PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang
Indonesia dengan penduduk yang tersebar
luas dan wilayah yang terdiri dari banyak pulau
membutuhkan jaringan transportasi yang baik dan
tepat untuk menghubungkan pulau-pulau yang ada
di dalam wilayahnya agar setiap penduduk mudah
dalam menjalankan aktifitasnya. Selain itu,
ketersediaan
infrastruktur
sebagai
faktor
pendukung dalam trasportasi adalah keharusan.
Saat ini di dunia, infrastruktur transportasi yang
berfungsi sebagai penghubung antar tempat adalah
jembatan konvensional yang berada di atas
permukaan air atau inmerge dan tunnel
underground. Keduanya baik dari segi pengerjaan
maupun biaya membutuhkan waktu pengerjaan
yang cukup lama dan biaya yang tidak murah.
Oleh karena itu, muncul sebuah ide baru dalam
dunia Teknik Sipil untuk membuat suatu jembatan
penyeberangan yang berbeda dengan jembatan
yang telah ada di dunia. Ide baru tesebut adalah
jembatan dengan sistem SFT (Submerge Floating
Tunnel) atau terowongan layang bawah air.
Struktur jembatan dengan sistem SFT
merupakan struktur yang belum pernah dibuat di
dunia. Beberapa negara masih melakukan
penelitian tentang struktur ini, salah satunya adalah
Indonesia. Beberapa negara lain yang juga sedang
melakukan penelitian tentang struktur ini
diantaranya adalah Norwegia, Italia, Jepang dan
Cina. Struktur jembatan dengan sistem SFT
merupakan pengembangan dari infrastruktur yang
telah lama ada.
Secara umum sistem ini mendapatkan
bantuan kekuatan dari pengaruh uplift (gaya
apung) akibat berada di dalam air sehingga sistem
ini memiliki kelebihan dibandingkan dengan
jembatan inmerge dan tunnel underground karena
gaya uplift tersebut akan dijadikan alat bantu untuk
menghilangkan lendutan ke bawah tunnel SFT
akibat berat sendirinya. Dari segi volume
pengerjaan, SFT tidak memiliki volume terlalu
banyak karena tidak perlu membuat tiang pancang
seperti pada jembatan inmerge.
Pada sistem ini akan digunakan kabel
dengan sistem mooring untuk memperkaku posisi
tunnel SFT di dalam laut. Bentuk dan susunan
kabel yang akan digunakan sangat mempengaruhi
perilaku struktur SFT. Pada dasarnya bentuk dan
susunan kabel tersebut harus kuat menahan gaya
uplift yang terjadi pada struktur akibat berada
dalam air laut dan kuat menahan struktur agar tidak
Rumusan Masalah
Agar tujuan dari penelitian yang dilakukan
yaitu tentang konfigurasi kabel pada Submerged
Floating Tunnel dapat terlaksana dengan baik
maka dibuat rincian permasalahan yang diuraikan
sebagai berikut:
1. Bagaimana kondisi perairan/lingkungan dari 2
(dua) pulau yang akan dihubungkan dengan
SFT.
2. Beban-beban apa saja yang akan terjadi dan
bagaimana menghitung beban-beban tersebut
pada struktur SFT.
3. Bagaimana memodelkan SFT dengan bantuan
finite element software.
4. Bagaimana kelakuan dinamis kabel dan gayagaya dalam pada struktur SFT saat menerima
beban hidrodinamik dan berat sendiri.
5. Bagaimana konfigurasi kabel yang paling
efektif pada struktur SFT
1.3.
Tujuan
Tujuan umum dari penelitian ini adalah
mencari bentuk dan susunan kabel yang paling
cocok, aman dan ekonomis bagi Submerged
Floating Tunnel (SFT) yang merupakan alternatif
sarana transportasi antar pulau, dengan rincian
tujuannya adalah sebagai berikut:
Batasan Masalah
Penelitian SFT (Submerged Floating
Tunnel) ini sangatlah luas, maka dari itu agar
diperoleh hasil yang lebih akurat, perlu diberikan
batasan-batasan dalam menganalisa masalah.
Batasan masalah dari penelitian ini adalah:
1. Studi ini menggunakan peraturan SNI
(Standar Nasional Indonesia)/BMS (Bridge
Management System), Peraturan Beton
Indonesia 1971 (PBI 1971) dan API
(American Petroleum Institute).
2. Studi ini merupakan studi kasus dengan
menempatkan SFT di Kepulauan Seribu,
sehingga kondisi lingkungan yang dipakai
adalah kondisi lingkungan di Kepulauan
Seribu yaitu perairan antara Pulau Panggang
dan Pulau Karya.
3. Riset mengenai SFT (Submerged Floating
Tunnel) dilakukan secara kelompok sehingga
dalam studi tentang konfigurasi kabel ini
beban gempa tidak dimasukkan dalam
penelitian ini.
4. Hanya dilakukan studi konfigurasi kabel hasil
modifikasi dari 6 (enam) konfigurasi kabel
yang telah dibuat oleh Profesor Maeda
(Maeda, 1994) sehingga studi konfigurasi
kabel yang sama dengan konfigurasi kabel
pada jembatan kabel konvensional tidak
dimasukkan dalam penelitian ini.
5. Tidak dilakukan desain dan analisis perletakan
pada bentang tunnel SFT serta tidak dilakukan
juga analisa dinamis pada dinding tunnel SFT
pada studi ini.
1.5.
Manfaat
Penelitian dengan judul Studi Konfigurasi
Kabel pada Submerged Floating Tunnel (SFT) ini
merupakan penelitian yang diharapkan dapat
meningkatkan daya saing dan mutu mahasiswa di
Indonesia khususnya mahasiswa ITS (Institut
Teknologi Sepuluh Nopember) Surabaya agar
sejajar di tingkat internasional. Penelitian
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Umum
Submerged Floating Tunnel (SFT) adalah
jembatan berbentuk terowongan melayang dalam
laut penghubung antara dua pulau. Pada model,
struktur SFT ditahan oleh kabel, dimana kabel
yang berbentuk segitiga, sehingga bisa menahan
gaya horisontal dari semua sisi, sedangkan gambar
yang kedua SFT diberi sabuk dan ditahan oleh
kabel-kabel dalam posisi horizontal.
Metode Perencanaan
Struktur SFT merupakan struktur lepas
pantai sehingga dalam perencanaannya hampir
sama dengan bangunan-bangunan lepas pantai
lainnya seperti struktur offshore atau rig. Dalam
sistem perencanaan sruktur SFT di Indonesia, akan
digunakan peraturan SNI 03-2847-2002, SNI 031729-2002, BMS (Bridge Management System)
dan juga API (American Petroleum Institute) RP
2A ataupun API RP 2T 1997 yang lazim
digunakan dalam perencanaan struktur offshore.
Perencanaan struktur SFT memiliki beberapa
perbedaan dengan struktur offshore lainnya seperti
pemanfaatan gaya apung (buoyancy) untuk
mengurangi beban struktur yang terjadi pada SFT
bahkan gaya apung tersebut diasumsikan lebih
besar daripada beban struktur SFT itu sendiri agar
lendutan ke bawah akibat berat sendiri tunnel SFT
yang terlalu besar dapat dihilangkan. Dalam
kondisi seperti itu, struktur SFT akan ditahan oleh
kabel-kabel baja untuk menyeimbangkan posisi
strukturnya dan menjaga agar struktur dari tunnel
SFT tetap dalam keadaan melayang. Kabel baja ini
juga
berfungsi
untuk
menahan
atau
menyeimbangkan struktur SFT jika terkena
pengaruh beban luar atau pengaruh akibat
lingkungan seperti tekanan gelombang dan arus air
laut.
Bentuk dan susunan kabel sangat
berpengaruh pada struktur SFT agar kuat menahan
struktur SFT supaya tetap kaku dan tidak
menghasilkan
biaya
yang
besar
dalam
pemasangannya nanti, oleh karena itu penelitian ini
akan mencari bentuk kabel yang paling efektif bagi
struktur SFT yang akan dibangun di Indonesia.
Sebelum menentukan bentuk kabel yang paling
efektif pada struktur SFT yang akan dibangun di
Indonesia, perlu diketahui hal-hal yang harus
diperhatikan dalam perencanaannya agar bentuk
kabel yang diteliti nantinya benar-benar efektif
bagi struktur SFT yang akan dibangun.
rU
U
W
(1)
Dimana :
W = berat sendiri SFT (kg/m)
U = gaya apung pada penampang SFT (kg/m),
akan dihitung pada Persamaan 3
Rasio dari persamaan di atas harus memenuhi
kriteria gaya apung SFT yaitu antara 1,2 1,3 kali
berat SFT.
Apabila berat fasilitas di dalam rongga SFT
seperti balok, lantai dan sebagainya diasumsikan
sebesar 30% dari berat SFT, maka untuk
menghitung berat dari tunnel adalah sebagai
berikut :
W 1.3 AC C [kN/m]
(2)
Dimana :
AC = luas penampang beton bertulang (m2)
C = berat jenis beton bertulang (25 kN/m3)
Sedangkan untuk menghitung besarnya gaya uplift
yang terjadi pada struktur SFT digunakan
persamaan sebagai berikut :
U AT w [kN/m]
(3)
Dimana
AT = luas seluruh penampang (m2)
w = berat jenis air laut (10,3 kN/m3)
Luas dari penampang struktur SFT nantinya
juga akan memperhatikan efek dari marine growth
yang mengakibatkan pertambahan luas secara
melintang atau pertambahan luas pada penampang
SFT itu sendiri karena struktur SFT adalah struktur
yang terbenam di dalam air yang akan
mendapatkan efek dari marine growth namun efek
tersebut tergantung pada letakpenempatan SFT
dari dasar laut jika semakin dalam maka pengaruh
dari marine growth akan semakin kecil.
(6)
Dimana :
Hmax = tinggi gelombang maksimum (m)
Hs = tinggi gelombang signifikan hasil pencatatan
di lapangan (m)
( L < 30 m )
( L > 30 m )
(8)
(9)
D = kedalaman laut
Dalam peraturan API RP 2A-WSD 2000,
telah ditentukan cara untuk penentuan teori
gelombang yang akan digunakan. Cara
penentuan tersebut menggunakan grafik
validitas gelombang pada gambar 2.3.1-3 API
RP 2A-WSD 2000. Grafik itu dapat dilihat pada
gambar di bawah ini:
Parameter-parameter yang digunakan dalam
pembacaan diagram untuk menentukan teori
gelombang di atas adalah sebagai berikut :
d = kedalaman air ( m )
g = percepatan gravitasi ( 9,81 m/s2 )
H = tinggi gelombang hasil pengamatan (m)
Tapp= periode gelombang hasil perhitungan (s)
Perhitungan
gaya
gelombang
menggunakan koefisien drag dan koefisien
inersia. Ir. Suntoyo (Ir. Suntoyo dkk, 2009)
memberikan persamaan untuk menentukan nilai
dari koefisien-koefisien tersebut. Untuk
menentukan koefisien inersia tergantung dari
angka
Reynold
yang
telah
dihitung
menggunakan persamaan berikut :
( 17 )
Dimana :
Umax = kecepatan gelombang maksimum pada
arah horisontal ( m/s )
D = Diameter/lebar struktur ( m )
v = viskositas kinematik air laut ( m2/s )
Penentuan koefisien inersia menggunakan
persyaratan di bawah ini :
Cm = 2,0 apabila Re < 2,5 x 105
Cm = 2,5 apabila 2,5 x 105 < Re < 5 x
105
Cm = 1,5 apabila Re > 5 x 105
Sedangkan untuk menentukan nilai dari
koefisien drag adalah dengan menggunakan
grafik hubungan antara nilai Re dengan nilai
Keulegen and Carpenter.
API RP 2A WSD-2000 pasal 2.3.1.b.7
memberikan nilai koefisien drag dan inersia
sesuai dengan situasi permukaan struktur saat
desain. Nilai koefisien drag dan inersia pada
API RP 2A WSD-2000 terdapat pada tabel
berikut :
( 14 )
Dimana :
L = panjang gelombang pada periode ulang
tertentu ( m )
k =
( m-1 ), dengan L adalah panjang
gelombang pada periode ulang tertentu
h = kedalaman laut (m)
g = percepatan gravitasi ( m/s2 )
Perbedaan antara Tapp dan T pada API RP 2A
adalah Tapp merupakan periode gelombang yang
sudah terpengaruh oleh kecepatan arus
sedangkan T adalah periode gelombang yang
didapat langsung dari pengukuran di lapangan
untuk menentukan komponen arus yang terjadi
pada gelombang, tapi pada penentuan awal teori
gelombang dapat menggunakan nilai T.
Gaya gelombang terdiri dari gaya drag dan
gaya inersia. Sesuai dengan peraturan API RP
2AWSD 2000 pasal 2.3.1.b.10, gaya
gelombang per kedalaman yang terjadi pada
suatu struktur dihitung sesuai persamaan
Morrison, sebagai berikut :
( 15 )
( 16 )
Dimana :
F = Gaya gelombang ( kN/m )
w = Berat jenis air laut (10,3 kN/m3 )
A = Luas penampang ( m2 )
Cd = Koefisien drag
Cm = Koefisien inersia
Dimana :
= percepatan gelombang horizontal (m/s2)
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k = , dengan L adalah panjang gelombang (
m-1 )
L= panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang,
Sedangkan untuk menghitung percepatan
gelombang pada arah vertikal, digunakan
persamaan sebagai berikut :
(22)
10
Dimana :
= percepatan gelombang vertikal ( m/s2 )
H = tinggi gelombang ( m )
T = periode gelombang (s )
d = kedalaman air laut ( m )
y = kedalaman yang ditinjau ( m )
k= , L adalah panjang gelombang (m-1)
L = panjang gelombang (m)
x = jarak horizontal yang ditinjau ( m )
t = waktu ( s )
= frekuensi gelombang,
0.6
no marine growth
11
( 25 )
( 26 )
(23)
Dimana :
VCT = kecepatan arus akibat pasang surut
dengan berbagai ukuran dari dasar laut (m/s)
VCoT = kecepatan arus akibat pasang surut yang
terjadi di permukaan air laut (m/s)
y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut
(m)
h = ketinggian normal air laut ( m )
sedangkan untuk menentukan profil arus akibat
gesekan angin terhadap air laut diberikan oleh
persamaan berikut ini :
( 24 )
Dimana :
VCw = kecepatan arus akibat angin dengan
berbagai ukuran dari dasar laut ( m/s )
VCow = kecepatan arus akibat angin yang terjadi
di permukaan air laut ( m/s )
y = berbagai ukuran ketinggian dari dasar laut (
m)
h = ketinggian normal air laut ( m )
Dimana :
Fc = gaya arus pada kedalaman yang ditinjau
dari dasar laut ( kg/m )
w = berat jenis air laut ( 1003 kg/m3 )
g = percepatan gravitasi ( 9,8 m/s2 )
CD = koefisien drag
= kecepatan arus pada kedalaman yang
ditinjau ( m/s )
|Uc| = kecepatan arus absolut ( m/s )
D = diameter sruktur ( m2 )
Gaya arus hanya terdiri dari gaya drag yang
tidak memiliki percepatan. Oleh karena itu,
pada persamaan di atas tidak terdapat
persamaan gaya inersia yang memiliki
percepatan.
Dimana :
= Perubahan gaya tarik akibat
displacement (kg)
A = Luas penampang kabel ( m2 )
E = modulus elastisitas kabel ( kg/m2 )
= displacement ( m )
L = panjang kabel ( m )
2.3.1 Tegangan Ijin Pada Tendon SFT
Sesuai peraturan API RP 2T 1997, tendon
SFT yang didesain akan dikategorikan dalam
tendon kategori A. Tegangan aksial tarik ijin yang
terjadi pada komponen tendon SFT akan dihitung
sesuai peraturan API RP 2T 1997 pasal 9.6.2.2
safety criterion B (safety crietria for extreme
condition) sebagai berikut:
( 27 )
12
atau
( 28 )
Dimana :
p = Net section stress (MPa)
Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)
Fu = Tegangan putus tendon (MPa)
Dan
( 29 )
atau
( 30 )
Dimana :
s = Local bending stress (MPa)
Fy = Tegangan leleh tendon (MPa)
Fu = Tegangan putus tendon (MPa)
Dari persamaan di atas, tegangan aksial tarik
yang terjadi pada tendon SFT (ft) harus lebih kecil
daripada tegangan aksial tarik ijin kabel tendon
baja (p atau s). Nilai dari tegangan ijin tersebut
harus diambil yang terkecil dari salah satu
persamaan di atas. Pada kabel tendon SFT,
tegangan yang terjadi juga harus lebih kecil
daripada tegangan ijin yang disyaratkan oleh
produsen kabel tendon baja yang akan digunakan
pada studi ini.
2.3.2 Tegangan dan Lendutan ijin Pada Badan
Tunnel SFT
Tunnel pada SFT akan diasumsikan sebagai
struktur lentur balok beton prategang karena pada
tunnel nantinya akan dipasang kabel prategang
sebagai penghubung antara elemen-elemen tunnel.
Tegangan ijin beton untuk komponen struktur
lentur menurut SNI 03-2847-2002 pasal 20.4.1
adalah sebagai berikut :
Tegangan tekan serat terluar akibat pengaruh
prategang, beban mati, dan beban hidup tetap
(kondisi layan)
( 31 )
dimana fc ( MPa ) adalah mutu beton
prategang yang digunakan
Setelah pengecekan terhadap pengaruh
prategang ketika badan tunnel belum diletakkan di
dalam air, maka pengecekan terhadap tegangan
dinding akan ditinjau dari besarnya tegangan yang
terjadi akibat beban yang bekerja. Tegangan yang
terjadi akan dicek dan harus tidak melebihi
besarnya tegangan retak beton sebagai berikut :
( 32 )
Perhitungan tegangan ijin di atas
mengasumsikan bahwa beton prategang telah
mengalami kehilangan prategang akibat dudukan
angkur pada saat penyaluran gaya, perpendekan
13
11)
12)
13)
14)
15)
d. Penetapan
Jenis
Material
Property
Struktural SFT
Hal ini dilakukan untuk menetapkan material
struktur yang akan digunakan dalam analisa
struktur SFT. Khusus material pada tunnel SFT,
akan digunakan material beton sesuai dengan
rencana BPPT (BPPT.go.id, 2010) yang
merupakan pencetus penelitian SFT di Indonesia
dan karakteristik mutu beton (fc) tersebut adalah
45 MPa. Sedangkan pada type karakteristik kabel
tendon baja yang akan digunakan pada struktur
SFT ini adalah karakteristik tipe kabel tendon
VSL. Balok memanjang dan balok melintang
yang akan berfungsi sebagai pemikul plat
kendaraan di dalam tunnel SFT akan digunakan
balok baja profil WF dengan mutu baja BJ 41.
Karakteristik mutu beton yang akan digunakan
pada plat kendaraan sama dengan yang
digunakan pada badan tunnel SFT sedangkan
untuk sabuk baja akan digunakan kakakteristik
material yang sama dengan balok baja yang ada
di dalam tunnel.
14
e. Pengumpulan Data
Mengumpulkan data data yang diperlukan
berupa :
1) Data
kedalaman
perairan
lokasi
pembangunan SFT di Kepulauan Seribu
2) Data gelombang lokasi Kepulauan Seribu
3) Data arus lokasi Kepulauan Seribu
4) Data type kabel tendon yang akan
digunakan sebagai kabel pada struktur
f. Preliminary Desain Struktur SFT
Dalam menentukan bentuk struktur SFT yang
akan digunakan dalam studi konfigurasi kabel ini,
bentuk struktur tersebut harus disesuaikan dengan
beberapa aspek seperti lebar plat kendaraan,
tinggi bebas tunnel, ketinggian permukaan air
laut, alinemen vertikal yang wajar pada suatu
jalan raya yaitu maksimum 6,28% dan berat
sendiri dari tunnel yang berada di dalam laut
harus memenuhi nilai rasio perbandingan gaya
apung dan berat sendiri badan tunnel yang
sebesar 1,2-1,3. Oleh karena itu, pada bagian ini
akan dilakukan cara trial and error untuk
mendapatkan dimensi-dimensi bagian struktural
yang paling cocok.
Penentuan tebal dinding tunnel akan
dilakukan dengan cara coba-coba apakah tebal
dinding yang digunakan akan kuat dan tidak
mengalami overstress ketika menerima beban
hidrostatis. Pada studi ini desain plat lantai
kendaraan tidak sampai menghitung jumlah
tulangan yang dibutuhkan tapi hanya menentukan
tebal dari plat lantai kedaraan tersebut. Penentuan
tebal plat lantai kendaraan pada tunnel akan
disesuaikan dengan persyaratan tebal plat lantai
kendaraan pada jembatan konvensional yaitu
berdasarkan BMS (Bridge Management System)
1992 pasal 6.7.1.2 sebagai berikut :
( 34 )
( 35 )
Dimana :
b1
= jarak balok baja pemikul plat lantai
kendaraan (m)
d = tebal plat lantai kendaraan (mm)
Balok baja yang akan digunakan pada struktur
SFT akan dikontrol kekuatan lentur, geser dan
lendutannya. Lendutan akibat beban terbagi rata
dan beban terpusat pada balok baja akan dihitung
menggunakan persamaan berikut :
( 36 )
Dimana :
15
16
( unbreaking wave )
Dari hasil perhitungan di atas dapat diketahui juga
bahwa tipe gelombang yang terjadi di lingkungan
perairan tempat SFT dibangun adalah tipe
gelombang unbreaking wave sehingga peraturan
pembebanan dan teori gelombang pada API RP
2A-WSD 2000 dapat digunakan dalam studi SFT
ini.
17
18
y (m)
Vcow (m/s)
Vcw (m/s)
21
1.2
0.00
21
1.2
0.11
21
1.2
0.23
21
1.2
0.34
1.2
0.46
21
10
1.2
0.57
21
12
1.2
0.69
21
14
1.2
0.80
21
15
1.2
0.86
21
16
1.2
0.91
21
18
1.2
1.03
21
20
1.2
1.14
21
21
1.2
1.20
21
Keterangan tabel :
h
= Kedalaman laut dihitung pada saat pasang
y
= Tinggi air laut dari seabed
VC0W = Kecepatan arus di permukaan laut
VCW = Kecepatan arus menurut kedalamannya dari
seabed
Setelah didapatkan kecepatan arus akibat angin
menurut kedalamannya, akan dihitung juga
kecepatan arus akibat pasang surut air laut sesuai
Persamaan 23. Perhitungan tersebut adalah
sebagai berikut :
Tabel Hasil analisa kecepatan arus akibat
pasang surut
h(m)
y (m)
VcoT (m/s)
VcT (m/s)
21
1.2
0.00
21
1.2
0.86
21
1.2
0.95
21
1.2
1.00
21
1.2
1.05
21
10
1.2
1.08
21
12
1.2
1.11
21
14
1.2
1.13
21
15
1.2
1.14
21
16
1.2
1.15
21
18
1.2
1.17
21
20
1.2
1.19
21
21
1.2
1.20
y (m)
Vcurrent (m/s)
0.000
0.972
1.175
1.346
1.503
10
1.651
12
1.794
14
1.932
15
2.001
16
2.069
18
2.202
20
2.335
21
2.400
Keterangan tabel :
h
= Kedalaman laut dihitung pada saat pasang
y
= Tinggi air laut dari seabed
Vc0T = Kecepatan arus di permukaan laut
19
20
k(d-z)
Hz (m)
(N/m )
(N/m2)
3.595
18.222
34.642
2.232
0.587
10050
5899.543
3.236
12.729
34.642
2.232
2.410
10050
24221.291
2.876
8.900
34.642
2.232
4.287
10050
43081.440
2.696
7.446
34.642
2.232
5.240
10050
52660.679
2.517
6.233
34.642
2.232
6.201
10050
62318.018
2.157
4.380
34.642
2.232
8.141
10050
81818.227
10
1.798
3.100
34.642
2.232
10.100
10050
101503.712
11
1.618
2.620
34.642
2.232
11.084
10050
111398.276
12
1.438
2.225
34.642
2.232
12.072
10050
121320.322
14
1.079
1.640
34.642
2.232
14.053
10050
141231.033
16
0.719
1.270
34.642
2.232
16.041
10050
161211.118
18
0.360
1.065
34.642
2.232
18.034
10050
181244.911
20
0.000
1.000
34.642
2.232
20.032
10050
201323.763
21
BAB V
PRELIMINARY DESAIN STRUKTUR
SFT
5.1 Umum
Studi tentang SFT (Submerge Floating
Tunnel) yang dilakukan di Indonesia khususnya di
ITS ( Institut Teknologi Sepuluh Nopember )
dilakukan secara berkelompok. Khusus pada Studi
Konfigurasi Kabel SFT ini akan digunakan
penampang badan tunnel berbentuk lingkaran
dengan material beton sebagai sample desain
dalam menentukan konfigurasi kabel yang
nantinya akan menahan badan tunnel pada saat
beban luar dan gaya apung bekerja pada badan
tunnel tersebut. Desain Struktural tunnel SFT yang
akan dibuat harus sesuai dengan persyaratan rasio
antara berat total tunnel SFT yang ada di dalam air
dengan gaya apung yang bekerja pada badan
tunnel.
Pada studi mengenai SFT ini, tunnel yang
akan didesain hanya merupakan prototype yang
22
Perb
ukit
an
Peg
unu
nga
n
4
3
3
5
4
4
7
6
5
7
6
Kelandaia
n Maks
Mutlak
(%)
11
10
5
4
9
8
Kelandaian
Maks
Standar (%)
23
Dimana :
b1 = jarak balok profil baja pemikul plat lantai
kendaraan (m)
d = tebal plat lantai kendaraan (mm)
Dengan memasukkan nilai b1 yang merupakan
jarak antara balok profil baja memanjang yaitu
sebesar 1,25 m, maka tebal plat lantai kendaraan
(d) adalah sebagai berikut :
Tabel
Perhitungan beban mati, momen maksimum,
dan gaya geser maksimum pada balok
memanjang
Aspal
1.7875
kN/m
7.8
kN/m
0.4851
kN/m
0.875
kN/m
10.948
kN/m
12.31605
kN.m
16.4214
Plat Beton
Berat Sendiri Balok
Berat Bekisting
Berat Total (qdead)
8.00
kN/m2
20.00
kN/m
44
kN/m
Tabel
Data profil baja WF untuk balok posisi
memanjang
P(KEL)
71.5
76.125
kN.m
101.500
kN
56.24
cm2
Sx
502.0
cm3
44.10
kg/m
Sy
113.0
cm3
Zx
535.00
cm3
ix
10.4
cm
Zy
171.00
cm3
iy
4.18
cm
Ix
6,120.00
cm
16
mm
Iy
984.00
cm4
190
mm
Kontrol Lendutan
fy
250
MPa
fu
410
MPa
beban mati
0.07
cm
tw
mm
tf
11
mm
beban hidup
0.24
cm
244
mm
bf
175
mm
total
0.31
cm
ijin
0.60
cm
kN
kN
kontrol lendutan
ok !!!
24
76.125
kNm
M deadmax
12.31605
kNm
Mu
88.441
kNm
Mn
133.75
kNm
Mn
120.375
kNm
kontrol
1.164
kN/m
18.720
kN/m
Balok melintang
1.166
kN/m
Berat Bekisting
2.100
kN/m
23.150
kN/m
54.258
kN.m
50.121
kN
Plat Beton
ok !!!
Kontrol Geser
V livemax
101.500
kN
V deadmax
16.421
kN
Vu
117.921
kN
19950
kg
199.5
kN
Vn
179.55
kN
kontrol
ok !!!
Vn
4.29
kN/m
4.290
kN/m
10.055
kN.m
9.288
kN
135.00
cm
106.00
Zx
2,287.00
Zy
cm
9.355
kN/m2
56.129
kN/m
44
kN/m
114.4
kN/m
399.673
kN.m
369.204
kN
Sx
2,160.00
kg/m
Sy
488.00
cm3
qUDL
cm
ix
18.60
cm
681.00
cm3
iy
7.04
cm
(BMS 2.3.3.1)
Ix
46,800.00
cm4
24.00
mm
qKEL
Iy
6,690.00
cm4
356.00
mm
MPa
fy
250
MPa
fu
410.00
tw
10
mm
tf
15
mm
434
mm
bf
299
mm
25
0.10
cm
beban hidup
0.40
cm
total
0.50
cm
ijin
0.87
cm
kontrol lendutan
ok !!!
399.67
kNm
M deadmax
64.31
kNm
Mu
463.98
kNm
Mn
571.75
kNm
Mn
514.575
kNm
kontrol
ok !!!
369.204
kN
V deadmax
59.409
kN
Vu
428.614
kN
53400
kg
534
kN
Vn
480.6
kN
kontrol
ok !!!
Vn
B e ra t S e n d iri
P a n ja n g
J u m la h
B e ra t T o t a l
B a lo k m e m a n ja n g
0.44 kN/m
130.75
230.643
kN
B a lo k m e lin t a n g
1.06 kN/m
4.3
44
200.043
kN
3471.41 kN
130.75
3471.413
kN
24165.27 kN
130.75
24165.27
kN
P la t k e n d a ra a n
B e ra t t u n n e l
B e b a n UD L
22.13 kN/m
130.75
2893.5
kN
B e b a n KE L
57.2 kN/m
4.3
321.986
kN
To ta l
31282.852
kN
26
36800.405 kN
1.3
1.2
Jadi berat sendiri tunnel SFT dan semua bebanbeban yang berada di dalamnya telah memenuhi
rasio yang telah ditentukan.
5.5 Desain Kabel Tunnel SFT
Kabel yang akan didesain harus memiliki
letak yang tepat agar lendutan yang terjadi akibat
beban yang bekerja pada tunnel SFT memenuhi
lendutan ijin. Hal ini menyebabkan bentang
perletakan kabel harus di desain dengan tepat agar
lendutan yang terjadi akibat gaya gelombang, arus
dan gaya apung tidak melebihi lendutan ijin.
Bentang perletakan kabel juga tidak boleh terlalu
pendek karena dapat menyebabkan biaya yang
dikeluarkan untuk pemasangan dan pemakaian
kabel terlalu besar. Selain itu, kabel yang akan
digunakan harus memiliki kuat tarik dan kuat putus
yang sesuai dengan beban-beban yang bekerja
pada bagian badan tunnel yang berada di dalam
laut karena kabel hanya akan dipasang pada bagian
badan tunnel tersebut.
5.5.a. Desain Letak Kabel dan Posisi SFT
Dalam menentukan desain kabel SFT harus
ditinjau terlebih dahulu letak dari kabel-kabel yang
akan menahan badan tunnel saat gaya apung, gaya
gelombang dan gaya arus bekerja pada badan
tunnel tersebut. Letak kabel nantinya akan
berpengaruh pada besarnya lendutan yang terjadi
akibat gaya atau beban yang bekerja pada tunnel
SFT. Letak kabel tersebut nantinya dapat dilihat
pada bentuk memanjang dari tunnel SFT yang
telah dibuat.
Peninjauan letak kabel tersebut bertujuan
agar badan tunnel yang berada pada air tidak
mengalami lendutan yang terlalu besar akibat dari
gaya-gaya yang terjadi. Pada studi tentang tunnel
SFT ini direncanakan letak kabel itu berada setiap
30 m pada bagian tunnel yang lurus yang berada di
dalam air. Untuk lebih jelasnya letak kabel tersebut
dapat dilihat pada gambar di bawah ini :
27
28
29
strand prategang
Jadi, tendon yang digunakan terdiri dari 58
kabel strand dalam 4 tendon dengan masingmasing tendon terdapat 15 kabel strand. Dari data
tabel tendon VSL diketahui bahwa tendon yang
digunakan adalah tendon unit 0,6 6-15. SFT yang
didesain ini menggunakan 4 (empat) tendon karena
30
31
BAB VI
ANALISA STRUKTUR SFT
6.1 Umum
Analisa struktur SFT akan dilakukan dengan
menggunakan bantuan finite element software
yaitu SAP 2000 V.14.2.2 yang sebelumnya telah
diverifikasi terlebih dahulu. Analisa struktur ini
akan diawali dengan memodelkan bentuk 3D (tiga
dimensi) struktur SFT pada drafting software yaitu
Autocad untuk kemudahan dalam pemodelannya.
Software Autocad yang akan digunakan adalah
Autocad 2009. Setelah pemodelan struktur SFT
pada software Autocad selesai, gambar 3D struktur
SFT tersebut akan dimasukkan ke dalam software
SAP 2000 dengan cara import gambar untuk
dianalisa. Terdapat bagian dari badan tunnel SFT
yang berada di dalam tanah, tapi pada studi ini
bagian tersebut tidak akan dibahas. Bagian yang
dianalisa hanya bagian yang mendapat pengaruh
lingkungan perairan.
6.2 Pemodelan Struktur SFT
Pemodelan struktur SFT pada Autocad akan
dilakukan dengan menyesuaikan modeling struktur
SFT yang akan dibuat dan property struktur setelah
import gambar Autocad dilakukan pada SAP 2000.
Oleh karena itu, perlu ketelitian dalam
memodelkan struktur pada Autocad sebelum
gambar ditransfer ke SAP 2000.
Struktur pada Autocad dilakukan dengan
cara memodelkan struktur kabel tendon dan balok
baja sebagai line pada gambar Autocad sedangkan
struktur plat kendaraan, sabuk baja dan dinding
tunnel beton dimodelkan sebagai 3D face. Hal ini
dilakukan karena SAP 2000 akan mendefinisikan
secara otomatis gambar line dan 3D face pada
Autocad sebagai struktur frame dan shell sesuai
dengan bentuk struktur SFT yang diinginkan.
Bentuk tunnel dan konfigurasi kabel SFT
yang akan dibuat pada Autocad akan disesuaikan
dengan desain struktur. Hasil gambar Autocad 3D
32
Frame (Release)
Dinding tunnel
Shell
Sabuk baja
Shell
Plat kendaraan
Shell
Balok baja
Frame
Tendon
Dinding tunnel
Concrete
Sabuk baja
Steel
Plat kendaraan
Concrete
Balok baja
Steel
Jarak (m)
F w/c
50% F w/c
2
2
20,048 kN/m
Group 1
((-2.27)-(-4.45))
-2,18
40,096 kN/m
Group 2
((-4.45)-(-6))
-1,55
39,908 kN/m2
2
19,954 kN/m
Group 3
((-6)-(-7.04))
-1,04
46,305 kN/m2
2
23,152 kN/m
2
20,692 kN/m
Group 4
((-7.04)-(-8.03))
-0,99
41,384 kN/m
Group 5
((-8.03)-(-9))
-0,97
36,265 kN/m2
2
18,132 kN/m
Group 6
((-9)-(-10))
-1
30,346 kN/m2
2
15,173 kN/m
Group 7
((-10)-(-10.9))
-0,9
28,725 kN/m2
2
14,362 kN/m
33
Pressure
Group 1
52660.679 N/m2
Group 2
62318.018 N/m2
Group 3
72040.735 N/m2
Group 4
81818.227 N/m2
Group 5
91641.666 N/m2
Group 6
101503.71 N/m2
Group 7
111398.28 N/m2
57,2 kN/m
UDL
4,677 kN/m2
1.1
kN/m2
34
Modal
Modal
Dead Load
Linear static
Live Load
Linear static
Hydrostatic Pressure
Linear static
Buoyancy Load
Linear static
Wave API RP 2A
Wave Manual
Linear static
1D+1H+1B+1W
Keterangan :
U 1 max (mm)
U 2 max (mm)
U 3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W
173.304
13.759
103.289
1D+1H+1B+1W
173.304
14.362
115.126
Keterangan :
U 1 max
U 2 max
U 3 max
D=
Dead Load
L=
Live Load
H=
Hydrostatic Pressure
B=
Buoyancy Load
Load Combination
U 1 max (mm)
U 2 max (mm)
U 3 max (mm)
Wave Load
1D+1L+1H+1B+1W
303.374
19.588
66.951
1D+1H+1B+1W
303.374
19.793
74.429
W=
Keterangan :
c.
35
U 1 max
U 2 max
U 3 max
U1 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W
169.323
12.958
89.789
1D+1H+1B+1W
169.324
13.493
100.226
Keterangan :
U 1 max
U 2 max
U 3 max
U 1 max (mm)
U 2 max (mm)
U 3 max (mm)
1D+1L+1H+1B+1W
341.549
21.344
70.833
1D+1H+1B+1W
341.549
21.541
78.108
Keterangan :
U 1 max
U 2 max
U 3 max
Load Combination
1D+1L+1H+1B+1W
Type 1
Type 2
Max Stresses
Max Stresses
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
7.584
9.716
2.62
9.907
10.238
2.685
12.421
6.323
2.565
15.238
8.038
3.959
s12 bot
Type 3
Type 4
Max Stresses
Max Stresses
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
7.462
12.458
4.292
9.597
15.255
2.455
13.356
12.749
4.607
16.866
8.384
4.927
Type 2
Type 3
Type 4
Load Combination
Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips) Pmax (kips) Pmin (kips)
Comb 1
1101
-361.1
1293.1
-639.3
1151.6
-376
1354.6
-723.7
Comb 2
1145.1
-317.1
1332.6
-599.9
1197.9
-329.7
1392.7
-685.7
Load Combination
Type 1
Type 2
Max Stresses
Max Stresses
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
7.556
8.461
2.472
10.06
6.899
2.891
12.368
11.405
3.756
15.4
17.235
3.866
1D+1H+1B+1W
Type 3
Type 4
Max Stresses
Max Stresses
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
7.443
9.92
4.535
9.691
15.513
2.516
13.306
11.55
4.44
17.026
20.842
4.834
36
Type 1
Type 2
Max Stresses
Max Stresses
Load Combination
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
6.303
9.667
2.384
8.175
8.743
2.303
10.519
11.402
3.639
12.771
12.245
3.679
Type 3
Type 4
Max Stresses
Max Stresses
s12 bot
1D+1L+1H+1B+1W
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
6.182
10.18
3.526
7.914
9.975
2.123
11.54
11.47
4.395
14.39
14.86
4.75
Type 2
Max Stresses
Max Stresses
Load Combination
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
6.299
7.832
2.232
8.31
5.81
2.476
10.493
10.216
3.474
12.841
12.643
3.587
Type 3
s12 bot
Type 4
Max Stresses
Max Stresses
1D+1H+1B+1W
125.891
9.62
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
s12 bot
MPa
6.185
7.717
3.725
7.988
10.669
2.149
11.455
10.288
4.229
14.542
15.385
4.658
73.035
Type 1
Type 2
Type 3
Type 4
Load Combination
Pmax (kips)
Pmin (kips)
Pmax (kips)
Pmin (kips)
Pmax (kips)
Pmin (kips)
Pmax (kips)
Pmin (kips)
1D+1L+1H+1B+1W
772.8
-254.1
956.1
-513.6
807.1
-268.8
1017.3
-591.2
1D+1H+1B+1W
803.6
-223.7
982.8
-487.3
839.1
-237.2
1043.1
-565.9
37
Mpa
4.696
879
kips
1116
Mpa
1674
Mpa
363
mm
9.667
Mpa
803.6
kips
1684
Mpa
264.301
129.85
Mpa
mm
Load
10.669
Mpa
839.1
kips
1758
Mpa
225.15
125.9
Mpa
mm
Load
Dimana :
St = Strouhal Number
V = Kecepatan arus/gelombang (m/s)
St = Diameter struktur (m)
38
Type 2
Frequency
(Hz)
Type 3
Period
Frequency
(sec)
(Hz)
Type 4
Period
Frequency
(sec)
(Hz)
Mode
Period (sec)
Frequency
(Hz)
Period (sec)
0.527
1.896
0.725
1.378
0.523
1.912
0.776
1.288
0.473
2.116
0.389
2.572
0.443
2.258
0.395
2.533
0.354
2.825
0.372
2.688
0.348
2.873
0.366
2.732
0.349
2.868
0.309
3.236
0.342
2.923
0.306
3.269
0.224
4.466
0.219
4.558
0.221
4.516
0.22
0.213
4.704
0.214
4.681
0.213
4.705
0.213
4.7
0.169
5.913
0.169
5.925
0.174
5.755
0.168
5.953
0.15
6.663
0.148
6.753
0.15
6.684
0.148
6.76
4.54
0.139
7.189
0.14
7.125
0.139
7.19
0.14
7.118
10
0.127
7.85
0.127
7.866
0.127
7.853
0.127
7.868
11
0.12
8.332
0.12
8.346
0.12
8.335
0.12
8.347
12
0.115
8.709
0.115
8.708
0.115
8.706
0.115
8.708
39
Pmax
(ton)
Min.Breaking
Load (ton)
Ket
SF
1D+1L+1H+1B+1W
183.99
193
OK
1.05
1D+1H+1B+1W
184.08
193
OK
1.05
Pmax
(ton)
Min.Breaking
Load (ton)
Ket
SF
1D+1L+1H+1B+1W
146.21
193
OK
1.32
1D+1H+1B+1W
147.57
193
OK
1.31
40
Max Stresses
Allowable stress
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
Loading Condition
1D+1L+1H+1B+1W
3.487
6.36
1.69
4.434
5.723
2.142
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
3.49
9.395
1.815
4.362
8.823
2.08
Nmm
4.7
320.501,75
Service
1.125.702,58
1D+1H+1B+1W
Max Stresses
Allowable stress
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
1D+1L+1H+1B+1W
-9.42
-14.11
-5.57
-11.3
-12.01
-3.46
s11 top
s22 top
s12 top
s11 bot
s22 bot
s12 bot
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
MPa
-9.45
-12.63
-5.76
-11.35
-11.07
-3.38
45
1D+1H+1B+1W
S22Top
S12Top
S11Bot
S22Bot
S12Bot
N/mm2
N/mm2
N/mm2
N/mm2
N/mm2
N/mm2
138.863
108.528
54.177
168.522
226.242
45.742
42
43
S tepType
S tepNum
Period
Text
Text
Unitless
Sec
Frequency
Hz
M ODAL
M ode
0.33
3.02
M ODAL
M ode
0.29
3.4
M ODAL
M ode
0.27
3.68
M ODAL
M ode
0.26
3.79
M ODAL
M ode
0.2
5.01
M ODAL
M ode
0.19
5.17
M ODAL
M ode
0.14
6.91
M ODAL
M ode
0.14
6.93
M ODAL
M ode
0.13
7.43
M ODAL
M ode
10
0.13
7.91
M ODAL
M ode
11
0.12
8.4
M ODAL
M ode
12
0.11
8.73
U2
mm
U3
mm
51.93
4.53
34.02
44
No
Elemen Struktur
1
Penampang SFT
2 Foundation Template
3
Kabel
4
5
6
7
Sling Shacle
Balok Memanjang
Balok Melintang
Sabuk Baja
Tendon Prategang
Spiral Wire
JIS G 3532 SWM-B
Dimensi
OD = 5.9 cm ; t = 45 cm
Lebar = 3 m ; Panjang = 6 m
Spesifikasi Material
Ket
Beton f'c = 45 MPa
Badan Tunnel SFT
Beton f'c = 45 MPa
Ketebalan belum ditentukan
Steel Wire Ropes Blue Strand 6 x 36 Class
Diameter 5.2 cm
Penahan Badan Tunnel SFT
Minimum Breaking Force 193 ton
Diameter 23. 8 cm
Minimum Breaking Force 150 ton (SF 5 : 1)
WF 250x175x7x11 ; L = 1.25 m
BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410
WF 450x300x10x15 ; L = 3 m
BJ 41 ; fy = 250 ; fu = 410
L = 1 m ; t = 60 mm
High Tensile Plat S 355 J2G3 ; fy = 335 ; fu = 490 MPa
Jumlah Strand = 20
VSL Uncoated 7 Wire Super Strand
Tendon Prategang diletakkan
Diameter nominal 0.0127 m
fpy = 1580000 kPa ; fpu = 1860000 kPa
pada badan tunnel
Diameter 3 mm
10
Anchor Bolt
Diameter 22 mm dan 16 mm
11
Connection Plate
JIS G 3101
t = 20 mm
7.2 Saran
Saran yang dapat diambil pada studi untuk
menemukan konfigurasi kabel yang paling efektif
pada struktur SFT dan juga setelah melakukan
45
46