Anda di halaman 1dari 25

PAPER dan LAPORAN KASUS ANAK

ASMA BRONKIAL

DISUSUN OLEH
FIONNA MASITAH
1008260019
PEMBIMBING
dr. Nurdiani, Sp.A
BAGIAN ILMU PEDIATRI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
SUMATERA UTARA
RUMAH SAKIT HAJI
MEDAN
2015

KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang karena rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan paper dan lapkas yang berjudul Asma Bronkial
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior di Bagian
Ilmu Pediatri di Rumah Sakit Umum Haji Mina Medan.
Penulis

juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr.

Nurdiani,Sp.A sebagai pembimbing yang telah memberi masukan dan saran dalam
menyelesaikan paper dan lapkas ini serta semua staff pengajar di Bagian Ilmu Pediatri di
Rumah Sakit Umum Haji Mina Medan, dan teman-teman di kepaniteraan klinik senior.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa paper dan lapkas ini memiliki banyak
kekurangan, maka penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
untuk perbaikan dimasa mendatang. Harapan penulis semoga paper ini dapat memberikan
manfaat dan menambah pengetahuan kita semua.

Medan, 04 Mei 2015

DAFTAR ISI
Kata Pengantar ---------------------------------------------------------------------------------------i
Daftar Isi----------------------------------------------------------------------------------------------ii
BAB 1 PENDAHULUAN -------------------------------------------------------------------------1
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA------------------------------------------------------------------2
2.1 Definisi Asma ----------------------------------------------------------------------------2
2.2 Faktor Risiko Asma ---------------------------------------------------------------------2
2.3 Patofisiologi Asma-----------------------------------------------------------------------2
2.4 Manifestasi Klinik -----------------------------------------------------------------------3
2.5 Diagnosis Asma---------------------------------------------------------------------------4
2.6 Diagnosis Banding -----------------------------------------------------------------------7
2.7 Tatalaksana Asma ------------------------------------------------------------------------7
2.8 Pencegahan Asma ------------------------------------------------------------------------11
BAB 3 KESIMPULAN----------------------------------------------------------------------------15
DAFTAR PUSTAKA-------------------------------------------------------------------------------16
LAPORAN KASUS--------------------------------------------------------------------------------17

BAB 1
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyebab utama penyakit kronis pada masa kanak-kanak,
menyebabkan kehilangan hari-hari sekolah yang berarti, karena penyakit kronis. Asma
merupakan diagnosis masuk yang paling sering di rumah sakit anak dan berakibat kehilangan
5-7 hari sekolah secara nasional.tahun/anak. Sebanyak 10-15% anak laki-laki dan 7-10%
anak wanita dapat menderita asma pada suatu saat selama masa kanak-kanak. Sebelum
pubertas sekitar dua kali anak laki-laki yang lebih banyak terkena daripada anak wanita,
setelah itu insidens menurut jenis kelamin sama. Asma dapat menyebabkan gangguan
psikososial pada keluarga.1
Dalam 30 tahun terakhir prevalensi asma terus meningkat terutama di negara maju.
Peningkatan terjadi juga di negara-negara Asia Pasifik seperti Indonesia. Studi di Asia Pasifik
baru-baru ini menunjukkan bahwa tingkat tidak masuk kerja akibat asma jauh lebih tinggi
dibandingkan dengan di Amerika Serikat dan Eropa. Hampir separuh dari seluruh pasien
asma pernah dirawat di rumah sakit dan melakukan kunjungan ke bagian gawat darurat setiap
tahunnya. Hal tersebut disebabkan manajemen dan pengobatan asma yang masih jauh dari
pedoman yang direkomendasikan Global Initiative for Asthma (GINA).2
Di Indonesia, prevalensi asma belum diketahui secara pasti. Hasil penelitian pada anak
sekolah usia 13-14 tahun dengan menggunakan kuesioner ISAAC (International Study on
Asthma and Allergy in Children) tahun 1995 melaporkan prevalensi asma sebesar 2,1%,
sedangkan pada tahun 2003 meningkat menjadi 5,2%. Hasil survey asma pada anak sekolah
di beberapa kota di Indonesia (Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang, Yogyakarta,
Malang dan Denpasar) menunjukkan prevalensi asma pada anak SD (6 sampai 12 tahun)
berkisar antara 3,7-6,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta Pusat sebesar 5,8%.
Berdasarkan gambaran tersebut, terlihat bahwa asma telah menjadi masalah kesehatan
masyarakat yang perlu mendapat perhatian serius.2

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Asma
Asma adalah gangguan inflamasi kronik saluran nafas yang melibatkan banyak sel dan
elemennya. Inflamasi kronik menyebabkan peningkatan hiperesponsif

jalan napas yang

menimbulkan gejala episodik berulang berupa mengi, sesak nafas, dada terasa berat dan
batuk-batuk terutama malam atau dini hari. Episodik tersebut berhubungan dengan obstruksi
jalan napas yang luas, bervariasi dan seringkali bersifat reversible dengan atau tanpa
pengobatan.3
2.2 Faktor Risiko Asma
Risiko berkembangnya asma merupakan interaksi antara faktor pejamu (host factor)
dan faktor lingkungan. Faktor pejamu disini termasuk predisposisi genetik yang
mempengaruhi untuk berkembangnya asma, yaitu genetik asma, alergik (atopi), hiperaktiviti
bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
kencenderungan/ presiposisi asma untuk berkembang menjadi asma, menyebabkan terjadinya
eksaserbasi dan atau menyebabkan gejala-gejala asma menetap. Termasuk dalam faktor
lingkungan yaitu allergen, sensitisasi lingkungan kerja, asap rokok, polusi udara, infeksi
pernapasan (virus), diet, status sosioekonomi dan besarnya keluarga.3
2.3 Patofisiologi Asma
Pencetus serangan asma dapat disebabkan oleh sejumlah faktor, antara lain alergen,
virus, dan iritan yang dapat menginduksi respons inflamasi akut. Asma dapat terjadi melalui 2
jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi
IgE, merupakan reaksi hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase
lambat. Reaksi alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE ab- normal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma alergi,
antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstisial paru, yang
berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang menghirup alergen,
terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat. Alergen kemudian berikatan
dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan menyebabkan sel ini berdegranulasi
mengeluarkan berbagai macam mediator. Beberapa mediator yang dikeluarkan adalah
histamin, leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin. Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam lumen
2

bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan inflamasi saluran
napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas terjadi segera yaitu 10-15 menit
setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang terjadi merupakan respons terhadap mediator
sel mast terutama histamin yang bekerja langsung pada otot polos bronkus.
Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah 6-8 jam pajanan allergen dan bertahan selama
16--24 jam, bahkan kadang-kadang sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti
eosinofil, sel T, sel mast dan Antigen Presenting Cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam
patogenesis asma.2
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast intralumen,
makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran napas. Peregangan vagal
menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast
dan makrofag akan membuat epitel jalan napas lebih permeabel dan memudahkan alergen
masuk ke dalam submukosa, sehingga meningkatkan reaksi yang terjadi. Kerusakan epitel
bronkus oleh mediator yang dilepaskan pada beberapa keadaan reaksi asma dapat terjadi
tanpa melibatkan sel mast misalnya pada hiperventilasi, inhalasi udara dingin, asap, kabut
dan SO2. Pada keadaan tersebut reaksi asma terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen
vagal mukosa yang terangsa menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P,
neurokinin A dan Calcitonin Gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang
menyebabkan terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi
lendir, dan aktivasi sel-sel inflamasi.2
Hipereaktivitas bronkus merupakan ciri khas asma, besarnya hipereaktivitas bronkus
tersebut dapat diukur secara tidak langsung, yang merupakan parameter objektif beratnya
hipereaktivitas bronkus. Berbagai cara digunakan untuk mengukur hipereaktivitas bronkus
tersebut, antara lain dengan uji provokasi beban kerja, inhalasi udara dingin, inhalasi antigen,
maupun inhalasi zat nonspesifik.2
2.4 Manifestasi Klinik
Tanda-tanda dan gejala-gejala asma adalah batuk, yang kedengarannya lengeket dan
batuk yang nonproduktif pada awal perjalanan serangan, mengi, takipnea, dan dispneu
dengan ekspirasi panjang serta menggunakan otot-otot pernapasan tambahan, sianosis,
hiperinflasi dada, takikardi dan pulsus paradoksus, yang mungkin dijumpai pada berbagai
tingkat, tergantung pada stadium dan keparahan serangan.1

2.5 Diagnosis Asma


1. Anamnesis
Seorang anak dikatakan menderita serangan asma apabila didapatkan gejala batuk dan
atau mengi yang memburuk dan progresif. Selain keluhan batu, dijumpai sesak nafas dari
ringan sampai berat. Pada serangan asma, gejala yang timbul bergantung pada derajat
serangannya. Pada serangan ringan, gejala yang timbul tidak terlalu berat. Pasien masih
lancer berbicara dan aktivitasnya tidak terganggu. Pada serangan sedang, gejala bertambah
berat. Anak sulit mengungkapkan kalimat. Pada serangan asma berat, gejala sesak dan
sianosis dapat dijumpai, pasien berbicara terputus-putus saat mengucapkan kata-kata.4
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala dan tanda serangan asma pada anak tergantung derajat serangannya. Pada
serangan ringan, anak masih aktif, dapat berbicara lancer, tidak dijumpai adanya retraksi baik
di sela iga maupun epigastrium. Frekuensi napas masih dalam batas normal. pada serangan
sedang dan berat dapat dijumpai adanya wheezing terutama saat ekspirasi, retraksi dan
peningkatan frekuensi napas dan denyut nadi, bahkan dapat dijumpai sianosis.4
Deformitas dada seperti tong merupakan tanda penyumbatan jalan napas asma berat
yang kronis dan terus menerus. Sulkus harison, depresi anteriorlateral toraks pada insersi
diafragma, mungkin ditemukan pada anak dengan retraksi berat yang berulang. 1
3. Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah analisis gas
darah (AGD) dan foto rontgen toraks proyeksi anterior posterior (AP). Pada AGD dapat
dijumpai peningkatan PCO2 dan rendahnya pO2 (hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain
yang diperlukan adalah uji fungsi paru bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini
dapat ditemukan adanya penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal. Uji alergi kulit
dan URAS (uji radioalergosorben) atau penentuan Ig E spesifik secara in vitro lainnya,
berguna dalam mengenali allergen lingkungan yang secara potensial penting.1,4

Tabel 1. Penilaian derajat serangan Asma


Parameter klinis, Ringan
fungsi

Sedang

Berat

Ancaman

paru,

Henti napas

laboratorium
Sesak
timbul Berjalan
pada

Berbicara

Istirahat

saat Bayi: menangis Bayi:

(breathless)

berat

-Tangis

Bayi: berhenti
pendek

dan makan

lemah
Bicara
Posisi

Kalimat
Bisa berbaring

-Kesulitan makan
Penggal kalimat
Lebih suka duduk

Kata-kata
Duduk
bertopang

Kesadaran

Mungkin

Sianosis
Mengi

irritable
Tidak ada
Tidak ada
Sedang, sering Nyaring,
hanya

Biasanya irritable

lengan
Biasanya

irritable
Ada
sepanjang Sangat

pada ekspirasi inspirasi

akhir ekspirasi

Kebingungan
Nyata
Sulit/tidak

nyaring,

terdengar

terdengar
tanpa

Sesak napas
Otot bantu napas

Minimal
Biasanya tidak

stetoskop
Berat
Ya

Sedang
Biasanya ya

Gerakan
paradok
torako-

Retraksi

Dangkal,

Sedang,

retraksi

retraksi suprasternal

abdominal
Dangkal/hilang

ditambah Dalam,
ditambah

interkostal

napas

cuping

Laju napas
Pulsus

Meningkat
Meningkat
Tidak ada < 10 Ada 10-20 mmHg

hidung
Meningkat
Menurun
Ada > 20 Tidak
ada,

paradoksus

mmHg

mmHg

tanda
kelelahan otot
napas

FEV1
-Pra b.dilator

>60%

40-60%

<40%
5

-pasca b.dilator

>80%

60-80%

<60% respon <

SaO2
PaO2
PaCO2

>95%
Normal
<45 mmHg

91-95%
>60 mmHg
<45 mmHg

2 jam
90%
<60 mmHg
>45 mmHg

Tabel 2. Klasifikasi Derajat Penyakit Asma pada Anak


Parameter

klinis, Asma

episodik Asma episodik sering Asma persisten

kebutuhan obat dan jarang


faal paru
Frekuensi serangan

< 1 x/bulan

1 x/bulan

Sering

Lama serangan

< 1 minggu

> 1 minggu

sepanjang
hampir

Intensitas serangan
Di antara serangan

Biasanya ringan
Tanpa gejala

Biasanya sedang
Sering ada gejala

hampir
tahun,

tidak

ada

remisi
Biasanya berat
Gejala siang

dan

malam
Tidur dan aktivitas
Tidak terganggu
Sering terganggu
Sangat terganggu
Pemeriksaan fisik di Normal
(tidak Mungkin terganggu Tidak pernah normal
luar serangan
ditemukan kelainan)
Obat
pengendali Tidak perlu

(ditemukan kelainan)
Perlu, steroid

Perlu, steroid

(anti inflamasi
Uji Faal paru (di PEF/FEV1 > 80%

PEF/FEV1 60-80%

PEF/FEV1 < 60%

Variabilitas > 30%

variabilitas 20-30%
Variabilitas > 50%

luar serangan)
Variabilitas

faal Variabilitas > 15%

paru

2.6 Diagnosis Banding


Kebanyakan anak menderita episode batuk dan mengi berulang menderita asma.
Penyebab lain penyumbatan jalan napas adalah malformasi kongenital (sistem pernapasan,
kardiovaskuler, atau gastrointestinal), benda asing pada jalan napas atau esophagus,
bonkiolitis infeksius, ksitik fibrosis, penyakit defisiensi imunologis, pneumonisitis
hipersensitivitas, aspergilosis bronkopulmonal alregika, dan berbagai keadaan lebih jarang
yang menganggu jalan napas, termasuk tuberkulosis endobronkial, penyakit jamur, dan
adenoma bronkus.1
6

2.7 Tatalaksana Asma


a. Tatalaksana serangan
Penanganan awal terhadap pasien adalah pemberian beta-agonis secara nebulisasi.
Garam fisiologis dan mukolitik dapat ditambahkan dalam cairan nebulisasi. Nebulisasi serupa
dapat diulang dua kali dengan selang 20 menit. Pada pemberian ketiga dapat ditambahkan
obat antikolinergik. Penanganan awal ini sekaligus dapat berfungsi sebagai penapis yaitu
untuk penentuan derajat serangan, karena penilaian derajat secara klinis tidak selalu dapat
dilakukan dengan cepat dan jelas. Jika menurut penilaian awal pasien datang jelas dalam
serangan berat, langsung berikan nebulisasi beta agonis dikombinasikan dengan
antikolinergik. Pasien dengan serangan berat yang disertai dehidrasi dan asidosis metabolik,
mungkin akan mengalami takifilaksis atau refrakter, yaitu respons yang kurang baik terhadap
nebulisasi beta-agonis. Pasien seperti ini cukup dinebulisasi sekali saja kemudian secepatnya
dirawat untuk mendapatkan obat intravena, selain diatasi masalah dehidrasi dan asidosisnya.5
Serangan ringan
Jika dengan sekali nebulisasi pasien menunjukkan respons yang baik (complete
response), berarti derajat serangannya ringan. Pasien diobservasi selama 1-2 jam, jika respons
tersebut bertahan, pasien dapat dipulangkan. Pasien dibekali obat beta-agonis (hirupan atau
oral) yang diberikan tiap 4-6 jam. Jika pencetus serangannya adalah infeksi virus, dapat
ditambahkan steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Pasien kemudian dianjurkan kontrol ke
Klinik Rawat Jalan dalam waktu 24-48 jam untuk reevaluasi tatalaksananya. Selain itu jika
sebelummserangan pasien sudah mendapat obat pengendali, obat tersebut diteruskan hingga
reevaluasi di Klinik Rawat Jalan. Namun jika setelah observasi 2 jam gejala timbul kembali,
pasien diperlakukan sebagai serangan sedang. 5

Serangan sedang
Jika dengan pemberian nebulisasi dua atau tiga kali, pasien hanya menunjukkan
respons parsial (incomplete response), kemungkinan derajat serangannya sedang. Untuk itu
perlu dinilai ulang derajatnya sesuai pedoman di depan. Jika serangannya memang termasuk
serangan sedang, pasien perlu diobservasi dan ditangani di Ruang Rawat Sehari (RRS).
Walaupun mungkin tidak diperlukan, namun untuk persiapan keadaan darurat, maka sejak di
IGD pasien yang akan diobservasi di RRS langsung dipasangi jalur parenteral. 5
Serangan berat
7

Bila dengan 3 kali nebulisasi berturut-turut pasien tidak menunjukkan respons (poor
response), yaitu gejala dan tanda serangan masih ada (penilaian ulang sesuai pedoman), maka
pasien harus dirawat di Ruang Rawat Inap. Oksigen 2-4L/menit diberikan sejak awal
termasuk saat nebulisasi. Pasang jalur parenteral dan lakukan foto toraks. Jika sejak penilaian
awal pasien mengalami serangan berat, nebulisasi cukup diberikan sekali langsung dengan
beta-agonis dan antikolinergik. Sedangkan bila pasien menunjukkan gejala dan tanda
ancaman henti napas, pasien harus langsung dirawat di Ruang Rawat Intensif. Untuk pasien
dengan serangan berat dan ancaman henti napas, langsung dibuat foto rontgen toraks guna
mendeteksi komplikasi pneumotoraks dan/atau pneumomediastinum. 5

Gambar 1 alur tatalaksana serangan asma anak


b. Tatalaksana Jangka Panjang
Asma episodik jarang (asma ringan)
Asma episodik jarang cukup diobati dengan bronkodilator beta-agonis hirupan kerja
pendek bila perlu saja, yaitu jika ada gejala/serangan.2 Anjuran ini tidak mudah dilakukan
berhubung obat tersebut mahal dan tidak selalu tersedia di semua daerah. Di samping itu
pemakaian obat hirupan (metered dose inhaler) memerlukan pelatihan yang benar (untuk
8

anak besar), dan membutuhkan alat bantu (untuk anak kecil/bayi) yang juga tidak selalu ada
dan mahal harganya.Bila obat hirupan tidak ada/tidak dapat digunakan maka beta-agonis
diberikan peroral. Sebenarnya kecenderungan saat ini teofilin makin kurang perannya dalam
tata laksana asma karena batas keamanannya sempit. 5
Asma episodik sering (asma sedang)
Jika penggunaan beta-agonis hirupan sudah lebih dari 3x perminggu (tanpa menghitung
penggunaan praktivitas fisis), atau serangan sedang/berat terjadi lebih dari sekali dalam
sebulan, maka penggunaan anti inflamasi sebagai pengendali sudah terindikasi. Anti
inflamasi lapis pertama yang digunakan adalah kromoglikat, dengan dosis minimal 10 mg 3-4
kali perhari. Obat ini diberikan selama 6-8 minggu, kemudian dievaluasi hasilnya. Jika asma
sudah terkendali, pemberian kromoglikat dapat dikurangi menjadi 2-3 kali perhari. Sampai
sekarang, obat ini tetap paling aman untuk pengendalian asma anak, dan efek sampingnya
ringan, yaitu sesekali menyebabkan batuk. Nedokromil merupakan obat satu golongan
dengan kromoglikat yang lebih poten dan tidak menyebabkan batuk. 5
Asma persisten (asma berat)
Jika setelah 6-8 minggu kromoglikat gagal mengendalikan gejala, dan beta-agonis
hirupan tetap diperlukan >3x tiap minggu maka berarti asmanya termasuk berat. Sebagai
obat pengendali pilihan berikutnya adalah obat steroid hirupan. Cara pemberian steroid
hirupan apakah dari dosis tinggi ke rendah selama gejala masih terkendali, atau sebaliknya
dari dosis rendah ke tinggi hingga gejala dapat dikendalikan, tergantung pada kasusnya.
Dalam keadaan tertentu, khususnya pada anak dengan penyakit berat, dianjurkan untuk
menggunakan dosis tinggi dahulu, disertai steroid oral jangka pendek (3-5 hari). Selanjutnya
dosis steroid hirupan diturunkan sampai optimal. Steroid hirupan biasanya efektif dengan
dosis rendah. Dalam penggunaan beklometason atau budesonid dengan dosis 200 mg/hari,
belum pernah dilaporkan adanya efek samping jangka panjang. Dosis yang masih dianggap
aman adalah 400 mg/hari. Di atas itu dilaporkan adanya pengaruh sistemik minimal,
sedangkan dengan dosis 800 mg/hari agaknya mulai berpengaruh terhadap poros
hipotalamus-hipofisis- adrenal sehingga dapat berdampak terhadap pertumbuhan. Setelah
dengan pemberian steroid hirupan dicapai fungsi paru yang optimal atau klinis perbaikan
yang mantap selama 1-2 bulan, maka dosis steroid dapat dikurangi bertahap sehingga dicapai
dosis terkecil yang masih bisa mengendalikan asmanya. Sementara itu penggunaan betaagonis sebagai obat pereda tetap diteruskan. 5
Asma sangat berat
9

Bila dengan terapi di atas selama 6-8 minggu asmanya tetap belum terkendali maka
pasien dianggap menderita Asma sangat berat (bagian dari Asma persisten). Penggunaan
beta-agonis (kerja pendek) hirupan >3x sehari secara teratur dan terus menerus diduga
mempunyai peran dalam peningkatan morbiditas dan mortalitas asma. Tetapi jika dengan
steroid hirupan dosis sedang (400- 600 mg/hari) asmanya belum terkendali, maka perlu
dipertimbangkan tambahan pemberian beta-agonis kerja panjang, atau beta-agonis lepas
terkendali, atau teofilin lepas lambat.
Jika dengan penambahan obat tersebut asmanya tetap belum terkendali, obat tersebut
diteruskan dan dosis steroid hirupan dinaikkan, bahkan mungkin perlu diberikan steroid oral.
Langkah ini diambil hanya bila bahaya dari asmanya lebih besar daripada bahaya efek
samping obat. Untuk steroid oral sebagai dosis awal dapat diberikan 1-2 mg/kgBB/hari. Dosis
kemudian diturunkan sampai dosis terkecil yang diberikan selang hari pada pagi hari. 5

Gambar 2 Alur tatalaksana jangka panjang asma anak

10

Gambar 3. Obat asma jangka panjang


c. Terapi medikamentosa
1. bronkodilator
Beta adrenergic kerja pendek
Golongan obat ini terdiri dari epinefrin/adrenalin dan beta2 agonis selektif
Epinefrin/adrenalin : pada umumnya, epinefrin tidak direkomendasikan lagi
untuk mengobati serangan asma, kecuali jika tidak ada obat beta 2 agonis
selektif. Epinefrin diberikan terutama diberikan jika ada reaksi anafilatik atau
angioedema. Obat ini dapat diberikan secara subkutan atau inhalasi aerosol.
Pemberian subkutan adalah sebagai berikut: larutan epinefrin 1:1000 (1mg/ml),
dengan dosis 0,01 ml/kgbb (maksimum 0,3 ml), dapat diberikan sebanyak 3
kali, dengan selang waktu 20 menit. Mula kerja adrenalin subkutan adalah 5-15
menit, efek puncaknya 30-120 menit, durasi efek 2-3 jam. Inhalasi racemic
ephineprine 2,25% aerosol dapat diberikan dengan nebulizer.
Beta 2 agonis selektif : pemberian inhalasi (inhaler/nebulizer) memiliki onset
kerja yang lebih cepat 1 menit, efek puncak dicapai dalam 10 menit, dan lama
kerjanya 4-6 jam. Salbutamol dapat diberikan nebulizer dengan dosis 0,1-0,5
mg/kgbb (dosis maksimum 5 mg/kali), dengan interval 20 menit, atau nebulisasi
secara kontinu dengan dosis 0,3-0,5 mg/kgbb/jam (dosis maksimum 15
11

mg/jam). Nebulisasi terbutalin dapat diberikan dengan dosis 2,5 mg atau 1


respules/nebulisasi.
Methyl xanthine (teofilin kerja cepat)
Dosis aminofillin intravena jika pasien belum mendapat aminofillin sebelumnya
dosis awal (inisial) sebesar 6-8 mg/kgbb dilarutkan dalam 20 ml dekstrosa 5% atau
garam fisiologis, diberikan dalam 20-30 menit. Jika pasien sudah mendapat
aminofilin kurang dari 12 jam sebelumnya, dosis diberikan setengahnya. Selanjutnya
aminofilin diberikan dengan dosis rumatan, yaitu 0,5-1 mg/kgbb/jam. Dosis
maksimal

aminofilin

16-20

mg/kgbb/hari.

Karena

farmakokinetik

teofilin

dipengaruhi oleh usia pasien, dosis awal aminofilin berbeda-beda sesuai dengan
dosis usia:
Usia 1-6 bulan : 0,5 mg/kgbb/jam
Usia 6-11 bulan: 1,0 mg/kgbb/jam
Usia 1-9 tahun : 1,2-1,5 mg/kgbb/jam
Usia > 10 tahun : 0,9 mg/kgbb/jam
Antikolinergik
Ipratropium bromide
Dosis dianjurkan adalah 0,1ml/kgbb, nebulisasi setiap 4 jam. Dapat juga diberikan
dalam larutan 0,025% dengan dosis sebagai berikut: untuk usia > 6 tahun 8-20 tetes;
usia < 6 tahun 4-10 tetes
Kortikosteroid
Preparat oral yang dipakai adalah prednisone, prednisolon, atau traimsinolon dengan
dosis 1-2 mg/kgbb/hari diberikan 2-3 kali sehari selama 3-5 hari. Kortikosteroid
intravena diberikan pada kasus asma yang dirawat di rumah sakit. Metil prednisolon
merupakan pilihan utama karena memiliki kemampuan penetrasi ke jaringan paru
yang lebih baik, efek anti inflamasi yang lebih besar, serta efek mineralokortikoid
yang minimal. Dosis metil prednisolon IV yang dianjurkan adalah 1 mg/kgbb,
diberikan setiap 4-6 jam. Hidrokortison IV diberikan dengan dosis 4 mg/kgbb setiap
4-6 jam. Deksametason diberikan secara bolus intravena, dengan dosis - 1
mg/kgbb, dilanjutkan 1 mg/kgbb/hari, diberikan setiap 6-8 jam.
Obat-obat lain
Magnesium sulfat : dosis yang diberikan 25-50 mg/kgbb IV, diberikan selama 1
jam. Kadar magnesium serum sebaiknya diperiksa setiap 6 jam, infuse magnesium
harus dititrasi untuk menjaga agar kadar di dalam darah tetap sebesar 3,5-4,5
mEq/dl.
Mukolitik

: inhalasi obat mukolitik tidak menunjukkan kegunaan dalam

menangani serangan asma, pada serangan asma berat bahkan bisa memperberat
batuk dan menghambat aliran napas.
12

Antibiotik

: pada keadaan tertentu, antibiotika dapat diberikan, yaitu pada

infeksi respiratorik yang dicurigai disebabkan oleh bakteri, seperti adanya tandatanda pneumonia, sputum yang purulen, serta jika diduga ada rinosinusitis yang
menyertai asma.
Obat sedasi

: pemberian obat sedasi pada serangan asma sangat tidak

dianjurkan karena dapat menekan/mendepresi pernapasan.


Antihistamin
: antihistamin jangan diberikan pada serangan asma karena
tidak mempunyai efek yang menguntungkan, bahkan dapat memperburuk keadaan
karena dapat memperkental sputum.6
2.8 Pencegahan Asma
a. Mencegah Sensititasi
Cara-cara mencegah asma berupa pencegahan sensitisasi alergi (terjadinya atopi,
diduga paling relevan pada masa prenatal dan perinatal) atau pencegahan terjadinya asma
pada individu yang disensitisasi. Selain menghindari pajanan dengan asap rokok, baik in
utero atau setelah lahir, tidak ada bukti intervensi yang dapat mencegah perkembangan asma.
Hipotesis higiene untuk mengarahkan sistem imun bayi kearah Th1, respons nonalergi atau
modulasi sel T regulator masih merupakan hipotesis.2
b. Mencegah Eksaserbasi
Eksaserbasi asma dapat ditimbulkan berbagai faktor (trigger) seperti alergen (indoor
seperti tungau debu rumah, hewan berbulu, kecoa, dan jamur, alergen outdoor seperti polen,
jamur, infeksi virus, polutan dan obat. Mengurangi pajanan penderita dengan beberapa faktor
seperti menghentikan merokok, menghindari asap rokok, lingkungan kerja, makanan, aditif,
obat yang menimbulkan gejala dapat memperbaiki kontrol asma serta keperluan obat. Tetapi
biasanya penderita bereaksi terhadap banyak faktor lingkungan sehingga usaha menghindari
alergen sulit untuk dilakukan. Hal-hal lain yang harus pula dihindari adalah polutan indoor
dan outdoor, makanan dan aditif, obesitas, emosi-stres dan berbagai faktor lainnya.2
BAB 3
KESIMPULAN
Asma merupakan penyakit respiratorik kronis yang ditandai adanya proses inflamasi
yang disertai proses remodeling. Prevalensi asma meningkat dari waktu ke waktu yang
berhubungan dengan pola hidup dan polusi. Klasifikasi asma adalah asma episodik jarang,
asma episodik sering, dan asma persisten. Pada asma episodik jarang hanya diberikan obat
reliever saja tanpa controller, sedangkan pada asma episodik sering dan persisten diperlukan
13

terapi jangka panjang (controller). Pada terapi jangka panjang setelah diberikan
kortikosteroid dosis rendah kurang memuaskan dapat diberikan terapi kombinasi
kortiksteroid dosis rendah dan LABA, atau TSR, atau antileukotrien. Terapi kombinasi
tersebut dapat memperbaiki uji fungsi paru, gejala asma, dan aktivitas sehari-hari yang pada
akhirnya

meningkatkan kualitas hidup anak asma. Dengan kombinasi di atas, dosis

kortikosteroid dapat diturunkan sehingga efek samping terhadap tumbuh kembang anak dapat
dikurangi. Terapi kombinasi tersebut merupakan suatu harapan baru dalam tatalaksana asma.7

DAFTAR PUSTAKA
1. Behrman R.E., Kliegman R.M., Arvin A.M., 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson. Vol
1. 15th ed. Jakarta:EGC.Hal: 775-90.
2. Rengganis I., 2008. Diagnosis dan Tatalaksana Asma Bronkial. Departemen Ilmu
Penyakit Dalam, FK UI/RSCM, Jakarta. Maj Kedokteran Indonesia. Volume: 58.
No.11, Nopember 2008. Hal:445-51.
3. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia., 2011. Asma. Jakarta:PDPI
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia., 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. 1st
ed. Jakarta. Hal: 335-47.
14

5. Ikatan Dokter Anak Indonesia., 2000. Konsesus Nasional Asma Anak. Sari Pediatri,
Vol. 2, No.1, Juni 2000. Hal: 50-65.
6. Rahajoe N.N., Supriyatno B., Setyanto D.B., 2010. Buku Ajar Respirologi Anak. 1st
ed. Cetakan kedua. Jakarta: Badan Penerbit IDAI.hal : 71-160.
7. Supriyatno B., 2005. Diagnosis dan Penatalaksanaan Terkini Asma pada Anak.
Departemen Ilmu Kesehatan Anak, FK UI/RSCM, Jakarta. Maj Kedokteran
Indonesia, Volume: 55, No.3, Maret 2005. Hal: 237-41.

LAPORAN KASUS
STATUS PASIEN
1. Anamnesa Pribadi Os
Nama
: Ade Lisma
Umur
: 7 tahun
Jenis Kelamin
: perempuan
Agama
: Islam
Alamat
: Jln. Medan Batang Kuis Pasar IX Tembung
Berat Badan Masuk : 20 Kg
Tinggi Badan
: 115 cm
Tanggal Masuk
: 14 April 2015
2. Anamnesa Mengenai Orang Tua Os
Ayah
ibu
15

Nama

sadeli

Yus Heni

Umur

45 tahun

48 tahun

Pendidikan

SMP

SMEA

Pekerjaan

pegawai swasta

IRT

Perkawinan

menikah

menikah

Penyakit

tidak ada

tidak ada

Alamat

Jln. Medan Batang Kuis Pasar IX Tembung

3. Riwayat Kelahiran Os
Tanggal lahir
:
6 Maret 2008
Cara Lahir
:
Persalinan spontan
Tempat Lahir
:
klinik bidan
Berat Badan Lahir
:
3800 gram
Pajang badan lahir
:
50 cm
Ditolong oleh
:
bidan
Keadaan bayi saat lahir:
sehat
4. Perkembangan Fisik
Usia pada 7 bulan
: merangkak
Usia 9 bulan
: mampu berdiri
Usia 3-4 tahun
: baru bisa ngomong tapi vocal kurang jelas
5. Imunisasi
a. BCG
: 1 kali
b. DPT
: 3 kali
c. Polio
: 4 kali
d. Hepatitis B: 3 kali
e. Campak : 1 kali
Kesan : lengkap
6. Penyakit pernah diderita
Riwayat kejang demam pada usia 1 tahun 3 bulan hingga os koma selama
kurang lebih 3 hari
Os pernah riwayat TBC pada usia 1 tahun 5 bulan dan sembuh 6 bulan
7. Keterangan mengenai saudara Os
Tidak memliki riwayat yang sama dengan os, dan dalam keadaan sehat dan hidup
8. Anamnesa Penyakit
1. Keluhan utama : Sesak nafas
2. Telaah
: os datang ke RSHM pada tanggal 14 April 2015 dengan
keluhan sesak nafas. Sesak nafas dirasakan os memperberat sejak pagi pada pukul
08.00 wib. Sesak nafas disertai adanya suara mengi (+). Sebelumnya selama 1
bulan ini os merasakan sesak nafas. Sesak nafas hilang timbul dan tidak begitu
berat. Os juga mengeluhkan adanya batuk, batuknya hilang timbul, batuk tidak
berdahak, darah (-), dan demam (-)
Pada satu minggu yang lalu os berobat ke poli RSHM dan dilakukan pemeriksaan
test mantoux dengan hasilnya positif
16

RPO

: Pengobatan OAT pada usia 1 tahun 5 bulan, saat ini OAT

lanjut pengobatan
RPT

Riwayat kejang demam pada usia 1 tahun 3 bulan hingga os koma selama
kurang lebih 3 hari
Os pernah riwayat TBC pada usia 1 tahun 5 bulan dan sembuh 6 bulan
9. Pemeriksaan Fisik
1. Status present
Keadaan Umum
Sensorium
Frekuensi Nadi
Frekuensi Nafas
Temperatur
BB Masuk
Tinggi Badan
Keterangan

: Baik
: compos mentis
: 100 x/I, regular
: 28 x/I, rehuler
: 36,6 0C
: 20 kg
: 115 cm
: berdasarkan CDC 80% Gizi sedang.

Anemis
: -/Iktreus
: -/Dispnoe : +
Edema
: -/Sianosis : 2. Status lokalisata
a. Kulit
: dalam batas normal
b. Kepala
o Rambut
: hitam, mudah rontok
o Mata
: refleks cahaya (-/-), pupil iskor ka=ki
o Hidung
: pernafasan cuping hidung (-), sekret (-), sianosis
sekitar hidung (-)
o Telinga
: serumen (-), sekret (-)
o Mulut
: mukosa bibir basah, sianosis sekitar mulut (-)
c. Leher : pembesaran KGB (-), Kaku kuduk (-)
d. Toraks
Inspeksi : simetris fusiformis, retraksi (-)
Palpasi
:vocal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor di semua lapangan paru
Auskultasi : suara nafas vesikuler dengan ekspirasi memanjang, wheezing
(+/+), ronchi (+/+), bunyi jantung I dan II normal, murmur (-).
e. Abdomen
Inspeksi : bentuk soepel, simetris, datar, scar (-)
Palpasi
: soepel, tidak ada nyeri tekan, hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : timpani
Auskultasi : bising usus normal
f. Ekstremitas
Superior : pols : 100 x/menit, regular. Atrofi otot (-), oedem (-)
Refleks fisiologis:
17

Refleks bicep dan triceps dextra (-)


Refleks bicep dan triceps sinistra (+)

Inferior

: oedema (-)
Atrofi otot (-)
Refleks fisiologi
1. Refleks KPR dan APR dextra (-)
2. Refleks KPR dan APR sinistra (+)

10. Pemeriksaan khusus


1. Mantoux test
: positif dilakukan pemeriksaan satu minggu yang lalu
2. Radiologi
:
Masih terlihat infiltrate, berkurang dibanding foto lama
Kesan : perbaikan
11. Pemeriksaan laboratorium
Darah
Pada tanggal 09 Februari 2015
Darah rutin
Hb
: 12,3 g/dl
Eirtosit : 5,0 10^6 l
Leukosit: 10.500
Ht
: 37,2
Trombosit : 270.000
Index eritrosit

MCV : 75,2
MCH : 24,8
MCHC : 33,0

Jenis Leukosit

Eosinofil : 2
Basofil : 0
N.stab : 0
N. seg : 54
Limfosit : 36
Monosit : 8
Urin : tidak dilakukan pemeriksaan
Feses: tidak dilakukan pemeriksaan
12. Diagnosa banding:
Asma bronchial
TB
Bronkopneumoni
Bronkiolitis
13. Diagnosa kerja
: asma bronchial
14. Terapi :
IVFD RL 20 gtt/i
Injeksi deksametason ampul/8 jam
18

Nebulizer ventolin 1 nebul + NaCl 0,9% 2,5 cc/8 jam


Ambroxol syrup 3x1
Salbutamol syrup 3x1
FOLLOW UP

Tanggal

15 April 2015

Batuk (+), sesak nafas

Kesan: tampak sakit sedang


Kesadaran: Compos Mentis
HR : 120x/mnt
S: 36,80 C
P: 28 x/menit
BB: 20 kg
Ekspirasi memanjang, wheezing (+/+), ronki kering (+/+)

Asma bronkial

Tanggal

16 April 2015

Batuk (+), sesak nafas berkurang

KU : Tampak sakit ringan


Kesadaran: Compos Mentis
HR : 120 x/mnt
S: 36,5C
P: 24 x/menit
BB: 20 kg

Asma bronchial

Ventolin
Rencana fisioterapi
Diet: makanan biasa

Tanggal

17 April 2015

KU : Tampak sakit ringan


Kesadaran: Compos Mentis
HR : 120x/mnt
19

S: 36,6C
P: 24x/menit
BB: 20 kg
A

Asma bronchial
IVFD RL 20 gtt/I
Injeksi deksametason ampul/8 jam
Nebulizer ventolin 1 nebul + NaCl 0,9% 2,5 cc/8 jam
Ambroxol syrup 3x1
Salbutamol syrup 3x1
- Diet : Makanan biasa

Tanggal

18/april/2015

Batuk berkurang, sesak nafas berkurang

KU : Tampak sehat
Kesadaran: Compos Mentis
HR : 100x/mnt
S: 36C
P: 24x/menit
BB: 20 kg

Asma bronchial

P
-

Makan makanan bergizi, sesuai dengan porsi

Tanggal

19 April 2015

Batuk

KU : Tampak sehat
Kesadaran: Compos Mentis
HR : 120x/mnt
S: 36,50 C
P: 24x/menit
BB: 20 kg

Asma bronchial

Makan makanan bergizi, sesuai dengan porsi

20

Tanggal

20 April 2015

Batuk

KU : Tampak sehat
Kesadaran: Compos Mentis
HR : 120x/mnt
S: 36,50 C
P: 24x/menit
BB: 20 kg

Asma bronchial

Pasien dipulangkan
Orangtuanya diberikan edukasi

21

Nama

:ADE LISMA

Usia

: 7 tahun

Berat Badan

: 20 kg

Tinggi Badan : 115 cm

22

Anda mungkin juga menyukai