Anda di halaman 1dari 13

SEJARAH MUHAMMADIYAH

PROLOG
Muhammadiyah didirikan di Kampung Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8
Dzulhijjah 1330 H/18 Nopember 1912 oleh seorang yang bernama Muhammad
Darwis, kemudian dikenal dengan KHA Dahlan.
Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib
dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam
keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik,
beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam
yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. Oleh karena itu beliau
memberikan pengertian keagamaan dirumahnya ditengah kesibukannya
sebagai Khatib dan para pedagang.
Mula-mula ajaran ini ditolak, namun berkat ketekunan dan kesabarannya,
akhirnya mendapat sambutan dari keluarga dan teman dekatnya. Profesinya
sebagai pedagang sangat mendukung ajakan beliau, sehingga dalam waktu
singkat ajakannya menyebar ke luar kampung Kauman bahkan sampai ke luar
daerah dan ke luar pulau Jawa. Untuk mengorganisir kegiatan tersebut maka
didirikan Persyarikatan Muhammadiyah. Dan kini Muhammadiyah telah ada
diseluruh pelosok tanah air.
Disamping memberikan pelajaran/pengetahuannya kepada laki-laki, beliau juga
memberi pelajaran kepada kaum Ibu muda dalam forum pengajian yang
disebut "Sidratul Muntaha". Pada siang hari pelajaran untuk anak-anak laki-laki
dan perempuan. Pada malam hari untuk anak-anak yang telah dewasa.
KH A Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922
dimana saat itu masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan.
Pada rapat tahun ke 11, Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim
yang kemudian memegang Muhammadiyah hingga tahun 1934.Rapat Tahunan
itu sendiri kemudian berubah menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang
di kemudian hari berubah menjadi Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini
Menjadi Muktamar 5 tahunan.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-1-)


Pendidikan barat yang diperkenalkan kepada penduduk pribumi sejak paruh
kedua abad XIX sebagai upaya penguasa kolonial untuk mendapatkan tenaga
kerja, misalnya, sampai akhir abad XIX pada satu sisi mampu menimbulkan
restratifikasi masyarakat melalui mobilitas sosial kelompok intelektual, priyayi,
dan profesional. Pada sisi lain, hal ini menimbulkan sikap antipati terhadap
pendidikan Barat itu sendiri, yang diidentifikasi sebagai produk kolonial
sekaligus produk orang kafir.
Sememara itu, adanya pengenalan agama Kristen dan perluasan kristenisasi
yang terjadi bersamaan dengan perluasan kekuasaan kolonial ke dalam
masyarakat pribumi yang telah terlebih dahulu terpengaruh oleh agama Islam,
mengaburkan identitas politik yang melekat pada penguasa kolonial dan
identitas sosial -keagamaan pada usaha kristenisasi di mata masyarakat umum.

Bagi sebagian besar penduduk pribumi, tekanan politis, ekonomis, sosial,


maupun kultural yang dialami oleh masyarakat secara umum sebagai sesuatu
yang identik dengan kemunculan orang Islam dan kekuasaan kolonial yang
menjadi penyebab kondisi tersebut tidak dapat dipisahkan dari agama Kristen
itu sendiri. Hal ini semakin diperburuk oleh struktur yuridis formal masyarakat
kolonial, yang secara tegas membedakan kelompok masyarakat berdasarkan
suku bangsa. Dalam stratifikasi masyarakat kolonial; penduduk pribumi
menempati posisi yang paling rendah, sedangkan lapisan atas diduduki orang
Eropa, kemudian orang Timur Asing, seperti: orang Cina, Jepang, Arab, dan
India.
Tidak mengherankan jika kebijakan pemerintah kolonial ini tetap dianggap
sebagai upaya untuk menempatkan orang Islam pada posisi sosial yang paling
rendah walaupun dalam lapisan sosial yang lebih tinggi terdapat juga orang
Arab yang beragama Islam. Di samping itu, akhir abad XIX juga ditandai oleh
terjadinya proses peng-urbanan yang cepat sebagai akibat dari perkemhangan
ekonomi, politik, dan sosial.
Kota-kota baru yang memiliki ciri masing-masing sesuai dengan faktor
pendukungnya muncul di banyak wilayah. Perluasan komunikasi dan
ransportasi mempermudah mobilitas penduduk. Sementara itu pembukaan
suatu wilayah sebagai pusat pemerintahan, pendidikan, industri, dan
perdagangan telah menarik banyak orang untuk datang ke tempat tersebut.
Sementara itu pula, tekanan ekonomi, politik, maupun sosial yang terjadi di
daerah pedesaan telah mendorong mereka datang ke kota-kota tersebut.
Memasuki awal abad XX sebagian besar kondisi yang telah terbentuk
sepanjang abad XIX terus berlangsung. Dalam konteks ekonomi, perluasan
aktivitas ekonomi sebagai dampak perluasan penanaman modal swasta asing
maupun perluasan pertanian rakyat belum mampu menimbulkan perubahan
ekonomi secara struktural sehingga kondisi hidup sebagian besar penduduk
masih tetap rendah. Di beberapa tempat penduduk pribumi memang berhasil
mengembangkan pertanian tanaman ekspor dlan mendapat keuntungan yang
besar, akan tetapi ekonomi mereka masih sangat labil terhadap perubahan
pasar.
Sementara itu perluasan aktivitas ekonomi menimbulkan persaingan yang
semakin besar sehingga para pengusaha industri pribumi harus bersaing
dengan produk impor yang lebih berkualitas dan lebih murah di pasar lokal,
sedangkan para peclagang pribumi juga harus bersaing ketat dengan pedagang
asing yang terus mendominasi perdagangan lokal, regional, maupun
internasional. Dalam perkembangan selanjutnya persaingan ini di beberapa
tempat tidak lagi hanya terbatas pada masalah ekonomi, melainkan juga telah
berkembang menjadi persoalan sosial, kultural, ataupun politik. Walaupun
dalam bidang politik terjadi pergeseran dari kekuasan administratif yang
tersentralisasi ke arah desentralisasi pada tingka t lokal, kontrol yang ketat
pejabat Belanda terhadap pejabat pribumi masih tetap berlangsung.
Sementara itu, kebijakan Politik Balas Budi atau Politik Etis yang difokuskan
pada bidang edukasi, irigasi, dan kolonisasi yang dilaksanakan sejak dekade
pertama abad XX, telah memberikan kesempatan yang lebih luas kepada
penduduk pribumi mengikuti pendidikan Barat dibandingkan dengan masa
sebelumnya melalui pembentukan beberapa lembaga pendidikan khusus bagi
penduduk pribumi sampai tingkat desa. Akan tetapi, kesempatan ini tetap saja

masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah penduduk pribumi


secara keseluruhan.
Kesempatan itu masih tetap diprioritaskan bagi kelompok elit penduduk
pribumi, atau kesempatan yang ada hanya terbuka untuk pendidikan rendah,
sedangkan kesempatan untuk mengikuti pendidikan menengah dan tinggi
masih sangat terbatas. Seperti pada masa sebelumnya, kondisi seperti ini
terbentuk selain disebabkan oleh kebijakan pemerintah kolonial, juga
dilatarbelakangi sikap antipati dari kelompok Islam, yang menjadi pendukung
utama masyarakat pribumi terhadap pendidikan Barat itu sendiri.
Secara umum mereka lebih suka mengirimkan anak-anak mereka ke pesantren,
atau hanya sekedar ke lembaga pendidikan informal lain yang mengajarkan
pengetahuan dasar agama Islam. Akan tetapi, sebenarnya ada dualisme cara
memandang pendidikan Barat ini. Di samping dianggap sebagai perwujudan
dari pengaruh Barat atau Kristen terhadap lingkungan sosial dan budaya lokal
maupun Islam, pendidikan Barat juga dilihat secara objektif sebagai faktor
penting untuk mendinamisasi masyarakat pribumi yang mayoritas beragama
Islam.
Pendidikan Barat yang telah diperkenalkan kepada penduduk pribumi secara
terbatas ini ternyata telah menciptakan kelompok intelektual dan profesional
yang mampu melakukan perubahan-perubahan maupun memunculkan ide-ide
baru di dalam masyarakat maupun sikap terhadap kekuasaan kolonial.
Perubahan dan pencetusan ide-ide baru itu pada masa awal hanya terbatas
pada bidang sosial, kultural, dan ekonomi, akan tetapi kemudian mencakup
juga permasalahan politik. Walaupun feodalisme dalam sikap maupun struktur
yang lebih makro di dalam masyarakat, khususnya di Jawa masih tetap
berlangsung, pembentukan "organisasi modern" merupakan salah satu realisasi
yang penting dari upaya perubahan dengan ide-ide baru tersebut.
Pada tahun 1908 organisasi Budi Utomo didirikan oleh para mahasiswa sekolah
kedokteran di Jakarta. Walaupun dasar, tujuan, dan aktivitas Budi Utomo
sebagai suatu organisasi masih terikat pada unsur-unsur primordial dan
terbatas, keberadaan Budi Utomo secara langsung maupun tidak berpengaruh
terhadap bentuk baru dari perjuangan kebangsaan melawan kondisi yang
diciptakan oleh kolonialisme Belanda. Berbagai organisasi baru kemudian
didirikan, dan perjuangan perlawanan terhadap kekuasaan kolonial yang dulu
terkosentrasi di kawasan pedesaan mulai beralih terpusat di daerah perkotaan.
Dunia Islam dan Masyarakat Muslim Indonesia Secara makro perkembangan
dunia Islam pada akhir abad XIX dan awal abad XX ditandai oleh usaha untuk
melawan dominasi Barat setelah sebagian besar negara yang penduduknya
beragama Islam secara politik, sosial, ekonomi, maupun budaya telah
kehilangan kemerdekaan dan berada di bawah kekuasaan kolonialisme dan
imprialisme Barat sejak beberapa abad sebelumnya. Dalam masyarakat Muslim
sendiri muncul usaha untuk mengatasi krisis internal dalam proses sosialisasi
ajaran Islam, akidah, maupun pemikiran pada sebagian besar masyarakat, baik
yang disebabkan oleh dominasi kolonialisme dan imperialisme Barat, maupun
sebab-sebab lain yang ada dalam masyarakat Muslim itu sendiri.
Dalam kehidupan beragama ini terjadi kemerosotan ruhul Ishmi, jika dilihat dari
ajaran Islam yang bersumber pada Quran dan Sunnah Rasulullah. Pengamalan
ajaran Islam bercampur dengan bid'ah, khurafat, dan syi'ah. Di samping itu,
pemikiran umat Islam juga terbelenggu oleh otoritas mazhab dan taqlid kepada

para ulama sehingga ijtihad tidak dilakukan lagi. Dalam pengajaran agama
Islam, secara umum Qur'an yang menjadi sumber ajaran hanya
diajarkan pada tingkat bacaan, sedangkan terjamahan dan tafsir hanya boleh
dipelajari oleh orang-orang tertentu saja. Sementara itu, pertentangan yang
bersumber pada masalah khilafiyah dan firu'iyah sering muncul dalam
masyarakat Muslim, akibatnya muncul berbagai firqah dan pertentangan yang
bersifat laten.
Di tengah-tengah kemerosotan itu, sejak pertengahan abad XIX muncul ide-ide
pemurnian ajaran dan kesadaran politik di kalangan umat Islam melalui
pemikiran dan aktivitas tokoh-tokoh seperti: Jamaludin Al-Afgani, Muhammad
Abduh, Rasyid Ridha, dan para pendukung Muhammad bin Abdul Wahab.
Jamaludin Al-Afgani banyak bergerak dalam bidang politik, yang diarahkan pada
ide persaudaraan umat Islam sedunia dan gerakan perjuangan pembebasan
tanah air umat Islam dari kolonialisme Barat.
Sementara itu, Muhammad Abduh dan muridnya, Rasyid Ridha, berusaha
memerangi kestatisan, syirik, bid'ah, khurafat, taqlid, dan membuka pintu
ijtihad di kalangan umat Islam. Restrukturisasi lembaga pendidikan Islam dan
mewujudkan ide-ide ke dalam berbagai penerbitan merupakan wujud usaha
pemurnian dan pembaharuan yang dilakukan oleh dua orang ulama dari Mesir
ini. Rasyid Ridha, misalnya, menerbitkan majalah Al-Manar di Mesir, yang
kemudian disebarkan dan dikenal secara luas di seluruh dunia Islam.
Sementara itu, ide-ide pembaharuan yang dikembangkan oleh pendukung
Muhammad bin Abdlul Wahab dalam gerakan Al Muwahhidin telah mendapat
dukungan politis dari penguasa Arab Saudi sehingga gerakan yang dikenal oleh
para orientalis sebagai Wahabiyah itu berkembang menjadi besar dan kuat.
Seperti yang terjadi di dalam dunia Islam secara umum, Islam di Indonesia
pada abad XIX juga mengalami krisis kemurnian ajaran, kestatisan pemikiran
maupun aktivitas, dan pertentangan internal. Perjalanan historis penyebaran
agama Islam di Indonesia sejak masa awal melalui proses akulturasi dan
sinkretisme, pada satu sisi telah berhasil meningkatkan kuantitas umat Islam.
Akan tetapi secara kualitas muncul kristalisasi ajaran Islam yang menyimpang
dari ajaran Islam yang murni.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-2-)


Di Pulau Jawa, misalnya, persoalan kemurnian ajaran Islam ini sangat terasa
karena unsur-unsur lokal sangat berpengaruh dalam proses sosialisasi ajaran di
dalam masyarakat seperti yang terlihat pada: sekaten, kenduri, tahlilan, dan
wayang. Kondisi seperti ini dapat dilihat pada laporan T.S. Raffles tentang Islam
di Jawa pada awal abad XIX, yang menyatakan bahwa orang Jawa yang
berpengetahuan cukup tentang Islam dan berprilaku sesuai dengan ajaran
Islam hanya beberapa orang saja.
Selain itu, K.H. Ahmad Rifa'i, salah seorang ulama di Jawa yang sangat disegani
oleh pemerintah kolonial, pada pertengahan abad XIX menyatakan bahwa
pengamalan agama Islam orang Jawa banyak menyimpang dari aqidah
Islalamiyah dan harus diluruskan. Interaksi reguler antara sekelompok
masyarakat Muslim Indonesia dengan dunia Islam memberi kesempatan
kepada mereka untuk mempelajari dan memahami lebih dalam ajaran Islam
sehingga tidak mengherankan kemudian muncul ide-ide atau wawasan baru

dalam kehidupan beragama di dalam masyarakat Indonesia. Mereka mulai


mempertanyakan kemurnian dan implementasi ajaran Islam di dalam
masyarakat. Oleh sebab itu, di samping unsur-unsur lama yang terus bertahan
seperti pemahaman dan pengamalan ajar-an Islam yang sinkretik dan sikap
taqlid terhadap ulama, di dalam masyarakat Muslim Indonesia pada akhir abad
XIX dan awal abad XX juga berkembang kesadaran yang sangat kuat untuk
melakukan pembaharuan dalam banyak hal yang berhubungan dengan agama
Islam yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Hal ini tentu saja menimbulkan konflik antarkelompok, yang terpolarisasi dalam
bentuk gerakan yang dikenal sebagai "kaum tua" berhadapan dengan "kaum
muda" atau antara kelompok
"pembaharuan" berhadapan dengan
"antipembaharuan". Sementara itu, krisis yang terjadi di dalam Islam di
Indonesia, selain disebabkan oleh dinamika internal juga tidak dapat dipisahkan
dengan perluasan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Islam sejak awal
muncul sebagai kekuatan di balik perlawanan terhadap kolonialisme, baik
dalam pengertian idiologis maupun peran langsung para ulama dan umat Islam
secara keseluruhan. Hal ini dapat dilihat berbagai perlawanan yang terjadi
sepanjang abad XIX dan awal abad XX, seperti: Perang Diponegoro, Perang
Bonjol, Perang Aceh, dan protes-protes petani, yang semuanya diwarnai oleh
unsur Islam yang sangat kental.
Akibatnya, pemerintah kolonial cenderung melihat Islam sebagai ancaman
langsung dari eksistensi kekuasaan kolonial ini. Setiap aktivitas yang
berhubungan dengan Islam selalu dicurigai dan dianggap sebagai langkah
untuk melawan penguasa. Oleh sebab itu, berdasarkan konsep yang
dikembangkan oleh C. Snouck Hurgronje pada akhir abad XIX pemerintah
kolonial secara tegas memisahkan Islam dari politik, akan tetapi Islam sebagai
ajaran agama dan kegiatan sosial dibiarkan berkembang walaupun tetap
berada dalam pengawasan yang ketat. Kecurigaan pemerintah kolonial yang
berlebihan terhadap Islam ini membatasi kreativitas umat, baik dalam
pengertian ajaran, pemikiran, maupun penyesuaian diri dengan dinamika dan
perubahan yang terjadi dalam masyarakat secara umum.
Hal ini semakin diperburuk oleh munculnya sikap taqlid kepada para ulama
tertentu pada sebagian besar umat Islam di Indonesia pada waktu itu.
Pemerintah kolonial juga berusaha mengeksploitasi perbedaan yang ada dalam
masyarakat yang berhubungan dengan Islam, seperti perbedaan sosioantropologis antara kelompok santri dan abangan yang menjadi konflik sosial
berkepanjangan. Selain itu, aktivitas kristenisasi yang dilakukan oleh missi
Katholik maupun zending Protestan terhadap penduduk pribumi yang telah
beragama Islam terus berlangsung tanpa halangan dari penguasa kolonial.
Lembaga pendidikan dari tingkat dasar sampai menengah, panti asuhan, dan
rumah sakit yang didirikan oleh missi dan zending sebagai pendukung utama
dalam proses kristenisasi, secara reguler mendapat bantuan dana yang besar
dari pemerintah.
Ahmad Dahlan dan Pembentukan Muhammmadiyah di tengah-tengah kondisi
tidak menentu seperti yang digambarkan di atas, Ahmad Dahlan muncul
sebagai salah seorang yang perduli terhadap kondisi yang sedang dihadapi
masyarakat pribumi secara umum maupun masyarakat Muslim secara khusus.
Ahmad Dahlan lahir di Kampung Kauman Yogyakarta pacla tahun 1868 dengan
nama Muhammad Darwis. Ayahnya K.H. Abu Bakar adalah imam dan khatib
Masjid Besar Kauman Yogyakarta, sementara ibunya Siti Aminah adalah anak
K.H. Ibrahim, penghulu besar di Yogyakarta. Menurut salah satu silsilah,

keluarga Muhammad Darwis dapat dihubungkan dengan Maulana Malik


Ibrahim, salah seorang wali penyebar agama Islam yang dikenal di Pulau Jawa.
Sebagai anak keempat dari keluarga K.H. Abubakar, Muhammad Darwis
mempunyai 5 orang saudara perempuan dan I orang saudara laki-laki. Seperti
layaknya anak-anak di Kampung Kauman pada waktu itu yang diarahkan pada
pendidikan informal agama Islam, sejak kecil Muhammad Darwis sudah belajar
membaca Quran di kampung sendiri atau di tempat lain. Ia belajar membaca
Quran dan pengetahuan agama Islam pertama kali dari ayahnya sendiri dan
pada usia delapan tahun ia sudah lancar dan tamat membaca Quran. Menurut
cerita, sejak kecil Muhammad Darwis sudah menunjukkan beberapa kelebihan
dalam penguasaan ilmu, sikap, dan pergaulan sehari-hari dibandingkan temantemannya yang sebaya.
Ia juga mempunyai keahlian membuat barang-barang kerajinan dan mainan.
Seperti anak laki-laki yang lain, Muhammad Darwis juga sangat senang bermain
layang-layang dan gasing. Seiring dengan perkembangan usia yang semakin
bertambah, Muhammad Dalwis yang sudah tumbuh remaja mulai belajar ilmu
agama Islam tingkat lanjut, tidak hanya sekedar membaca Quran. Ia belajar
fiqh dari K.H. Muhammad Saleh dan belajar nahwu dari K.H. Muhsin. Selain
belajar dari dua guru di atas yang juga adalah kakak iparnya, Muhammad
Darwis belajar ilmu agama lslam lebih lanjut dari K.H. Abdul Hamid di
Lempuyangan dan KH. Muhammad Nur.
Muhammad Darwis yang sudah dewasa terus belajar ilmu agama Islam maupun
ilmu yang lain dari guru-guru yang lain, termasuk para ulama di Arab Saudi
ketika ia sedang menunaikan ibadah haji. Ia pernah belajar ilmu hadist kepada
Kyai Mahfudh Termas dan Syekh Khayat, belajar ilmu qiraah kepada Syekh
Amien dan Sayid Bakri Syatha, belajar ilmu falaq pada K.H. Dahlan Semarang,
dan ia juga pernah belajar pada Syekh Hasan tentang mengatasi racun
binatang. Menurut beberapa catatan, kemampuan intelektual Muhammad
Darwis ini semakin berkembang cepat dia menunaikan ibadah haji pertama
pada tahun 1890, beberapa bulan setelah perkawinannya dengan Siti Walidah
pada tahun 1889.
Proses sosialisasi dengan berbagai ulama yang berasal dari Indonesia seperti:
Kyai Mahfudh dari Termas, Syekh Akhmad Khatib dan Syekh Jamil Jambek dari
Minangkabau, Kyai Najrowi dari Banyumas, dan Kyai Nawawi dari Banten,
maupun para ulama dari Arab, serta pemikiran baru yang ia pelajari selama
bermukim di Mekah kurang lebih delapan bulan, telah membuka cakrawala
baru dalam diri Muhammad Darwis, yang telah berganti nama menjadi Ahmad
Dahlan. Perkembangan ini dapat dilihat dari semakin, luas dan bervariasinya
jenis kitab yang dibaca Ahmad Dahlan. Sebelum menunaikan ibadah haji,
Ahmad Dahlan lebih banyak mempelajari kitab-kitab, dari Ahlussunnah
waljamaah dalam ilmu aqaid, dari madzab Syafii dalam ilmu Fiqh dari Imam
Ghozali dan ilmu tasawuf.
Sesudah pulang dari menunaikan ibadah haji, Ahmad Dahlan mulai membaca
kitah-kitab lain yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Semangat membaca
Ahmad Dahlan yang besar ini dapat dilihat pada kejadian ketika ia membeli
buku menggunakan sebagian dari modal sebesar 1500 setelah ia pulang dari
menunaikan ibadah haji yang pertama, yang sebenarnya diberikan oleh
keluarganya untuk berdagang. Sementara itu, keinginan untuk memperdalam
ilmu agama Islam terus muncul pada diri Ahmad Dahlan. Dalam upaya untuk
mewujudkan cita-citanya itu, ia menunaikan ibadah haji kedua pada tahun

1903, dan bermukim di Mekah selama hampir dua tahun. Kesempatan ini
digunakan Ahmad Dahlan untuk belajar ilmu agama Islam baik dari para guru
ketika ia menunaikan ibadah haji pertama maupun dari guru-guru yang lain.
Ia belajar fiqh pada Syekh Saleh Bafadal, Syekh Sa'id Yamani, dan Syekh Sa' id
Babusyel. Ahmad Dahlan belajar ilmu hadist pada Mufti Syafi'i, sementara itu
ilmu falaq dipelajari pada Kyai Asy'ari Bawean. Dalam bidang ilmu qiruat,
Ahmad Dahlan belajar dari Syekh Ali Misri Makkah. Selain itu, selama bermukim
di Mekah ini Ahmad Dahlan juga secara reguler mengadakan hubungan dan
membicarakan berbagai masalah sosial-keagamaan, termasuk masalah yang
terjadi di Indonesia dengan para Ulama Indonesia yang telah lama bermukim di
Arab Saudi, seperti: Syekh Ahmad Khatib dari Minangkabau, Kyai Nawawi dari
Banten, Kyai Mas Abdullah dari Surabaya, dan Kyai Fakih dari Maskumambang.
Berdasarkan koleksi buku-buku yang ditinggalkan oleh Ahmad Dahlan, sebagian
besar adalah buku yang dipengaruhi ide-ide pembaharuan. Di antara buku-buku
yang sering dibaca Ahmad Dahlan antara lain: Kosalatul Tauhid karangan
Muhammad Abduh, Tafsir Juz Amma karangan Muhammad Abduh, Kanz ALUlum, Dairah Al Ma'arif karangan Farid Wajdi, Fi Al -Bid'ah karangan Ibn
Taimiyah, Al Tawassul wa-al-Wasilah karangan Ibn Taimiyah, Al-Islam wa-lNashraniyah karangan Muhammad Abduh, Izhar al-Haq karangan Rahmah al
Hindi, Tafsshil al-Nasyatain Tashil al Sa'adatain, Matan al-Hikmah karangan Atha
Allah, dan Al-Qashaid al-Aththasiyvah karangan Abd al Aththas.
Pengalaman Ahmad Dahlan mengajar agama Islam di dalam masyarakat
dimulai setelah ia pulang dari menunaikan ibadah haji pertama. Ahmad Dahlan
mulai dengan membantu ayahnya mengajar para murid yang masih kanakkanak dan remaja. Dia mengajar pada siang hari sesudah dzuhur, dan malam
hari, antara maghrib sampai isya. Sementara itu, sesudah ashar Ahmad Dahlan
mengikuti ayahnya yang mengajar agama Islam kepada orang-orang tua.
Apabila ayahnya berhalangan, Ahmad Dahlan menggantikan ayahnya
memberikan pelajaran sehingga akhirnya ia mendapat sebutan kyai, sebagai
pengakuan terhadap kemampuan dan pengalamannya yang luas dalam
memberikan pelajaran agama Islam.
Sebagai Khatib Amin, Ahmad Dahlan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan
agama Islam yang dimiliki, pengalaman berinteraksi dengan berbagai kelompok
dalam dunia Islam, serta pengalamannya memberi pelajaran agama Islam
selama ini sehingga sering muncul ide dan aktivitas baru. Berbeda dengan para
khatib lain yang cenderung menghabiskan waktu begitu saja ketika sedang
bertugas piket di serambi masjid besar Kauman, Ahmad Dahlan secara rutin
memberikan pelajaran agama Islam kepada orang-orang yang datang ke masjid
besar ketika ia sedang melakukan piket.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-3-)


Ahmad Dahlan juga mulai menyampaikan ide-ide baru yang lebih mendasar,
seperti persoalan arah kiblat salat yang sebenarnya. Akan tetapi, ide baru ini
tidak begitu saja bisa dilaksanakan seperti yang diajarkan di serambi masjid
besar karena mempersoalkan arah kiblat salat merupakan suatu hal yang
sangat peka pada waktu itu. Ahmad Dahlan memerlukan waktu hampir satu
tahun untuk menyampaikan masalah ini. Itu pun hanya terbatas pada para
ulama yang sudah dikenal dan dianggap sepaham di sekitar Kampung Kauman.

Pada satu malam pada tahun 1898, Ahmad Dahlan mengundang 17 orang
ulama yang ada di sekitar kota Yogyakarta untuk melakukan musyawarah
tentang arah kiblat di surau milik keluarganya di Kauman.
Diskusi antara para ulama yang telah mempersiapkan diri dengan berbagai
kitab acuan ini berlangsung sampai waktu subuh, tanpa menghasilkan
kesepakatan. Akan tetapi, dua orang yang secara diam-diam mendengar
pembicaraan itu beberapa hari kemudian membuat tiga garis putih setebal 5
cm di depan pengimaman masjid besar Kauman untuk mengubah arah kiblat
sehingga mengejutkan para jemaah salat dzuhur waktu itu. Akibatnya, Kanjeng
Kyai
Penghulu H.M. Kholil Kamaludiningrat memerintahkan untuk menghapus tanda
tersebut dan mencari orang yang melakukan itu.
Sebagai realisasi dari ide pembenahan arah kiblat tersebut, Ahmad Dahlan
yang merenovasi surau milik keluarganya pada tahun 1899 mengarahkan surau
tersebut ke arah kiblat yang sebenarnya, yang tentu saja secara arsitektural
berbeda dengan arah masjid besar Kauman. Setelah dipergunakan beberapa
hari untuk kegiatan Ramadhan, Ahmad Dahlan mendapat perintah dari Kanjeng
Penghulu untuk membongkar surau tersebut, yang tentu saja ditolak. Akhirnya,
surau tersebut dibongkar secara paksa pada malam hari itu juga. Walaupun
diliputi perasaan kecewa, Ahmad Dahlan membangun kembali surau tersebut
sesuai dengan arah masjid besar Kauman setelah berhasil dibujuk oleh
saudaranya, sementara arah kiblat yang sebenarnya ditandai dengan membuat
garis petunjuk di bagian dalam masjid.
Setelah pulang dari menunaikan ibadah haji kedua, aktivitas sosial-keagamaan
Ahmad Dahlan di dalam masyarakat di samping sebagai Khatib Amin semakin
berkembang. Ia membangun pondok untuk menampung para murid yang ingin
belajar ilmu agama Islam secara umum maupun ilmu lain seperti: ilmu falaq,
tauhid, dan tafsir. Para murid itu tidak hanya berasal dari wilayah Residensi
Yogyakarta, melainkan juga dari daerah lain di Jawa Tengah. Walaupun begitu,
pengajaran agama Islam melalui pengajian kelompok bagi anak- anak, remaja,
dan orang tua yang telah lama berlangsung masih terus dilaksanakan. Di
samping itu, di rumahnya Ahmad Dahlan mengadakan pengajian rutin satu
minggu atau satu bulan sekali bagi kelompok-kelompok tertentu, seperti
pengajian untuk para guru dan pamong praja yang berlangsung setiap malam
Jum`at.
Pembentukan ide-ide dan aktivitas baru pada diri Ahmad Dahlan tidak dapat
dipisahkan dari proses sosialisasi dirinya sebagai pedagang dan ulama serta
dengan alur pergerakan sosial- keagamaan, kultural, dan kebangsaan yang
sedang berlangsung di Indonesia pada awal abad XX. Sebagai seorang
pedagang sekaligus ulama, Ahmad Dahlan sering melakukan perjalanan ke
berbagai tempat di Residensi Yogyakarta maupun daerah lain seperti:
Periangan, Jakarta, Jombang, Banyuwangi, Pasuruan, Surabaya, Gresik,
Rembang, Semarang, Kudus, Pekalongan, Purwokerto, dan Surakarta. Di
tempat-tempat itu ia bertemu dengan para ulama, pemimpin lokal, maupun
kaum cerdik cendekia lain, yang sama-sama menjadi pedagang atau bukan.
Dalam pertemuan-pertemuan itu mereka berbicara tentang masalah agama
Islam maupun masalah umum yang terjadi dalam masyarakat, terutama yang
secara langsung berhubungan dengan kemunculan, kestatisan, atau
keterbelakangan penduduk Muslim pribumi di tengah- tengah masyarakat
kolonial. Dalam konteks pergerakan sosial keagamaan, budaya, dan

kebangsaan, hal ini dapat diungkapkan dengan adanya interaksi personal


maupun formal antara Ahmad Dahlan dengan organisasi seperti : Budi Utomo,
Sarikat Islam, dan Jamiat Khair, maupun hubungan formal antara organisasi
yang ia cirikan kemudian, terutama dengan Budi Utomo.
Secara personal Ahmad Dahlan mengenal organisasi Budi Utomo melalui
pembicaraan atau diskusi dengan Joyosumarto, seorang anggota Budi Utomo di
Yogyakarta yang mempunyai hubungan dekat dengan dr. Wahidin
Sudirohusodo, salah seorang pimpinan Budi Utomo yang tinggal di Ketandan
Yogyakarta. Melalui Joyosumarto ini kemudian Ahmad Dahlan berkenalan
dengan dr. Wahidin Sudirohusodo secara pribadi dan sering menghadiri rapat
anggota maupun pengurus yang diselenggarakan oleh Budi Utomo di
Yogyakarta walaupun secara resmi ia belum menjadi anggota organisasi ini.
Setelah banyak mendengar tentang aktivitas dan tujuan organisasi Budi Utomo
melalui pembicaraan pribadi dan kehadirannya dalam pertemuan -pertemuan
resmi, Ahmad Dahlan kemudian secara resmi menjadi anggota Budi Utomo
pada tahun 1909.
Dalam perkembangan selanjutnya, Ahmad Dahlan tidak hanya menjadi anggota
biasa, melainkan ia menjadi pengurus kring Kauman dan salah seorang
komisaris dalam kepengurusan Budi Utomo Cabang Yogyakarta. Sementara itu,
pada sekitar tahun 1910 Ahmad Dahlan juga menjadi anggota Jamiat Khair,
organisasi Islam yang banyak bergerak dalam bidang pendidikan dan mayoritas
anggotanya adalah orang-orang Arab. Keterlibatan secara langsung di dalam
Budi Utomo memberi pengetahuan yang banyak kepada Ahmad Dahlan tentang
cara berorganisasi dan mengatur organisasi secara modern.
Sementara itu, walaupun Ahmad Dahlan tidak terlibat secara aktif di dalam
Jamiat Khair, selain belajar berorganisasi secara modern di kalangan orang
Islam, ia juga mendapat pengetahuan tentang kegiatan sosial, terutama yang
berhubungan dengan pendirian dan pengelolaan lembaga pendidikan model
sekolah. Semua ini tentu saja merupakan suatu hal yang baru dan sangat
berpengaruh bagi langkah-langkah yang dilakukan Ahmad Dahlan pada masa
selanjutnya, seperti pendirian sekolah model Barat maupun pembentukan satu
organisasi.
Sebagai pengurus Budi Utomo, aktivitas Ahmad Dahlan tidak hanya terbatas
pada hal-hal yang berhubungan langsung dengan masalah organisasi. Ia sering
memanfaatkan forum pertemuan pengurus maupun anggota Budi Utomo
sebagai tempat untuk menyampaikan informasi tentang agama Islam, bidang
yang sangat ia kuasai. Kegiatan ini biasanya dilakukan setelah acara resmi
selesai. Kepiawaian Ahmad Dahlan dalam menyampaikan informasi tentang
agama Islam dalam berbagai pertemuan informal itu telah menarik perhatian
para pengurus maupun anggota Budi Utomo yang sebagian besar terdiri dari
pegawai pemerintah dan guru sehingga sering terjadi diskusi yang menarik di
antara mereka tentang agama Islam.
Di antara pengurus dan anggota Budi Utomo yang tertarik pada masalah
agama Islam adalah R. Budiharjo dan R. Sosrosugondo, yang pada saat itu
menjabat sebagai guru di Kweekschool Jetis. Melalui jalur dua orang guru ini
Ahmad Dahlan mendapat kesempatan mengajar agama Islam kepada para
siswa Kweekschool Jetis, setelah kepala sekolah setuju dan memberikan izin.
Pelajaran agama Islam di sekolah guru milik pemerintah itu diberikan di luar
jam pelajaran resmi, yang biasanya dilakukan pada setiap hari Sabtu sore.

Dalarn mengajarkan pengetahuan agama Islam secara umum maupun


membaca Quran, Ahmad Dahlan menerapkan metode pengajaran yang
disesuaikan dengan kemampuan siswa sehingga mampu menarik perhatian
para siswa untuk menekuninya. Tentu saja sebagian siswa merasa bahwa waktu
pelajaran agama Is1am pada hari Sabtu sore itu belum cukup. Oleh sebab itu,
beberapa orang siswa, termasuk mereka yang belum beragama Islam sering
datang ke rumah Ahmad Dahlan di Kauman pada hari Ahad untuk bertanya
maupun melakukan diskusi lebih lanjut tentang berbagai persoalan yang
berhubungan dengan agama Islam.
Dalam perkembangan selanjutnya, pengalaman berorganisasi di Budi Utomo
dan Jamiat Khair memberikan pelajaran kepada siswa Kweekschool dan
didukung oleh perkembangan pendapat masyarakat umum pada waktu itu
yang mulai menyadari bahwa pendidikan merupakan salah satu sarana yang
penting bagi kemajuan penduduk pribumi. Oleh karena itu, Ahmad Dahlan
secara pribadi mulai merintis pembentukan sebuah sekolah yang memadukan
pengajaran ilmu agama Islam dan ilmu umum. Dalam berbagai kesempatan
Ahmad Dahlan menyampaikan ide pendirian sekolah yang mengacu pada
metode pengajaran seperti yang berlaku pada sekolah milik pemerintah kepada
berbagai pihak, termasuk kepada para santri yang belajar di Kauman maupun
penduduk Kauman secara umum. Sebagian besar dari mereka bersikap acuh
tak acuh, bahkan ada yang secara tegas menolak ide pendidikan sistem
sekolah tersebut karena dianggap bertentangan dengan tradisi dalam agama
Islam.
Akibatnya, para santri yang selama ini belajar kepada Ahmad Dahlan satu persatu berhenti. Walaupun belum mendapat dukungan dari masyarakat
sekitarnya, Ahmad Dahlan tetap berkeinginan untuk mendirikan lembaga
pendidikan yang menerapkan model sekolah yang mengajarkan ilmu agama
Islam maupun ilmu pengetahuan umum. Sekolah tersebut dimulai dengan 8
orang siswa, yang belajar di ruang tamu rumah Ahmad Dahlan yang berukuran
2,5 m x 6 m dan ia bertindak sendiri sebagai guru. Keperluan belajar
dipersiapkan sendiri oleh Ahmad Dahlan dengan memanfaatkan dua buah meja
miliknya sendiri. Sementara itu, dua buah bangku tempat duduk para siswa
dibuat sendiri oleh Ahmad Dahlan dari papan bekas kotak kain mori dan papan
tulis dibuat dari kayu suren.

Sejarah Berdirinya Muhammadiyah (-4-)


Delapan orang siswa pertama itu merupakan santrinya yang masih setia, serta
anak-anak yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ahmad Dahlan.
Pendirian sekolah tersebut ternyata tidak mendapat sambutan yang baik dari
masyarakat sekitarnya kecuali beberapa orang pemuda. Pada tahap awal
proses belajar mengajar belum berjalan dengan lancar. Selain ada penolakan
dan pemboikotan masyarakat sekitarnya, para siswa yang hanya berjumlah 8
orang itu juga sering tidak masuk sekolah. Untuk mengatasi hal tersebut,
Ahmad Dahlan tidak segan-segan datang ke rumah para siswanya dan meminta
mereka masuk sekolah kembali, di samping ia terus mencari siswa baru. Seiring
dengan pertambahan jumlah siswa, Ahmad Dahlan juga menambah meja dan
bangku satu per satu sehingga setelah berlangsung enam bulan jumlah siswa
menjadi 20 orang.

Ketika pendirian sekolah tersebut dibicarakan dengan anggota dan pengurus


Budi Utomo serta para siswa dan guru Kweekschool Jetis, Ahmad Dahlan
mendapat dukungan yang besar. Di antara para pendukung itu adalah : Mas
Raji yang menjadi siswa, R. Sosro Sugondo, dan R. Budiarjo yang menjadi guru
di Kweekschool Jetis sangat membantu Ahmad Dahlan mengembangkan
sekolah tersebut sejak awal.
R. Budiharjo yang bersama-sama Ahmad Dahlan menjadi pengurus Budi Utomo
Yogyakarta banyak memberikan Saran tentang penyelenggaraan sebuah
sekolah sesuai dengan pengalamannya menjadi kepala sekolah di Kweekschool
Jetis. Ia juga menyarankan kepada Ahmad Dahlan untuk meminta subsidi
kepada pemerintah jika sekolah yang didirikan itu sudah teratur, dengan
dukungan dari Budi Utomo. Selain itu, pendirian sekolah itu juga mendapat
dukungan dari kelompok terpelajar yang berasal dari luar Kauman serta para
siswa Kweekschool Jetis yang biasa datang ke rumahnya pada setiap hari Ahad.
Sebagai realisasi dari dukungan Budi Utomo, organisasi ini menempatkan Kholil,
seorang guru di Gading untuk mengajar ilmu pengetahuan umum pada sore
hari di sekolah yang didirikan Ahmad Dahlan. Oleh sebab itu, para siswa masuk
dua kali dalam satu hari karena Ahmad Dahlan mengajar ilmu pengetahuan
agama Islam pada pagi hari. Walaupun masih mendapat tantangan dari
beberapa pihak, jumlah siswa terus bertambah sehingga Ahmad Dahlan harus
memindahkan ruang belajar ke tempat yang lebih luas di serambi rumahnya.
Akhirnya setelah proses belajar mengajar semakin teratur, sekolah yang
didirikan oleh Ahmad Dahlan itu diresmikan pada tanggal 1 Desember 1911 dan
diberi nama Madrasah Ibtidaiyah Diniyah Islamiyah. Ketika diresmikan, sekolah
itu mempunyai 29 orang siswa dan enam bulan kemudian dilaporkan bahwa
terdapat 62 orang siswa yang belajar di sekolah itu. Sebagai lembaga
pendidikan yang baru saja terbentuk, sekolah yang didirikan oleh Ahmad
Dahlan memerlukan perhatian lebih lanjut agar dapat terus dikembangkan.
Dalam kondisi seperti itu, pengalaman Ahmad Dahlan berorganisasi dalam Budi
Utomo dan Jamiat Khair menjadi suatu hal yang sangat penting bagi munculnya
ide dan pembentukan satu organisasi untuk mengelola sekolah tersebut, di
samping kondisi makro pada saat itu yang telah menimbulkan kesadaran akan
arti penting suatu organisasi modern maupun masukan yang didapat dari para
pendukung, termasuk dari para murid Kweekschool Jetis.
Salah seorang siswa kweekschool yang biasa datang ke rumah Ahmad Dahlan
pada hari Ahad, misalnya, menyarankan agar sekolah tersebut tidak hanya
diurus oleh Ahmad Dahlan sendiri melainkan dilakukan oleh suatu organisasi
supaya sekolah itu dapat terus berlangsung walaupun Ahmad Dahlan tidak lagi
terlibat di dalamnya atau setelah ia meninggal. Ide pembentukan organisasi itu
kemudian didiskusikan lebih lanjut dengan orang-orang yang selama ini telah
mendukung pembentukan dan pelaksanaan sekolah di Kauman, terutama para
anggota dan pengurus Budi Utomo serta guru dan murid Kweekschool Jetis.
Dalam satu kesempatan untuk mendapatkan dukungan dalam rangka
merealisasi ide pembentukan sebuah organisasi, Ahmad Dahlan melakukan
pembicaraan dengan Budiharjo yang menjadi kepala sekolah di Kweekschool
Jetis dan R. Dwijosewoyo, seorang aktivis Budi utomo yang sangat berpengaruh
pada masa itu. Pembicaraan tersebut tidak hanya terbatas pada upaya mencari
dukungan, melainkan juga sudah difokuskan pada persoalan nama, tujuan,
tempat kedudukan, dan pengurus organisasi yang akan dibentuk. Berdasarkan
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan didapatkan beberapa ha1 yang

berhubungan
organisasi.

secara

langsung

dengan

rencana

pembentukan

sebuah

Pertama, perlu didirikan sebuah organisasi baru di Yogyakarta. Kedua, para


siswa Kweekschool tetap akan mendukung Ahmad Dahlan, akan tetapi mereka
tidak akan menjadi pengurus organisasi yang akan didirikan karena adanya
larangan dari inspektur kepala dan anjuran agar pengurus supaya diambil dari
orang-orang yang sudah dewasa. Ketiga, Budi Utomo akan membantu pendirian
perkumpulan baru tersebut. Pada bulan-bulan akhir tahun 1912 persiapan
pembentukan sebuah perkumpulan baru itu dilakukan dengan lebih intensif,
melalui pertemuan-pertemuan yang secara ekplisit membicarakan dan
merumuskan masalah seperti nama dan tujuan perkumpulan, serta peran Budi
Utomo dalam proses formalitas yang berhubungan dengan pemerintah Hindia
Belanda.
Walaupun secara praktis organisasi yang akan dibentuk bertujuan untuk
mengelola sekolah yang telah dibentuk lebih dahulu, akan tetapi dalam
pembicaraan-pembicaraan yang dilakukan selanjutnya tujuan pembentukan
organisasi itu berkembang lebih luas, mencakup penyebaran dan pengajaran
agama Islam secara umum serta aktivitas sosial lainnya. Anggaran dasar
organisasi ini dirumuskan dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu, yang
dalam penyusunannya mendapat bantuan dari R. Sosrosugondo, guru bahasa
Melayu di Kweekscbool Jetis.
Organisasi yang akan dibentuk itu diberi nama "Muhammadiyah", nama yang
berhubungan dengan nama nabi terakhir Muhammad SAW."' Berdasarkan nama
itu diharapkan bahwa setiap anggota Muhammadiyah dalam kehidupan
beragama dan bermasyarakat dapat menyesuaikan diri dengan pribadi Nabi
Muhammad SAW dan Muhammadiyah menjadi organisasi akhir zaman.
Sementara itu, Ahmad Dahlan berhasil mengumpulkan 6 orang dari Kampung
Kauman, yaitu: Sarkawi, Abdulgani, Syuja, M. Hisyam, M. Fakhruddin, dan M.
Tamim untuk menjadi anggota Budi Utomo dalam rangka mendapat dukungan
formal Budi Utomo dalam proses permohonan pengakuan dari Pemerintah
Hindia Belanda terhadap pembentukan Muhammadiyah.
Setelah seluruh persiapan selesai, berdasarkan kesepakatan bersama dan
setelah melakukan shalat istikharah akhirnya pada tanggal 18 November 1912
M atau 8 Dzulhijjah 1330 H persyarikatan Muhammadiyah didirikan. Dalam
kesepakatan itu juga ditetapkan bahwa Budi Utomo Cabang Yogyakarta akan
membantu mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda agar
pembentukan Muhammadiyah diakui secara resmi sebagai sebuah badan
hukum. Pada hari Sabtu malam, tanggal 20 Desember 1912, pembentukan
Muhammadiyah diumumkan secara resmi kepada masyarakat dalam suatu
pertemuan yang dihadiri oleh tokoh masyarakat, pejabat pemerintah kolonial,
maupun para pejabat dan kerabat Kraton Kasultanan Yogyakarta maupun
Kadipaten Pakualaman.
Pada saat yang sama, Muhammadiyah yang dibantu oleh Budi Utomo secara
resmi mengajukan permohonan kepada Pemerintah Hindia Belanda untuk
mengakui Muhammadiyah sebagai suatu badan hukum. Menurut anggaran
dasar yang diajukan kepada pemerintah pada waktu pendirian, Muhammadiyah
merupakan organisasi yang bertujuan menyebarkan pengajaran agama Nabi
Muhammad SAW kepada penduduk bumiputra di Jawa dan Madura serta
memajukan pengetahuan agama para anggotanya. Pada waktu itu terdapat 9
orang pengurus inti, yaitu: Ahmad Dahlan sebagai kctua, Abdullah Sirat sebagai

sekretaris, Ahmad, Abdul Rahman, Sarkawi, Muhammad, Jaelani, Akis, dan


Mohammad Fakih sebagai anggota. Sementara itu, para anggota hanya dibatasi
pada penduduk Jawa dan Madura yang beragama Islam.

******

Anda mungkin juga menyukai