Anda di halaman 1dari 1

Peristiwa

sejarah yang pernah terjadi di Sumatra Barat, salah satunya


Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) 1956-1958, yang
telah terlanjur dinilai oleh pemerintah pusat sebagai gerakan separatis
dan makar, merupakan salah satu kasus di Indonesia dari sekian banyak
kasus sejarah yang sudah saatnya perlu dikoreksi dan diluruskan.
Fenomena PRRI, yang sampai sekarang tetap diabadikan dan diajarkan
lewat jalur pendidikan formal dan informal sebagai catatan sejarah
hitam, PEMBERONTAK. Pengabadian kata “pemberontak” inilah yang pada
intinya jadi trauma historis psikologis masyarakat Sumatra Barat,
tepatnya Minangkabau, sampai sekarang.
Kondisi demikian
terus berlangsung dari satu orde ke orde kekuasaan lain,
bertahun-tahun, dan lebih memburuk ketika saat Soerkarno dan Soeharto
memerintah negeri ini. Tak ayal, demikian buruknya traumatis historis
yang dihadapi masyarakat Minangkabau (Sumatra Barat), pasca PRRI tak
terhitung lagi jumlahnya masyarakat Minang yang eksodus ke luar kampung
halamannya, tepatnya merantau.
"Pasca PRRI, harga diri masyarakat Minang terpuruk sampai batas titik
nadir yang mencemaskan," ucap Edy Utama, seorang budayawan yang lahir
saat bergolaknya PRRI.
Nasrul Azwar, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia
Menurutnya, dampak psikologis terhadap orang Minang setelah PRRI sangat
dahsyat dan terjadi perubahan perilaku budaya dan interaksi sosial yang
demikian hebat ditengah masyarakat Minang.

Anda mungkin juga menyukai