LATAR BELAKANG
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan stroma
disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium. Pertumbuhan ini
dapat mengenai sebagian atau seluruh lapisan endometrium.
Angka kejadian hiperplasia endometrium ini sangat bervariasi. Umumnya hiperplasia
endometrium dikaitkan dengan perdarahan uterus abnormal yang seringkali terjadi pada masa
perimenopause, walaupun dapat terjadi pada masa reproduktif, pascamenars ataupun
pascamenopause.Masalah hiperplasia endometrium adalah adanya kecenderungan keganasan
endometrium. Kecenderungan ini akan lebih besar mengingat meningkatnya usia harapan hidup
dan jumlah wanita perimenopause akibat kemajuan dalam bidang ilmu, teknologi dan pelayanan
kesehatan.
Pada wanita perimenopause sering terjadi siklus yang anovulatoar sehingga estrogen
yang terbentuk tidak diimbangi oleh kadar progesteron dan menyebabkan rangsangan untuk
terjadinya hiperplasia endometrium.
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik ilmu
kebidanan dan kandungan di RSUD Ciawi. Selain itu juga untuk mengetahui lebih lanjut
mengenai lesi prakanker pada endometrium yang ditandai oleh perdarahan uterus abnormal, dan
untuk mengenal lebih jauh pendekatan diagnosis dari hyperplasia endometrium.
PENDAHULUAN
Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi prakanker dari karsinoma endometrium
tipe I (estrogen-dependent disease) yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan uterus
yang abnormal. Berkembangnya hiperplasia endometrium yang tidak mendapatkan terapi
menjadi suatu karsinoma endometrium tergantung pada adanya gambaran atipia dan tingkat
kompleksitas kelenjar yang ter- bagi menjadi simpleks dan kompleks. Insidensinya untuk
menjadi karsinoma endometrium pada hyperplasia simpleks (1%), kompleks (10%), simpleks
dengan atipia (30%), dan kompleks dengan atipia (44%). Hubungan patogenesis berkembangnya
hyperplasia endometrium menjadi suatu karsinoma endometrium dipengaruhi oleh aktivitas
paparan estrogen yang mengakibatkan proliferasi yang tidak terkontrol. Aktivitas proliferasi
tersebut seharusnya dikendalikan oleh mekanisme apoptosis yang mempunyai peranan dalam
proses karsinogenesis. Hiperplasia endometrium biasanya didiagnosis dengan biopsy
endometrium atau kuretase endometrium setelah seorang wanita menemui dokter kandungan
dengan perdarahan uterus abnormal.Modalitas terapi tergantung dengan usia pasien, keinginan
untuk memiliki anak, dan keberadaan dari sel atipik pada bahan endometrium.1
BAB II
TIN JAUAN PUSTAKA
Pertumbuhan lesi lunak pada lapisan endometrium uterus, baik bertangkai maupun tidak,
berupa pertumbuhan berlebih dari stroma dan kelenjar endometrium dan dilapisi oleh
epitel endometrium
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Diagnosis polip ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi, dengan
Gambar 2. Histopatologi2
Gambar 3. Histerektomi2
B. Adenomiosis (PUA-A)
Definisi :
-
Dijumpai jaringan stroma dan kelenjar endometrium ektopik pada lapisan miometrium
Gejala :
-
Nyeri haid, nyeri saat senggama, nyeri menjelang atau sesudah haid, nyeri saat buang air
Diagnostik :
-
histopatologi
Adenomiosis dimasukkan ke dalam sistem klasifikasi berdasarkan pemeriksaan MRI dan
USG
Mengingat terbatasnya fasilitas MRI, pemeriksaan USG cukup untuk mendiagnosis
adenomiosis
Hasil USG menunjukkan jaringan endometrium heterotopik pada miometrium dan
C. Leiomioma (PUA-L)
Tumor jinak fibromuskular dari myometrium dikenal dengan beberapa nama yaitu
leiomyoma, mioma, dan sering digunakan nama fibroid. Prevalensi dari mioma adalah 70% pada
wanita kaukasian, dan 80% pada wanita keturunan Africa.
Definisi :
-
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Mioma uteri umumnya tidak memberikan gejala dan biasanya bukan penyebab tunggal
PUA
Pertimbangan dalam membuat sistem klasifikasi mioma uteri yakni hubungan mioma
uteri denga endometrium dan serosa lokasi, ukuran, serta jumlah mioma uteri.
b. Sekunder
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Definisi :
-
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Tiga belas persen perempuan dengan perdarahan haid banyak memiliki kelainan
hemostatis sistemik, dan yang paling sering ditemukan adalah penyakit von Willebrand.3
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Gangguan ovulasi merupakan salah satu penyebab PUA dengan manifestasi perdarahan
haid banyak
Gangguan ovulasi
dapat
disebabkan
oleh
sindrom
ovarioum
polikistik,
Gangguan hemostatis lokal endometrium yang memiliki kaitan erat dengan terjadinya
perdarahan uterus.
Gejala :
-
Diagnostik :
-
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi pada perempuan dengan siklus haid teratur
Penyebab perdarahan pada kelompok ini adalah gangguan hemostatis lokal endometrium
8
Adanya penurunan produksi faktor yang terkait vasokonstriksi seperti endothelin-1 dan
H. Iatrogenik (PUA-I)
- Perdarahan uterus abnormal yang berhubungan dengan intervensi medis seperti
-
dalam klasifikasi
Kelainan yang termasuk dalam kelompok ini adalah endometritis kronik atau malformasi
arteri-vena
Kelainan tersebut masih belum jelas kaitannya dengan kejadian PUA.3
Penulisan
Kemungkinan penyebab PUA pada individu bisa lebih dari satu karena itu dibuat sistem
penulisan.2,3
-
Angka 0
Angka 1
Tanda tanya
Sistem penulisan pada pasien yang mengalami PUA karena gangguan ovulasi dan mioma
Kelainan penyebab PUA ditegakkan berdasarkan pemeriksaan USG dan atau histeroskopi
SM
-Submukosu
m
O- Other
0
1
2
3
4
5
6
7
8
10
Panduan Investigasi
1. Anamnesis
Anamnesis dilakukan untuk menilai kemungkinan adanya kelainan uterus, factor
resiko kelainan tiroid, penambahan dan penurunan BB yang drastis, serta riwayat
kelainan hemostasis pada pasien dan keluarganya, perlu ditanyakan siklus haid
sebelumnya serta waktu mulai terjadinya perdarahan uterus abnormal.
Prevalensi penyakit von Willebrand pada perempuan perdarahan haid rata-rata
meningkat 10% dibandingkan populasi normal. Karena itu perlu dilakukan pertanyaan
untuk mengidentifikasi penyakit von willebrand
Pada perempuan pengguna pil kontrasepsi perlu ditanyakan tingkat kepatuhan dan
obat-obat lain yang diperkirakan menggangu koagulasi. Anamnesis terstruktur dapat
digunakan sebagai penapis gangguan hemostasis dengan sensitifitas 90%. Perlu
dilakukan pemeriksaan lebih lanjut pada perempuan dengan hasil penapisan positif
Perdarahan uterus abnormal yang terjadi karena pemakaian antikoagulan dimasukkan ke
dalam klasifikasi PUA-C1.1
Pertanyaan Untuk Menapis Kelainan Hemostatis Pada Pasien Dengan Perdarahan
Haid Banyak
1. Perdarahan haid banyak sejak menars
2. Terdapat minimal 1 (satu) keadaan dibawah ini
- Perdarahan pasca persalinan
- Perdarahan yang berhubungan dengan operasi
- Perdarahan yang berhubungan dengan perawatan gigi
3. Terdapat minimal 2 (dua) keadaan dibawah ini :
- Memar 1-2x/bulan
- Epistaksis 1-2x/bulan
- Perdarahan gusi yang sering
- Riwayat keluarga dengan keluhan perdarahan
Penapisan klinis pasien dengan perdarahan haid banyak karena kelainan hemostasis
11
Masalah
Abortus, kehamilan ektopik
Hamil
Hipotiroid
Penyakit hati
Sindrom ovarium polikistik
Displasia serviks, polip endoserviks
Tumor hipofisis
pandang
2. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pertama kali dilakukan untuk menilai stabilitas keadaan hemodinamik.
Pastikan bahwa perdarahan berasal dari kanalis servikalis dan tidak berhubungan dengan
kehamilan. Pemeriksaan IMT, tanda-tanda hiperandrogen, pembesaran kelenjar tiroid
atau manifestsi hipotiroid/hipertiroid, galaktorea, gangguan lapang pandang (adenoma
hipofisis), purpura dan ekimosis wajib diperiksa.2
3. Pemeriksaan ginekologi
Pemeriksaan ginekologi yang teliti perlu dilakukan termasuk pemeriksaan pap smear.
Harus disingkirkan pula kemungkinan adanya mioma uteri, polip, hiperplasia
endometrium atau keganasan.2
4. Penilaian ovulasi
Siklus haid yang berovulasi sekitar 22-35 hari. Jenis perdarahan PUA-O bersifat ireguler
dan sering diselingi amenorea. Konfirmasi ovulasi dapat dilakukan dengan pemeriksaan
progesteron serum fase luteal madya atau USG transvaginal bila diperlukan.2
5. Penilaian endometrium
Pengam bilan sampel endometrium tidak harus dilakukan pada semua pasien PUA
Pengambilan sample endometrium hanya dilakukan pada :
Perempuan umur > 45 tahun
Terdapat faktor risiko genetik
USG transvaginal menggambarkan penebalan endometrium kompleks
12
dan 1x 1 tablet (3 minggu) kemudian stop 1 minggu, dilanjutkan KOK siklik 3 minggu
dengan jeda 1 minggu selama 3 siklus atau LNG-IUS.
g. Jika terdapat kontraindikasi KOK, berikan medroksi progesteron asetat (MPA) 10 mg
perhari (7 hari) siklik selama 3 bulan
h. Untuk riwayat perdarahan berulang sebelumnya injeksi gonadotropin releasing hormone
(GnRH) agonis dapat diberikan bersamaan dengan pemberian KOK untuk stop
perdarahan (langkah D). GnRH diberikan 2-3 siklus dengan interval 4 minggu.
i. Ketika hemodinamik pasien stabil, perlu upaya diagnostik untuk mencari penyebab
perdarahan. Lakukan pemeriksaan USG transvaginal/ transrektal , periksa darah perifer
lengkap (DPL) , hitung trombosit , prothrombin time (PT) , activated partial
thromboplastin time (aPTT) dan thyroid stimulating hormone (TSH). Saline Infused
Sonohysterogram (SIS) dapat dilakukan jika endometrium yang terlihat tebal, untuk
melihat adanya polip endometrium atau mioma submukosim.
j. Jika terapi medika mentosa tidak berhasil atau ada kelainan organik, maka dapat
dilakukan terapi pembedahan seperti ablasi endometrium , miomektomi, polipektomi,
histerektomi. 3
14
perifer lengkap, pemeriksaan untuk menilai gangguan ovulasi (fungsi tiroid, prolaktin,
dan androgen serum) serta pemeriksaan hemostasis.3
16
19
20
22
siklus menstruasi
o Jika pasien memiliki kontraindikasi terhadap PKK maka dapat diberikan preparat
progestin siklik selama 14 hari diikuti dengan 14 hari tanpa obat. Kemudian
diulang selama 3 siklus. Dapat ditawarkan penggunaan LNG-IUS
o Jika setelah 3 bulan, respon pengobatan tidak adekuat dapat dilakukan penilaian
USG transvaginal atau SIS untuk menilai kavum uteri
o Jika dengan USG TV atau SIS didapatkan polip atau mioma submukosum segera
pertimbangkan untuk melakukan reseksi dengan histeroskopi
o Jika hasil USG TV atau SIS didapatkan ketebalan endometrium > 10 mm, lakukan
pengambilan sampel endometrium untuk menyingkirkan kemungkinan hiperplasia
o Jika terdapat adenomiosis dapat dilakukan pemeriksaan MRI, terapi dengan
progestin, LNG IUS, GnRH atau histerektomi
o Jika hasil pemeriksaan USG TV atau SIS menunjukkan hasil normal atau terdapat
kelainan tetapi tidak dapat dilakukan terapi konservatif maka dilakukan evaluasi
terhadap funsi reproduksinya
o Jika pasien sudah tidak menginginkan fungsi reproduksi dapat dilakukan ablasi
endometrium atau histerektomi. Jika pasien masih ingin mempertahankuan fungsi
reproduksi anjurkan pasien untuk mencatat siklus haidnya dengan baik dan
memantau kadar HB.3
24
o Jika pasien tidak ingin melanjutkan PKK atau perdarahan menetap selama > 3
bulan lanjutkan ke point 5
o Lakukan pemeriksaan Chlamydia dan Neisseria (endometritis), bila positif
berikan doksisiklin 2 x 100 mg selama 10 hari. Yakinkan pasien minum PKK
secara teratur. Pertimbangkan untuk menaikkan dosis estrogen jika usia pasien
lebih dari 35 tahun dilakukan biopsi endometrium
o Jika perdarahan abnormal menetap lakukan TVS, SIS atau histeroskopi untuk
menyingkirkan kelainan saluran reproduksi
o Jika perdarahan sela terjad isetelah 3 bulan pertama penggunaan PKK, lanjutkan
ke point 5
o Jika efek samping berupa amenorea lanjutkan ke point 9
o Singkirkan kehamilan
o Jika tidak hamil, naikkan dosis estrogen atau lanjutkan pil yang sama
o Jika usia pasien > 35 tahun dan memiliki risiko tinggi keganasan endometrium,
lanjutkan ke 5, jika tidak lanjutkan ke 6
o Biopsi endometrium
o Jika dalam 4-6 bulan pertama pemakaian kontrasepsi, lanjutkan ke 7. Jika tidak
lanjutkan ke 9
o Berikan 3 alternatif sebagai berikut :
Lanjutkan kontrasepsi progestin dengan dosis yang sama
Ganti kontrasepsi dengan PKK ( jika tidak ada kontraindikasi)
Sunti DMPA setiap 2 bulan (khusus akseptor DMPA)
o Bila perdarahan tetap berlangsung setelah 6 bulan lanjutkan ke point 9
o Berikan estrogen jangka pendek (EEK 4x1.25 mg/hari selama 7 hari) yang dapat
diulang jika perdarahan abnormal terjadi kembali. Pertimbangkan pemilihan
metoda kontrasepsi lain3
product (FDPs). Oleh karena itu obat ini berfungsi sebagai agen anti fibrinolitik. Obat ini akan
menghambat faktor-faktor yang memicu terjadinya pembekuan darah, namun tidak menimbulkan
kejadian trombosis. Perdarahan menstruasi melibatkan pencairan darah beku dari arteriol spinal
endometrium, maka pengurangan dari proses ini dipercaya sebagai mekanisme penurunan
jumlah darah mens. Efek samping : gangguan pencernaan, diare, sakit kepala. Dosisnya untuk
perdarahan mens yang berat adalah 1g (2x500mg) dari awal perdarahan hingga 4 hari.3
Obar anti inflamasi non steroid (AINS)
Kadar prostaglandin pada endometrium penderita gangguan haid akan meningkat. AINS
ditujukan untuk menghambat siklooksigenase, dan akan menurunkan sintesa prostaglandin pada
endometrium. Prostaglandin mempengaruhi reaktivitas jaringan lokal dan terlibat dalam respon
inflamasi, jalur nyeri, perdarahan uterus, dan kram uterus. AINS dapat mengurangi jumlah darah
haid hingga 20-50 persen Pemberian AINS dapat dimulai sejak perdarahan hari pertama astau
sebelumnya hingga perdarahan yang banyak berhenti. Efek samping : gangguan pencernaan,
diare, perburukan asma pada penderita yang sensitif, ulkus peptikum hingga kemungkinan
terjadinyaperdarahandan peritonitis.3
Obat ini akan bekerja menghambat penambahan reseptor estrogen serta akan
mengaktifkan enzim 17-hidroksi steroid dehodrogenase pada sel-sel endometrium, sehingga
estradiol akan dikonversi menjadi estron yang efek biologisnya lebih rendah dibandingkan
estradiol. Meski demikian penggunaan progestin yang lama dapat memicu efek mitotik yang
menyebabkan terjadinya atrofi endometrium. Progestin dapat diberikan secara siklik maupun
kontinyu. Pemberian siklik diberikan selama 14 hari kemudian stop selama 14 hari, begitu
berulang-ulang tanpa memperhatikan pola perdarahannya.
Apabila perdarahan terjadi pada saat sedang mengkonsumsi progestin, makan dosis obat
progestin dapat dinaikkan. Selanjutnya hitung hari pertama perdarahan tadi sebagai hari pertama,
dan selanjutnya progestin diminum sampai 14 hari. Pemberian progestin secara siklik dapat
menggantikan pemberian pil kontrasepsi kombinasi apabila terdapat kontraindikasi (misalkan :
hipersensitivitas, kelainan pembekuan darah, riwayat stroke, riwayat penyakit jantung koroner
atau infark miokard, kecurigaan keganasan payudara ataupun genital, riwayat penyakit kuning
akibat kolestatis, kanker hati). Sediaan progestin yang dapat diberikan antara lain MPA 1x10 mg,
norestiron asetat dengan dosis 2-3 x 5 mg, didrogestron 2x5 mg atau nomegestrol asetat 1x 5 mg
selama 10 hari per siklus.
Apabila pasien mengalami perdarahan hebat saat kunjuungan, dosis progestin dapat
dinaikkan setiap 2 hari hingga perdarahan berhenti. Pemberian dilanjutkan untuk 14 hari dan
kemudian berhenti selama 14 hari, demikian selanjutnya berganti-ganti pemberian progestin
secra kontinyu dapat dilakukan apabila tujuannya untuk membuat amenorea. Terdapat beberapa
pilihan yaitu :
-
Efek samping : peningkatan berat badan, perdarahan bercak, rasa begah, payudara tegang, sakit
kepala, jerawat dan timbul perasaan depresi.3
Androgen
Danazol adalah suatu sintetik isoxazol yang berasala dari turunan 17a-etinil tetosteron.
Obat tersebut memiliki efek androgenik yang berfungsi untuk menekan produksi estradiol dari
ovarium, serta memiliki efek langsung terhadap reseptor estrogewn di endometrium dan di luar
endometrium. Pemberian dosis tinggi 200 mg atau lebih per hari dapat dipergunakan untuk
30
mengobati perdarahan menstrual hebat. Danazol dapat menurunkan hilangnya darah dalam
menstruasi kurang lebih 50% bergantung dari dosisnya dan hasilnya terbukti lebih efektif
dibanding dengan AINS atau progestin oral. Dengan dosis lebih dari 400 mg per hari dapat
menyebabkan amenorea. Efek sampingya dialami oleh 75% pasien yakni : penigkatan berat
badan, kulit berminyak,jerawat, perubahan suara.
Agonis Gonadotropine Releasing Hormone (GnRH)
Obat ini bekerja dengan cara mengurangi reseptor GnRH pada hipofisis melalui
mekanisme down regulation terhadap reseptor dan efek pasca reseptor, yang akan mengakibatkan
hambatan pada pelepasan hormon gonadotropin. Pemberian obat ini biasanya ditujukan pada
wanita dengan kontraindikasi untuk operasi. Obat ini dapat membuat penderita menjadi
amenorea. Dapat diberikan luprolid acetate 3.75 mg intramuskular setiap 4 minggu, namun
pemberiannya dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan karena terjadi percepatan demielinisasi tulang.
Apabila pemberiannya melebihi 6 bulan, maka dapat diberikan tambahan terapi estrogen dan
progestin dosis rendah (add back therapy). Efek samping biasanya muncul pada penggunaan
jangka panjang, yakni : keluhan-keluhan mirip wanita menopause (misalkan hot flushes, keringat
yang bertambah, kekeringan vagina), osteoporosis (terutama tulang-tulang trabekular apabila
penggunaan GnRH agonis lebihdari 6 bulan).3
Hiperplasia Endometrium
31
Definisi
Hiperplasia endometrium adalah pertumbuhan yang berlebih dari kelenjar, dan stroma
disertai pembentukan vaskularisasi dan infiltrasi limfosit pada endometrium. Bersifat noninvasif,
yang memberikan gambaran morfologi berupa bentuk kelenjar yang irreguler dengan ukuran
yang bervariasi. Pertumbuhan ini dapat mengenai sebagian maupun seluruh bagian endometrium.
Hiperplasia endometrium biasa terjadi akibat rangsangan / stimulasi hormon estrogen
yang tidak diimbangi oleh progesteron. Pada masa remaja dan beberapa tahun sebelum
menopause sering terjadi siklus yang tidak berovulasi sehingga pada masa ini estrogen tidak
diimbangi oleh progesteron dan terjadilah hiperplasia. Kejadian ini juga sering terjadi pada
ovarium polikistik yang ditandai dengan kurangnya kesuburan (sulit hamil).4
Wanita dengan obesitas memiliki peningkatan produksi estrogrn dalam tubuhnya yang
berasal dari konversi androstenedione menjadi estrone dan dari androgens menjadi
estradiol.4
3. Estrogen eksogen
Terpapar estrogen secara terus-menerus juga dapat meningkatkan risiko hyperplasia
endometrium sebesar 62% yaitu dengan mengkonsumsi estrogen 0,625 mg per oral
secara rutin.4
Klasifikasi
WHO membagi klasifikasi hyperplasia endometrium sebagai berikut:5
1) Hiperplasia simpleks tanpa atipia ditandai dengan banyaknya kelenjar yang mengalami
proliferasi dan dilatasi dengan tepi yang tidak teratur dan mulai tampak hilangnya stroma.
Gambaran khas pada hyperplasia simpleks ini adalah adanya venula yang berdilatasi pada
stroma.
2) Hiperplasia simpleks dengan atipia. Ditandai dengan peningkatan jumlah kelenjar
proliferative tanpa atipia sitologik. Kelenjar tersebut, meskipun berdesakkan dipisahkan
oleh stroma selular padat dan memiliki berbagai ukuran. Pada beberapa kasus,
pembesaran kelenjar secara kistik mendominasi (hiperplasia kistik). Risiko karsinoma
endometrium sangat rendah.
3) Hiperplasia kompleks tanpa atipia (hiperplasia sedang/hiperplasia adenomatosa).
Menunjukkan peningkatan jumlah kelenjar dengan posisi berdesakan. Epitel pelapis
berlapis dan memperlihatkan banyak gambaran mitotic. Sel-sel pelapis mempertahankan
polaritas normal dan tidak menunjukkan pleomorfisme atau atipia sitologik. Stroma
selular padat masih terdapat di antara kelenjar.
4) Hiperplasia kompleks dengan atipia (hiperplasia berat/hyperplasia adenomatosa atipikal).
Dicirikan dengan berdesakannya kelenjar dengan kelenajar yang saling membelakangi
dan adanya atipia sitologik yang ditandai dengan pleomorfisme, hiperkromatisme dan
pola kromatin inti abnormal. Hiperplasia kompleks dengan atipia menyatu dengan
33
Ekpresi gen bcl-2 meningkat pada hiperplasia endometrium tetapi terbatas hanya pada
tipe simpleks. Secara mengejutkan, ekspresi gen ini justru menurun pada hiperplasia atipikal dan
karsinoma endometrium. Peran dari gen Fas/FasL juga telah diteliti akhit-akhir ini tentang
kaitannya dengan pembentukan hiperplasia endometrium. Fas merupakan anggota dari keluarga
tumor necrosis factor (TNF)/Nerve Growth Factor (NGF) yang berikatan dengan FasL (Fas
Ligand) dan menginisisasi apoptosis. Ekpresi gen Fas dan FasL meningkat pada sampel
endometrium setelah terapi progesteron. Interaksi antara ekspresi Fas dan bcl-2 dapat
memberikan kontribusi 25 pembentukan dari hiperplasia endometrium. Ekspresi gen bcl-2
menurun saat terdapat progesteron intrauterin sedangkan ekspresi gen Fas justru meningkat.
Studi diatas telah memberikan tambahan wawasan tentang perubahan molekuler yang kemudian
berkembang secara klinis menjadi hyperplasia endometrium. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut
untuk mengklarifikasi peran bcl 2 dan Fas/FasL pada patogenesis molekular terbentuknya
hyperplasia endometrium dan karsinoma endometrium.5,6
Manifestasi Klinis
Hiperplasia endometrium perlu dipikirkan pada wanita dengan gejala perdarahan yang
banyak dan dengan siklus haid yang panjang (lebih dari 21 hari). Gejala paling sering dari
hyperplasia
endometrium
adalah
perdarahan
abnormal
pada
perimenopause
ataupun
postmenopause, walaupun biasanya 80% berasal dari keadaan yang jinak. Perdarahan setelah
menopause memerlukan evaluasi lebih lanjut.7
Faktor Resiko
Hiperplasia Endometrium seringkali terjadi pada sejumlah wanita yang memiliki resiko tinggi :
1. Menopause yang lambat (setelah usia 55 tahun)
2. Meningkatnya usia
3. Nuliparitas
4. Obesitas ( konversi perifer androgen menjadi estrogen dalam jaringan lemak )
5. Penderita Diabetes melitus
35
6. Pengguna estrogen dalam jangka panjang tanpa disertai pemberian progestin pada kasus
menopause
7. PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome) (chronic anovulation)
8. Pengguna tamoxifen
9. Penderita dengan riwayat keluarga yang memiliki kanker endometrium, kanker ovarium,
kanker payudara ataupun kanker kolon.7
Diagnosis
Perdarahan uterus abnormal merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan oleh wanita
dengan hiperplasia endometrium. Wanita dengan perdarahan postmenopause, 15% persen
ditemukan hiperplasia endometrium dan 10% ditemukan karsinoma endometrium. Penemuan
penebalan dinding uterus secara tidak sengaja dengan USG harus diperiksa lebih lanjut untuk
mendiagnosis hiperplasia endometrium. Banyak modalitas diagnostik yang telah diteliti untuk
mendiagnosis secara optimal penyebab terjadinya perdarahan uterus abnormal dan untuk
mengidentifikasi apakah pada pasien tersebut memiliki resiko untuk terjadinya hiperplasia atau
karsinoma endometrium.7,8
1. Ultrasonografi (USG)
USG menggunakan gelombang suara untuk mendapatkan gambaran dari lapisan rahim.
Hal ini membantu untuk menentukan ketebalan rahim. USG transvaginal merupakan
prosedur diagnosis yang non invasif dan relatif murah untuk mendeteksi kelainan pada
endometrium. Walaupun begitu, pada wanita postmenopause, efikasi alat ini sebagai
pendeteksi hiperplasia endometrium ataupun karsinoma tidak diketahui. USG dapat
digunakan sebagai panduan untuk menentukan jika wanita mengalami perdarahan post
menopause (PMB) membutuhkan tes diagnostik yang lebih spesifik lagi (seperti pipelle
EMB atau kuret) untuk menentukan adanya hiperplasia atau karsinoma endometrium.7,8
2. Endometrial Biopsy
36
lesi
yang
jinak
di
dalam
uterus.
Beberapa
penelitian
telah
37
Penatalaksanaan
Terapi atau pengobatan bagi penderita hiperplasia, antara lain sebagai berikut:
1) Tindakan kuratase selain untuk menegakkan diagnosa sekaligus sebagai terapi untuk
menghentikan perdarahan.
2) Selanjutnya adalah terapi progesteron untuk menyeimbangkan kadar hormon di dalam
tubuh. Namun perlu diketahui kemungkinan efek samping yang bisa terjadi, di antaranya
mual, muntah, pusing, dan sebagainya. Rata-rata dengan pengobatan hormonal sekitar 34 bulan, gangguan penebalan dinding rahim sudah bisa diatasi. Terapi progestin sangat
efektif dalam mengobati hiperplasia endometrial tanpa atipik, akan tetapi kurang efektif
untuk hiperplasia dengan atipik. Terapi cyclical progestin (medroxyprogesterone asetat
10-20 mg/hari untuk 14 hari setiap bulan) atau terapi continuous progestin (megestrol
asetat 20-40 mg/hari) merupakan terapi yang efektif untuk pasien dengan hiperplasia
endometrial tanpa atipik. Terapi continuous progestin dengan megestrol asetat (40
mg/hari) atau Medroxyprogesteron asetat 10 mg/hari kemungkinan merupakan terapi
yang paling dapat diandalkan untuk pasien dengan hiperplasia atipikal atau kompleks.
Terapi dilanjutkan selama 2-3 bulan dan dilakukan biopsi endometrial 3-4 minggu setelah
terapi selesai untuk mengevaluasi respon pengobatan.
3) Jika pengobatan hormonal yang dijalani tak juga menghasilkan perbaikan, biasanya akan
diganti dengan obat-obatan lain.
Tanda kesembuhan penyakit hiperplasia endometrium yaitu siklus haid kembali normal.
Jika sudah dinyatakan sembuh, ibu sudah bisa mempersiapkan diri untuk kembali
menjalani kehamilan. Namun alangkah baiknya jika terlebih dahulu memeriksakan diri
pada dokter. Terutama pemeriksaan bagaimana fungsi endometrium, apakah salurannya
baik, apakah memiliki sel telur dan sebagainya.
Histerektomi Metode ini merupakan solusi permanen untuk terapi perdarahan uterus
abnormal. Khusus bagi penderita hiperplasia kategori atipik, jika memang terdeteksi ada
kanker, maka jalan satu-satunya adalah menjalani operasi pengangkatan Rahim dan ini
terkait dengan angka kepuasan pasien dengan terapi ini. untuk wanita yang cukup
38
memiliki anak dan sudah mencoba terapi konservatif dengan hasil yang tidak
memuaskan, histerektomi merupakan pilihan yang terbaik.7,8
Prognosis
Umumnya lesi pada hiperplasia atipikal akan mengalami regresi dengan terapi
progestin, akan tetapi memiliki tingkat kekambuhan yang lebih tinggi ketika terapi
dihentikan dibandingkan dengan lesi pada hiperplasia tanpa atipik. Penelitian terbaru
menemukan bahwa pada saat histerektomi 62,5% pasien dengan hiperplasia endometrium
atipikal yang tidak diterapi ternyata juga mengalami karsinoma endometrial pada saat
yang bersamaan. Sedangkan pasien dengan hiperplasia endometrial tanpa atipik yang di
histerektomi hanya 5% diantaranya yang juga memiliki karsinoma endometrial.7,8
Pencegahan
Langkah-langkah yang bisa disarankan untuk pencegahan, seperti :8
1. Melakukan pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi
dini ada kista yang bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim.
2. Melakukan konsultasi ke dokter jika mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu
haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang banyak ataupun tak kunjung haid dalam
jangka waktu lama.
3. Penggunaan etsrogen pada masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian
progestin untuk mencegah karsinoma endometrium.
4. Bila menstruasi tidak terjadi setiap bulan maka harus diberikan terapi progesteron untuk
mencegah pertumbuhan endometrium berlebihan. Terapi terbaik adalah memberikan
kontrasepsi oral kombinasi.
5. Jaga pola hidup sehat dan rajin berolahraga 1 minggu minimal 2-3x.
BAB III
KESIMPULAN dan SARAN
39
Kesimpulan
Hiperplasia endometrium dikenal sebagai lesi prakanker dari karsinoma endometrium
tipe I (estrogen-dependent disease) yang ditandai secara klinis dengan adanya perdarahan uterus
yang abnormal.hiperplasia endometrium dapat berkembang menjadi suatu karsinoma
endometrium terutama pada tipe hyperplasia kompleks dengan atipia.
Saran
Hiperplasia endometrium dapat berkembang menjadi suatu karsinoma endometrium
terutama pada tipe hyperplasia kompleks dengan atipia oleh karena itu diperlukan kewaspadaan
dini dari masyarakat terutama kaum hawa terhadap penyakit ini yaitu dengan cara melakukan
pemeriksaan USG dan / atau pemeriksaan rahim secara rutin, untuk deteksi dini ada kista yang
bisa menyebabkan terjadinya penebalan dinding rahim lalu melakukan konsultasi ke dokter jika
mengalami gangguan seputar menstruasi apakah itu haid yang tak teratur, jumlah mestruasi yang
banyak ataupun tak kunjung haid dalam jangka waktu lama serta penggunaan estrogen pada
masa pasca menopause harus disertai dengan pemberian progestin untuk mencegah karsinoma
endometrium. Para wanita juga diharapkan untuk peduli terhadap dirinya sendiri sehingga jika
ada keluhan seputar menstruasi sebaiknya segera ke puskesmas maupun ke dokter terdekat,
sehingga dapat menurunkan insidens dari terjadinya kanker endometrium. Selain itu pemerintah
juga diharapkan dapat memberikan fasilitas khusus di puskesmas setempat seperti USG untuk
pemeriksaan dini terhadap lesi prankanker pada endometrium.
DAFTAR PUSTAKA
1. Hammond R, Johnson J. Endometrial hyperplasia. Curr Obstet Gynecol 2011; 11: 160-3
40
2. Speroff L, Glass RH, Kase NG. Dysfunc-tional uterine bleeding. Dalam: Speroff L,
penyunting. Clinical gynecologic endocrinology and infertility. Edisi ke-6. Washington:
Lippincott Williams & Wilkins; 2009; 587-91
3. Munro, malcom; Hilary O.D. Critchley, Michael S Broder, Ian S Fraser. 2011. FIGO
Classification System (PALM-COEIN) for Causes of Abnormal Uterine Bleeding in
Nongravid
Women
of
Reproductive
Age.
Diunduh
dari
41