Anda di halaman 1dari 15

Makalah Abortus

Disusun oleh :
Verronica Angelyn Crasannya Leiwakabessy
Harprema Sonia Raj Kaur

KEPANITERAAN KLINIK ILMU OBSTETRIK DAN GINEKOLOGI

Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadiran Tuhan Yang Maha Kuasa karena Rahmat-Nya kami
dapat menyelesaikan makalah ini untuk memenuhi tugas kepaniteraan klinik obgyn di RSUD
Ciawi,yang berjudul Abortus.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat khususnya bagi kami serta teman-teman yang
lain dan dapat memperkaya pengetahuan kami masing-masing sehingga dapat berguna bagi
kami dalam menghadapi pasien dengan kondisi seperti yang kami bahas dalam makalah ini
pada masa depan.

Ciawi, 12 April 2015

Penyusun

Definisi
Abortus adalah ancaman atau pengeluaran hasil konsepsi sebelum janin dapat hidup
diluar kandungan. Sebagai batasan ialah kehamilan kurang dari 20 minggu atau berat janin
kurang dari 500 gram.1
Abortus yang berlangsung tanpa tindakan disebut abortus spontan, sedangkan abortus
yang terjadi dengan sengaja dilakukan tindakan disebut abortus provokatus. Abortus
provokatus ini dibagi 2 kelompok yaitu abortus provokatus medisinalis dan abortus
provokatus kriminalis. Disebut medisinalis bila didasarkan pada pertimbangan dokter untuk
menyelamatkan ibu. Disini pertimbangan dilakukan oleh minimal 3 dokter spesialis yaitu
spesialis Kebidanan dan Kandungan, spesialis Penyakit Dalam, dan Spesialis Jiwa. Bila perlu
dapat ditamah pertimbangan oleh toko agama terkait. Setelah dilakukan terminasi kehamilan,
harus diperhatikan agar ibu dan suaminya tidak terkena trauma psikis di kemudian hari.1
Angka kejadian abortus sukar ditentukan karena abortus provokatus banyak yang
tidak dilaporkan, kecuali bila sudah terjadi komplikasi. Abortus spontan dan tidak jelas umur
kehamilannya, hanya sedikir memberikan gejala atau tanda sehingga biasanya ibu tidak
melapor atau berobat. Sementara itu, dari kejadian yang diketahui, 15-20% merupakan
abortus spontan atau kehamilan ektopik. Sekitar 5% dari pasangan yang mencoba hamil akan
mengalami 2 keguguran yang berurutan, dan sekitarnya 1% dari pasangan mengalami 3 atau
lebih keguguran yang berurutan. 1
Rata-rata terjadi 114 kasus abortus per jam. Sebagian besar studi menyatakan kejadian
abortus spontan antara 15 20% dari semua kehamilan. Kalau dikaji lebih jauh kejadian
abortus sebenarnya bisa mendekati 50%. Hal ini dikarenakan tingginya angka chemical
pregnancy loss yang tidak bisa diketahui pada 2 4 minggu setelah konsepsi. Sebagian besar
kegagalan kehamilan ini dikarenakan kegagalan gamet (misalnya sperma dan disfungsi
oosit). Pada 1988 Wilcox dan kawan-kawan melakukan studi terhadap 221 perempuan yang
diikuti selama 707 siklus haid total. Didapatkan total 198 kehamilan dimana 43 (22%)
mengalami abortus sebelum saat haid berikutnya.1
Abortus habitualis adalah abortus yang terjadi berulang tiga kali secara berturut-turut.
Kejadiannya sekitar 3 5%. Data dari beberapa studi menunjukkan bahwa setelah 1 kali
abortus spontan, pasangan punya resiko 15% untuk mengalami keguguran lagi, sedangkan
bila pernah 2 kali, resikonya akan meningkatkan 25%. Beberapa studi meramalkan bahwa
resiko abortus setelah 3 abortus berurutan adalah 30 45%.1
Etiologi
Penyebab abortus (early pregnancy loss) bervariasi dan sering diperdebatkan. Umumnya
lebih dari satu penyebab. Penyebab terbanyak diantaranya adalah sebagai berikut : 2

Faktor genetik. Translokasi parental keseimbangan genetik.


o Mendelian
o Multifaktor
o Robertsonian

o Resiprokal
Kelainan kongenital uterus
o Anomali duktus Mulleri
o Septum uterus
o Uterus Bikornis
o Inkompetensi serviks uterus
o Mioma uteri
o Sindroma Asherman
Autoimun
o Aloimun
o Mediasi imunitas humoral
o Mediasi imunitas seluler
Defek fase luteal
o Faktor endokrin eksternal
o Antibodi antitiroid hormon
o Sintesis LH yang tinggi
Infeksi
Hematologik
Lingkungan

Usia kehamilan saat terjadi abortus bisa memberi gambaran tentang penyebabnya.
Sebagai contoh, antiphospholipid syndrome (APS) dan inkompetensi serviks sering terjadi
setelah trimester pertama. 2
Penyebab Genetik
Sebagian besar abortus spontan disebabkan oleh kelainan kariotip embrio. Paling
sedikit 50% kejadian abortus pada trimester pertama merupakan kelainan sitogenetik.
Bagaimanapun, gambaran ini belum termasuk kelainan yang disebabkan oleh gangguan gen
tunggal (Misalnya kelainan Mendelian) atau mutasi pada beberapa lokus (misalnya gangguan
poligenik atau multifaktor) yang tidak terdeteksi dengan pemeriksaan kariotip.3
Kejadian tertinggi kelainan sitogenetik konsepsi terjadi pada awal kehamilan.
Kelainan sitogenetik embrio biasanya serupa aneuploidi yang disebabkan oleh kejadian
sporadis, misalnya nondisjunction meiosis atau poliploidi dan fertilitas abnormal. Separuh
dari abortus karena kelainan sitogenetik pada trimester pertama berupa trisomi autosom.
Triploidi ditemukan pada 16% kejadian abortus, dimana terjadi fertilisasi ovum normal
haploid oleh 2 sperma (dispermi) sebagai mekanisme patologi primer. Trisomi timbul akibat
dari nondisjunction meiosis selama gametogenesis pada pasien dengan kariotip normal.
Untuk sebagian besar trisomi, gangguan meiosis maternal bisa berimplikasi pada
gametogenesis. Insiden trisomi meningkat dengan bertambahnya usia. Trisomi 16, dengan
kejadian sekitar 30% dari seluruh trisomi, merupakan penyebab terbanyak semua kromosom
trisomi berakhir abortus kecuali pada trisomi kromosom 1. Sindroma Turner merupakan
penyebab 20 25% kelainan sitogenetik pada abortus. Sepertiga dari fetus dengan Sindroma
Down (trisomi 21) bisa bertahan. 3

Pengelolaan standard menyarankan untuk pemeriksaan genetik maniosentesis pada


semua ibu hamil dengan usia yang lanjut, yaitu diatas 35 tahun. Resiko ibu terkena aneuploidi
adalah 1 : 80, pada usia diatas 35 tahun karena angka kejadian kelainan kromosom/trisomi
akan meningkat setelah usia 35 tahun. 3
Kelainan lain umumnya berhubungan dengan fertilisasi abnormal (tetraploid,
triploidi). Kelainan ini tidak bisa dihubungkan dengan kelangsungan kehamilan. Tetraploidi
terjadi pada 8% kejadian abortus akibat kelainan kromosom, dimana terjadinya kelainan pada
fase sangat awal sebelum proses pembelahan.
Struktur kromosom merupakan kelainan kategori ketiga. Kelainan struktural terjadi
pada sekitar 3% kelainan sitogenetik pada abortus. Ini menunjukkan bahwa kelainan struktur
kromosom sering diturunkan dari ibunya. Kelainan struktur kromosom pada pria bisa
berdampak pada rendahnya konsentrasi sperma, infertilitas dan bisa mengurangi peluang
kehamilan dan terjadinya keguguran.
Kelainan sering juga berupa gen yang babnormal, mungkin karena adanya mutasi gen
yang bisa mengganggu proses implantasi bahkan menyebabkan abortus. Contoh untuk
kelainan gen tunggal yang sering menyebabkan abortus berulang adalah myotonic dystrophy,
yang berupa autosom dominan dengan penetrasi yang tinggi, kelainan ini progresif, dan
penyebab abortusnya mungkin karena kombinasi gen yang abnormal dan gangguan fungsi
uterus. Kemungkinan juga karena adanya mosaik gonad pada ovarium atau testis. 3
Gangguan jaringan konektif lain, misalnya Sindroma Marfan, Sindroma EhlersDanlons, homosisteinuri dan pseudoaxanthoma elastcum. Juga pada perempuan dengan
sickle cell anemia beresiko tinggi mengalami abortus. Hal ini karena adanya mikroinfark
pada plasenta. Kelainan hematologik lain yang menyebabkan abortus misalnya
disfibrinogenemi, defisiensi faktor XIII, dan hipofibrinogenemi afibrinogenemi kongenital.
Abortus berulang bisa disebabkan oleh penyatuan 2 kromosom yang abnormal,
dimana bila kelainannya hanya pda salah satu orang tua, faktor tersebut tidak diturunkan.
Studi yang pernah dilakukan menunjukkan bahwa bila didapatkan kelainan kariotip pada
kejadian abortus, maka kehamilan berikutnya juga beresiko abortus. 3
Penyebab Anatomik
Defek anatomik uterus diketahui sebagai penyebab komplikasi obstetrik, seperti
abortus berulang, prematuritas, serta malpresentasi janin. Insiden kelainan bentuk uterus
berkisar 1/200 sampai 1/600 perempuan. Pada perempuan dengan riwayat abortus, ditemukan
anomali uterus pada 27% pasien.2,3
Studi oleh Acien (1996) terhadap 170 pasien hamil dengan malformasi uterus,
mendapatkan hasil hanya 18.8% yang bisa bertahan sampai melahirkan cukup bulan,
sedangkan 36.5% mengalami persalinan abnormal (prematur, sungsang). Penyebab terbanyak
aborrtus karena kelainan anatomik uterus adalah septum uterus (40 80%), kemudian uterus
bikornis atau uterus didelfis atau unikornis (10 30%). Mioma uteri bisa menyebabkan baik
infertilitas maupun abortus berulang. Resiko kejadiannya antara 10 30% pada perempuan

usia reproduksi. Sebagian besar mioma tidak memberikan gejala, hanya yang berukuran besar
atau yang memasuki kavum uteri (submukosum) yang akan menimbulkan gangguan.2
Sindroma Asherman bisa menyebabkan gangguan tempat implantasi serta pasokan
darah pada permukaan endometrium. Resiko abortus antara 25 80%, bergantung pada berat
ringannya gangguan. Untuk mendiagnosis kelainan ini bisa digunakan histerosalphingografi
(HSG) dan ultrasonografi.2
Penyebab Automimun
Terdapat hubungan yang nyata antara abortus beru;ang dan penyakit autoimun.
Misalnya pada Systematic Lupus Erhytematosus (SLE) dan Antiphospholipid Antibodies
(aPA), yang merupakan antibodi spesifik yang didapati pada perempuan dengan SLE.
Kejadian abortus spontan di antara pasien SLE sekitar 10%, dibanding populasi umum, Bila
digabung dengan peluang terjadinya pengakhiran kehamilan trimester 2 dan 3, maka
diperkirakan 75% pasien dengan SLE akan berakhir dengan terhentinya kehamilan. Sebagian
besar kematian janin dihubungkan dengan adanya aPA. APS (antiphospholipid syndrome)
sering juga ditemukan pada beberrapa keadaan obstetrik, misalnya pada preeklampsia, IUGR
dan prematuritas. Beberapa keadaan lain yang berhubungan dengan APS yaitu trombosis
arteri-vena, trombositopeni autoimun, anemia hemolitik, korea dan hipertensi pulmonum. 2
Penyakit Infeksi
Teori peran mikroba infeksi terhadap kejadian abortus mulai diduga sejak 1917, ketika
DeForest dan kawan-kawan melakukan pengamatan kejadian abortus berulang pada
perempuan yang ternyata terpapar brucellosis. Beberapa jenis organisme tertentu diduga
berdampak pada kejadian abortus antara lain : 1,2

Bakteria
o Listeria monositogenes
o Klamidia trakomatis
o Ureaplasma urealitikum
o Mikoplasma hominis
o Bakterial vaginosis
Virus
o Sitomegalovirus
o Rubella
o Herpes Simplex Virus (HSV)
o Human immunodeficiency virus (HIV)
o Parvovirus
Parasit
o Toksoplasmosis gondii
o Plasmodium falsiparum
Spirokaeta
o Treponema pallidum

Berbagai teori diajukan untuk mencoba menerangkan peran infeksi terhadap resiko abortus,
diantaranya sebagai berikut : 1,2

Adanya metabolik toksin, endotoksin, eksotoksin atau sitokin yang berdampak


langsung pada janin atau untit fetoplasenta.
Infeksi janin yang bisa berakibat kematian janin atau cacat berat sehingga janin sulit
bertahan hidup
Infeksi plasenta yang berakibat insufisiensi plasenta dan bisa berlanjut kematian janin
Infeksi kronis endometrium dari penyebaran kuman genitalia bawah (misal
Mikoplasma hominis, Klamidia, Ureaplasma urealitikum, HSV) yang bisa
mengganggu proses implantasi.
Amnionitis (oleh kuman gram-positif dan gram-negatis, Listeria monositogenes).
Memacu perubahan genetik dan anatomik embrio, umumnya oleh karena virus selama
kehamilan awal (misalnya rubela, parvovirus B19, sitomegalovirus, coxakie virus B,
varicela-zooster, kronik sitomegalovirus CMV, HSV).

Faktor Lingkungan
Diperkirakan 1 10% malformasi janin akibat dari paparan obat, bahan kimia, atau
radiasi dan umumnya berakhir dengan abortus, misalnya paparan terhadap buangan gas
anestesi dan tembakau. Sigaret rokok diketahui mengandung ratusan unsur toksik, antara lain
nikotin yang telah diketahui mempunyai efek vasoaktif sehingga menghambat sirkulasii
uteroplasenta. Karbon monoksida juga menurunkan pasokan oksigen ibu dan janin serta
memacu neurotoksin. Dengan adanya gangguan pada sistem sirkulasi fetoplasenta dapat
terjadi gangguan pertumbuhan janin yang berakhir terjadinya abortus.4
Faktor Hormonal
Ovulasi, implantasi, serta kehamilan dini bergantung pada koordinasi yang baik sistem
pengaturan hormon maternal. Oleh karena itu, perlu perhatian langsung terhadap sistem
hormon secara keseluruhan, fase luteal, dan gambaran hormon setelah konsepsi terutama
kadar progesteron. 4

Diabetes Melitus
Perempuan dengan diabetes yang dikelola dengan baik resiko abortusnya tidak lebih
jelek jika dibanding perempuan yang tanpa diabetes. Akan tetapi perempuan diabetes
dengan kadar HbA1c tinggi pada trimester pertama, resiko abortus dan malformasi
janin meningkat signifikan. Diabetes jenis insulin-dependen dengan kontrol glukosa
tidak adekuat punya peluang 2 3 kali lipat mengalami abortus.
Kadar progesteron yang rendah
Progesteron punya peran penting dalam mempengaruhi reseptivitas endometrium
terhadap implantasi embrio. Pada tahun 1929, Allen dan Corner mempublikasikan
terhadap rentang fisiologi korpus luteum, dan sejak itu diduga bahwa kadar
progesteron yang rendah berhubungan dengan resiko abortus. Support fase luteal
punya peran kritis pada kehamilan sekitar 7 minggu, yaitu saat dimana trofoblas harus
menghasilkan cukup steroid untuk menunjang kehamilan. Pengangkatan korpus

luteum sebelum usia 7 minggu akan menyebabkan abortus. Dan bila progesteron
diberikan pada pasien ini, kehamilan bisa diselamatkan.
Defek fase luteal
Jones (2943) yang pertama kali mengutarakan konsep insufisiensi progesteron saat
fase luteal, dan kejadian ini dilaporkan pada 23 60% perempuan dengan abortus
berulang. Sayangnya belum ada metode yang bisa dipercaya untuk mendiagnosis
gangguan ini
Pada penelitian terhadap perempuan yang mengalami abortus lebih dari atau sama
dengan 3 kali, didapatkan 17% kejadian defek fase luteal. Dan 50% perempuan
dengan histologi defek fase luteal punya gambaran progesteron yang normal
Pengaruh hormonal terhadap imunitas desidua

Perubahan endomertrium jadi desidua mengubah semua sel pada mukosa uterus.
Perubahan morfologi dan fungsional ini mendukung proses implantasi juga proses
migrasi trofoblas dan mencegah invasi yang berlebihan pada jaringan ibu. Disini berperan
penting interaksi antara trofoblas ekstravillous dan infiltrasi leukosit pada mukosa uterus.
Sebagian besar sel ini berupa Large Granular Lymphocytes (LGI) dan makrofag dengan
sedikit sel T dan sel B.
Sel NK dijumpai dalam jumlah banyak, terutama pada endometrium yang terpapar
progesteron. Peningkatan sel NK pada tempat implantasi saat trimester pertama
mempunyai peran penting dalam kelangsungan proses kehamilan karena ia akan
mendahului membunuh sel target dengan sedikit atau tanpa ekspresi HLA. Trofoblas
ekstravillous (dengan pembentukan cepat HLA1) tidak bisa dihancurkan oleh sel NK
desidua, sehingga memungkinkan terjadinya invasi optimal untuk plasentasi yang normal.
Faktor Hematologik
Beberapa kasus abortus berulang ditandai dengan defek plasentasi dan adanya
mikrotombi pada pembuluh darah plasenta. Berbagai komponen koagulasi dan fibrinolitik
memegang peran penting pada implantasi embrio, invasi trofoblas, dan plasentasi. Pada
kehamilan terjadi keadaan hiperkoagulasi dikarenakan: 3,4

Peningkatan kadar faktor prokoagulan


Penurunan faktor antikoagulan
Penurunan aktivitas fibrinolitik

Kadar faktor VII, VIII, X dan fibrinogen meningkat selama kehamilan normal,
terutama pada kehamilan sebelum 12 minggu.
Bukti lain menunjukkan bahwa sebelum terjadi abortus, sering didapatkan defek
hemostatik. Penelitian Tulpalla dan kawan-kawan menunjukkan bahwa perempuan
dengan riwayat abortus berulang, sering terdapat peningkatan produksi tromboksan yang
berlebihan pada usia kehamilan 4 6 minggu, dan penurunan produksi prostasiklin saat
usia kehamilan 8 -11 minggu. Perubahan rasio tromboksan-prostasiklin memacu

vasospasme serta agregasi trombosit, yang akan menyebabkan mikrotrombi serta nekrosis
plasenta. Juga sering disertai penurunan kadar protein C dan fibrinopeptida.
Defisiensi daktor X11 (Hageman) berhubungan dengan trombosis sistematik ataupun
plasenta dan telah dilaporkan juga berhubungan dengan abortus berulang pada lebih dari
22% kasus.
Homosistein merupakan asam amino yang dibentuk selama konversi metionin ke
sistein. Hiperhomosisteinemi, bisa kongenital ataupun akuisita, berhubungan dengan
trombosis dan penyakit vaskular dini. Kondisi ini berhubungan dengan 21% abortus
berulang, Gen pembawa akan diturunkan secara autosom resesif. Bentuk terbanyak yang
ddidapat adalah defisiensi asam folat. Pada pasien ini, penambahan asam folat akan
mengembalikan kadar homosistein normal dalam beberapa hari.
Macam-macam Abortus
Dikenal berbagai macam abortus sesuai dengan gejala, tanda dan proses patologi yang
terjadi. 1,3
Abortus Iminens
Abortus tingkat permulaan dan merupakan ancaman terjadinya abortus, ditandai
perdarahan pervaginam, ostium uteri masih tertutup dan hasil konsepsi masih baik dalam
kandungan. 1,3
Diagnosis abortus iminens biasanya diawali dengan keluhan perdarahan pervaginam
pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu. Penderita mengeluh mulas sedikit atau
tidak ada keluhan sama sekali kecuali perdarahan pervaginam. Ostium uteri masih
tertutup besarnya uterus masih sesuai dengan umur kehamilan dan tes kehamilan urin
masih positif. Untuk menentukan prognosis abortus iminens dapat dilakukan dengan
melihat kadar hCG pada urin dengan cara melakukan tes urin kehamilan menggunakan
urin tanpa pengenceran dan pengenceran 1/10. Bila hasil ters urin masih positif keduanya
maka prognosisnya adalah baik, bila pengenceran 1/10 hasilnya negatif maka
prognosisnya dubia ad malam. Pengelolaan penderita ini sangat bergantung pada
informed consent yang diberikan. 1,4
Bila ibu ini masih menghendaki kehamilan tersebut, maka pengelolaan harus
maksimal untuk mempertahankan kehamilan ini. Pemeriksaan USG diperlukan untuk
mengeathui pertumbuhan janin yang ada dan mengetahui keadaan plasenta apakah sudah
terjadi pelepasan atau belum. Diperhatikan ukuran biometri janin/kantong gestasi apakah
sesuai dengan umur kehamilan berdasarkan HPHT. Denyut jantung janin dan gerakan
janin diperhatikan disamping ada tidaknya hematoma retroplasenta atau pembukaan
kanalis servikalis. Pemeriksaan USG dapat dilakukan baiks ecara transabdominal maupun
transvaginal. Pada USG transabdominal jangan lupa pasien harus tahan kencing terlebih
dahulu untuk mendapatkan acoustic wndow yang baik agar rincian hasil USG dapat jelas.

Penderita diminta untuk melakukan tirah baring sampai perdarahn berhenti. Bisa
siberi spasmolitik agar uterus tidak berkontraksi atau diberi tambahan hormon
progesteron atau derivatnya untuk mencegah terjadinya abortus. Obat-obatan ini
walaupun secara statistik kegunaannya tidak bermakna, tetapi efek psikologis kepada
penderita sangan menguntungkan. Penderita boleh dipulangkan setelah tidak terjadi
perdarahan dengan pesan khusus tidak boleh berhubungan seksual dulu sampai lebih
kurang 2 minggu. 1,3,4
Aboertus Insipiens
Abortus yang sedang mengancam yang ditandai dengan serviks telah mendatar dan
ostium uteri telah membuka, akan tetapi hasil konsepsi masih dalam kavum iteri dan
dalam proses pengeluaran. 1,2
Penderita akan merasa mulas karena kontraksi yang sering dan kuat, perdarahannya
bertambah sesuai dengan pembukaan serviks uterus dan umur kehamilan. Besar uterus
masih sesuai dengan umur kehamilan dengan tes urin kehamilan masih positif. Pada
pemeriksaan USG akan didapati pembesaran uterus yang masih sesuai dengan umur
kehamilan, gerak janin dan gerak jantung janin masih jelas waau mungkin sudah mulai
tidak normal, biasanya terlihat penipisan serviks uterus atau pembukaannya. Perhatikan
pula ada tidaknya pelepasan plasenta dari dinding uterus.
Pengelolaan penderita ini harus memperhatikan keadaan umum dan perubahan
keadaan hemodinamik yang terjadi dan segera lakukan tindakan evakuasi/ pengeluaran
hasil konsepsi disusul dengan kuretase bila perdarahan banyak. Pada umur kehamilan
diatas 12 minggu, uterus biasanya sudah melebihi telur angsa tindakan evakuasi dan
kuretase harus hati-hati, kalau perlu dilakukan evakuasi dengan cara digital yang
kemudian disusul dengan tindakan kuretase sambil diberikan uterotonika. Hal ini
diperlukan untuk mencegah terjadinya perforasi pada dinding uterus. Pasca tindakan perlu
perbaikan keadaan umum, pemberian uterotonika, dan antibiotika profilaksis. 1,2
Abortus Komplitus
Seluruh hasil telah keluar dari kavum uteri pada kehamilan kurang dari 20 minggu
atau berat janin kurang dari 500 gram.
Semua hasil konsepsi telah dikeluarkan, ostium uteri telah menutup, uterus sudah
mengecil sehingga perdarahan sedikit. Besar uterus tidak sesuai dengan umur kehamilan.
Pemeriksaan USG tidak perlu dilakukan bila pemeriksaan secara klinis sudah memadai.
Pada pemeriksaan tes urin biasanya masih positif sampai 7 10 hari setelah abortus.
Pengelolaan penderita tidak memerlukan tindakan khusus ataupun pengobatan. Biasanya
hanya diberi roboransia atau hematenik bila keadaan pasien memerlukan. Uterotonika
tidak perlu diberikan. 4
Abortus Inkomplitus
Sebagian hasil konsepsi telah keluar dari kavum uteri dan masih ada yang tertinggal.

Batasan ini juga masih terpancang pada umur kehamilan kurang dari 20 minggu atau
berat janin kurang dari 500gram. Sebagian jaringan hasil konsepsi masih tertinggal di
dalam uterus dimana pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis masih terbuka dan
teraba jaringan dalam kavum uteri atau menonjol pada ostium uteri eksternum.
Perdarahan biasanya masih terjadi jumlahnya pun bisa banyak atau sedikit bergantung
pada jaringan yang tersisa, yang menyebabkan sebagian placental site masih terbuka
sehingga perdarahan berjalan terus. Pasien dapat jatuh dalam keadaan anemia atau syok
hemoragik sebelum sisa jaringan konsepsi dikeluarkan. Pengelolaan pasien harus diawali
dengan perhatian terhadap keadaan umum dan mengatasi gangguan hemodinamik yang
terjadi untuk kemudian disiapkan tindakan kuretase. Pemeriksaan USG hanya dilakukan
bila kita ragu dengan diagnosis secara klinis. Besar uterus sudah lebih kecil dari umur
kehamilan dan kantong gestasi sudah sulit dikenali, di kavum uteri tampak massa
hiperekoik yang bentuknya tidak beraturan. 3,4
Bila terjadi perdarahan yang hebat, dianjurkan segera melakukan pengeluaran sisa
hasil konsepsi secara manual agar jaringan yang mengganjal terjadinya kontraksi uterus
segera dikeluarkan, kontraksi uterus dapat berlangsung baik dan perdarahan bisa berhenti.
Selanjutnya dilakukan tindakan kuretase. Tindakan kuretase harus dilakukan secara hatihati sesuai dengan keadaan umum ibu dan besarnya uterus. Tindakan yang dianjurkan
ialah dengan karet vakum menggunakan kanula dari plastik. Pascatindakan perlu
diberikan uterotonika parenteral ataupun per-oral dan antibiotika. 3,4
Missed Abortion
Abortus yang ditandai dengan embrio atau fetus telah meninggal dalam kandungan
sebelum kehamilan 20 minggu dan hasil konsepsi seluruhnya masih tertahan dalam
kandungan. 3
Penderita missed abortion biasanya tidak merasakan keluhan apa pun kecuali
merasakan pertumbbuhan kehamilannya tidak seperti yang diharapkan. Bila kehamilan di
atas 14 minggu sampai 20 minggu penderita justru merasakan rahimnya semakain
mengecil dengan tanda-tanda kehamilan sekunder pada payudara mulai menghilang.
Kadang kala missed abortion juga diawali dengan abortus iminens yang kemudian
merasa sembuh, tetapi pertumbuhan janin terhenti. Pada pemeriksaan tes urin kehamilan
biasanya negatif setelah satu minggu dari terhentinya pertumbuhan kehamilan. Pada
pemeriksaan USG akan didapatkan uterus yang mengecil, kantong gestasi yang mengecil
dan bentuknya tidak beraturan disertai gambaran fetus yang tidak ada tanda-tanda
kehidupan. Bila missed abortion berlangsung lebih dari 4 minggu harus diperhatikan
kemungkinan terjadinya gangguan penjendalan darah oleh karena hipofibrinogenemia
sehingga perlu diperiksa koagulasi sebelum tindakan evakuasi dan kuretase.3
Pengelolaan missed abortion perlu diutarakan kepada pasien dan keluarganya secara
baik karena resiko tindakan operasi dan kuretase ini dapat menimbulkan komplikasi
perdarahan atau tidak bersihnya evakuasi/ kuretase dalam sekali tindakan. Faktor mental
penderita perlu diperhatikan, karena penderita umumnya merasa gelisah setelah tau

kehamilannya tidak tumbuhh atau mati. Pada umur kehamilan kurang dari 12 minggu
tindakan evakuasi dapat dilakukan secara langsung dengan melakukan dilatasi dan
kuretase bila serviks uterus memungkinkan. Bila umur kehamilan diatas 12 minggu atau
kurang dari 20 minggu dengan keadaan serviks uterus yang masih kaku dianjurkan untuk
melakukan induksi terlebihd ahulu untuk mengeluarkan janin atau mematangkan kanalis
servikalis. Beberapa cara dilakukan antara lain dengan pemberian infus intravena cairan
oksitoksin dimulai dari dosis 10 unit dalam 500cc dextrose 5dengan tetesan 20 tetes per
menit dan dapat diulangi sampai total oksitoksin 50 unit dengan tetesan dipertahankan
untuk mencegah terjadinya retensi cairan tubuh. Jika tidak berhasil, penderita
diistirahatkan satu hari dan kemudian induksi diulangi bisanya maksimal 3 kali. Setelah
janin atau jaringan konsepsi berhasil keluar dengan induksi ini dilanjutkan dengan
tindakan kuretase sebersih mungkin.3
Pada dekade belakangan ini banyak tulisan yang telah menggunakan prostaglandin
atau sintesisnya untuk melakukan induksi pada missed abortion. Salah satu cara yang
banyak disebutkan adalah dengan pemberian misoprostol secara subolingual sebanyak
400mg yan dapat diulangi dua kali dengan jarak enam jam. Dengan obat ini akan terjadi
pengeluaran hasil konsepsi atau terjadi pembukaan ostium serviks sehingga tindakan
evakuasi dan kuretase dapat dikerjakan untuk mengosongkan kavum uteri. Kemungkinan
penyulit pada tindakan missed abortion ini lebih besar mengingat jaringan plasenta yang
menempel pada dinding uterus biasanya sudah lebih kuat. Apabila terdapat
hipofibrinogenemia perlu disiapkan transfusi darah segar atau fibrinogen. Pasca tindakan
kalau perlu dilakukan pemberian infus intravena cairan oksitoksin dan pemberian
antibiotik.3
Abortus Habitualis
Abortus habitualis ialah abortus spontan yang terjadi 3 kali atau lebih berturut-turut.
Penderita abortus habitualis pada umumnya tidak sulit untuk menjadi hamil kembali,
tetapi kehamilannya berakhir dengan keguguran/ abortus secara berturut-turut. Bishop
melaporkan kejadian abortus habitualis sekitar 0.41% dari seluruh kehamilan.3
Penyebab abortus habitualis selain faktor anatomis banyak yang mengaitkannya
dengan reaksi imunologik yaitu kegagalan reaksi terhadap antigen lymphocyte
trophoblast cross reactive (TLX). Bila reaksi terhadap antigen ini rendah atau tidak ada,
maka akan terjadi abortus. Kelainan ini dapat diobati dengan transfusi leukosit atau
heparinisasi. Akan tetapi, dekade terakhir menyebutkan perlunya mencari penyebab
abortus ini secara lengkap sehingga dapat diobati sesuai dengan penyebabnya. 3
Salah satu penyebab yang sering dijumpai ialah inkompetensia serviks yaitu keadaan
dimana serviks uterus tidak dapat menerima beban untuk tetap bertahan menutup setelah
kehamilan melewati trimester pertama, dimana ostium serviks akan membuka
(inkompeten) tanpa disertai rasa mules/ kontraksi rahim dan akhirnya terjadi pengeluaran
janin. Kelainan ini sering disebabkan oleh trauma serviks pada kehamilan sebelumnya,

misalnya pada tindakan usaha pembukaan serviks yang berlebihan, robekan serviks yang
luas sehingga diameter kanalis servikaslis sudah melebar.
Diagnosis inkompetensia serviks tidak sulit dengan anamnesis yang cermat. Dengan
pemeriksaan dalam/ inspekulo kita bisa menilai diameter kanalis servikaslis dan didapati
selaput ketuban yang mulai menonjol pada saat mulai memasuki trimester kedua.
Diameter ini melebihi 8mm. Untuk itu, pengelolaan penderita inkompetensia serviks
dianjurkan untuk periksa hamil seawal mungkin dan bila dicurigai adanya inkompetensia
serviks harus dilakukan tindakan untuk memberikan fiksasi pada serviks agar dapat
menerima beban dengan berkembangnya umur kehamilan. Operasi dilakukan pada umur
kehamilan 12 14 minggu dengan carai Shirodkar atau McDonald dengan melingkari
kanalis servikalis dengan benang sutera/ Mersilane yang tebal dan simpul baru dibuka
setelah umur kehamilan aterm dan bayi siap dilahirkan.3
Abortus Infeksius, Abortus Septik
Abortus infeksius ialah abortus yang disertai infeksi pada alat genitalia. Abortus
septik ialah abortus yang disertai penyebaran infeksi pada peredaran darah tubuh atau
peritoneum (septikemia dan peritonitis). 3,4
Kejadian ini merupakan salah satu komplikasi tindakan abortus yang paling sering
terjadi apalagi bila dilakukan kurang memperhatikan asepsis dan antisepsis.
Abortus infeksius dan abortus septik perlu segera mendapatkan pengelolaan yang
adekuat karena dapat terjadi infeksi yang lebih luas selain di sekitar alat genitalia juga ke
rongga peritoneum, bahkan dapat ke seluruh tubuh (sepsis, septikemia) dan dapat jatuh
dalam keadaan syok septik.
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis yang cermat tentang upaya tindakan abortus
yang tidak menggunakan peralatan yang asepsis dengan didapat gejala dan tanda panas
tinggi, tampak sakit dan lelah, takikardia, perdarahan pervaginam yang berbau, uterus
yang membesar dan lembut, serta nyeri tekan. Pada laboratorium didapatkan tanda infeksi
dengan leukositosis. Bila sampai terjadi sepsis dan syok, penderita akan tampak lelah,
panas tinggi, menggigil, dan tekanan darah turun.
Pengelolaan pasien ini harus mempertimbangkan keseimbangan cairan tubuh dan
perlunya pemberian antibiotika yang adekuat sesuai dengan hasil kultur dan sensitivitas
kuman yang diambil dari darah dan cairan fluksus/ fluor yang keluar pervaginam. Untuk
tahap pertama dapat diberikan Penicilin 4 x 1,2juta unit, atau Ampisilin 4 x 1gram
ditambah Gentamisin 2 x 80mg dan Metronidazol 2 x 1gram. Selanjutnya antibiotik
disesuaikan dengan hasil kultur.
Tindakan kuretase dilaksanakan bila keadaan tubuh sudah membaik minimal 6 jam
setelah antibiotika adekuat diberikan. Jangan lupa pada saat tndakan uterus dilindungi
dengan uterotonika.

Antibiotik dilanjutkan sampai 2 hari bebas demam dan bila dalam waktu 2 hari
pemberian tidak memberikan respons harus diganti dengan antibiotik yang lebih sesuai.
Apabila ditakutkan terjadi tetanus, perlu ditambah dengan injeksi ATS dan irigasi kanalis
vagina/ uterus dengan larutan peroksida (H2O2) kalau perlu histerektomi total secepatnya.
3,4

Kehamilan Anembrionik (Blighted Ovum)


Kehamilan anembrionik merupakan kehamilan patologi dimana mudigah tidak
terbentuk sejak awal walaupun kantung gestasi tetap terbentuk. Disamping mudigah,
kantong kuning telur juga tidak ikut terbentuk. Kelainan ini merupakan suatu kelainan
kehamilan yang baru terdeteksi setelah berkembangnya ultrasonografi. Bilatidak
dilakukan tindakan, kehamilan ini akan berkembang terus walaupun tanpa ada janin di
dalamnya. Biasanya sampai 14 16 minggu akan terjadi abortus spontan. Sebelum alat
USG ditemukan, kelainan kehamilan ini mungkin banyak dianggap sebagai abortus biasa.
Diagnosis kehamilan anembrionik ditegakkan pada usia kehamilan 7 8 minggu bila
pada pemeriksaan USG didapatkan kantong gestasi tidak berkembang atai pada diameter
2.5cm yang tidak disertai adanya gambaran mudigah. Untuk itu, bila pada saat USG
pertama kita mendapatkan gambaran seperti ini perlu dilakukan evaluasi usg 2minggu
kemudian. Bila tetap tidak dijumpai struktur mudigah atau kantong kuning telur dan
diameter kantong gestasi sudah mencapai 25 mm maka dapat dinyatakan sebagai
kehamilan anembrionik. Pengelolaan kehamilan anembrionik dilakukan terminasi
kehamilan dengan dilatasi dan kuretase secara elektif. 3,4

Gambar.1 Klasifikasi Abortus1

Daftar Pustaka
1. Cunningham,et al.Williams Obstetrics ed 24.New York:McGrawhill,2014.
2. Emedicine.medscape.com/article/219110-abortus.
3. Ilmu kebidanan Sarwono Prwiroharjo KW.Jakarta: Sagung Seto
4. Ilmu obstetric Patologi. Ilmu kesehatan reproduksi Fakultas Kedokteran universitas
Padjajaran.ed 3

Anda mungkin juga menyukai