Revisi Terakhir Terbaru 25
Revisi Terakhir Terbaru 25
PENDAHULUAN
Buruh harian lepas di kota Kabanjahe ini pada umumnya adalah pendatang
dari luar daerah Kabupaten Karo seperti dari daerah Simalungun, Dairi, Tapanuli,
Tobasa, Pak-Pak dan sebagainya. Di kota Kabanjahe ini mereka hidup menyebar,
ada di Jalan Lingkar, Siki, Simpang Enam, Katepul, Kampung Dalam, Pajak
Singa, Ketaren, Samura, Sumbul dan lain-lain. Mereka menyewa rumah sebagai
tempat tinggal.
Meskipun kota Kabanjahe merupakan ibu kota kabupaten, namun sebagian
masyarakatnya bermata pencaharian sebagai petani. Beda dengan kota-kota
kabupaten lain pada umumnya yang lebih maju dengan kehidupan perekonomian
pada sektor dagang, industri dan jasa. Dataran tinggi Karo terkenal sebagai daerah
yang subur dan terkenal sebagai penghasil sayur-mayur dan buah-buahan. Hal ini
menjadi berkah bagi para perantau ini, dimana kebutuhan akan tenaga kerja besar
sehingga banyak perantau datang ke Kabanjahe ini. Hal ini dikarenakan bukan
hanya petani dari pedesaan saja yang datang mencari tenaga kerja melainkan ada
pula petani yang tinggal di kota dan menawarkan kerja pada mereka.
Di daerah perantauan ini, mereka bermata pencaharian sebagai buruh
harian lepas karena mereka tidak memiliki lahan sendiri untuk digarap sehingga
mereka menggantungkan sumber perekonomian utama dengan bekerja di lahan
orang lain. Selain itu mereka tidak memiliki keterampilan maupun modal untuk
membuka usaha di perantauan ini jadi mau tak mau mereka menjadi tenaga kerja
harian lepas di ladang para petani yang membutuhkan tenaga mereka.
Pada awalnya buruh tani ini berkumpul di suatu tempat yang oleh mereka
biasa menyebutnya dengan istilah pangkalan menunggu siapa saja buruh tani
yang membutuhkan tenaga mereka dan mereka belum terorganisasi dengan baik.
Para pemilik lahan yang membutuhkan tenaga kerja akan mendatangi tempat ini
dan mengajak sejumlah tenaga kerja sesuai kebutuhannya untuk dipekerjakan di
ladangnya. Hal ini mengakibatkan secara tidak langsung mereka secara tidak
langsung saling bersaing untuk mendapatkan pekerjaan sehingga ada istilah siapa
cepat dia dapat. Apalagi jumlah buruh tani ini semakin meningkat.
Namun, seiring berjalannya waktu, para buruh tani ini membentuk
kelompok-kelompok kecil untuk menghindari persaingan maupun konflik dengan
sesama rekan kerjanya. Mereka membentuk kelompok - kelompok kecil dan
menjalin hubungan dengan para kepala buruh-kepala buruh di berbagai daerah di
Tanah Karo. Kepala buruh ini biasa mereka sebut dengan istilah kepala aron
dimana kepala aron ini berperan sebagai penghubung antara mereka dengan petani
yang membutuhkan tenaga kerja untuk bekerja di kebunnya. Hal ini
menguntungkan kedua belah pihak antara petani dengan buruh tani ini. Petani
tidak perlu susah payah mencari tenaga kerja dan buruh tani tidak perlu bersusah
payah mencari lowongan kerja.
Dengan adanya kepala aron ini, para buruh tani ini cukup terbantu untuk
mendapatkan pekerjaan. Jika ada lowongan, kepala aron ini akan menghubungi
anggotanya untuk bekerja atau sebaliknya aron ini yang bertanya kepada kepala
buruh ini mengenai ada tidaknya lowongan. Pada umumnya, para buruh tani ini
tidak memilih-milih pekerjaan maupun lokasi di daerah mana mereka bekerja.
Asal ada lowongan mereka akan mengambilnya.
Meskipun demikian, bukan berarti semua aron atau buruh tani ini selalu
mendapatkan pekerjaan. Hal ini disebabkan jumlah mereka yang semakin besar
serta semakin rendahnya permintaan terhadap tenaga kerja terutama di saat musim
kemarau maupun di saat libur anak sekolah dimana para petani memberdayakan
anak sekolah untuk bekerja di ladangnya. Belum lagi semenjak terjadinya bencana
erupsi gunung Sinabung membawa dampak yang cukup signifikan bagi para
buruh tani ini dimana permintaan akan kebutuhan tenaga kerja turun drastis. Hal
ini disebabkan para petani yang memiliki lahan di sekitar lereng gunung tersebut
otomatis tidak membutuhkan tenaga kerja karena lahan pertanian mereka tidak
bisa dikelola lagi. Bahkan sebaliknya, para pengungsi itu banyak yang beralih
profesi dari petani menjadi buruh tani dan hal ini mengakibatkan permintaan
tenaga kerja menurun drastis sementara jumlah tenaga kerja semakin meningkat.
Padahal sebelum bencana terjadi, para buruh tani sering mendapatkan tawaran
kerja di ladang/kebun para petani di sekitar gunung Sinabung tersebut.
Namun buruh tani ini terkesan hanya bisa pasrah dengan nasib dan tetap
menggeluti pekerjaannya sebagai penawar tenaga bagi petani yang membutuhkan.
Meskipun permintaan tenaga kerja menurun bahkan terkadang tidak ada lowongan
dari kepala buruh (kepala aron), buruh tani yang belum mendapatkan pekerjaan
tetap saja datang ke pangkalan ini berharap ada petani yang melintas dari
pangkalan dan menawarkan pekerjaan kepada mereka.
Kondisi ketidakpastian kerja ini membawa dampak yang besar bagi
perekonomian para buruh tani ini. Akibat berkurangnya permintaan tenaga kerja
menyebabkan buruh tani ini seringkali menjadi pengangguran sementara padahal
kebutuhan-kebutuhan hidup harus dipenuhi terutama kebutuhan sehari-hari.
Dalam artian tidak ada jaminan para buruh tani ini mendapatkan pekerjaan setiap
harinya.
Di samping belum adanya kepastian kerja setiap harinya, para buruh tani
ini mendapatkan upah kotor minimal sebesar Rp 60.000,00 dimana mereka
bekerja mulai sekitar pukul 09.00-10.00 wib pagi hingga pukul 17.00 wib sore.
Namun, ada kalanya gaji mereka Rp 70.000,00. Bahkan biaya makan siang
ditanggung pemilik lahan/kebun bagi tenaga kerjanya yang bekerja mengangkat
hasil pertanian ke tempat penyusunan barang/gubuk tenda. Namun itu terjadi di
saat-saat tertentu yaitu di masa panen terutama waktu panen jeruk maupun tomat.
Jumlah upah harian ini tergolong besar namun mengingat mereka hanya
menggantungkan perekonomian mereka dari gaji yang mereka dapatkan sehingga
hanya bisa memenuhi kebutuhan dasar. Selain itu, tidak pula setiap hari mereka
mendapatkan pekerjaan. Untuk mengatasi kondisi seperti ini, para buruh tani ini
harus mencari solusi ataupun alternatif lain dalam rangka menyejahterakan
hidupnya agar terbebas dari garis kemiskinan dan hidup sejahtera.
Berdasarkan kondisi tersebut, penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut
strategi pemecahan permasalahan yang dilakukan oleh buruh tani ini untuk
bertahan hidup dan keluar dari garis kemiskinan dalam bentuk penelitian dan
hasilnya dituangkan dalam skripsi yang berjudul Strategi Bertahan Buruh Tani
Di Kota Kabanjahe (Studi Deskriptif di Jalan Lingkar Kelurahan Padang
Mas Kecamatan Kabanjahe Kabupaten Karo.
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah sangatlah penting dalam suatu penelitian agar
diketahui arah jalannya penelitian tersebut. Arikunto (1993 :17) menguraikan
bahwa agar penelitian dapat dilaksananakan dengan sebaik-baiknya, maka penulis
harus merumuskan masalahnya sehingga jelas dari mana memulai, kemana harus
pergi dan dengan apa ia melakukan penelitian.
Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut, maka yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini adalah Bagaimana Upaya Buruh Tani di
Jalan Lingkar Kelurahan Padang Mas Kabanjahe
Hidupnya?.
Mempertahankan
tentang sosiologi
peneliti untuk menindaklanjuti sebuah kasus yang diteliti dan untuk menghindari
terjadinya kesalahan penafsiran dalam sebuah penelitian. Adapun konsep yang
digunakan sesuai dengan konteks penelitian ini,antara lain adalah:
1. Strategi diartikan sebagai rencana atau langkah tindakan yang dilakukan buruh
tani dalam upaya memenuhi kebutuhan hidupnya.
2. Buruh tani yaitu seseorang atau kelompok orang yang bekerja di ladang/kebun
orang lain untuk mendapatkan upah dari pemilik lahan tersebut.
3. Bertahan hidup adalah usaha yang dilakukan seseorang untuk memenuhi
kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan dan kesehatan.
4. Kota yaitu suatu daerah terbangun yang didominasi jenis penggunaan tanah
nonpertanian dengan jumlah penduduk dan intensitas penggunaan ruang yang
cukup tinggi.
5. Upah adalah penerimaan sebagai imbalan dari majikan/pengusaha kepada
pekerja atas pekerjaan yang telah dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam
bentuk uang, yang ditetapkan menurut suatu perjanjian dan dibayarkan atas
dasar suatu perjanjian kerja antara majikan/pengusaha dan pekerja.
6. Kepala buruh yaitu kepala buruh tani yang berperan sebagai perantara buruh
tani dengan majikan untuk dipekerjakan di kebun/ladang pemilik lahan.
7. Majikan ialah pemilik lahan/petani yang mempekerjakan buruh dengan
memberikan upah sebagai imbalan atas jasanya.
8. Kemiskinan yaitu proses menurunnya daya dukung terhadap hidup seseorang
atau kelompok orang, sehingga pada gilirannya individu atau kelompok
tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dan tidak pula mampu
mencapai taraf kehidupan yang dianggap layak sesuai dengan harkat dan
martabatnya sebagai manusia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
10
11
3. Tindakan itu bisa berasal dari akibat pengaruh positif atas suatu situasi,
tindakan yang sengaja diulang, atau tindakan dalam bentuk persetujuan secara
diam-diam dari pihak mana pun.
4.
5.
Tindakan itu memperhatikan tindakan orang lain dan terarah kepada orang
lain itu.
Selain kelima ciri pokok tersebut, menurut Weber tindakan sosial dapat pula
dibedakan dari sudut waktu sehingga ada tindakan yang diarahkan kepada waktu
sekarang, waktu lalu, atau waktu yang akan datang. Sasaran suatu tindakan sosial
bisa individu tetapi juga bisa kelompok atau sekumpulan orang. Campbell
(1981).
12
2.
Sedangkan tindakan rasional nilai memiliki sifat bahwa alat-alat yang ada hanya
merupakan pertimbangan dan perhitungan yang sadar, sementara tujuan-tujuannya
sudah ada di dalam hubungannya dengan nilai-nilai individu yang bersifat absolut.
Contoh : perilaku beribadah atau seseorang mendahulukan orang yang lebih tua
ketika antri sembako. Artinya, tindakan sosial ini telah dipertimbangkan terlebih
dahulu karena mendahulukan nilai-nilai sosial maupun nilai agama yang ia miliki.
3.
Tipe tindakan sosial ini lebih didominasi perasaan atau emosi tanpa refleksi
intelektual atau perencanaan sadar. Tindakan afektif sifatnya spontan, tidak
rasional, dan merupakan ekspresi emosional dari individu. Contohnya: hubungan
kasih sayang antara dua remaja yang sedang jatuh cinta atau sedang dimabuk
asmara.Tindakan ini biasanya terjadi atas rangsangan dari luar yang bersifat
otomatis sehingga bias berarti
4.
13
masyarakat ini tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling pokok
seperti pangan, pakaian, dan tempat tinggal.
Kemiskinan merupakan tema sentral dari perjuangan bangsa, sebagai
inspirasi dasar dan perjuangan akan kemerdekaan bangsa dan motivasi
fundamental dari cita-cita menciptakan masyarakat adil dan makmur. Garis
kemiskinan, yang menentukan batas minimum pendapatan yang diperlukan untuk
memenuhi kebutuhan pokok, dapat dipengaruhi oleh tiga hal: (1) persepsi
manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan, (2) posisi manusia di dalam
lingkungan sekitar, dan (3) kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara
manusiawi.
Persepsi manusia terhadap kebutuhan pokok yang diperlukan dipengaruhi
oleh tingkat pendidikan, adat-istiadat dan sistem nilai yang dimiliki. Dalam hal
inilah maka garis kemiskinan dapat tinggi atau rendah. Berkaitan dengan posisi
manusia dalam lingkungan sosial, bukan kebutuhan pokok yang menentukan,
melainkan bagaimana posisi pendapatnya di tengah-tengah masyarakat sekitarnya.
Kebutuhan objektif manusia untuk dapat hidup secara manusiawi ditentukan oleh
komposisi pangan apakah bernilai gizi cukup dengan protein dan kalori, sesuai
dengan tingkat umur, jenis kelamin, sifat pekerjaan, keadaan iklim dan lingkungan
alam yang dialaminya.
Kesemuanya dapat tersimpul dalam barang dan jasa serta tertuangkan
dalam nilai uang sebagai patokan bagi penetapan pendapatan minimal yang
diperlukan. Dengan demikian, garis kemiskinan ditentukan oleh tingkat
pendapatan minimal. Atas dasar ukuran ini maka mereka yang hidup di bawah
garis kemiskinan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
14
15
dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi. Beberapa ahli
mengemukakan definisi kemiskinan, antara lain:
1. Soerjono Sooekanto (2003) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu
keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga
mental,maupun fisiknya dalam kelompok tersebut.
2. Edi Suharto (2012) mengatakan bahwa kemiskinan pada hakikatnya menunjuk
pada situasi kesengsaraan dan ketidakberdayaan yang dialami seseorang,baik
ketidakmampuannya
memenuhi
kebutuhan
hidup,maupun
akibat
16
17
2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk
komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik,
angkutan umum, dan fasilitas pendidikan dan kesehatan).
3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang memengaruhi
mereka.
4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang
lebih luas dari hak-hak dasar manusia.
5. Penciptaan lapangan kerja baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi
kebutuhan dasar.
Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek
sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya. Masyarakat miskin pada
umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya pada kegiatan
ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lain yang mempunyai potensi
lebih tinggi. Hal ini senada dengan yang dikemukakan Friedman yang
mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidaksamaan kesempatan
untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial.
Namun menurut Brendley dalam Setiadi (2010: 795) kemiskinan adalah
ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan yang
memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh
Salim dalam Setiadi (2010:795) yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya
dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memperoleh kebutuhan yang
pokok. Adapun Lavitan dalam Setiadi (2010:795) mendefinisikan kemiskinan
sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk
mencapai standar hidup yang layak.
2.2.2 Faktor Faktor Penyebab Kemiskinan
Secara umum faktor-faktor penyebab kemiskinan secara kategoris dengan
menitikberatkan kajian pada sumbernya terdiri dari dua bagian besar, yaitu :
18
1. Faktor Internal, dimana hal ini berasal dari dalam individu yang mengalami
kemiskinan itu secara substansial adalah dalam bentuk kekurangmampuan yang
meliputi:
a. Fisik misalnya cacat, kurang gizi, sakit-sakitan.
b. Intelektual, seperti: kurangnya pengetahuan, kebodohan, miskinnya
informasi.
c. Mental emosional atau temperamental, seperti malas, mudah menyerah
dan putus asa.
d. Spiritual, seperti tidak jujur, penipu, serakah atau tidak disiplin.
e. Sosial psikologis,seperti:kurang motivasi, kurang percaya diri, depresi,
stress, kurang relasi dan kurang mampu mencari dukungan.
f. Keterampilan, seperti: tidak memiliki stok kekayaan dalam bentuk tanah,
rumah, tabungan, kendaraan dan modal kerja.
2. Faktor Eksternal, dimana bersumber dari luar diri individu atau keluarga yang
mengalami dan menghadapi kemiskinan itu, sehingga pada suatu titik waktu
menjadikannya miskin, yaitu:
a. Terbatasnya pelayanan dasar.
b. Tidak dilindunginya hak atas kepemilikan tanah sebagai asset dan alat
memenuhi kebutuhan hidup.
c. Terbatasnya lapangan pekerjaan formal dan kurang terlindunginya usahausaha sektor formal.
d. Kebijakan perbankan terhadap layananan kredit mikro dan tingkat bunga
yang tidak mendukung serta usaha makro.
e. Belum terciptanya sistem ekonomi kerakyatan dengan prioritas sektor riil
masyarakat banyak.
f. Sistem mobilisasi dan pemberdayagunaan dana sosial masyarakat yang
g.
h.
i.
j.
k.
19
20
melakukan
aktivitas
sendiri,
21
memperpanjang
jam
kerja,
meminjam
uang
ke
tetangga,
mengutang
di
warung,
22
harian lepas adalah buruh yang mengerjakan pekerjaan yang sifatnya tidak terus
menerus tetapi bersifat musiman.
Buruh tani dalam pengertian sesungguhnya memperoleh penghasilan
terutama dari bekerja yang mengambil upah untuk para pemilik tanah atau
penyewa tanah. Sebagian besar dari mereka atas dasar jangka pendek,
dipekerjakan dan dilepas dari hari ke hari. Disamping malakukan pekerjaan yang
diupah, buruh harian itu juga melakukan perdagangan kecil-kecilan, menjual
pisang, rokok dan hasil pertanian secara kecil-kecilan, menjual berdasarkan
komisi dan kadang-kadang ada dari mereka yang menanami sebidang tanah
kehutanan dengan perjanjian (Sajogyo dalam Sembiring,2009 :20).
Dalam tingkah lakunya terhadap orang-orang yang diluar kelompoknya,
buruh tani biasanya menyerah saja pada nasibnya, ia ingin memperbaiki
keadaannya, tetapi ia tidak tahu caranya, karena itu ia menyerah saja. Kelompok
ini biasanya curiga tentang segala sesuatu yang datang dari luar lingkungannya.
Akan tetapi sekalipun kedengarannya bertentangan, pada akhirnya buruh tani
itupaling percaya pada pertimbangan para majikan mereka. Tentu saka
kepercayaan itu ada batasnya, tetapi dalam berhubungan dengan mereka,
sekurang-kurangnya buruh itu tahu dimana mereka berdiri. Dalam beberapa
keadaan, pendapat para majikan itu amat menentukan, sedangkan pendapat orangorang yang berusahamenjadi pemimpin buruh tanidalam perjuangan mereka untuk
memperbaiki kondisi hidup, tidak diterima. Terbukti bahwa pendapat mereka
kurang diperhatikandibandingkan dengan pendapat majikan. Tidak ada jawaban
atau badan pemerintahan yang benar-benar memberikan perhatiaannya, baik
langsung maupun tidak langsung kepada buruh tani mengenai nasibnya. Buruh
23
tani hidup dari hari hari ke hari saja dan tidak memperhatikan rencana masa depan
misalnya dengan menabung.
Sajogyo (Sembiring, 2009: 21) memberikan ciri-ciri buruh tani yang bekerja
dengan upah harian lepas sebagai berikut:
1. Buruh tani biasanya dipekerjakan oleh tuan tanah besar dengan digaji
sebagai pekerja harian.
2. Seluruh hasil pertanian dipungut, buruh tani diperbolehkan menanami
tanah-tanah itu selama masa sekitar 6 bulan sebelum ditanami oleh para
pemilik lahan atau tuan tanah.
3. Di waktu mereka tidak dipekerjakan sebagai buruh, para buruh tani
melakukan perdagangan kecil-kecilan yang menghasilkan laba kira-kira
sama besarnya dengan gaji mereka.
24
4. Buruh tani sebagai kelompok sama sekali tidak terikat kepada desa
mereka. Banyak dari mereka berasal dari tempat lain dan kalau telah
datang waktunya mereka berpindah ke tempat yang baru dimana mereka
berharap menemukan kesempatan untuk berhasil atau mendapatkan gaji
yang lebih besar dan kerja yang lebih ringan (Sajogyo dalam Sembiring,
2009 :21).
2.7 Pengupahan
2.7.1 Definisi Upah, Kedudukan dan Fungsi
Yang dimaksud dengan upah adalah adalah suatu penerimaan sebagai
imbalan dari pengusaha kepada pekerja untuk suatu pekerjaan atau jasa yang telah
dilakukan, dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang yang ditetapkan menurut
persetujuan atau peraturan perundang-undangandan dibayarkan atas dasar suatu
perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja termasuk tunjangan, baik untuk
pekerja sendiri maupun keluarganya (PP Nomor 8 Tahun 1981).
Kedudukan dan fungsi upah adalah sebagai hak bagi para pekerja dan
kewajiban bagi perusahaan yang merupakan sarana untuk memelihara dan
meningkatkan kebutuhan hidup manusia, ditetapkan atas dasar nilai-nilai tugas
seorang pekerja dengan memperhatikan keseimbangan prestasi, kebutuhan pekerja
dan kemampuan perusahaan.
Tingkat upah dalam setiap pasar tenaga kerja ditentukan kekuatan
ekonomi yang berlawanan dari buruh dan majikan. Apabila buruh meningkatkan
kekuatan ekonominya dengan cara bertindak bersama-sama melalui serikat-serikat
25
Sistem Pengupahan
Pada dasarnya sistem pengupahan dapat ditetapkan menurut waktu atau
26
BAB III
METODE PENELITIAN
27
Kabupaten Karo.
3.3.2 Informan
Informan merupakan subjek yang memahami informasi objek penelitian
sebagai pelaku maupun orang lain yang memahami objek penelitian
(Bungin,2007: 76). Penelitian kualitatif pada buku Suyanto (Suyanto,2005:171172) tidak mewajibkan untuk membuat generalisasi dari penelitiannya. Oleh
karena itu, pada penelitian kualitatif tidak terdapat adanya populasi dan sampel.
Subjek penelitian yang telah tercermin dalam fokus penelitian tidak ditentukan
secara sengaja. Subjek penelitian menjadi informasi yang akan memberikan
berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Adapun yang
menjadi informan dalam penelitian ini adalah para buruh tani yang mangkal di
Jalan Lingkar Kelurahan Padang Mas Kecamatan Kabanjahe, Kabupaten Karo.
28
menggunakan
pedoman
(guide)
wawancara
(Bungin,2008).
29
30
DAFTAR PUSTAKA
Adiyuwono, Survival, Angkasa, Bandung,1996
Arikunto, 1993.Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan
Kesembilan. Jakarta: Rineka Cipta
Praktek.Edisi
31
32