Tinea Pedis
I.
PENDAHULUAN
II.
EPIDEMIOLOGI
Tinea pedis terdapat di seluruh dunia sebagai dermatofitosis yang paling sering
terjadi. Meningkatnya insidensi tinea pedis mulai pada akhir abad ke-19
sehubungan dengan penyebaran Trichophytonrubrum ke Eropa dan Amerika. Hal ini
dipengaruhi oleh perjalanan orang keliling dunia, pendudukan koloni oleh Inggris
dan Perancis pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 dan migrasi penduduk selama
perang dunia kedua. Beberapa penulis berspekulasi bahwa area endemik spesies ini
bermula di Asia Tenggara. (2)
Tingkat prevalensi tinea pedis secara nyata diketahui karena pasien tidak mencari
nasihat medis kecuali kualitas hidup mereka dipengaruhi, karena ini bukan penyakit
yang mengancam jiwa. Diperkirakan 10% dari jumlah penduduk di banyak negara
menderita penyakit ini. Frekuensi tinea pedis di Eropa dan Amerika Utara berkisar
15-30% dan pada beberapa masyarakat tertentu lebih tinggi, misalnya buruh
tambang (sampai 70%) dan atlit. Tinea pedis lazim ditemukan pada daerah beriklim
tropis dan sedang. (2,3,5)
Tinea pedis lebih sering terjadi pada usia dewasa daripada anak remaja terutama
pada laki-laki dan jarang pada perempuan dan anak-anak. Kemungkinan infeksi
berkaitan dengan paparan ulangan dermatofita sehingga orang yang menggunakan
fasilitas mandi umum seperti pancuran, kolam renang, kamar mandi lebih
cenderung terinfeksi. (2-4)
III.
ETIOLOGI
Jamur penyebab tinea pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling
sering), T. interdigitale, T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton
floccosum.(22) T. rubrum lazimnya menyebabkan lesi yang hiperkeratotik, kering
menyerupai bentuk sepatu sandal (mocassinlike) pada kaki; T. mentagrophyte
seringkali menimbulkan lesi yang vesikular dan lebih meradang sedangkan E.
floccosum bisa menyebabkan salah satu diantara dua pola lesi diatas. (1-4)
IV.
PATOGENESIS
V. GAMBARAN KLINIS
Gambaran klinis dari tinea pedis dapat dibedakan berdasarkan tipe:
Interdigitalis
Bentuk ini adalah yang tersering terjadi pada pasien tinea pedis. Di antara jari IV
dan V terlihat fisura yang dilingkari sisik halus dan tipis. Kelainan ini dapat meluas
ke bawah jari (subdigital) dan juga ke sela jari yang lain. Oleh karena daerah ini
lembab, maka sering terdapat maserasi. Aspek klinis maserasi berupa kulit putih
dan rapuh. Bila bagian kulit yang mati ini dibersihkan, maka akan terlihat kulit baru,
yang pada umumnya juga telah diserang oleh jamur.(1) Jika perspirasi berlebihan
(memakai sepatu karet/boot, mobil yang terlalu panas) maka inflamasi akut akan
terjadi sehingga pasien terasa sangat gatal.(7) Bentuk klinis ini dapat berlangsung
bertahun-tahun dengan menimbulkan sedikit keluhan sama sekali. Kelainan ini
dapat disertai infeksi sekunder oleh bakteri sehingga terjadi selulitis, limfangitis dan
limfadenitis.(1)
Lesi Vesikobulosa
Bentuk ini adalah subakut yang terlihat vesikel, vesiko-pustul dan kadang-kadang
bula yang terisi cairan jernih. Kelainan ini dapat mulai pada daerah sela jari,
kemudian meluas ke punggung kaki atau telapak kaki. Setelah pecah, vesikel
tersebut meninggalkan sisik yang berbentuk lingkaran yang disebut koleret.
Keadaan tersebut menimbulkan gatal yang sangat hebat. Infeksi sekunder dapat
terjadi juga pada bentuk selulitis, limfangitis dan kadang-kadang menyerupai
erisipelas. Jamur juga didapati pada atap vesikel.(1,6,7)
Tipe ini merupakan penyebaran dari tipe interdigiti yang meluas ke dermis akibat
maserasi dan infeksi sekunder (bakteri); ulkus dan erosi pada sela-sela jari; dapat
dilihat pada pasien yang imunokompromais dan pasien diabetes. (3,8)
Yang dianggap paling baik adalah medium agar dekstrosa Sabouraud. Media agar
ini ditambahkan dengan antibiotik (kloramfenikol atau sikloheksimid).(1,8)
Gambar 7 : Gambaran histopatologi dari tinea pedis; hifa pada lapisan superfisial
dari epidermis **
5.
* Dikutip dari kepustakaan no. 16
** Dikutip dari kepustakaan no. 22
Pemeriksaan lampu Wood pada tinea pedis umumnya tidak terlalu bermakna karena
banyak dermatofita tidak menunjukkan fluoresensi kecuali pada tinea kapitis yang
disebabkan oleh Microsporum sp. Pemeriksaan ini dilakukan sebelum kulit di daerah
tersebut dikerok untuk mengetahui lebih jelas daerah yang terinfeksi.(20)
VII. DIAGNOSIS
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis dan gejala klinis khas.
Pemeriksaaan laboratorium berupa a) Pemeriksaan langsung dengan KOH 10-20%
ditemukan hifa yaitu double conture (dua garis lurus sejajar dan transparan),
dikotomi (bercabang dua) dan bersepta. Selain itu di dapatkan artrokonidia yaitu
deretan spora di ujung hifa. Hasil KOH (-) tidak menyingkirkan diagnosis bila klinis
menyokong. b) Kultur ditemukan dermatofit. (8,10)
Pomfolix
Pomfolix umumnya terjadi pada dorsum jari-jari kaki pada anak-anak, agak kronik,
sering pada musim dingin, sangat gatal dan ada riwayat keluarga yang atopi. Kulit
di dorsum pedis tidak ditemukan jamur.(9)
Psoriasis
Mengenai telapak kaki; jarang terdapat pustul, menebal, lesi yang batas jelas;
psoriasis dapat ditemukan pada bagian tubuh yang lain dan pada psoriasis terdapat
fenomena tetesan lilin, Auspitz dan Kobner. Tidak didapatkan jamur pada
pemeriksaan kulit.(9)
IX.
Secara umum penatalaksanaan tinea pedis didasarkan atas klasifikasi dan tipenya
Tabel 1. Klasifikasi jenis Tinea Pedis dan pengobatannya (3,4)
Tipe
Organisme Penyebab
Gejala Klinis
Pengobatan
Moccasin
Trichophyton rubrum
Epidermophyton floccosum
Scytalidium hyalinum
S. dimidiatum
Hiperkeratosis yang difus, eritema dan retakan pada permukaan telapak kaki; pada
umumnya sifatnya kronik dan sulit disembuhkan; berhubungan dengan defisiensi
Cell Mediated Immunity (CMI)
Antifungal topikal disertai dengan obat-obatan keratolitik asam salisilat, urea dan
asam laktat untuk mengurangi hiperkeratosis; dapat juga ditambahkan dengan
obat-obatan oral
Interdigital
T. mentagrophytes
(var. interdigitale)
T. rubrum
E. floccosum
S. hyalinum
S. dimidiatum
Candida spp.
Tipe yang paling sering; eritema, krusta dan maserasi yang terjadi pada sela-sela
jari kaki,
Obat-obatan topikal; bisa juga menggunakan obat-obatan oral dan pemberian
antibiotik jika terdapat infeksi bakteri; kronik : ammonium klorida hexahidrate 20 %
Inflamasi / Vesikobulosa
T. mentagrophytes
(var. mentagrophytes)
Vesikel dan bula pada pertengahan kaki; berhubungan dengan reaksi dermatofit
Obat-obatan topikal biasanya cukup pada fase akut, namun apabila dalam keadaan
berat maka indikasi pemberian glukokortikoid
Ulseratif
T. rubrum
T. mentagrophytes
E. floccosum
Eksaserbasi pada daerah interdigital; Ulserasi dan erosi; biasanya terdapat infeksi
sekunder oleh bakteri; biasanya terdapat pada pasien imunokompromais dan pasien
diabetes
Obat-obatan topikal; antibiotik digunakan apabila terdapat infeksi sekunder
A.
ANTIFUNGAL TOPIKAL
Obat topikal digunakan untuk mengobati penyakit jamur yang terlokalisir. Efek
samping dari obat-obatan ini sangat minimal, biasanya terjadi dermatitis kontak
alergi, yang biasanya terbuat dari alkohol atau komponen yang lain. (3)
a.
Imidazol Topikal. Efektif untuk semua jenis tinea pedis tetapi lebih cocok pada
pengobatan tinea pedis interdigitalis karena efektif pada dermatofit dan kandida.
(11,18)
Klotrimazole 1 %. Antifungal yang berspektrum luas dengan menghambat
pertumbuhan bentuk yeast jamur. Obat dioleskan dua kali sehari dan diberikan
sampai waktu 2-4 minggu. Efek samping obat ini dapat terjadi rasa terbakar,
eritema, edema dan gatal.
Ketokonazole 2 % krim merupakan antifungal berspektrum luas golongan
Imidazol; menghambat sintesis ergosterol, menyebabkan komponen sel yang
mengecil hingga menyebabkan kematian sel jamur. Obat diberikan selama 2-4
minggu.
Mikonazol krim, bekerja merusak membran sel jamur dengan menghambat
biosintesis ergosterol sehingga permeabilitas sel meningkat yang menyebabkan
keluarnya zat nutrisi jamur hingga berakibat pada kematian sel jamur. Lotion 2 %
bekerja pada daerah-daerah intertriginosa. Pengobatan umumnya dalam jangka
waktu 2-6 minggu.
b. Tolnaftat 1% merupakan suatu tiokarbamat yang efektif untuk sebagian besar
dermatofitosis tapi tidak efektif terhadap kandida. Digunakan secara lokal 2-3 kali
sehari. Rasa gatal akan hilang dalam 24-72 jam. Lesi interdigital oleh jamur yang
rentan dapat sembuh antara 7-21 hari. Pada lesi dengan hiperkeratosis, tolnaftat
sebaiknya diberikan bergantian dengan salep asam salisilat 10 %.(11,18)
B. ANTIFUNGAL SISTEMIK
Pemberian antifungal oral dilakukan setelah pengobatan topikal gagal dilakukan.
Secara umum, dermatofitosis pada umumnya dapat diatasi dengan pemberian
beberapa obat antifungal di bawah ini antara lain :
1. Griseofulvin merupakan obat yang bersifat fungistatik. Griseofulvin dalam
bentuk partikel utuh dapat diberikan dengan dosis 0,5 1 g untuk orang dewasa
dan 0,25 - 0,5 g untuk anak-anak sehari atau 10-25 mg/kg BB. Lama pengobatan
bergantung pada lokasi penyakit, penyebab penyakit, dan imunitas penderita.
Setelah sembuh klinis dilanjutkan 2 minggu agar tidak residif. Dosis harian yang
dianjurkan dibagi menjadi 4 kali sehari. Di dalam klinik cara pemberian dengan
dosis tunggal harian memberi hasil yang cukup baik pada sebagian besar penderita.
Griseofulvin diteruskan selama 2 minggu setelah penyembuhan klinis. Efek samping
dari griseofulvin jarang dijumpai, yang merupakan keluhan utama ialah sefalgia
yang didapati pada 15 % penderita. Efek samping yang lain dapat berupa gangguan
traktus digestivus yaitu nausea, vomitus dan diare. Obat tersebut juga dapat
bersifat fotosensitif dan dapat mengganggu fungsi hepar.(1)
2. Ketokonazole. Obat per oral, yang juga efektif untuk dermatofitosis yaitu
ketokonazole yang bersifat fungistatik. Kasus-kasus yang resisten terhadap
griseofulvin dapat diberikan obat tersebut sebanyak 200 mg per hari selama 10 hari
2 minggu pada pagi hari setelah makan. Ketokonazole merupakan kontraindikasi
untuk penderita kelainan hepar.(1)
3. Itrakonazole. Itrakonazole merupakan suatu antifungal yangdapat digunakan
sebagai pengganti ketokonazole yang bersifat hepatotoksik terutama bila diberikan
lebih dari sepuluh hari. Itrakonazole berfungsi dalam menghambat pertumbuhan
jamur dengan mengahambat sitokorm P-45 yang dibutuhkan dalam sintesis
ergosterol yang merupakan komponen penting dalam sela membran jamur.
Pemberian obat tersebut untuk penyakit kulit dan selaput lendir oleh penyakit jamur
biasanya cukup 2 x 100-200 mg sehari dalam selaput kapsul selama 3 hari.
Interaksi dengan obat lain seperti antasida (dapat memperlambat reabsorpsi di
usus), amilodipin, nifedipin (dapat menimbulkan terjadinya edema), sulfonilurea
(dapat meningkatkan resiko hipoglikemia). Itrakonazole diindikasikan pada tinea
pedis tipe moccasion. (1,11,12)
4.
Terbinafin. Terbinafin berfungsi sebagai fungisidal juga dapat diberikan sebagai
pengganti griseofulvin selama 2-3 minggu, dosisnya 62,5 mg 250 mg sehari
bergantung berat badan. Mekanisme sebagai antifungal yaitu menghambat
epoksidase sehingga sintesis ergosterol menurun. Efek samping terbinafin
ditemukan pada kira-kira 10 % penderita, yang tersering gangguan gastrointestinal
di antaranya nausea, vomitus, nyeri lambung, diare dan konstipasi yang umumnya
ringan. Efek samping lainnya dapat berupa gangguan pengecapan dengan
presentasinya yang kecil. Rasa pengecapan hilang sebagian atau seluruhnya
setelah beberapa minggu makan obat dan bersifat sementara. Sefalgia ringan
dapat pula terjadi. Gangguan fungsi hepar dilaporkan pada 3,3 % - 7 % kasus.(1)
Terbinafin baik digunakan pada pasien tinea pedis tipe moccasion yang sifatnya
kronik. Pada suatu penelitian ternyata ditemukan bahwa pengobatan tinea pedis
dengan terbinafine lebih efektif dibandingkan dengan pengobatan griseofulvin.
(15,19)
C.
PENCEGAHAN
Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu menjaga kaki tetap
dalam keadaan kering dan bersih, menghindari lingkungan yang lembab,
menghindari pemakaian sepatu yang terlalu lama, tidak berjalan dengan kaki
telanjang di tempat-tempat umum seperti kolam renang serta menghindari hindari
kontak dengan pasien yang sama. Penularan jamur ini biasanya asimptomatik,
sehingga umumnya tidak terlihat. Eradikasi jamur merupakan suatu hal yang sulit
dan membutuhkan proses yang panjang. Setelah mandi sebaiknya kaki dicuci
dengan benzoil peroksidase. (4,12)
X.
KOMPLIKASI
1.
Selulitis. Infeksi tinea pedis, terutama tipe interdigital dapat mengakibatkan
selulitis. Selulitis dapat terjadi pada daerah ektermitas bawah. Selulitis merupakan
infeksi bakteri pada daerah subkutaneus pada kulit sebagai akibat dari infeksi
sekunder pada luka. Faktor predisposisi selulitis adalah trauma, ulserasi dan
penyakit pembuluh darah perifer. Dalam keadaan lembab, kulit akan mudah terjadi
maserasi dan fissura, akibatnya pertahanan kulit menjadi menurun dan menjadi
tempat masuknya bakteri pathogen seperti -hemolytic streptococci (group A, B C,
F, and G), Staphylcoccus aureus, Streptococcus pneumoniae, dan basil gram
negatif.(4,12) Apabila telah terjadi selulitis maka diindikasikan pemberian antibiotik.
Jika terjadi gejala yang sifatnya sistemik seperti demam dan menggigil, maka
digunakan antibiotik secara intravena. Antibiotik yang dapat digunakan berupa
ampisillin, golongan beta laktam ataupun golongan kuinolon. (14)
2.
Tinea Ungium. Tinea ungium merupakan infeksi jamur yang menyerang kuku
dan biasanya dihubungkan dengan tinea pedis. Seperti infeksi pada tinea pedis, T.
rubrum merupakan jamur penyebab tinea ungium. Kuku biasanya tampak menebal,
pecah-pecah, dan tidak berwarna yang merupakan dampak dari infeksi jamur
tersebut. (12)
3.
Dermatofid. Dermatofid juga dikenal sebagai reaksi id, merupakan suatu
penyakit imunologik sekunder tinea pedis dan juga penyakit tinea lainnya. Hal ini
dapat menyebabkan vesikel atau erupsi pustular di daerah infeksi sekitar palmaris
dan jari-jari tangan. Reaksi dermatofid bisa saja timbul asimptomatis dari infeksi
tinea pedis. Reaksi ini akan berkurang setelah penggunaan terapi antifungal.
(12,13) Komplikasi ini biasanya terkena pada pasien dengan edema kronik,
imunosupresi, hemiplegia dan paraplegia, dan juga diabetes. Tanpa perawatan
profilaksis penyakit ini dapat kambuh kembali.(4,12)
XI. PROGNOSIS
Tinea pedis pada umumnya memiliki prognosis yang baik. Beberapa minggu setelah
pengobatan dapat menyembuhkan tinea pedis, baik akut maupun kronik. Kasus
yang lebih berat dapat diobati dengan pengobatan oral. Walaupun dengan
pengobatan yang baik, tetapi bila tidak dilakukan pencegahan maka pasien dapat
terkena reinfeksi.(3,8)
XII. KESIMPULAN
Tinea pedis merupakan infeksi dermatofita pada kaki terutama mengenai sela jari
dan telapak kaki. Penyakit ini lebih sering dijumpai pada laki-laki usia dewasa dan
jarang pada perempuan dan anak-anak. Keadaan lembab dan hangat pada sela jari
kaki karena bersepatu dan berkaos kaki disertai berada di daerah tropis yang
lembab mengakibatkan pertumbuhan jamur makin subur. Jamur penyebab tinea
pedis yang paling umum ialah Trichophyton rubrum (paling sering), T. interdigitale,
T. tonsurans (sering pada anak) dan Epidermophyton floccosum.
Gambaran klinis dapat dibedakan berdasarkan tipe interdigitalis, moccasion foot,
lesi vesikobulosa, dan tipe ulseratif. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan
adalah pemeriksaan KOH dan pemeriksaan lampu Wood dan ditemukan adanya hifa
double counture, dikotomi dan bersepta. Diagnosis banding dapat berupa dermatitis
kontak, pemfolix, psoriasis, dan hiperhidrosis pada kaki. Penatalaksanaan
disesuaikan berdasarkan tipe tinea pedis. Pengobatan dapat berupa antifungal
topikal maupun oral dan apabila ditemukan infeksi sekunder maka indikasi
penggunaan antibiotik. Salah satu pencegahan terhadap reinfeksi tinea pedis yaitu
menjaga agar kaki tetap dalam keadaan kering dan bersih, hindari lingkungan yang
lembab dan pemakaian sepatu yang terlalu lama
DAFTAR PUSTAKA
1.
Unandar B. Mikosis. In. Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit
kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Balai penerbitan FKUI; 2007. p. 89- 104.
2.
Perea S, Ramos MJ, Garau M, Gonzalez A, Noriega AR, Palacio AD. Prevalence
and risk factors of tinea ungium and tinea pedis in the general population in Spain. J
Clin Microbiol 2000;38:3226-30.
3.
Sobera JO, Elewski BE. Fungal diseases. In. Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini RP,
editors. Dermatology volume 1. 2nd ed. US: Mosby Elsevier; 2003. p.
4.
Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. Superficial fungal infections:
dermatophytosis, onychomicosis, tinea nigra, piedra. In. Freedberg IM, Elsen AZ,
Wolf K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI. Fitzpatricks dermatology in general
medicine. 6th ed. New york: McGraw-Hill; 2003. p.
5.
Hapcioglu B, Yegenoglu Y, Disci R, Erturan Z, Kaymakcalan H. Epidemiology of
superficial mycosis (tinea pedis, onychomycosis) in elementary school children in
Istanbul, Turkey. Coll Antropol 2006;1:119-24.
6.
Habif TP. Clinical dermatology: a color guide to diagnosis and therapy. 4th ed.
London: Mosby; 2004. p. 409-456.
7.
Falco OB, Plewig G, Wolff HH, Winkelmann RK. Dermatology. 3rd ed. Berlin:
Springer Verlag; 1991. p. 227-8.
8.
Verma S, Heffernan MP. In. Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller
AS, Leffel DJ, editors. Fitzpatricks dermatology in general medicine. 7th ed. New
York: McGraw-Hill; 2008. p.1807-21.
9.
Hall JC. Dermatology Mycology. In. Hall JC, editor. Sauser manual of the skin.
8th ed. US: Mosby; 2000. p. 244-47.
10. Dawber R, Bristow I, Turner W. Text atlas of podiatric dermatology. UK: Oxford;
2005. p. 65-6.
11. Bahry B, Setiabudy R. Obat jamur. In. Ganiswarna SG, Setiabudi R, Suyatna FD,
Purwantyastuti, Nafrialdi. Farmakologi dan terapi. 4th ed. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI; 2004. p. 560-70.
12. Hasan MA, Fitzgerald SM, Saoudian M, Krishnaswamy G. Dermatology for the
practicing allergist: tinea pedis and its complications. Clin Mol Allergy 2004;2:5.
13. Noble SL, Pharm D, Forbes RC. Diagnosis and management of common tinea
infections.
[Online]. 2000 July [cited 2010 June 2]; Available from: URL:
http://www.aafp.org/afp/980700ap/noble.html
15. Savin RC, Zaias N. Treatment of chronic moccasin-type tinea pedis with
terbinafine: a double-blind, placebo-controlled trial. J Am Acad Dermatol
1990;23:804-7
17. Chauvin MFd, Vallanette VC, Kienzler JL, Larnier C. Novel, single-dose, topical
treatment of tinea pedis using terbinafine: result of a dose-finding clinical trial. Orig
Article 2007;51:1-6.
19. Bell-Syer SEM, Hart R, Crawford F, Torgerson DJ, Tyrrell W, Russell I. Oral
treatments for fungal infections of the skin of the foot. [Online]. 2002 Apr 22 [cited
2010 May 28]; Available from: URL:
http://www2.cochrane.org/reviews/en/ab003584.html
21. Rippon JW. Medical Mycology: the pathogenicfungi and the pathogenic
actinomycetes. 3rd ed. WB Saunders Company: Filadelphia; 1988. p. 218-24.
22. Viklund A, Burley C. Dermatology glossary: define your skin. [Online]. 2005 Nov
28 [cited 2010 June 8]; Available from: URL: http://www.chrisburley.com/
Balas
Balas
Balas
Balas
Balas
Balas
Tambahkan komentar
Muat yang lain...