Makalah ini disusun guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Politik Tingkat Pemilihan
Nasional dan Daerah yang di bina oleh Bapak Mochamad Rozikin.Drs,MAP
Oleh:
Mega Fataya
125030100111087
125030100111068
Yunita Rahmawati
125030100111070
Wulan Fitriawati
125030107111105
A. Ilmu Politik
1. Perkembangan Ilmu Politik
Ilmu politik lahir pada abad ke-19 dan dipandang semata-mata sebagai salah
satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memilki dasar, rangka, fokus, dan ruang
lingkup yang jelas. Pada abad tersebut, ilmu politik berkembang secara pesat
berdampingan dengan cabang-cabang ilmu sosial lainnya, seperti sosiologi,
antropologi, ekonomi, dan psikologi, dan dalam perkembangan ini ilmu-ilmu tersebut
saling mepengaruhi antara satu dengan yang lain. Selain itu, ilmu politik ditinjau
dalam rangka yang lebih luas, yaitu sebagai pembahasan secara rasional dari berbagai
aspek negara dan kehidupan politik. Hal tersebut kemudian ilmu politik sendiri sering
dinamakan sebagai ilmu sosial yang tertua di dunia.
Pada taraf perkembangan seperti demikian itulah kemudian, ilmu politik
banyak bersandar pada sejarah dan filsafat. Seperti hal nya di Yunani Kuno, pemikiran
mengenai sejarah sudah dimulai pada tahun 459 S.M, hal tersebut terbukti dalam
karya-karya ahli sejarah Herodotus, atau filsuf-filsuf seperti Plato, Aristoteles, dan
sebagainya. di Asia ada beberapa pusat kebudayaan, antara lain India dan China yang
telah mewariskan berbagai tulisan politik yang bermutu. Tulisan-tulisan dari India
terkumpul antara lain dalam kesusastraan Dharmasastra dan Arthasastra yang berasal
dari masa kira-kira pada tahun 500 S.M. Diantara filsuf China yang terkenal ialah
Confucius ( 350 S.M) dan mazhab Legalist, seperti Shang Yang ( 350 S.M).
Di Indonesia kita mendapati beberapa karya tulis yang membahas mengenai
masalah sejarah dan kenegaraan, seperti misalnya Negarakertagama yang ditulis pada
masa Majapahit sekitar abad ke-13 dan ke -15 Masehi dan Babad Tanah Jawi.
Sayangnya di negara-negara Asia tersebut kesusastraan yang mencakup bahasan
politik mulai akhir abad ke-19 telah mengalami kemunduran karena terdesak oleh
pemikiran barat yang dibawa oleh negara-negara seperti Inggris, Jerman, Amerika
Serikat, dan Belanda dalam rangka imperialism. Dinegara-negara benua Eropa seperti
Jerman, Austria, dan Perancis bahasan mengenai politik dalam abad ke-18 dan ke-19
banyak dipengaruhi oleh ilmu hukum dan karena itu fokus perhatiannya adalah
semata-mata hanya tertuju pada negara. Di Inggris permasalahn politik dianggap
termasuk filsafat, terutama moral philosophy, dan bahasanya tidak dapat terlepas dari
sejarah. Akan tetapi dengan didirikannya Ecole Libredes Politiques di Paris (1870)
dan London School of Economics and Political Science (1895), meupakan ilmu
pertama kali di negara-negara tersebut yang dianggap sebagai displin tersendiri yang
patut dan mendapat tempat dalam kurikulum perguruan tinggi. Namun demikian,
pengaruh dari ilmu hukum, filsafat, dan sejarah sampai Perang Dunia II masih tetap
terasa.
Perkembangan yang berbeda terdapat di Amerika Serikat. Dimana hal tersebut
bermula dari adanya tekanan yuridis seperti yang terdapat di Eropa yang sangat
menginginkan untuk membebaskan diri dari tekanan yuridis itu, dan lebih
mendasarkan diri pada kumpulan data empiris. Pada perkembangan yang bertepatan
dengan perkembangan sosiologi dan psikologis, sehingga kedua cabang ilmu sosial
ini banyak mempengaruhi metodologi dan terminologi ilmu politik pada tahun 1858.
Kejadian di Amerika tersebut dianggap sebagai pengakuan pertama terhadap ilmu
politik sebagai ilmu tersendiri. Perkembangan selanjutnya berjalan secara cepat, yang
dapat dilihat juga dari didirikannya American Politic Science Assosiation (APSA)
pada tahun 1904.
Sesudah Perang Dunia II perkembangan ilmu politik semakin pesat lagi.
Dinegeri Belanda, dimana sampai saat itu penelitian mengenai politik negara
dimonopli oleh fakultas hukum, didirikan
Wetenschappen (Fakultas Ilmu Sosial dan Politik) pada tahun 1947 (sekarang
namanya Faculteit der Sociale Wetenschappen Fakultas Ilmu Sosial) yang berada di
Amesterdam. Seperti pulan di Indonesia yang terdapat fakultas-fakultas serupa, yang
dinamakan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) seperti di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Disini ilmu politik menjadi jurusan tersendiri akan tetapi
karena pendidikan tinggi ilmu hukum sangat maju, tidaklah mengherankan apabila
pada awal perkembangannya, ilmu politik di Indonesia terpengaruh secara kuat oleh
ilmu tersebut. Namun demikian, dewasa ini konsep-konsep ilmu politik yang baru
berangsur-angsur mulai dikenal, dan sudah diterima baik oleh masyarakat.
Sementara itu, perkembangan ilmu-ilmu politik di Eropa
Timur
memperlihatkan bahwa pendekatan tradisional dari segi sejarah, filsafat, dan yuridis
yang sudah lama digunakan, masih berlaku hingga dewasa ini. Tapi kemudian
perkembangan ilmu politik mengalami kemajuan dengan pesat setelah runtuhnya
komunisme pada akhir dekade 1990-an. Ini dicirikan dengan masih berlakunya
pendekatan tradisional tapi ditambah dengan pendekatan-pendekatan lain yang tengah
berkembang di negara-negara Barat. Pesatnya perkembangan ilmu politik sesudah
Perang Dunia II tersebut juga disebabkan karena mendapat dorongan kuat dari
beberapa badan Internasional, terutama UNESCO.
Terdorong oleh tidak adanya keseragaman dalam terminology dan metodologi
dalam ilmu politik, UNESCO pada tahun 1948 menyelenggarakan suatu survei
mengenai kedudukan ilmu politik di kira-kira 30 negara. Proyek ini yang di pimpin
oleh W.Ebenstain dari Princeton University Amerika Serikat, kemudian dibahas oleh
beberapa ahli dalam suatu pertemuan di Paris dan menghasilkan buku Contemporary
Political Science (1948).Sebagai tindak lanjutnya UNESCO bersama International
Political
Science
Assosiation
(IPSA)
yang
didirikan
pada
tahun
1949,
memanfaatkan
penemuan
dari
antropologi, psikologi, ekonomi, dan sosiologi, dan dengan demikian ilmu politik
telah dapat meningkatkan mutu dengan banyak mengambil model dari cabang-cabang
ilmu sosial lainnya. Hal ini telah banyak mengubah wajah ilmu politik. Berkat
berbagai usaha tersebut diatas, ilmu politik telah menjadi ilmu politik terpandang
yang perlu dipelajari untuk mengerti kehidupan politik.
2. Definisi Ilmu Politik
Ilmu politik adalah ilmu yang mempelajari politik atau politics atau
kepolitikan. Politik adalah usaha menggapai kehidupan yang baik. Politik mempunyai
arti penting karena sejak dulu kala masyarakat mengatur kehidupan kolektif dengan
baik mengingat masyarakat sering menghadapi terbatasnya sumber alam, atau perlu
dicari satu cara distribusi sumber daya agar semua warga merasa bahagia dan puas.
Pemikiran mengenai politik di dunia barat banyak dipengaruhi oleh filsuf Yunani
Kuno pada abad ke-5 S.M. Filsuf seperti Plato dan Aristoteles menganggap bahwa
politics sebagai suatu usaha untuk mencapai masyrakat politik (polity) yang terbaik.
Dimana, dalam masyarakat tersebut nantinya masing-masing individu (manusia) akan
hidup bahagia karena memiliki peluang untuk mengembangkan bakat, bergaul dengan
rasa kemasyarakatan yang akrab, dan hidup dalam suasana moralitas yang tinggi.
Namun demikian, pengertian politik sebagai usaha untuk mencapai suatu masyarakat
yang lebih baik daripada yang dihadapinya. Seperti yang dikemukakan oleh Peter
Merkl: Politik dalam bentuk yang paling baik adalah usaha mencapai suatu tatanan
sosial yang baik dan berkeadilan.
Pada umumnya dapat dikatakan bahwa politik adalah usaha untuk menetukan
peraturan-peraturan yang dapat diterima baik oleh sebagian besar warga, untuk
membawa masyarakat kea rah kehidupan bersama yang harmonis. Usaha untuk
menggapai the good life ini terdiri dari berbagai macam kegiatan yang antara lain
menyangkut proses penentuan tujuan dari sistem, serta cara-cara melaksanakan tujuan
itu. Utuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum (public policies) yang
menyangkut pengaturan dan alokasi (allocation) dari sumber daya alam, perlu dimiliki
kekuasaan (power) serta wewenang (authority). Kekuasaan ini diperlukan baik untuk
membina kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul
dalam proses pengambilan keputusan. Cara-cara yang dipakai dapat bersifat persuasi
(meyakinkan) dan jika perlu bersifat paksaan (coercion). Tanpa adanya unsur paksaan,
kebijakan ini hanya merupakan perumusan keinginan (statement of intent) belaka. Di
pihak lain,
kehidupan manusia bersifat kolektif. Dalam rangka ini politik pada dasarnya dapat
dilihat sebagai usaha penyelesaian
konflik
(consensus).
Akan tetapi tidak dapat disangkal bahwa dalam pelaksanaanya, disamping
adanya beberapa dampak positif, juga terdapat beberapa dampak negatif yang
ditimbulkan dari adanya kegiatan politik. Hal ini disebabkan karena politik
mencerminkan tabiat manusia, baik nalurinya yang baik maupun nalurinya yang
buruk. Perasaan manusia yang beraneka ragam sifatnya, sangat mendalam dan sering
saling bertentangan. Tidak heran jika dalam realitas sehari-hari kita sering kali
berhadapan dengan banyak kegiatan yang tidak terpuji, seperti yang telah dirumuskan
oleh Peter Merkl sebagai berikut; Politik, dalam bentuk yang paling buruk, adalah
perebutan kekuasaan, kedudukan, dan kekayaan untuk kepentingan diri sendiri.
Singkatnya, politik adalah perebutan kuasa, tahta, dan harta. Dibawah ini ada dua
sarjana yang menguraikan definisi politik yang berkaitan dengan masalah konlik dan
consensus.
1. Menurut Rid Hague et al; Politik adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagiamana kelompok-kelompok mencapai keputusan-keputusan yang
bersifat kolektif dan mengikat melalui usaha untuk mendamaikan
perbedaan-perbedaan diantara anggota-anggotanya.
3. Konsep-konsep Politik
Dalam perkembangan konsep ilmu politik terdapat lima pandangan yang
meliputinya. Yaitu Pertama, politik dipandang sebagai usaha-usaha yang ditempuh
oleh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua,
politik ialah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan
pemerintahan. Ketiga, politik sebagai segala kegiatan yang diarahkan untuk mencari
dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik sebagai kegiatan
yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik
sebagai konflik dalam rangka mencari dan/atau mempertahankan sumber-sumber
yang dianggap penting. Pandangan-pandangan dalam ilmu politik tersebut dijelaskan
lebih lanjut sebagai berikut:
1. Pandangan Klasik
Aristoteles mengemukakan bahwa pandangan klasik melihat politik
sebagai suatu asosiasi warga negara yang berfungsi membicarakan dan
menyelenggarakan hal ihwal yang menyangkut kebaikan bersama seluruh
anggota masyarakat. Ia membedakan urusan-urusan yang menyangkut
kebaikan bersama (kepentingan publik) dengan urusan-urusan yang
menyangkut kepentingan individu atau kelompok masyarakat (swasta).
Urusan-urusan yang menyangkut kebaikan bersama memiliki nilai moral
yang lebih tinggi dari pada urusan-urusan yang menyangkut kepentingan
individu atau swasta.
Konsep politik menurut pandangan klasik ini nampak sangat kabur.
Ketidakjelasan ini akan menghadapkan kita kepada kesukaran dalam
menentukan patokan kepentingan umum yang disetujui bersama dalam
masyarakat. Namun, satu hal yang patut mendapatkan perhatian dari
pandangan klasik berupa penekanan yang diberikan pada apa yang
seharusnya dicapai demi kebaikan bersama seluruh warga negara polis,
dan dengan cara apa sebaiknya tujuan-tujuan itu dicapai. Dengan kata
lain, pandangan klasik lebih menekankan aspek filosofis (idea dan etik)
dari pada aspek politik.
Dalam pengertian politik terkandung tujuan dan etik masyarakat
yang jelas. Berpolitik ialah membicarakan dan merumuskan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai dan ikut serta dalam upaya mengejar tujuan bersama.
Barangkali aspek filosifis ini yang merupakan kelebihan, dan arena itu
menjadi ciri khas pandangan klasik. Dalam hal ini aspek-aspek filosofis
lebih ditekankan dari pada aspek politik. Oleh karena itu metode kajian
yang digunakan bukan empirisme, melainkan metode spekulatif-normatif.
2. Pandangan Kelembagaan
Pandangan ini melihat politik sebagai hal yang berkaitan dengan
penyelenggaraan negara.
persaingan
untuk
membagi
kekuasaan
atau
merupakan
persaingan
untuk
untuk
membagi
kekuasaan
atau
persaingan
untuk
berbagai
kekuatan
politik
dalam
masyarakat.
Ketiga,
konseptualisasi di atas terlalu melihat negara dari sudut pandang yuridisformal sehingga negara cenderung dilihat sebagai gejala yang statis.
Keempat, yang melakukan kegiatan bukan lembaga negara (yang tidak
memiliki nilai dan kepentingan), tetapi elit yang memegang jabatan
tersebut yang ternyata memiliki nilai dan kepentingan sendiri. oleh karena
itu, perilaku elit yang memiliki jabatan pada lembaga tersebut yang
dipelajari, bukannya lembaganya. Demikian kritik yang diajukan oleh
kaum behavioralist.
Akan tetapi, pada tahun 1980-an sejumlah ilmuwan politik
Amerika Serikat kembali menjadikan negara sebagai fokus kajian. Mereka
memandang negara tidak lagi sekadar arena persaingan kepentingan di
antara berbagai kepentingan dalam masyarakat, tetapi juga sebagai
lembaga yang memiliki otonomi (terlepas dari pengaruh masyarakat), dan
memiliki kemampuan (yang melaksanakan kebijakan yang dibuat sendiri).
negara dilihat sebagai lembaga yang memiliki kepentingan yang berbeda
dari berbagai kepentingan yang bersaing atau bertentang yang ada di
dalam masyarakat. Pandangan ini disebut juga statist perspective
(perspektif negara).
3. Pandangan Kekuasaan
Pandangan ketiga, melihat politik sebagai kegiatan mencari dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, ilmu
politik dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari hakikat, kedudukan,
dan penggunaan kekuasaan di manapun kekuasaan itu ditemukan. Robson
dalam (Surbakti : 1999 : 5), merupakan salah seorang yang
mengembangkan pandangan tentang kekuasaan mengatakan bahwa, ilmu
politik sebagai ilmu yang memusatkan perhatian pada perjuangan untuk
memperoleh dan mempertahankan kekuasaan, melaksanakan kekuasaan,
mempengaruhi pihak lain, ataupun menentang pelaksanaan kekuasaan.
Ilmu politik mempelajari hal ihwal yang berkaitan dengan kekuasaan
masyarakat
yang
lebih
terbatas.
Namun,
apabila
dalam mempelajri gejala politik ialah David Easton dan Harold Lasswell.
David Easton merumuskan politik sebagai the authoritative allocation of
values for a society, atau alokasi nilai-nilai secara otoritatif, berdasarkan
kewenangan, dan karena itu mengikat untuk suatu masyarakat.
Oleh karena itu, yang digolongkan sebagai perilaku politik berupa
setiap kegiatan yang mempengaruhi (mendukung, mengubah, menentang)
proses pembagian dan penjatahan nilai-nilai dalam masyarakat. Sementara
itu, Lasswell menyimpulkan proses politik sebagai masalah who gets
what, when, how, atau masalah siapa yang mendapatkan apa, kapan, dan
bagaimana. Mendapatkan apa artinya mendapatkan nilai-nilai, Kapan
berarti ukuran pengaruh yang digunakan untuk menentukan siapa yang
akan mendapatkan nilai-nilai terbanyak, Bagaimana berarti dengan cara
apa seseorang mendapatkan nilai-nilai. Kemudian yang menjadi
pertanyaan, apa yang dimaksud dengan nilai-nilai sebagai hal-hal yang
diinginkan, hal-hal yang dikejar oleh manusia, dengan derajat kedalaman
upaya yang berbeda untuk mencapainya.
Nilai-nilai itu ada yang bersifat abstrak berupa prinsip-prinsip
hidup yang dianggap baik seperti keadilan, keamanan, kebebasan
persamaan, demokrasi, kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa,
kemanusiaan, kehormatan, dan nasionalisme. Di samping yang bersifat
abstrak, ada pula nilai-nilai yang bersifat kongkret seperti pangan,
sandang, perumahan, fasilitas kesehatan, fasilitas pendidikan, sarana
perhubungan, komunikasi, dan rekreasi. Nilai-nilai itu ada yang berupa
kebutuhan spiritual, ada pula yang berupa kebutuhan materi-jasmaniah.
Nilai yang abstrak dan kongkrit itu dirumuskan dalam bentuk kebijakan
umum yang dibuat dan dilaksanakan oleh
persaingan
di
antara
berbagai
kekuatan
politik
untuk
dan/atau
mempertahankan
nilai-nilai.
Dalam
semua berdimensi politik sebab selain konflik politik terdapat pula konflik
pribadi, konflik ekonomi, konflik agama yang tidak selalu diselesaikan
melalui proses politik. Apabila konflik-konflik yang disebutkan terakhir ini
berkaitan dengan pemerintah atau diselesaikan melalui proses politik maka
konflik-konflik yang semula tidak berdimensi politik berkembang menjadi
konflik politik. Dari segi metodologi, kelima pandangan ini acapkali
dikelompokkan menjadi dua kategori umum, yakni tradisionalme dan
behavioralisme. Ilmu politik tradisionalisme memandang gejala politik
dari segi normatif, dan menganggap tugas ilmu politik untuk memahami
dan memberikan gejala politik, bukan menjelaskan apalagi memperkirakan
apa yang akan terjadi. Ilmu politik tradisional melihat politik sebagai
perwujudan tujuan masyarakat-negara. Termasuk ilmu politik tradisional
dalam hal ini berupa pandangan klasik dan pandangan kelembagaan.
Behavioralisme memandang politik dari segi apa adanya (what it
is) yang berupaya menjelaskan mengapa gejala politik tertentu terjadi,
kalau mungkin juga memperkirakan gejala politik apa yang akan terjadi.
Behavioralisme memandang politik sebagai kegiatan (perilaku), yang
berawal dari asumsi terdapat keajegan atau pola dalam perilaku manusia.
Oleh karena itu, politik sebagai pola perilaku dapat dijelaskan dan
diperkirakan. Termasuk behavioralisme dalam hal ini berupa pandangan
kekuasaan, pandangan konflik, dan pandangan fungsionalisme.
4. Pendekatan-pendekatan dalam Politik
Didalam ilmu politik terdapat enam macam pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Legal/institusional
Negara menjadi fokus utama dalam pendekatan ini, terutama pada aspek
yuridis dan konstitusional. Pada pendekatan ini Negara menjadi fokus utama,
terutama konstitusional dan yurisidisnya. Pendekatan Legal/Rasional menjelaskan
mengenai sifat dari undang-undang dasar, masalah kedaulatan, kedudukan dan
kekuasaan formal serta yuridis dari lembaga-lembaga kenegaraan seperti
parlemen, badan eksekutif, dan badan yudikatif. Pendekatan ini sering disebut
sebagai pendekatan Tradisional. Pendekatan tradisional mencakup unsur illegal
maupun unsur institusional.
Pendekatan Legal/Rasional lebih sering bersifat normatif dengan
mengasumsikan norma-norma demokrasi baratserta Negara lebih di tafsirkan
2) Negara kurang maju dapat menjadi pasar untuk hasil produksi Negara maju.
Pendekatan ini berpendapat bahwa gejala ini sudah menjadi gejala seluruh
dunia. Pendekatan ketergantungan juga memandang akibat dari dominasi ekonomi
yang mana dapat dilihat dari membumbungnya hutang dan kesenjangan sosial.
5. Pandangan Pilihan Rasional
Pendekatan ini muncul dan berkembang setelah pertentangan anatara
pendekatan-pendekatan sebelumnya. Inti dari politik menurut pendekatan ini
adalah individu sebagai aktor terpenting dalam dunia politik. Sebagai mahkluk
rasional mereka selalu memiliki tujuan tersendiri. Pelaku rasional ini terutama
politisi, birokrat, pemilih, dan aktor ekonomi, pada dasrnya egois dan segalanya
tindakannya berdasarkan kecenderungan ini. Dasar dari pendekatan ini adalah :
1) Tindakan manusia adalah instrument agar perilaku manusia dapat dijelaskan
sebagai usaha untuk mencapai suatu tujuan yang sedikit banyak jarak jauh.
2) Para aktor merumuskan perilakunya melalui perhitungan rasional mengenai
aksi mana yang akan memaksimalkan keuntungannya.
3) Proses sosial berkala besar termasuk hal-hal seperti ratings, institusi dan
praktik-praktik merupakan hasil dari kalkulasi seperti itu.
6. Pandangan Institusional Baru
Institusionalisme baru melihat institusi Negara sebagi hal yang dapat
diperbaiki kearah tujuan tertentu. Pendekatan ini sebenarnya dipicu oleh
pendekatan behavioralis yang melihat politik dari kebijakan public sebagai hasil
dari perilaku dari kelompok besar atau massa, dan pemerintahan sebagai institusi
yang hanya mencerminkan kegiatan massa itu. Bentuk dan sifat dari institusi
tergantung dari aktornya. Ada semacam konsensus bahwa inti dari institusi politik
adalah rules or the game (Aturan main). Institusi tidak hanya merupakan refleksi
dari kekuatan sosial. Institusi seperti pemerintahan, parlemen, parpol, dan
birokrasi. Dapat dikatakan suatu institusi adalah organisasi yang tertata melalui
pola prilaku yang diatur oleh peraturan.
B. Demokrasi
1. Pengertian Demokrasi
Istilah demokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu demos artinya rakyat
dan kratein artinya pemerintah. Secara sederhana, demokrasi berarti pemerintahan
oleh rakyat, dalam hal ini kekuasaan tertinggi berada ditangan rakyat. Menurut
Abraham Lincoln demokrasi secara sederhana berarti pemerintahan dari rakyat,
oleh rakyat, dan untuk rakyat. Sedangkan menurut Koentjoro Poerbopranoto
demokrasi adalah sebuah sistem dimana rakyat ikut berpartisipasi secara aktif
dalam pemerintahan negara. Dalam pengertian yang lebih kompleks, demokrasi
berarti suatu sistem pemerintahan yang mengabdi kepada kepentingan rakyat
dengan tanpa memandang partisipasi mereka dalam kehidupan politik, sementara
pengisian jabatan-jabatan publik dilakukan dengan dukungan suara rakyat dan
merekan memiliki hak untuk memilih dan dipilih.
Pada masa kini, ketika jumlah penduduk semakin banyak, kita
membutuhkan demokrasi perwakilan untuk memutuskan berbagai persoalan
bersama. Maka dibentuklah pemerintahan dan dewan perwakilan yang dipilih oleh
rakyat. Dengan demikian, lembaga-lembaga tersebut memiliki mandat dari rakyat
untuk menjalankan tugas eksekutif dan legislatif. Karena dipilih dan memperoleh
mandat
dari
rakyat,
maka
merekapun
harus
mempertanggungjawabkan
sendiri.
c. Pemerintahan mayoritas dan perlindungan hak-hak minoritas
Prinsip ini menghendaki adanya keadilan dalam keputusan. Keputusan
yang sesuai dengan kehendak rakyat. Dalam kenyataan, kehendak
rakyat bias berbeda-beda, tidak sama. Dalam hal demikian, berlaku
prinsip majority rule . maksudnya keputusan diambil sesuai kehendak
mayoritas rakyat. Namun, keputusan tersebut hatus menghormati hakhak minoritas (minority rights).
rakyat
tidak
di
selewengkan.
Untuk
itu
terhadap
orang-orang
yang
berpandangan
berbeda.
Suatu negara dapat disebut sebagai negara demokrasi apabila memiliki dua
asas yaitu:
a. Pengakuan Hak Asasi Manusia sebagai penghargaan martabat manusia
Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia diwujudkan dalam tindakantindakan
negara/
terjadi
hubungan
timbal
balik
dan
saling
Budiarjo,2010:107).
Pembatasan
kekuasaan
tersebut
adalah
tampuk
pemerintahan.
Autokrasi
adalah
suatu
bentuk
pemerintahan yang kekuasaan politiknya dipegang oleh satu orang. Istilah ini
diturunkan dari bahasa Yunani autokratr yang secara literal berarti berkuasa
sendiri atau penguasa tunggal.
Autokrasi pada hakikatnya merupakan suatu sistem dimana seorang
raja atau kaisar merupakan penguasa tunggal yang kadang-kadang dianggap
sebagai utusan Tuhan yang tidak boleh dilanggar. Dalam sistem ini kekuasaan
itu mutlak yaitu tidak boleh diganggu gugat oleh siapapun dan seorang
pemimpin itu tidak pernah salah. Salah satu contoh pemerintahan yang
Autokrasi ini dapat kita lihat pada pemerintahan di Rusia pada abad 18-19.
Pada masa itu Rusia dipimpin oleh Tsar (kaisar) yang punya kekuasaan penuh
dan tidak ada prinsip check and balance antara pemimpin dan parlemen
karena parlemen harus tunduk pada Tsar.
Perkembangan sistem Autokrasi ini lama-kelamaan ditentang oleh
berbagai pihak karena sistem ini jauh dari kata keadilan dan berpeluang
munculnya Otoriterisme dan diktator yang ditandai dengan Infrastruktur dan
fasilitas dikendalikan oleh satu orang, aturan datang dari satu orang,
kekuasaan seolah-olah hanya milik raja, tidak boleh menentang raja,
kekuasaan tidak terbatas dsb. Oleh karena itu maka munculah sistem
Aristokrasi atau bentuk pemerintahan yang dipegang oleh kaum yang paling
baik yaitu kaum bangsawan.
b. Perubahan Bentuk Pemerintahan Aristokrasi ke Demokrasi
Indonesia
Konstitusional
Sistem parlementer
yang
(1945-1959),
mulai
berlaku
Masa
Demokrasi
sebulan
sesudah
yang berkisar pada satu atau dua partai besar dengan beberapa partai kecil.
Koalisi ternyata kurang mantap dan partai-partai dalam koalisi tidak
segan-segan untuk menarik dukungannya sewaktu-waktu sehingga kabinet
seringkali jatuh karena keretakan dalam koalisi sendiri. Dilain pihak
partai-partai dalam barisan oposisi tidak mampu berperan sebagai oposisi
yang konstruktif yang menyusun program-program alternatif, tetapi hanya
menonjolkan segi-segi negatif dari tugas oposisi. Umumnya kabinet dalam
masa pra peralihan umum yang diadakan pada tahun 1955 tidak dapat
bertahan lebih lama dari rata-rata delapan bulan, dan hal ini menghambat
perkembangan ekonomi dan politik oleh karena pemerintah tidak
mendapat kesempatan untuk melaksanakan programnya.
Faktor-faktor semacam in, ditambah dengan tidak adnya anggota
partai-partai yang tergabung dalam konstituante untuk mencapai
konsensus mengenai dasar negara untuk undang-undang dasar baru,
mendorong Ir. Soekarno sebagai presiden untuk mengeluarkan Dekrit
Presiden 5 Juli yang menentukan berlakunya kembali Undang-Undang
dasar 1945. Dengan demikian masa demokrasi berdasarkan sistem
parlementer berakhir.
2. Masa Republik Indonesia II (1959-1965): Masa Demokrasi Terpimpin.
Dekrit Presiden 5 Juli dapat dipandang sebagai suatu usaha untuk
mencari jalan keluar dari kemacetan politik melalui pembentukan
kepemimpinan yang kuat. UUD 1945 membuka kesempatan bagi seorang
presiden untuk bertahan selama sekurang-kurangnya lima tahun. Akan
tetapi ketetapan MPRS No. III/1963 yang mengangkat Ir. Soekarno
sebagai presiden seumur hidup telah membatalkan pembatasan waktu lima
tahun ini yang ditentukan oleh UUD. Tindakan menyimpang lainnya yaitu
pada tahun 1960 Ir. Soekarno membubarkan DPR hasil pemilihan umum,
padahal dalam penjelasan UUD 1945 secara eksplisit ditentukan bahwa
presiden tidak mempunyai wewenang untuk berbuat demikian.
Selain itu terjadi penyelewengan di bidang perundang-undangan
dimana pelbagai tindakan pemerintah dilaksanakan melalui Penetapan
Presiden yang memakai Dekrit 5 Juli sebagai sumber hukum. Tambahan
pula didirikan badan-badan ekstra konstitusional seperti Front Nasional
yang ternyata dipakai oleh pihak komunis sebagai arena kegiatan, sesuai
sebagai
pemenang dalam pemilu sehingga Golkar dan Orde baru dapat terus
berkuasa. Masa Republik Indonesia III menunjukkan keberhasilan dalam
penyelenggaraan pemilu. Namun nilai-nilai demokrasi tidak diberlakukan
karena tidak ada kebebasan memilih bagipara pemilih dan tidak ada
kesempatan yang sama bagi ketiga organisasi partai pemilu untuk
memenangkan pemilu.
Keberhasilan pemerintahan presiden Soeharto untuk menjadikan
Indonesia swasembada beras pada pertengahan dasawarsa 1980-an dan
pembangunan ekonomi pada masa-masa setelah itu ternyata tidak diikuti
dengan kemampuan untuk memberantas korupsi.
KKN berkembang
diperkuat,
Dapat
dikatakan
bahwa
demokratisasi
telah
berhasil
Daftar Pustaka
Surbakti,Ramlan.2010.Memahami Ilmu Politik. Jakarta : PT.Gramedia Widiasarana Indonesia
Budiardjo, Miriam. 2008. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama
Data
Studi.
2011.
Proses
Demokrasi
Menuju
Masyarakat
Madani.
Melalui
2013.
Ciri-ciri
Pemerintan
demokrasi.
Melalui
https://amanahtp.