Anda di halaman 1dari 19

Media informasi mengenai penyakit dan penatalaksanaannya, artikel-artikel

kedokteran, jurnal kedokteran serta teknologi kedokteran terbaru.


Selasa, 22 Mei 2012

Tinea Pedis

I.

PENDAHULUAN

Istilah dermatofitosis harus dibedakan dengan dermatomikosis. Dermatofitosis


adalah penyakit pada jaringan yang mengandung zat tanduk atau stratum korneum
pada lapisan epidermis di kulit, rambut dan kuku yang disebabkan oleh golongan
jamur dermatofita. Dermatomikosis merupakan arti umum, yaitu semua penyakit
jamur yang menyerang kulit.(1)
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari
dan telapak kaki sedangkan yang terdapat pada bagian dorsal pedis dianggap
sebagai tinea korporis. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari kaki karena
bersepatu dan berkaos kaki disertai daerah tropis yang lembab mengakibatkan
pertumbuhan jamur makin subur. Efek ini lebih nyata pada sela jari kaki keempat
dan kelima, dan lokasi ini paling sering terkena. Kenyataaannya, tinea pedis jarang
ditemukan pada populasi yang tidak menggunakan sepatu. Sinonim dari tinea pedis
adalah foot ringworm, athlete foot, foot mycosis. (2,3)

II.

EPIDEMIOLOGI

Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering
terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19
sehubungan dengan penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini
dipengaruhi oleh perjalanan orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris
dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan migrasi penduduk selama
perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi bahwa area endemik spesies ini
bermula di Asia Tenggara. (2)
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari
nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit

yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara
menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar
15-30% dan pada beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh
tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim
tropis dan sedang. (2,3,5)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama
pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi
berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan
fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih
cenderung terinfeksi. (2-4)

III.

ETIOLOGI

Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.(22) T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering
menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte
seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang sedangkan E.
floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas. (1-4)

IV.

PATOGENESIS

Jamur superfisial harus menghadapi beberapa kendala saat menginvasi jaringan


keratin. Jamur harus tahan terhadap efek sinar ultraviolet, variasi suhu dan
kelembaban, persaingan dengan flora normal, asam lemak fungistatik dan
sphingosines yang diproduksi oleh keratinosit. Setelah proses adheren, spora harus
tumbuh dan menembus stratum korneum dengan kecepatan lebih cepat daripada
proses proses deskuamasi. Proses penetrasi ini dilakukan melalui sekresi
proteinase, lipase, dan enzim musinolitik, yang juga memberikan nutrisi. Trauma
dan maserasi juga membantu terjadinya penetrasi. Mekanisme pertahanan baru
muncul setelah lapisan epidermis yang lebih dalam telah dicapai, termasuk
kompetisi dengan zat besi oleh transferin tidak tersaturasi dan juga penghambatan
pertumbuhan jamur oleh progesteron. Di tingkat ini, derajat peradangan sangat
tergantung pada aktivasi sistem kekebalan tubuh. (4)
Keadaan basah dan hangat dalam sepatu memainkan peran penting dalam
pertumbuhan jamur. Selain itu hiperhidrosis, akrosianosis dan maserasi sela jari
merupakan faktor predisposisi timbulnya infeksi jamur pada kulit. Sekitar 60-80%
dari seluruh penderita dengan gangguan sirkulasi (arteri dan vena) kronik akibat
onikomikosis dan/atau tinea pedis. Jamur penyebab ada di mana-mana dan

sporanya tetap patogenik selama berbulan-bulan di lingkungan sekitar manusia


seperti sepatu, kolam renang, gedung olahraga, kamar mandi dan karpet. (2)
Bukti eksperimen menunjukkan bahwa pentingnya faktor maserasi pada
infeksi dermatofita sela jari. Keadaan basah tersebut menunjang pertumbuhan
jamur dan merusak stratum korneum pada saat yang bersamaan. Peningkatan flora
bakteri secara serentak mungkin dan bisa juga memainkan peran. Terdapat bukti
tambahan bahwa selama beberapa episode simtomatik pada tinea pedis kronik,
bakteri seperti coryneform bisa berperan sebagai ko-patogenesis penting, tetapi
apakah bakteri tersebut membantu memulai infeksi baru masih belum diketahui. (2)

V. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV
dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas
ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini
lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru,
yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.(1) Jika perspirasi berlebihan
(memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan
terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal.(7) Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan
limfadenitis.(1)

Gambar 1 : Tinea pedis tipe interdigiti*

Moccasin foot (plantar)


* Dikutip dari kepustakaan no.10

Tinea pedis tipe moccasin atau Squamous-Hyperkeratotic Type umumnya


bersifat hiperkeratosis yang bersisik dan biasanya asimetris yang disebut foci. (7)
Seluruh kaki, dari telapak, tepi sampai punggung kaki terlihat kulit menebal dan
bersisik; eritema biasanya ringan dan terutama terlihat pada bagian tepi lesi. Di
bagian tepi lesi dapat pula dilihat papul dan kadang-kadang vesikel.(1) Tipe ini
adalah bentuk kronik tinea yang biasanya resisten terhadap pengobatan. (6,21)

Gambar 2 : Tinea pedis pada telapak kaki*

Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang
bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel
tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret.
Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat
terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai
erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.(1,6,7)

Gambar 3: Tinea pedis; vesikel yang meluas ke punggung kaki**


Tipe Ulseratif

Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat
maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat
dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. (3,8)

Gambar 4 : Tinea pedis tipe ulseratif *


* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1.
Pemeriksaan Kalium Hidroksida (KOH) pada kerokan sisik kulit akan terlihat
hifa bersepta. Pemeriksaan ini sangat menunjang diagnosis dermatofitosis. KOH
digunakan untuk mengencerkan jaringan epitel sehingga hifa akan jelas kelihatan di
bawah mikroskop. Kulit dari bagian tepi kelainan sampai dengan bagian sedikit di
luar kelainan sisik kulit dikerok dengan pisau tumpul steril dan diletakkan di atas
gelas kaca, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH dan ditunggu selama 15-20
menit untuk melarutkan jaringan, setelah itu dilakukan pemanasan. Tinea pedis tipe
vesikobulosa, kerokan diambil pada atap bula untuk mendeteksi hifa.(1,8,18)

Gambar 5 : KOH: Tampak hifa dan spora (mikrokonidia)**

* Dikutip dari kepustakaan no. 10


** Dikutip dari kepustakaan no. 16

2. Kultur jamur dapat dilakukan untuk menyokong pemeriksaan dan menentukan


spesis jamur. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanam bahan klinis pada media
buatan.
3.

Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Media agar
ini ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid).(1,8)

Gambar 6 : Trichophyton rubrum; koloni Downy*


4.
Pemeriksaan histopatologi, karakteristik dari tinea pedis atau tinea manum
adalah adanya akantosis, hiperkeratosis dan celah (infiltrasi perivaskuler
superfisialis kronik pada dermis). (8,18)

Gambar 7 : Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis **
5.
* Dikutip dari kepustakaan no. 16
** Dikutip dari kepustakaan no. 22

Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena
banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(20)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%
ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan),
dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu
deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis
menyokong. b) Kultur ditemukan dermatofit. (8,10)

VIII. DIAGNOSIS BANDING


1. Dermatitiskontak
Tinea pedis harus dibedakan dengan dermatitis, yang biasanya batasnya tidak jelas,
bagian tepi tidak lebih aktif daripada bagian tengah. Predileksinya pada bagian
yang kontak dengan dengan sepatu, kaos kaki, bedak kaki dan sebagainya. Adanya
riwayat pengunaan sepatu baru. Tidak ditemukan jamur pada kultur tetapi hanya

tanda-tanda peradangan. Dermatitis kontak akan memberikan tes tempel positif,


sedangkan pada tinea pedis hasilnya negatif. (1,9)

Gambar 4 : Dermatitis kontak*


2.

Pomfolix

* Dikutip dari kepustakaan no. 10

Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-anak, agak kronik,
sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat keluarga yang atopi. Kulit
di dorsum pedis tidak ditemukan jamur.(9)

Gambar 5 : Gambar A dan B merupakan ekzema vesikuler pomfolix pada individu


atopi *

Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(9)

Gambar A menunjukan psoriasis dengan eritrodermi eksfoliatif . Gambar B


menunjukkan hiperkeratotik psoriasis yang simetri**.

Hiperhidrosis pada kaki


Lesi dapat memburuk dan berwarna putih, erosi disertai maserasi pada telapak kaki
dan bau yang sangat busuk. (9)
* Dikutip dari kepustakaan no. 10
** Dikutip dari kepustakaan no. 10

IX.

PENATALAKSANAAN DAN PENCEGAHAN

Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (3,4)
Tipe
Organisme Penyebab
Gejala Klinis
Pengobatan
Moccasin
Trichophyton rubrum

Epidermophyton floccosum
Scytalidium hyalinum
S. dimidiatum
Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada
umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi
Cell Mediated Immunity (CMI)
Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan
asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan dengan
obat-obatan oral
Interdigital
T. mentagrophytes
(var. interdigitale)
T. rubrum
E. floccosum
S. hyalinum
S. dimidiatum
Candida spp.
Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela
jari kaki,
Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian
antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %
Inflamasi / Vesikobulosa
T. mentagrophytes
(var. mentagrophytes)
Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit
Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan
berat maka indikasi pemberian glukokortikoid
Ulseratif

T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien
diabetes
Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder

A.

ANTIFUNGAL TOPIKAL

Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak
alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (3)
a.
Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.
(11,18)
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan
Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang
mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4
minggu.
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.(11,18)

c. Piridones Topikal merupakan antifungal yang bersifat spektrum luas dengan


antidermatofit, antibakteri dan antijamur sehingga dapat digunakan dalam berbagai
jenis jamur.(11,18)
Sikolopiroksolamin. Pengunaan kliniknya untuk dermatofitosis, kandidiasis dan
tinea versikolor. Sikolopiroksolamin tersedia dalam bentuk krim 1 % yang dioleskan
pada lesi 2 kali sehari. Reaksi iritatif dapat terjadi walaupun jarang terjadi.
d. Alilamin Topikal. Efektif terhadap berbagai jenis jamur. Obat ini juga berguna
pada tinea pedis yang sifatnya berulang (seperi hiperkeratotik kronik). (11)
Terbinafine (Lamisil), menurunkan sintesis ergosterol, yang mengakibatkan
kematian sel jamur. Jangka waktu pengobatan 1 sampai 4 minggu. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan bahwa terbinafine 1% memiliki keefektifan yang sama
dengan terbinafine 10% dalam mengobati tine pedis namun dalam dosis yang lebih
kecil dan lebih aman. (17)
e. Antijamur Topikal Lainnya. (11,18)
Asam benzoat dan asam salisilat. Kombinasi asam benzoat dan asam salisilat
dalam perbandingan 2 : 1 (biasanya 6 % dan 3 %) ini dikenal sebagai salep
Whitfield. Asam benzoat memberikan efek fungistatik sedangkan asam salisilat
memberikan efek keratolitik. Asam benzoat hanya bersifat fungistatik maka
penyembuhan baru tercapai setelah lapisan tanduk yang menderita infeksi
terkelupas seluruhnya. Dapat terjadi iritasi ringan pada tempat pemakaian, juga ada
keluhan yang kurang menyenangkan dari para pemakainya karena salep ini
berlemak.
Asam Undesilenat. Dosis dari asam ini hanya menimbulkan efek fungistatik
tetapi dalam dosis tinggi dan pemakaian yang lama dapat memberikan efek
fungisidal. Obat ini tersedia dalam bentuk salep campuran yang mengangung 5 %
undesilenat dan 20% seng undesilenat.
Haloprogin. Haloprogin merupakan suatu antijamur sintetik, berbentuk kristal
kekuningan, sukar larut dalam air tetapi larut dalam alkohol. Haloprogin tersedia
dalam bentuk krim dan larutan dengan kadar 1 %.

B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan.
Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang dewasa

dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang
dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita.
Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping
dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia
yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan
traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari
2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan
sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan
lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan
jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis
ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur.
Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur
biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari.
Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di
usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea
(dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea
pedis tipe moccasion. (1,11,12)
4.
Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal
di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya
ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya
setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan
dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1)
Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya
kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis
dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.
(15,19)

C.

PENCEGAHAN

Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap
dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik,
sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci
dengan benzoil peroksidase. (4,12)

X.

KOMPLIKASI

1.
Selulitis. Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan
selulitis. Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan
infeksi bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi
sekunder pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan
penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi
maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi
tempat masuknya bakteri pathogen seperti -hemolytic streptococci (group A, B C,
F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram
negatif.(4,12) Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik.
Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka
digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa
ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. (14)
2.
Tinea Ungium. Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku
dan biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T.
rubrum merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal,
pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur
tersebut. (12)
3.
Dermatofid. Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu
penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini
dapat menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris
dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi
tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal.
(12,13) Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik,
imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan
profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.(4,12)

XI. PROGNOSIS

Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus
yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan
pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat
terkena reinfeksi.(3,8)

XII. KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari
dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan
jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari
kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang
lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea
pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T. interdigitale,
T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot,
lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan adanya hifa
double counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis
kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan
disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal
topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi
penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu
menjaga agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang
lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama

DAFTAR PUSTAKA
1.
Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.

2.
Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J
Clin Microbiol 2000;38:3226-30.

3.
Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.

4.
Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections:
dermatophytosis, onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ,
Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p.

5.
Hapcioglu B, Yegenoglu Y, Disci R, Erturan Z, Kaymakcalan H. Epidemiology of
superficial mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in
Istanbul, Turkey. Coll Antropol 2006;1:119-24.

6.
Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.
London: Mosby; 2004. p. 409-456.

7.
Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin:
Springer Verlag; 1991. p. 227-8.

8.
Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.

9.
Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser manual of the skin.
8th ed. US: Mosby; 2000. p. 244-47.

10. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford;
2005. p. 65-6.

11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI; 2004. p. 560-70.

12. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the
practicing allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy 2004;2:5.

13. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common tinea
infections.
[Online]. 2000 July [cited 2010 June 2]; Available from: URL:
http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html

14. Swartz MN. Cellulitis. Clin Practise 2004; 350:904-12.

15. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with
terbinafine: a double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol
1990;23:804-7

16. Burns T, Breathnec S, Cox N, Griffiths C. Rooks textbook of dermatology


volume 1-4. 7th ed. UK: Blackweel; 2004. p. 31.32-34.

17. Chauvin MFd, Vallanette VC, Kienzler JL, Larnier C. Novel, single-dose, topical
treatment of tinea pedis using terbinafine: result of a dose-finding clinical trial. Orig
Article 2007;51:1-6.

18. Weinstein A, Berman B. Topical treatment of common superficial tinea


infections. Am Fam Physic 2002;65:2095-102.

19. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I. Oral
treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002 Apr 22 [cited
2010 May 28]; Available from: URL:
http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html

20. Hainer BL. Dermatophyte infections. Am Fam Physic 2003;67:101-8.

21. Rippon JW. Medical Mycology: the pathogenicfungi and the pathogenic
actinomycetes. 3rd ed. WB Saunders Company: Filadelphia; 1988. p. 218-24.

22. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary: define your skin. [Online]. 2005 Nov
28 [cited 2010 June 8]; Available from: URL: http://www.chrisburley.com/

Kirimkan Ini lewat Email


BlogThis!
Berbagi ke Twitter
Berbagi ke Facebook
Bagikan ke Pinterest
Label: kulit, referat
Reaksi:
6 komentar:

teddy enik26 November 2012 07.53


mau tanya saya sebagai orang awam apakah tinea pedis sama degan kaki pecah2
ya

Balas

Ali Robikun17 Februari 2013 22.45


mau tanya nieh dok, apakah saya terkena tinea pedis ya? soalnya telapak kaki &
tangan saya kering dan kaki saya sering sensitif gitu klw kena air hujan, trus kaki
saya klw pas lagi kumat ngeluarin cairan bening disertai nanah. dan langsung
infeksi. mohon penjelasannya, terima kasih. dan apa yg harus saya lakukan,

Balas

Mentari Nini23 Januari 2014 14.42


Saya g sembuh sembuh. Frustasi

Balas

Mentari Nini23 Januari 2014 14.45


Saya g sembuh sembuh. Frustasi

Balas

Anonim20 Juni 2014 23.48


laptop test
Definitely believe that which you stated. Your favorite reason appeared to be on the
net the easiest thing to be aware of.
I say to you, I definitely get irked while people consider worries that they
just don't know about. You managed to hit the nail upon the top as
well as defined out the whole thing without having side effect , people can take a
signal.
Will probably be back to get more. Thanksnotebook test

Check out my blog post ... gesundheitsschaedlich

Balas

Anonim8 September 2014 08.48

bahasanya dipermudah bisa? ga perlu pake bahasa njlimet.. langsung cara


mengatasinya

Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...

Posting Lebih Baru Posting Lama Beranda


Langganan: Poskan Komentar (Atom)
Daily Calendar

Anda mungkin juga menyukai