PDA
View Full Version : Hindu Dharma = SIWA BUDHA
goesdun
11-02-2008, 02:47 PM
Hindu Dharma = SIWA BUDHA
Ada tujuh Maha Rsi yaitu Grtsamada, Wiswamitra, Wamadewa, Atri, Bharadwaja,
Wasista, dan Kanwa yang menerima wahyu Weda di India sekitar 2500 tahun sebelum
Masehi.
Mereka mengembangkan agama Hindu masing-masing menurut bagian-bagian Weda
tertentu. Kemudian para pengikutnya mengembangkan ajaran yang diterima dari guru
mereka sehingga lama kelamaan terbentuklah sekta-sekta yang jumlahnya ratusan.
Sekta-sekta yang terbanyak pengikutnya antara lain : Pasupata, Linggayat Bhagawata,
Waisnawa, Indra, Saura, dan Siwa Sidhanta.
Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India
tengah) kemudian menyebar ke Indonesia.
Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman
Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain : Kumbhayoni, Hari
Candana, Kalasaja, dan Trinawindu.
Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut
dalam lontar kuno seperti Eka Pratama.
Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang
lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari
Siwaisme.
Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa?
Karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para
pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas.
Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya
saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok).
Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati
Tattwa.
Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu
Inilah yang merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya gangguan keamanan dan
ketertiban di masyarakat yang membawa dampak negative pada hampir seluruh aspek
kehidupan masyarakat.
Akibat yang bersifat negative ini bukan saja menimpa desa bersangkutan, tetapi meluas
sampai pada pemerintahan kerajaan sehingga roda pemerintahan menjadi kurang lancar
dan terganggu.
Dalam kondisi seperti itu, Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa perlu
mendatangkan rohaniawan dari Jawa Timur yang oleh Gunaprya Dharmapatni sudah
dikenal sejak dahulu semasih beliau ada di Jawa Timur.
Oleh karena itu Raja Gunaprya Dharmapatni/Udayana Warmadewa bersekepatan untuk
mendatangkan 4 orang Brahmana bersaudara yaitu:
a. Mpu Semeru, dari sekte Ciwa tiba di Bali pada hari jumat Kliwon, wuku Pujut,
bertepatan dengan hari Purnamaning Kawolu, candra sengkala jadma siratmaya muka
yaitu tahun caka 921 (999M) lalu berparhyangan di Besakih.
b. Mpu Ghana, penganut aliran Gnanapatya tiba di Bali pada hari Senin Kliwon, wuku
Kuningan tanggal 7 tahun caka 922 (1000M), lalu berparhyangan di Gelgel
c. Mpu Kuturan, pemeluk agama Budha dari aliran Mahayana tiba di Bali pada hari Rabu
Kliwon wuku pahang, maduraksa (tanggal ping 6), candra sengkala agni suku babahan
atau tahun caka 923 (1001M), selanjutnya berparhyangan di Cilayukti (Padang)
d. Mpu Gnijaya, pemeluk Brahmaisme tiba di Bali pada hari Kamis Umanis, wuku
Dungulan, bertepatan sasih kadasa, prati padha cukla (tanggal 1), candra sengkala mukaa
dikwitangcu (tahun caka 928 atau 1006M) lalu berparhyangan di bukit Bisbis
(Lempuyang)
Sebenarnya keempat orang Brahmana ini di Jawa Timur bersaudara 5 orang yaitu adiknya
yang bungsu bernama Mpu Bharadah ditinggalkan di Jawa Timur dengan berparhyangan
di Lemahtulis, Pajarakan.
Kelima orang Brahmana ini lazim disebut Panca Pandita atau Panca Tirtha karena
beliau telah melaksanakan upacara wijati yaitu menjalankan dharma Kabrahmanan.
Dalan suatu rapat majelis yang diadakan di Bata Anyar yang dihadiri oleh unsur tiga
kekuatan pada saat itu, yaitu :
o Dari pihak Budha Mahayana diwakili oleh Mpu Kuturan yang juga sebagai ketua
sidang
o Dari pihak Ciwa diwakili oleh Mpu Semeru
o Dari pihak 6 sekte yang pemukanya adalah orang Bali Aga
Dalam rapat majelis tersebut Mpu Kuturan membahas bagaimana menyederhanakan
keagamaan di Bali, yg terdiri dari berbagai aliran.
Tatkala itu semua hadirin setuju untuk menegakkan paham Tri Murti
(Brahma,Wisnu,Ciwa) untuk menjadi inti keagamaan di Bali dan yang layak dianggap
sebagai perwujudan atau manifestasi dari Sang Hyang Widhi Wasa.
Konsesus yang tercapai pada waktu itu menjadi keputusan pemerintah kerajaan, dimana
ditetapkan bahwa semua aliran di Bali ditampung dalam satu wadah yang disebut Ciwa
Budha
sebagai persenyawaan Ciwa dan Budha.
Semenjak itu penganut Ciwa Budha harus mendirikan tiga buah bangunan suci (pura)
untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam perwujudannya yang masing-masing
bernama:
Pura Desa Bale Agung untuk memuja kemuliaan Brahma sebagai perwujudan dari Sang
Hyang Widhi Wasa (Tuhan)
Pura Puseh untuk memuja kemulian Wisnu sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi
Wasa
Pura Dalem untuk memuja kemuliaan Bhatari Durga yaitu caktinya Bhatara Ciwa
sebagai perwujudan dari Sang Hyang Widhi Wasa
Ketiga pura tersebut disebut Pura Kahyangan Tiga yang menjadi lambang persatuan
umat Ciwa Budha di Bali.
Dalam Samuan Tiga juga dilahirkan suatu organisasi Desa Pakraman yang lebih
dikenal sebagai Desa Adat.
Dan sejak saat itu berbagai perubahan diciptakan oleh Mpu Kuturan, baik dalam bidang
politik, social, dan spiritual.
Jika sebelum keempat Brahmana tersebut semua prasasti ditulis dengan menggunakan
huruf Bali Kuna, maka sesudah itu mulai ditulis dengan bahasa Jawa Kuna (Kawi).
Akhirnya di bekas tempat rapat itu dibangun sebuah pura yang diberi nama Pura Samuan
Tiga.
Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak
umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih
Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan
Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap
(Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih.
Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal
(pangider-ider).
4. MPU MANIK ANGKERAN
Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik
Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra.
Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari
pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan
memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut
segara rupek.
5. MPU JIWAYA
Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum
bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9).
Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang
berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat
perang, topeng, barong, dll.
6. DANGHYANG DWIJENDRA
Datang di Bali pada abad ke-14 ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem
Waturenggong.
Atas wahyu Hyang Widhi di Purancak, Jembrana, Beliau mempunyai pemikiranpemikiran cemerlang bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni
pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama
Siwa.
Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana.
Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan
vertikal.
Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat
ditata dengan baik.
Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan,
prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun.
Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan
kegiatan keagamaan ditingkatkan.
Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi
dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin.
Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang,
Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa
Sesana, Aji Pangukiran, dll.
Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma
wacana.
Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-Pura untuk memuja beliau di tempat
mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi,
Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu,
Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti
Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll.
Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama
Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan
Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali.
Di bidang tattwa misalnya, ciri khas yang paling menonjol adalah penyembahan Hyang
Widhi dalam manifestasi sebagai Trimurti dan Tripurusa dalam bentuk palinggih
Kemulan Rong Tiga dan Padmasana yang dikembangkan masing-masing oleh Mpu
Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha.
Di bidang ritual ciri khas Hindu-Bali yang terpenting adalah adanya bebali atau banten
yang dikembangkan oleh Danghyang Markandeya dan Mpu Sangkulputih.
Sejarah kemudian membuktikan bahwa walaupun di Nusantara telah berkembang Agama
lain seperti Islam dan Kristen, Bali tetap dapat bertahan pada Hindu karena agama Hindu
telah membudaya mewujudkan jati diri orang-orang Bali yang mengagumkan dunia.
Zaman sudah globalisasi, dunia yang tanpa batas, pengaruh budaya luar terus menerus
menghantam ketahanan orang-orang Hindu.
Bermula dari perubahan nama Agama di era Orde Baru, di mana Agama Hindu-Bali
dirubah menjadi Agama Hindu Dharma. Ini merupakan tonggak bagi sebagian kecil
penduduk dari suku-suku: Batak Karo, Dayak, Banten, Jawa, dll. mendapat pengakuan
pada keyakinan spiritualnya di luar Agama yang sudah ada, menjadi tertampung dalam
Hindu Dharma.
Dengan demikian Hindu Dharma akan mampu memberikan acuan yang lengkap
mengenai Tattwa, Susila dan Upacara kepada saudara-saudara se-dharma di luar Bali,
karena sudah ratusan generasi meninggalkan Hindu atau tidak bersentuhan dengan
Hinduan seperti yang berkembang di Bali
Hindu Dharma harus mempertahankan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh ke enam
Rajas atau energi lahir dari rasa yang penuh semangat, dan
Tamas, kelambanan, lahir sebagai akibatnya kurangnya kendali dan pencerahan, adalah
merupakan unsur-unsur dari semua eksistensi.Tiga fungsi dari utpeti (shristi) atau
penciptaan stiti atau pemeliharaan dan pamralaya (pralina) atau penghancuran
(peleburan) juga berasal dari Tri Guna ini.
Wisnu Sang Pemelihara alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat
sattwa,
Brahman Sang Pencipta alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat
rajas dan
Siwa Sang Pemrelina alam semesta adalah Jiwa Tertinggi yang didominasi oleh sifat
tamas.Tiga Sifat dari Tuhan Yang Tunggal dikembangkan menjadi tiga pribadi yang
berbeda. Dan masing-masing pribadi itu dianggap berfungsi melalui sakti atau energinya
masing-masing: Uma, Saraswati dan Laksmi.
Secara harfiah ketiga sifa-sifat dan fungsi-fungsi ini seimbang di dalam Tuhan Yang
Tunggal sehingga Dia dikatakan tidak memiliki sifat-sifat sama sekali.
Satu Tuhan yang tidak dapat dipahami yang Maha Mengetahui, Maha Kuasa dan ada di
mana-mana, tempat berbeda bagi pikiran yang berbeda dalam cara yang berbeda.
Satu teks kuno mengatakan bahwa bentuk diberikan kepada yang tak berbentuk bagi
kepentingan manusia.
Dengan keterbukaan pikiran yang merupakan sifat dan filsafat, orang Hindu percaya akan
relativitas dari keyakinan mayarakat umum yang memeluk keyakinan itu.
Agama bukanlah sekedar teori mengenai yang supernatural yang dapat kita pakai atau
kita tinggalkan semau kita.
Agama merupakan pernyataan dari pengalaman spiritual dari bangsa yang bersangkutan,
catatan dari evolusi sosialnya, bagian tak terpisahkan dari suatu mayarakat di atas di
mana ia didirikan.
Bahwa orang yang berbeda akan memeluk keyakinan yang berbeda, bukanlah sesuatu
yang tidak alamiah.
Ini adalah semua masalah cita rasa dan temperamen. Ruchinan vaichitriyat.
Ketika bangsa Arya bertemu dengan penduduk asli yang menyembah berbagai macam
dewa-dewa, meraka merasa tidak terpanggil untuk menggantikannya seketika itu dengan
keyakinan mereka.
Pada akhirnya semua manusia mencari Tuhan yang satu. Menurut Bagawad Gita Tuhan
tidak akan menolak keinginan pemuja-Nya semata-mata karena mereka tidak merasakan
kekacauan dan kebingungan.
Guru-guru besar dunia yang memiliki cukup penghormatan terhadap sejarah tidak akan
panjang, dan akan terus berlanjut dilebur dan dibentuk kembali melalui keadilan yang tak
dapat dibayangkan di masa yang akan datang.
Agama Hindu (Bahasa Sansekerta: Santana Dharma "Kebenaran Abadi", dan
Vaidika-Dharma ("Pengetahuan Kebenaran") adalah sebuah agama yang berasal dari anak
benua India.
Agama ini merupakan lanjutan dari agama Weda (Brahmanisme) yang merupakan
kepercayaan bangsa Indo-Iran (Arya). Agama ini diperkirakan muncul antara tahun 3102
SM sampai 1300 SM dan merupakan agama tertua di dunia yang masih eksis hingga kini.
Agama ini merupakan agama ketiga terbesar di dunia setalah Kristen dan Islam dengan
jumlah umat sebanyak hampir 1 milyar jiwa.
Penganut agama Hindu sebagian besar terdapat di anak benua India. Di sini terdapat
sekitar 90% penganut agama ini. Agama ini pernah tersebar di Asia Tenggara sampai
kira-kira abad ke-15, lebih tepatnya pada masa keruntuhan Majapahit. Mulai saat itu
agama ini digantikan oleh agama Islam dan juga Kristen. Pada masa sekarang, mayoritas
pemeluk agama Hindu di Indonesia adalah masyarakat Bali, selain sebagian kecil yang
tersebar di pulau Jawa dan Lombok.
Etimologi
Dalam Bahasa Persia, kata Hindu berakar dari kata Sindhu (Bahasa Sansekerta). Dalam
Rig Veda, bangsa Arya menyebut wilayah mereka sebagai Sapta Sindhu (wilayah dengan
tujuh sungai di barat daya anakbenua India, yang salah satu sungai tersebut bernama
sungai Indus). Hal ini mendekati dengan kata Hapta-Hendu yang termuat dalam Zend
Avesta (Vendidad: Fargard 1.18) sastra suci dari kaum Zoroaster di Iran. Pada awalnya
kata Hindu merujuk pada masyarakat yang hidup di wilayah sungai Sindhu.
Keyakinan dalam Hindu
Agama Hindu adalah agama yang monoteisme, yaitu Tuhan tunggal tidak ada duanya,
disebut Brahman atau Shang Hyang Widhi Wasa, juga dapat disebut sebagai Dewata
Nawa Sangga.
Brahman hanya ada satu, tidak ada duanya, namun orang-orang bijaksana menyebutnya
dengan berbagai nama sesuai dengan sifatnya yang maha kuasa.
Dalam keesaannya dan tidak berwujud dipanggil OMKARA.
OMKARA adalah sebutan Tuhan pertama sama dengan ALLAH, sebagai manifestasi
Tuhan dalam ke Esaannya dan tidak berwujud.
Kemudian dalam penulisan menggunakan aksara suci Omkara yaitu dibaca OM.
Dalam prakteknya umat Hindu sebagai masyarakat social religius, menjalankannya
dengan konsep Monoteisme dan Panteisme.
Menurut Prof Sarvelli Radhakrishnan, filsuf dan mantan presiden India, monotheisme
hanya cocok bagi jiwa yang masih kanak-kanak.
Weda tidak mengajarkan apartheid agama, pemisahan orang beriman dengan orang kafir,
apalagi memerintahkan pengikutnya membunuh atau menaklukan orang kafir dan
membayar pajak perlindungan kecuali si kafir masuknya.
Einstein, yang juga Yahudi, hanya menerima paham ketuhanan Spinoza.
Spinoza dianggap sebagai salah seorang filsuf Barat modern yang terbesar.
Filsafatnya tentang Tuhan hampir mirip dengan dengan pandangan Hindu, yang disebut
Pantheisme (pan = segalanya; theis = Tuhan).
Ia memahami Tuhan mengejawantah di dalam hukum-hukum alam, yang di dalam Hindu
disebut Rta yang mengatur alam dan karma yang mengatur perbuatan manusia.
Mengenai ini ada ungkapan Einstein yang terkenal Tuhan tidak main dadu Artinya
Tuhan tidak sewenang-wenang, semaunya sendiri, apalagi bila Tuhan sedetik ini tidak
tahu apa yang dimauinya.
Apakah Einstein menganggap semua agama sama?
Ya, dalam arti negative; Karena Einstein tidak beragama, semua agama, tentunya agama
yang ada di lingkungannya, yaitu agama-agama semitik, yang menyebut dirinya agama
langit, tidak berguna.
Mengenai Tuhan, figur sentral atau protagonist di dalam kitab suci semua agama-agama
theistic, Einstein memilih Pantheisme dan menolak Monotheisme.
Arthur Schoupenhauer (filsuf Jerman), David Hume (filsuf Inggris), Arnold J. Toynbee
(sejarahawan Inggris) untuk menyebut beberapa nama, menolak monotheisme, karena
Tuhan monotheisme mengajarkan keberanian dan kekerasan.
Tuhan monotheisme ini, kata mereka telah mengalirkan darah manusia jauh melebihi
perang karena alasan lainnya. Masing-masing Tuhan monotheisme ini, mengajarkan
kebencian, kekerasan bahkan memerintahkan perang kepada bangsa, atau masyarakat
lain.
Monoteisme
Dalam agama Hindu umumnya (termasuk Agama Hindu Dharma di Indonesia), konsep
yang dipakai adalah monoteisme. Konsep tersebut dikenal sebagai filsafat Advaita
Vedanta yang berarti tak ada duanya (a + dvaita) dipanggil OMKARA. Selayaknya
konsep ketuhanan dalam agama monoteistik lainnya, Advaita Vednta menganggap
bahwa Tuhan merupakan pusat segala kehidupan di alam semesta, dan dalam agama
Hindu, Tuhan dikenal dengan sebutan Brahman.
Panteisme
Dalam salah satu Kitab Hindu yakni Upanishad, konsep yang ditekankan adalah
Panteisme.
Konsep tersebut menyatakan bahwa Tuhan tidak memiliki wujud tertentu maupun tempat
tinggal tertentu, melainkan Tuhan berada dan menyatu pada setiap ciptaannya, dan
terdapat dalam setiap benda apapun, ibarat garam pada air laut.
Dalam agama Hindu, konsep panteisme disebut dengan istilah Wyapi Wyapaka. Kitab
Upanishad dari Agama Hindu mengatakan bahwa Tuhan memenuhi alam semesta tanpa
wujud tertentu, beliau tidak berada di surga ataupun di dunia tertinggi namun berada pada
setiap ciptaannya.
Tiga Kerangka Suci Umat Hindu yaitu :
1. Filsafat/Tattwa (Inti)
2, Ethika/Susila (Unit)
3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi)
Ketita bagian tersebut di atas menurut Agama Hindu dapat dikembangkan sebagai
berikut:
1. Filsafat/Tattwa (Inti) dijabarkan melalui :
Panca Sarada
Brahman = Percaya dengan adanya Ida Sang Hyang Widhi/Tuhan
Atma = Percaya dengan adanya Roh
Karman = Percaya adanya Hukum Karma Phala
Samsara=Percaya bahwa manusia lahir berulang-ulang
Moksa=Percaya dengan adanya kebebasan abadi
2. Ethika/Susila (Unit) sesuai dengan ajaran Trikaya Parisudha.
Trikaya Parisudha:
Manacika = Pikiran Suci
Wakcika = Kata-kata benar
Kayika=Perbuatan yang baik dan terpuji
3. Rituil/Upacara/Persembahan (Reaksi) dilaksanakan melalui korban suci Panca Yadnya
dan Panca Maha Yadnya.
Panca Yadnya:
Dewa Yadnya = Persembahan kepada Tuhan.
Pitra Yadnya = Persembahan kepada para Leluhur
Rsi Yadnya= Persembahan kepada pra Rsi dengan mengalkan ilmu pengetahuan yang
diberikannya.
Manusa Yadnya = Persembahan dilakukan kepada Roh manusia semenjak embrio
sampai kematiannya.
Bhuta Yadnya = Korban sui terhadap makhluk diluar rendahan
Panca Maha Yadnya:
1. Drewiya Yadnya = Korban suci yang dilakukan dengan menggunakan banten sajen,
harta benda dan material iannya.
2. Tapa Yadnya = Korban suci dengan jalan tapa, yaitu dengan jalan tahan menderita,
meneguhkan iman, menghadapi segala godaan hidup.
3. Swadyaya Yadnya = Korban suci dan kebajikan yang diamalkan dengan menggunakan
diri pribadi sebagai alat atau dana pengorbanan.
4. Yoga Yadnya = Korban suci melalui pemujaan kepada Ida Sang Hayang Widhi, dengan
jalan Yoga, yaitu mengatukan pikiran guna dapat menunggal Atman dengan Paramatman.
5. Jnana Yadnya = Korban suci berupa persembahan dan pemujaan untuk Ida Sang Hyang
asalnya yang sesungguhnya. Keadaan itu disebut Awidya. Hal tersebut mengakibatkan
Jiwatma mengalami proses reinkarnasi berulang-ulang. Namun proses reinkarnasi
tersebut dapat diakhiri apabila Jiwatma mencapai moksha.
Karmaphala
Agama Hindu mengenal hukum sebab-akibat yang disebut Karmaphala
(karma=perbuatan; phala=buah/hasil) yang menjadi salah satu keyakinan dasar. Dalam
ajaran Karmaphala, setiap perbuatan manusia pasti membuahkan hasil (baik atau buruk).
Ajaran Karmaphala sangat erat kaitannya dengan keyakinan tentang reinkarnasi, karena
dalam ajaran Karmaphala, keadaan manusia (baik suka maupun duka) disebabkan karena
hasil perbuatan manusia itu sendiri, baik yang ia lakukan pada saat ia menjalani hidup
maupun apa yang ia lakukan pada saat ia menjalani kehidupan sebelumnya. Dalam ajaran
tersebut, bisa dikatakan manusia menentukan nasib baik/buruk yang akan ia jalani
sementara Tuhan yang menentukan kapan hasilnya diberikan (baik semasa hidup maupun
setelah reinkarnasi).
Punarbhawa
Punarbhawa merupakan keyakinan bahwa manusia mengalami reinkarnasi. Dalam ajaran
Punarbhawa, reinkarnasi terjadi karena jiwa harus menanggung hasil perbuatan pada
kehidupannya yang terdahulu. Apabila manusia tidak sempat menikmati hasil
perbuatannya seumur hidup, maka mereka diberi kesempatan untuk menikmatinya pada
kehidupan selanjutnya. Maka dari itu, munculah proses reinkarnasi yang bertujuan agar
jiwa dapat menikmati hasil perbuatannya (baik atau buruk) yang belum sempat dinikmati.
Proses reinkarnasi diakhiri apabila seseorang mencapai kesadaran tertinggi (moksha).
Moksha
Dalam keyakinan umat Hindu, Moksha merupakan suatu keadaan di mana jiwa merasa
sangat tenang dan menikmati kebahagiaan yang sesungguhnya karena tidak terikat lagi
oleh berbagai macam nafsu maupun benda material. Pada saat mencapai keadaan
Moksha, jiwa terlepas dari siklus reinkarnasi sehingga jiwa tidak bisa lagi menikmati
suka-duka di dunia. Oleh karena iu, Moksha menjadi tujuan akhir yang ingin dicapai oleh
umat Hindu.
Empat macam Moksha / kebebasan:
1. Samipya Moksa = Kebebasan yagn dicapai semasih hidup oleh para Resi sehingga
mampu menerima wahyu dari Tuhan.
2. Sarupya/Sadarmmya = Kebebasan yang diperoleh semasih hidup seperti Awatara Sri
Kresna, Budha Gautama.
3. Salokya / karma Mukti = Kebebasan yang dicapai oleh Atman itu sendiri telah berada
dalam posisi sama dengan Tuhan tetapi belum dapat bersatu dengan Tuhan.
4. Sayujya / Purna Mukti = Kebebasan yang tertinggi dan sempurna sehingga dapat
menyatu dengan Tuhan.
Vivekananda mengatakan agama universal harus memenuhi kecendrungan semua jenis
manusia : manusia yang aktif, pekerja; manusia yang emosional, pencinta keindahan dan
kelembutan; manusia yang menganilisis dirinya sendiri, penekun mistik; manusia yang