Anda di halaman 1dari 28

Deteksi Diabetes Pada Anak

Posted by Penyakit Diabetes


Orangtua harus jeli dalam melihat tanda dan gejala penyakit yang terjadi pada anaknya.
Untuk penyakit diabetes, orangtua harus melihat gejala yang misalnya sering minum, buang air
kecil, banyak makan tapi berat badan turun dan mudah lelah. Jika anak sudah tidak mengompol
dan tiba-tiba ngompol lagi, harus di curigai. Jika anak mengalami gejala demikian, segera bawa
ke dokter untuk dilakukan pemeriksaan diabetes mellitus (DM).
Pertama-tama akan diperiksa kadar gula darah anak. Diagnosa yang paling sederhana yakni
jika dalam 2 pemeriksaan berturut-turut gula darah puasanya >126 mg/dl atau gula darah
sewaktu >/-200 mg/dl.
Jika anak telah didiagnosa menderita DM, selanjutnya diperiksa keton (asam) darahnya, untuk
melihat kegawatan kondisi anak. Keton seharusnya negatif, kalau ketonnya positif anak harus
langsung dirawat karena dikhawatirkan terjadi ketoasidosis.
Untuk menentuka anak mengalami diabetes tipe 1 atau tipe 2 dilakukan pemeriksaan c-peptide.
Ini untuk melihat cadangan insulinnya. Kalau c-peptide normal atau berlebihan, berarti anak
mengalami DM tipe 2. Sebaliknya jika nilainya dibawah angka normal berarti DM 1. Nilai
normal c-peptide berbeda-beda tergantung alat yang dipakai. Semua pemeriksaan tersebut
dilakukan dengan pengambilan darah di vena lengan .
Untuk monitoring perlu pemeriksaan gula darah setiap hari dan pemeriksaan gula darah
setiap hari dan pemeriksaan kadar HbA1C tiap 3 bulan, keduanya harus dijalani seumur
hidup. HbA1C adalah pemeriksaan daerah yang menggambarkan rerata kadar gula darah dalam 3
bulan terakhir. Ini penting untuk menilai kondisi penyandang DM, bilai idealnya >8%,
komplikasi akibat DM bisa saja terjadi.
Periksa gula darah harian dilakukan dengan alat tes gula darah mandiri, dengan darah dari ujung
jari. Pada penyandang DM 1, pemeriksaan harus lebih sering. Harus mengukur kadar gula darah
sebelum makan, untuk menentukan dosis insulin. Sesudah makan cek lagi, untuk melihat apakah
dosis insulinnya sesuai. Jadi bisa cek darah 7 kali/hari. Untuk DM1, terapi dan monitoring
segandeng. Inilah membedakan antara DM 1 dan DM 2, atau secara umum pasien DM anak dan
dewasa, karena anak umumnya menyandang tipe 1
Deteksi dini dan monitoring yang tepat, bisa membantu anak terhindar dari berbagai kondisi
berbahaya. Kontrol dan konsultasi ke dokter setiap bulan, sangat dianjurkan.

DIAGNOSIS
-

Anamnesis

Gejala klinis

Laboratorium :
O

Kadar glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan > 200 mg/dl.

Ketonemia, ketonuria.

Glukosuria.

Bila hasil meragukan atau asimtomatis, perlu dilakukan uji toleransi glukosa oral
(oral glucosa tolerance test).

Kadar C-peptide.

Marker imunologis : ICA (Islet Cell auto-antibody), IAA (Insulin auto-antibody),


Anti GAD (Glutamic decarboxylase auto-antibody).

DIAGNOSIS BANDING
-

Produksi berlebihan glukokortikoid atau katekolamin pada :


o

Tumor hipotalamus atau hipofisis

Tumor atau hiperplasia adrenal

Feokromositoma

Pada keadaan ini didapatkan uji toleransi glukosa yang abnormal dan glukosuria tanpa
ketosis, yang disebabkan oleh peningkatan glikogenolisis dan glukoneogenesis.
-

Renal glukosuria.
Pada keadaan ini didapatkan glukosuria tanpa hiperglikemia maupun ketosis.

PENATALAKSANAAN
-

Pada dugaan DM tipe-1 penderita harus segera rawat inap.

Insulin
Dosis total insulin adalah 0,5 - 1 UI/kg BB/hari.
Selama pemberian perlu dilakukan pemantauan glukosa darah atau reduksi air kemih.
Gejala hipoglikemia dapat timbul karena kebutuhan insulin menurun selama fase
honeymoon. Pada keadaan ini, dosis insulin harus diturunkan bahkan sampai kurang
dari 0,5 UI/kg BB/hari, tetapi sebaiknya tidak dihentikan sama sekali.
Jenis insulin

Awitan

Puncak kerja

Lama kerja

Meal Time Insulin

Insulin Lispro (Rapid acting)

5-15 menit

Regular (Short acting)


Background Insulin

30-60 menit 2-4 jam

5-8 jam

NPH dan Lente (Intermediate acting)

1-2 jam

4-12 jam

8-24 jam

Ultra Lente (Long acting)


2 jam
Insulin Glargine (Peakless Long acting) 2-4 jam
Diet

6-20 jam
4 jam

18-36 jam
24-30 jam

1 jam

4 jam

Jumlah kebutuhan kalori untuk anak usia 1 tahun sampai dengan usia pubertas
dapat juga ditentukan dengan rumus sebagai berikut :
1000 + (usia dalam tahun x 100) = ....... Kalori/hari

Komposisi sumber kalori per hari sebaiknya terdiri atas : 50-55% karbohidrat,
10-15% protein (semakin menurun dengan bertambahnya umur), dan 30-35%
lemak.

Pembagian kalori per 24 jam diberikan 3 kali makanan utama dan 3 kali
makanan kecil sebagai berikut :

20% berupa makan pagi.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan siang.

10% berupa makanan kecil.

25% berupa makan malam.

10% berupa makanan kecil.

Pengobatan penyakit penyerta seperti infeksi dan lain-lain.

KOMPLIKASI
Komplikasi jangka pendek (akut) yang sering terjadi : hipoglikemia dan ketoasidosis.
Komplikasi jangka panjang biasanya terjadi setelah tahun ke-5, berupa : nefropati, neuropati, dan
retinopati. Nefropati diabetik dijumpai pada 1 diantara 3 penderita DM tipe-1.
Diagnosis dini dan pengobatan dini penting sekali untuk :
1. mengurangi terjadinya gagal ginjal berat, yang memerlukan dialisis.
2. menunda end stage renal disease dan dengan ini memperpanjang umur penderita.
Adanya mikroalbuminuria merupakan parameter yang paling sensitif untuk identifikasi
penderita

resiko

tinggi

untuk

nefropati

diabetik.

Mikroalbuminuria

mendahului

makroalbuminuria. Pada anak dengan DM tipe-1 selama > 5 tahun, dianjurkan skrining
mikroalbuminuria 1x/tahun. Bila tes positif, maka dianjurkan lebih sering dilakukan
pemeriksaan. Bila didapatkan hipertensi pada penderita DM tipe-1, biasanya disertai terjadinya
nefropati diabetik.
Tindakan : pengobatan hiperglikemia dan hipertensi (bila ada).
Penderita diabetes.
Umumnya orang yang memiliki diabetes akan sulit sembuh jika terjadi luka, sementara semua
orang tahu bahwa mencabut gigi akan menimbulkan luka bolong yang besar. Karena itu
sebaiknya mengontrol gula darah terlebih dahulu, jika kadarnya sudah normal maka gigi boleh
dicabut.
DIABETES MELITUS DAN KESEHATAN MULUT
I.

PENDAHULUAN
Diabetes adalah penyakit metabolik kronis yang disebabkan oleh ketidakmampuan sel
menggunakan glukosa akibat kurangnya produksi atau tidak adekuatnya insulin dari sel Beta
pankreas. Diabetes Melitus disebut juga The Great Imitator karena penyakit ini dapat mengenai
semua organ tubuh dan menimbulkan berbagai macam keluhan. (1,6)
Umum diketahui bahwa penderita diabetes rata-rata mempunyai gangguan kesehatan gigi.
Hal ini diperkuat dengan studi penelitian di Amerika Serikat yang menyatakan penderita
kerusakan gigi kronis bisa menjadi pengidap penyakit diabetes mellitus tipe 2. Pada kerusakan
gigi yang parah, bakteri dapat masuk ke aliran darah dan mengganggu sistem kekebalan tubuh.
Sel sistem kekebalan tubuh yang rusak melepaskan sejenis protein yang disebut
cytokines. Cytokines inilah penyebab kerusakan sel pankreas penghasil insulin, hormon yang
memicu diabetes
Penemuan peneliti AS ini diumumkan saat simposium National Institute of Dental and
Craniofacial Research di Maryland. Dr. Anthony Iacopino, ahli gigi di Marquette University
School of Density, Wisconsin mengatakan bahwa di dalam pankreas, sel yang bertanggung jawab
sebagai penghasil insulin dirusak oleh kandungan cytokines yang tinggi. Jika ini terjadi sekali
saja, maka seseorang berpeluang menderita diabetes tipe 2, walaupun orang itu sebelumnya
dalam keadaan sehat. (2)

Selain itu berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan para ahli dariKuwait (Journal of
Periodontology) pada November 2005 dilaporkan bahwa satu dari lima orang penderita penyakit
gusi (ginggiva) mengalami diabetes tipe 2. Sementara itu dokter gigi dari Fakultas Kedokteran
Gigi (FKG) Universitas Indonesia, drg Zaura Rini Matram menambahkan, dalam pertemuan
tahunan "American Association for the Advancement of Science" pada 1999 diungkapkan bahwa
sakit gigi dan gusi dapat mengakibatkan penderita diabetes semakin parah, sebab penyakit itu
telah memicu tidak terkontrolnya kadar gula darah.(3)
Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan
berdarah (4), mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah
dan tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga
mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)
Juru bicara British Dental Association (BDA) mengatakan bahwa segala yang terjadi pada
tubuh manusia selalu bisa dihubungkan dengan penyakit gangguan gigi. Maka bukan tak
mungkin bahwa diabetes hanya salah satu gangguan kesehatan yang ada hubungannya dengan
penyakit gigi. Ia juga menyarankan agar setiap orang membiasakan menggosok gigi dua kali
sehari dengan pasta gigi flouride serta mengunjungi dokter gigi secara reguler.(2)
II.

DIABETES MELITUS
Menurut American Diabetes Association (ADA) 2003, diabetes melitus merupakan suatu
kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan
sekresi insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya.Hiperglikemia kronik pada diabetes
berhubungan dengan kerusakan jangka panjang, dan disfungsi beberapa organ tubuh, terutama
mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah, yang menimbulkan berbagai macam
komplikasi, antara lain aterosklerosis, neuropati, gagal ginjal, dan retinopati. Sedikitnya
setengah dari populasi penderita diabetes lanjut usia tidak mengetahui kalau mereka menderita
diabetes karena hal itu dianggap merupakan perubahan fisiologis yang berhubungan dengan
pertambahan usia.(6)
Diabetes merupakan penyakit metabolisme yang rumit yang ditandai dengan hipofungsi
atau ketiadaan fungsi pulau-pulau Langerhan pankreas, dengan akibat peningkatan kadar glukosa
darah dan ekskresi gula melalui urin.(7) Ada dua tipe diabetes Mellitus :

1.

Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM/Tipe I)

2.

Non Insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM/Tipe II).(6,7)


Pada Diabetes melitus tipe 1 terjadi kelainan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Pasien
diabetes tipe ini mewarisi kerentanan genetik yang merupakan predisposisi untuk kerusakan
autoimun sel beta pankreas. Respon autoimun dipacu oleh aktivitas limfosit, antibodi terhadap
sel pulau langerhans dan terhadap insulin itu sendiri. Pada diabetes melitus tipe 2 jumlah insulin
normal, tetapi jumlah reseptor insulin yang terdapat pada permukaan sel yang kurang sehingga
glukosa yang masuk ke dalam sel sedikit dan glukosa dalam darah menjadi meningkat.(6)
Tabel 1. Karakteristik diabetes melitus tipe I dan tipe II

DM TIPE I
Mudah terjadi ketoasidosis

DM TIPE II
Sukar terjadi ketoasidosis

Pengobatan harus dengan insulin

Pengobatan tidak harus dengan


insulin

Onset akut

Onset lambat

Biasanya kurus

Gemuk atau tidak gemuk

Biasanya terjadi pada umur yang

masih muda

Berhubungan dengan HLA-DR3

Biasanya terjadi pada umur > 45


tahun

Tidak berhubungan dengan HLA

dan DR4
Didapatkan antibodi sel islet

Tidak ada antibodi sel islet

10%nya ada riwayat diabetes pada keluarga

30%nya ada riwayat diabetes pada

30-50 % kembar identik terkena

keluarga
100% kembar identik terkena

Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik
Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA
Pembangunan. PERKENI,Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
Kriteria diagnostik diabetes mellitus dan gangguan toleransi glukosa menurut WHO 1985:
a.

Kadar glukosa darah sewaktu (plasma vena) 200mg/ dl, atau

b.

Kadar glukosa darah puasa

c.

Kadar glukosa plasma 200 mg / dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram

(plasma vena) 126 mg/dl, atau

pada TTGO
Menurut Kane et al (1989), diagnosis pasti DM pada lanjut usia ditegakkan kalau didapatkan
kadar glukosa darah puasa lebih dari 140 mg/dl. Apabila kadar glukosa puasa kurang dari 140

mg/dl dan terdapat gejala atau keluhan diabetes seperti di atas perlu dilanjutkan dengan
pemeriksaan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO). Apabila TTGO abnormal pada dua kali
pemeriksaan dalam waktu berbeda diagnosis DM dapat ditegakkan.(6)
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
DM
Kadar glukosa (mg/dl )

Bukan DM

Belum pasti

DM

DM
Plasma Vena
< 110
110 199
200
Darah Kapiler
< 90
90 199
200
Puasa
Plasma Vena
< 110
110 125
126
Darah Kapiler
< 90
90 109
110
Sumber : Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik
Sewaktu

Fakultas Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA
Pembangunan. PERKENI,Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2, 2002
Diabetes bukan suatu penyakit yang dapat diobati, pengobatan yang dilakukan mempunyai 4
tujuan :
Untuk menormalkan tingkat kadar glukosa darah
Untuk mencegah komplikasi akut dan mengurangi gejala
Untuk memelihara berat badan ideal
Untuk mencegah dan mengurangi komplikasi kronis
Dokter gigi harus familiar dengan obat-obatan yang digunakan pada penderita diabeteas; daftar
obat diabetes yang secara umum digunakan adalah : agen hipoglikemik oral meliputi sulfonil
urea (meningkatkan sekresi insulin, biguanides (mengurangi produksi glukosa hati), penghambat
alfa-glukosidase ( memperlambat absorpsi glukosa) dan thiazolidinediones (meningkatkan
sensitivitas insulin). Insulin bisa digunakan dalam formula short-acting (1 1,5 jam), regular
acting ( 4 6 jam), intermediate acting ( 8 12 jam) dan long acting (24 36 jam). (8)
IV.
1.

GEJALA DAN TANDA DI MULUT PADA PENDERITA DIABETES


Gingivitis dan Periodontitis
Periodontitis merupakan salah satu penyakit terpenting jaringan penyangga gigi yang paling
luas penyebarannya dalam masyarakat. Penyakit pada jaringan periodontal yang bersifat
khronis dapat menyebabkan kerusakan pada serabut periodontal. Penyakit periotodontal yang

berlanjut dapat menyebabkan hilangnya jaringan penyangga gigi, yang dapat menyebabkan gigi
goyah.
Keadaan adanya Diabetes Melitus merupakan suatu tanda meningkatnya kerentanan terhadap
infeksi, dimana DM merupakan faktor predisposisi penting terhadap timbulnya infeksi. Di dalam
mulut DM dapat meningkatkan jumlah bakteri sehingga menyebabkan adanya kelainan jaringan
periodontal. Pada penderita DM tipe 2 dengan hiperlipidemi dijumpai adanya inflamasi gingival
yang parah dan hilangnya perlekatan pada jaringan periodontal. Berkembangnya penyakit
periodontal dengan DM mengakibatkan kerusakan pada jaringan periodontal lebih parah
sehingga gigi menjadi goyah dan akhirnya lepas. (9)Gusi membengkak sehingga gigi tampak
keluar ( modot).(6)
Pada penderita diabetes copotnya gigi sulit dicegah, gusi akan mudah bengkak dan berdarah (4),
mulut mudah berbau (4,5), baunya khas seperti bau aseton(5), serta gigi gampang goyah dan
tanggal. Selain itu, terlalu lama mengonsumsi obat diabetes yang tidak terkontrol juga
mengakibatkan jaringan gusi membesar.(4)
Beberapa penelitian mengkonfirmasikan bahwa DM dapat menyebabkan kegoyahan yang
didahului adanya penyakit pada jaringan periodontal. Overview dari bukti penelitian tentang hal
ini telah dipublikasikan pada tahun 1994, dimana diteliti 1426 orang berusia antara 25-74 tahun
secara cross sectional, menemukan bahwa DM merupakan penyakit sistemik yang berhubungan
dengan kegoyahan gigi dengan OR: 2,32, 95% CI: 1,70 4,60. Dari data cross sectional, pada
penelitian 72 orang penderita DM kasus baru dan 82 orang penderita DM kasus lama, serta 77
orang sebagai kontrol yang berusia 40--49 tahun, dengan matching umur dan jenis kelamin,
diketahui bahwa penyakit periodontal (periodontitis) lebih banyak pada penderita DM
dibandingkan dengan kontrol, dan pada penderita DM kasus lama lebih banyak daripada kasus
baru. Pada penelitian cross sectional dan longitudinal, diketahui bahwa pada penderita DM yang
tidak terkontrol dalam waktu lama dapat menyebabkan terjadinya penyakit periodontal yang
lebih parah dan hilangnya gigi dibandingkan dengan DM yang terkontrol dan yang tidak
menderita DM.(9)
Dalam sebuah penelitian prevalensi penyakit periodontal 9,8% pada 263 pasien dengan diabetes
tipe 1 dibandingkan dengan 1,7 % orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian kecil yang
menghubungkan pasien dengan diabetes tipe 2 dengan penyakit periodontal, memperlihatkan
bahwa pasien dengan diabetes tipe 2 tiga kali lebih mudah mendapatkan penyakit peridontal

dibandingkan dengan orang tanpa diabetes. Sebuah penelitian lain menaksirkan ketika orang
dengan diabetes merokok, maka mereka mempunyai kemungkinan 20 kali lebih besar untuk
mengalami periodontitis dengan kehilangan tulang pendukung dibanding dengan mereka yang
tanpa diabetes.(11)
Ada beberapa hipotesa mengenai keterlibatan DM sebagai faktor etiologi penyakit gingiva dan
periodontal :
a.

Terjadinya penebalan membran basal


Pada penderita diabetes melitus membran basal kapiler gingiva mengalami penebalan sehingga
lumen kapiler menyempit. Menyempitnya lumen ini menyebabkan terganggunya difusi oksigen,
pembuangan limbah metabolisme, migrasi leukosit polimorfonukleus, dan difusi faktor-faktor
serum termasuk antibodi.

b.

Perubahan biokimia
Level cyclic adenosine monophospate (cAMP) yang efeknya mengurangi inflamasi pada
penderita diabetes melitus menurun; hal mana diduga menjadi salah satu sebab lebih parahnya
inflamasi gingiva pada penderita diabetes melitus

c.

Perubahan Mikrobiologis
Peningkatan level glukosa dalam cairan sulkular dapat mempengaruhi lingkungan subgingival,
yang dapat menginduksi perubahan kualitatif pada bakteri yang pada akhirnya mempengaruhi
perubahan periodontal

d.

Perubahan Imunologis
Meningkatnya kerentanan penderita diabetes melitus terhadap inflamsi diduga disebabkan oleh
terjadinya defisiensi fungsi leukosit polimorfonuklear (LPN) berupa terganggunya khemotaksis,
kelemahan daya fagositosis atau terganggunya kemampuannya untuk melekat ke bakteri. dan

e.

Perubahan berkaitan dengan kolagen


Peningkatan level glukosa bisa pula menyebabkan berkurangnya produksi kolagen . Disamping
itu terjadi juga peningkatan aktivitas kolagenase pada gingiva.(7)
Beberapa mekanisme juga telah diusulkan untuk menjelaskan peningkatan penyakit periodontal
pada penderita DM antara lain : respon dari Host, subgingiva mikroflora, metabolisme kolagen,
perdarahan, cairan crevicular gingiva dan faktor keturunan. Berbagai mekanisme patofisiologi
juga mempunyai implikasi dalam peningkatan kehilangan tulang alveolar pada penderita
diabetes.(8)

Oleh karena itu, pengobatan pencegahan periodontal harus dimasukkan dalam penatalaksanaan
yang menyeluruh terhadap pasien dengan diabetes. Pengobatan meliputi penilaian awal dari
progesivitas penyakit mulut, penjelasan tentang kebersihan mulut, instruksi dan penilaian yang
berhubungan dengan pola makan, perlindungan dari penyakit dengan melakukan pemeriksaan
gigi secara periodik.(11)
Yang paling penting dalam pengobatan penyakit periodontitis pada orang dengan diabetes
melitus adalah kontrol gula darah yang teratur. Sebab dalam penelitian didapatkan terdapat
penurunan penyakit periodontitis pada penderita diabetes melitus dengan kadar gula darah yang
terkontrol. (9)
2.

Karies Dentis
Hubungan antara diabetes dan karies gigi telah diselidiki, namun tidak ada organisasi yang
menjelaskan secara tuntas. Hal ini penting untuk dicatat bahwa pasien dengan diabetes peka
terhadap gangguan sensori mulut, jaringan periodontal, dan produksi air ludah, yang bisa
meningkatkan resiko pembentukan baru atau muncul kembali karies pada gigi.(8)
Laju peningkatan karies gigi pada pasien muda dengan diabetes yang telah dilaporkan
berhubungan dengan gangguan fungsi pembentukan saliva.(11) Faktor pembentukan karies
termasuk unsur-unsur tradisional (sebagai contoh, pengukuran jumlah streptokokus, pada
kerusakan gigi sebelumnya) menunjukkan baik tidaknya pengontrolan dari diabetes. Oleh karena
itu diperlukan penilaian berkelanjutan oleh dokter gigi terhadap gigi busuk yang baru atau
berulang.(8) Dokter gigi juga dapat memberikan pengobatan topical seperti flouride yang
mengandung penyengar mulut dan penganti saliva untuk mencegah karies dan mengurangi
ketidaknyamanan. (11)

3.

Disfungsi Kelenjar Saliva


Ludah penderita DM seringkali menjadi lebih kental, sehingga mulutnya terasa kering,
disebut xerostomia diabetic.(6,8) Pada penderita diabetes berkurangnya ludah(saliva) dipengaruhi
faktor angiopati dan neuropati diabetik, perubahan pada kelenjar parotis dan karena poliuria yang
berat.(1,10) Penurunan sekresi air ludah dari kelenjar parotis cenderung membuat pH menjadi
turun. Disamping itu terjadi kenaikan kadar glukosa cairan mulut yang akan dimetabolisme oleh
bakteri mulut menjadi asam. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suyono Isa, dkk terhadap

penderita rawat inap dan rawat jalan di Poliklinik RSUD dr. Moewardi Surakarta dari bulan
Januari Februari 2001 sebanyak 23 orang yang memenuhi kriteria DM dan didapatkan
kesimpulan bahwa pH air ludah penderita diabetes secara statistik lebih rendah dibandingkan
kontrol sehat.(1)
4.

Penyakit Mukosa Mulut


Diabetes sering dihubungkan dengan kemungkinan yang lebih besar dari terbentuknya kerusakan
mukosa mulut. Didapatkan laporan prevalensi yang besar dari Lichen Planus dan aphthous
stomatitis yang berulang.(8)
Lichen Planus secara umum merupakan suatu penyakit kronik mucocutan yang penyebabnya
belum diketahui. Secara umum terjadi karena proses imunologi yang melibatkan suatu reaksi
hipersensitivitas dalam tingkat mikroskopik. Hal ini ditandai dengan infiltrasi dari limfosit T
yang intens (sel CD4+ dan khususnya sel CD8+) yang ditempatkan pada sambungan antara epitel
dan jaringan ikat. Regulasi sel imun lainnya (seperti makrofag, sel dendrit, sel Langerhans) dapat
terlihat terjadi peningkatan jumlah didalam lesi Lichen Planus. Tampaknya tidak ada hubungan
antara Lichen Planus dan hipertensi atau diabetes melitus (ini adalah sindrom Grispans) yang
awalnya diusulkan.
Bagaimanapun, penelitian terhadap 40 pasien dengan Lichen Planus didapatkan 11 pasien (28 %)
mempunyai riawayat diabetes yang laten, dibandingkan dengan yang tidak mempunyai riwayat
pada kelompok kontrol, hal ini menyiratkan kemungkinan adanya hubungan terhadap
imunopathogenesis dari Lichen Planus.(11)

5.

Infeksi pada Mulut


Manifestasi lain diabetes dan suatu tanda dari imunosupresif sistemik adalah hadirnya infeksi
oportunis seperti candidiasis oral. Infeksi jamur pada permukaan mukosa oral dan
pemindahanprotheses lebih umum ditemukan pada orang dewasa yang mengidap diabetes.
Pseudohifa dari kandida merupakan tanda utama dari infeksi candida pada mulut, dan
mempunyai hubungan yang signifikan dengan perokok sigaret, penggunaan gigi palsu dan
kontrol gula darah yang rendah pada orang dewasa pengidap diabetes. Penurunan pembentukan
air ludah mungkin juga meningkatkan infeksi candida pada penderita diabetes.(8)

Lesi oral yang dihubungkan dengan kandidiasis meliputi median rhomboid glossitis (atropi pusat
papila), glositis atofi, stomatits akibat gigi palsu, kandidiasis pseudomembran dan kheilitis
angular. Kandida albican adalah bagian dari mikroflora normal pada mulut yang jarang
menginfeksi mukosa mulut tanpa disertai faktor predisposisi. Faktor tersebut meliputi, kondisi
penekanan imunologi (misalnya pada AIDS, kanker atau diabetes), pemakaian gigi palsu yang
berhubungan dengan kebersihan mulut yang kurang dan penggunaan obat antibiotik spektrum
luas dalam jangka panjang. Gangguang fungsi pembentukan air ludah, penekanan fungsi imun
dan hipergikemi saliva menyediakan bahan untuk pertumbuhan jamur merupakan faktor
pendukung terbesar untuk kandidiasis mulut pada pasien dengan diabetes.(11)
Profesional pelayan kesehatan harus siap dalam mendiagnosa kandidiasis dan memberikan
pengobatan tetapi yang lebih penting adalah menemukan penyebab infeksinya yang bisa
merupakan diagnosa dari diabetes melitus.(8)
6.

Gangguan Pengecapan
Lidah merupakan organ utama dalam kesehatan mulut, dan mengalami pengaruh yang kurang
baik pada pasien dengan diabetes. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa lebih dari 1 3
orang dewasa dengan diabetes mengalami hypogeusia atau penyusutan persepsi pada lidah yang
bisa menghasilkan hiperfagia dan obesitas. Gangguan fungsi sensory ini dapat menghambat
kemampuan untuk memelihara suatu pola makan yang sesuai dan bisa mendorong regulasi
glukosa kearah yang lebih rendah.(8)
Lidah penderita diabetes juga sering membesar dan terasa tebal sehingga terjadi gangguan
pengecapan pada lidahnya.(6)

7.

Kerusakan neurosensory
Pasien diabetes dilaporkan mengalami peningkatan keluhan terhadap glossodynia dan
stomatopyrosis. Secara umum, gangguan sensori saraf wajah dan mulut serta sindrom mulut
terbakar dihubungkan dengan diabetes melitus. Pasien kemungkinan mengalami oral
dysesthesias yang lama, yang mana memberikan efek yang kurang baik bagi pemeliharaan
kesehatan mulut.(8)
Sindrom mulut atau lidah terbakar biasanya secara klinis tidak memperlihatkan luka yang dapat
ditemukan, walaupun gejala nyeri dan rasa terbakar dapat terasa berat. Penyebab rasa mulut

terbakar bervariasi dan sering sulit diterjemahkan secara klinis. Gejala nyeri dan terbakar
nampak hasil dari suatu faktor atau kombinasi dari beberapa faktor. Pada diabetes tidak
terkontrol atau secara garis besar terkontrol, faktor penyebabnya bisa meliputi gangguan fungsi
pembentukan saliva, kandidiasis dan abnormalitas neurologi seperti depresi. Neuropati saraf
otonom dan sensorik-motorik merupakan bagian dari sindrom diabetes, dan prevalensi neuropati
pada diabetes melitus mendekati 50% setelah 25 tahun dari awal terjadinya onset dari penyakit,
dengan rata-rata 30 persen pada orang dewasa dengan diabetes.
Neuropati mungkin mendorong perasaan kebas atau perasaan geli pada mulut, mati rasa, rasa
terbakar atau nyeri disebabkan perubahan patologis yang melibatkan persarafan di daerah mulut.
Diabetes telah dihubungkan dengan gejala rasa terbakar pada mulut. Bagaimanapun neuropati
pada diabetes dihubungkan dengan nyeri dan rasa terbakar pada bagian tubuh yang lain seperti
pada kaki.
Untuk mengurangi gejala mulut terbakar pada penderita diabetes, faktor yang sangat menentukan
adalah peningkatan terhadap kontrol gula darah, sehingga kekeringan pada mulut (xerostomia)
dan kandidiasis yang merupakan faktor penyebab mulut terbakar dapat di minimalisir.(11)
V.

MANAJEMEN KOMPLIKASI ORAL PADA DIABETES


Pasien dengan kontrol gula darah yang kurang mempunyai resiko terjadinya komplikasi
oral karena kepekaan mereka terhadap infeksi dan sequelae serta sangat memerlukan pemberian
pengobatan suplemen antibiotik.(8)
Secara umum, orang dewasa dengan diabetes tipe 1 atau tipe 2 yang terkontrol dengan baik
mungkin mempunyai risiko yang tidak signifikan untuk mengalami penyakit mulut yang
progresive dibandingkan dengan mereka yang tanpa diabetes dan karenanya dapat diperlakukan
dengan cara yang sama. Misalnya lesi pada corona carious yang belum menembus dentin pada
pasien dengan kontrol diabetes yang baik mungkin tidak memerlukan intervensi yang segera,
sedangkan suatu luka yang serupa pada penderita dengan diabetes yang kurang terkontrol
( hiperglikemia rendah sampai tinggi) mungkin memerlukan tindakan operasi segera,
memberikan resiko besar yang progresiv. Secara umum resiko kemungkinan terjadinya
komplikasi oral berhubungan dengan kontrol kadar gula darah dan ini dinilai dalam bagian
interprestasi dari rata-rata HbA1c dan tingkat kadar gula darah 2 jam setelah makan. (11)

1.

Tata cara pengobatan untuk candidiasis

Dengan pemusatan pada kandidiasis sebagai tanda secara umum atau diabetes yang tidak
terkontrol, dan mempunyai hubungan sekunder dengan kelainan fungsi pembentukan saliva,
beberapa pengobatan topikal dan sistemik utama dapat dilihat pada tabel dibawah ini.
PENGOBATAN TERHADAP KANDIDIASIS ORAL
Jenis obat
Waktu pemberian Dosis
Topikal
Clotrimazole troches1

2 minggu

Dipecahkan

perlahan

dan

dimasukkan 1 10 mg dalam mulut


Nystatin

vaginal 2 minggu

sebanyak 5 kali/hari

Supossutoria2
Dipecahkan

perlahan

satu

tablet

( 100.000 unit) dalam mulut 6-8


kali/hari
Sistemik
Flukonazole

2 minggu

100 mg/hari

Ketokonazole3

2 minggu

200 mg/hari

Itrakonazole4
2 minggu
200 mg/hari
1.
Gunakan dengan perhatian karena mengandung gula
2.

Walaupun sedian ini tidak dirancang untuk penggunaan dalam mulut, klinisi harus
menemukan ini berguna untuk pengobatan kandidiasis oral ketika kandungan gula
dari obat antikandida topikal lainnya menjadi perhatian. Suatu pastiles tanpa yang
dibumbui tanpa gula mungkin dihancurkan secara serempak dimulut untuk
menyembunyikan rasa nistatin

3.

Gunakan dengan perhatian : awasi sifat hepatotoksis dengan liver fungsi test

4.

Harus digunakan terhadap strain candida albicans yang resisten


Secara umum dinasehatkan kepada dokter gigi bahwa pertama yang dinilai adalah kandungan
gula pada beberapa anti jamur sebelum diresepkan. Sebagai contoh clotimazole troches
mempunyai kadar gula yang tinggi mungkin akan berlawanan jika diberikan pada penderita
dengan diabetes.(11)

2.

Tata cara pengobatan gangguan fungsi kelenjar saliva dan xerostomia

Dasar pemikiran untuk pengobatan xerostomia adalah merangsang pembentukan kelenjar saliva
atau terapi pengganti saliva untuk membuat mulut tetap lembab, mencegah gigi busuk dan
infeksi kandida. Manajemen pendekatan untuk mulut yang kering adalah dengan menggunakan
pergantian saliva dan menstimulasinya; pendekatan ini mungkin mengurangi progresivitas atau
mencegah pembentukan dari karies dentis (pembusukan gigi). (11)
3.

Manajemen sindrom mulut terbakar (Burning Mouth Syndrome)


Pada pasien dewasa dengan sindrom mulut terbakar, bermacam faktor mungkin berinteraksi
secara sinergis. Pada diabetes yang tidak terkontrol, xerostomia dan kandidiasis dapat
memberikan kontribusi terhadap gejala yang berhubungan dengan mulut terbakar. Sebagai
tambahan untuk pengobatan terhadap kondisi ini, peningkatan dalam pengontrolan kadar gula
darah penting dilakukan untuk mengurangi gejala. Pemberian dosis rendah benzodiazepins,
tricyclic

antidepresant

dan

antikonvulsan

dapat

membantu

dalam

mengurangi

atau

menghilangkan gejala setelah beberapa minggu atau bulan. Dosis dari obat ini disesuaikan
dengan gejala yang dialami pasien. Efek samping yang berpotensi meliputi xerostomia.
Konsultasi dengan dokter pasien sangat perlu karena obat ini mempunyai potensial untuk
kecanduan dan ketergantungan. Pengobatan yang biasa digunakan meliputi amitriptilin,
nortriptilin, clonazepam dan gabapentin. Yang menarik amitriptilin telah digunakan untuk
pengobatan neuropati otonom pada diabetes. (11)
4.

Manajemen periodontal dan pertimbangan bedah


Pada penderita dengan diabetes melitus perawatan periodontal hanya dapat dilakukan jika kadar
gula darahnya terkontrol. Apabila akan dilakukan prosedur bedah yang agak besar, sebaiknya
diberikan antibiotika satu hari sebelumnya sebagai perlindungan. (12)
Dokter gigi dapat melaksanakan prosedur pembedahan periodontal, walaupun demikian penting
bagi pasien untuk memelihara suatu diet yang normal sepanjang tahap pasca pembedahan untuk
menghindari hipoglikemia ( kadar gula darah yang rendah dan insulin syok) dan memastikan
perbaikan yang efektif. Praktisi gigi harus meninjau ulang sejarah dari komplikasi, menilai
kontrol gula darah pasien dan melakukan dialog dengan dokter yang menangani pasien dan para
ahli gizi. Makin lama menderita diabetes maka semakin besar kemungkinan pada pasien terjadi
pengembangan penyakit periodontalnya.

Pengobatan periodontal yang mendukung harus disajikan pada interval yang relative singkat ( 2
atau 3 bulan). Infeksi periodontal mungkin menyulitkan penderita diabetes dan derajat tingkat
kontrol metabolisme. Pasien dewasa dengan diabetes yang terkontrol baik dalam mengikuti
prosedur pembedahan secara umum tidak memerlukan antibiotik. Namun pemberian antibiotik
sepanjang setelah tahap pembedahan merupakan hal yang sesuai, terutama sekali jika ada infeksi
yang penting, rasa sakit dan stress. Pemilihan antibiotik tergantung dari bermacam faktor
(sebagai contoh, tingkat kepekaan dan spesifisitas yang diharapkan dan penyebaran dari infeksi),
dan harus dilakukan dengan konsultasi terlebih dahulu dengan dokter pasien.
Perhatian utama pengobatan periodontal pada pasien dengan diabetes melitus adalah non bedah.
Pemberian prosedur pembedahan mengharuskan modifikasi dari pengobatan pasien sebelum dan
sesudah perawatan, dan juga mungkin mendorong ke arah suatu tahap penyembuhan yang
panjang pada penderita diabetes. Kombinasi debridemant non bedah dan terapi antibiotik
tetrasiklin pada pasien dengan diabetes melitus yang mempunyai peridontitis mungkin
mempunyai pengaruh positif yang potensial dalam pengontrolan kadar gula darah. Penggunaan
tetrasiklin pada pengobatan penyakit periodontal telah dihubungkan dengan peningkatan kadar
gula darah yang dinilai oleh pemeriksaaan HbA1c.
Beberapa dokumen yang diterbitkan sudah melaporkan suatu tambahan manfaat pada
penggunaan tetrasiklin pada pengobatan penyakit periodontal, terutama sebagai penghambat
degradasi enzim jaringan ikat, matriks metalloproteinase manusia. Sebagai contoh, dosis rendah
dari doxicyclin telah ditunjukkan untuk menghambat kolagenase cairan crevicular gingiva pada
dosis yang tidak bersifat antimikroba, dengan mantap menghilangkan resistensi dari bakteri.
Tetrasiklin dapat berfungsi sebagai penghambat resorpsi tulang atau kehilangan tulang, dan
kemampuan ini tidak terikat pada sifat antimikrobial yang mereka gunakan, hal ini menunjukkan
arah dimensi baru terhadap manajemen pengobatan pada periodontitis.(11)
5.

Manajemen penyakit mulut dengan kortikosteroid


Pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat

immunomodulasi mempunyai

potensial terhadap efek samping. Oleh karena itu kerjasama yang erat antara dokter dan pasien
sangat diperlukan. Penggunaan steroid dalam pengobatan erosi pada liken planus terhadap pasien
dengan diabetes menjadi perhatian yang pantas dipertimbangkan karena steroid dapat melawan
aksi insulin dan mendorong kearah hiperglikemia. Selama pengobatan dengan steroid, pasien

harus diberikan instruksi untuk mengawasi sendiri kadar gula darahnya secara teratur.
Penggunaan steroid yang lama ( untuk periode lebih dari 2 minggu secara terus menerus)
mungkin akan menyebabkan atrofi mukosa dan kandidiasis sekunder. Kondisi tersebut biasanya
terjadi pada diabetes yang tidak terkontrol. Ketika erosi oral karena liken planus telah berkurang,
steroid topikal harus dikurangkan secara bertahap lebih rendah dari frekuensi terapi terakhir,
tergantung dari pengontrolan erosi dan kemungkinan untuk mengalami kekambuhan.
Kemunculan obat imunomodulator non sterod (sebagai contoh, salap tacrolimus, obat topical
thalidomide) mungkin berguna dalam manajemen pengobatan pada pasien dengan penyakit
mukosa mulut dan diabetes yang tidak terkontrol secara bersamaan.(11)

VI.

KESIMPULAN
Para dokter gigi memainkan peran utama dengan anggota yang dipadukan dalam tim kesehatan
dalam menolong pasien memelihara kontrol gula darah dengan perlakuan baik terhadap infeksi
mulut dan dengan menginstruksikan pasien dengan diabetes untuk memelihara kesehatan mulut
dan melakukan pola makan yang sesuai. Dokter gigi bisa memainkan peran utama yang vital
dalam menunjuk pasien dengan tanda dan gejala sugestif atau diabetes yang tidak terdiagnosa
kepada dokter untuk evaluasi tambahan.
Akhinya sebagai suatu anggota integral dari regu pelayanan kesehatan, dokter gigi dapat
menasehati pasien dengan diabetes untuk berhenti merokok sebagai suatu faktor resiko yang bisa
memperburuk kondisi pembuluh darah pada penderita diabetes.
Pasien dengan diabetes yang menerima perawatan medik dengan baik dan yang memelihara
kontrol gula darah secara umum dapat menerima indikasi manapun dalam perawatan gigi. Orang
dewasa dengan diabetes yang terkontrol dengan baik yang mana tanpa komplikasi sistemik harus
diperlakukan dengan cara yang persis sama dengan pasien tanpa diabetes. Antibiotik tidak harus
ditentukan kecuali sudah diperlukan (sebagai contoh, suatu infeksi mulut akut).
Pasien dengan komplikasi sistemik akibat diabetes mungkin memerlukan modifikasi dalam
perawatan gigi dan perencanaan untuk konsultasi dengan dokter yang merawat pasien. (11)

DAFTAR PUSTAKA

1.

Suyono, Isa, Henry, Nugroho,

Derajat Keasaman Air Ludah Pada Penderita

Diabetes, www.kalbefarma.com
2.

Anonymous, Remehkan Kesehatan Gigi Picu Diabetes,www.sinarharapan.co.id

3.

Anonymous, GigiYang

Rusak

Sumber

Infeksi

Berbagai

Penyakit

Kronis, www.depkes.go.id
4.

Rudi Setiadi, Rawatlah Gigi Agar Tak Lekas Ompong,www.pikiran-rakyat.com

5.

Anonymous, Menghilangkan Bau Mulut (Halitosis)www.republika.co.id

6.

Priyanto, Diabetes Melitus Pada Lanjut Usia, Kepaniteraan Gerontologi Medik Fakultas
Kedokteran Universitas Trumanagara Sasana Tresna Werda Yayasan Karya Bakti RIA
Pembangunan.

7.

Saidina

Hamzah

Dalimunthe,

2001, PERIODONSIA,

Bagian

Periodonsia

Fakultas

Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.


8.

Jonathan A. Ship, D.M.D. Diabetes and Oral Health, Journal American Dental Asociation,
Volume 134, October 2003.

9.

Made Ayu Lely Suratri, dkk, Kegoyahan Gigi Pada Penderita Diabetes Mellitus: Pengaruh
Kadar Glukosa Darah yang Terkontrol terhadap Penurunan Derajat Kegoyahan
Gigi,http://digilib.litbang.depkes.go.id

10. Sayuti Hasibuan, 2002, Keluhan Mulut Kering Ditinjau Dari Faktor Penyebab, Manifestasi
dan Penanggulangannya, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara
11. Anthony T. Vernillo, D.D.S, Ph.D, Dental Consideration for the Treatment of Patient with
Diabetes Mellitus, Journal American Dental Asociation, Volume 134, October 2003.
12. Saidina Hamzah Dalimunthe, 2002, TERAPI PERIODONTAL, Bagian Periodonsia Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara, Medan.
Diagnosis Diabetes Melitus
Diagnosis dapat ditegakan jika didapat salah satu dari gejala di bawah ini :
1. Adanya gejala yang klasik seperti poliuria, polifagi, polidipsi, dan ketonuria, penurunan
berat badan yang cepat disertai dengan kadar glukosa darh plas >200mg/dl.

2. Pada individu asimtomatik, jika terdapat peningkatan kadar glukosa darah puasa dan
peningkatan kadar glukosa darah yang menetap selama dilakukan tes toleransi glukosa
oral (TTGO/OPGTT) yang dilakukan lebih dari 1 kali.
Cara pemeriksaan TTGO adalah :
1. Tiga hari sebelum pemeriksaan pasien makan seperti biasa
2. Kegiatan jasmani sementara cukup, tidak terlalu banyak.
3. Pasien puasa semalam selama 10-12 jam.
4. Periksa glukosa darah
5. Berikan glukosa 75g yang dilarutkan dalam air 250 ml, lalu minum dalam waktu 5
menit.
6. Periksa glukosa darah 1 jam dan 2 jam sesudah beban glukosa
7. Selama pemeriksaan, pasien yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok.
WHO (1985) menganjurkan pemeriksaan standar seperti di atas, tetapi di Indonesia hanya
memakai pemeriksaan glukosa darah 2 jam saja. Sedangkan, TTGO pada anak seringkali tidak
dibutuhkan karena gejala klinis yang khas.
Tabel 2. Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa dengan metode enzimatik sebagai patokan
penyaring dan diagnosis DM (mg/dl)4
Bukan DM

Belum pasti DM

DM

Plasma vena

<110

110-199

>200

Darah Kapiler

<90

90-199

>200

Plasma vena

<110

110-125

>126

Darah Kapiler

<90

90-109

>110

Kadar glukosa darah sewaktu

Kadar glukosa darah puasa

Penatalaksanaan Diabetes Melitus tipe 1


Dalam jangka pendek, penatalaksanaan DM bertujuan untuk menghilangkan/mengurangi
keluhan/gejala DM. Sedangkan untuk tujuan jangka panjangnya adalah mencegah komplikasi.
Tujuan tersebut dilaksanakan dengan cara menormalkan kadar glukosa, lipid, dan insulin. Untuk
mempermudah tercapainya tujuan tersebut kegiatan dilaksanakan dalam bentuk pengelolaan

pasien secara holistik dan mengajarkan kegiatan mandiri. Kriteria pengendalian DM dapat dilihat
pada tabel 3.
Tabel 3. Kriteria pengendalian diabetes melitus 4
Baik

Sedang

Buruk

- puasa

80-109

110-139

>140

-2 jam
HbA1c (%)
Kolesterol total (mg/dl)
Kolesterol LDL

110-159
4-6
<200

160-199
6-8
200-239

>200
>8
>240

- tanpa PJK

<130

130-159

>159

- dengan PJK
Kolesterol HDL (mg/dl)
Trigliserida (mg/dl)

<100
>45

11-129
35-45

>129
<35

- tanpa PJK

<200

<200-249

>250

- dengan PJK
BMI/IMT

<150

<150-199

>200

- perempuan

18,9-23,9

23-25

>25 atau <18,5

- laki-laki
Tekanan darah (mmHg)

20 -24,9
<140/90

25-27
140-160/90-95

>27 atau <20


>160/95

Glukosa darah plasma vena (mg/dl)

Akan tetapi, perbedaan utama antara penatalaksanaan DM tipe 1 yang mayoritas diderita anak
dibanding DM tipe 2 adalah kebutuhan mutlak insulin. Terapi DM tipe 1 lebih tertuju pada
pemberian injeksi insulin.
Penatalaksanaan DM tipe 1 menurut Sperling dibagi dalam 3 fase yaitu :
1. Fase akut/ketoasidosis
koma dan dehidrasi dengan pemberian cairan, memperbaiki keseimbangan asam basa,
elektrolit dan pemakaian insulin.
2. Fase subakut/ transisi
Bertujuan mengobati faktor-faktor pencetus, misalnya infeksi, dll, stabilisasi penyakit
dengan insulin, menyusun pola diet, dan penyuluhan kepada penyandang DM/keluarga
mengenai pentignya pemantauan penyakitnya secara teratur dengan
darah, urin, pemakaian insulin dan komplikasinya serta perencanaan
jasmani.

pemantauan
diet

dan

glukosa
latihan

3. Fase pemeliharaan
Pada fase ini tujuan utamanya ialah untuk mempertahankan status metabolik dalam
batas normal serta mencegah terjadinya komplikasi
Untuk itu WHO mengemukakan beberapa sasaran yang ingin dicapai dalam penatalaksanaan
penyandang DM tipe 1, diantaranya :
1. Bebas dari gejala penyakit
2. Dapat menikmati kehidupan sosial sepenuhmya
3. Dapat terhindar dari komplikasi penyakitnya
Pada anak, ada beberapa tujuan khusus dalam penatalaksanaannya, yaitu diusahakan supaya
anak-anak :
1. Dapat tumbuh dan berkembang secara optimal
2. Mengalami perkembangan emosional yang normal
3. Mampu mempertahankan kadar glukosuria atau kadar glukosa darah serendah mungkin
tanpa menimbulkan gejala hipoglikemia
4. Tidak absen dari sekolah akibat penyakit dan mampu berpartisipasi dalam kegiatan fisik
maupun sosial yang ada
5. Penyakitnya tidak dimanipulasi oleh penyandang DM, keluarga, maupun oleh lingkungan
6. Mampu memberikan tanggung jawab kepada penyandang DM untuk mengurus dirinya
sendiri sesuai dengan taraf usia dan intelegensinya
Keadaan ideal yang ingin dicapai ialah penyandang DM tipe 1 dalam keadaan asimtomatik,
aktif, sehat, seimbang, dan dapat berpartisipasi dalam semua kegiatan sosial yang
diinginkannya serta mampu menghilangkan rasa takut terhadap terjadinya komplikasi.
Sasaran-sasaran ini dapat dicapai oleh sebagian besar penyandang DM maupun keluarganya
jika mereka memahami penyakitnya dan prinsip-prinsip penatalaksanaan diabetes. 1-4
Untuk mencapai tujuan ini penatalaksanaan dibagi menjadi :
1. Pemberian insulin
2. Penatalaksanaan dietetik
3. Latihan jasmani
4. Edukasi
5. Home monitoring (pemantauan mandiri )

Akibat yang ditimbulkan bila pencabutan gigi dilakukan pada saat kadar gula darah
tinggi antara lain :
1. Terjadinya infeksi pasca pencabutan pada daerah bekas pencabutan.
2. Terjadinya sepsis atau peningkatan jumlah bakteri dalam darah.
3. Terjadinya perdarahan yang terus menerus akibat infeksi pasca pencabutan.
Oleh karena alasan tersebut di atas,maka biasanya dokter gigi menunda
pencabutan gigi pada penderita diabetes melitus yang tidak terkontrol.
Untuk menangani DM ini, dapat diberikan medikamen antidiabetik oral dimana terbagi menjadi
dua golongan, yakni:
a. Sulfonilurea
Indikasi pemakaian golongan ini untuk penderita yang memiliki beratbadan ideal, kebutuhan
insulin >40U/hari, tidak sedang mengalami stres (infeksi berat/operasi), dan khusus untuk
penderita diabetes yang dewasa. Sedangkan kontraindikasinya apabila penderita sudah
mengalami komplikasi ginjal, hati, dan tiroid. Cara kerja dari golongan ini yaitu:
Merangsang sel betha pankreas untuk mengeluarkan insulin, jadi hanya bekerja bila sel
betha utuh
Menghalangi pengikatan insulin
Mempertinggi kepekaan jaringan terhadap insulin
Menekan pengeluaran glukagon agar tidak berlebih
Nama generik medikamen golongan ini terdapat; Tolbutamid, Glikodiazin, Acetoheksanid,
Tolazamid, Gliklazid, Glibenklamid, Karbutamid.
b. Biguanid
cara kerja golongan ini yaitu gangguan absorbsi glukosa dalam usus, peningkatan kecepatan
ambilan glukosa dalam mulut, dan penurunan lukoneogenesis dalam hepar. Nama generik
medikamen ini yaitu Fenformin, Buformin, dan Meformin.
Pada penderita yang mengalami bleeding atau susah sembuh, terutama pada kasus
mengalami luka yang tidak sembuh pada bekas pencabutan giginya, bisa menggunakan
medikamen oral agents tersebut:
a.Aspirin

Berfungsi untuk menghambat sementara fungsi platelet. Jika pembedahan signifikan dan
fisik pasien mendukung, makan penggunaan disarankan untuk 7-10hari sebelum prosedur.
Jika bleeding masih berlangsung biasanya dilakukan langkah lokal lainnya.
b. Anti-Inflammatories
NSAIDs lain berreaksi pada tubuh dengan mekanisme yang sama seperti aspirin tapi kuran
kualitatif, hanya untuk menghambat sementara fungsi platelet. Itu disarankan untuk hentikan
penggunaan 2-3hari sebelum pembedahan mulut.
c. Anticoagulants
medikamen ini diresepkan untuk penanganan fibrilasi atrium, pelebaran cardiomyopathy,
kegagalan jantung sistolik kongestif , kelainan valvular jantung, hemodialisis, etc.
Coumadian menghambat sintesis vitamin-K-yg bergantung pada koagulasi. Ini biasa
digunakan dokter gigi, kecuali vitaminK diberikan, ini digunakan beberapa hari untuk
mengembalikan normal pembekuan darah setelah penggunaan lanjut.
d. antibiotic
e. alcoholism
f. anticancer drugs
g. antiplatelet drugs.
Selain penggunaan medikamen, bagi penderita Diabetes Mellitus type II bisa melakukan
aktivitas yang banyak baik olahraga ataupun lainnya agar insulin pada tubuh bisa melatih
untuk melakukan fungsinya dengan baik yaitu mengubah glukosa menjadi energi sehingga
tidak terjadi penumpukan glukosa pada darah.
Pencabutan gigi pada penderita Diabetes Mellitus pada umumnya tidak bisa dilakukan karena
akan mengalami bleeding, kecuali jika sebelum pembedahan pasien sudah diberikan
medikamen atau pasien Diabetes Mellitus tersebut penderita yang terkontrol. Mengapa
demikian, karena pasien Diabetes Mellitus mengalami kesulitan pembekuan darah sehingga
ketika dilakukan penccabutan, luka tersebut sulit melakukan pembekuan dan memicu
terjadinya infeksi pada bekas pencabutan gigi pasien tersebut.
Pemeriksaan
Untuk Dx DM: pemeriksaan glukosa darah/hiperglikemia (puasa, 2 jam setelah makan/post
prandial/PP) dan setelah pemberian glukosa per-oral (TTGO).1,2,3,4,5,7

Antibodi untuk petanda (marker) adanya proses autoimun pada sel beta adalah islet cell
cytoplasmic antibodies (ICA), insulin autoantibodies (IAA), dan antibodi terhadapglutamic acid
decarboxylase (anti-GAD). ICA bereaksi dengan antigen yang ada di sitoplasma sel-sel endokrin
pada pulau-pulau pankreas. ICA ini menunjukkan adanya kerusakan sel. Adanya ICA dan IAA
menunjukkan risiko tinggi berkembangnya penyakit ke arah diabetes tipe 1. GAD adalah enzim
yang dibutuhkan untuk memproduksi neurotransmiter g-aminobutyric acid (GABA). Anti GAD
ini bisa teridentifikasi 10 tahun sebelum onset klinis terjadi. Jadi, 3 petanda ini bisa digunakan
sebagai uji saring sebelum gejala DM muncul.2
Untuk membedakan tipe 1 dengan tipe 2 digunakan pemeriksaan C-peptide. Konsentrasi Cpeptide merupakan indikator yang baik untuk fungsi sel beta, juga bisa digunakan untuk
memonitor respons individual setelah operasi pankreas. Konsentrasi C-peptida akan meningkat
pada transplantasi pankreas atau transplantasi sel-sel pulau pankreas.2
Sampling untuk Pemeriksaan Kadar Gula Darah
Untuk glukosa darah puasa, pasien harus berpuasa 6--12 jam sebelum diambil darahnya. Setelah
diambil darahnya, penderita diminta makan makanan seperti yang biasa dia makan/minum
glukosa per oral (75 gr ) untuk TTGO, dan harus dihabiskan dalam waktu 15--20 menit. Dua jam
kemudian diambil darahnya untuk pemeriksaan glukosa 2 jam PP.2,3,4
Darah disentrifugasi untuk mendapatkan serumnya, kemudian diperiksa kadar glukosanya. Bila
pemeriksaan tidak langsung dilakukan (ada penundaan waktu), darah dari penderita bisa
ditambah dengan antiglikolitik (gliseraldehida, fluoride, dan iodoasetat) untuk menghindari
terjadinya glukosa darah yang rendah palsu. 2,8,9 Ini sangat penting untuk diketahui karena
kesalahan pada fase ini dapat menyebabkan hasil pemeriksaan gula darah tidak sesuai dengan
sebenarnya, dan akan menyebabkan kesalahan dalam penatalaksanaan penderita DM.
Metode Pemeriksaan Kadar Glukosa
Metode pemeriksaan gula darah meliputi metode reduksi, enzimatik, dan lainnya. Yang paling
sering dilakukan adalah metode enzimatik, yaitu metode glukosa oksidase (GOD) dan metode
heksokinase.1,2,8,9
Metode GOD banyak digunakan saat ini. Akurasi dan presisi yang baik (karena enzim GOD
spesifik untuk reaksi pertama), tapi reaksi kedua rawan interferen (tak spesifik). Interferen yang
bisa mengganggu antara lain bilirubin, asam urat, dan asam askorbat.2,8

Metode heksokinase juga banyak digunakan. Metode ini memiliki akurasi dan presisi yang
sangat baik dan merupakan metode referens, karena enzim yang digunakan spesifik untuk
glukosa.8 Untuk mendiagosa DM, digunakan kriteria dari konsensus Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia tahun 1998 (PERKENI 1998) 3,4,7
Pemeriksaan untuk Pemantauan Pengelolaan DM
Yang digunakan adalah kadar glukosa darah puasa, 2 jam PP, dan pemeriksaan glycated
hemoglobin, khususnya HbA1C, serta pemeriksaan fruktosamin.2,3,4,7,10Pemeriksaan fruktosamin
saat ini jarang dilakukan karena pemeriksaan ini memerlukan prosedur yang memakan waktu
lama.7 Pemeriksaan lain yang bisa dilakukan ialah urinalisa rutin. Pemeriksaan ini bisa dilakukan
sebagai self-assessment untuk memantau terkontrolnya glukosa melalui reduksi urin.1,7
Pemeriksaan HbA1C
HbA1C adalah komponen Hb yang terbentuk dari reaksi non-enzimatik antara glukosa dengan N
terminal valin rantai b Hb A dengan ikatan Almidin. Produk yang dihasilkan ini diubah melalui
proses Amadori menjadi ketoamin yang stabil dan ireversibel. 7,10,11 Metode pemeriksaan
HbA1C: ion-exchange chromatography, HPLC (high performance liquid chromatography),
Electroforesis,

Immunoassay,

Affinity

chromatography, dan

analisis

kimiawi

dengan

kolorimetri.1,2,10,11
Metode Ion Exchange Chromatography: harus dikontrol perubahan suhu reagen dan kolom,
kekuatan ion, dan pH dari bufer. Interferens yang mengganggu adalah adanya HbS dan HbC
yang bisa memberikan hasil negatif palsu.2,10
Metode HPLC: prinsip sama dengan ion exchange chromatography, bisa diotomatisasi, serta
memiliki akurasi dan presisi yang baik sekali. Metode ini juga direkomendasikan menjadi
metode referensi.10
Metode agar gel elektroforesis: hasilnya berkorelasi baik dengan HPLC, tetapi presisinya kurang
dibanding HPLC. Hb F memberikan hasil positif palsu, tetapi kekuatan ion, pH, suhu, HbS, dan
HbC tidak banyak berpengaruh pada metode ini.2
Metode Immunoassay (EIA): hanya mengukur HbA1C, tidak mengukur HbA1C yang labil maupun
HbA1A dan HbA1B, mempunyai presisi yang baik.2
Metode Affinity Chromatography: non-glycated hemoglobin serta bentuk labil dari HbA1C tidak
mengganggu penentuan glycated hemoglobin, tak dipengaruhi suhu. Presisi baik. HbF, HbS,
ataupun HbC hanya sedikit mempengaruhi metode ini, tetapi metode ini mengukur

keseluruhan glycated hemoglobin, sehingga hasil pengukuran dengan metode ini lebih tinggi dari
metode HPLC.2,10
Metode Kolorimetri: waktu inkubasi lama (2 jam), lebih spesifik karena tidak dipengaruhi nonglycosylated ataupun glycosylated labil. Kerugiannya waktu lama, sampel besar, dan satuan
pengukuran yang kurang dikenal oleh klinisi, yaitu m mol/L.10
Interpertasi Hasil Pemeriksaan HbA1C
HbA1C akan meningkat secara signifikan bila glukosa darah meningkat. Karena itu, HbA 1C bisa
digunakan untuk melihat kualitas kontrol glukosa darah pada penderita DM (glukosa darah tak
terkontrol, terjadi peningkatan HbA1C-nya ) sejak 3 bulan lalu (umur eritrosit). HbA1C meningkat:
pemberian Tx lebih intensif untuk menghindari komplikasi 2,3,4,5,7,10,11
Nilai yang dianjurkan PERKENI untuk HbA 1C (terkontrol): 4%-5,9%.4 Jadi, HbA1C penting
untuk melihat apakah penatalaksanaan sudah adekuat atau belum. 1,18Sebaiknya, penentuan
HbA1C ini dilakukan secara rutin tiap 3 bulan sekali.4
Pemeriksaan untuk Memantau Komplikasi DM
Komplikasi spesifik DM: aterosklerosis, nefropati, neuropati, dan retinopati. Pemeriksaan
laboratorium bisa dilakukan untuk memprediksi beberapa dari komplikasi spesifik tersebut,
misalnya untuk memprediksi nefropati dan gangguan aterosklerosis.2,3,4,6,7
Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi nefropati: mikroalbuminuria serta heparan sulfat urine
(pemeriksaan ini jarang dilakukan).1,2,3,4,5,6,7,12,13,1,15,16 Pemeriksaan lainnya yang rutin adalah
pemeriksaan serum ureum dan kreatinin untuk melihat fungsi ginjal.4
Mikroalbuminuria: ekskresi albumin di urin sebesar 30-300 mg/24 jam atau sebesar 20-200
mg/menit.2,3,6,14 Mikroalbuminuria ini dapat berkembang menjadi makroalbuminuria. Sekali
makroalbuminuria terjadi maka akan terjadi penurunan yang menetap dari fungsi ginjal. Kontrol
DM yang ketat dapat memperbaiki mikroalbuminuria pada beberapa pasien, sehingga perjalanan
menuju ke nefropati bisa diperlambat.3,4,6 Pengukuran mikroalbuminuria secara semikuantitatif
dengan menggunakan strip atau tes latex agglutination inhibition, tetapi untuk memonitor pasien
tes-tes ini kurang akurat sehingga jarang digunakan. Yang sering adalah cara kuantitatif:
metode Radial

Immunodiffusion

(RID),

Radio

Immunoassay

(RIA),

Enzym-linked

Immunosorbent assay (ELISA), dan Immunoturbidimetry. Metode kuantitatif memiliki presisi,

sensitivitas, dan range yang mirip, serta semuanya menggunakan antibodi terhadap human
albumin.2,6,12,14 Sampel yang digunakan untuk pengukuran ini adalah sampel urine 24 jam.15
Interpretasi Hasil Pemeriksaan Mikroalbuminuria
Menurut Schrier et al (1996), ada 3 kategori albuminuria, yaitu albuminuria normal (<20
mg/menit),

mikroalbuminuria

(20--200

mg/menit), Overt

Albuminuria (>200

mg/menit).2,17 Pemeriksaan albuminuria sebaiknya dilakukan minimal 1 X per tahun pada semua
penderita DM usia > 12 tahun.17
Pemeriksaan untuk Komplikasi Aterosklerosis
Pemeriksaan untuk memantau komplikasi aterosklerosis ini ialah profil lipid, yaitu kolesterol
total, low density lipoprotein cholesterol (LDL-C), high density lipoprotein cholesterol (HDL-C),
dan trigliserida serum, serta mikroalbuminuria.4,5,7,18 Pada pemeriksaan profil lipid ini, penderita
diminta berpuasa sedikitnya 12 jam (karena jika tidak puasa, trigliserida > 2 jam dan mencapai
puncaknya 6 jam setelah makan).21
Pemeriksaan untuk Komplikasi Lainnya
Pemeriksaan lainnya untuk melihat komplikasi darah dan analisa rutin. Pemeriksaan ini bisa
untuk melihat adanya infeksi yang mungkin timbul pada penderita DM.3
Untuk pemeriksaan laboratorium infeksi, sering dibutuhkan kultur (pembiakan), misalnya kultur
darah, kultur urine, atau lainnya. Pemeriksaan lain yang juga seringkali dibutuhkan adalah
pemeriksaan kadar insulin puasa dan 2 jam PP untuk melihat apakah ada kelainan insulin darah
atau tidak. Kadang-kadang juga dibutuhkan pemeriksaan lain untuk melihat gejala komplikasi
dari DM, misalnya adanya gangguan keseimbangan elektrolit dan asidosis/alkalosis metabolik
maka perlu dilakukan pemeriksaan elektrolit dan analisa gas darah. Pada keadaan ketoasidosis
juga dibutuhkan adanya pemeriksaan keton bodies, misalnya aceton/keton di urine, kadar asam
laktat darah, kadar beta hidroksi butarat dalam darah, dan lain-lainnya. Selain itu, mungkin untuk
penelitian masih dilakukan pemeriksaan biomolekuler, misalnya HLA (Human Lymphocyte
Antigen) serta pemeriksaan genetik lain.
Bagaimana

memastikan

1. Dilakukan
2.

seseorang

wawancara

Pemeriksaan

fisik

terkena

Diabetes

Melitus

type

oleh dokter untuk pola hidup dan gejala klinis.


oleh

dokter

3.

Pemeriksaan

laboratorium,

Pemeriksaan

gula

(berat

darah

badan
dengan
sewaktu

dan

tekanan

tiga
(tanpa

cara

darah).
:
puasa)

- Pemeriksaan kadar gula darah puasa (puasa 8 jam) dan gula darah 2 jam setelah makan.
- Pemeriksaan HbA1c digunakan untuk mengevaluasi pengendalian glukosa jangka
panjang (dapat mendeteksi pengendalian glukosa darah 100 hari kebelakang).

Anda mungkin juga menyukai