Anda di halaman 1dari 53

DASAR PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG NO 26 TAHUN 2007 TENTANG

PENATAAN RUANG SEBAGAI DASAR PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN


WILAYAH SESUAI DENGAN KEBIJAKAN OTONOMI DAERAH

Pendahuluan
Undang-Undang Penataan Ruang pertama kali adalah Undang-Undang Nomor 24
Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, yang ditetapkan setelah menempuh perjalanan
panjang semenjak tahun 60-an. Pada kurun waktu itu, pemikiran mengenai tata guna
tanah(land use) mulai diperkenalkan. Selama perjalanan panjang tersebut,berbagai
kajian, seminar, lokakarya, diskusi telah dilakukan untuk menyatukan persepsi, visi dan
misi di antara berbagai pemangku kepentingan. UUPR juga ditetapkan dengan disertai
semangat pembaharuan hukum yang luar biasa, yaitu mengganti produk hukum
warisan

kolonial

(Ordonansi

Pembentukan

Kota

/Stadsvormings

Ordonantie,

Staadsblad 1948 Nomor 166)1, dan keinginan sinkronisasi dan harmonisasi di antara
berbagai undang-undang yang melaksanakan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UndangUndang Dasar 1945. Kententuan pasal 33 ayat 3 UUD 1945 adalah ketentuan yang
mengamanatkan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Penyelenggaraan penataan ruang yang meliputi proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang dilandasi oleh Undang-

1 Van Roosmalen, Paulin K.M, Awal Penataan Ruang di Indonesia dalam Harjatno. N Yenny dan
Febiharta : Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 19948-2000, Direktorat Jenderal
Penataan Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Sejarah Penataan Ruang Indonesia,
Jakarta, 2003.

Undang No. 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang (UU PR). Dengan penataan
ruang diharapkan dapat terwujud ruang kehidupan masyarakat yang nyaman,
aman,produktif, dan berkelanjutan. Tetapi pada kenyataannya kondisi yang tercipta
belum sesuai dengan yang diharapkan. Hal ini terlihat dari tantangan yang terjadi,
terutama semakin meningkatnya permasalahan bencana banjir dan longsor; semakin
meningkatnya

kemacetan

lalu

lintas dan

perumahan

kumuh, serta

semakin

berkurangnya ruang publik dan ruang terbuka hijau di perkotaan; kurang memadainya
kapasitas kawasan metropolitan terhadap tekanan jumlah penduduk; dan kurang
seimbangnya pembangunan kawasan perkotaan dan kawasan perdesaan. Maka
munculah Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang.
Dalam pelaksanaan UUPR, saat ini merupakan akomodir dari perubahan politik di masa
peralihan masa orde baru menuju era reformasi dan demokrasii. Salah hasil perubahan
tersebut adalah terbitnya Undang-Undang Pemerintah Daerah. UU no 26 tahun 2007
mengacu pada UU no 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Tetapi melihat
perkembang saat ini terjadi konflik politik di pemerintahan mengenai dasar pemilihan
kepala daerah yang berujung terjadinya perubahan-perubahan atas Undang-Undang
Pemerintahan Daerah. Pada tahun 2014 disahkan UU No 23 tahun 2014 tentang
pemerintahan daerah tetapi karena terjadi pergolakan politik dan keluarlah Peraturan
Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Lalu setelah pemerintahan berganti kepala daerah Perppu tersebut disahkan menjadi
Undang-Undang yang sejalan dengan UU No 23 Tahun 2014 dengan terbitnya UU No 2
tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 2

Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang. Dan yang terakhir adalah UU no 9
tahun 2015 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 Tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda).
Perubahan-perubahan tersebut tidak menjadi permasalahan utama dalam penulisan
makalah ini, karena jika ditinjau aspek penataan ruang tidak dihilangkan atau peralihkan
kewenangan urusan pemerintah dan pemerintah daerah. Hal tersebut dapat dilihat
pada pasal 12 ayat (1) poin c UU Pemda No 23 tahun 2014, dimana urusan
pemerintahan wajib yang berkaitan dengan pelayanan dasar adalah penataan ruang.
Sedangkan pada UU Pemda no 32 tahun 2004 tidak dijelaskan secara detail hanya
dijelaskan pasal 11 ayat (4) Penyelenggaraan urusan pemerintahan yang bersifat wajib
yang berpedoman pada standar pelayanan minimal dilaksanakan secara bertahap dan
ditetapkan oleh Pemerintah. Maka dapat dikatakan UU PR yang ada sekarang masih
relevan dan dapat digunakan.
Penerapan sebuah peraturan perundang-undangan dapat dilihat hasilnya dengan
mengkaji fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dari hasil kajian ini dapat ditarik
kesimpulan tentang efektivitas dari sebuah peraturan perundang-undangan dalam
mengatur perilaku pemerintah dan masyarakat. Berbagai hal positif yang dicapai dalam
kurun waktu penerapannya dapat dilihat dari meningkatnya kesadaran masyarakat
akan pentingnya penataan ruang dalam pelaksanaan pembangunan 2. Kesadaran
terserbut merupakan langkah awal dalam pengembangan wilayah. Pngertian
pengembangan
2

wilayah

dapat

dirumuskan

sebagai

rangkaian

upaya

untuk

Dokumen Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Departemen


Pekeerjaan Umum. Jakarta : 2005

mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan berbagai sumber daya, merekatkan dan


menyeimbangkan

pembangunan

nasional

dan

kesatuan

wilayah

nasional,

meningkatkan keserasian antar kawasan, keterpaduan antar sektor pembangunan


melalui proses penataan ruang dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan yang
berkelanjutan dalam wadah NKRI3.
Dengan penjelasan tersebut maka dapat dikatakan UU PR no 26 tahun 2007 tentang
penataan ruang merupakan alat untuk mengembangkan wilayah dengan menata ruang
wilayah dengan tujuan mensejahterakan masyarakat. Pelaksanaan penataan ruang
saat ini merupakan implikasi dari kebijakan otonomi daerah. Dimana daerah baik itu
provinsi dan kabupaten dapat mengatur dan mengendalikan pemanfaatan ruang.
Seperti yang diamanatkan UU Pemda No 23 tahun 2014 pasal 12 ayat (1) poin c,
dimana penataan ruang adalah urusan pemerintahan konkuren. Pengertian urusan
pemerintahan konkuren adalah urusan yang diserahkan ke daerah yang menjadi dasar
pelaksanaan Otonomi Daerah yang terdiri atas Urusan Pemerintahan Wajib dan Urusan
Pemerintahan Pilihan (UU Pemda no 23 tahun 2014 pasal 11). Pada makalah ini akan
membahas tentang asas pembentukan UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
dan melihat teori pembentukannya apakah sejalan dengan perkembangan politik dan
perkembangan ekonomi saat ini.

PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG DI INDONESIA: TINJAUAN TEORITIS DAN


PRAKTIS1 DIREKTUR JENDERAL PENATAAN RUANG DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN
PRASARANA WILAYAH. STUDIUM GENERAL SEKOLAH TINGGI TEKNOLOGI NASIONAL (STTNAS)
DI YOGYAKARTA, 1 SEPTEMBER 2003

Maksud dan Tujuan


Penyusunan

makalah ini dimaksudkan untuk memberikan

gambaran

tentang

bagaimana dasar pembentukan teori perundang-undangan penataan ruang yang ada


saat ini. Selain daripada itu makalah ini bertujuan untuk memberikan masukan dan ide
terhadap penilian dassar teori yang digunakan apakah dasar pembentukan tersebut
masih relevan pada perkembangan politik dan ekonomi saat ini

Pembahasan
Dasar Pembentukan UU PR No 26 tahun 2007
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
yang dimaksud dengan ruang adalah Wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan
ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan
hidupnya. Ruang sebagai salah satu tempat untuk melangsungkan kehidupan
manusia, juga sebagai sumber daya alam merupakan salah satu karunia Tuhan kepada
bangsa Indonesia. Dengan demikian ruang wilayah Indonesia merupakan suatu aset
yang harus dapat dimanfaatkan oleh masyarakat dan bangsa Indonesia secara
terkoordinasi, terpadu dan seefektif mungkin dengan memperhatikan faktor-faktor lain
seperti, ekonomi, sosial, budaya, hankam, serta kelestarian lingkungan untuk
mendorong terciptanya pembangunan nasional yang serasi dan seimbang.
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa landasan konstitusional penyelenggaraan
penataan ruang adalah Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yang mana menetapkan bahwa

bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara
dan digunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dalam konteks tersebut,
penataan ruang diyakini sebagai pendekatan yang tepat dalam mewujudkan
keterpaduan pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya buatan secara berdaya
guna dan berhasil guna untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Berikut ini
adalah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan UU no 26 tahun 2007
berdasarkan

naskah

akademis

pembentukan

perundangan-undangannya

yang

dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum 2005 4 :


1. Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104)
Undang-undang ini dikenal dengan sebutan UUPA, sebagai Undang-undang
pertama yang dibuat untuk menjalankan prinsip Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. UUPA
sekaligus dibuat untuk menggantikan ketentuanketentuan yang terkait dengan hakhak atas tanah sebagaimana diatur dalam KUH Perdata atau BW (Burgelijke
Wetboek) sebagai produk hukum warisan Belanda. UUPA pertama kali memberikan
kewenangan kepada pemerintah untuk mengatur peruntukan tanah (lahan) ke
dalam berbagai kategori seperti untuk kepentingan pertanian, perkantoran, tempat
ibadah, fasilitas umum, dan sebagainya. Meskipun UUPA lebih banyak mengatur
perihal hak-hak atas tanah, dalam penataan ruang maka peruntukan tanah, yang
dikenal dengan istilah tata guna tanah atau tata guna lahan, merupakan bagian
yang tidak terpisahkan. UUPA secara tegas memisahkan antara hak-hak atas tanah
dengan peruntukan tanah, namun keberadaan hak-hak atas tanah yang diakui
4

Dokumen Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang Penataan Ruang. Departemen


Pekeerjaan Umum. Jakarta : 2005

berdasarkan UUPA tersebut merupakan hal yang juga harus diperhitungkan dalam
penataan ruang, khususnya dengan hal pertambahan atau pengurangan nilai
tanah yang melekat pada hak seseorang akibat penataan ruang. Konsep-konsep
tersebut kemudian dianut pula oleh berbagai peraturan perundang-undangan yaitu
yang terkait dengan pemanfaatan kekayaan alam seperti misalnya Undang-Undang
Tentang Kehutanan, Undang- Undang tentang Pertambangan, Undang-Undang
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Tentang Sumber Daya
Air, dsb.
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
(Lembaran Negara Republik IndonesiaTahun 1997 Nomor 68).
Undang-undang ini memberikan landasan hukum bagi kebijakan pengelolaan
lingkungan hidup. Adapun yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah
kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaaan dan mahluk hidup, termasuk
manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi kelangsungan hidup manusia dan
mahluk hidup lainnya. Berdasarkan definisi tersebut maka antara pengelolaan
lingkungan hidup dan penataan ruang merupakan dua hal yang tidak dapat
dipisahkan, karena kesatuan ruang itu sendiri merupakan salah satu unsur dari
lingkungan hidup.
Penataan ruang merupakan salah satu instrumen pengelolaan lingkungan hidup.
Dalam konteks daya tampung lingkungan, ruang lebih dilihat sebagai wadah,
namun dalam konteks daya dukung maka ruang lebih dilihat sebagai sumberdaya
alam. Dengan masuknya dimensi lingkungan dalam pembangunan, maka konsep
tata ruang dipengaruhi pula oleh konsep-konsep lingkungan, termasuk pendekatan

ekosistemnya.
Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penataan ruang, terlihat dalam materi
muatan

mengenai

wewenang

pengelolaan

lingkungan

hidup,

yang

mana

Pemerintah berwenang menetapkan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan


lingkungan hidup dan penataan ruang dengan tetap memperhatikan nilai-nilai
agama, adat istiadat, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat. Demikian pula
dalam pengaturan mengenai persyaratan penataan lingkungan hidup, tepatnya pada
bagian perizinan, maka dalam penerbitan izin melakukan usaha dan/atau kegiatan
yang dapat menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup
wajib memperhatikan beberapa hal yang diantaranya adalah rencana tata ruang.
3. Undang-Undang No. 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125)
Seperti telah dikemukakan, UUPR lebih banyak memuat kaidah-kaidah administrasi
berupa kewenangan, proses dan prosedur, serta kelembagaan sebagai pedoman
bagi administrasi dalam penyelenggaraan rencana tata ruang, pemanfaatan ruang,
dan pengendalian pemanfaatan ruang. Pelaksanaan kaidah-kaidah administrasi
dalam penyelenggaraan penataan ruang tersebut harus mengacu pada pola
pembagian kewenangan atau urusan pemerintahan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Pemerintahan
Daerah. Artinya, sepanjang menyangkut pelaksanaan kewenangan penataan ruang
di daerah, UUPR harus mengikuti kaidah-kaidah umum pemerintahan daerah.
Salah satu substansi penting dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 bagi
penyelenggaraan penataan ruang, tepatnya termuat dalam Pasal 189, adalah

adanya ketentuan bahwa dalam penetapan perda tentang rencana tata ruang
daerah, perlu terlebih dahulu dikoordinasikan dengan Menteri yang membidangi
bidang penataan ruang. Hal ini memberikan kewenangan besar bagi Menteri terkait
untuk melakukan kontrol terhadap rencana tata ruang wilayah baik provinsi maupun
kabupaten/kota.
4. Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 Tentang Pertahanan Negara (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 4169)
Undang-Undang ini memuat aspek penting bagi penyelenggaraan penataan ruang.
Pertahanan yang kokoh merupakan kunci bagi kelangsungan eksistensi bangsa dan
NKRI. Sementara karakteristik wilayah nasional yang berupa Negara Kepulauan
(archipelagic state) sangat rawan bagi infiltrasi, karena memiliki banyak pintu masuk
yang dapat dimanfaatkan bagi pihak musuh. Oleh karena itu penataan ruang
wilayah nasional harus dapat menetapkan kawasan-kawasan strategis tersebut
sedemikian rupa guna kepentingan pertahanan negara. Dalam skala yang lebih
kecil, misalnya penataan ruang kota, penataan ruang wilayah perkotaan harus
mengakomodasi kepentingan pertahanan, sehingga kota tersebut tidak mudah jatuh
ke tangan musuh. Tata ruang kota dapat berfungsi di satu sisi sebagai penghambat
gerak musuh dan di lain sisi sebagai wilayah pertahanan.
5. Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 3888)
Menurut undang-undang ini, kehutanan adalah sistem pengurusan yang bersangkut
paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu. Definisi hutan dimaksud adalah suatu kesatuan ekosistem berupa

hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam
persekutuan alam lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.
Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penataan ruang adalah bahwa
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 mengatur perihal perencanaan kehutanan yang
meliputi inventarisasi hutan, pengukuhan kawasan hutan, penatagunaan kawasan
hutan, pembentukan wilayah pengelolaan hutan, dan penyusunan rencana
kehutanan, yang mana dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan dalam rangka
perencanaan kehutanan harus dilakukan dengan memperhatikan rencana tata
ruang. Adapun pengukuhan hutan dimaksud dilakukan dalam rangka memberikan
kepastian hukum atas kawasan hutan.
6. Undang-Undang No. 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 23)
Undang-undang ini mengatur mengenai penataan dan pengelolaan perumahan dan
permukiman. Penataan perumahan mencakup kegiatan pembangunan baru,
pemugaran, perbaikan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya, sedangkan
yang menyangkut penataan permukiman mencakup kegiatan pembangunan baru,
perbaikan, peremajaan, perluasan, pemeliharaan, dan pemanfaatannya.
Keterkaitan undang-undang ini dengan bidang penaatan ruang adalah bahwa
berdasarkan undang-undang ini, pelaksanaan pembangunan perumahan dan
permukiman harus sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (pasal 19).

7. Undang-Undang No. 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung (Lembaran Negara


Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 134)
Undang-undang ini mengatur penyelenggaraan bangunan gedung sebagai kegiatan
pembangunan yang meliputi proses perencanaan teknis dan pelaksanaan
konstruksi, serta kegiatan pemanfaatan, pelestarian, dan pembongkaran. Bangunan
gedung dimaksud adalah wujud fisik hasil pekerjaan konstruksi yang menyatu
dengan tempat kedudukannya, sebagian atau seluruhnya berada di atas dan/atau di
dalam tanah dan/atau air, yang berfungsi sebagai tempat manusia melakukan
kegiatannya, baik untuk hunian atau tempat tinggal, kegiatan keagamaan, kegiatan
usaha, kegiatan sosial, budaya, maupun kegiatan khusus. Berdasarkan undangundang ini maka fungsi bangunan gedung yang meliputi fungsi hunian, keagamaan,
usaha, sosial dan budaya, serta fungsi khusus harus sesuai dengan peruntukan
lokasi yang diatur dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota.
8. Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 32)
Undang-undang ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya air untuk
mewujudkan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan. Sumber daya air
sangat penting dalam mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia
dalam segala bidang, untuk itu wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial,
lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras.
Berdasarkan undang-undang ini maka zona pemanfaatan sumber air dan
peruntukan air pada sumber air sebagaimana ditetapkan melalui penatagunaan

sumber daya air merupakan salah satu acuan untuk penyusunan atau perubahan
rencana tata ruang wilayah. Selanjutnya bahwa pengembangan sumber daya air
pada wilayah sungai yang ditujukan bagi peningkatan kemanfaatan fungsi sumber
daya air guna memenuhi kebutuhan air baku untuk rumah tangga, pertanian,
industri, pariwisata, pertahanan, pertambangan, ketenagaan, perhubungan, dan
untuk berbagai keperluan lainnya harus harus dilaksanakan sesuai dengan rencana
tata ruang wilayah. Selain itu menurut undang-undang ini bahwa perencanaan
pengelolaan sumber daya air yang disusun untuk menghasilkan rencana yang
berfungsi sebagai pedoman dan arahan dalam pelaksanaan konservasi sumber
daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air,
merupakan salah satu unsur dalam penyusunan, peninjauan kembali, dan/atau
penyempurnaan rencana tata ruang wilayah. Demikian pula dalam hal rencana tata
ruang wilayahnya sudah ada, maka rencana tata ruang wilayah tersebut menjadi
acuan dalam penyusunan rencana pengelolaan sumber daya air. Dengan demikian,
antara rencana pengelolaan sumber daya air dan rencana tata ruang wilayah
terdapat hubungan yang bersifat dinamis dan terbuka untuk saling menyesuaikan.
9. Undang-Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 132)
Undang-undang ini mengatur tentang penyelenggaraan jalan guna optimalisasi
peranan jalan dalam mendukung pembangunan nasional. Jalan sebagai salah satu
prasarana transportasi memiliki peran penting dalam mendukung ekonomi, sosial
budaya, lingkungan hidup, politik, pertahanan dan keamanan, karena itu
penyelenggaraan jalan harus dilaksanakan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Undang-undang ini sangat berkaitan dengan peraturan perundangundangan bidang


penataan ruang, dimana menurut undang-undang ini bahwa pengadaan tanah untuk
pembangunan jalan bagi kepentingan umum dan jalan tol harus dilaksanakan
berdasarkan rencana tata ruang wilayah kabupaten/kota.
10. Undang-Undang No. 25 Tahun 2005 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4421)
Undang-Undang ini mengatur tata cara perencanaan pembangunan untuk
menghasilkan rencana-rencana pembangunan di tingkat pusat dan daerah. Adapun
Sistem Perencanaan Pembanguan Nasional tersebut diperlukan untuk menjamin
agar kegiatan pembangunan berjalan efektif, efisien, dan bersasaran. UndangUndang ini mengatur beberapa hal pokok antara lain: perencanaan pembangunan
nasional yang meliputi i) perencanaan pembangunan oleh kementerian/lembaga
dan perencanaan pembangunan oleh Pemerintah Daerah, dan ii) tahapan
perencanaan pembangunan nasional. Keterkaitan Undang-Undang ini dengan
penyelenggaraan penataan ruang adalah terhadap dimensi waktu rencana tata
ruang. Menurut UUPR, Rencana Tata Ruang Ruang Wilayah Nasional (RTRWN)
berjangka waktu 25 (dua puluh lima) tahun, dan Rencana Tata Ruang Ruang
Wilayah Provinsi (RTRWP) berjangka waktu 15 (lima belas tahun) tahun, sedangkan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota (RTRWK) berjangka waktu 10
(sepuluh) Tahun. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 2004, Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) berdimensi waktu 20 (dua puluh)
tahun, dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJPM)
berdimensi waktu 5 (lima) tahun, sedangkan Rencana Kerja Pemerintah berdimensi

waktu 1 (satu) tahun. Dengan demikian terlihat adanya ketidaksesuaian dimensi


waktu antara perencanaan pembangunan nasional dengan perencanaan tata ruang,
sehingga penyesuaian jangka waktu antara perencanaan pembangunan dengan
perencanaan tata ruang mutlak diperlukan agar terdapat keselarasan dan proses
pencapaian tujuannya.
11. Undang-Undang No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Eksosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49)
Undang-Undang ini mengatur tentang pengelolaan sumber daya alam hayati agar
pemanfaatannya dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan
persediaannya

dengan

tetap

memelihara

dan

meningkatkan

kualitas

keanekaragaman dan nilainya dalam suatu sistem hubungan timbak balik antara
unsur dalam alam baik hayati maupun nonhayati yang saling tergantung dan
pengaruh-mempengaruhi. Keterkaitan Undang-undang ini dengan penyelenggaraan
penataan ruang adalah bahwa salah satu kegiatan konservasi sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya adalah perlindungan sistem penyangga kehidupan yang
ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan
kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan
manusia. Adapun untuk mewujudkan tujuan ini Pemerintah menetapkan wilayah
tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan, yang
diwujudkan dalam bentuk penetapan kawasan suaka alam dan kawasan pelestarian
alam, yang dalam penataan ruang berdasarkan fungsi utama kawasan, kawasankawasan tersebut merupakan kawasan lindung.

12. Undang-Undang No. 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 27)
Undang-undang ini mengatur tentang upaya untuk menjaga kelestarian benda cagar
budaya,

melalui

pencarian,

pengaturan

perlindungan,

terhadap

penguasaan,

pemeliharaan,

pemilikan,

pengelolaan,

penemuan,

pemanfaatan,

dan

pengawasan benda cagar budaya. Benda cagar budaya itu sendiri merupakan
kekayaan

budaya

bangsa

yang

penting

artinya

bagi

pemahaman

dan

pengembangan sejarah ilmu pengetahuan dan kebudayaan demi memupuk


kesadaran jati diri bangsa dan kepentingan Nasional. Dalam Pasal 4 UndangUndang ini dinyatakan bahwa semua benda cagar budaya yang terdapat di wilayah
hukum Republik Indonesia dikuasai oleh negara, yang mana dalam rangka
penguasaan tersebut benda cagar budaya berdasarkan nilai, sifat, jumlah, dan
jenisnya serta demi kepentingan sejarah, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan perlu
dilestarikan,

dan

dinyatakan

milik

negara,

sehingga

dengan

demikian

pengelolaannya menjadi tanggungjawab Pemerintah. Selanjutnya dalam Pasal 11


dinyatakan bahwa Pemerintah memiliki kewenangan untuk menetapkan lokasi
penemuan benda cagar budaya sebagai situs beserta penetapan batas-batasnya,
dalam hal ini penetapan lokasi dimaksud sangat terkait dengan penataan ruang
karena lokasilokasi cagar budaya tersebut perlu dilindungi dengan cara diakomodasi
baik dalam rencana umum tata ruang maupun rencana detail tata ruang.

13. Undang-Undang No. 14 Tahun 1992 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 49)
Undang-Undang ini mengatur tentang pembinaan dan penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan. Lalu lintas dan angkutan jalan merupakan bagian dari sistem
transportasi nasional yang perlu dikembangkan dan dimanfaatkan guna menjangkau
seluruh wilayah daratan dengan mobilitas tinggi, sehingga dapat mewujudkan
dayaguna dan hasilguna nasional yang optimal. Transportasi jalan sebagai salah
satu moda transportasi tidak dapat dipisahkan dari moda-moda transportasi lain
yang ditata dalam sistem transportasi nasional yang dinamis dan mampu
mengadaptasi kemajuan di masa depan, mempunyai karakteristik yang mampu
menjangkau seluruh pelosok wilayah daratan dan memadukan moda transportasi
lainnya, perlu lebih dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai
penghubung wilayah baik nasional maupun internasional, sebagai penunjang,
pendorong, dan penggerak pembangunan nasional demi peningkatan kesejahteraan
masyarakat. Keterkaitan Undang-Undang ini dengan penyelenggaraan penataan
ruang adalah bahwa dalam mengembangkan lalu lintas dan angkutan jalan yang
salah satunya adalah jaringan transportasi jalan yang merupakan bagian dari sistem
transportasi nasional, harus mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah karena
jaringan transportasi jalan merupakan salah satu wujud struktur pemanfaatan ruang
Dari penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa dalam merumuskan konsep
perundang-undangan

sangat

diperlukan

perbadingan

atau

keterkaitan

dengan

perundang-undangan lainnya. Hal tersebut sesuai dengan konsep penyelenggaraan


penataan ruang.

Ruang sebagai suatu sumberdaya adalah bahwa secara alamiah ruang merupakan
sumberdaya yang dapat dimanfaatkan secara umum oleh seluruh pemangku
kepentingan. Oleh karena itu, seperti barang publik lainnya, jika tidak diatur maka yang
terjadi adalah apa yang disebut Tragedy of Common. Ruang akan tereksploitasi habishabisan melampaui daya dukung dan daya lentingnya sehingga tidak ada manfaat yang
dapat dinikmati bersama lagi bahkan sebaliknya mendatangkan bencana yang
berkepanjangan5. Hal lain yang juga terkait penataan ruang adalah entitas ruang itu
sendiri yang selalu akan mempunyai tiga unsur pokok, yaitu komponen darat,
laut/perairan, dan

udara, yang

saling mengait dalam satu

kesatuan fungsi

keseimbangan alamiah maupun buatan, yang masing-masing tidak akan dapat


berfungsi sendiri-sendiri. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai siklus keseimbangan
alam yang terjadi di alam. Oleh karena itu pula, dimensi darat, laut/perairan, dan udara
harus secara integratif diatur bersama-sama dalam suatu aturan penataan ruang.
Dengan status dan sifat ruang yang disebutkan di atas, maka yang perlu dilakukan
dalam Penataan Ruang sebenarnya menetapkan aturan main bagi para pemangku
kepentingan selaku pemanfaat ruang. Bagaimana para pemanfaat ruang dengan motif
dan kepentingan berbeda berinteraksi mengoptimasikan kepentingan mereka tersebut
untuk menghasilkan nilai tambah ekonomi, sosial, ekologis, dan terkadang estetika,
yang paling menguntungkan bagi mereka bersama-sama. Dengan pola interaksi yang
seperti itu, maka dapat pula dikatakan bahwa proses penataan ruang pastilah
berlangsung dinamis dan menerus. Oleh karena itu, tujuan tertinggi dari keseluruhan
proses penataan ruang adalah terjadinya perubahan pola pikir dan pola tindak

Sugiharto, 2006. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, Cet. Ke-1. USU Press, Medan

pemangku kepentingan dalam memanfaatkan ruang secara berkelanjutan. Di sinilah


ruang memenuhi klasifikasi konstitusi kita (UUD 45) sebagai aspek yang harus dikuasai
oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Lebih lanjut penjelasan Undang-undang Dasar 1945 menegaskan bahwa Negara
Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, dan bukan atas dasar
kekuasaan belaka. Negara hukum yang dimaksud di sini adalah negara hukum modern
atau yang lazim dikenal dengan negara kesejahteraan (welfare state). Konsep negara
kesejahteraan dipahami bahwa negara bertugas mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Bung Hatta menyebut dengan istilah "Negara Pengurus". Dalam hal ini tidak berarti
bahwa negara mengurusi segala hal, melainkan berperan mengatur, memfasilitasi,
mengendalikan, dan dalam hal-hal tertentu melaksanakan sendiri program-program
kesejahteraan rakyat.6 Penataan ruang sebagai suatu proses yang terdiri dari
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang
perlu diselenggarakan oleh negara secara sistematis dalam suatu pola manajemen
dalam rangka implementasi konsep negara.
Dari konsep dasar penyelenggaraan penataan ruang tersebut dapat disimpulkan bahwa
tujuan akhir dari penataan ruang adalah terwujudnya kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat yang adil dan berkelanjutan, sebagaimana pendapat DR. Ir . Kawik Sugiana,
M.Sc. berikut :

Martosowignyo, Soemarti, Perwira, Indra. 2015. Mengakhiri Masa Transisi. Unpad. Acemedia. Edu.
Published

Kemakmuran rakyat dalam penataan ruang harus diwujudkan secara holistik, terpadu,
dan berkelanjutan bagi kesejahteraan rakyat secara adil dan demi kejayaan bangsa dan
negara. Pemahaman tersebut perludidasarkan pada pengertian-pengertian berikut:
a. Ruang adalah daratan, perairan dan udara. Daratan adalah permukaan tanah dan
ruang di bawah permukaan tanah sampai kedalaman tertentu yang masih
memungkinkan pemanfaatan ruang beserta sumber daya alam yang terkandung di
dalamnya. Perairanadalah ruang uang bersifat cair seperti laut, laguna, danau,
waduk, sungai, kanal. Udara adalah angkasa dari permukaan tanah sampai batas
manuver pesawat udara;
b. Holistik, terpadu dan

berkelanjutan

adalah

pemanfaatan

ruang

dengan

mempertimbangkan berbagai aspek baik yang tangible (dapat dilihat/dirasa/didengar


oleh indera) seperti geologi, meteorologi, geofisika, hidrolika, flora, fauna, lalu-lintas,
infrastruktur dsb., maupun yang intangible, seperti sosial, ekonomi, budaya, politik,
hukum, sistemtransportasi, sistem pertahanan, sistem keamanan dsb;
c. Kesejahteraan rakyat secara adil adalah keadilan secara proporsional dalam
menikmati pemanfaatan ruang dalam memenuhi kebutuhan dasar manusia
(Abraham Maslow), antar daerah, terutama bagi masyarakat setempat maupun
antar masyarakat kaya dengan masyarakat miskin. Contoh implikasinya adalah
peningkatan perekonomian berlandaskan pada program eliminasi kesenjangan
kesejahteraan yang dapat diukur dari PDRB/kapita, Indeks Pembangunan Manusia
(IPM), dsb;
d. Kejayaan bangsa dan NKRI adalah menjaga kedaulatan bangsa dan NKRI.
Pengertian kesejahteraan rakyat tersebut selanjutnya

dapat diperinci dengan

mengembangkan teori Human Basic Needs oleh Abraham Maslow. Dalam konteks ini,

penataan ruang diharapkan mampu secara gradual mendorong terpenuhinya


kebutuhan dasar manusia berikut :
a. Pemenuhan kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs) berupa ketersediaan
oksigen yang cukup dan sehat, ketersediaan air yang bersih, sehat dan cukup,
ketersediaan ruang bekerja untuk mencari nafkah yang cukup untuk memenuhi
kebutuhan pangan, sandang dan tempat tinggal yang uckup dan layak;
b. Pemenuhan kebutuhan Keselamatan dan Keamanan (Safety & Security Needs) dari
bencana seperti banjir, longsor, tsunami dan kebakaran massal;
c. Pemenuhan kebutuhan Afiliasi Sosial (Belongingness/Love

Needs)

berupa

tersedianya ruang yang kondusif bagi masyarakat untuk berhubungan sosial secara
mudah, aman dan nyaman;
d. Pemenuhan kebutuhan Harga Diri (Esteem Needs) dengan member hak dan
kesempatan kepada para pemangku kepentingan dalam pemanfaatan ruang secara
demokratis, dan terwujudnya tatanan ruang yang bukan hanya berfungsi memenuhi
kebutuhan jasmani tetapi juga yang memenuhi kebutuhan rohani yang menggugah
spirit dalam tatanan ruang yang unik dengan simbol-simbol yang mengungkapkan
kearifan lokal akan membangkitkan rasa bangga bagi penduduknya;
e. Pemenuhan kebutuhan Eksistensi Diri (Self-Actualization) berupa pemberian hak
dan kesempatan membangun bagi pemilik ruang, atau memberi kompensasi yang
wajar apabila hak membangunnya terhambat karena pertimbangan keperluan umum
(transfer of development right). Agar penataan dapat secara efektif mendorong
terpenuhinya kebutuhan manusia tersebut di atas, salah satu isu penting yang perlu
diungkapkan dalam penyelenggaraan penataan ruang wilayah adalah konsep hak
pemilikan

(property

right)

dan

kaitannya

dengan

hak

untuk

membangun

(development right). Dalam hal, ini ada dua pengertian yang dapat dikemukakan
pada kaitannya antara hak kepemilikan dan hak membangun.
Penataan ruang sebagai kesatuan proses yang terdiri dari perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang, diharapkan dapat
diselenggarakan berdasarkan asas-asas :
a. Keterpaduan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang dianalisis
dan dirumuskan menjadi satu kesatuan dari berbagai kegiatan pemanfaatan ruang
baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Penataan ruang dilakukan secara
terpadu dan menyeluruh mencakup antara lain pertimbangan aspek waktu, modal,
optimasi, daya dukung dan daya tampung lingkungan, dan geopolitik. Dalam
mempertimbangkan aspek waktu, suatu perencanaan tata ruang memperhatikan
adanya aspek prakiraan, ruang lingkup wilayah yang direncanakan, persepsi yang
mengungkapkan berbagai keinginan, serta kebutuhan dan tujuan pemanfaatan
ruang.
b. Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan; asas ini mengandung pengertian bahwa
penataan ruang harus dapat mewujudkan kualitas ruang yang sesuai dengan
potensi dan fungsi ruang.
c. Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan; asas ini mengandung pengertian
bahwa penataan ruang harus dapat menjamin terwujudnya keserasian, keselarasan,
dan keseimbangan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang bagi persebaran
penduduk antar wilayah, pertumbuhan dan perkembangan antar sektor, antardaerah, serta antara sektor dan daerah dalam satu kesatuan Wawasan Nusantara.
d. Keberlanjutan; asas ini mengandung pengertian bahwa penataan ruang harus
menjamin kelestarian kemampuan daya dukung dan daya tampung lingkungan
dengan memperhatikan kepentingan lahir dan batin antar-generasi.

e. Keterbukaan; asas ini mengandung pengertian bahwa dalam penyelenggarakan


penataan

ruang

masyarakat

memiliki

akses

yang

seluas-luasnya

dalam

mendapatkan informasi yang berkaitan dengan penataan ruang.


f. Kebersamaan; berdasarkan asas ini maka penataan ruang diselenggarakan dengan
melibatkan seluruh pemangku kepentingan.
g. Keadilan dan perlindungan hukum; asas ini mengandung pengertian bahwa
penataan ruang harus dilaksanakan dengan mempertimbangkan rasa keadilan
masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil.
h. Kepastian hukum dan keadilan: bahwa penataan ruang diselenggarakan dengan
berlandaskan hukum/ ketentuan peraturan perundang-undangan dan bahwa
penataan

ruang

dilaksanakan

dengan

mempertimbangkan

rasa

keadilan

masyarakat serta melindungi hak dan kewajiban semua pihak secara adil dengan
jaminan kepastian hukum.
i. Akuntabilitas: bahwa penyelenggaraan penataan ruang dapat di pertanggung
jawabkan, baik prosesnya, pembiayaannya, maupun hasilnya.
Tujuan penyelenggaraan penataan ruang adalah untuk mewujudkan ruang wilayah
nasional yang nyaman yaitu keadaan dimana masyarakat dapat mengartikulasikan
nilai-nilai sosial budaya dan fungsinya sebagai manusia; produktif yaitu proses dimana
produksi dan distribusi berjalan secara efisien sehingga mampu memberikan nilai
tambah ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat sekaligus meningkatkan daya saing;
dan berkelanjutan yaitu kondisi dimana kualitas lingkungan fisik dapat dipertahankan
bahkan dapat ditingkatkan, tidak hanya untuk kepentingan generasi saat ini, namun
juga generasi yang akan datang. Keseluruhan tujuan ini diarahkan untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan sejahtera; mewujudkan keterpaduan
dalam penggunaan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan dengan memperhatikan

sumberdaya manusia; dan mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan 7.
Dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan penataan ruang tersebut, Undang
Undang ini, antara lain, memuat ketentuan pokok sebagai berikut:
1. Pembagian wewenang antara pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah kabupaten/kota dalam penyelenggaraan penataan ruang untuk
memberikan

kejelasan

tugas

dan

tanggung

jawab

masing-masing

tingkat

pemerintahan dalam mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman,


produktif dan berkelanjutan.
2. Pengaturan penataan ruang

yang

dilakukan

melalui

penetapan

peraturan

perundang-undangan termasuk pedoman bidang penataan ruang sebagai acuan


penyelenggaraan penataan ruang.
3. Pembinaan penataan ruang melalui berbagai kegiatan untuk meningkatkan kinerja
penyelenggaraan penataan ruang.
4. Pelaksanaan penataan ruang yang

mencakup

perencanaan

tata

ruang,

pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang pada semua tingkat


pemerintahan.
5. Pengawasan penataan ruang yang mencakup pengawasan terhadap kinerja
pengaturan, pembinaan, dan pelaksanaan penataan ruang, termasuk pengawasan
terhadap kinerja pemenuhan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang
melalui kegiatan pemantauan, evaluasi, dan pelaporan.
6. Hak, kewajiban, dan peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan penataan
ruang untuk menjamin keterlibatan masyarakat, termasuk masyarakat adat dalam
setiap proses penyelenggaraan penataan ruang.

A. Hermanto Dardak, Kebijakan Penataan Ruang Nasional dalam Era Otonomi Daerah, Makalah
disampaikan dalam Kuliah Perdana Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta, 2005.

7. Penyelesaian sengketa, baik sengketa antar daerah maupun antar pemangku


kepentingan lain secara bermartabat.
8. Penyidikan, yang mengatur tentang penyidik pegawai negeri sipil beserta wewenang
dan mekanisme tindakan yang dilakukan.
9. Ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana sebagai dasar untuk penegakan
hukum dalam penyelenggaraan tata ruang.
10. Ketentuan peralihan yang mengatur keharusan penyesuaian pemanfaatan ruang
dengan rencana tata ruang yang baru, dengan masa transisi selama 3 (tiga) tahun
untuk penyesuaian.
Penataan ruang diselenggarakan dengan memperhatikan :

kondisi fisik wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang rentan terhadap

bencana;
Potensi sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumber daya buatan;
kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum, pertahanan keamanan, lingkungan

hidup, serta ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai satu kesatuan;


Geostrategi, geopolitik, dan geoekonomi.

Sedangkan untuk pembangian kewenangan dibagi antar pemerintah dan pemerintah


pusat, dan berikut ini adalah pembagiannya :
A. Wewenang pemerintah dalam penataan ruang mencakup :
1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang

wilayah

nasional,

provinsi

dan

kabupaten/kota,

serta

terhadap

pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis nasional, provinsi, dan


kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah nasional meliputi :
Perencanaan tata ruang wilayah nasional;
Pemanfaatan ruang wilayah nasional;
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional.
3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan trategis nasional, meliputi :

Penetapan kawasan strategis nasional;


Perencanaan tata ruang kawasan strategis nasional;
Pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional;
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional.

Kewenangan

Pemerintah

dalam

pemanfaatan

ruang

dan

pengendalian

pemanfaatan ruang kawasan strategis nasional mencakup aspek yang terkait


dengan nilai strategis yang menjadi dasar penetapan kawasan strategis melalui
dekonsentrasi dan/ atau tugas pembantuan.
4. Kerjasama penataan ruang antarnegara dan pemfasilitasan kerjasama penataan
ruang antarprovinsi :
Kerjasama penataan ruang antar negara adalah kerjasama penataan ruang

di kawasan perbatasan negara;


Pemberian wewenang kepada Pemerintah dalam memfasilitasi kerjasama
penataan ruang antarprovinsi dimaksudkan agar kerjasama penataan ruang

memberikan manfaat yang optimal bagi seluruh provinsi yang bekerjasama.


5. Menyusun dan penetapkan pedoman bidang penataan ruang.
6. Menyebarluaskan informasi melalui media elektronik, media cetak, dan media
komunikasi

lain,

sebagai

bentuk

perwujudan

asas

keterbukaan

dalam

penyelenggaraan penataan ruang yang berkaitan :


Rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan

penataan ruang wilayah nasional;


Arahan peraturan zonasi untuk sistem nasional yang disusun dalam rangka

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah nasional, dan


Pedoman bidang penataan ruang.
7. Menetapkan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang yang disusun
oleh pemerintah dan diberlakukan untuk seluruh pemerintah daerah provinsi dan
pemerintah daerah kabupaten/kota untuk menjamin mutu pelayanan dasar

kepada masyarakat secara merata dalam rangka penyelenggaraan penataan


ruang.
B. Wewenang Pemerintah Provinsi, terdiri dari :
1. Pengaturan, pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah provinsi, dan kabupaten/kota, serta terhadap pelaksanaan
penataan ruang kawasan strategis provinsi dan kabupaten/kota.
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah provinsi meliputi :
Perencanaan tata ruang wilayah provinsi;
Pemanfaatan ruang wilayah provinsi;
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi.
3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis provinsi, meliputi :
Penetapan kawasan strategis provinsi;
Perencanaan tata ruang kawasan stretegis provinsi;
Pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi;
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi.
Kewenangan pemerintah daerah provinsi dalam pemanfaatan ruang dan
pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis provinsi mencakup aspek
yang terkait dengan nilai strategis yang menjadi dasar penetapan kawasan
strategis.
4. Kerjasama

penataan

ruang

antarprovinsi

dan

pemfasilitasan

kerjasama

penetaan ruang antarkabupaten/kota.


Pemberian wewenang kepada pemerintah daerah provinsi dalam memfasilitasi
kerjasama penataan ruang antarkabupaten/kota dimaksudkan agar kerjasama
penataan ruang memberikan manfaat yang optimal bagi kabupaten/kota yang
bekerjasama.
5. Menyusun petunjuk pelaksanaan bidang penataan ruang pada tingkat provinsi
dan kabupaten/kota.
6. Menyebarluaskan informasi melalui media elektronik, media cetak, dan media
komunikasi

lain,

sebagai

bentuk

perwujudan

penyelenggaraan penataan ruang yang berkaitan :

asas

keterbukaan

dalam

Rencana umum dan rencana rinci tata ruang dalam rangka pelaksanaan

penataan ruang wilayah provinsi;


Arahan peraturan zonasi untuk sistem provinsi yang disusun dalam rangka

pengendalian pemanfaatan ruang wilayah provinsi;


Pedoman bidang penataan ruang.
7. Melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang. Contoh jenis
pelayanan minimal dalam perencanaan tata ruang wilayah provinsi antara lain
adalah keikutsertaan masyarakat dalam penyusunan rencana tata ruang wilayah
provinsi; sedangkan mutu pelayanan dinyatakan dengan frekuensi keikutsertaan
masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang wilayah provinsi.
8. Pemerintah mengambil langkah penyelesaian sesuai dengan

ketentuan

peraturan perundang-undangan apabila pemerintah daerah provinsi tidak dapat


memenuhi standar pelayanan mimimal bidang penataan ruang.
C. Wewenang Pemerintah Provinsi, terdiri dari :
1. Pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap pelaksanaan penataan
ruang wilayah kabupaten/kota dan kawasan strategis kabupaten/kota;
2. Pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota meliputi :
Perencanaan tata ruang wilayah kabupaten/kota.
Pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/kota.
Pengendalian pemanfaatan ruang wilayah kabupaten/ kota.
3. Pelaksanaan penataan ruang kawasan strategis kabupaten/kota, meliputi :
Penetapan kawasan trategis kabupaten/kota;
Perencanaan tata ruang kawasan strategis kabupaten/ kota;
Pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota;
Pengendalian pemanfaatan ruang kawasan strategis kabupaten/kota.
4. Kerjasama penataan ruang antar kabupaten/kota.
5. Menyebarluaskan informasi yang berkaitan dengan rencana umum dan rinci tata
ruang dalam rangka pelaksanaan penataan ruang wilayah kabupaten/kota.
6. Melaksanakan standar pelayanan minimal bidang penataan ruang.

Delapan Alasan Utama Perlunya Perencanaan Tata Ruang (South African National
Development and Planning Commission, 1999) :

Menyiapkan visi dan arah yang berkesinambungan, termasuk penilaian strategis,

yangtidak sekadar keinginan tetapi yang dapat dicapai dalam berbagai konteks.
Melindungi hak rakyat. Perubahan terhadap pemanfaatan lahan harus

mempertimbangkan hak dan kewajiban masyarakat


Melindungi
lingkungan
alami.
Lingkungan

alami

membutuhkan

upaya pengelolaantersendiri terkait upaya pembangunan jangka panjang dan

berskala besar untukmenghindari atau setidaknya meminimalisasi dampak negatif.


Memanfatkan sumberdaya secara efisien. Sumberdaya seperti lahan, air,
energy,keuangan, bahan bangunan, keterampilan dan lainnya terbatas adanya.
Pemanfaatansumberdaya yang terbatas tersebut perlu dimanfaatkan secara bijak

untuk memastikanhasil maksimum.


Mencapai kualitas layanan dasar yang lebih baik dari berbagai tingkatan

pemerintahan.
Mengoordinasikan kegiatan dan investasi, dalam waktu dan ruang, untuk
menjaminhasil maksimum dari pemanfaatan sumberdaya,. Koordinasi ini dapat

terjadi antarapemeintah dan pemerintah dengan swasata


Menetapkan prioritas. Memungkinkan menetapkan prioritas yang rasional, dan

dapatdikelola.
Menghindari

duplikasi

upaya

berbagai

institusi

pemerintah

dan

tingkat

pemerintahan.
Beragam peran dari perencanaan tata ruang, yaitu (i) menghasilkankondisi pencapaian
kualitas kehidupan dan penghidupan yang lebih baik; (ii)memenuhi tujuan efisiensi dan
demokrasi melalui partisipasi masyarakat; (iii)memenuhi tantangan pembangunan
berkelanjutan.Peran perencanaan tata ruang dalam pembangunan telah dikenali

sejaklama,

dan

dituangkan

dalam

berbagai

dokumen

pertemuan

resmi

internasional.Dimulai pada tahun 1976, dalam the Vancouver Declaration on


HumanSettlements (lebih dikenal sebagai Habitat I Conference /Konperensi Habitat
I),teridentifikasi peran utama perencanaan tata ruang terhadap pembangunan
perkotaan, yang dinyatakan bahwa menjadi tanggungjawab pemerintah untuk
menyiapkan rencana strategis ruang dan mengadopsi kebijakan permukiman untuk
memandu upaya pembangunan sosial ekonomi. Kebijakan ini seharusnya merupakan
komponen dasar dari strategi menyeluruh pembangunan, terhubungdan terharmonisasi
dengan kebijakan industrialisasi, pertanian, kesejahteraanmasyarakat, preservasi
lingkungan dan budaya sehingga saling mendukungdalam penciptaan kesejahteraan
umat manusia secara progresif. Pemerintahwajib menciptakan mekanisme dan
lembaga untuk mengembangkan danmelaksanakan kebijakan tersebut di atas (UNECE,
2008). Selanjutnya rencana aksi Agenda 21 yang diadopsi oleh 178 negara padathe
United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) pada tahun
1992, menyiapkan bab khusus (Bab 10) terkait perencanaan danpengelolaan
sumberdaya lahan. Sementara the European Spatial Development Perspective
(ESDP), yangdisepakati dalam Informal Council of Minister yang bertanggungjawab
terhadapperencanaan tata ruang pada tahun 1999, secara tegas menyatakan
kebijakanpengembangan

tata

ruang

dapat

meningkatkan

pembangunan

berkelanjutanmelalui penetapan struktur ruang yang baik.Di Indonesia, Rencana Tata


Ruang Wilayah sebagai produk perencanaan tata ruang mempunyai fungsi diantaranya
(i) acuan dalam penyusunan RencanaPembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD)
dan Rencana PembangunanJangka Menengah Daerah (RPJMD); (ii) acuan dalam

pemanfaatan/pengembangan wilayah; (iii) acuan untuk mewujudkan keseimbanganpem


bangunan dalam wilayah; (iv) acuan lokasi investasi dalam wilayah yangdilakukan
pemerintah, masyarakat dan swasta; (v) pedoman penyusunanrencana rinci tata ruang
di wilayah; (vi) dasar pengendalian pemanfaatan ruangyang meliputi penetapan
peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dandisinsentif, pengenaan sanksi; (vii)
acuan dalam administrasi pertanahan.

Isu Perkembangan UU Penataan Ruang


Berdasarkan arahan RPJPN dan capaian Pembangunan Bidang TataRuang pada
periode 2005-2014, diidentifikasi tiga isu strategis PembangunanBidang Tata Ruang
sebagai berikut8:
(a) Belum Efektifnya Pemanfaatan dan Pengendalian Pemanfaatan Ruang Sampai
saat ini, masih banyak produk Rencana Tata Ruang (RTR) yangbelum terselesaikan.
Penyelesaian Peraturan Presiden (Perpres) RTR KawasanStrategis Nasional (KSN)
dan RTR Pulau hanya diberi tenggat waktu lima tahunpasca ditetapkannya Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), yaitu2013, dan Peraturan Daerah (Perda)
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW)Provinsi, Kabupaten/Kota diberi tenggat waktu
dua dan tiga tahun pascaditetapkannya UUPR, yaitu 2010 dan 2011. Produk RTR ini
belum termasukproduk rencana rinci tata ruang seperti rencana zonasi dan Rencana
Detail TataRuang (RDTR).Siklus pelaksanaan penataan ruang, sebagaimana diatur
oleh UUPR, terdiridari perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan
ruang. ProdukRTR adalah hasil dari tahap perencanaan. Mengingat bahwa masih
8

Mungkasa, Oswar.2014. Perencanaan Tata Ruang : Sebuah Pengantar. Academia.edu : Published.

banyakproduk

rencana

tahapanpemanfaatan

yang

dan

belum

selesai,

pengendalian

maka

pemanfaatan

dapat

ruang

dipastikan

belum

dapat

dilaksanakansecara efektif.
(b) Belum Efektifnya Kelembagaan Penyelenggaraan Penataan Ruang. Selain secara
eksplisit menjadi arahan RPJPN periode 2015-2019, isukelembagaan juga sangat
terkait dengan isu strategis pertama, khususnya dalamrangka penyelesaian produk
RTR. Beberapa permasalahan yang teridentifikasiadalah masih belum memadainya
kompetensi SDM Bidang Penataan Ruang,yaitu belum ada standardisasi eselon
minimal yang mengurusi penataan ruang di daerah. Di beberapa Daerah, pejabat yang
mengurus penataan ruang memilikieselon lebih rendah daripada Kepala Satuan Kerja
Perangkat Daerah(SKPD)lainnya. Di samping itu, belum optimalnya operasionalisasi
Badan

Koordinasi

Penataan

Ruang

Daerah

(BKPRD)

juga

menyebabkan

banyakpermasalahan tata ruang di daerah yang seharusnya menjadi tugas BKPRD


tidakter pecahkan di daerah, sehingga harus dibawa ke pemerintah pusat danditangani
oleh Badan Koordinasi Penataan Ruang Nasional (BKPRN). Padahal,permasalahan
tata ruang lintas provinsi yang menjadi tanggung jawab Pemerintah Pusat sudah
banyak yang menunggu untuk dibahas di BKPRN.Selain itu, minimnya pedoman yang
dapat menjadi panduan bagi Pemerintah Daerah dalam menyusun rencana tata ruang
berakibat padatingginya variasi kualitas RTRW yang dihasilkan. Sistem informasi
penunjangpembangunan bidang tata ruang juga dipandang masih belum optimal.
Idealnya,perlu

ada

sistem

informasi

terpadu

yang dapat

menjadi

bagi pengendalianpemanfaatan ruang maupun monitoring dan evaluasi.

acuan

( c) Belum dijadikannya RTRW sebagai acuan pembangunan berbagaisektor.

Secara

umum, dalam konteks pelaksanaan pembangunan di Indonesiaterdapat 2 (dua)


dokumen perencanaan yang wajib menjadi acuan yaitudokumen perencanaan
pembangunan dan rencana tata ruang. Dokumen perencanaan merupakan bagian dari
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN), sementara RTR baik tingkat
nasional dan daerah merupakanamanah UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan
Ruang. Sebagaimana arahan RPJPN 2005-2025, RTR menjadi matra keruangan dari
rencana pembangunan.Dengan demikian, rencana pembangunan dan RTR harus
serasi satu denganlainnya. Isu strategis ketiga ini memiliki implikasi bahwa selain harus
menjadimuara kesepakatan lintas sektor, rencana tata ruang harus disusun
denganmemperhatikan, dan atau menjadi acuan bagi, rencana pembangunan.Selain
itu, beberapa isu penting lainnya diantaranya kerentanan wilayahIndonesia terhadap
bencana baik bencana alam berupa gempa tektonik maupunledakan gunung berapi.
Kerentanan

wilayah

Indonesia

terhadap

bencana

terutama

disebabkan

letak

geografisnya yang berada pada kawasan Ring of Fire,yaitu sebuah deliniasi kawasan
yang dipandang sangat berpotensi rentan terhadap bencana. Tidak hanya bencana,
perubahan iklim pun termasuk yang perlu diwaspadai. Data yang dikeluarkan oleh Inter
Governmental Panel Climate Change(IPCC, 2007) menyatakan bahwa Indonesia
akan mengalami dampak diantaranya kehilangan sekitar 2.000 pulau kecil termasuk 92
pulau terluar, banjir pasang laut melanda wilayah pesisir, meningkatnya intensitas banjir
dan kekeringanyang akan mengganggu ketahanan pangan.
Isu yang juga dianggap terkait erat dengan penataan ruang adalah kesenjangan
antarwilayah. Sekitar 70 persen infrastruktur berlokasi di pulau Sumatera, Jawa dan

Bali, sisanya berada di pulau lainnya yang nota benemeliputi 70 persen wilayah
Indonesia. Kondisi ini ditengarai menjadi salah satupenyebab makin tingginya
kesenjangan antarwilayah di Indonesia. Kawasan perbatasan, baik darat maupun laut
juga menjadi isu penting.
Penataan

ruang perlu

mempertimbangkan

keberadaan

(sembilan)

kawasan

perbatasan negara yaitu (i) 3 (tiga) kawasan perbatasan darat negara yangberbatasan
dengan negara Malaysia di Pulau Kalimantan, Timor Leste di PulauTimor (NTT), dan
Papua New Guinea di Pulau Papua; (ii) 6 (enam) kawasanperbatasan laut yang
berbatasan dengan negara India, Malaysia, Singapura,Vietnam, Filipina, Palau, Timor
Leste, dan Australia. Selain itu, terdapat 92 pulaukecil terluar yang menjadi lokasi
peletakan Titik Dasar dan Titik Referensidaerah teritorial Indonesia, dengan fokus
khusus pada 12 pulau kecil terluar.Isu perkotaan merupakan salah satu isu penting
dikaitkan denganpertumbuhan kawasan perkotaan yang demikian pesat terutama
diakibatkan fenomena urbanisasi yang demikian signifikan. Salah satu penyebanya
adalah

kesenjangan

antarwilayah

perkotaan

dan

perdesaan

disebabkan

tidakterkendalinya perkembangan kota9.


Di era otonomi daerah, pemerintah kabupaten/kota bertanggungjawab dalam
operasionalisasi penataan ruang sehingga keberadaan RTRWkabupaten/kota menjadi
suatu

keniscayaan.

Namun

bertambahnya

daerahotonom

baru

(DOB)

cukup

mempengaruhi konstelasi pengaturan ruang diIndonesia. Keberadaan DOB harus


diikuti dengan penyiapan RTRWkabupaten/kota yang baru. Hal ini dapat mengganggu
proses pembangunan daerah, setidaknya dari sisi konsistensi dan keberlanjutan

Dokumen BNPP. 2015. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan 2015-2020. Jakarta

kebijakanpembangunan daerah.Salah satu konflik yang sering terjadi adalah konflik


pemanfaatan ruangantara kawasan hutan dan kawasan permukiman, dan guna lahan
lainnya. Hal inidisebabkan masih belum jelasnya tata batas hutan yang ada saat ini.
Walaupunpola ruang telah disepakati dalam RTRW provinsi khususnya namun dalam
skalamikro masih menjadi potensi sumber konflik.
Penataan ruang, menyangkut berbagai sektor kegiatan, kepentingan, peraturan
perundang-undangan terkait, dan kebijakan-kebijakan pemerintah, serta lembagalembaga negara yang membutuhkan penataan ruang. Perkembangan organisasi
pemerintahan dalam membutuhkan sarana dan prasarana yang meningkat, pemenuhan
kebutuhan masyarakat dengan perekonomian, perdagangan, perindustrian yang maju,
sementara ketersediaan lahan yang tetap, menyebabkan kebijakan tata ruang selalu
berubah secara dinamis. Bagi kepentingan organisasi pemerintahan yang memerlukan
untuk kegiatan mendukung pelaksanaan pembangunan, dengan memperhatikan
berbagai kepentingan yang harus dilindungi, keperluan hukum yang dibutuhkan dalam
tingkat Pusat, selain telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan juga
diperlukan adanya Surat Keputusan Bersama (SKB) 10.
Dalam tata urutan peraturan perundang-undangan, SKB memang tidak tercantum.
Namun dalam budaya dan etika birokrasi di Indonesia, SKB terkadang cukup efektif
untuk menyelesaikan persoalan, agar tidak terjadi semacam berbedaan penafsiran
terhadap pemanfaatan dan penggunaan tata ruang. Mengingat melekatnya penyediaan
lahan dan pemanfaatannya yang berimplikasi pada tata ruang, Pemerintahan Presiden
Joko
10

Widodo

telah

melakukan

reorganisasi

kementerian.

Akhirnya,

dibentuk

Aesong, Yurisal. 2014. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil. Academia.edu : Published

Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Dengan pembentukan Kementerian Agraria dan
Tata Ruang diharapkan mampu mengakomodasi kepentingan pemerintah, kepentingan
masyarakat, serta kepentingan berbagai pihak dalam mewujudkan tata ruang yang
dapat mensejahterakan masyarakat, ketertiban, keteraturan baik di masa sekarang
maupun di masa mendatang. Dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, sebagai revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004,
ditegaskan dalam pasal 27 ayat (1) Daerah Provinsi diberi kewenangan untuk
mengelola sumber daya alam di laut yang ada diwilayahnya. (2) Kewenangan daerah
provinsi untuk mengelola sumber daya alam di laut sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi : c. pengaturan tata ruang.

Peranan Peraturan Daerah Penataan Ruang dalam Perkembangan Daerah


Sistem hukum dari penataan ruang memiliki hirarki yang sendiri di Indonesia dimulai
dari payung hukum yang berlaku yaitu UU No. 26 Tahun 2007 sampai ke produk hukum
penataan ruang kabupaten/ kota. Berikut ini adalah hirarki yang dimaksudkan 11 :

11

Dokumen Kementrian Pekerjaan Umum. 2014. Bimbingan Teknis Rencana Detail Tata Ruang Pulau
Jawa. Jakarta.

Dari gambar tersebut dapat dilihat bahwa penataan ruang untuk masing-masing
tingkatan administrasi memiliki payung hukumnya sendiri. Kita tau bahwa sistem
pemerintahan di Indonesia adalah desentralisasi, dimana Walikota/Bupati memiliki
kewenangan dalam mengatur penataan ruang yang ada diwilayahnya yang berupa
Peraturan Daerah. Berarti dengan kata lain Peraturan Daerah mengenai Rencana Tata
Rung itulah yang menjadikan dasar dalam penataan sebuah kawasan.
Peraturan Daerah menurut UU no12 Tahun 2011 adalah peraturan perundangundangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota
dengan persetujuan bersama dan menurut

Undang-Undang No. 32 Tahun 2004

peraturan perundang-undangan yang dibentuk bersama antara Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah dengan Kepala Daerah baik di Provinsi maupun Kabupaten/Kota.

Dengan demikian peraturan daerah penataan ruang merupakan tanggung jawab


bersama pemerintahan daerah.
Sebelum masuk dalam peran produk hukum peraturan daerah yang berupa penataan
ruang maka sebaiknya mengetahui 10 asas muatan peraturan daerah tentang penataan
ruang12 :

Pengayoman, bahwa setiap materi muatan Perda harus berfungsi memberikan

perlindungan dalam rangka menciptakan ketentraman masyarakat.


Kemanusiaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus

mencerminkan

perlindungan dan penghormatan hak-hak asasi manusia serta harkat dan martabat

setiap warga negara.


Kebangsaan, bahwa setiap muatan Perda harus mencerminkan sifat dan watak

yang pluralistik (kebhinnekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan.


Kekeluargaan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan

musyawarah untuk mencapai mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.


Kenusantaraan, bahwa setiap materi muatan Perda senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh wilayah Indonesia dan merupakan bagian dari sistem hukum

nasional yang berdasarkan Pancasila.


Bhinneka Tunggal Ika, bahwa setiap materi muatan Perda harus memperhatikan
keragaman penduduk, agama, suku dan golongan, kondisi daerah dan budaya
khususnya

yang

menyangkut

masalah-masalah

sensitif

dalam

kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Keadilan, bahwa setiap materi muatan Perda harus mencerminkan keadilan secara
proporsional bagi setiap warga negara tanpa kecuali.

12

Dokumen Kementrian Pekerjaan Umum. 2014. Bimbingan Teknis Rencana Detail Tata Ruang Pulau
Jawa. Jakarta

Kesamaan dalam hukum dan pemerintahan, bahwa setiap materi muatan Perda
tidak boleh berisi hal-hal yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang,

antara lain agama, suku, ras, golongan, gender atau status sosial
Ketertiban dan kepastian hukum, bahwa setiap materi muatan Perda harus
dapat menimbulkan ketertiban dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian

hukum.
Keseimbangan, keserasian dan keselarasan, bahwa setiap materi muatan Perda
harus

mencerminkan

keseimbangan,

keserasian

dan

keselarasan

antara

kepentingan individu dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.


Dengan demikian dapat dikatakan. Bahwa Peraturan Daerah tentang penataan ruang
memiliki nilai hukum yang kuat di sistem perundangan Indonesia dan sudah seharusnya
dilaksanakan dan ditaati sebagai mana yang diatur. Di dalam Ideology of Planning
Law (Mc Auslan, 1980) dikemukakan ada 3 pilihan bentuk ideologi yang dapat dianut
oleh negara pada kaitannya dengan hak kepemilikan (property right) dan kepentingan
umum (public interest), yakni 13 :
a. Private Property Ideology;
b. Public Interest Ideology; dan
c. Public Participation Ideology.

Pengendalian Penataan Ruang Guna Optimalisasi Pemanfaatan Ruang


Kebijakan penataan Tata Ruang diatur melalui Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
tentang Penataan Ruang. Dengan lahirnya Undang-Undang Penataan Ruang dengan
13

Eko Budihardjo, 2005.Percepatan Perwujudan Kota yang Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang,
Jakarta: Published.

turunannya berupa rencana tata ruang merupakan upaya penting dalam menertibkan
penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia yang diwujudkan melalui beberapa
aspek

penting,

diantaranya

pengendalian

pemanfaatan

ruang.

Pengendalian

pemanfaatan ruang dilaksanakan secara sistematik melalui penetapan peraturan


zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta sanksi.
Kegiatan penataan ruang terdiri dari 3 (tiga) kegiatan yang saling terkait, yaitu:
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang,
dengan produk rencana tata ruang berupa Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang
secara hirarki terdiri dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Rencana
Tata Ruang Wilayah Provinsi (RTRWP), dan Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Kota (RTRW Kab/kota). Ketiga rencana tata ruang tersebut harus dapat
terangkum di dalam suatu rencana pembangunan sebagai acuan di dalam
implementasi perencanaan pembangunan berkelanjutan di wilayah Indonesia. Sebagai
payung hukum dalam penyelenggaraan penataan ruang, maka Undang-Undang
Penataan Ruang ini diharapkan dapat mewujudkan rencana tata ruang yang dapat
mengoptimalisasikan dan memadukan berbagai kegiatan sektor pembangunan, baik
dalam pemanfaatan sumberdaya alam maupun sumberdaya buatan 14.
Dalam Pasal 3 dikatakan bahwa penyelenggaraan penataan ruang bertujuan untuk
mewujudkan ruang wilayah nasional yang aman, nyaman, produktif dan berkelanjutan
berdasarkan Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dengan: (a) terwujudnya
keharmonisasian antara lingkungan alam dan lingkungan buatan; (b) terwujudnya
keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam dan sumber daya buatan dengan

14

Kunarjo.2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. UI Press, Jakarta

memperhatikan sumber daya manusia, (c) terwujudnya perlindungan fungsi ruang dan
pencegahan dampak negatif terhadap lingkungan akibat pemanfaatan ruang.
Undang-Undang ini sudah sejalan dengan semakin kritisnya kondisi lingkungan di
Indonesia. Sebagaimana kita lihat akhir-akhir ini, banyak sekali bencana alam yang
terjadi di berbagai wilayah di Indonesia, pasti penyebab salah satunya adalah karena
pelanggaran tata ruang. Pesatnya perkembangan kawasan perkotaan, selain
memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi, ternyata pada sisi lainnya
dapat mengakibatkan timbulnya permasalahan lingkungan. Persoalan banjir pada
umumnya sangat terkait erat dengan berkembangnya kawasan perkotaan yang selalu
diiringi dengan peningkatan jumlah penduduk, aktifitas dan kebutuhan lahan, baik untuk
pemukiman maupun kegiatan ekonomi. Karena keterbatasan lahan di perkotaan, terjadi
pengalihan fungsi yang seharusnya sebagai daerah konservasi dan ruang terbuka hijau
dijadikan daerah pemukiman penduduk.
Pelaksanaan otonomi daerah yang menyebabkan pembangunan di daerah dengan
kebebasan untuk melakukan penataan ruang demi kepentingan dan kesejahteraan
warga masyarakat di daerah/kota yang berbatasan, kepentingan warga amsyarakat
tingkat provinsi, dan kepentingan rakyat secara nasional, harus disinergikan. Dengan
sendirinya, penetaan ruang walaupun telah disentralisasikan kepada setiap daerah,
tidak berarti bisa bertentangan dengan kepentingan nasional, bangsa dan negara.
Upaya dan solusi untuk menyelaraskan dan mensinergikan kepentingan tata ruang
dalam otonomi daerah perlu dibentuk forum yang permanen antara pemangku
kepentingan, LMS, dan akademisi yang secara periodik membicarakan dinamika tata
ruang di Indonesia. Pada tingkat daerah, forum permanen juga harus dibentuk untuk

menata dan mengkaji ulang tata ruang yang secara periodik harus menyikapi terhadap
kebijakan tertentu, utamanya yang tidak sejalan dengan tata ruang. Warga masyarakat
pemerhati tata ruang harus dilibatkan secara tetap. Walaupun interdependensi warga
masyarakat tersebut harus selalu dijaga15.
Beranjak dari pelanggaran tata ruang, yang kalau dibiarkan justru semakin tidak
terkendali, dan merusak lingkungan dan sekaligus merusak kehidupan, penerapan
sanksi administrasi berupa pencabutan izin, pembongkaran, dan pemulihan keadaan
perlu dilakukan. Bahkan kalau dimungkinkan juga dapat dilakukan gugatan untuk
membayar ganti rugi. dan yang paling akhir, dalam hal terjadinya pelanggaran tata
ruang dalam skala masif dan terstruktur yang menyebabkan kehancuran lingkungan
yang sangat luar biasa dan menimbulkan bencana dengan korban jiwa, penuntutan
secara pidana dapat dimungkinkan. Sebagai pelaksanaan tata ruang yang harus
dijalankan dalam otonomi daerah, agar menghindari pelanggaran hukum, ketidak
tertiban di tengah masyarakat, serta melindungi kerusakan lingkungan, serta
mewujudkan kesejahteraan masyarakat baik di masa sekarang maupun di masa
mendatang, diperlukan pemahaman dan pelaksanaan tata pemerintahan yang baik.
Pengendalian pemanfaatan ruang dilakukan dengan menerapkan berbagai instrumen
seperti peraturan zonasi, perijinan, pemantauan, evaluasi dan penertiban terhadap
pemanfaatan ruang, di mana instrumen ini diterapkan sebagai upaya agar pemanfaatan
ruang dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang. Peraturan zonasi disusun

15

Dokumen Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.2014.
Tim Pengkajian Hukum Tentang Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Jakarta.

berdasarkan rencana tata ruang untuk setiap zona pemanfaatan ruang, dimana
penetapannya diharapkan dapat dilakukan dengan peraturan daerah.
Perizinan pemanfaatan ruang dikeluarkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, dan
Pemerintah Kabupaten/Kota menurut kewenangannya masing-masing sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Apabila suatu izin pemanfaatan ruang tidak sesuai
dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota, maka izin tersebut dapat
dibatalkan oleh Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten/Kota menurut
kewenangannya masingmasing sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembatalan izin tersebut dilakukan terhadap izin pemanfaatan ruang yang tidak sesuai
dengan rencana tata ruang, baik yang telah ada sebelum maupun sesudah penetapan
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota. Izin pemanfaatan ruang itu sendiri
adalah izin yang berkaitan dengan lokasi, kualitas ruang, dan tata bangunan yang
sesuai dengan peraturan perundangan-undangan, hukum adat, dan kebiasaan yang
berlaku.

Peran Serta Masyarakat dalam pembentukan Hukum Tata Ruang


Hukum tata ruang memberikan payung hukum kepada masyarakat untuk terlibat pada
pembangunan perekonomian, hak-hak tersebut dapat berupa:
1. Hak masyarakat dari aspek demokrasi/politik, termasuk didalamnya hak :
Hak atas informasi, masyarakat berhak mendapat informasi tata ruang baik

diminta atau tidak.


Hak untuk melakukan penelitian dan pengkajian, hak untuk meneliti dan
mengkaji mengenai apa yang harus dilakukan pada ruang.

Hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk menyatakan setuju atau tidak

mengenai pembangunan ruang.


Hak untuk memengaruhi proses pengambilan keputusan, hak untuk
menjamin bahwa pengkajian kemasyarakat benar-benar diperhitungkan dalam

pembangunan ruang.
Hak untuk melakukan pengawasan
2. Hak masyarakat dari segi ekonomi, termasuk didalamnya adalah:
hak atas kesejahteraan (pasal 33-34 UUD 45), artinya apabila pemerintah
membutuhkan lahan yang dimiliki masyarakat untuk kepentingan publik maka
pemerintah harus memberikan kompensasi yang layak pada masyarakat yang
lahannya digusur tersebut. Hak atas keadilan, apabila ada pelanggaran terhadap
hak-hak masyarakat, masyarakat dapat mengajukan keberatan.
3. Hak masyarakat dari segi hukum, apabila pemerintah

mengetahui

ada

pelanggaran ruang/ lingkungan tetapi pemerintah lalai/ abai terhadap pelanggaran


tersebut maka pemerintah dapat dianggap turut serta dalam kejahatan tersebut.
Artinya masyarakat dapat mengakan keadilannya sendiri.Tetapi kenyataannya peran
serta masyarakat masih kecil terhadap penataan ruang, dan berikut ini adalah faktor
penghambat peran serta masyarakat dalam penataan ruang :
Masyarakat tidak menyadari hak-haknya dilanggar

Masyarakat tidak tahu tentang adanya upaya-upaya hukum tuk melindungi


kepentingannya

Tidak berdaya tuk memanfaatkan upaya-upaya hukum karena faktor keuangan,


psikis, sosial dan politik

Tidak punya pengalaman menjadi anggota organisasi yang memperjuangkan


kepentingannya

Memiliki trauma dalam proses interaksi dan penegakan hukum

Hal inilah yang menyebabkan tidak sinkronnya pembangunan yang ada saat ini dengan
kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat kecil, dimana masyarakat kecil
dipaksa untuk menikmati pembangunan yang mereka sendiri masih jauh penghasilan
dan taraf hidupnya.

Contoh kasus : Peningkatan Mutu Kualitas Peraturan Daerah Kaitannya


Mendorong Perekonomian Kerakyatan
Kebijakan publik menitikberatkan pada apa yang oleh Dewey (1927) katakan sebagai
publik dan problem-problemnya. Kebijakan publik membahas soal bagaimana isu-isu
dan

persoalan-persoalan

tersebut

disusun

dan

didefinisikan,

dan

bagaimana

kesemuanya itu diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain itu,
kebijakan publik juga merupakan studi tentang bagaimana, mengapa, dan apa efek
dari tindakan aktif dan pasif pemerintah. Studi sifat, sebab, dan akibat dari kebijakan
publik Nagel, ini mensyaratkan agar kita menghindari fokus yang sempit dan
menggunakan pendekatan dan disiplin yang bervariasi (Parsons:2008). Dengan melihat
kebijakan publik maka dapat menjaga perekonomian.
Dari seluruh penjelasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa perlu sekali peningkatan
mutu kualitas dan memperkuat posisi sebuah peraturan daerah khususnya tentang
penataan ruang. Pada saat ini sering terjadi penyimpangan atau kejahatan terhadap
tata ruang, hal ini diakibatkan karena tidak tegas pemerintah daerah baik provinsi dan
kabupaten untuk mengatur ruang yang ada, dan selalu tergiur terhadap keuntungan

sepihak yang ditawarkan investor-investor asing maupun lokal yang ingin mengurangi
atau mengerus perekonomian kerakyatan. Contohn nyata yang ada di Indonesia adalah
di Kota di Jakarta, dimana keberadaan gerai pasar modern seperti mini market sudah
menjamur. Menurut Mara Oloan Siregar, Asisten Perekonomian DKI Jakarta, jumlah
mini market sebanyak 1.006 geraii.
Perkembangan pasar modern di Kota DKI Jakarta merupakan acaman yang nyata
terhadap perekonomian kerakyatan, dimana produk lokal akan kalah bersaing dengan
produk luar negeri. Hal ini diakibatkan karena tidak tertibnya si pemberi ijin dan tidak
sesuai dengan peraturan daerah tentang RTRW Provinsi DKI Jakarta seperti yang
diamanatkan oleh UU no 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Akibat dari
pelanggaran tata ruang tersebut masyarakat kecil yang memili warung yang sifatnya
UMKM dan pedagan tradisional akan kalah bersaing dengan produk luar negeri yang
banyak masuk di pasaran sekarang ini. Seperti yang dikatakan Ketua Dewan Pimpinan
Wilayah Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) "Perlahan dan pasti,
pasar tradisional akan tutup sedangkan mini market terus bebas berkembang dan pasar
modern terus bertambah banyak,.
Langkah penyetopan dari penyimpangan penataan ruang tersebut sebenarnya saat ini
sudah dilakukan oleh pemerintah daerah Provinsi DKI Jakarta dengan menertibkan dan
meninjau ulang perijinan minimarket yang ada. Dengan demikian pasar modern yang
tidak memiliki ijin lengkap dan tidak sesuai dengan pemanfaatan ruang yang ada di
dalam Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jakarta ijinnya
akan dicabut. Langkah lainnya untuk tetap menjaga eksistensi pasar tradisional yang
dilakukan Pemerintah Daerah Provinsi DKI Jakarta saat ini adalah memberikan usulan

terhadap gerai mini market untuk menyediakan 10% space dari bangunan untuk mendisplay barang produk lokal, hal ini disebabkan tidak mungkin mengubah tata ruang
Provinsi DKI Jakarta untuk mini market yang sudah sesuai ijin dan sesuai dengan
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) DKI Jakarta. Karena sebuah produk hukum
peraturan daerah mengenai RTRW Provinsi DKI Jakarta baru bisa ditinjau kembali
secepat-cepatnya 5 tahun dan proses penyusunan RTRW Provinsi DKI Jakarta akan
menelan waktu 1 tahun lebih dan perlu pengesahan kembali oleh DPRD Provinsi DKI
Jakarta.
Dengan melihat polemik yang terjadi di wilayah Provinsi DKI Jakarta, maka sudah
seharusnya wilayah-wilayah lain yang pembangunannya belum cepat berkembang dari
Provinsi DKI Jakarta harus membatasi pembangunan dan perkembangan minimarket
tersebut. Perlu sekali meninjau kembali struktur dan pola ruang yang ada, bagaimana
mengatur jarak lokasi pasar modern dengan pasar tradisional sesuai dengan peraturan
yang berlaku yaitu Perpres No. 112 Tahun 2007 tentang Penataan dan Pembinaan
Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan Toko Modern (Perpres 112/2007). Dimana
di dalam peraturan

tersebut diamanatkan pada

Pasal 5 ayat

(4) Perpres

112/2007 disebutkan bahwa minimarket boleh berlokasi pada setiap sistem jaringan
jalan, termasuk sistem jaringan jalan lingkungan pada kawasan pelayanan lingkungan
(perumahan) di dalam kota/perkotaan. Dan pada Pasal 3 ayat (9) Permendag 53/2008
tentang Pedoman Penataan dan Pembinaan Pasar Tradisional, Pusat Perbelanjaan dan
Toko Modern menyebutkan kewajiban bagi minimarket yaitu Pendirian Minimarket baik
yang berdiri sendiri maupun yang terintegrasi dengan Pusat Perbelanjaan atau
bangunan lain wajib memperhatikan:

a.

Kepadatan penduduk;

b.

Perkembangan pemukiman baru;

c.

Aksesibilitas wilayah (arus lalu lintas);

d.

Dukungan/ketersediaan infrastruktur; dan

e.

Keberadaan Pasar Tradisional dan warung/toko di wilayah sekitar yang lebih kecil
daripada Minimarket tersebut.

Dengan demikian dalam penataan ruangnya tidak sembarangan pembangunan mini


market disahkan oleh badan perijinan setempat, karena sebuah produk hukum
penataan ruang harus melihat asas Keadilan, bahwa setiap masyarakat perlu adanya
perlindungan hukum untuk mensejahterahkan dirinya, khusunya masyarakat kecil yang
berprofesi sebagai pedagang pasar tradisional.

Kesimpulan
Dari penulisan makalah di atas maka di dapat beberapa kesimpulan dari dasar
pembentukan UUPR, yaitu :

Penerapan Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, tidak


dapat dilaksanakan secara kaku. Hal ini dimungkinkan adanya kebuntuan dan
pertambahan jumlah penduduk yang sangat pesat, yang berpengaruh terhadap
penyediaan berbagai kebutuhan. Disamping itu, juga kemajuan dan pertumbuhan
ekonomi nasional serta ekonomi global yang menyebabkan smekin banyaknya PMA
masuk di berbagai wilayah Indoesia. Disamping itu kebutuhan sarana dan prasarana

fisik, baik yang diperlukan pemerintah dan swasta, serta warga masyarakat sendiri,
merupakan hal yang harus difahami secara cermat, proporsional, dan selaras

dengan penataan ruang.


Dimungkinkannya adanya dispensasi dan perubahan-perubahan dalam penataan
ruang, merupakan tindakan kemajuan zaman, kemajuan teknologi, dan sejalan
memenuhi kebutuhan masyarakat. Hal ini berkenaan, bahwa tata ruang selalu
dinamis. Namun keserasian lingkungan, keselamatan umat manusia baik di masa

sekarang maupun dimasa mendatang, harus selalu dijaga.


Era otonomi Daerah sebagai salah satu aspek pemenuhan kesejahteraan
masyarakat lokal (daerah) tidak boleh beranjak hanya untuk kepentingan daerah
sendiri. Kepentingan nasional, bangsa dan negara utamanya dalam implementasi

penataan ruang harus diutamakan.


Dalam era otonomi daerah dewasa ini, maka penataan ruang memiliki peran penting
dalam menjawab berbagai isu dan tantangan nyata dalam pembangunan, seperti
konflik pemanfaatan ruang lintas sektor dan lintas wilayah, degradasi kualitas
lingkungan, kesenjangan tingkat perkembangan antar wilayah (misal KBI dan KTI)
serta antar-kawasan (perkotaan dan perdesaan, serta antar-kota dalam wilayah

pulau), serta lemahnya koordinasi dan pengendalian pembangunan.


Penataan ruang merupakan instrumen legal untuk mewujudkan tujuan dan sasaran
pengembangan wilayah melalui pemanfaatan sumberdaya secara efektif, efisien,

dan terpadu, sekaligus mewujudkan ruang yang berkualitas.


Dengan memanfaatkan berbagai teori dan konsep pengembangan wilayah
penataan ruang merupakan instrumen yang digunakan untuk memahami interaksi
antara 4 (empat) unsur utama pembentuk ruang (sumberdaya alam, manusia,
buatan, dan sistem aktivitas) secara komprehensif.

Penataan ruang merupakan instrumen untuk mengkaji keterkaitan antar fenomena


tersebut serta untuk merumuskan tujuan dan strategi pengembangan wilayah
terpadu sebagai landasan pengembangan kebijakan pembangunan sektoral dan
daerah, termasuk sebagai landasan pengembangan sistem kota-kota yang efisien

sesuai dengan fungsi-fungsi yang telah ditetapkan.


Dalam perkembangannya, kini penataan ruang memiliki peran yang strategis dalam
konteks pembangunan nasional karena diarahkan sebagai landasan untuk
mempertahankan integritas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selain itu
penataan ruang juga digunakan sebagai motor pergerakan kegiatan perekonomian

wilayah.
Sebelum sebuah produk hukum di ketuk, khusunya penataan ruang ditinjau kembali
keabsahan dan tujuan dari produk hukum tersebut agar tidak merugikan semua

pihak
Sebuah produk hukum tata ruang akan berdampak besar pada perkembangan dan

pembangunan perekonomian suatu wilayah


Peningkatan kesadaran akan perekonomian kerakyaran penting adanya terhadap
pemerintah daerah untuk mensejahterahkan masyarakat golongan kecil

Daftar Pusataka
Undang-Undang Dasar 1945.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, (Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 104 Tahun 1960).
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan ekosistemnya,
(Lembaran Negara Republik Indonesia No.49 Tahun 1990).
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 Tentang Penataan Ruang, (Lembaran Negara Republik
Indonesia No.3501 Tahun 1992).

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1992 Tentang Benda Cagar Budaya, (Lembaran Negara Republik
Indonesia No.27 Tahun 1992).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan dan Permukiman, (Lembaran Negara
Republik Indonesia No.23 Tahun 1992).
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, (Lembaran Negara
Republik Indonesia No.68 Tahun 1997).
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang PemerintahanDaerah, (Lembaran Negara Republik
Indonesia No.60 Tahun 1999).
Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang penataan ruang
Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah
Undang- Undang No 2 tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
No 2 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang
UU no 9 tahun 2015 tentang tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
Tentang Pemerintahan Daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 Tentang Kawasan Suaka Alam dan kawasan Pelestarian
Alam, (Lembaran Negara Republik Indonesia No.4169 Tahun 2002).
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia No 2 Tahun 2014 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang No 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah.
Aesong, Yurisal. 2014. Kewenangan Pemerintah Daerah Dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. Academia.edu : Published
A. Hermanto Dardak,2005. Kebijakan Penataan Ruang Nasional dalam Era Otonomi Daerah,
Yogyakarta : UGM.
Dirjen Penataan Ruang Depkimpraswil, 2003. Perencanaan Tata Ruang Wilayah dalam Era
Otonomi dan Desentralisasi, Makalah pada Kuliah Perdana Program Pasca Sarjana Magister
Perencanaan Kota dan Daerah Yogyakarata : UGM. Published
Direktur

Jenderal

Penataan

Ruang

Departemen

Permukiman

Dan

Prasarana

Wilayah.2003.

Pengembangan Wilayah Dan Penataan Ruang Di Indonesia: Tinjauan Teoritis Dan Praktis. Yogyakarta :
Studium general sekolah tinggi teknologi nasional (sttnas). Published
Eko Budihardjo, 2005.Percepatan Perwujudan Kota yang Berkelanjutan Melalui Penataan Ruang,
Jakarta: Published.

Dokumen Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan Hak Asasi Manusia R.I.2014. Tim
Pengkajian Hukum Tentang Penegakan Hukum Penataan Ruang Dalam Kerangka Otonomi Daerah.
Jakarta.
Dokumen BNPP. 2015. Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan 2015-2020. Jakarta
Dokumen Departemen Pekeerjaan Umum. 2005. Naskah Akademis Rancangan Undang-Undang tentang
Penataan Ruang.. Jakarta
Dokumen Kementrian Pekerjaan Umum. 2014. Bimbingan Teknis Rencana Detail Tata Ruang Pulau
Jawa. Jakarta.
Kunarjo.2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. UI Press, Jakarta. Published
Martosowignyo, Soemarti, Perwira, Indra. 2015. Mengakhiri Masa Transisi. Unpad. Acemedia. Edu.
Published
Mungkasa, Oswar.2014. Perencanaan Tata Ruang : Sebuah Pengantar. Academia.edu : Published.
Sitompul, Mawarta. 2015. Menjaga Eksistensi Keberadaan Pasar Tradisional Sebagai Penyeimbang
Hukum Ekonomi Dan Pengerak Perekonomian Kerayaktan. Semarang : Undip.
Sugiharto, 2006. Pembangunan dan Pengembangan Wilayah, Cet. Ke-1. USU Press, Medan. hlm.34.
Van Roosmalen, Paulin K.M, Awal Penataan Ruang di Indonesia dalam Harjatno. N Yenny dan Febiharta
: Beberapa Ungkapan Sejarah Penataan Ruang Indonesia 19948-2000, Direktorat Jenderal Penataan
Ruang, Departemen Permukiman dan Prasarana Wilayah, Sejarah Penataan Ruang Indonesia, Jakarta,
2003.
Martosowignyo, Soemarti, Perwira, Indra. 2015. Mengakhiri Masa Transisi. Unpad. Acemedia. Edu.
Published

Anda mungkin juga menyukai