Anda di halaman 1dari 33

POLITIK DAN DEMOKRASI

Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Tingkat Pemilihan
Nasional dan Daerah yang di bina oleh Bapak Mochamad Rozikin.Drs,MAP

Oleh:
Mega Fataya

125030100111087

Arina Dinal Khaq

125030100111068

Yunita Rahmawati

125030100111070

Wulan Fitriawati

125030107111105

FAKULTAS ILMU ADMINISTRASI


JURUSAN ILMU ADMINISTRASI PUBLIK
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2015

A. Ilmu Politik
1. Perkembangan Ilmu Politik

Ilmu politik lahir pada abad ke-19 dan dipandang semata-mata sebagai salah
satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memilki dasar, rangka, fokus, dan ruang
lingkup yang jelas. Pada abad tersebut, ilmu politik berkembang secara pesat
berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini ilmu-ilmu tersebut
saling mepengaruhi antara satu dengan yang lain. Selain itu, ilmu politik ditinjau
dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai
aspek negara dan kehidupan politik. Hal tersebut kemudian ilmu politik sendiri sering
dinamakan sebagai ilmu sosial yang tertua di dunia.
Pada taraf perkembangan seperti demikian itulah kemudian, ilmu politik
banyak bersandar pada sejarah dan filsafat. Seperti hal nya di Yunani Kuno, pemikiran
mengenai sejarah sudah dimulai pada tahun 459 S.M, hal tersebut terbukti dalam
karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan
sebagainya. di Asia ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain India dan China yang
telah mewariskan berbagai tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal
dari masa kira-kira pada tahun 500 S.M. Diantara filsuf China yang terkenal ialah
Confucius ( 350 S.M) dan mazhab Legalist, seperti Shang Yang ( 350 S.M).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas mengenai
masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada
masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke -15 Masehi dan Babad Tanah Jawi.
Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan
politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh
pemikiran barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika
Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialism. Dinegara-negara benua Eropa seperti
Jerman, Austria, dan Perancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19
banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah
semata-mata hanya tertuju pada negara. Di Inggris permasalahn politik dianggap
termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasanya tidak dapat terlepas dari
sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libredes Politiques di Paris (1870)
dan London School of Economics and Political Science (1895), meupakan ilmu
pertama kali di negara-negara tersebut yang dianggap sebagai displin tersendiri yang
patut dan mendapat tempat dalam kurikulum perguruan tinggi. Namun demikian,

pengaruh dari ilmu hukum, filsafat, dan sejarah sampai Perang Dunia II masih tetap
terasa.
Perkembangan yang berbeda terdapat di Amerika Serikat. Dimana hal tersebut
bermula dari adanya tekanan yuridis seperti yang terdapat di Eropa yang sangat
menginginkan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis itu, dan lebih
mendasarkan diri pada kumpulan data empiris. Pada perkembangan yang bertepatan
dengan perkembangan sosiologi dan psikologis, sehingga kedua cabang ilmu sosial
ini banyak mempengaruhi metodologi dan terminologi ilmu politik pada tahun 1858.
Kejadian di Amerika tersebut dianggap sebagai pengakuan pertama terhadap ilmu
politik sebagai ilmu tersendiri. Perkembangan selanjutnya berjalan secara cepat, yang
dapat dilihat juga dari didirikannya American Politic Science Assosiation (APSA)
pada tahun 1904.
Sesudah Perang Dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat lagi.
Dinegeri Belanda, dimana sampai saat itu penelitian mengenai politik negara
dimonopli oleh fakultas hukum, didirikan

Faculteit Sociale en Politieke

Wetenschappen (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) pada tahun 1947 (sekarang
namanya Faculteit der Sociale Wetenschappen Fakultas Ilmu Sosial) yang berada di
Amesterdam. Seperti pulan di Indonesia yang terdapat fakultas-fakultas serupa, yang
dinamakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) seperti di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Disini ilmu politik menjadi jurusan tersendiri akan tetapi
karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila
pada awal perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh secara kuat oleh
ilmu tersebut. Namun demikian, dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang baru
berangsur-angsur mulai dikenal, dan sudah diterima baik oleh masyarakat.
Sementara itu, perkembangan ilmu-ilmu politik di Eropa

Timur

memperlihatkan bahwa pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan yuridis
yang sudah lama digunakan, masih berlaku hingga dewasa ini. Tapi kemudian
perkembangan ilmu politik mengalami kemajuan dengan pesat setelah runtuhnya
komunisme pada akhir dekade 1990-an. Ini dicirikan dengan masih berlakunya
pendekatan tradisional tapi ditambah dengan pendekatan-pendekatan lain yang tengah
berkembang di negara-negara Barat. Pesatnya perkembangan ilmu politik sesudah
Perang Dunia II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari
beberapa badan Internasional, terutama UNESCO.
Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminology dan metodologi
dalam ilmu politik, UNESCO pada tahun 1948 menyelenggarakan suatu survei

mengenai kedudukan ilmu politik di kira-kira 30 negara. Proyek ini yang di pimpin
oleh W.Ebenstain dari Princeton University Amerika Serikat, kemudian dibahas oleh
beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Contemporary
Political Science (1948).Sebagai tindak lanjutnya UNESCO bersama International
Political

Science

Assosiation

(IPSA)

yang

didirikan

pada

tahun

1949,

menyelenggarakan suatu penilitian mendalam yang mencakup kira-kira sepulu


negara, di antaranya negara-negara Barat besar, disamping India, Mexico, dan
Polandia. Pada tahun 1952 laporan-laporan ini dibahas dalam suatu konferensi di
Cambridge, Inggris, dan hasilnya disusun oleh W.A. Robson dari London School of
Economics and Political Sciences dalam buku The University Teaching of Social
Sciences: Political Sciences. Buku ini merupakan bagian dari suatu rangkaian
penerbitan UNESCO mengenai pengajaran beberapa ilmu sosial (termasuk ekonomi,
antropologi budaya, dan kriminologi) di perguruan tinggi. Kedua karya ini merupakan
usaha Internasional untuk membina perkembangan ilmu politik dan mempersatukan
beberapa pandangan yang berbeda-beda.
Selanjutnya ilmu-ilmu sosial banyak

memanfaatkan

penemuan

dari

antropologi, psikologi, ekonomi, dan sosiologi, dan dengan demikian ilmu politik
telah dapat meningkatkan mutu dengan banyak mengambil model dari cabang-cabang
ilmu sosial lainnya. Hal ini telah banyak mengubah wajah ilmu politik. Berkat
berbagai usaha tersebut diatas, ilmu politik telah menjadi ilmu politik terpandang
yang perlu dipelajari untuk mengerti kehidupan politik.
2. Definisi Ilmu Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau
kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Politik mempunyai
arti penting karena sejak dulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan
baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu
dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas.
Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani
Kuno pada abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap bahwa
politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyrakat politik (polity) yang terbaik.
Dimana, dalam masyarakat tersebut nantinya masing-masing individu (manusia) akan
hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan
rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.
Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat

yang lebih baik daripada yang dihadapinya. Seperti yang dikemukakan oleh Peter
Merkl: Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan
sosial yang baik dan berkeadilan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah usaha untuk menetukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat kea rah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk
menggapai the good life ini terdiri dari berbagai macam kegiatan yang antara lain
menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan
itu. Utuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang
menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya alam, perlu dimiliki
kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan ini diperlukan baik untuk
membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul
dalam proses pengambilan keputusan. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi
(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa adanya unsur paksaan,
kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Di
pihak lain,

di negara demokrasi, kegiatan ini memerlukan kerja sama karena

kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat
dilihat sebagai usaha penyelesaian

konflik

(conflict resolution) atau konsensus

(consensus).
Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaanya, disamping
adanya beberapa dampak positif, juga terdapat beberapa dampak negatif yang
ditimbulkan dari adanya kegiatan politik. Hal ini disebabkan karena politik
mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang
buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering
saling bertentangan. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita sering kali
berhadapan dengan banyak kegiatan yang tidak terpuji, seperti yang telah dirumuskan
oleh Peter Merkl sebagai berikut; Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah
perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.
Singkatnya, politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta. Dibawah ini ada dua
sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konlik dan
consensus.
1. Menurut Rid Hague et al; Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagiamana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang
bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.

2. Menurut Andrew Heywood; Politik adalah kegiatan suatu bangsa yang


betujuan untuk membuat, mempertahankan, dan mengamandemen
peraturan-peraturan umum yang mengatur kehidupannya, yang berarti
tidak dapat terlepas dari gejala konflik kerja sama.
Disamping itu terdapat beberapa definisi-definisi lain yang lebih bersifat
pragmatis. Perbedaan-perbedaan dalam definisi yang kita jumpai disebabkan karena
ini diperlukan sebagai konsep pokok yang akan dipakai untuk meneropong unsurunsur lain. Dari uraian diatas dapat kita disimpulkan bahwa konsep-konsep pokok itu
adalah:
1. Negara (State)
Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang memilki kekuasaan
tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyatnya. Para sarjana yang menekankan negara
sebagai inti dari politik, memusatkan perhatiannya pada lembaga-lembaga kenegaraan
serta bentuk formalnya. Definisi-definisi ini bersifat tradisional dan agak sempit ruang
lingkupnya. Pendekatan ini disebut dengan pendekatan institusional (institutional
approach).
2. Kekuasaan (Power)
Kekuasaan adalah kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk
mempengaruhi seseorang atau kelompok lain, sesuai dengan keinginan para pelaku.
Sarjana yang melihat kekuasaan inti dari politik beranggapan bahwa politik adalah
semua kegiatan yang menyangkut masalah memperebutkan dan mempertahankan
kekuasaan. Bisanya dianggap bahwa perjuangan kekuasaan (power struggle) ini
mempunyai tujuan yang menyangkut kepentingan seluruh masyarakat. Pada
pendekatan ini banyak terpengaruh oleh sosiologi, yang memilki ruang lingkup lebih
luas dan juga mencakup gejala-gejala sosial seperti serika buruh, organisasi
keagamaan, organisasi kemahasiswaan, dan kaum militer. Pendekatan ini lebih
dinamis daripada pendekatan institusional karena memperhatikan proses.
3. Pengambilan keputusan (Decision making)
Keputusan (decision) adalah hasil dari membuat pilihan di antara beberapa
alternatif, sedangkan istilah pengambilan kemputusan (decision making) menunjuk
pada proses yang terjadi sampai keputusan itu tercapai. Pengambilan keputusan
sebagai konsep pokok dari politik menyangkut keputusan-keputusan yang diambil

secara kolektif mengikat seluruh masyarakat. Keputusan-keputusan itu dapat


menyangkut tujuan masyarakat, serta dapat pula menyangkut kebijakan-kebijakan
untuk mencapai tujuan itu. Setiap proses membentuk kebijakan umum atau kebijakan
pemerintah adalah hasil dari suatu proses mengambil keputusan, yaitu memilih
beberapa alternatif yang akhirnya ditetapkan sebagai kebijakan pemerintah. Misalnya
jika Indonesia memutuskan untuk memberi prioritas kepada pengembangan pertanian
(seperti dalampelita I), maka hal ini merupakan suatu keputusan yang diambil sesudah
mempelajari beberapa alternatif lain misalnya memprioritaskan industri.
4. Kebijakan (Policy, Beleid)
Kebijakan (policy) adalah suatu kumpulan keputusan yang diambil oleh
seorang pelaku atau kelompok politik, dalam usaha memilih tujuan dan cara untuk
mencapai tujuan itu. Pada prinsinya, pihak yang membuat kebijakan-kebijakan itu
mempunyai kekuasaan untuk melaksanaknnya. Para sarjana menekankan aspek
kebijakan umum (public policy, beleid), menganggap bahwa setiap masyarakat
mempunyai beberapa tujuan bersama dan cita-cita bersama yang ingin dicapai melalui
usaha bersama, dan untuk itu perlu ditentukan rencana-rencana yang mengikat, yang
dituang dalam kebijakan (policies) oleh pihak yang berwenang dalam hal ini adalah
pemerintah.
5. Pembagian (Distribution) atau alokasi (allocation)
Pembagian (distribution) dan alokasi (allocation) ialah pembagian dan nilainilai (values) dalam masyarakat. Sarjana yang menekankan pada pembagian dan
alokasi beranggapan bahwa politik tidak lain dan tidak bukan adalah membagikan dan
menglokasikan nilai-nilai secara mengikat. Yang ditekankan oleh mereka adalah
bahwa pembagian ini sering tidak merata dan karena itu menyebabkan konflik.
Masalah tidak meratanya pembagian nilai-nilai perlu diteliti dalam hubungannya
dengan kekuasaan dan kebijakan pemerintah. Dalam ilmu sosial, suatu nilai (value)
adalah sesuatu yang dianggap baik dan benar. Sesuatu yang diinginkan, sesuatu yang
mempunyai harga dan oleh karenanya dianggap baik dan benar, sesuatu yang ingin
dimiliki oleh manusia. Nilai ini dapat bersifat abstrak seperti penilaian (judgement)
atau suatu asas seperti misalnya kejujuran, kebebasan berpendapat dan kebebasan
mimbar. Nilai juga bersifat konkret (material) seperti rumah, kekayaan, dan
sebagainya.

3. Konsep-konsep Politik
Dalam perkembangan konsep ilmu politik terdapat lima pandangan yang
meliputinya. Yaitu Pertama, politik dipandang sebagai usaha-usaha yang ditempuh
oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua,
politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan
yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik
sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber
yang dianggap penting. Pandangan-pandangan dalam ilmu politik tersebut dijelaskan
lebih lanjut sebagai berikut:
1. Pandangan Klasik
Aristoteles mengemukakan bahwa pandangan klasik melihat politik
sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan
menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh
anggota masyarakat. Ia membedakan urusan-urusan yang menyangkut
kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang
menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta).
Urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral
yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan
individu atau swasta.
Konsep politik menurut pandangan klasik ini nampak sangat kabur.
Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam
menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam
masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari
pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada apa yang
seharusnya dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis,
dan dengan cara apa sebaiknya tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata
lain, pandangan klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik)
dari pada aspek politik.
Dalam pengertian politik terkandung tujuan dan etik masyarakat
yang jelas. Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama.
Barangkali aspek filosifis ini yang merupakan kelebihan, dan arena itu
menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam hal ini aspek-aspek filosofis

lebih ditekankan dari pada aspek politik. Oleh karena itu metode kajian
yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatif-normatif.
2. Pandangan Kelembagaan
Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara.
persaingan

untuk

Max Weber melihat politik

membagi

kekuasaan

atau

merupakan

persaingan

untuk

mempengaruhi pembagian kekuasaan antarnegara maupun antar kelompok


di dalam suatu Negara. Dalam hal ini, Max Weber merumuskan negara
sebagai komunitas manusia yang secara sukses memonopoli penggunaan
paksaan fisik yang sah dalam wilayah tertentu.
Negara dipandang sebagai sumber utama hak untuk menggunakan
paksaan fisik yang sah. Oleh karena itu, politik bagi Weber merupakan
persaingan

untuk

membagi

kekuasaan

atau

persaingan

untuk

mempengaruhi pembagian kekuasaan antar negara maupun antar


kelompok di dalam suatu negara. Menurutnya, negara merupakan suatu
struktur administrasi atau organisasi yang kongkret, dan ia membatasi
pengertian negara semata-mata sebagai paksaan fisik yang digunakan
untuk memaksakan ketaatan.
Berdasarkan pendapat Weber tersebut di atas dapat disimpulkan
tiga aspek sebagai ciri negara, yaitu:
a. Berbagai struktur yang mempunyai fungsi yang berbeda,
seperti jabatan, peranan, dan lembaga-lembaga yang memiliki
tugas yang jelas batasnya, yang bersifat kompleks, formal, dan
permanen.
b. Kekuasaan untuk menggunakan paksaan dimonopoli oleh
negara. Negara yang memiliki kewenangan yang sah untuk
membuat keputusan yang final dan mengikat seluruh warga
negara. Para pejabatnya mempunyai hak untuk menegakkan
keputusan itu seperti menjatuhkan hukuman dan menanggalkan
hak milik. Dalam hal ini, untuk melaksanakan kewenangan
maka negara menggunakan aparatnya seperti polisi, militer,
jaksa, hakim, dan petugas lembaga pemasyarakatan.
c. Kewenangan untuk menggunakan paksaan fisik hanya
berlaku dalam batas-batas wilayah negara tersebut.
Sebelum perang dunia kedua, para sarjana ilmu politik
mengidentifikasikan politik sebagai studi mengenai negara.

Dalam hal ini, ada berbagai literatur yang berjudul pengantar


ilmu politik yang diawali dengan pernyataan ilmu politik
bermula dan berakhir dengan negara.
Akan tetapi, saat ini para sarjana ilmu politik tidak lagi
menggunakan konseptualisasi itu, sebab mereka berpendapat bahwa politik
merupakan gejala serba hadir dalam masyarakat apa saja, yang tidak
terbatas pada masyarakat negara atau negara modern. Lalu mereka mencari
dan merumuskan konsep politik yang sejauh mungkin dapat diterapkan
dalam sebanyak mungkin tempat dan waktu. Pandangan Kelembagaan
menimbulkan empat kritik, yaitu: Pertama, konsep itu terlalu sempit, ciriciri negara yang disebutkan itu berlaku pada masyarakat yang berbentuk
negara, khususnya negara-negara industri maju seperti Eropa Barat, dan
Amerika Utara. Sebagaimana diketahui ada berbagai masyarakat suku atau
masyarakat yang baru merdeka, yang sekalipun belum memenuhi ciri-ciri
negara modern akan tetapi sudah malaksanakan proses dan kegiatan
politik.
Masyarakat yang disebutkan terakhir ini belum memenuhi ciri-ciri
negara modern, hal tersebut disebabkan antara lain :
a. Belum ada diferensiasi struktur dan spesialisasi peranan yang
jelas. Satu struktur melaksanakan lebih dari satu fungsi.
Dengan kata lain struktur masyarakatnya masih bersifat
sederhana dan informal, akan tetapi kegiatan politik sudah
berlangsung.
b. Tidak memiliki struktur yang memonopoli kewenangan dalam
menggunakan paksaan fisik sebab kekuasaan terpencar atau
terdistribusi kepada seluruh anggota masyarakat. Sanksi
biasanya lebih kepada sanksi moral dan psikologis seperti
pengucilan dari pergaulan, sindiran, teguran, dan gossip.
c. Batas wilayah masyarakat belum jelas sebab penduduk
cenderung berpindah, termasuk apabila mereka tidak senang
kepada pemimpin mereka.

Kedua, di negara-negara industri maju kekuasaan tidak terpusat


pada negara melainkan terdistribusikan pada negara-negara bagian, dan
kepada

berbagai

kekuatan

politik

dalam

masyarakat.

Ketiga,

konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari sudut pandang yuridisformal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis.
Keempat, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak
memiliki nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan
tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sendiri. oleh karena
itu, perilaku elit yang memiliki jabatan pada lembaga tersebut yang
dipelajari, bukannya lembaganya. Demikian kritik yang diajukan oleh
kaum behavioralist.
Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik
Amerika Serikat kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka
memandang negara tidak lagi sekadar arena persaingan kepentingan di
antara berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi juga sebagai
lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan
memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri).
negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda
dari berbagai kepentingan yang bersaing atau bertentang yang ada di
dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga statist perspective
(perspektif negara).
3. Pandangan Kekuasaan
Pandangan ketiga, melihat politik sebagai kegiatan mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu
politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan,
dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan. Robson
dalam (Surbakti : 1999 : 5), merupakan salah seorang yang
mengembangkan pandangan tentang kekuasaan mengatakan bahwa, ilmu
politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan,
mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan

dalam masyarakat, yakni sifat, hakikat, dasar, proses-proses, ruang


lingkup, dan hasil-hasil kekuasaan.
Kemudian yang menjadi pertanyaan, apakah yang dimaksud
dengan kekuasaan?

Menurut pandangan ini, kekuasaan merupakan

kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berfikir dan berperilaku


sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Kekuasaan dilihat sebagai
interaksi antara pihak yang dipengaruhi dan mempengaruhi, atau yang satu
mempengaruhi dan yang lain mematuhi. Hubungan ini selalu diamati dan
dipelajari oleh ilmuwan politik yang mengikuti pandangan ketiga ini.
Konsep politik sebagai perjuangan mencari dan mempertahankan
kekuasaan juga memiliki sejumlah kelemahan. Pertama, konseptualisasi
tersebut tidak membedakan kekuasaan yang beraspek politik dari
kekuasaan yang tidak beraspek politik. Misalnya, kemampuan para kiyai
atau pendeta untuk mempengaruhi jamaah agar melaksanakan ajaran
agama tidaklah beraspek politik.
Hal itu karena tidak berkaitan dengan pemerintah selaku pemegang
kewenangan yang mendistribusikan nilai-nilai, melainkan menyangkut
lingkungan

masyarakat

yang

lebih

terbatas.

Namun,

apabila

konseptualisasi di atas diikuti maka kemampuan para pemimpin agama


untuk mempengaruhi cara berfikir dan perilaku anggota jamaah termasuk
dalam kategori kegiatan politik. Kedua, kekuasaan hanya salah satu
konsep dalam ilmu politik. Selain kekuasaan, ilmu politik masih memiliki
konsep-konsep yang lain seperti kewenangan, legitimasi, konflik,
konsensus, kebijakan umum, integrasi politik, dan ideologi. Jadi politik
sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan semata dalam
ilmu politik merupakan konseptualisasi yang sempit dan kurang tajam.
Walaupun harus diakui bahwa konsep kekuasaan politik merupakan salah
satu konsep yang tidak terpisahkan dari ilmu politik.
4. Pandangan Fungsionalisme
Fungsionalisme memandang politik sebagai kegiatan merumuskan
dan melaksanakan kebijakan umum. Menyimpang dari pandangan
kelembagaan tersebut di atas. Dewasa ini para sarjana politik memandang
politik dari kacamata fungsional. Menurut mereka, politik merupakan
kegiatan para elit politik dalam membuat dan melaksanakan kebijakan
umum. Di antara sarjana politik yang menggunakan pandangan fungsional

dalam mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell.
David Easton merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of
values for a society, atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan
kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa
setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang)
proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara
itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets
what, when, how, atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan
bagaimana. Mendapatkan apa artinya mendapatkan nilai-nilai, Kapan
berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang
akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak, Bagaimana berarti dengan cara
apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Kemudian yang menjadi
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai hal-hal yang
diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman
upaya yang berbeda untuk mencapainya.
Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip
hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan
persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa,
kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat
abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan,
sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana
perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada yang berupa
kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah.
Nilai yang abstrak dan kongkrit itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan
umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh

pemerintah. Jadi, kegiatan

mempengaruhi pemerintah dalam merumuskan dan melaksanakan


kebijakan umum berarti mempengaruhi pembagian dan penjatahan nilainilai secara otoritatif untuk suatu masyarakat.Kelemahan pandangan
fungsionalisme adalah menempatkan pemerintah sebagai sarana dan wasit
terhadap

persaingan

di

antara

berbagai

kekuatan

politik

untuk

mendapatkan nilai-nilai yang terbanyak dari kebijakan umum.


Fungsionalisme mengabaikan kenyataan bahwa pemerintah juga
memiliki kepentingan sendiri, baik berupa kepentingan yang melekat pada
kepentingan lembaga pemerintah (yang mewakili kepentingan umum),

maupun kepentingan para elit yang memegang jabatan (melaksanakan


peranan).
Di samping itu, fungsionalisme cenderung melihat nilai-nilai secara
instrumental bukan sebagai tujuan seperti yag ditekankan pandangan
klasik. Bagi fungsionalisme nilai-nilai sebagai tujuan bersifat sangat relatif
karena berbeda dari satu tempat dan waktu ke tempat dan waktu yang lain.
Dalam hal ini, politik tidak dapat pernah bersifat netral, bahwa politik
secara ideal seharusnya menyangkut kebaikan bersama.
5. Pandangan Konflik
Menurut pandangan ini, kegiatan untuk mempengaruhi proses
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum tiada lain selain upaya untuk
mendapatkan

dan/atau

mempertahankan

nilai-nilai.

Dalam

memperjuangkan hal itu seringkali terjadi perbedaan pendapat, perdebatan,


persaingan, bahkan pertentangan yang bersifat fisik di antara berbagai
pihak. Dalam hal ini di antara pihak yang berupaya mendapatkan nilainilai, dan pihak yang berupaya keras mempertahankan apa yang selama ini
telah mereka dapatkan, antara pihak yang sama-sama berupaya keras untuk
mendapatkan nilai-nilai yang sama dan pihak yang sama-sama
mempertahankan nilai-nilai yang selama ini mereka kuasai.
Perbedaan pendapat, perdebatan, persaingan, bahkan pertentangan
dan perebutan dalam mendapatkan dan/atau mempertahankan nilai-nilai
disebut konflik. Oleh karena itu menurut pandangan konflik, pada
dasarnya politik adalah konflik. Pandangan ini ada benarnya sebab konflik
merupakan gejala yang serba hadir dalam masyarakat, termasuk dalam
proses politik. Selain itu, konflik merupakan gejala yang melekat dalam
setiap proses politik. Akan tetapi, konseptualisasi ini tidak seluruhnya
tepat. Hal tersebut disebabkan selain konflik, konsensus, kerja sama, dan
integrasi juga terjadi dalam hampir semua proses politik. Perbedaan
pendapat, perdebatan, persaingan, dan pertentangan untuk mendapatkan
dan/atau mempertahankan nilai-nilai itu justru diselesaikan melalui proses
dialog sehingga sampai pada suatu konsensus maupun diselesaikan lewat
kesepakatan dalam bentuk keputusan politik yang merupakan pembagian
dan penjatahan nilai-nilai.
Oleh karena itu, keputusan politik merupakan upaya menyelesaikan
konflik politik. Kelemahan lain dari konseptualisasi ini ialah konflik tidak

semua berdimensi politik sebab selain konflik politik terdapat pula konflik
pribadi, konflik ekonomi, konflik agama yang tidak selalu diselesaikan
melalui proses politik. Apabila konflik-konflik yang disebutkan terakhir ini
berkaitan dengan pemerintah atau diselesaikan melalui proses politik maka
konflik-konflik yang semula tidak berdimensi politik berkembang menjadi
konflik politik. Dari segi metodologi, kelima pandangan ini acapkali
dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yakni tradisionalme dan
behavioralisme. Ilmu politik tradisionalisme memandang gejala politik
dari segi normatif, dan menganggap tugas ilmu politik untuk memahami
dan memberikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan
apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai
perwujudan tujuan masyarakat-negara. Termasuk ilmu politik tradisional
dalam hal ini berupa pandangan klasik dan pandangan kelembagaan.
Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya (what it
is) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi,
kalau mungkin juga memperkirakan gejala politik apa yang akan terjadi.
Behavioralisme memandang politik sebagai kegiatan (perilaku), yang
berawal dari asumsi terdapat keajegan atau pola dalam perilaku manusia.
Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan dan
diperkirakan. Termasuk behavioralisme dalam hal ini berupa pandangan
kekuasaan, pandangan konflik, dan pandangan fungsionalisme.
4. Pendekatan-pendekatan dalam Politik
Didalam ilmu politik terdapat enam macam pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Legal/institusional
Negara menjadi fokus utama dalam pendekatan ini, terutama pada aspek
yuridis dan konstitusional. Pada pendekatan ini Negara menjadi fokus utama,
terutama konstitusional dan yurisidisnya. Pendekatan Legal/Rasional menjelaskan
mengenai sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan
kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti
parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Pendekatan ini sering disebut
sebagai pendekatan Tradisional. Pendekatan tradisional mencakup unsur illegal
maupun unsur institusional.
Pendekatan Legal/Rasional lebih sering bersifat normatif dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi baratserta Negara lebih di tafsirkan

sebagai suatu badan dari norma-norma konstitusional yang formal. Pada


pertengahan 1930-an para sarjana di amerika serikat mulai mengemukakan suatu
pandangan yang lebih melihat politik sebagai proses, dan negara sarana perebutan
ktujuanekuasaan antara berbagai kelompok. Serta bagi mereka politik adalah
kekuasaan, terutama kekuasaan yang menentukan kebijakan publik.
2. Pendekatan Perilaku
Pendekatan ini muncul dan berkembang di amerika pada tahun 1950-an.
Kemunculannya disebabkan oleh sifat deskriptif dari ilmu politikdianggap tidak
memuaskan, adanya kekhawatiran bahwa jika ilmu politik tidak akan maju dengan
pesat, dan munculnya keraguan mengenai kemampuan para sarjana ilmu politik
untuk menerangkan fenomena politik di kalangan pemerintah Amerika.
Pendekatan ini tidak menganggap lembaga-lembaga formal sebagai sentral atau
actor independen, tetapi sebagai kerangka. Prilaku ini mempelajari prilaku
anggota parleman seperti pola pemberian suara rancangan undang-undang. Salah
satu ciri khas dari pendekatan prilaku ini adalah pandangan bahwa masyarakat
dapat melihat sebagai suatu sistem sosial, dan Negara sebagai sistem politik yang
menjadi subsistem dari sistem sosial.
3. Pendekatan Neo-Marxis
Kalangan Neo-Marxis berasal dari kalanagan cendekiawan yang berasal
dari Kalangan Bor juis. Seprti cendekiawan lainnya mereka enggan bergabung
debgan partai politik atau organisasi. Para Neo-Marxis ini, disatu sisi menolak
komunisme dari uni-soviet, di pihat lain tidak setuju dengan kapitalisme. Salah
satu kelemahan pada golongan ini adalah bahwa mereka mempelajari Marx dalam
keadaan dunia yang banyak berubah. Marx meninggal pada tahun 1883.
pemikirannyalah yang yang ditafsirkan menjadi Marxisme.Secara holistik, mereka
berpendapat bahwa keseluruhan gejala sosial merupakan gejala kesatuan yang
tidak boleh dibagi-bagi menjadi bagian-bagian tersendiri. Politik adalah
perjuangan antar kelompok sosial khususnya kelas sosial. Pandangan ini Setia
untuk terlibat dalam perjuangan kelompok sosial atau kelas yang tertindas.
4. Pendekatan Ketergantungan
Bertolak belakang dengan konsep Lenin mengenai imprealisme, mereka
beranggapan bahwa imprealisme masih hidup tapi dalam bnetuk lain seprti
ekonomi yang didominasi Negara-negara kaya. Pembangunan Negara kurang
maju selalu berkaitan dengan kepentingan pihak lain seperti:
1) Negara jajahan dapat menyediakan sumber daya manusia atau sumber daya
alam.

2) Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara maju.
Pendekatan ini berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh
dunia. Pendekatan ketergantungan juga memandang akibat dari dominasi ekonomi
yang mana dapat dilihat dari membumbungnya hutang dan kesenjangan sosial.
5. Pandangan Pilihan Rasional
Pendekatan ini muncul dan berkembang setelah pertentangan anatara
pendekatan-pendekatan sebelumnya. Inti dari politik menurut pendekatan ini
adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Sebagai mahkluk
rasional mereka selalu memiliki tujuan tersendiri. Pelaku rasional ini terutama
politisi, birokrat, pemilih, dan aktor ekonomi, pada dasrnya egois dan segalanya
tindakannya berdasarkan kecenderungan ini. Dasar dari pendekatan ini adalah :
1) Tindakan manusia adalah instrument agar perilaku manusia dapat dijelaskan
sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh.
2) Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai
aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya.
3) Proses sosial berkala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan
praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu.
6. Pandangan Institusional Baru
Institusionalisme baru melihat institusi Negara sebagi hal yang dapat
diperbaiki kearah tujuan tertentu. Pendekatan ini sebenarnya dipicu oleh
pendekatan behavioralis yang melihat politik dari kebijakan public sebagai hasil
dari perilaku dari kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi
yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi
tergantung dari aktornya. Ada semacam konsensus bahwa inti dari institusi politik
adalah rules or the game (Aturan main). Institusi tidak hanya merupakan refleksi
dari kekuatan sosial. Institusi seperti pemerintahan, parlemen, parpol, dan
birokrasi. Dapat dikatakan suatu institusi adalah organisasi yang tertata melalui
pola prilaku yang diatur oleh peraturan.
B. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat
dan kratein artinya pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan
oleh rakyat, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Menurut
Abraham Lincoln demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Koentjoro Poerbopranoto

demokrasi adalah sebuah sistem dimana rakyat ikut berpartisipasi secara aktif
dalam pemerintahan negara. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi
berarti suatu sistem pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat
dengan tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara
pengisian jabatan-jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan
merekan memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
Pada masa kini, ketika jumlah penduduk semakin banyak, kita
membutuhkan demokrasi perwakilan untuk memutuskan berbagai persoalan
bersama. Maka dibentuklah pemerintahan dan dewan perwakilan yang dipilih oleh
rakyat. Dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut memiliki mandat dari rakyat
untuk menjalankan tugas eksekutif dan legislatif. Karena dipilih dan memperoleh
mandat

dari

rakyat,

maka

merekapun

harus

mempertanggungjawabkan

penyelenggaraan pemerintahan tersebut kepada rakyat sebagai pemegang


kedaulatan tertinggi.
2. Ciri-ciri Pemerintahan Demokrasi
Sebuah Negara bisa di sebut sebagai Negara demokrasi manakala memiliki
ciri-ciri sebagai berikut:
a. Kedaulatan rakyat
Kedaulatan berarti kekuasaan tertinggi. Dalam Negara demokrasi,
pemilik kedaulatan adalah rakyat bukan penguasa. Kekuasaan tertinggi
ada pada rakyat. Kekuasaan yang dimiluki oleh penguasa berasal dari
rakyat.
b. Pemerintahan didasarkan pada persetujuan rakyat
Prinsip ini menghendaki adanya pengawasan rakyat terhadap
pemerintahan. Dalam hal ini, penguasa Negara tidak bisadan tidak
boleh menjalankan kehidupan

Negara berdasarkan kemauannya

sendiri.
c. Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas
Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam keputusan. Keputusan
yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam kenyataan, kehendak
rakyat bias berbeda-beda, tidak sama. Dalam hal demikian, berlaku
prinsip majority rule . maksudnya keputusan diambil sesuai kehendak
mayoritas rakyat. Namun, keputusan tersebut hatus menghormati hakhak minoritas (minority rights).

d. Jaminan hak-hak asasi manusia


Prinsip ini menghendaki adanya jaminan hak-hak asasi. Jaminan
tersebut dinyatakan dalam konstitusi. Jaminan hak asasi itu sekurangkurangnya meliputi hak-hak dasar. Hak-kah tersebut meliputi: hak
mengemukakan pendapat, berekspresi, dan pers bebas; hak beragama;
hak hidup, hak berserikat dan berkumpul; hak persamaan perlindungan
hokum; hak atas proses peradilan yang bebas. Namun demikian. Di
sini berlaku prinsip: hak asasi manusia harus senantiasa dikembangkan
(diperbaiki, dipertajam, dan ditambah hak-hak lainnya).
e. Pemilu yang bebas dan adil
Prinsip ini menghendaki adanya pergantian pimpinan pemerintahan
secara damai dan teratur. Hal ini penting untuk menjaga agar
kedaulatan

rakyat

tidak

di

selewengkan.

Untuk

itu

diselenggarakanpemilihan umum (pemilu).


f. Persamaan di depan hukum
Prinsip ini menghendaki adaanya persamaan politik. Maksudnya,
secara hukum (didepan hukum) setiap warga Negara mempunyai
kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pembuatan
keputusan politik. Jadi, siapa saja memiliki kesempatan yang sama
untuk berpartisipasi. Itu berarti tidak boleh ada sikap membedabedakan (diskriminasi), entah berdasarkan

suku, ras, agama,

antargolongan maupun jenis kelamin.


g. Perlindungan hukum
Prinsip ini menghendaki adanya perlindungan hukum warga Negara
dari tindakan sewenang-wenang oleh Negara. Misalnya warga Negara
tak boleh di tangkap tanpa alasan hukum yang jelas; warga Negara tak
boleh dipenjarakan tanpa melalui proses hukum yang terbuka.
h. Pemerintahan di batasi oleh konstitusi
Prinsip ini menghendaki adanya pembatasan kekuasaan pemerintah
melalui hokum. Pembatasan itu di tuangkan dalam konstitusi.
Selanjutnya konstitusi itu menjadi dasar penyelenggaraan Negara yang
harus di patuhi oleh pemerintah. Itulah sebabnya pemerintahan
demokrasi sering di sebut demokrasi konstitusional dengan
demikian, pemerintahan demokrasi dijalankan sesuai prinsip supremasi
hukum (rule of law). Itu berarti kebijakan Negara harus didasarkan
pada hukum.
i. Penghargaan pada keberagaman

Prinsip ini menghendaki agar tiap-tiap kelompok social-budaya,


ekonomi, ataupun politik diakui dan dijamin keberadaannya. Masingmasing kelompok memiliki hak dan kewajiban yang sama untuk
berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehidupan Negara.
j. Penghargaan terhadap nilai-nilai demokrasi
Prinsip ini menghendaki agar kehidupan Negara senantiasa diwarnai
oleh toleransi, kemanfaatan, kerja sama dan konsesus. tolenrasi berarti
kesedian untuk menahan diri, bersikap sabar, membiarkan dan berhati
lapang

terhadap

orang-orang

yang

berpandangan

berbeda.

Kemanfaatan berarti demokrasi haruslah mendatangkan manfaat


konkret, yaitu perbaikan kehidupan rakyat. kerja sama berarti semua
pihak bersedia untuk menyumbangkan kemampuan terbaiknya dalam
mewujudkan cita-cita bersama. Kompromi berarti ada komitmen untuk
mencari titik temu di antara berbagai macam pandangan dan perbedaan
pendapat guna mencari pemecahan untuk kebaiakn bersama.
3. Prinsip Demokrasi
Dalam prinsip negara demokrasi, tidak terdapat dominasi pemerintah yang
berlebihan, maksudnya tidak setiap aspek kehidupan dikendalikan secara
monopolistik dan terpusat oleh negara. Karena itu warga negara seharusnya
terlibat dalam hal tertentu seperti pembuatan keputusan-keputusan politik, baik
secara langsung melalui wakil-wakil pilihan mereka. Selain itu, mereka memiliki
kebebasan untuk berpartisipasi dan memperoleh informasi serta berkomunikasi.
Prinsip-prinsp demokrasi mencakup :
a. Keterlibatan warga negara dalam pembuatan keputusan politik
Keterlibatan warga negara dalam pemerintahan, terutama ditujukan
mengandalkan tindakan para pemimpin politik. Dalam hal ini, pemilu menjadi
salah satu cara untuk melakukan persiapan. Selain itu, masyarakat pula
menyampaikan kritik, mengajukan usul, atau memperjuangkan kepentingan
melalui saluran-saluran lain yang demokratis sesuai dengan undang-undang.
Ada dua pendekatan tentang keterlibatan warga negara, yaitu teori elitis dan
partisipatori.
1. Pendekatan Elitis, menegaskan bahwa demokrasi adalah suatu metode
administrasi pembuatan kebijaksanaan umum menuntut adanya kualitas
ketanggapan pihak penguasan/kaum elit terhadap pendapat umum. Dalam
prakteknya hal ini dapat kita lihat pada demokrasi perwakilan.

2. Pendekatan partisipatori, menegaskan bahwa demokrasi menuntut adanya


tingkat keterlibatan yang lebih tinggi, karena itu untuk mendapatkan
keuntungan seperti ini kita harus menegakkan kembali demokrasi
langsung.
b. Tingkat persamaan (kesetaraan) tertentu diantara warga negara.
Masalah persamaan, hal ini menjadi kepentingan utama dalam teori dan
praktek politik. Untuk membuktikan hal tersebut tidak sulit, karena baik
negara yang demokratis maupun bukan, selalu berusaha mencapai tingkat
persamaan yang lebih besar. Pada umumnya tingkat persamaan yang dituju
antara lain: persamaan politik, persamaan dimuka hukum, persamaan
kesempatan, persamaan ekonomi, dan persamaan sosial atau persamaan hak.
c. Tingkat kebebasan atau kemerdekaan tertentu yang diakui dan dipakai
oleh para warga negara.
Kebebasan dan kemerdekaan pada awalnya timbul dalam kehidupan politik
sebagai reaksi terhadap absolutisme. Kedua hal ini diperlukan untuk memberi
kesempatan kepada warga negara agar dapat memperjuangkan kepentingan
dan kehendaknya serta melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara.
Kebebsan tersebut terutama menyangkut hak-hak kebebasan yang telah
tercakup dalam hak asasi manusia (seperti hak politik, ekonomi, kesetaraan di
depan hukum dan pemerintahanm ekspresi kebudayaan, dan hak pribadi).
Dalam pemahaman yang sangat mendasar hak-hak tersebut harus diakui dan
dilindungi oleh negara.
d. Penghormatan terhadap supremasi hukum. Penghormatan terhadap
hukum harus dikedepankan baik oleh pihak penguasa maupun oleh
rakyat.
Tidak terdapat kesewenang-wenangan yang bisa dilakukan atas nama hukum,
karena itu pemerintahan harus didasarkan kepada hukum yang berpihak
kepada keadilan (Rule Of Low). Segala warga negara berdiri setara di depan
hukum tanpa ada kecualinya. Jika hukum dibuat atas nama keadilan dan
disusun dengan memperhatikan pendapat rakyat, maka tidak ada alasan untuk
mengabaikan apalagi melecehkan hukum dan lembaga hukum. Dengan
demikian, keadilan dan ketaatan terhadap hukum merupakan salah satu syarat
mendasar bagi terwujudnya masyarakat yang demokratis.
4. Asas Demokrasi

Suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi apabila memiliki dua
asas yaitu:
a. Pengakuan Hak Asasi Manusia sebagai penghargaan martabat manusia
Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam tindakantindakan

negara/

pemerintah untuk melindungi Hak Asasi Manusia tanpa melupakan


kepentingan umum. Negara yang menyatakan dirinya sebagai negara
demokrasi wajib mencantumkan Hak Asasi Manusia di dalam UndangUndang Dasar negara tersebut, penyusunan peraturan perundangundangan wajib menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM), negara
berkewajiban meratifikasi (mengakui dan mengesahkan) berbagai
bentuk instrumen HAM internasional. Di dalam negara demokrasi juga
dibentuk lembaga perlindungan HAM yang bertugas melindungi
pihak-pihak yang menderita akibat pelanggaran HAM.
b. Pengakuan partisipasi rakyat pemerintahan
Dalam negara demokrasi pemerintahan yang berkuasa merupakan
pemerintahan yang dibentuk oleh rakyat. Pemerintah yang mengatur
negara harus mendapat dukungan dan partisipasi dari rakyat. Apabila
pemerintahan yang ada sudah tidak mendapat dukungan/partisipasi
dari rakyat, maka pemerintahan itu akan runtuh. Antara rakyat dan
pemerintah

terjadi

hubungan

timbal

balik

dan

saling

ketergantungan.Pemerintah hanya menjalankan amanat dan mandat


dari rakyat sebagai pemilik kedaulatan/kekuasaan. Pemerintah
berfungsi melindungi rakyat, tanpa ada pemerintah, rakyat tidak bisa
hidup dengan teratur, dan mudah dihancurkan bangsa lain sebaliknya
pemerintah tanpa dukungan rakyat tidak dapat berbuat apa-apa,
program-program pemerintah tidak akan dapat dijalankan dengan baik.
5. Konsep Demokrasi
a. Demokrasi Konstitusional/Demokrasi Parlementer
Ciri khas dari demokrasi konstitusional ialah gagasan bahwa
pemerintah yang demokratis adalah pemerintah yang terbatas kekuasaannya
dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya
(Miriam

Budiarjo,2010:107).

Pembatasan

kekuasaan

tersebut

adalah

berdasarkan konstitusi dan terdapat peranan yang menonjol terhadap para


anggota parlemen. Berdasarkan UUD 1950 menyatakan bahwa demokrasi
parlementer adalah dimana badan eksekutif yang terdiri atas presiden sebagai

kepala negara konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggung


jawab politik. Demokrasi ini sendiri berlangsung dari tahun 1945-1959
(Miriam Budiarjo,2010:128).
b. Demokrasi Terpimpin
Demokrasi ini memiliki ciri adanya dominasi dari presiden,
terbatasnya peranan partai politik, berkembang pengaruh komunis dan
meluasnya peranan ABRI sebagai unsur sosial-politik. Demokrasi ini sendiri
di Indonesia berlangsung dari tahun 1959-1965 (Miriam Budiarjo,2010:129).
c. Demokrasi Pancasila
Demokrasi ini adalah demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia.
Demokrasi ini adalah demokrasi yang berdasarkan Pancasila. Latar belakang
munculnya demokrasi Pancasila adalah adanya berbagai penyimpangan dan
persoalan yang dialami oleh bangsa Indonesia pada masa berlakunya
demokrasi parlementer dan demokrasi terpimpin. Demokrasi Pancasila hingga
kini tetap digunakan. Akan tetapi, ada beberapa perbedaan antara demokrasi
Pancasila Era Orde Baru dan demokrasi Pancasila pada era setelah reformasi.
Beberapa perubahannya dapat terlihat dengan adanya pemilihan Umum yang
lebih demokratis dan pengaturan hak asasi manusia yang lebih jelas.
6. Perubahan Bentuk Pemerintahan Teokrasi, Autokrasi, Aristokrasi, Ke
Demokrasi
a. Perubahan Bentuk Pemerintahan Teokrasi ke Autokrasi
Kata teokrasi berasal dari bahasa Yunani theokratia. Theos artinya
tuhan dan

kratein memerintah. Teokrasi artinya pemerintahan oleh

tuhan. Teokratisme didasarkan pada suatu pandangan bahwa segala sesuatu


yang ada di atas dunia ini adalah ciptaan Tuhan, termasuk negara, karena
negara diciptakan dan dibentuk atas kehendak Tuhan, maka pemimpinpemimpinnyapun adalah orang-orang yang ditunjuk dan dikehendaki Tuhan.
Oleh karena itu, kekuasaan para raja dan pemimpin negara adalah suci.
Pelanggaran terhadap kekuasaan raja dan pemimpin negara berarti
pelanggaran terhadap kehendak Tuhan. Dengan demikian, raja dan segenap
pemimpin negara hanya bertanggung jawab kepada Tuhan.
Pada abad pertengahan di Eropa, agama Kristen mendominasi segala
aspek kehidupan di Eropa. Menurut paham ini, kehidupan negara didasarkan
pada moralisme yang berorientasi kepada agama. Para gerejawan sebagai

pemimpin agama mempunyai kekuasaan yang besar dalam menentukan setiap


kebijaksanaan negara. Para raja dan pemimpin negara hanya merupakan
pelaksana pemerintahan yang terlebih dahulu mendapat restu dan legalitas dari
gereja. Demikian pula dalam hal pewarisan kekuasaan, gerejalah yang
mengesahkan penggantinya. Dengan demikian, gereja menjadi pelaksana
kekuasaan di dunia, yang dalam prakteknya diserahkan kepada raja atau para
pemimpin dunia.
Seiring dengan perkembangan bentuk pemerintahan ini, rakyat merasa
bahwa tidak seharusnya para gerejawan yang memimpin dunia, karena pada
hakikatnya pemuka agama tetaplah pemuka agama yang harus mengajarkan
nilai-nilai agama kepada masyarakat, sedangkan seharusnya yang memerintah
adalah penguasa atau raja, yaitu pihak yang memang diembankan untuk
memegang

tampuk

pemerintahan.

Autokrasi

adalah

suatu

bentuk

pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini
diturunkan dari bahasa Yunani autokratr yang secara literal berarti berkuasa
sendiri atau penguasa tunggal.
Autokrasi pada hakikatnya merupakan suatu sistem dimana seorang
raja atau kaisar merupakan penguasa tunggal yang kadang-kadang dianggap
sebagai utusan Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Dalam sistem ini kekuasaan
itu mutlak yaitu tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun dan seorang
pemimpin itu tidak pernah salah. Salah satu contoh pemerintahan yang
Autokrasi ini dapat kita lihat pada pemerintahan di Rusia pada abad 18-19.
Pada masa itu Rusia dipimpin oleh Tsar (kaisar) yang punya kekuasaan penuh
dan tidak ada prinsip check and balance antara pemimpin dan parlemen
karena parlemen harus tunduk pada Tsar.
Perkembangan sistem Autokrasi ini lama-kelamaan ditentang oleh
berbagai pihak karena sistem ini jauh dari kata keadilan dan berpeluang
munculnya Otoriterisme dan diktator yang ditandai dengan Infrastruktur dan
fasilitas dikendalikan oleh satu orang, aturan datang dari satu orang,
kekuasaan seolah-olah hanya milik raja, tidak boleh menentang raja,
kekuasaan tidak terbatas dsb. Oleh karena itu maka munculah sistem
Aristokrasi atau bentuk pemerintahan yang dipegang oleh kaum yang paling
baik yaitu kaum bangsawan.
b. Perubahan Bentuk Pemerintahan Aristokrasi ke Demokrasi

Aristokrasi diambil dari kata yunani ARISTOKRATIA (aristos = best +


kratia = rule), yang berarti pemerintahan terbaik yang dipimpin oleh orangorang terpilih. Tetapi katakata terbaik disini terkesan samar dengan istilah
terbaik dimasa yunani kuno. Penjelasan yang benar bahwa yang terbaik adalah
mereka yang memiliki kecakapan yang tinggi, berpendidikan, berpengalaman
dan bermoral tinggi. Namun, hal ini tidak bisa dijadikan atau dipastikan
menjadi yang terbaik.
Aristotle membedakan aristokrasi dan oligarchy ( pemerintahan oleh
sekelompok kecil ). Dia menegaskan bahwa pemerintahan yang dipimpin oleh
sekelompok kecil, dengan dasar kepentingan mereka sendiri; dan telah terjadi,
maka dari hal ini, membuktikan bentuk pemerintahan aristokrasi yang
dipimpin oleh orang orang terbaik didalam Negara adalah sesat. Akan tetapi,
pada masa modern perbedaan ini sering diabaikan. Tetapi seiring dengan
berkembangnya zaman, kesemua bentuk pemerintahan tersebut tidaklah
beerlaku lagi, hal itu dikarenakan semakin tingginya tingkat pendidikan
membuat masyarakat semakin rasional, sehingga perlu dibentuk sebuah
bentuk pemerintahan baru yang mengatasnamakan rakyat, yaitu dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat dimana pemerintahan seperti ini disebut
pemerintahan demokrasi.
C. Perkembangan Demokrasi Di Indonesia
Dipandang dari sudut perkembangan demokrasi sejarah Indonesia dapat dibagi
dalam empat masa, yaitu:
1. Masa Republik

Indonesia

Konstitusional
Sistem parlementer

yang

(1945-1959),
mulai

berlaku

Masa

Demokrasi

sebulan

sesudah

kemerdekaan diproklamirkan dan kemudian diperkuat dalam UUD 1949


dan 1950, ternyata kurang cocok untuk Indonesia. Persatuan yang dapat
digalangkan untuk menghadapi musuh bersama menjadi kendor dan tidak
dapat dibina menjadi kekuatan-kekuatan konstruktif sesudah kemerdekaan
tercapai. Lemahnya benih-benih demokrasi sistem parlementer memberi
peluang untuk dominasi partai-partai politik dan DPR.
UUD 1950 menetapkan berlakunya sistem parlementer dimana
badan eksekutif yang terdiri dari presiden sebagai kepala negara
konstitusional dan menteri-menterinya mempunyai tanggungjawab politik.
Karena fragmentasi partai-partai politik, setiap kabinet berdasarkan koalisi

yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil.
Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak
segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu sehingga kabinet
seringkali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dilain pihak
partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi
yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya
menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi. Umumnya kabinet dalam
masa pra peralihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat
bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat
perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak
mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya.
Faktor-faktor semacam in, ditambah dengan tidak adnya anggota
partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai
konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru,
mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang
dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem
parlementer berakhir.
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang
presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan
tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima
tahun ini yang ditentukan oleh UUD. Tindakan menyimpang lainnya yaitu
pada tahun 1960 Ir. Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum,
padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan
dimana pelbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan
Presiden yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahan
pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional
yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai

dengan taktik komunisme Internasional yang menggariskan pembentukan


front nasional sebagai persiapan ke arah terbentuknya demokrasi rakyat.
Partai politik dan pers yang dianggap menyimpang dari rel revolusi
ditutup, tidak dibenarkan dan dibreidel, serta politik mercusuar dibidang
hubungan luar negeri dan ekonomi dalam negeri telah menyebabkan
keadaan ekonomi menjadi bertambah suram. G 30 S/PKI telah mengakhiri
periode ini dan membuka peluang untuk dimulainya masa demokrasi
Pancasila.
3. Masa Republik Indonesia III (1965-1998): Masa Demokrasi Pancasila
Landasan formal dari periode ini adalah pancasila, UUD 1945,
serta ketetapan-ketetapan MPRS. Dalam usaha untuk meluruskan kembali
penyelewengan terhadap UUD yang telah terjadi dalam masa dmokrasi
terpimpin, telah diadakan sejumlah tindakan korektif. Ketetapan MPRS
No. III/1963 yang menetapkan masa jabatan seumur hidup untuk Ir.
Soekarno telah dibatalkan dan jabatan kembali menjadi jabatan elektif
setiap lima tahun. Ketetapan MPRS NO. XIX /1966 telah menentukan
ditinjaunya kembali produk-produk legislatif dari masa Demokrasi
Terpimpin dan atas dasar itu UU no 19/1964 telah diganti dengan suatu
undang-undang baru (No. 14/1970) yang menetapkan kembali ke asas
kebebasan badan-badan pengadilan.
Perkembangan lebih lanjut pada masa Republik Indonesia III
menunjukkan peranan presiden yang semakin besar. Secara lambat laun
tercipta pemusatan kekuasaan ditangan presiden karena Presiden Soeharto
telah menjelma sebagai seorang tokoh paling dominan dalam sistem
politik Indonesia. Keberhasilan memimpin penumpasan G 30 S/PKI dan
kemudian membubarkan PKI dengan menggunakan Surat Perintah 11
maret (Super Semar) memberikan peluang yang besar kepada Jenderal
Soeharto untuk tampil sebgai tokoh yang paling berpengaruh di Indonesia.
Status ini membuka peluang bagi jenderal Soeharto untuk menjadi
presiden berikutnya.
Perlunya menjaga kestabilan politik, pembangunan nasional, dan
integrasi nasional telah digunakan sebagai alat pembenaran bagi
pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan politik, termasuk yang
bertentangan dengan demokrasi. Contohnya yaitu prinsip monoloyolitas
PNS, yaitu dengan mewajibkan semua PNS untuk memilih Golkar dalam

setiap pemilu sehingga mencegah partai politik lain keluar

sebagai

pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde baru dapat terus
berkuasa. Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemilu. Namun nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan
karena tidak ada kebebasan memilih bagipara pemilih dan tidak ada
kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi partai pemilu untuk
memenangkan pemilu.
Keberhasilan pemerintahan presiden Soeharto untuk menjadikan
Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan
pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti
dengan kemampuan untuk memberantas korupsi.

KKN berkembang

dengan sangat pesat seiring dengan keberhasilan pembangunan ekonomi.


Keberhasilan pembangunan ekonomi malah dianggap sebagai peluang
untuk melakukan KKN yang dilakukan oleh para anggota keluarga dan
kroni para penguasa, baik di pusat maupun di daerah.
Di bidang politik, dominasi presiden Soharto telah membuat
presiden menjadi penguasa mutlak karena tidak ada satu institusi/lembaga
pun yang dapat menjadi pengawas presiden dan mencegahnya melakukan
penyelewengan kekuasaan. Menjelang berakhirnya orde baru, elite politik
semakin tidakpeduli dengan dengan aspirasi rakyat dan semakin banyak
membuat kebijakan-kebijakan yang menguntungkan para kroni dan
merugikan negara dan rakyat banyak.
Akibat dari semua ini adalah semakin menguatnya kelompokkelompok yang menentang Presiden Soeharto dan Orde Baru. Gerakan
mahasiswa yang berhasil menduduki Gedung MPR/DPR di Senayan pada
bulan Mei 1998 merupakan langkah awal kejatuhan Presiden Soeharto dan
tumbangnya Orde Baru. Pimpinan DPR secara terbuka meminta presiden
turun. Kemudian 14 orang menteri Kabinet Pembangunan menyatakan
penolakan mereka untuk bergabung dengan kabinet yang akan dibentuk
oleh Presiden Soeharto yang berusaha untuk memenuhi tuntuan
mahasiswa. Melihat perkembangan politik seperti ini, presiden Soeharto
merasa yakin bahwa ia tidak mendapat dukungan yang besar dari rakyat
dan orang-orang dekatnya sendiri, sehingga ia kemudian memutuskan
untuk mudur sebagai Presiden RI pada tanggal 20 Mei 1998.
4. Masa Republik Indonesia IV (1998-sekarang): Masa Reformasi

Tumbangnya Orde Baru membuka peluang terjadinya reformasi


politik dan demokratisasi di Indonesia. Pengalaman Orde Baru
mengajarkan kepada bangsa Indonesia bahwa pelanggaran terhadap
demokrasi membawa kehancuran bagi negara dan penderitaan rakyat. Oleh
karena itu bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan
demokratisasi, yakni proses pendemokrasian sistem politik Indonesia
sehingga kebebasan rakyat terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan,
dan pengawasan terhadap lembaga eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga
perwakilan rakyat.
Presiden Habibie dilantuk sebagai presiden untuk menggantikan
presiden Soeharto dapat dianggap sebagai presiden yang akan memulai
langkah-langkah demokratisasi dalam Orde Reformsi. Oleh karena itu,
langkah yang dilakukan pemerintahan Habibie adalah mempersiapkan
pemilu dan beberapa langkah penting dalam demokratisasi. UU politik
yang meliputi UU Partai Politik, UU Pemilu, dan UU Susunan dan
Kedudukan MPR, DPR dan DPRD yang baru disahkan pada awal 1999.
UU politik ini jauh lebih demokratis dibandingkan dengan UU politik
sebelumnya sehingga pemilu 1999 menjadi pemilu yang demokratis yang
diakui oleh dunia internasional. Selain itu dilakukannya penghapusan
dwifungsi ABRI, sehingga fungsi sosial-politik dihapuskan dan fungsi
pertahanan menjadi fungsi satu-satunya.
Langkah terobosan yang dilakukan dalam proses demokratisasi
adalah amandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR hasil Pemilu
1999 dalam empat tahun (1999-2002). Beberapa perubahan penting
dilakukan terhadap UUD 1945 agar mampu menghasilkan pemerintahan
yang demokratis. Peran DPRD sebagai lembaga legislatif

diperkuat,

semua anggota DPR dipilih dalam pemilu, pengawasan terhadap presiden


lebih diperketat, dan hak asasi manusia memperoleh jaminan yang
semakin kuat. Amandemen UUD 1945 juga memperkenalkan pemilihan
umum untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung. Pilpres
pertama dilakukan pada tahun 2004 setelah pemilihan umum untuk
lembaga legislatif.
Langkah demokratis selanjutnya adalah pemilu untuk memilih
kepala daerah secara langsung yang diatur dalam UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Hal ini berbeda dengan pemilihan kepala

daerah sebelumnya yang bersifat tidak langsung karena dipilih oleh


DPRD. Pelaksanaan pemilu legislatif dan pemilihan presiden pada tahun
2004 merupakan tonggak sejarah politik penting dalam sejarah politik
Indonesia modern karena terpilihnya presiden dan wakil presiden yang
didahului oleh terpilihnya anggota-anggota DPR, DPD, dan DPRD telah
menuntaskan demokratisasi di bidang lembaga-lembaga politik di
Indonesia.

Dapat

dikatakan

bahwa

demokratisasi

telah

berhasil

membentuk pemerintahan Indonesia yang demokratis karena nilai-nilai


demokrasi yang penting telah diterapkan melalui pelaksanaan peraturan
perundangan mulai dari UUD 1945.
D. Kesimpulan
Politik merupakan salah satu konsep ilmu yang pada dewasa ini menjadi
sangat penting untuk dipelajari, karena berdasarkan fenomena yang ada di dalam
kehidupan kita politik selalu berdampingan dengan lingkungan kehidupan sekitar kita.
Seperti apa yang dikatakan oleh Aristoteles yaitu bahwa politik adalah master of
science,yang dapat diartikan secara garis besarnya bahwa politik itu adalah berkaitan
dengan apa yang akan dan tidak akan kita lakukan. Maka dari itulah berarti politik
selalu berhubungan dengan apa yang akan kita lakukan dalam kehidupan kita.
Kemudian disis lain yang tidak kalah penting selain politik adalah demokrasi.
Demokrasi adalah salah satu bentuk atau sistem dalam pemrintahan suatu negara yang
menekankan pada prinsip partisipatif. Di Indonesia sendiri sudah sejak lama sekali
kita membudayakan hidup berdemokrasi. Jika dikaji dari sistem pemerintahan
negaranya bentuk demokrasi yang kita anut adalah demokrasi Pancasila,yaitu
demokrasi yang berdasarkan pada nilai-nilai pancasila.
Jika dikaitkan dengan politik maka salah satu konsep politik yang dapat
berkaitan sangat erat dengan demokrasin adalah konsep kekuasaan. Karena politik
sendiri dapat diartikan sebagai suatu kegiatan yang dapat digunakan untuk dapat
mempertahankan atau mendapatkan kekuasaan di masyarakat. Untuk itu apabila kita
telah berhasil menjadi sebgai seorang penguasa alangkah baiknya jika tetap
menjalankan kehidupan berdemokrasi agar rakyat atau masyarakat yang kita pimpin
dapat dengan bebas berpartisipasi dalam menentukan jalan hidup mereka yang dapat
dicapai melalui perantara seorang pemimpin atau wakil rakyat. Untuk itulah budaya
berdemokrasi dan berpolitik yang baik, dalam arti bukan hanya digunakan untuk
mendapatkan kekuasaannya saja tetapi apabila telah mendaptkan kekuasaan sudah

seharusnya tetap untuk memperhatikan aspirasi masyarakat lewat buday berdemokrasi


yang jujur dan adil.

Daftar Pustaka
Surbakti,Ramlan.2010.Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama

Data

Studi.

2011.

Proses

Demokrasi

Menuju

Masyarakat

Madani.

Melalui

https://datastudi.files.wordpress.com/2011/04/proses-demokrasi-menuju-masyarakanmadani.pdf. Diakses pada tanggal 21/02/2015 jam 10:05


Amanah.

2013.

Ciri-ciri

Pemerintan

demokrasi.

Melalui

https://amanahtp.

wordpress.com/2013/01/31/ciri-ciri-pemerintahan-demokrasi/ Diakses pada tanggal


21/02/2015 jam 10:15
Tauhid, Enda. 2014. Asas Demokrasi. (Online),(http://bloglegendatauhid.blogspot.com/
2014/04/asas-demokrasi.html), diakses pada tanggal 21/02/2015 jam 10:30
Achmadi,Indra.2012. Konsep Politik.(Online),(
http://indraachmadi.blogspot.com/2012/04/konsep-politik.html),diakses pada tanggal 22
Februari 2015.

Anda mungkin juga menyukai