Anda di halaman 1dari 4

Sitanggang 1

Marcella Olivia
Yuda Putri
Bahasa Indonesia 9
6 Oktober 2015
Pengaruh Adat Minangkabau dalam Diri Rapiah
Kehidupan dalam rumah tangga tidak selalu dilalui dengan mulus namun sering juga terjadi
pertengkaran yang dimulai dari pertengkaran kecil yang jika dibiarkan akan jadi pertengkaran besar. Jika
pertengkaran besar tidak dapat dicari jalan keluarnya, maka perceraian pun akan dijalankan. Hal itu
terjadi juga dalam kehidupan keluarga tokoh Rapiah dan Hanafi. Walaupun Rapiah dan Hanafi berasal
dari keluarga yang memegang teguh adat Minangkabau, ini bukan jaminan bahwa mereka dapat membina
rumah tangga dengan mulus. Hanafi walaupun terlahir di keluarga Minangkabau, tetapi ia tumbuh besar
di dalam budaya barat. Adat istiadat Minangkabau telah memaksa mereka berdua untuk saling menerima
dijodohkan sebagai pasangan suami istri. Karena mereka menikah atas nama adat, bukan atas nama cinta
dan Hanafi sering memperlakukan Rapiah dengan kasar baik secara fisik atau pun verbal. Walaupun
demikian, Rapiah tetap menyayangi suaminya Hanafi dan tidak membalas semua perlakuan kasarnya.
Pengaruh adat Minangkabau telah mengajarkan Rapiah untuk menghargai harkat dan martabat keluarga,
kesucian dirinya, dan menghormati mertuanya. Ketiga hal ini telah membuat Rapiah bertahan dalam
kehidupannya.
Hanafi yang menikahi Rapiah hanya karena mengikuti keinginan adat, tidak pernah
memperlakukan Rapiah sebagai seorang istri yang seharusnya dihargai. Ia memperlakukan Rapiah
sebagai seorang budak dan ketika ibunya menasehatinya, Hanafi justru membalikkan pertanyaan kepada
ibunya dengan mengatakan, Siapakah yang memberikan isteri serupa itu kepadaku? (Moeis 104) Ibu
sendiri yang mencarikan aku istri yang serupa itu, yang meracun hatiku sepanjang hari. Yang sudah

Sitanggang 2
menceraikan aku dengan kawan-kawanku (104) Kalau Ibu menghendaki perempuan yang semacam
itu saja bagiku, apakah perlunya ibu menyerahkan aku bersekolah tinggi?(105). Kata-kata yang Hanafi
utarakan kepada sang ibu membuat hati Rapiah sangat terluka. Rapiah yang telah mendapat penghinaan
secara verbal ini tidak memarahi Hanafi atau melampiaskan kemarahannya sebab ia terlahir dari keluarga
Minangkabau yang sangat menghargai adat istiadat. Dalam budaya atau adat Minangkabau seorang istri
harus menjunjung tinggi harkat dan martabat keluarga karena kekurangan suami adalah kekurangan istri,
jadi seorang istri harus menutupi kekurangan suami. Namun Rapiah hanyalah seorang manusia yang
punya kesedihan dan ia hanya bisa menyatakannya lewat pantun. Habis bulan berganti tahun, makin
dalam makin penyakit.(108) Rusak hatiku bukan sedikit, pintu kubur akan obatnya(108). Luka di hati
Rapiah sudah sangat dalam, tapi Rapiah tidak pernah membuat perlawanan terhadap perlakuan Hanafi
sebab baginya harkat dan martabat keluarga harus disanjung tinggi. Sebagai seorang istri yang
bermartabat, ia harus menutupi kekurangan suaminya agar tetap dipandang baik oleh orang lain. Rapiah
sangat meyakini bahwa pernikahan yang dimilikinya bukan hanya antar dua manusia tetapi Kawin
dengan kaluargo, pernikahan antar dua keluarga besar, dua kaum atau keluarga negari (Yanti). Pengaruh
adat Minangkabau yang telah diajarkan oleh orangtua Rapiah kepadanya telah mengajarkan Rapiah cara
menghargai harkat dan martabat keluarganya dengan menyimpan semua permasalahan yang ada tanpa
membawa permasalahan tersebut kepada keluarga besar atau kepada keluarga lain.
Rapiah mengetahui bahwa ia tidak bisa menyelesaikan segala permasalahan yang terjadi di dalam
hidupnya. Rapiah sebagai isteri yang berbakti, ia memiliki prinsip untuk menjaga kesucian dirinya
walaupun sudah diceraikan oleh Hanafi. Tiap-tiap ibu membawa aku berunding tentang niat hendak
mencari suami bagiku, maka timbullah rasa geli dan jijik dalam hatiku terhadap kepada sekalian laki-laki.
(239). Walaupun Rapiah sudah diperlakukan secara tidak adil oleh Hanafi, namun rasa cinta telah
tumbuh dalam dirinya. Hal itu ternyata telah membuat posisi Hanafi sebagai seorang suami tidak bisa
tergantikan meskipun ibu mertuanya menyarankan dia untuk menikah lagi yang kedua kalinya. Rapiah
telah mengganggap Hanafi sebagai belahan jiwanya. Rapiah terus menunggu Hanafi untuk kembali

Sitanggang 3
padanya. Oleh karena itu ia berusaha untuk menjaga kesucian dirinya sebab jika suatu saat Hanafi
kembali, ia masih seorang wanita Minangkabau yang memiliki harga diri. Dengan demikian hal kesucian
diri tetap dipegang teguh oleh Rapiah sebab ia masih mencintai Hanafi dan berharap suatu saat nanti
Hanafi kembali padanya.
Sangatlah penting di dalam hidup kita melakukan segala hal kebaikan dengan tulus serta
menghormati orangtua. Rapiah yang telah menikah dengan Hanafi telah menganggap ibu Hanafi sebagai
orangtua yang harus dihormati. Walaupun ia telah diceraikan oleh Hanafi, ia masih menghargai ibu
Hanafi bukan membencinya atas perlakuan anaknya. Bahkan saat mertuanya yang kasihan melihat dirinya
menyarankannya untuk menikah laki, ia tetap menunjukkan rasa hormat, penghargaan dan sayangnya
kepada ibu mertuanya. Jika sungguh-sungguh ibu hendak mengambil aku pengganti Hanafi, bawalah
aku ke mana kehendak ibu (Moeis, 163). Rapiah memiliki ketulusan hati dalam menghormati
mertuanya dan tetap terpancar di dalam dirinya walaupun Hanafi telah meninggalkannya, namun
kedudukan mertuanya tetaplah sama. Ia tetap menjaga mertuanya dan mengikuti kemana orangtua itu
pergi. Perlakuan Hanafi kepadanya tidak mengurangi rasa hormatnya kepada mertuanya sebab adat
istiadat Minangkabau sangat melekat dalam dirinya yaitu selalu menghargai orangtua dan mertua.
Pengaruh adat Minangkabau sangat melekat pada diri Rapiah dan hal tersebut selalu terbawa
dalam kehidupan Rapiah setelah berkeluarga. Adat Minangkabau telah mengajarkan Rapiah agar
menjaga harkat dan martabat keluarga dengan tidak mengedepankan kekurangan suaminya bahkan
menyimpan semua kesedihan hatinya. Ia pun menjaga kesucian dirinya sebab ia masih berharap suami
yang telah menceraikannya itu akan kembali kepadanya walaupun ia sudah diperlakukan secara tidak
adil. Walaupun Hanafi sudah menceraikannya, namun ia tetap menganggap ibu Hanafi sebagai mertuanya
sehingga perlu baginya untuk tetap menghormati orangtua itu.

Referensi

Moeis, Abdoel. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka, 2010. Cetak.

Sitanggang 4

Yanti, Yusrita. Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Kebudayaan Minangkabau. N.p., n.d.
Web. 6 Oct. 2015.
<http://bunghatta.ac.id/artikel-107-peran-dan-kedudukan-perempuan-dalam-kebudayaanminangkabau.html>.
Komentar:
Jumlah kata: 828
Nilai: B: 7+ D: 7+

Anda mungkin juga menyukai