Anda di halaman 1dari 3

Peran Bahasa dalam Berbudaya bagi Indonesia

Oleh: Intan Kusumawardhani


Apa jadinya jika generasi muda Indonesia bermental ikut-ikutan; berani karena temantemannya berani, mundur karena teman-temannya mundur? Bisa sangat disayangkan jika
pemuda Indonesia yang terkenal dengan kegigihannya dalam menanggung setumpuk mata
pelajaran saat SD, SMP, SMA, menjadi individu yang bahkan tidak tahu untuk apa sejatinya
belajar, tanggung jawab, dan hal-hal penting lainnya. Krisis identitas sedang melanda.
Ciyus? Miapah?
Krisis Identitas dan Ciri-cirinya
Segelintir istilah pada penutup paragraf di atas memang sekilas tampak keren,
meskipun tidak diketahui secara pasti hal ihwal pembentukan kata-kata tersebut. Namun
demikian, istilah asing itu cepat sekali merebak pada lingkungan sekitar. Diakui atau tidak,
pemuda Indonesia sekarang dapat dikatakan sebagai generasi ikut-ikutan. Mulai dari pola
bertutur dalam lingkungan masyarakat, cara berSMS, menulis singkatan, hingga mengupdate status di jejaring sosial, remaja saat ini cenderung meninggalkan siapa jati diri kita
sebenarnya.
Banyak yang berasumsi bahwa dengan meng-update status dengan format serius,
maka individu yang memposting status itu juga di cap sebagai orang yang serius. Yang
memposting dengan bijaksana, maka dianggap sebagai orang yang bijaksana. Yang
memposting dengan kata-kata kotor, berarti orangnya juga kotor (ups).
Lalu, kemana kita yang sebenarnya? Jawabannya hanya satu: tersembunyi di dalam
ketidakpercayaan atas diri kita sendiri, bahwa tiap individu dianugerahi kelebihan-kelebihan
yang berbeda dan istimewa. Bahwasanya potensi tersebut bersembunyi dibalik tren
masyarakat yang lebih akrab dikoar-koarkan oleh bintang iklan, pemain sinetron, dsb.
Karakter tiap individu akhirnya terpoles oleh avatar-avatar dengan title keren yang
dikampanyekan pegiat seni di media. Jadilah pemuda yang sekarang, tidak sadar siapa
dirinya, apa kewajibannya, dan bagaimana seharusnya bersikap di lingkungan yang seperti
apa.
Penggunaan Bahasa Mempengaruhi Budaya
Disadari atau tidak, bahasa dan budaya saling berkaitan satu sama lain. Sebagai
contoh perbandingan kekayaan bahasa jawa dengan bahasa inggris. Jawa dengan kekayaan
bahasa yang berstrata menunjukkan adanya tingkat kesopanan dalam bertutur kepada lawan
bicara. Contohnya, memakai bahasa Jawa halus untuk berbicara pada yang lebih tua dan
memakai bahasa Jawa standar untuk berbicara dengan yang seumuran atau yang lebih muda.
Lain halnya dengan bahasa Inggris dimana penyebutan kata you ditujukan kepada semua
pihak. Dalam hal ini, budaya dan tingkah laku masyarakat dapat terlihat.
Bagaimana dengan lahirnya istilah-istilah baru? Tentunya secara tidak langsung akan
membentuk budaya baru, pun kepribadiannya. Budaya untuk terkesan galau dalam
menghadapi masalah, lebih cuek (terkait dengan penggunaan istilah terus gue harus bilang
wow gitu?), ataupun budaya lepas tangan atau cenderung tidak peka terhadap lingkungan
sekitar (terkait dengan istilah Masalah buat loe?), dan ironisnya, tren kata-kata tersebut
semakin popular digunakan remaja saat ini. Entah sebagai trendsetter maupun follower, yang
jelas, merebaknya kata-kata itu turut mempengaruhi kepribadian dan pola pikir masyarakat.
1

Menurut ahli kejiwaan


Masa remaja adalah masa pencarian jati diri. Banyak sekali eksperimen yang
dilakukan untuk terlihat lebih keren. Contohnya, beberapa orang memang terlihat imut saat
memplesetkan ungkapan serius, demi apa menjadi ciyus, miapah. Karena terlihat keren,
maka banyak yang ikut-ikutan dan sekarang mudah sekali menemukan orang berkata ciyus
miapah di berbagai tempat. Beberapa saat yang lalu, ungkapan Alhamdulillah yah,
sesuatuuh.., prikitieww juga sempat booming di dunia remaja.
Kecenderungan untuk ikut-ikutan, kadang tanpa tahu maknanya, sering dilabeli
dengan istilah alay yang konon merupakan singkatan dari anak layangan. Sama seperti
ciyus miapah, sebenarnya istilah alay sendiri juga produk ikut-ikutan karena tidak jelas apa
maknanya.
Terkait hal tersebut, dr. Suzy Yusna Dewi SpKJ(K) dari RS Jiwa Soeharto Heerdjan
Grogol berkomentar, Jika bangga dengan predikat alay itu yang krisis identitas karena dia
tidak bisa menentukan pilihan, jadi hanya sekedar mengikuti mainstream supaya diakui
teman-temannya. (detikHealth, Rabu, 24/10/2012).
Memang berlebihan untuk dikatakan sebagai gangguan jiwa, namun krisis identitas
bisa memicu kerentanan untuk mengalaminya. Terlebih, para remaja yang mengalami krisis
identitas umumnya memiliki masalah dengan latar belakang emosional, misalnya mudah
cemas dan tidak percaya diri, imbuhnya.
Masih menurut beliau, latar belakang dari remaja yang sering dilanda krisis identitas
antara lain karena pola asuh yang salah dari orang tua selama di rumah adalah penyebab yang
dominan. Misalnya sejak kecil dididik dengan terlalu permisif, apa-apa diperbolehkan lalu
akhirnya tidak terbentuk ketahanan terhadap berbagai permasalahan saat bersosialisasi.
Adapun ciri-ciri dari remaja krisis identitas yakni cenderung lebih labil, mudah ikut-ikutan
dan terpengaruh oleh lingkungan. Meski tidak selalu jadi gangguan jiwa berat seperti
skizofrenia, faktor resiko ini bisa memicu gangguan jiwa lainnya seperti gangguan emosi
maupun tingkah laku. Tawuran adalah contoh konkritnya [AN Uyung Pramudiarja
detikHealth].
Peran Media dalam Menghadapinya
Media, mau tidak mau, adalah pemegang kendali utama dalam krisis identitas ini. Jika
tidak mau disalahkan, berarti filter dari dalam individu itu sendiri yang tidak kuat dalam
menyaring apa-apa yang real me. Media mengumbar istilah-istilah aneh kepada
masyarakat, mengumbar identitas-identitas ideal yang justru menghilangkan
kepercayadirian individu dalam mengeksplor identitas asli mereka. Menenggelamkan
identitas dengan cerminan bahwa cantik itu idealnya seperti si A, si B, dsb. Bahwasanya imut
itu seperti Omez dalam mengatakan ciyus miapah, dan sebagainya. Hingga akhirnya hilang
jati diri seorang A dari desa B. A menjadi sosok artis di desanya yang belum tentu dapat
diterima dengan baik oleh masyarakat di desa tersebut. Lantas, apa yang harus dilakukan?
Media sudah seharusnya menyuguhkan hal-hal yang memang natural dan apa
seharusnya. Memberi contoh bagaimana seharusnya bersikap dalam kehidupan sehari-hari.
Bukan malah dengan menyuguhkan hal-hal yang di luar ranah pendidikan karakter. Dalam
hal ini, daya bius media sangat besar. Jaman dahulu, di televisi dicontohkan bagaimana cara
2

duduk, berbicara, berjalan yang sopan dan bagaimana orang jahat dihukum layaknya
penjahat. Lirik-lirik lagu yang diputar juga tidak sedramatis sekarang, hingga sering terjadi
gap antara generasi tua dan generasi muda.
Jadilah cerminan yang baik bagi sejawat.
Ciyus? Miapah? Ya demi Bangsa Indonesia sendiri pastinya.

Anda mungkin juga menyukai