Pemukiman Liar
Pemukiman Liar
DALAM PENYELESAIANNYA
A. Pendahuluan
Seiring dengan perkembangan jaman, kepadatan penduduk, khususnya
di kota-kota besar menjadi tak terelakkan. Akibatnya kota tidak lagi menjadi
tempat yang nyaman bagi para penduduknya. Masyarakat yang tidak memiliki
lahan pada akhirnya menempati daerah secara ilegal untuk tempat tinggalnya.
Fungsi kota yang nyaman menjadi hilang, karena sebagian warganya tidak
memiliki rumah sendiri, ada yang berusaha menyewa, atau mendirikan rumahrumah tidak sah di berbagai tempat yang kategorikan sebagai pemukiman liar
(Basundoro, 2013). Pada akhirnya menimbulkan berbagai problem kehidupan
terutama bagi masyarakat yang tinggal di pemukiman liar.
Berbagai lapangan pekerjaan yang tumbuh di kota besar sebagai
dampak dari
kemajuan industrinya,
peningkatan
(2)
Sedangkan
permukiman
non-konvensional
merupakan
Karakteristik Fisik
Suatu permukiman liar, karena memiliki status illegal maka
infrastruktur dan pelayanan (baik jaringan maupun sosial) yang ada
tidak memadai atau berada pada tingkat minimum, seperti penyediaan
air, sanitasi, listrik, jalan dan drainase, sekolah, pusat kesehatan,
tempat perbelanjaan, dll. Sebagai contoh, penyediaan air untuk setiap
rumah tangga dapat dikatakan tidak ada, atau pipa umum yang tersedia
sedikit, sehingga pemukim mempergunakan jaringan kota atau pompa
tangan sendiri bahkan menyediakan jaringan informal untuk
menyediakan air di tempat. Hal serupa berlaku untuk jaringan listrik,
drainase, fasilitas toilet/kamar mandi/WC, dll dimana kecilnya
ketergantungan pada saluran formal pemerintah.
b.
Karakteristik Sosial
Kebanyakan rumah tangga permukiman liar termasuk ke dalam
kelompok berpenghasilan rendah, baik bekerja sebagai buruh bergaji
maupun dalam usaha-usaha sektor informal lain yang bervariasi. Tetapi
pekerjaan
bergaji
atau
pekerjaan
paruh
waktu.
Karakteristik Legal
Ini merupakan karakteristik kunci yang menggambarkan suatu
permukiman liar yakni ketiadaan hak milik terhadap lahan yang
dipergunakan untuk membangun rumah. Hal ini dapat terjadi pada
lahan kosong milik pemerintah atau umum, di sebidang tanah seperti
bantaran rel kereta api, atau tanah rawa-rawa. Kemudian ketika lahan
tersebut tidak dipergunakan oleh pemiliknya, maka diambil oleh
pemukim liar untuk membangun rumah. Bahkan di beberapa bagian
negara di Asia, seorang pemilik tanah dapat menyewakan
lahannya untuk suatu pembangunan kepada sebuah/beberapa keluarga
dengan perjanjian informal atau pura-pura legal, yang bagaimanapun
itu tidak sah secara hukum.
Pemerintah kota di Indonesia, secara umum memandang bahwa
secara
ekologis,
dimana
secara
ekologis
RTH
dapat
b.
c.
Sirkulasi Terganggu
Sirkulasi transportasi di suatu daerah akan terganggu jika permukiman
liar berada pada jalur- jalur transportasi, seperti jalur kereta api dan
pinggir jalan tol.
d.
e.
f.
Kriminalitas Meningkat
Individu yang tinggal di permukiman liar tersebut, sebagia besar
berasal dari desa dan cenderung individu yang datang tidak
mempunyai kemampuan atau kemampuannya kurang. Hal ini dapat
mempengaruhi individu tersebut dalam mendapatkan pekerjaan.
Dengan kondisi lingkungan yang tidak baik, akan mempengaruhi pola
pikir individu tersebut menjadi keras, jika individu tersebut tidak
berhasil dalam mendapatkan pekerjaan, secara tidak langsung mereka
terpancing untuk melakukan tindakan kriminal.
g.
Bertambahnya Pengemis
Skill dan pendidikan yang rendah, tidak mampu bersaing akan
mendorong penghuni dari permukiman liar yang ada di perkotaan
untuk melakukan aktivitas mengemis.Karenanya sejak otonomi daerah
dicanangkan pada tahun 1999, semua pemerintahan di tingkat kota
telah memiliki perda yang mengatur tentang pemukiman liar ini.
2. Peran Polri Penyelesaian Masalah Terkait Pemukiman Liar
Reformasi telah berhasil mengubah wajah masyarakat kita menjadi
masyarakat madani yang telah mengubah wajah polisi kita menjadi polisi
sipil dengan UU Polri No. 2 Tahun 2002. Dengan demikian, reformasi
telah berhasil melakukan demiliterisasi terhadap polisi. Di samping itu,
reformasi juga telah berhasil melakukan desentralisasi peran pemerintah
dengan UU Otonomi Daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999
tentang Pemerintahan Daerah. Dalam mengidentifikasi pola hubungan
antara institusi Polri dengan pemerintah daerah, setidaknya terdapat 3
(tiga) pola yang berkembang dalam sistem tata pemerintahan kita.
Pola pertama, polisi sebagai penegak Kamtimbas seutuhnya dan
tidak terbagi dengan peran pemerintah daerah, yaitu polisi bertanggung
jawab penuh terhadap masalah keamanan dan ketertiban. Pemerintah
Daerah tidak memiliki peran sedikit pun dalam turut urun fungsi dalam
masalah ketenteraman dan ketertiban (trantib), tetapi Polri bertanggung
jawab dalam masalah trantib kepada Gubernur. Pola kedua, Polri berbagi
secara tegas dengan pemerintah daerah tentang masalah Kamtimbas
(keamanan dan ketertiban masyarakat) yang menjadi urusan Polri sedang
Trantib (kententeraman dan ketertiban) menjadi urusan pemerintah daerah.
Pola ketiga, Polri berbagi peran secara akomodatif dengan pemerintah
daerah dan masyarakat untuk urusan keamanan bahkan dalam kaitan
criminal justice sistem.
Dari pola hubungan antara Polri dan pemerintah daerah dapat
disampaikan penjelasan sebagai berikut:
adalah
liar
secara
umum
telah
menimbulkan
berbagai
10
11
Daftar Pustaka
Basundoro, Purnawan. 2013. Merebut Ruang Kota: Aksi Rakyat Miskin Kota
Surabaya 1900-1960an, Tangerang: Marjin Kiri
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia
Undang-Undang
Republik
Indonesia
Nomor
Tentang Perumahan Dan Permukiman
Tahun
1992
Yunus, Hadi Sabari. 2007. Subject Matter dan metode Penelitian Geografi
Permukiman Kota. Yogyakarta: Fakultas Geografi Universitas Gadjah
Mada.