PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke titik yang lain (sumber/penerima) secara
simultan.
Berdasarkan paparan diatas, komunikasi sebagai proses dipahami sebagai
mekanisme yang berjalan dari siapa ke siapa melintasi ruang dan waktu dari satu titik ke
titik lainnya. Sesuai dengan prinsip mekanisme yang berdasarkan cara berpikir sebab
akibat, maka kajiannya dititik beratkan pada efek. Dalam konteks komunikasi politik,
Dan Nimmo (1998:8) dengan mudah menjabarkan formuka Laswell, bahwa dalam
komunikasi politik terdapat banyak unsur yang dikenal yaitu komunikator politik, pesan
politik, media politik, khalayak politik, dan efek politik. Sedangkan Bell (1975:15-69)
menyebutkan bahwa komunikasi politik itu pembicaraan tentang kepentingan polutik
yaitu pembicaraan kekuasaan,pembicaraan pengaruh, dan pembicaraan otoritas.
Pembicaraan mengenai politik itu kemudian dikaji dalam kerangka mekanistis yaitu siapa
berbicara kepada siapa, melalui saluran apa dan bagaimana efeknya.
Dalam konteks komunikasi politik kajian paradigma mekanistis terpusat pada
efek politik. Kajian tersebut semakin berkembang sejalan dengan kekhawatiran banyak
orang tentang akibat atau dampak media massa terhadap masyarakat. Teori yang
termasuk dalam model mekanistis antara lain :
Mathematical theory of communication
Teori matematika komunikasi lebih dikenal sebagai teori Shannon & Weaver
tahun 1949. Shannon mengetengahkan teori matematik permesinan sedangkan Weaver
menerapkannya pada komunikasi manusia dengan sumber informasi dan pesan yang akan
disampaikan. Ada beberapa unsur dalam model Shannon dan Weaver yaitu:
Pesan yang berupa kata lisan ataupun tulisan, gambar, musik, dll
Pemancar yang mengubah pesan menjadi isyarat (signal) yang sesuai bagi saluran
yang digunakan
Saluran (Channel) yaitu media yang menyalurkan isyarat dari pemancar ke penerima
(receiver).
Receiver signal
message
signal
message
Bagan Model Mekanistis Komunikasi Manusia (Model Arus dari Claude Shannon &
Warren Weaver). Sumber : Arifin (1984).
Cultivation theory
lainya.
Arifin (2003:33) mengakui bahwa sebagian permasalahan yang diajuhkan dalam
pespektif spikolongi ini memang sangat rumit dan belum terpecahkan secara tuntas.
Demikian dengan studi perseptif politik, penolakan konsep politik dan perubahan pola
pikir, semuanya dapat dikaji dala paradigma spikolongi.
4. Perspektif Interaksional
Paradigma atau perspektif interaksional betul-betul agak baru dan bahkan
merupakan reaksi dari kedua model sebelumnya (mekanistis dan psikologi). Dalam
perspektif ini, menurut Fisher (1990;228-226) komunikasi dikonseptualisasi sebagai
interaksi manusiawi pada masing-masing individu. Walaupun interaksi itu sering juga
disamakan dengan komunikasi terutama komunikasi dua-arah, namun dalam paradigma
ini, konsep itu tidak berlaku. Model interaksional mengemukakan adanya pemishan diri,
orang lain, objek, yang dalam realitasnya, orientasi terhadap ketiganya tidak terpisahkan.
Model ini lebih merupakan orientasi gestalt, masing-masing mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh yang lainnya.
Menurut Arifin (2003:34), karakteristik utama paradigma interaksional, ialah
penonjolan nilai individu di atas segala pengaruh yang lainnya. Hal ini disebabkan
manusia dalam dirinya memiliki esensi kebudayaan, saling berhubungan, serta
masyarakat dan buah pikiran. Justru itu, setiap bentuk interaksi sosial dimulai dan
berakhir dengan mempertimbangkan diri manusia. Itulah sebabnya perspektif ini,
dipandang paling manusiawi di antara semua perspektif komunikasi yang ada.
Paradigma interaksional dalam komunikasi amat sering dinyatakan sebagai
komunikasi dialogis atau komunikasi yang dipandang sebagai dialog. Hal ini merupakan
reaksi humanistis terhadap model direndahkan yang monolog, individu yang
berkomunikasi direndahkan harkatnya menjadi pemberi dan penerima pesan, baik aktif
maupun pasif karena mereka telah ditentukan nasibnya sebagai yang memerlukan.
Sebaliknya, dalam dialog, manusia yang berkomunikasi diangkat derajatnya ke posisi
yang mulia karena dialog mengandung arti pengungkapan diri dan saling pengertian
bersama-sama dengan pengembangan diri melalui interaksi sosial.
Eksistensi empirik (lokus) komunikasi dalam paradigma ini ialah pengambilan
peran individu. Paradigma interaksional yang memberikan penekanan pada faktor
manusiawi, sangat relevan diterapkan dalam komunikasi politik yang demokratis. Konsep
demokrasi yang memandang manusia sebagai makhluk rasional dan menunjang hak-hak
asasi manusia serta mengembangkan prinsip-prinsip egaliter dan populis sangat sesuai
dengan paradigma interaksional. Komunikasi politik dalam praktiknya seharusnya
bersifat musyawarah mufakat menghendaki komunikasi dialogis. Berarti setiap individu
tidak seenaknya melakukan intimidasi dan dominasi terhadap yang lain. Sebaliknya,
setiap orang harus berusaha mengangkat harkat dirinya dan harkat orang lain dalam
suasana komunikasi.
Paradigma interaksional ini telah berhasil mengubah wawasan dan citra terhadap
komunikasi. Konsep dan metodologinya sedang tumbuh dan berkembang. Dalam arti
sebagai revolusi yang belum selesai, yakni setiap penemuan penelitian yang relatif baru
akan mengarahkan ke dimensi yang baru.
5. Perspektif Pragmatis
Paradigma atau perspektif pragmatis menurut Arifin (2003:37), merupakan
revolusi yang belum selesai dan merupakan perspektif yang relatif paling baru dan masih
sedang dalam proses perkembangan. Sesuai dengan namanya, perspektif ini memusatkan
perhatian pada pragma atau tindakan. Berbeda dengan model interaksi yang mengamati
tindakan sosial dalam konteks budaya, model pragmatis menurut Fisher (1990:270-320)
mengamati tindakan atau perilaku yang berurutan dalam konteks waktu dalam sistem
sosial. Tindakan atau pengamatan tersebut dapat berupa ucapan, tindakan, atau perilaku.
Perspektif pragmatis berorientasi pada perilaku komunikator dalam sistem sosial.
Dalam perspektif pragmatis, tindakan atau perilaku bukanlah hasil atau efek dari proses
komunikasi, melainkan tindakan atau perilaku itu sendiri sama dengan komunikasi.
Prinsip paradigma pragmatis, teori sistem sosial dan teori informasi diterapkan secara
bersama-sama dalam komunikasi. Informasi dalam teori informasi bukan berarti pesan,
melainkan hanya ada dalam bentuk jumlah atau kemungkinan. Informasi diukur dalam
artian berapa banyak ketidakpastian dapat dihilangkan sehingga dalam teori informasi
dikenal unsur pokok, seperti peristiwa, pola, prediksi, dan kejutan.
Perspektif pragmatis menempatkan eksistensi empiriknya (lokusnya) pada
tindakan atau perilaku yang berurutan. Titik berat pengkajian pada perilaku atau tindak
yang dilakukan dengan ucapan maupun bukan ucapan oleh seseorang dalam peristiwa
komunikasi. Tindakan itu terjadi dalam rangkaian peristiwa, berurutan, dan
berkesinambungan sehimgga dapat membentuk pola tertentu sehingga dapat melahirkan
penamaan atau julukan. Pola perilaku atau tindakan dapat saja tiba-tiba berubah sehingga
terjadi perilaku diluar pola. Itulah yang dinamakan sebagai kejutan.
Jika perilaku atau tindakan sama dengan komunikasi dalam perspektif pragmatis,
maka dapat dikatakan, setiap orang tidak mungkin berkomunikasi karena setiap orang
tidak pernah berhenti berperilaku atau bertindak. Jika hal ini diterapkan dalam
komunikasi politik, maka komunikasi politik dapat mencakupi perilaku atau tindakan
yang memiliki kepentingan politik, yaitu tindakan yang menyangkut kekuasaan,
pengaruh, otoritas, dan konflik.
Paradigma pragmatis yang relatif baru ini, hanya berbicara tentang ucapan-ucapan
yang terpola dan perilaku atau tindakan dalam waktu tertentu. Jadi paradigma ini tidak
membicarakan tentang pesan, umpan balik, komunikator, komunikan dan media,
sebagaimana yang dikenal dalam perspektif mekanistis yang hingga hari ini masih
mendominasi kajian komunikasi dan komunikasi politik di Indonesia.
B. Teori Komunikasi Politik
1. Teori Jarum Hipodermik
Model ini mempunyai asumsi bahwa komponen komponen komunikasi
(komunikator, pesan, media) amat perkasa dalam mempengaruhi komunikasi. Model atau
teori ini disebut jarum hipodermik karena dalam model ini dikesankan seakan akan
komunikasi disuntik langsung ke dalam tubuh komunikan. Model ini sering disebut
bullet theory (teori peluru) karena komunikan dianggap secara pasif menerima
berondongan pesan pesan komunikasi. Bila kita menggunakan komunikator yang tepat,
pesan yang baik, atau media yang benar, komunikan dapat diarahkan sekehendak kita.
Karena behaviorisme amat mempengaruhi model ini. De Fleur (1975) menyebutnya
sebagai the mechanistic SR theory.
Pada umumnya teori ini bersifat linier dan satu arah, serta sering diterapkan dalam
penelitian yang eksperimental. Peneliti memanipulasi variabel variabel komunikasi.
Kemudian mengukur variabel variabel antara efek. Variabel komunikator ditunjukkan
dengan kredibilitas, daya tarik, dan kekuasaan. Kredibilitas terdiri dari dua unsur :
keahlian dan kejujuran. Keahlian diukur dengan batas komunikan menganggap
komunikator
mengetahui
jawaban
yang
benar,
sedangkan
kejujuran
dioperasionalisasikan sebagai persepsi komunikan tentang sejauh mana komunikator
bersikap tidak memuhak dalam menyampaikan pesannya. Daya tarik diukur dengan
kesamaan, familiaritas dankesukaan. Kekuasaan (power) dioperasionalisasikan dengan
tanggapan komunikan tentang kemampuan komunikator untuk menghukum atau
memberi ganjaran (perceived control), kemampuan untuk memperhatikan apakah
komunikan tunduk atau tidak (perceived concern), dan kemampuan untuk meneliti
apakah komunikan tunduk atau tidak (perceived security).
Variabel pesan terdiri dari struktur pesan, gaya pesan,appeals pesan. Struktur
pesan ditunjukkan dengan pola penyimpulan (tersirat atau tersurat), pola urutan
argumentasi (mana yang dahulu, argumentasi yang disenangi dan yang tidak disenangi),
pola objektivitas (satu sisi atau dua sisi). Gaya pesan menunjukkan variasi linguistik
dalam penyampaian pesan (perulangan, kemudahan dimengerti, perbendaharaan kata).
Appeals pesan mengacu pada motif motif psikologi yang dikandung pessan (rational-
Michael Gurevitch (dalam Arifin, 2003: 46). Model ini dibangun dengan asumsi dasar
bahwa manusia adalah makhluk yang rasional dan sangat aktif, dinamis, dan selektif,
terhadap semua pengaruh dari luar dirinya. Khalayak yang selektif itu akan memilih
berdasarkan kegunaan dan pemenuhan kepuasan pribadinya.
Uses and grativications model (model kegunaan dan kepuasan) merupakan
pengembangan dari model jarum hipodermik. Model ini tidak tertarik pada apa yang
dilakukan media pada diri seseorang tetapi ia tertarik pada apa yang dilakukan orang
terhadap media. Khalayak dianggap secara aktif menggunakan media untuk memenuhi
kebutuhannya. Studi dalam bidang ini memusatkan perhatian pada penggunaan (uses)
media untuk mendapatkan kepuasan (grativications) atas kebutuhan seseorang. Oleh
karena itu, sebagian besar perilaku khalayak akan dijelaskan melalui berbagai kebutuhan
(needs) dan kepentingan individu (Ardianto dan Erdinaya, 2004: 70).
Pada dasarnya teori khalayak kepala batu dan teori uses and grativications serta
teori lainnya dan model yang disebutkan dimuka dapat dimasukkan kedalam kelompok
besar perspektif atau paradigma psikologis komunikasi politik. Meskipun individu
menerima pesan karena kegunaan atau untuk memenuhi kepuasan dirinya berdasarkan
perbedaan individu, kategori sosial atau hubungan sosial, namun yang terpenting dalam
perspektif psikologi inilah semua pesan politik itu diolah secara internal dalam diri
individu.
Dengan demikian komunikasi politik dalam perspektif ini berlangsung secara
internal dalam diri individu, yang juga dikenal dengan nama komunikasi intrapersonal.
Artinya, komunikasi berjalan hanya pada satu orang. Hal ini berbeda dengan komunikasi
politik yang berjalan antara dua orang yang dikenal dengan nama komunikasi
antarpersonal.
Semua unsur psikologis tersebut bersumber dari kerangka berpikir (frame of
reference) dan lapangan pengalaman (field of experience) dari setiap individu. Hal ini
tentu sangat berkaitan dengan usia, jenis kelamin, pendidikan, pengalaman empirik
seseorang, dan hubungan sosial. Dimensi-dimensi itu dapat menjadi kekuatan penangkal
atau sebaliknya kekuatan penyerap terhadap semua pengaruh yang berasal dari luar
dirinya.
Agar daya penangkal individu itu dapat dilunakkan agar dapat ditembus
berkembanglah studi tentang metode komunikasi, terutama metode persuatif (membujuk
atau merayu). Persuasi adalah sesuatu yang memotivasi seorang politisi dalam
berkomunikasi untuk membangun citra politik dan memperluas pengaruhnya serta
membentuk pendapat umum.
Persuasi politik diwujudkan dalam bentuk komunikasi politik seperti retorika,
propaganda, agitasi, public relation politik. Selain persuasi dan persuasi positif, Doob
menambahkan adanya persuasi yang disengaja (intentional) dan persuasi yang tidak
sengaja (unintentional). Demikian juga dapat dibedakan antara persuasi yang bersifat
purposif (bertujuan atau berkepentingan) dengan persuasi yang bersifat dialektikal
(pengaruh dan hubungan timbal balik). Dalam semua bentuk komunikasi politik seperti
retorika, propaganda, agitasi, dan public relation politik memiliki persamaan yaitu
disengaja, bertujuan, dan dialektika.
Teori khalayak kepala batu ini sangat penting menjadi kerangka acuan dalam
melaksanakan komunikasi politik di negara demokrasi. Itulah sebabnya negara-negara
demokrasi kegiatan public relation itu tumbuh dan berkembangbiak, dan sebaliknya
kegiatan agitasi dan propaganda politik itu sangat berbeda dan bahkan ditolak.
3. Teori Empati dan Homofili
Persuasi yang positif berkaitan dengan teori empati dan teori homofili yang di
kembangkan oleh para pakar ilmu komunikasi, psikologi dan sosiologi. Teori empati
seperti di kutip oleh Arifin, (2003:52) di kembangkan oleh Berlo dan Daniel Marner,
sedangkan teori homofili di perkenalkan oleh Everet M. Rogers dan F. Shomaker. Secara
sederhana, empati merupakan kemampuan menempatkan diri pada situasi dan kondisi
orang lain. Empati merupakan kemampuan seseorang untuk memproyeksikan dirinya
kedalam peranan orang lain. Apabila sumber dan penerima atau kedua nya berada dalam
situasi heterophilous atau mampu mengantisipasi satu terhadap yang lain, maka
kemungkinan komunikasi yang lebih efektif lebih besar terjadi. Jika seseorang dapat
melihat bagaimana orang lain merasa dan menyampaikan perasaannya, ada pula
kemungkinan yang lebih baik baginya untuk menyesuaikan peran-perannya besar kepada
penerima.
Dalam hal ini Berlo (1960) memperkenalkan teori yang di kenal dengan Influent
theory of empathy (teori penurunan dan penempatan diri kedalam diri orang lain), artinta,
komunikator mengandalkan diri di saat ia berbeda dengan posisi komunikan. Dalam hal
ini individu memiliki pribadi khalayak sehingga individu yang berinteraksi dapat
menemukan dan mengidentifikasikan persamaan dan perbedaan masing masing yang
kemudian menjadi besar dalam melakukan penyesuaian.
Daniel Larner (1978:34), mengartikan empati sebagai kesanggupan seseorang
melihat diri sendiri ke dalam situasi orang lain, dan kemudian melakukan penyusuaian.
Dalam hal ini, individu harus memiliki kepribadian mobil, yaitu kepribadian yang mudah
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi orang lain. Selain itu, dalam Arifin
(2003:4) menyebutkan bahwa empati adlah kemampuan orang lain, yang tidak
mempunyai arti emosional, bagi kita. Menurut Scotland (1978), empati adalah keadaan
ketika pengamat beraksi secara emosional karena ia menanggapi orang lain yang
mengalami atau siap mengalami emosi tertentu. Bennet (1979) memberi contoh empati,
kami memperlakukan orang lain itu berbeda dengan cara kami memperlakukan diri
sendiri.
Dalam komunikasi politik, kemampuan memproyeksikan diri sendiri ke dalam
titik pandang dan empati orang lain memberi peluang ke politikus untuk berhasil dalam
pembicaraan politiknya. Akan tetapi, menempatkan diri sendiri sebagai orang lain itu
memang sangat tidak mudah. Justru itu, empati dapat di tingkatkan dan dikembangkan
oleh politikus melalui komunikasi sosial dan komunikasi politik yang sering dilakukan.
Dengan demikian, empati dalam komunikasi politik adalah sifat yang sangat dekat
dengan citra politikus tentang diri dan tentang orang lain. Itulah sebabnya empati dapat
dinosiasikan atau di mantapkan melalui komunikasi antarpersonal.
Dalam usaha melakukan empati dalam peristiwa komunikasi itu, rogers dan
shoemeker (1978) memperkenalkan homifili. Konsep ini diartikan sebagai kemampuan
individu untuk mencipkan kebersamaan, baik fisik maupun mental. Dengan homofili dapt
tercipta hubungan hubungan sosial dan komunikasi yang intensif dan efektif. Salah satu
berbagai prinsip yang paling jelas dan mendasar tentang Human Communication adalah
penerusan gagasan akan paling sering terjadi antara sumber dan penerima yang memiliki
kesamaan tertentu. Ia adalah istilah yang dipakai untuk menerangkan tingkat ketika
pasangan individu yang berkomunikasi memiliki kesamaan dlaam atribut tertentu, seperti
keyakina. Istilah homophily ini berasal dari perkataan yunani Homoios, yang mempunyai
arti sama (alike) atau serupa (equal). Secara etimologis homophily berarti atiliasi atau
komunikasi dengan pribadi yang sama atau yang memiliki atribut tertentu yang sama atau
serupa.
Heterophily adalah cermin kebalikan daripada homophily. Konsep itu di
definisikan ketika pasangan individu yang berkomunikasi berbeda pada atribut tertentu.
Seperti pendidikan, status sosial dan konteks sosial. Dlam sitiuasi ini pilihan bebas,
bilamana seorang sumber kesempatan berinteraksi dengan setiap orang dari sejumlah
penerima yang berbeda-beda, maka terdapat kecendurungan yang kuat bagi untuk
memilih penerima yang paling menyerupai dirinya, kesukaannya, keyakinannya, nilainilai, status sosial dan tingkat pendidikannya. Homans menyatakan, semakin dekat
kesamaan orang orang dalam tingkat sosialnya, maka semakin sering mereka akan
berinteraksi satu sama lain.
Homifili dalam komunikasi politi, dapat dilihat dapapara politikus atau kader
partai di indonesia yaitu kostum seragam jas memerka miliki. Bahkan sejumlah politukus
yang memiliki agama yang sama, berkumpul membentuk partai yang sma. Demikian juga
mereka yang memiliki jenis kelamin yang sama, membentuk koalisi untuk
memperjungankan kepentingan politik bagi mereka. Menurut Arifin (2003:557) kedua
teori tersebut sangat berguna dalam komunikasi antarpersonal (interpersonal
communication), baik dalam komunikasi sosial, maupun dlaam komunikasi politik. Justru
itu, teori empati maupun teori homofili paling relevan di tempatkan pada paradigma
kelompok besar atau prespektif interaksional komunikasi politik. Dalam hal ini
penonjolan nilai nilai dan harkat manusia di atas segala pengaruh yang lainnya sangat
dominan karena manusia adalah mahluk yang relatif sempurna.
Setiap bentuk komunikasi sosial dan komunikasi politi, harus dimulai dan
berakhir dengan pertimbangan harkat manusia. Itulah sebabnya prespektif interaksional
ini dipandang paling manusiawi diantara semua perspektif yang ada dan sangat tepat
diaplikasikan di negara-negara yang menganut filsafat politik dan sistem politik yang
demokratis. Dengan demikian, komunikasi politik yang menggunakan paradigma ini
dapat di sebut sebagai komunikasi politik yang manusiawi, terutama karena aplikasi
dilakukan secara dialogis. Hal ini merupakan reaksi humanistis terhadap model
mekanistis yang menolong.
Berarti empati dan homofili dapat menyiptakan suasana yang akrab dan intim
sehingga komunikasi politik dapat berjalan secara interaksional. Dalam hal ini interaksi
yang berlangsung adalah interaksi antara dua subjek (bukan antara subjek dan objek)
yang selevel dan sederajat (misalnya interaksi antara dua orang yang bersahabat, suamiistri, atau dua orang yang berpacaran). Dalam komunikasi politik yang bersifat dialogis,
tidak dikembangkan, sebagai contoh: aku atau kamu, melainkan yang menonjol adalah
kita (misalnya sebangsa dan setanah air).
Dalam komunikasi politik, proses dialogis akan berjalansecara horizontal dalam
arti tidak ada politikus yang memberi dan menerima perintah melainkan para politikus itu
berinteraksi atau bermusyawara itu memiliki pikiranm perasaan, penampilan, dan
tindakan politik yang sama dimulai dengan menciptakan rasa memiliki (sense of
belonging). Hal ini akan melahirkan partisipasi politik atau peran politik secara sukarela.
Komunikasi politik yang bersifat dialog itu, pada umumnya di terapkan ke dalam forum
rapat politik, musrawarah politik, dan pembicaran politik yang santau di loby atau
lobbying (berdialog di lobby). Dalam mengembangkan dialog,socrates memperkenalkan
metode berpura-pura bodoh (berlagak bodoh). Dan sebaliknya, tidak boleh berlagak
pintar (sok pintar).
Selanjutnya empati dan homofili dalam komunikasi politik diapikasikan kedalam
bentuk ideologi politik yang sama, visi, dan missi politi yang sama doktrin politik yang
sama, simbol yang sama , pakaian yang sama dan keputusan politik bersama. Dengan
kebersamaan itu di harapkan setiap kade partai merasa dihargai dan diangkat harkatnya
sebagai manusia di sebut sebagai hubungan manusia (human relation).
4. Teori Informasi dan Nonverbal
Para komunikator secara aktif mengendalikan informasi yang mereka olah. Taktik
pengontrolan yang paling penting yang mereka miliki rupanya adalah selektivitas, di
mana individu dapat memilih bagi dirinya informasi apa yang ingin diterimanya,
informasi yang diingatnya, dan informasi apa yang akan disalurkan pada orang lain.
Biasanya, selektivitas dijelaskan sebagai alat pertahan ego, dimana individu mencari
informasi yang konsisten dengan keyakinan sebelumnya dan menyimpan (mengingat)
informasi yang juga konsisten dengan keyakinan semula, sehingga dengan cara itu
melupakan informasi yang berbeda. Produk dari prinsip terpaan dan ingatan yang selektif
ini adalah penghindaran selektif, yaitu menyatakan bahwa seseorang akan cenderung
menghindari atau mengabaikan informasi yang ada di lingkungannya yang tidak
konsisten dengan keyakinan yang ada.
Walaupun prinsip ini diterima secara agak meluas sebagai penunjang empiris bagi
teori keseimbangan kognisi, hasil dari penelitian empiris tidak semuanya menunjang
penjelasan pertahanan ego bagi selektivitas informasi. Tampaknya, faktor lain
(kepercayaan pada keyakinan yang dimiliki, rasa keterbukaan, relevansi, atau pentingnya
keyakinan, daya guna informasi, dan kompromi pada tekanan sosial) juga ikut
berintegrasi dengan proses seleksi individu.
Kapasitas individu untuk mengolah informasi tidaklah memadai dan hanya
menangani sebagian kecil saja dari informasi yang terdapat dalam medan stimulus.
Barangkali juga, selektivitas itu merupakan fungsi pertahanan ego. Selektivitas itu akibat
asimilasi dengan pengalaman informasi di masa lampau. Barangkali, ia merupakan fungsi
mengatasi tekanan lingkungan. Apapun dasar penjelasan itu, semata-mata diterimanya
informasi tidak menjamin apapun dalam meramalkan respons. Kemampuan selektif
individu, melalui penggunaan filter konseptual perantara dan set psikologis, merupakan
variabel penting dalam penelitian komunikasi dari psikologi.
Informasi memiliki beberapa pengertian. (Schramm, 1977:13) Pertama, informasi
dapat dipahami sama dengan pesan sebagaimana dianut dalam proses komunikasi
mekanistis. Kedua, informasi adalah data yang sudah diolah, sebagaimana yang dipahami
dalam SIM (Sistem Informasi Manajemen). Ketiga, informasi adalah segala sesuatu yang
mempunyai ketidakpastian atau mempunyai jumlah kemungkinan alternatif.
Dalam teori informasi B. Abrey Fisher, informasi diartikan sebagai
pengelompokan peristiwa dengan fungsi untuk menghilangkan ketidakpastian. Informasi
dapat disebut sebagai konsep yang absolut dan relatif karena informasi diartikan bukan
sebagai pesan, melainkan jumlah, benda, dan energi. Jika dikaitkan dengan teori
relativitas, bertindak pun merupakan informasi dalam arti kemungkinan alternatif yang
dapat diprediksi berdasarkan pola (peristiwa dari waktu ke waktu).
Lawrance dan Scramm (1977) merumuskan, informasi adalah setiap hal yang
membantu kita menyusun atau menukar pandangan tentang kehidupan. Dengan singkat
dapat dikatakan, informasi adalah semua hal yang dapat dipakai dalam bertukar
pengalaman. Jadi, informasi dalam komunikasi politik dapat berarti: sikap politik,
pemdapat politik, kostum partai politik, dan tamu kader partai politik. Menurut teori
informasi, komunikasi politik adalah semua hal harus dianalisa sebagai tindakan politk
(bukan pesan) yang mengandung tindakan kemungkinan alternatif. Jadi, bertindak
(melakukan tindakan politik) sama dengan berkomunikasi (melakukan komunikasi
politik).
Dengan demikian, dapat disebut bahwa informasi politik dalam teori informasi
pada hakekatnya adalah komunikasi politik yang bersifat nonverbal (tidak terucapkan).
Menurut Mehrabian (penulis The Silent Message), memperkirakan bahwa sekitar 93%
dampak komunikasi diakibatkan oleh pesan yang nonverbal. Sedangkan Birdwhistel
mengatakan bahwa hanya sekitar 30-35% makna sosial percakapan yang terucapkan,
sedangkan sisanya dilakukan dengan pesan nonverbal.
Komunikasi nonverbal, menurut Mark L. Knapp (1972) adalah:
Repetisi, yaitu mengulang kembali gagasan yang sudah disampaikan secara verbal,
misalnya memuji sambil mengangkat jempol;
Subtitusi, yaitu tanpa ucapan dengan menggelengkan kepala;
Kontradiksi, yakni memberi makna yang lain terhadap pesan verbal, misalnya
bersalaman, tetapi melihat ke tempat lain,
Komplemen, yakni melengkapi atau memperkaya pesan verbal, bersorak sambil
meloncat-meloncat
Aksentuasi, yaitu lebih menegaskan kesan verbal, misalnya menegaskan tekad dengan
mengepalkan tinju.
Sesungguhnya komunikasi politik nonverbal merupakan tindakan dalam peristiwa
komunikasi politik yang dapat ditafsirkan secara berbeda-beda oleh khalayak. Jika pesan
nonverbal itu berlangsung berulang-ulang, terbentuklah pola tindakan (misalnya setiap
hari politikus di Senayan berpakaian sipil lengkap, atau rapat selalu dimulai terlambat).
Pola itu kemudian menjadi pedoman untuk melakukan prediksi pada masa depan. Artinya
prediksi dilakukan berdasarkan pola. Jika suatu saat terjadi tindakan di luar pola
(misalnya politikus di Senayan semuanya tidak berpakaian sipil lengkap), maka terjadilah
kejutan.
biasa juga disebut teori komunikasi kritis. Teori ini berkembang di Eropa khususnya di
Jerman. Teori media kritis menurut Hollander adalah teori media yang menempatkan
konteks kemasyarakatan sebagai titik tolak dalam mempelajari fungsi media massa.
Dalam hal ini dapat diketahui fungsi media massa dipengaruhi oleh politik, ekonomi,
kebudayaan dan sejarah. Jadi fokus kajiannya adalah fungsi-fungsi apa yang harus
dilakukan oleh media massa di dalam masyarakat.
Dengan demikian, selain bagaimana berfungsi permasalahan yang sentral dalam
teori media kritis, juga fungsi-fungsi apa yang seharusnya dilakukan oleh media dalam
masyarakat. Dengan kata lain, kajian tentang peranan media massa dalam mempengaruhi
masyarakat tidaklah begitu penting sehingga teori jarum suntik hipodermik atau teori
peluru tidak berlaku.
Bertolak dari aspek kemasyarakatan, para pendukung teori media kritis seperti
Ardono dan Horkheimer, memandang bahwa media massa merupakan produsen utama
dari kebudayaan massa. Dalam hal ini media massa berusaha agar bukan lagi individu
yang menentukan apa saja yang termasuk ke dalam kebudayaan itu untuk dikonsumsi.
Hal itulah yang berkembang menjadi pandangan media massa merupakan industri
kebudayaan.
Penganut teori komunikasi kritis sama sekali tidak lagi memberikan tekanan pada
efek komunikasi massa terhadap khalayak, melainkan memusatkan perhatian pada
pengertian kontrol terhadap sistem komunikasi. Pertanyaan sentral pada pengikut aliran
ini ialah: siapa yang mengontrol komunikasi massa? Hal ini diusahakan dengan
menaruh minat pada penguasa dan pemilikan serta kontrol media massa.
Mempelajari komunikasi masa dalam konteks kemasyarakatan, menurut simpulan
Siebert (1986), pers selalu mengambil bentuk dan warna struktur-struktur sosial politik
dimana ia beroperasi. Siebert mengartikan pers sama dengan media massa.
Teori media kritis bertolak belakang dengan teori media massa yang lain, seperti
teori perseptual dan teori fungsional, kedua teori itu memberikan tekanan pada akibat apa
yang dilakukan oleh media terhadap orang. Teori fungsional mengalami sedikit
pergeseran, memusatkan kajiannya ke pertanyaan tentang apa yang diperoleh khalayak
dari media massa, dan mengapa hal itu dapat diperoleh.
Teori permainan yang dikembangkan oleh Willian Stephenson menjelaskan
bahwa mengikuti pesan melalui pesan melalui media hanyalah demi kesenangan. Teori
kesenangan diturunkan dari gagasan kesenangan berkomunikasi, dan kegembiraan yang
diperoleh orang dari mengobrol tanpa tujuan, atau kepuasan dalam menonton film.
Sebaliknya, teori informasi menurut Stephenson tidak lain dari berita berkomunikasi,
misalnya berkomunikasi agar lebih berpengetahuan, dan berpendidikan untuk
memecahkan masalah.
Teori permainan sangat berkaitan dengan komunikasi politik karena menurut
Stephenson, pandangan publik, politik itu permainan. Dengan kata lain, politik
merupakan permainan, membangun citra dan menggairahkan pikiran. Selain dapat
menyenangkan, politik juga dapat membuat kejutan. Menurut Edelman, sebagian besar
komunikasi politik adalah estetika, terutama komunikasi politik massa (retorika, musik,
lagu dan film).
Selain itu, sejumlah pakar mengembangkan juga teori parasosial. Penggagas teori
ini ini berpandangan bahwa media massa berfungsi dalam memenuhi kebutuhan manusia
akan interaksi sosial. Hal ini tercapai jika media massa memberi peluang hubungan
parasosial yang akrab. Teori ini berkaitan dengan komunikator poltik karena banyak
format ini digunakan oleh pakar komunikator politik dalam membangun hubungan
dengan tokoh politik di dalam media massa itu seolah-olah tokoh tersebut hadir di dalam
lingkungan sosial mereka.
Kemudian teori kegunaan dan kepuasan (sue dan gratification), menjelaskan
bahwa semua orang yang menanggapi pesan melalui media massa menunjuk ke kegunaan
dan kebutuhan tertentu yang dipenuhi oleh media massa, seperti informasi, hiburan, dan
pendidikan. Dalam hal ini media memiliki kegunaan dan memenuhi kepentingan hiburan,
hubungan pribadi, dan identitas pribadi.
Akhirnya, Malvin L. DeFleur memperkenalkan beberapa macam teori dalam
mengukur efek komunikasi massa terhadap masyarakat. Teori-teori itu adalah:
Teori perbedaan-perbedaan individu
Teori penggolongan sosial
Teori hubungan sosial
Teori norma-norma budaya
Sebelum itu sosiolog Kanada, Mc Luhan menerbitkan Understanding Media (1964)
dengan pandangan yang menggemparkan bahwa saluran itu sendiri dapat berpengaruh
pada efek yang diamati dengan slogan medium adalah pesan (the medium on the
message). Demikian pula gagasannya mengenai perbedaan antara media panas dengan
media dingin
Nama Kelompok :
Franklin Asido R.
105030103111001
Yuanita Anggraini
115030100111029
Gita Ayu H.
115030100111031
Fitriana Rahmawati
115030100111065
Sekar Ayu Candra
115030100111127
Rifki Nur Aulia S
115030101111042
Tri Mukti Eka Susanti
115030107111059
Ummul Qoriah
11503011311100