Anda di halaman 1dari 22

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberkati
kami sehingga makalah ini dapat diselesaikan. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada
bapak Drs L Malau M.Pd sebagai dosen pembimbing Strategi Pembelajaran Matematika
yang memberikan arahan dan bimbingan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan
baik. Kami juga ingin mengucapkan terimakasih bagi seluruh pihak yang telah membantu
kami dalam pembuatan makalah ini dan berbagai sumber yang telah kami pakai sebagai data
dan fakta pada makalah ini.
Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam
berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna.
Begitu pula dengan makalah

ini yang telah kami selesaikan tidak semua dapat kami

deskripsikan dengan sempurna dengan makalah

ini. Kami melakukannya semaksimal

mungkin dengan kemampuan yang kami miliki. Dimana kami juga memiliki keterbatasan
kemampuan. Untuk itu kami menerima saran dan kritik dari pembaca yang mana sebagai batu
loncatan untuk penyusunan makalah berikutnya.
Dengan menyelesaikan makalah ini kami mengharapkan banyak manfaat yang dapat
dipetik dan diambil dari makalah ini..

Semarang ,

september 2015

Penulis

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latarbelakang Masalah


Masalah-masalah kehidupan bermasyarakat yang ditandai oleh maraknya berbagai
problem sosial bersumber dari lemahnya sumber daya manusia dan atau modal sosial yang
ada di masyarakat. Persoalan-persoalan tersebut tentunya bukanlah semata-mata menjadi
tanggung jawab dunia pendidikan, namun pendidikanlah yang paling banyak berperan
terhadap munculnya persoalan-persoalan tersebut.
Orang-orang yang telah melewati sistem pendidikan, mulai dari pendidikan dalam keluarga,
pendidikan di masyarakat dan di lembaga-lembaga pendidikan formal, kurang memiliki
kemampuan untuk mengelola kekacauan. Demikian juga kesadaran individu akan nilai-nilai
kesatuan dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religi, pengembangan
kreativitas,

produktivitas,

berpikir

kritis,

tanggungjawab,

kemandirian,

berjiwa

kepemimpinan serta kemampuan berkolaborasi kurang berkembang dengan baik, sehingga


orang-orang muda selalu menjadi korban kekacauan.
Asumsi-asumsi yang melandasi program-program pendidikan sering kali tidak sejalan
dengan hakekat belajar, hakekat orang yang belajar, dan hakekat orang yang mengajar. Dunia
pendidikan, lebih khusus lagi dunia belajar, didekati dengan paradigma yang tidak mampu
menggambarkan hakekat belajar dan pembelajaran secara komprehensif. Praktek-praktek
pendidikan dan pembelajaran sangat diwarnai oleh landasan teoretik dan konseptual yang
tidak akurat. Pendidikan dan pembelajaran selama ini hanya mengagungkan pada
pembentukan aspek-aspek kognitif dengan sedikit ketrampilan. Sistem pendidikan yang
dianut bukan lagi suatu upaya pencerdasan kehidupan bangsa agar mampu mengenal realitas
diri dan dunianya, melainkan suatu upaya pembutaan kesadaran yang disengaja dan
terencana (Berybe, 2001) yang menutup proses perubahan dan perkembangan.
Sudah saatnya orang-orang muda dipersiapkan untuk memasuki era demokratisasi, suatu
era yang ditandai oleh keragaman perilaku, dengan cara terlibat dan mengalami langsung
proses pendemokrasian ketika mereka berada di dalam setting belajar. Keterlambatan hanya
akan memunculkan peluang terjadinya peristiwa kekerasan sebagaimana yang terjadi akhirakhir ini. Kita perlu mengkaji ulang, atau dengan ungkapan lain, kita perlu melakukan

reformasi, redefinisi, dan reorientasi bahkan revolusi terhadap landasan teoritik dan
konseptual tentang belajar dan pembelajaran, agar lebih mampu menumbuh kembangkan
anak-anak bangsa ini untuk lebih menghargai keragaman, meningkatkan kesadaran individu
akan nilai-nilai kesatuan dalam kemajemukan, nilai-nilai moral, kemanusiaan, dan religi,
mengembangkan kreativitas, produktivitas, berpikir kritis, bertanggungjawab, memiliki
kemandirian, berjiwa kepemimpinan serta mampu berkolaborasi. Bagaimana pengajar/guru
dapat memfasilitasi terjadinya perkembangan kemampuan siswa/mahasiswa pada aspekaspek afektif tersebut secara optimal ?

1.2. Rumusan Masalah


Adapun rumusan masalah dari strategi pembelajaran afektif adalah sbb :
1. Apakah pengertian dari strategi pembelajaran afektif ?
2. Bagaimana karakteristik dari strategi pembelajaran afektif ?
3. Apa saja model-model dari pembelajaran afektif ?
4. Apa kelemahan dari pembelajaran afektif ?
5. Bagaimana cara menanggulangi kelemahan dari strategi pembelajaran afektif ?
1.3. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah :
1. Mengetahui pengertian strategi pembelajaran afektif.
2. Mengetahui karakteristik yang terkandung dari straegi pembelajaran afektif
3. Mengetahui model-model dari strategi pembelajaran afektif.
4. Mengetahui kelemahan dari strategi pembelajaran afektif.
5. Mengetahui cara menanggulangi kelemahan strategi pembelajaran afektif.
1.4. Batasan Masalah
Untuk menghindari salah penafsiran berdasarkan latarbelakang masalah diatas maka
dibuat batasan masalah tentang makalah ini. Kami membahas tentang strategi pembelajaran
afektif. Adapun bahasan yang kami sajikan dalam makalah ini adalah pengertian dari strategi
pembelajaran afektif, hakikat pendidikan nilai dan sikap, model strategi pembelajaran afektif
dan kesulitan dalam pembelajaran afektif.

BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Strategi Pembelajaran Afektif
Menurut Sanjaya, (2007:126). Dalam dunia pendidikan, strategi diartikan sebagai
perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapi tujuan
pendidikan tertentu. sedangkan menurut Kemp (1995) menjelaskan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar
tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien, dan menurut Dick and Caret
(1985) mengartikan strategi pembelajaran adalah suatu set materi dan prosedur pembelajaran
yang digunakan secara bersama-sama untuk menimbulkan hasil belajar pada siswa.
Strategi Pembelajaran Afektif memang berbedadengan strategi pembelajaran kognitif
dan keterampilan. Afektif berhubungan dengan nilai (value), yang sulit diukur, oleh sebab itu
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam diri siswa. Dalam batasan tertentu
memang afeksi dapat muncul dalam kejadian behavioral, akan tetapi penilaiannya untuk
sampai kepada kesimpulan yang bisa dipertanggungj awapkan membutuhkan ketelitian dan
observasi yang terus menerus, dan hal ini tidaklah mudah untuk dilakukan. Apabila menilai
perubahan sikap sebagai akibat dari proses pembelajaran yang dilakukan guru disekolah kita
tidak bisa menyimpulkan bahwa sikap anak itu baik, misalnya dilihat dari kebiasaan bahasa
atau sopan santun yang bersangkutan, sebagai akibat dari proses pembelajaran yang
dilakukan guru. Mungkin sikap itu terbentuk oleh kebiasaan guru dalam keluarga dan
lingkungan sekitar.
Strategi pembelajaran afektif pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang
mengandung konflik atau situasi yang problematis, dan pengajar dapat membina dalam
menyelesaikan masalah tersebut sesuai dengan tingkat nilai kemampuan masing-masing.
2.2. Hakikat Strategi Pembelajaran Afektif
Agar lulusan pendidikan memiliki integritas pribadi di bidang keilmuannya secara
optimal, disamping menguasai substansi bidang keilmuan pada sisi kognitif dan
psikomotorik, diperlukan pula penguasaan pada aspek-aspek afektif. Studi tentang
pembelajaran untuk aspek-aspek afektif dapat memberikan kontribusi yang berarti, sekalipun
studi ini belum cukup menjamin terbentuknya integritas pribadi yang ideal. Studi tentang
pembelajaran aspek-aspek afektif tidak bersifat teknis melainkan refleksif, yaitu suatu

refleksi tentang nilai-nilai dan atau tema-tema yang berkaitan dengan perilaku manusia
terutama pada pengembangan aspek perasaan, sikap, nilai dan emosi.
Nilai adalah suatu konsep yang berada dalam pikiran manusia yang sifatnya
tersenbunyi, tidak berada di dalam dunia yang empiris.
Nilai berhubungan dengan pandangan seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak
indah, layak dan tidak layak, adil dan tidak adil, dan lain sebagainya. Pandangan seseorang
tentang senua itu tidak bisa diraba, kita hanya mungkin dapat mengetahuinya dari perilaku
yang bersangkutan. Oleh karena itulah nilai pada dasarnya standar perilaku, ukuran yang
menentukan atau kriteria seseorang tentang baik dan buruk, indah dan tidak indah, layak dan
tidak layak, adil dan tidak adil, dsb. Sehingga standar itu yang akan mewarnai perilaku
sesorang. Dengan demikian pendidikan nilai pada dasarnya merupakan proses penanaman
nilai kepada peserta didik yang diharapkan, oleh karenanya siswa dapat berperilaku sesuai
dengan pandangan yang dianggapnya baik dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang
berlaku.
Banyak ahli pendidikan yang juga menaruh perhatian khusus pada strategi pembelajaran
afektif,

berikut adalah pendapat beberapa ahli yang berhubungan dengan

strategi pembelajaran afektif :


1. Bloom (1976)
Mengatakan bahwa hasil belajar mencakup prestasi belajar, kecepatan belajar, dan hasil
afektif.
2. Andersen (1981)
Andersen sependapat dengan Bloom bahwa karakteristik manusia meliputi cara yang tipikal
dari berpikir, berbuat, dan perasaan. Tipikal berpikir berkaitan dengan ranah kognitif, tipikal
berbuat berkaitan dengan ranah psikomotor, dan tipikal perasaan berkaitan dengan ranah
afektif. Ranah afektif mencakup watak perilaku seperti perasaan, minat, sikap, emosi, atau
nilai. Ketiga ranah tersebut merupakan karakteristik manusia sebagai hasil belajar dalam
bidang pendidikan.
3. Popham (1995)
Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat
pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang
yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran
yang optimal. Oleh karena itu semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua
peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional
sering diperlukan untuk membangun semangat kebersamaan, semangat persatuan, semangat

nasionalisme, rasa sosial, dan sebagainya. Untuk itu semua dalam merancang program
pembelajaran, satuan pendidikan harus memperhatikan ranah afektif.
Dari pendapat beberapa ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa keberhasilan
pembelajaran pada ranah kognitif dan psikomotor dipengaruhi oleh kondisi afektif peserta
didik. Peserta didik yang memiliki minat belajar dan sikap positif terhadap pelajaran akan
merasa senang mempelajari mata pelajaran tertentu, sehingga dapat mencapai hasil
pembelajaran yang optimal. Walaupun para pendidik sadar akan hal ini, namun belum banyak
tindakan yang dilakukan pendidik secara sistematik untuk meningkatkan minat peserta didik.
Oleh karena itu untuk mencapai hasil belajar yang optimal, dalam merancang program
pembelajaran dan kegiatan pembelajaran bagi peserta didik, pendidik harus memperhatikan
karakteristik afektif peserta didik. Sementara itu Douglas Graham (Gulo, 2002) melihat
empat faktor yang merupakan dasar kepatuhan seseorang terhadap nilai tertentu yaitu :
a. Normativist, biasanya kepatuhan pada norma-norma dan hukum. Selanjutnya
dikatakan bahwa kepatuhan ini terdapat dalam tiga bentuk, yaitu :
1). Kepatuhan pada nilai atau norma itu sendiri.
2). Kepatuhan pada proses tanpa memperdulikan normanya sendiri.
3). Kepatuhan pada hasilnya atau tujuan yang diharapkannya dari peraturan itu.
b. Integralist, yaitu kepatuhan yang didasarkan kepada kesadaran dengan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional.
c. Fenomenalist, yaitu kepatuhan berdasarkan suara hati atau sekedar basa-basi.
d. Hedonist, yaitu kepatuhan berdasarkan kepentingan diri sendiri.
Dari keempat faktor yang menjadi dasar kepatuhan setiap individual, tentu saja yang
kita harapkan adalah kepatuhan yang bersifat normativist, karena kepatuhan semacam itu
adalah kepatuhan yang didasari kesadaran akan nilai, tanpa memperdulikan apakah perilaku
itu menguntungkan untuk dirinya atau tidak.
Selanjutnya dalam sumber yang sama dijelaskan, dari empat faktor ini terdapat lima
tipe kepatuhan, yaitu :
a. Otoritarian, yaitu suatu kepatuhan tanpa reserve atau kepatuhan yang ikut-ikutan.
b. Conformist, kepatuhan tipe ini mempunyai tiga bentuk, yaitu :
1). Conformist Directed, yaitu penyesuaian diri terhadap masyarakat atau orang lain.
2). Conformist Hedonist, yakni kepatuhan yang berorientasi pada untung-rugi.
3). Conformist Integral, adalah kepatuhan yang menyesuaikan kepentingan diri sendiri dan
masyarakat.

c. Compulsive Deviant, yaiut kepatuhan yang tidak konsisten.


d. Hedonik Psikopatik, yaitu kepatuhan pada kekayaan tanpa memperhitungkan kepentingan
orang lain.
e. Supramoralist, yaitu kepatuhan karena keyakinan yang tinggi terhadap nilai-nilai moral.

Dalam masyarakat yang cepat berubah seperti dewasa ini, pendidikan nilai bagi anak
merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan pada era global ini, anak akan
dihadapkan pada banyak pilihan tentang nilai yang mungkin dianggapnya baik. Penukaran
dan pengikisan nilai-nilai suatu masyarakat dewasa ini akan mungkin terjadi secara terbuka.
Nilai-nilai yang dianggap baik oleh suatu kelompok masyarakat bukan tak mungkin akan
menjadi luntur digantikan oleh nilai-nilai baru yang belum tentu cocok dengan budaya
masyarakat.
Gulo (2005), menyimpulkan tentang nilai sebagai berikut :
Nilai tidak bisa diajarkan tetapi diketahui dari penampilannya.
Pengembangan domain afektif pada nilai tidak bisa dipisahkan dari asfek kognitif dan
psikomotor.
Masalah nilai adalah masalah emosional dank arena itu dapat berubah, berkembang,
sehingga bisa dibina.
Perkembangan nilai atau moral tidak terjadi sekaligus, tetapi melalui tahap tertentu
Menurut Martin dan Briggs (1986), perkembangan kepribadian manusia (selfdevelopment) sebagai tujuan pendidikan merupakan komponen afektif paling inklusif yang
mencakup nilai, moral dan etika, motivasi dan kompetensi sosial. Nilai lebih inklusif dari
pada sikap (attitudes) dan berbeda dengan moral dan etika. Nilai berkenaan dengan penilaian
terhadap sesuatu yang berharga atau bernilai, sedangkan moral dan etika berkenaan dengan
penilaian tentang benar-salah.
Di dalam bukunya yang berjudul The Affective and Cognitive Domains: Integration
for Instruction and Research, Martin dan Briggs menggambarkan adanya hubungan
langsung antara sikap dan nilai serta sikap dengan moral dan etika. Mereka berpendapat
bahwa perkembangan nilai, moral dan etika, berhubungan langsung dengan sikap seseorang.
Sedangkan sikap tidak berhubungan secara langsung dengan motivasi dan kompetensi sosial,
namun sikap berpengaruh terhadap pilihan seseorang, motivasi, dan juga perilaku sosialnya.
Sikap bukanlah inti dari motivasi dan kompetensi sosial seseorang sebagaimana pada nilai
serta moral dan etika.

Dalam diagram berikut Martin dan Briggs menempatkan kompetensi sosial,


motivasi, nilai, serta moral dan etika, dalam satu garis lurus sebagai persyaratan bagi
perkembangan pribadi seseorang (self-development). Sedangkan interes merupakan
prerequisit bagi motivasi seseorang. Suatu perbuatan dinilai baik atau buruk, benar atau salah
dengan cara menunjukkan alasan-alasan rasionalnya saja tidaklah cukup. Penilaian kognitif
juga berhubungan dengan perasaan.
Martin dan Briggs menggambarkan bahwa emosi seseorang mendasari perkembangan
sikap, interes, kompetensi sosial, serta aspek-aspek afektif lainnya. Sedangkan perasaan
berkaitan dengan emosi. Atribusi ditempatkan sebagai komponen afektif yang paling akhir.
Atribusi berhubungan langsung dengan perkembangan pribadi (self development). Untuk
menggambarkan hubungan sikap dan atribusi hanya dibatasi pada sub kategori sikap, yaitu
sikap tentang diri sendiri. Kompetensi sosial berhubungan langsung dengan atribusi, sebab
penilaian terhadap seseorang banyak dilakukan melalui interaksi sosial.

Maksud dari bahasan ini adalah untuk menunjukkan bahwa integritas kepribadian
seseorang dapat dikembangkan melalui aspek kognitif dan aspek afektif. Gambaran tentang
hubungan di antara aspek-aspek afektif di atas dapat dijadikan acuan studi tentang pendidikan
untuk mengembangkan sisi-sisi afektif dan soft-skills.

2.3 Karakteristik Strategi Pembelajaran Afektif


Pemikiran atau perilaku harus memiliki dua kriteria untuk diklasifikasikan
sebagai ranah afektif (Andersen, 1981:4). Pertama, perilaku melibatkan perasaan dan emosi
seseorang. Kedua, perilaku harus tipikal perilaku seseorang. Kriteria lain yang termasuk
ranah afektif adalah intensitas, arah, dan target. Intensitas menyatakan derajat atau kekuatan
dari perasaan. Beberapa perasaan lebih kuat dari yang lain, misalnya cinta lebih kuat dari
senang atau suka. Sebagian orang kemungkinan memiliki perasaan yang lebih kuat dibanding
yang lain. Arah perasaan berkaitan dengan orientasi positif atau negatif dari perasaan yang
menunjukkan apakah perasaan itu baik atau buruk. Misalnya senang pada pelajaran dimaknai
positif, sedang kecemasan dimaknai negatif.
Bila intensitas dan arah perasaan ditinjau bersama-sama, maka karakteristik afektif
berada dalam suatu skala yang kontinum. Target mengacu pada objek, aktivitas, atau ide

sebagai arah dari perasaan. Bila kecemasan merupakan karakteristik afektif yang ditinjau, ada
beberapa kemungkinan target. Peserta didik mungkin bereaksi terhadap sekolah, matematika,
situasi sosial, atau pembelajaran. Tiap unsur ini bisa merupakan target dari kecemasan.
Kadang-kadang target ini diketahui oleh seseorang namun kadang-kadang tidak diketahui.
Seringkali peserta didik merasa cemas bila menghadapi tes di kelas. Peserta didik tersebut
cenderung sadar bahwa target kecemasannya adalah tes.
Ada 5 (lima) tipe karakteristik afektif yang penting, yaitu sikap, minat, konsep diri,
nilai, dan moral.
1) Sikap.
Sikap merupakan suatu kencendrungan untuk bertindak secara suka atau tidak suka
terhadap suatu objek, suatu kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek
berdasarkan nilai yang dianggapnya baik atau tidak baik. Sikap dapat dibentuk melalui cara
mengamati dan menirukan sesuatu yang positif, kemudian melalui penguatan serta menerima
informasi verbal. Perubahan sikap dapat diamati dalam proses pembelajaran, tujuan yang
ingin dicapai, keteguhan, dan konsistensi terhadap sesuatu. Penilaian sikap adalah penilaian
yang dilakukan untuk mengetahui sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, kondisi
pembelajaran, pendidik, dan sebagainya. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh
kecenderungan untuk menolak suatu objek. Selain itu terdapat pula pandangan beberapa ahli
mengenai pengertian sikap, yaitu :
1. Thurstone & Chave (dalam Mitchell, 1990)
Mengemukakan definisi sikap yaitu, Sikap adalah keseluruhan dari kecenderungan dan
perasaan, curiga atau bias, asumsi-asumsi, ide-ide, ketakutan-ketakutan, tantangan-tantangan,
dan keyakinan manusia mengenai topik tertentu.
2. Allport (1921)
Sikap adalah kondisi mental dan neural yang diperoleh dari pengalaman, yang mengarahkan
dan secara dinamis mempengaruhi respon-respon individu terhadap semua objek dan situasi
yang terkait.
3. Menurut Krech & Crutchfield
Sikap adalah pengorganisasian yang relatif berlangsung lama dari proses motivasi, persepsi
dan kognitif yang relatif menetap pada diri individu dalam berhubungan dengan aspek
kehidupannya.
4. Winkel (2004)
Sikap merupakan suatu kemampuan internal yang berperanan sekali dalam mengambil

tindakan (action), lebih-lebih apabila terbuka berbagai kemungkinan untuk bertindak atau
tersedia beberapa alternatif.
5. Fishbein dan Ajzen (1975)
Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespon secara positif atau negatif
terhadap suatu objek, situasi, konsep, atau orang. Sikap peserta didik terhadap objek misalnya
sikap terhadap sekolah atau terhadap mata pelajaran.
Dari berbagai definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa, sikap adalah
kecenderungan seseorang untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan nilai yang
dianggapnya baik atau tidak baik. Dengan demikian, belajar sikap berarti memperoleh
kecenderungan untuk menerima atau menolak suatu objek berdasarkan penilaian terhadap
objek itu sebagai hal yang berguna atau berharga (sikap positif) dan tidak berharga atau tidak
berguna (sikap negatif).
Pernyataan kesenangan dan ketidaksenangan seseorang terhadap objek yang dihadapinya,
akan sangat dipengaruhi oleh tingkat pemahamannya (aspek kognitif) terhadap objek
tersebut. Oleh karena itu, tingkat penalaran (kognitif) terhadap sesuatu objek dan kemampuan
untuk bertindak terhadapnya (psikomotorik) turut menentukan sikap seseorang terhadap
objek yang bersangkutan dan yang akan dipilihnya. Sikap peserta didik ini penting untuk
ditingkatkan (Popham, 1999). Sikap peserta didik terhadap mata pelajaran, misalnya bahasa
Inggris, harus lebih positif setelah peserta didik mengikuti pembelajaran bahasa Inggris
dibanding sebelum mengikuti pembelajaran. Perubahan ini merupakan salah satu indikator
keberhasilan pendidik dalam melaksanakan proses pembelajaran. Untuk itu pendidik harus
membuat rencana pembelajaran termasuk pengalaman belajar peserta didik yang membuat
sikap peserta didik terhadap mata pelajaran menjadi lebih positif.
2) Minat.
Menurut Getzel (1966), minat adalah suatu disposisi yang terorganisir melalui
pengalaman yang mendorong seseorang untuk memperoleh objek khusus, aktivitas,
pemahaman, dan keterampilan untuk tujuan perhatian atau pencapaian. Sedangkan menurut
kamus besar Bahasa Indonesia (1990: 583), minat atau keinginan adalah kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya. Secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
Penilaian minat dapat digunakan untuk:
a. mengetahui minat peserta didik sehingga mudah untuk pengarahan dalam pembelajaran,
b. mengetahui bakat dan minat peserta didik yang sebenarnya,

c. pertimbangan penjurusan dan pelayanan individual peserta didik,


d. menggambarkan keadaan langsung di lapangan/kelas,
e. mengelompokkan peserta didik yang memiliki minat sama,
f. acuan dalam menilai kemampuan peserta didik secara keseluruhan dan memilih metode
yang tepat dalam penyampaian materi,
g. mengetahui tingkat minat peserta didik terhadap pelajaran yang diberikan pendidik,
h. bahan pertimbangan menentukan program sekolah,
i. meningkatkan motivasi belajar peserta didik.
3) Konsep Diri.
Menurut Smith, konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap
kemampuan dan kelemahan yang dimiliki. Target, arah, dan intensitas konsep diri pada
dasarnya seperti ranah afektif yang lain. Target konsep diri biasanya orang tetapi bisa juga
institusi seperti sekolah. Arah konsep diri bisa positif atau negatif, dan intensitasnya bisa
dinyatakan dalam suatu daerah kontinum, yaitu mulai dari rendah sampai tinggi.
Konsep diri ini penting untuk menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan
mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi
peserta didik. Selain itu informasi konsep diri penting bagi sekolah untuk memberikan
motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Penilaian konsep diri dapat dilakukan dengan penilaian diri. Kelebihan dari penilaian
diri adalah sebagai berikut :
a. Pendidik mampu mengenal kelebihan dan kekurangan peserta didik.
b. Peserta didik mampu merefleksikan kompetensi yang sudah dicapai.
c. Pernyataan yang dibuat sesuai dengan keinginan penanya.
d. Memberikan motivasi diri dalam hal penilaian kegiatan peserta didik.
e. Peserta didik lebih aktif dan berpartisipasi dalam proses pembelajaran.
f. Dapat digunakan untuk acuan menyusun bahan ajar dan mengetahui standar input peserta
didik.
g. Peserta didik dapat mengukur kemampuan untuk mengikuti pembelajaran.
h. Peserta didik dapat mengetahui ketuntasan belajarnya.
i. Melatih kejujuran dan kemandirian peserta didik.
j. Peserta didik mengetahui bagian yang harus diperbaiki.
k. Peserta didik memahami kemampuan dirinya.
l. Pendidik memperoleh masukan objektif tentang daya serap peserta didik.

m. Mempermudah pendidik untuk melaksanakan remedial, hasilnya dapat untuk instropeksi


pembelajaran yang dilakukan.
n. Peserta didik belajar terbuka dengan orang lain.
o. Peserta didik mampu menilai dirinya.
p. Peserta didik dapat mencari materi sendiri.
q. Peserta didik dapat berkomunikasi dengan temannya.
4) Nilai
Nilai menurut Rokeach (1968) merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan,
tindakan, atau perilaku yang dianggap baik dan yang dianggap buruk. Selanjutnya dijelaskan
bahwa sikap mengacu pada suatu organisasi sejumlah keyakinan sekitar objek spesifik atau
situasi, sedangkan nilai mengacu pada keyakinan.
Target nilai cenderung menjadi ide, target nilai dapat juga berupa sesuatu seperti sikap dan
perilaku. Arah nilai dapat positif dan dapat negatif. Selanjutnya intensitas nilai dapat
dikatakan tinggi atau rendah tergantung pada situasi dan nilai yang diacu.
Definisi lain tentang nilai disampaikan oleh Tyler (1973:7), yaitu nilai adalah suatu objek,
aktivitas, atau ide yang dinyatakan oleh individu dalam mengarahkan minat, sikap, dan
kepuasan. Selanjutnya dijelaskan bahwa manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan
ide sehingga objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap, dan kepuasan. Oleh karenanya
satuan pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang
bermakna dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal dan
memberi konstribusi positif terhadap masyarakat.
5) Moral
Piaget dan Kohlberg banyak membahas tentang perkembangan moral anak. Namun
Kohlberg mengabaikan masalah hubungan antara judgement moral dan tindakan moral. Ia
hanya mempelajari prinsip moral seseorang melalui penafsiran respon verbal terhadap dilema
hipotetikal atau dugaan, bukan pada bagaimana sesungguhnya seseorang bertindak.
Moral berkaitan dengan perasaan salah atau benar terhadap kebahagiaan orang lain atau
perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendiri. Misalnya menipu orang lain,
membohongi orang lain, atau melukai orang lain baik fisik maupun psikis. Moral juga sering
dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang, yaitu keyakinan akan perbuatan yang berdosa
dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.

Ranah afektif lain yang penting adalah:


a. Kejujuran, peserta didik harus belajar menghargai kejujuran dalam berinteraksi dengan
orang lain.
b. Integritas, peserta didik harus mengikatkan diri pada kode nilai, misalnya moral dan
artistik.
c. Adil, peserta didik harus berpendapat bahwa semua orang mendapat perlakuan yang sama
dalam memperoleh pendidikan.
d. Kebebasan, peserta didik harus yakin bahwa negara yang demokratis memberi kebebasan
yang bertanggung jawab secara maksimal kepada semua orang.

2.4 Proses dan Model Strategi Pembelajaran Afektif


2.4.1. Proses Strategi Pembelajaran Afektif
Proses strategi pembelajaran afektif juga disebut dengan istilah proses pembentukan
sikap, ada dua proses yang termasuk kedalam strategi pembelajaran afektif, yaitu :
1) Pola Pembiasaan
Menurut penelitian Watson seorang psikolog cara belajar sikap yang disebabkan
dengan kebiasaan dapat menjadi dasar penanaman sikap tertentu terhadap suatu objek. Dalam
proses pembelajaran di sekolah, baik secara disadari maupun tidak, guru dapat menanamkan
sikap tertentu kepada siswa melalui proses pembiasaan misalnya, siswa yang setiap kali
menerima perlakuan yang tidak mengenakan dari guru seperti mengejek atau menyinggung
perasaan anak, maka lama-kelamaan akan timbul perasaan kesal dari anak tersebut yang pada
akhirya dia tidak menyukai guru dan mata pelajarannya.
Belajar membentuk sikap melalui pembiasaan juga dilakukan oleh Skinner melalu
teorinya operant conditioning proses pembentukan sikap melalui pembiasaan yang
dilakukan Watson berbeda dengan proses pembiasaan sikap yang dilakukan Skinner. Skinner
menekankan pada proses peneguhan respons anak, dimana setiap kali anak menunjukan
prestasi yang baik diberikan penguatan dengan cara memberikan hadiah atau prilaku yang
menyenangkan.
Dari Watson dan Skinner, menurut kelompok kami dapat diambil kesimpulan bahwa proses
pembentukan sikap dengan pola pembiasaan bukan hanya melalui proses pembiasaan yang
dilakukan secara terus menerus melainkan juga memberikan penguatan sehingga anak akan
berusaha dan bersemangat untuk meningkatkan sikap positifnya.

2) Modeling
Pembelajaran sikap seseorang yang dilakukan melalui proses modeling yaitu
pembentukan sikap melalui proses asimilasi atau proses mencontoh. Proses modeling ini
adalah proses peniruan anak terhadap orang lain yang menjadi idolanya atau orang yang
dihormatinya yang dimulai rasa kagum. Salah satu karakteristik anak didik yang sedang
berkembang adalah keinginannya untuk melakukan peniruan (imitasi). Hal yang ditiru itu
adalah perilaku-perilaku yang diperagakan atau didemonstrasikan oleh orang yang menjadi
idolanya. Prinsip peniruan ini yang dimaksud dengan modeling.
Proses penanaman sikap anak terhadap suatu objek melalui proses modeling pada mulanya
dilakukan secara mencontoh, namun anak perlu diberi pemahaman mengapa hal itu
dilakukan. Misalnya, guru perlu menjelaskan mengapa kita harus berpakaian bersih atau
mengapa kita harus telaten menjaga dan memelihara tanaman.
2.4.2 Model Strategi Pembelajaran Afektif.
Menurut Wina Sanjaya (2006), ada 3 model strategi pembelajaran yaitu :
1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model
ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut
pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai
dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.
Sedangkan Lickona dalam bukunya Educating for Character (dalam Paul Suparno,
dkk. 2002) menekankan pentingnya diperhatikan tiga unsur dalam menanamkan nilai, yaitu;
pengertian atau pemahaman tentang nilai yang dipelajari, perasaan, dan tindakan yang sesuai
dengan nilai-nilai tersebut. Ketiga unsur ini saling berkaitan. Pengajar perlu memperhatikan
ketiga unsur ini agar nilai-nilai yang ditanamkan tidak sekedar sebagai pengetahuan semata,
tetapi benar-benar menjadi tindakan-tindakan nyata.

Pengertian atau pemahaman terhadap suatu nilai adalah kesadaran, rasionalitas, atau
alasan mengapa seseorang harus melakukan hal itu, suatu pengambilan keputusan
berdasarkan nilai-nilai tertentu. Ini sering kali disebut sebagai segi kognitif dari nilai. Segi
kognitif ini perlu diajarkan kepada para siswa/mahasiswa. Mereka dibantu untuk mengerti
mengapa suatu nilai perlu dilakukan. Sedangkan perasaan lebih pada kesadaran akan hal-hal
yang baik dan tidak baik. Perasaan mencintai kebaikan dan sikap empati terhadap orang lain
merupakan ekspresi dari perasaan ini. Perasaan ini sangat mempengaruhi seseorang untuk
berbuat baik.
Oleh sebab itu, perasaan terhadap suatu nilai perlu dikembangkan dengan memupuk
perkembangan hati nurani dan sikap empati. Tindakan, yaitu kemampuan untuk melakukan
keputusan yang dilandasi oleh perasaan terhadap suatu nilai ke dalam perilaku-perilaku
nyata. Tindakan-tindakan yang dilandasi oleh nilai-nilai yang dijunjung tinggi ini perlu
difasilitasi agar muncul dan berkembang dalam pergaulan sehari-hari. Lingkungan belajar
yang kondusif untuk memunculkan tindakan-tindakan ini sangat diperlukan dalam
pendidikan aspek-aspek afektif. Ketiga unsur yaitu, penalaran, perasaan, dan tindakan yang
dilandasi oleh nilai-nilai tersebut harus ada dan dikembangkan dalam pendidikan.
Tantangan dunia pendidikan kedepan adalah mewujudkan proses demokratisasi
belajar. Suatu proses pendemokrasian yang mencerminkan bahwa belajar adalah atas prakarsa
individu. Demokrasi belajar berisi pengakuan hak seseorang untuk melakukan tindakan
belajar sesuai dengan karakteristiknya. Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat belajar
yang demokratis adalah adanya pengemasan pembelajaran yang beragam dengan cara
menghapuskan penyeragaman kurikulum, strategi pembelajaran, bahan ajar, dan evaluasi
belajar. Lembaga pendidikan merupakan tempat untuk mengembangkan seluruh potensi
siswa/mahasiswa secara maksimal termasuk nilai-nilai sosial.
Bentuk-bentuk hubungan antara pengajar dan siswa/mahasiswa perlu diperbaharui. Jika
selama ini pengajar lebih otoriter, sarat komando, instruktif, bergaya birokrat, perlu diubah
peranannya sebagai ibu/bapak, kakak, sahabat, atau mitra. Sering kali terjadi, dalam beberapa
hal pengajar berperan sebagai murid dan siswa/mahasiswa justru sebagai gurunya. Proses
belajar dalam hubungannya di antara siswa/mahasiswa satu dengan lainnya berubah.
Untuk mengembangkan agar manusia menjadi matang tidak cukup bila ia hanya dilatih
tetapi juga harus dididik. Siswa/mahasiswa harus dididik untuk realis, mengakui kehidupan
yang multi-dimensional, tidak seragam, dan diajak menghayati kebinekaan yang saling
melengkapi demi persaudaraan yang sehat, menghargai hak dan kewajiban sosial yang saling
solider. Pada pelatihan terutama yang dibentuk adalah tingkah laku lahiriah, sedangkan pada

pendidikan yang dibentuk adalah disposisi mental dan emosional (Sindhunata, 2001).
Mendidik bukan berarti sekedar menjadikan siswa/ mahasiswa trampil secara praktis terhadap
lingkungannya. Mendidik juga berarti membantu siswa/mahasiswa untuk menjadi dirinya
dan peka terhadap lingkungannya.
Pengaturan lingkungan belajar sangat diperlukan agar siswa/mahasiswa mampu
melakukan kontrol terhadap pemenuhan kebutuhan emosionalnya. Lingkungan belajar yang
demokratis memberi kebebasan kepada siswa/mahasiswa untuk melakukan pilihan-pilihan
tindakan belajar dan akan mendorong mereka untuk terlibat secara fisik, emosional dan
mental dalam proses belajar, sehingga akan dapat memunculkan kegiatan-kegiatan yang
kreatif-produktif. Ini merupakan kaidah yang sangat penting dalam penataan lingkungan
belajar. Setiap siswa/mahasiswa satu persatu dan/atau bersama-sama perlu diberi kebebasan
untuk melakukan pilihan-pilihan sesuai dengan apa yang mampu dan mau dilakukannya.
Prakarsa siswa/mahasiswa untuk belajar akan mati bila kepadanya dihadapkan pada berbagai
macam aturan yang tak ada kaitannya dengan belajar. Sikap dan persepsi yang positif
terhadap belajar menjadi modal dasar untuk memunculkan prakarsa belajar. Ini semua sangat
penting untuk mengembangkan kemampuan mental yang produktif.
2.5 Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif
Disamping aspek pembentukan kemampuan intelektual untuk membentuk kecerdasan
peserta didik dan pembentukan keterampilan untuk mengembangkan kompetensi agar peserta
didik memiliki kemampuan motorik, maka pembentukan sikap peserta didik merupakan
aspek yang tidak kalah pentingnya. Dalam proses pendidikan disekolah proses pembelajaran
sikap kadang-kadang terabaikan. Hal ini disebabkanoleh proses pembelajaran dan
pembentukan akhlak memiliki beberapa kesulitan.
Pertama, Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung
diarahkan untuk pembentukan intelektual. Sehingga keberhasilan proses pendidikan dan
pembelajaran ditentukan oleh kriteria kemampuan kognitif. Akibatnya upaya guru diarahkan
kepada bagaimana agar anak dapat mengetahui sejumlah pengetahuan sesuai dengan standard
kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari berbagai macam bentuk evaluasi yang dilakukan baik
evaluasi tingkat sekolah, tingkat wilayah maupun tingkat nasional diarahkan kepada
kemampuan anak dalam menguasai materi pelajaran. contohnya pendidikan agama dan
pendidikan kewarganegaraan yang seharusnya diarahkan kepada tingkat pembentukan moral
dan sikap, tapi karena keberhasilannya diukur dari kemampuan intelektual maka evaluasi pun
lebih banyak mengukur kemampuan penguasaan materi pelajaran dalam bentuk kognitif.

Kedua, sulitnya melakukan kontrol karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses
pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru tetapi juga faktor
lain, terutama faktor lingkungan.
Ketiga, keberhasilan pembentukan sikap tidak dapat dievaluasi dengan segera.
Berbeda dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat
diketahui setelah proses pembelajaran berakhir. Sementara keberhasilan pembentukan sikap
dapat dilihat dengan rentan waktu yang cukup panjang karena sikap berhubungan dengan
internalisasi nilai yang memerlukan proses yang lama.
Keempat, pengaruh kemajuan tekhnologi, khususnya kemajuan tekhnologi informasi
yang menyuguhkan aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter
anak. Tidak bisa kita pungkiri, program televisi , misalnya yang banyak menanyangkan
program acara produksi luar yang memiliki latarbelakang budaya yang berbeda. Maka secara
perlahan tapi pasti budaya asing yang belum tentu cocok dengan budaya lokal merembes
dalam setiap relung kehidupan, menggeser nilai-nilai lokal sebagai nilai luhur yang mestinya
ditumbuhkembangkan, sehingga pada akhirnya membentuk norma baru yang mungkin tidak
sesuai dengan nilai dan norma masyarakat yang berlaku.

2.6 Cara mengatasi Kesulitan dalam Pembelajaran Afektif


Cara Mengatasi Kesulitan Dalam Pembelajaran Afektif
Dalam mengatasi kesulitan-kesulitan pembelajaran afektif diatas terdapat beberapa
cara yang dapat diterapkan agar kesulitan-kesulitan tyersebut dapat diminimalisir dan bahkan
diatasi dengan baik. Cara-cara mengatasinya adalah :
Pertama, Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan
untuk mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi
kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki
generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki
intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan
yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat
mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat
popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang
sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter

perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana
sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
Kedua, Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku
yang akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran
yang intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan
bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya.
Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu
agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan
mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti
akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang
baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
Ketiga, Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta
lingkungan berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh
dari kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku
anak akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku
anak sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
Keempat, Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik
dari orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan
menggunakan bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar.
Kedekatan orang tua dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam
menerima kemajuan teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab,
berikan kepercayaan terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan
mana yang buruk bagi dirinya sendiri.

BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dapat diperoleh dari makali ini adalah :

1. Strategi pembelajaran afektif adalah strategi yang bukan hanya bertujuan untuk mencapai
pendidikan kognitif saja, akan tetapi juga bertujuan untuk mencapai dimensi yang lainnya.
Yaitu sikap dan keterampilan afektif berhubungan dengan volume yang sulit diukur karena
menyangkut kesadaran seseorang yang tumbuh dari dalam, afeksi juga dapat muncul dalam
kejadian behavioral yang di akibatkan dari proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru.
Kemampuan aspek afektif berhubungan dengan minat dan sikap yang dapat berupa tanggung
jawab, kerja sama, disiplin, komitmen, percaya diri, jujur, menghargai pendapat orang lain
dan kemampuan mengendalikan diri. Semua kemampuan ini harus menjadi bagian dari tujuan
pembelajaran di sekolah, yang akan di capai melalui kegiatan pembelajaran yang tepat.
2. Karakteristik strategi pembelajaran afektif, yaitu :
a. Sikap, merupakan suatu kecenderungan bertindak secara suka atau tidak suka terhadap
suatu objek. Berdasarkan nilai yang dianggap baik atau tidak baik. Dengan demikian belajar
sikap berarti memperoleh kecenderungan untuk menolak suatu objek.
b. Minat, menurut buku Bahasa Indonesia (1990:583) minat adalah kecenderungan hati
yang tinggi terhadap sesuatu. Hal penting pada minat adalah intensitasnya, secara umum
minat termasuk karakteristik afektif yang memiliki intensitas tinggi.
c. Konsep Diri, menurut Smith konsep diri merupakan evaluasi yang dilakukan individu
terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting untuk
menentukan jenjang karir peserta didik, yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan
diri sendiri, dapat dipilih alternatif karir yang tepat bagi peserta didik serta penting bagi
sekolah untuk memberikan motivasi belajar peserta didik dengan tepat.
d. Nilai, menurut Rokeach manusia belajar menilai suatu objek, aktivitas, dan ide sehingga
objek ini menjadi pengatur penting minat, sikap dan kepuasan. Oleh karena itu satuan
pendidikan harus membantu peserta didik menemukan dan menguatkan nilai yang bermakna
dan signifikan bagi peserta didik untuk memperoleh kebahagiaan personal danj memberi
kontribusi positif terhadap masyarakat.
e. Moral, Menurut kohlberg moral berkaitan dengan perasaan salah satu atau benar
terhadap kebahagiaan orang lain atau perasaan terhadap tindakan yang dilakukan diri sendir.
Moral juga sering dikaitkan dengan keyakinan agama seseorang yaitu akan perbuatan yang
berdosa dan berpahala. Jadi moral berkaitan dengan prinsip, nilai, dan keyakinan seseorang.
3. Model-model Pembelajaran afektif adalah sbb :

1. Model Konsiderasi, dikembangkan oleh Mc, Paul yang menekankan bahwa model
ini merupakan strategi pembelajaran yg dapat membentuk kpribadian . Salah satu
implementasinya yakni mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut
pandang untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu sesuai
dengan nilai yang dimilikinya.
2. Model Pengembangan Kognitif oleh Lawrence KohlBerg, berpendapat bahwa
perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung
secara berangsur-angsur .
3. Teknik Mengklarifikasi Nilai dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk
membantu siswa dalam mencari dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam
menghadapi suatu persoalan yang dianggap proses menganalisis nilai yang sudah ada dan
tertanam dalam diri siswa.
4. Kelemahan Pembelajaran Afektif yaitu :
1. Proses pendidikan sesuai dengan kurikulum yang berlaku cenderung diarahkan
untuk pembentukan intelektual. Dengan demikian, keberhasilan proses pendidikan dan proses
pembelajaran di sekolah ditentukan oleh kriteria kemampuan intelektual (kemampuan
kognitif).
2. Sulitnya melakukan kontrol karena banyaknya faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan sikap seseorang. Pengembangan kemampuan sikap baik melalui proses
pembiasaan maupun modeling bukan hanya ditentukan oleh faktor guru, akan tetapi juga
faktor-faktor lain terutama faktor lingkungan..
3. Keberhasilan pembentukan sikap tidak bisa dievaluasi dengan segera. Berbeda
dengan pembentukan aspek kognitif dan aspek keterampilan yang hasilnya dapat diketahui
setelah proses pembelajaran berakhir. Maka keberhasilan dari pembentukan sikap baru dapat
dilihat pada rentang waktu yang cukup panjang
4. Pengaruh kemajuan teknologi, khususnya teknologi informasi yang menyuguhkan
aneka pilihan program acara, berdampak pada pembentukan karakter anak. Tidak bisa kita
pungkiri, program-program televisi misalnya : yang banyak menayangkan program acara
produksi luar yang memiliki latar belakang budaya yang berbeda, dan banyak ditonton oleh
anak-anak, sangat berpengaruh dalam pembentukan sikap dan mental anak.

5. Cara menanggulangi kelemahan pembelajaran afektif yakni :


1. Pendidikan yang ada selama ini sesuai dengan kurikulum yang digunakan untuk
mengukur kemampuan intelektual anak dari pada kemampuan afektif, akan tetapi
kemampuan dalam bersikap pun tidak kalah penting harus dimiliki anak, untuk apa memiliki
generasi muda yang pintar akan tetapi perilakunya tidak mencerminkan orang yang memiliki
intektual. Pendidikan agama dan kewarganegaraan sampai saat ini merupakan pendidikan
yang wajib diberikan pada anak didik, karena dengan pendidikan agama dan moral dapat
mengontrol perilaku anak agar tidak cepat terjerumus pada perilaku yang buruk tetapi sangat
popular, akibat kemajuan zaman dan teknologi. Kesadaran yang harus dimiliki diri anak yang
sangat baik ditanamkan sejak dini adalah sesuatu sikap yang sangat tepat dalam memfilter
perilaku anak, anak akan memahami cara berperilaku saat anak mampu membedakan mana
sikap yang baik dan mana sikap yang buruk bagi dirinya.
2. Peran dari guru dan orang tua serta lingkungan sangat menentukan perilaku yang
akan dikeluarkan atau dicontoh oleh siswa. Guru mampu memberikan pembelajaran yang
intelektual dan juga memiliki nilai sikap yang baik, contohya saat guru mengajarkan
bagaimananya caranya bersikap pada pengemis, pemulung, orang tua, dan lain sebagainya.
Guru pun dapat memberikan praktek melalui contoh dalam kehidupan sehari-hari. Dalam
lingkungan masyarakat orang tua yang harus menjadi contoh bagi anaknya, tanamkan ilmu
agama dan moral dari anak berusia dini, serta berikan perhatian dan penjelasan yang ringan
mengenai akhlaq manusia yang baik, dan kemukakan beberapa contoh suri tauladan seperti
akhlaq Nabi Muhammad SAW. Orang tua juga memberikan contoh praktek bersikap yang
baik didepan anak-anaknya, agar anak bangga dan mencontohnya.
3. Pembentukan sikap bukan untuk dinilai akan tetapi diterapkan dalam kehidupan
sehari-hari, apabila pembentukan sikap yang dilakukan guru dan orang tua serta lingkungan
berpengaruh baik pada anak maka kehidupan anak akan terjamin aman dan jauh dari
kekacauan. Sebaliknya bila pembentukan sikap kurang optimal pada anak maka perilaku anak
akan mudah tergantikan dengan perilaku yang datang silih berganti, membuat perilaku anak
sulit terkontrol dan berakibat buruk bagi anak tersebut.
4. Pengaruh kemajuan teknologi dapat diatasi dengan pengawasan yang baik dari
orang tua dan guru, berikan pengertian bahayanya kemajuan teknologi dengan menggunakan
bahasa yang komunikatif tanpa gaya yang memaksa ataupun nada kasar. Kedekatan orang tua
dan anak sangat banyak membantu dalam mengotrol sikap anak dalam menerima kemajuan
teknologi yang ada, berikan anak kebebasan yang bertanggung jawab, berikan kepercayaan

terhadap anak bahwa anak mampu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk bagi
dirinya sendiri.

3.2 Saran
Adapun saran dari kami adalah :
1. Setiap strategi pembelajaran pasti memiliki keungulan dan kelemahan, oleh karena itu kita
sebagai calon guru harus mampu memilih dan menggunakan strategi pembelajaran yang tepat
dalam kegiatan pembelajaran.
2. Kita sebagai calon guru diharapkan mampu memberikan pembelajaran afektif yang dapar
menumbuhkan integritas peserta didik kearah yang lebih baik. Agar peserta didik yang
terbentuk tidak hanya memiliki inteligensi yang tinggi namun juga berkepribadian yang baik.

DAFTAR PUSTAKA
Sanjaya Wina.Mpd. 2006. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standard Proses Pendidikan.
Jakarta: Kharisma putra utama.
http://www.libraryfipuny.or.id.
http://www.strategi-pembelajaran-afektif/matematika

Anda mungkin juga menyukai