik thiazide. Ia adalah agen yang terutama efektif
pada pasien dengan hipertensi esensial rendah-renin, hipertensi resistan, dan
aldosteronisme primer. Pada pasien dengan CHF, spironolakton dosis rendah
mengurangi mortalitas dan perawatan di rumah sakit karena gagal jantung ketika
diberikan sebagai tambahan terhadap terapi konvensional dengan ACE inhibitor,
digoxin, dan diuretik loop. Karena spironolakton berikatan dengan reseptor progesteron
dan androgen, efek samping dapat berupa ginekomastia, impotensi, dan abnormalitas
menstruasi. Efek-efek samping ini dihindari oleh agen yang lebih baru, eplerenone,
yang merupakan antagonis aldosteron selektif. Eplerenone baru-baru ini disetujui di US
untuk penatalaksanaan hipertensi
Beta blocker
Penyekat reseptor adrenergik mengurangi tekanan darah melalui penurunan curah
jantung, karena reduksi kecepatan detak jantung dan kontraktilitas. Mekanisme lain
yang diajukan mengenai bagaimana beta blocker mengurangi tekanan darah adalah efek
pada sistem saraf pusat, dan inhibisi pelepasan renin. Beta blocker terutama efektif pada
pasien hipertensif dengan takikardia, dan potensi hipotensif mereka dikuatkan oleh
pemberian bersama diuretik. Pada dosis yang lebih rendah, beberapa beta blocker secara
selektif menghambat reseptor 1 jantung dan kurang memiliki pengaruh pada

reseptor 2 pada sel-sel otot polos bronkus dan vaskular; namun tampak tidak terdapat
perbedaan pada potensi antihipertensif beta blocker kardio selektif dan non kardio
selektif. Beta blocker tertentu memiliki aktivitas simpatomimetik intrinsik, dan tidaklah
jelas apakah aktivitas ini memberikan keuntungan atau kerugian dalam terapi jantung.
Beta blocker tanpa aktivitas simpatomimetik intrinsik mengurangi tingkat kejadian
kematian mendadak (sudden death), mortalitas keseluruhan, dan infark miokardium
rekuren. Pada pasien dengan CHF, beta blocker telah dibuktikan mengurangi risiko
perawatan di rumah sakit dan mortalitas. Carvedilol dan labetalol menyekat kedua
reseptor 1 dan2 serta reseptor adrenergik perider. Keuntungan potensial dari penyekatan
kombinasi dan adrenergik dalam penatalaksanaan hipertensi masih perlu ditentukan.
Penyekat adrenergik
Antagonis adrenoreseptor selektif postsinaptik mengurangi tekanan darah melalui
penurunan resistansi vaskular perifer. Mereka adalah agen antihipertensif yang efektif,
yang digunakan sebagai monoterapi maupun dalam kombinasi dengan agen-agen lain.
Namun dalam uji klinis pada pasien hipertensif, penyekatan alfa tidak terbukti
mengurangi morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ataupun menyediakan
perlindungan terhadap CHF sebesar kelas-kelas agen antihipertensif lain. Agen-agen ini
juga efektif dalam menangani gejala tractus urinarius bawah pada pria dengan hipertropi
prostat. Antagonis adrenoreseptor nonseletif berikatan dengan reseptor postsinaptik dan
presinaptik dan terutama digunakan untuk penatalaksanaan pasien dengan
pheokromositoma.
Agen-agen simpatolitik
Agonis simpatetik yang bekerja secara sentral mengurangi resistansi perifer dengan
menghambat aliran simpatis. Mereka terutama berguna pada pasien dengan neuropati
otonom yang memiliki variasi tekanan darah yang luas karena denervasi baroreseptor.
Kerugian agen ini antara lain somnolens, mulut kering, dan hipertensi rebound saat
penghentian. Simpatolitik perifer mengurangi resistansi perifer dan konstriksi vena
melalui pengosongan cadangan norepinefrin ujung saraf. Walaupun merupakan agen
antihipertensif yang potensial efektif, kegunaan mereka dibatasi oleh hipotensi
orthostatik, disfungsi seksual, dan berbagai interaksi obat.
Penyekat kanal kalsium
Antagonis kalsium mengurangi resistansi vaskular melalui penyekatan L-channel, yang
mengurangi kalsium intraselular dan vasokonstriksi. Kelompok ini terdiri dari
bermacam agen yang termasuk dalam tiga kelas berikut: phenylalkylamine (verapamil),
benzothiazepine (diltiazem), dan 1,4-dihydropyridine (mirip-nifedipine). Digunakan
sendiri atau dalam kombinasi dengan agen-agen lain (ACE inhibitor, beta blocker, 1adrenergic blocker), antagonis kalsium secara efektif mengurangi tekanan darah;
namun, apakah penambahan diuretik terhadap penyekat kalsium menghasilkan
penurunan lebih lanjut pada tekanan darah adalah tidak jelas. Efek samping
seperti flushing, sakit kepala, dan edema dengan penggunaan dihydropyridine
berhubungan dengan potensi mereka sebagai dilator arteriol; edema disebabkan
peningkatan gradien tekanan transkapiler, dan bukan karena retensi garam dan cairan.
Vasodilator Langsung

Agen-agen ini mengurangi resistensi perifer, lazimnya mereka tidak dianggap sebagai
agen lini pertama namun mereka paling efektif ketika ditambahkan dalam kombinasi
yang menyertakan diuterik dan beta blocker. Hydralazine adalah vasodilator direk yang
poten yang memiliki efek antioksidan dan penambah NO, dan minoxidil merupakan
agen yang amat poten dan sering digunakan pada pasien dengan insufisiensi ginjal yang
refrakter terhadap semua obat lain. Hydralazine dapat menyebabkan sindrom miriplupus, dan efek samping minoxidil antara lain adalah hipertrikosis dan efusi
perikardial.4,8
II.6

PROGNOSIS

Resiko komplikasi tergantung pada seberapa besar hipertropi ventrikel kiri. Semakin
besar ventrikel kiri, semakin besar kemungkinan kompilkasi terjadi. Pengobatan
hipertensi dapat mengurangi kerusakan pada ventrikel kiri. Beberapa penelitian telah
menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan
diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang
kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi.
Bagaimanapun juga, penyakit jantung hipertensi adalah penyakit yang serius yang
memiliki resiko kematian mendadak.2
BAB III
KESIMPULAN
Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak
sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan.
Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 8590% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer
(hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat
ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).1 Tekanan darah tingi adalah faktor resiko
utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan
penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga
menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan suplai
oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.
Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan
banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural,
neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang
peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan
tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.
Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat, pengkuran tekanan
darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium.
Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non
farmakologi), yaitu Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah
memiliki pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi.
Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu
dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif
dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin, antagonis

aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal


kalsium, vasodilator direk (langsung).
Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACEInhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel
kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat
penyakit jantung hipertensi.
DAFTAR PUSTAKA
1. Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW,
Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV.
Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.p.1654-55
2. Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember 2008).
Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm.
accessed at
Desember 3, 2008
3. Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008).
Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Accessed at
Desember 3, 2008
4. Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrisons Principles of
Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p. 241
5. Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi
Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.
6. Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B,
Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia; 2006.p.610-614.
7. Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta:
Media Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442
8. Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997. h.
245
9. Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC. 1995.
h.45
10. Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5. Jakarta:
EGC. H.322-323

Anda mungkin juga menyukai