Anda di halaman 1dari 27

METABOLISME OBAT

I.

II.

Tujuan
Mempelajari pengaruh beberapa senyawa kimia terhadap enzim
pemetabolisme obat dengan mengukur efek farmakologinya
Dasar Teori
Obat yang masuk ke dalam tubuh melalui berbagai cara
pemberian pada umumnya mengalami absorpsi, distribusi dan
pengikatan untuk sampai di tempat kerja dan menimbulkan efek.
Kemudian dengan atau tanpa biotransformasi, obat diekskresikan
dari dalam tubuh.
(Arief,2000)
Biotransformasi atau metabolisme obat ialah proses perubahan
struktur kimia obat yang terjadi di dalam tubuh dan dikatalis oleh
enzim (Syarif,1995).
Metabolisme obat mempunyai dua efek penting.
1. Obat menjadi lebih hidrofilik-hal ini mempercepat ekskresinya
melalui ginjal karena metabolit yang kurang larut lemak tidak
mudah direabsorpsi dalam tubulusginjal.
2. Metabolit umumnya kurang aktif daripada obat asalnya. Akan
tetapi, tidak selalu seperti itu, kadang-kadang metabolit sama
aktifnya (atau lebih aktif) daripada obat asli. Sebagai contoh,
diazepam (obat yang digunakan untuk mengobati ansietas)
dimetabolisme menjadi nordiazepam dan oxazepam, keduanya
aktif. (Neal,2005).
Enzim yang berperan dalam dalam biotransformasi obat dapat
dibedakan berdasarkan letaknya dalam sel, yaitu enzim
mikrosom yang terdapat dalam retikulum endoplasma halus
(yang pada isolasi invitro membentuk kromosom ) dan enzim non
mikrosom. Kedua enzim metabolisme ini terutama terdapat
dalam sel hati, tetapi juga terdapat dalam sel jaringan lain,
misalnya: ginjal, paru-paru, epitel saluran cerna dan plasma. Di
lumen saluran cerna juga terdapat enzim non mikrosom yang
dihasilkan flora usus. Enzim mikrosom mengkatalisis reaksi
glukoronida, sebagian besar reaksi oksidasi obat, serta reksi
reduksi dan hidrolisis. Sedangkan enzim non mikrosom
mengkatalisis reaksi konjugasi lainnya, beberapa reaksi oksidasi,
reaksi reduksi dan hidrolisis (Gordon dan Skett,1991).
Walaupun antara metabolisme dan biotransformasi sering
dibedakan, sebagian ahli mengatakan bahwa istilah metabolisme
hanya diperuntukkan bagi perubahan-perubahan biokimia atau
kimiawi yang dilakukan oleh tubuh terhadap senyawa endogen,
sedangkan biotransformasi adalah peristiwa yang sama bagi
senyawa eksogen (xenobiotika) (Anonim,1999).

Pada dasarnya,tiap obat merupakan zat asing bagi badan yang


tidak diinginkan, maka badan berusaha merombak zat tadi
menjadi metabolit sekaligus bersifat hidrofil agar lebih lancar
diekskresi melalui ginjal. Jadi reaksi biotransformasi adaah
merupakan peristiwa detoksifikasi (Anief,1984).
Obat lebih banyak dirusak di hati meskipun setiap jaringan
mempunyai sejumlah kesanggupan memetabolisme obat.
Kebanyakan biotransformasi metabolik obat terjadi pada titik
tertentu antara absorpsi obat ke dalam sirkulasi sistemik dan
pembuangannya melalui ginjal. Sejumlah kecil transformasi
terjadi di dalam usus atau dinding usus. Umumnya semua reaksi
ini dapat dimasukkan ke dalam dua katagori utama, yaitu reaksi
fase 1 dan fase 2 (Katzung, 1989).

Reaksi Fase I (Fase Non Sintetik).


Reaksi ini meliputi biotransformasi suatu obat menjadi metabolit yang
lebih polar melalui pemasukan atau pembukaan (unmasking) suatu gugus
fungsional (misalnya OH, -NH2, -SH) (Neal,2005). Reksi fase I bertujuan
untuk menyiapkan senyawa yang digunakan untuk metabolisme fase II
dan tidak menyiapkan obat untuk diekskresi. Sistem enzim yang terlibat
pada reksi oksidasi adalah sistem enzim mikrosomal yang disebut juga
sistem Mixed Function Oxidase (MFO) atau sistem monooksigenase.
Komponen utama yang berperan pada sistem MFO adalah sitokrom P450,
yaitu komponen oksidase terminal dari suatu sistem transfer elektron
yang berada dalam retikulum endoplasma yang bertanggung jawab
terhadap reaksi-reaksi oksidasi obat dan digolongkan sebagai enzim yang
mengandung hem (suatu hem protein ) dengan protoperfirin IX sebagai
gugus prostatik (Gordon dan Skett, 1991). Reaksi-reaksi yang termasuk
dalam fase I antara lain:
a) Reaksi Oksidasi
Merupakan reaksi yang paling umum terjadi. Reaksi ini terjadi pada
berbagai molekul menurut proses khusus tergantung pada masingmasing struktur kimianya, yaitu reaksi hidroksilasi pada golongan
alkil, aril, dan heterosiklik; reaksi oksidasi alkohol dan aldehid; reaksi
pembentukan N-oksida dan sulfoksida; reaksi deaminasi oksidatif;
pembukaan inti dan sebagainya(Anonim,1999). Reaksi oksidasi
dibagi menjadi dua, yaitu oksidasi yang melibatkan sitokrom P450

(enzim yang bertanggungjawab terhadap reaksi oksidasi) dan


oksidasi yang tidak melibatkan sitokrom P450.
b) Reaksi Reduksi
(reduksi aldehid, azo dan nitro). Reaksi ini kurang penting dibanding
reaksi oksidasi. Reduksi terutama berperan pada nitrogen dan
turunannya (azoik dan nitrat), kadang-kadang pada karbon.
(Anonim, 1999). Hanya beberapa obat yang mengalami
metabolisme dengan jalan reduksi, baik dalam letak mikrosomal
maupun non mikrosomal
c) Reaksi Hidrolisis (deesterifikasi)
Proses lain yang menghasilkan senyawa yang lebih polar adalah
hidrolisis dari ester dan amida oleh enzim. Esterase yang terletak
baik mikrosomal dan nonmikrosomal akan menghidrolisis obat yang
mengandung gugus ester. Di hepar,lebih banyak terjadi reaksi
hidrolisis dan terkonsentrasi, seperti hidrolisis peptidin oleh suatu
enzim. Esterase non mikrosomal terdapat dalam darah dan
beberapa
jaringan
(Anief,1995).
Reaksi Fase II (Fase sintetik)
Reaksi ini terjadi dalam hati dan melibatkan konjugasi suatu obat
atau metabolit fase I nya dengan zat endogen. Konjugat yang
dihasilkan hampir selalu kurang aktif dan merupakan molekul polar
yang mudah diekskresi oleh ginjal (Neal, 2005). Reaksi konjugasi
bekerja pada berbagai substrat alamnya dengan proses enzimatik
terikat pada gugus reaktif yang telah ada sebelumnya atau
terbentuk pada fase I. reaksi yang terjadi pada fase II ini ini meliputi
konjugasi glukoronidasi, asilasi, metilasi, pembentukan asam
merkapturat, dan konjugasi sulfat (Gordon dan Skett, 1991).
Reaksi fase II terdiri dari :

Konjugasi asam glukoronat

Konjugasi dengan asam glukoronat merupakan cara konjugasi


umum dalam proses metabolisme. Hampir semua obat mengalami
konjugasi ini karena sejumlah besar gugus fungsional obat dapat
berkombinasi secara enzimatik dengan asam glukoronat dan
tersedianya D-asam glukoronat dalam jumlah yang cukup pada
tubuh (Siswandono dan Soekardjo,2000). Koenzim antara (UDPGA :
uridine diphosphoglucorinic acid) bereaksi dengan obat dengan
bantuan enzim UDP
glukoronosil-transferase (UGT)
untuk
memindahkan glukoronida ke atom O pada alkohol, fenol, atau asam
karboksilat; atau atom S pada senyawa tiol; atau atom N pada
senyawa2 amina dan sulfonamida.

Metilasi
Reaksi metilasi mempunyai peran penting pada proses
biosintesis beberapa senyawa endogen, seperti norepinefrin,
epinefrin, dan histaminserta untuk proses bioinaktivasi obat.
Koenzim yang terlibat pada reaksi metilasi adalah S-adenosilmetionin(SAM).
Reaksi
ini
dikatalis
oleh
enzim
metiltransferase yang terdapat dalam sitoplasma dan
mikrosom (Siswandono dan Soekardjo,2000).
Konjugasi Sulfat
Terutama terjadi pada senyawa yang mengandung gugus
fenol dan kadang-kadang juga terjadi pada senyawa alkohol,
amin aromatik dan senyawa N-hidroksi. Konjugasi sulfat pada
umumnya untuk meningkatkan kelarutan senyawa dalam air
dan membuat senyawa menjadi tidak toksik (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
Asetilasi
Merupakan jalur metabolisme obat yang mengandung gugus
amin primer, sulfonamida, hidrasin, hidrasid, dan amina
alifatik primer. Fungsi utama asetilasi adalah membuat
senyawa inaktif dan untuk detoksifikasi (Siswandono dan
Soekardjo,2000)

Tidak semua obat dimetabolisme melalui kedua fase tersebut


ada obat yang mengalami reksi fase I saja(satu atau beberapa
macam reaksi ) atau reaksi fase II saja (satu atau beberapa
macam reaksi), tetapi kebanyakan obat dimetabolisme melalui
beberapa reaksi sekaligus atau secara berurutan menjadi

beberapa
macam
metabolit.
Misalnya,
fenobarbital
membutuhkan reaksi fase I sebagai persyaratan reaksi konjugasi.
Glukuronid merupakan metabolit utama dari obat yang
mempunyai gugus fenol, alkohol, atau asam karboksilat.
Metabolit ini biasanya tidak aktif dan cepat diekskresi melalui
ginjal dan empedu. Glukuronid yang diekskresi melalui empedu
dapat dihidrolisis oleh enzim -glukuronidase yang dihasilkan
oleh bakteri usus dan obat dibebaskan dapat diserap kembali.
Sirkulasi enterohepatik ini memperpanjang kerja obat (Syarif,
1995)
Kecepatan biotransformasi umumnya bertambah bila konsentrasi
obat meningkat, hal ini berlaku sampai titik dimana konsentrasi
menjadi demikian tinggi hingga seluruh molekul enzim yang
melakukan pengubahan ditempati terus-menerus oleh molekul
obat dan tercapai kecepatan biotransformasi yang konstan (Tan
Hoan Tjay dkk., 1978). Disamping konsentrasi adapula beberapa
faktor lain yang dapat mempengaruhi kecepatan biotransformasi,
yaitu:
1. Faktor intrinsik
Meliputi sifat yang dimiliki obat seperti sifat fisika-kimia obat,
lipofilitas, dosis, dan cara pemberian. Banyak obat, terutama
yang lipofil dapat menstimulir pembentukan dan aktivitas
enzim-enzim hati. Sebaliknya dikenal pula obat yang
menghambat atau menginaktifkan enzim tersebut, misalnya
anti
koagulansia,
antidiabetika
oral,
sulfonamide,
antidepresiva trisiklis, metronidazol, allopurinol dan disulfiram
(Tan Hoan Tjay dkk., 1978).
2. Faktor fisiologi
Meliputui sifat-sifat yang dimiliki makhluk hidup seperti: jenis
atau spesies, genetik, umur, dan jenis kelamin.

Perbedaan spesies dan galur


Dalam proses metabolisme obat, perubahan kimia yang
terjadi pada spesies dan galur kemungkinan sama atau sedikit
berbeda, tetapi kadang-kadang ada perbedaan yang cukup
besar pada reaksi metabolismenya. Pengamatan pengaruh
perbedaan spesies dan galur terhadap metabolisme obat
sudah banyak dilakukan yaitu pada tipe reaksi metabolik atau
perbedaan kualitatif dan pada kecepatan metabolismenya
atau perbedaan kuantitatif (Siswandono dan Soekardjo,2000).
Faktor Genetik
Perbedaan individu pada proses metabolisme sejumlah obat
kadang-kadang terjadi dalam sistem kehidupan. Hal ini

menunjukkan bahwa faktor genetik atau keturunan berperan


terhadap kecepatan metabolisme obat (Siswandono dan
Soekardjo,2000).
Perbedaan umur
Pada usia tua, metabolisme obat oleh hati mungkin menurun,
tapi biasanya yang lebih penting adalah menurunnya fungsi
ginjal. Pada usia 65 tahun, laju filtrasi Glomerulus (LFG)
menurun sampai 30% dan tiap 1 tahun berikutnya menurun
lagi 1-2% (sebagai akibat hilangnya sel dan penurunan aliran
darah ginjal). Oleh karena itu ,orang lanjut usia membutuhkan
beberapa obat dengan dosis lebih kecil daripada orang muda
(Neal,2005).
Perbedaan Jenis Kelamin
Pada beberapa spesies binatang menunjukkan ada pengaruh
jenis kelamin terhadap kecepatan metabolisme obat. Pada
manusia baru sedikit yang diketahui tentang adanya pengaruh
perbedaan jenis kelamin terhadap metabolisme obat. Contoh:
nikotin dan asetosal dimetabolisme secara berbeda pada pria
dan wanita.

3. Faktor Farmakologi
Meliputi inhibisi enzim oleh inhibitor dan induksi enzim oleh
induktor. Kenaikan aktivitas enzim menyebabkan lebih
cepatnya metabolisme (deaktivasi obat). Akibatnya, kadar
dalam plasma berkurang dan memperpendek waktu paro
obat. Karena itu intensitas dan efek farmakologinya berkurang
dan sebaliknya.
4. Faktor Patologi
Menyangkut jenis dan kondisi penyakit. Contohnya pada
penderita stroke, pemberian fenobarbital bersama dengan
warfarin secara agonis akan mengurangi efek anti
koagulasinya (sehingga sumbatan pembuluh darah dapat
dibuka). Demikian pula simetidin (antagonis reseptor H2) akan
menghambat aktivitas sitokrom P-450 dalam memetabolisme
obat-obat lain.
5. Faktor makanan
Adanya konsumsi alkohol, rokok, dan protein. Makanan
panggang arang dan sayur mayur cruciferous diketahui
menginduksi enzim CYP1A, sedang jus buah anggur diketahui
menghambat metabolisme oleh CYP3A terhadap substrat obat
yang diberikan secara bersamaan.
6. Faktor lingkungan
Adanya insektisida dan logam-logam berat. Perokok sigaret
memetabolisme beberapa obat lebih cepat daripada yang

tidak merokok, karena terjadi induksi enzim. Perbedaan yang


demikian mempersulit penentuan dosis yang efektif dan aman
dari obat-obat yang mempunyai indeks terapi sempit.
Induksi Enzim

Contoh:

Banyak obat mampu menaikkan kapasitas metabolismenya


sendiri dengan induksi enzim (menaikkan kapasitas biosintesis
enzim). Induktor dapat dibedakan menjadi dua menurut enzim
yang di induksinya,antaralain:
1) Jenis fenobarbital
2) Jenis metilkolantrena

Untuk terapi dengan obat, induktor enzim memberi akibat


berikut:
Pada pengobatan jangka panjang dengan induktor enzim
terjadi penurunan konsentrasi bahan obat yang dapat
mencapai tingkat konsentrasi dalam plasma pada awal
pengobatan dengan dosis tertentu.
Kadar bahan berkhasiat tubuh sendiri dalam plasma dapat
menurun sampai dibawah angka normal.
Pada pemberian bersama dengan obat lain terdapat banyak
interaksi obat yang kadang-kadang berbahaya. Selama
pemberian induktor enzim, konsentrasi obat kedua dalam
darah dapat juga menurun sehingga diperlukan dosis yang
lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang sama (Ernst
Mutschler,1991).
Inhibisi enzim
Inhibisi (penghambatan) enzim bisa menyebabkan interaksi obat yang
tidak diharapkan. Interaksi ini cenderung terjadi lebih cepat daripada
yang melibatkan induksi enzim karena interaksi ini terjadi setelah obat
yang dihambat mencapai konsentrasi yang cukup tinggi untuk
berkompetisi dengan obat yang dipengaruhi.(Neal,2005)
PROFIL OBAT
1. FENOBARBITAL
Fenobarbital (fee-no-BAR-bih-tal) adalah obat anti-epilepsi
yang pertama kali digunakan pada tahun 1912. Fenobarbital
digunakan untuk pengobatan epilepsi tonik-klonik, epilepsi kompleks
atau parsial simpel pada orang dewasa dan anak-anak. Fenobarbital
juga digunakan untuk epilepsi miklonik (myclonic). Obat ini pernah
menjadi obat first line, namun sekarang menjadi obat second-line
karena efek samping yang ditimbulkannya yaitu efek penenang,
depresi dan agitasi. Fenobarbital merupakan obat antiepilepsi atau
antikonvulsi yang efektif. Toksisitasnya relatif rendah, murah, efektif,
dan banyak dipakai. Dosis antikonvulsinya berada di bawah dosis
untuk hipnotis. Ia merupakan antikonvulsan yang non-selektive.
Manfaat terapeutik pada serangan tonik-klonik generalisata (grand
mall) dan serangan fokal kortika. Berdasarkan masa kerjanya,
turunan
barbiturate
dibagi
menjadi
4,
yaitu:
1. Turunan barbiturat dengan masa kerja panjang (6 jam atau lebih)
Contohnya:barbiturat,metarbital,fenobarbital
2.Turunan barbiturat dengan masa kerja sedang (3-6 jam)

Contoh : alobarbital, amobarbital, aprobarbital, dan butabarbital


berguna untuk mempertahankan tidur dalam jangka waktu yang
panjang
3.Turunan barbiturat dengan masa kerja pendek (0,5-3 jam)
Contoh : sekobarbital, dan pentobarbital, yang digunakan untuk
menimbulkan tidur untuk orang yang sulit jatuh tidur.
4.Turunan barbiturat dengan masa kerja sangat pendek (<0,5 jam)
Contoh : thiopental yang digunakan untuk anestesi umum.
Mekanisme kerja
Mekanisme kerja menghambat kejang kemungkinan melibat
kanpotensiasi penghambatan sinaps melalui suatu kerja pada
reseptor GABAA, rekaman intrasel neuron korteks atau spinalis
kordata mencit menunjukkan bahwa fenobarbital meningkatkan
respons terhadap GABA yang diberikan secara iontoforetik. Efek ini
telah teramati pada konsentrasi fenobarbital yang sesuai secara
terapeutik. Analisis saluran tunggal pada out patch bagian luar yang
diisolasi dari neuron spinalis kordata mencit menunjukkan bahwa
fenobarbital meningkatkan arus yang diperantarai reseptor GABA
dengan meningkatkan durasi ledakan arus yang diperantarai
reseptor GABA tanpa merubah frekuensi ledakan. Pada kadar yang
melebihi konsentrasi terapeutik, fenobarbital juga membatasi
perangsangan berulang terus menerus; ini mendasari beberapa efek
kejang fenobarbital pada konsentrasi yang lebih tinggi yang tercapai
selama terapi status epileptikus.
Sifat Farmakokinetik
Fenobarbital diabsorbsi secara lengkap tetapi agak lambat;
kosentrasi puncak dalam plasma terjadi beberapa jam setelah
pemberian suatu dosis tunggal. Sebanyak 40% sampai 60%
fenobarbital terikat pada protein plasma dan terikat dalam jumlah
yang sama diberbagai jaringan, termasuk otak. Sampai 25 % dari
suatu dosis dieliminasi melalui eksresi ginjal yang tergantung PH
dalam bentuk tidak berubah; sisanya diinaktivasi oleh enzim
mikrososm hati. Sitokrom P450 yang paling bertanggung jawab
adalah CYP2C9, dengan sedikit metabolism oleh CYP2C19 dan 2El.
Fenobarbital menginduksi enzim uridin difosfa glukuronosil
transferase(UGT) dan sitokrom P450 subfamili CYP2C dan 3 A. obatobat yang dimetabolisme oleh enzim-enzim ini dapat terurai lebih
cepat jika diberikan bersama fenobarbital; yang penting, kontrasepsi
oral dimetabolisme oleh CYP3A4.
Toksisitas
Sedasi merupakan efek yang tidak diharapkan dari fenobarbital
yang paling sering terjadi yang tampak pada semua pasien pada
awal terapi. Tingkat sedasi yang terjadi berbeda-beda tetapi selama

pengobatan kronis berkembang toleransi terhadap efek ini.


Nistagmus dan ataksia terjadi pada dosis belebih. Fenobarbital
kadang-kadang
menyebabkan
kondisi
mudah
marah
dan
hiperaktivitas pada anak-anak, serta agitasi dan kebingungan pada
lanjut usia.Ruam yang mirip scarlet atau morbili, mungkin disertai
dengan manifestasi alergi obat lainnya, terjadi pada 1% sampai 2%
pasien. Dermatitis eksfoliatif jarang terjadi. Hipoprotrombinemia
yang disertai hemoragia teramati pada bayi baru lahir yang ibunya
menggunakan fenobarbital selama kehamilan; vitamin K efektif
untuk penanganan atau profilaksis. Anemia megaloblastik yang
berespons terhadap folat dan osteomalasia yang berespons
terhadap vitamin D dosis tinggi terjadi selama terapi epilepsy
dengan fenobarbital jangka panjang, seperti yang terjadi selama
pengobatan dengan fenitoin.
Interaksi obat
Interaksi antara fenobarbital dan obat lain biasanya melibatkan
induksi sistem enzim mikrosom hati oleh fenobarbital. Konsentrasi
fenobarbital dalam plasma dapat ditingkatkan sebanyak 40 %
selama penggunaanya yang bersaman dengan asam valproat.
Fenobarbital mengurangi kadar carbamazepin, lamotrigin, tiagabin,
dan zonisamide dalam darah; phenobarnital mungkin megurangi
konsentrasi ethosuximide dalam darah; konsentrasi Fenobarbital
dalam darah meningkat oleh oxcarbazepin, juga kadar metabolit
aktif oxcarbazepin dalam darah menurun; kadar Fenobarbital dalam
darah seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar fenitoin dalam darah
seringkali berkurang tetapi dapat meningkat; efek sedasi meningkat
saat barbiturate diberikan dengan primidone; kadar Fenobarbital
dalam darah meningkat oleh valproat, kadar valproat dalam darah
menurun; kadar Fenobarbital dalam darah mungkin berkurang oleh
vigabatrin.
.
Efek samping
Penggunaan fenobarbital dapat menimbulkan efek hipnotik-sedatif.
Hipnotika atau obat tidur adalah zat-zat yang dalam dosis terapi
diperuntukkan meningkatkan keinginan faali untuk tidur dan
mempermudah atau menyebabkan tidur, pusing, ataksia dan pada
anak-anak mudah terangsang. Efek samping ini dapat dikurangi
dengan penambahan obat-obat lain dan pada umumnya, diberikan
pada malam hari.
2.

CIMETIDIN
Cimetidin merupakan antihistamin paenghambat reseptor Histamin
H2 yang berperan dalam efek histamine terhadap sekresi cairan
lambung.
Farmakodinamik
Cimetidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible.

Reseptor H2 akan merangsang sekresi cairan lambung srhingga


pada pemberian Cimetidin sekresi cairan lambung dihambat.
Pengaruh fisiologi cimetidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak
begitu penting.Walaupun tidak lengkap cimetidin dan ranitidine
dapat menghambat sekresi cairan lembung akibat rangsangan obat
muskarinik atau gastrin. Cimetidin mengurangi volume dan kadar
ion hydrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung
mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.
Farmakokinetika
Cimetidin
Bioavailabilitas cimetidin sekitar 70 % sama dengan pemberian IV
atau Im ikatan protein plasma hanya 20 %.Absorbsi simetidin
diperlambat oleh makanan sehingga cimetidin diberikan bersama
atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang
efek pada periode paska makan. Absorpsi terutama terjadi pada
menit ke 60 -90. Cimetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam
cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV
dan 40% dari dosis oral diekskresi dalam bentuk asal dalam urin.
Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam.
Interaksi Obat
Cimetidin terikat ole sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas
enzim mikrosom hati, sehingga obat lain akan terakumulasi bila
diberikan bersama Cimetidin. Contohnya: warfarin, fenitoin, kafein,
fenitoin, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol,
metoprolol dan imipramin. Simetidin dapat menghambat alkhohol
dehidrogenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan
peningkatan alkohol serum. Obat ini tak tercampurkan dengan
barbiturat dalam larutan IV. Simetidin dapat menyebabkan berbagai
gangguan SSP terutama pada pasien lanjut atau dengan penyakit
hati atau ginjal.
Indikasi
Cimetidin digunakan untuk mengobati tukak lambung dan tukak
duodenum. Akan tetapi manfaat terapi pemeliharaan dalam
pencegahan tukak lambung belum diketahui secara jelas. Efek
penghambatannya selama 24 jam, Cimetidin 1000 mg/hari
menyebabkan penurunan kira-kira 50%, sedangkan terhadap sekresi
malam hari, menyebabkan penghambatan 70% dan 90%.
3. DIAZEPAM

Farmakologi
Tempat yang pasti dan mekanisme kerja benzodiazepin belum
diketahui pasti, tapi efek obat disebabkan oleh penghambatan
neurotransmitter g-aminobutyric acid (GABA). Obat ini bekerja pada
limbik, talamus, hipotalamus dari sistim saraf pusat dan
menghasilkan efek ansiolitik, sedatif, hipnotik, relaksan otot skelet
dan antikonvulsan. Benzodiazepin dapat menghasilkan berbagai
tingkatk depresi SSP- mulai sedasi ringan sampai hipnosis hingga
koma.
Mekanisme Kerja : Berikatan dengan reseptor stereospesifik
benzodiazepin pada saraf GABA post-sinaps di beberapa tempat
dalam sistem saraf pusat, termasuk sistem limbik, susunan retikular.
Menambah efek penghambat GABA pada hasil eksitabilitas saraf
dengan meningkatkan permeabilitas membran saraf terhadap ion
klorin. Pertukaran ion klorida menyebabkan hiperpolarisasi dan
stabilisasi. (Lexy-Comp p.462)
Kontraindikasi : Depresi pernafasan, gangguan hati berat,
miastenia gravis, insufisiensi pulmoner akut, glaukoma sudut sempit
akut, serangan asma akut, trimester pertama kehamilan, bayi
prematur; tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal pada
depresi atau ansietas yang disertai dengan depresi. (IONI)
EfekSamping :

Efek samping pada susunan saraf pusat : rasa lelah, ataksia, rasa
malas, vertigo, sakit kepala, mimpi buruk dan efek amnesia.

Efek lain : gangguan pada saluran pencernaan, konstipasi, nafsu


makan berubah, anoreksia, penurunan atau kenaikan berat badan,
mulut kering, salivasi, sekresi bronkial atau rasa pahit pada mulut.
Interaksi dengan obat lain :

Alkohol : Meningkatkan efek sedatif

Anestetik : Meningkatkan efek sedatif

Analgetik : Analgetik opioid meningkatkan efek sedatif

Antibakteri : Isoniazid menghambat metabolisme diazepam;


rifampisin meningkatkan metaolisme diazepam dan mungkin
benzodiazepin lainnya

Antiepileptika : Kadar plasma fenitoin dinaikkan atau diturunkan


oleh diazepam dan mungkin benzodiazepina lainnya

Antihistamin : Meningkatkan efek sedatif

Antihipertensi : Meningkatkan efek hipotensif; meningkatkan efek


sedatif dengan alpha-blockers

4. CURCUMIN
Mekanisme Kerja Kurkumin

Mekanisme kerja kurkumin sesungguhnya masih belum bisa


dijelaskan tapi rupanya dia dapat terikat dengan enzim
aminopeptidase N, (APN) dan menghambat aktivitas enzimatiknya.
APN adalah suatu enzim yang terdapat pada jaringan membran di
dalam tubuh (dikenal sebagai zinc-dependent metalloproteinase) dan
bertanggung jawab terhadap angiogenesis dan pertumbuhan tumor.
APN tersebut yang berfungsi membongkar protein pada permukaan
sel jaringan tubuh sehingga sel kanker dapat mengambil alih
kedudukan sel jaringan tadi dan tumbuh tak terkendali. Dugaan
sementara, kemungkinan besar ikatan tak jenuh (ikatan rangkap),
alfa dan beta di sekitar gugus keton pada kurkumin membentuk
ikatan kovalen dengan dua nukleofil asam amino yang terdapat pada
situs aktif APN dan mampu menghambat (inhibit) aktivitasnya secara
tak-dapat balik (irreversible).
Sekarang ini bahkan senyawa kurkumin telah masuk fase pertama uji
coba klinis untuk menahan kanker usus besar. Walaupun hasil
penelitian ini juga menginpirasi kalangan ilmuwan untuk meniru atau
memodifikasi sruktur kurkumin, namun kelebihan senyawa kurkumin
hasil isolasi dari kunyit adalah sifatnya yang alami dan kemungkinan
hanya sedikit memberikan efek samping terhadap penderita kanker.
III.
Alat dan Bahan
Alat :
1. Timbangan
2. Spett injeksi 0,1-1ml
3. Stopwatch

Bahan :
1.Diazepam 0,5% Dosis 15 mg/kgBB; 0,25% Dosis 30 mg/kgBB
2. Cimetidin 1% Dosis 90 mg/kgBB
3. Curcumin 0,5% Dosis 50mg/kgBB
4. Fenobarbital
5. Mencit@kelompok 4 ekor

IV.

Cara Kerja
Tiap kelas dibagi menjadi 5
kelompok
Masing-masing dapat 4 ekor
mencit

Mencit I(control):

Mencit II:

Mencit III:

Mencit IV:

Perlakuan selama
3 hari,mencit
diberi fenobarbital
2% scr IP.stelah 3
hari mencit
perlakuan diberi
diazepam 0,5% dg
dosis 80mg/kgBB
scr IP

Diberi diazepam
0,5% secara IP

Diberi curcumin
1% scr PO,
kemudian setelah
1 jam pemberian
mencit diberi
diazepam 0,5%
secara PO

Diberi cimetidin
1% secara PO,
kemudian
setelah 1 jam
pemberian
mencit diberi
diazepam 0,5%
secara IP

Amati onset dan durasi dari masingmasing mencit

V.

Catat data hasil percobaan,lalu bandingkan


hasil percobaan secara statistic
menggunakan
Data Penimbangan
Obatanalisa anova

Berat mencit I : 19,6 gram ( Curcumin 1% )


Berat mencit II : 20,3 gram ( Cimetidin 1% )
Berat mencit III

: 20,2 gram ( Fenobarbital )

Berat mencit IV

: 22,3 gram (Control, Diazepam 0,5% )

Volume maksimum larutan obat Diazepam


1. (30 mg x 19,6 gram) : 0,5% = 0,1176 ml pengambilan 0,12 ml
2. (30 mg x 20,3 gram) : 0,5% = 0,1218 ml pengambilan 0,12 ml
3. (30 mg x 20,2 gram) : 0,5% = 0,1212 ml pengambilan 0,12 ml
4. (30 mg x 22,3 gram) : 0,5% = 0,1338 ml pengambilan 0,13 ml
VI.

Hasil percobaan
Perlakuan
Fenobarbital +
Diazepam
0,5% D= 30
mg/kgBB
Rata-rata
SD
Diazepam
0,5%

Rata-rata
SD
Curcumin
D=

Replikasi
1
2
3
4
X

Onset (menit)
8,00
16,34
10,00
11,45

1
2
3
4
X

9
51,5
12,00
24,17

1% 1
50 2

5,00
5,00

Durasi (menit)
188
9,15
81,00
92,72
+ 89.99884
188
9,54
105,5
101,013
+ 89.13064
108
150,04

mg/kgBB
+ 3
Diazepam
4
0,5% D= 30
mg/kgBB
Rata-rata
X
SD
Cimetidin 1% 1
D=
90 2
mg/kgBB
+ 3
Diazepam
4
0,5% D= 30
mg/kgBB
Rata-rata
X
SD

VII.

2,00
5,00

120,3
55,0

4,25

108,325
+ 19,84776
100
74,3
102,60
70

5,00
3,12
3,40
4,00

3,88

86,7250
+ 8,47716

PEMBAHASAN
Tujuan praktikuk kali ini adalah untuk mempelajari tentang proses
metabolisme obat dalam tubuh (hewan uji). Mencit dipilih sebagai hewan uji
karena mempunyai sistem metabolisme menyerupai manusia, lebih ekonomis,
mudah didapatkan, dan metabolisme dalam tubuhnya berlangsung cepat sehingga
sangat cocok untuk dijadikan sebagai objek pengamatan.
Tujuan metabolisme obat adalah untuk mengubah obat yang nonpolar (larut
lemak) menjadi polar (larut air) agar dapat diekskresi melalui ginjal dan empedu.
Dengan perubahan ini obat aktif umumnya diubah menjadi inaktif. Tapi sebagian
berubah menjadi lebih aktif (jika asalnya prodrug),kurang aktif,atau menjadi
toksik.
Metabolisme atau biotransformasi adalah reaksi perubahan zat kimia dalam
jaringan biologi yang dikatalis oleh enzim menjadi metabolitnya. Hati merupakan
organ utama tempat metabolisme obat. Ginjal tidak akan efektif mengeksresi obat
yang bersifat lipofil karena mereka akan mengalami reabsorpsi di tubulus setelah
melalui filtrasi glomelurus. Oleh karena itu, obat yang lipofil harus dimetabolisme
terlebih dahulu menjadi senyawa yang lebih polar supaya reabsorpsinya berkurang
sehingga mudah diekskresi.
Adapun faktor-farmakodinamik yang mempengaruhi aktifitas metabolisme
obat, yaitu :
1. Sitokrom P450 yang merupakan enzim pereduksi

2. Pembentukan metabolit yang dapat memberikan efek farmakologi yang


lebih

kompleks dibanding obat awalnya.

3. Lokasi atau tempat kerja dari metabolit yang dihasilkan.


4. Perbedaan antara profil farmakokinetik dan farmakodinamik dari metabolit
aktif dan obat awal. Perbedaan ini menyebabkan konsentrasi dan intensitas
efek farmakologik metabolit dan obat awal sulit dibedakan.
Efek obat kadang-kadang ditimbulkan oleh metabolitnya. Metabolit itu
mempunyai peran penting sebagai obat oleh karena :
a. Metabolit kemungkinan menimbulkan toksisitas atau efek samping lebih
rendah dibanding pro-drugnya.
b. Secara umum metabolit mengurangi variasi respon klinik dalam populasi
yang disebabkan perbedaan kemampuan metabolisme oleh individu-individu
atau oleh adanya penyakit tertentu
Senyawa kimia yang mempengaruhi enzim metabolisme antara lain, induktor
dan inhibitor. Induktor adalah senyawa kimia yang dapat mempercepat kerja dari
enzim metebolisme. Inhibitor adalah sentawa kimia yang dapat menghambat kerja
dari enzim metabolisme.

PROFIL MEKANISME DIAZEPAM

MEKANISME KERJA

Bekerja pada sistem GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi hambatan


neuron GABA. Reseptor Benzodiazepin dalam seluruh sistem saraf pusat,
terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal dan
oksipital, di hipokampus dan dalam otak kecil. Pada reseptor ini, benzodiazepin
akan bekerja sebagai agonis. Terdapat korelasi tinggi antara aktivitas farmakologi
berbagai benzodiazepin dengan afinitasnya pada tempat ikatan. Dengan adanya
interaksi benzodiazepin, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat,
dan dengan ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA,
saluran ion klorida akan terbuka sehingga ion klorida akan lebih banyak yang
mengalir masuk ke dalam sel. Meningkatnya jumlah ion klorida menyebabkan
hiperpolarisasi sel bersangkutan dan sebagai akibatnya, kemampuan sel untuk
dirangsang berkurang.
Sebelum dilakukan penyuntikan terhadap hewan uji, terlebih dulu dilakukan
perhitungan dosis. Untuk setiap hewan uji akan mendapatkan dosis yang berbedabeda tergantung dari berat badan masing-masing hewan uji tersebut. Semakin
besar dan berat maka dosis yang diberikan semakin besar pula. Setelah didapatkan
dosis individu maka dihitung volume pemberian obat. Volume pemberian obat
dihitung dengan cara membandingkan antara dosis individu dengan stock,
sehingga didapatkan volume obat yang akan disuntikkan ke mencit.
Kelompok I dengan bobot mencit 19,6 gram mendapat suntikan Curcumin 1%
dan Diazepam 0,5%. Volume diazepam yang disuntikkan 0,12 ml. Mekanisme
Curcumin berperan sebagai obat penghambat metabolisme yaitu menghambat
secara langsung, dengan akibat peningkatan kadar obat yang menjadi substrat dari
enzim yang dihambat juga secara langsung. Untuk mencegah terjadinya toksisitas,
diperlukan penurun dosis obat yang bersangkutan atau bahkan tidak boleh
diberikan secara bersama penghambatnya akan berakibat membahayakan.
Hambatan yang umumnya bersifat kompetitif juga bersifat non kompetitif. Dalam
praktik kali ini digunakan diazepam, dimana akan dihambat efek utama dari
diazepam bila diberikan bersamaan dengan cimetidin dan curcumin.
Kelompok II dengan

bobot mencit 20,3 gram mendapat suntikan

Cimetidin 1 % dan Diazepam 0,5 %. Volume diazepam yang disuntikkan 0,12 ml.
Pemberian Cimetidin diberikan secara peroral, setelah jeda waktu selama 30
menit lalu diberikan diazepam secara intraperitonial. Hal ini bertujuan untuk
mengetahui perubahan senyawa obat menjadi lebih polar dan sukar larut dalam

lemak, sehingga obat tersebut mudah larut dalam air. Pada inhibitor, 1 jam
sebelumnya diberikan Simetidin setelah itu diberikan diazepam karena kadar
puncak Simetidin pada plasma dicapai setelah 1 jam. Simetidin mempunyai daya
kerja menghambat enzim sitokrom P450, maka menghambat metabolisme
diazepam sehingga kerja diazepam dalam hewan uji lebih lama.
Mekanisme kerja cimetidin adalah mengahambat metabolisme obat dengan
membentuk kompleks inaktif dengan sitokrom P450 hati. Penghambat yang
menbentuk kompleks dimetabolisme oleh sitokrom P450 yang menjadi suatu
metabolit antara yang terikat kuat, tetapi bisa berbalik dengan hemoprotein, jadi
mencegah peran sertanya lebih lanjut dalam metabolisme obat. Cimetidin yang
diketahui dapat menghambat metabolisme hepatis dari berbagai macam obat,
melipatgandakan waktu paruh eliminasi dari diazepam yang diperkirakan melalui
inhibisi metabolism.
Kelompok III dengan bobot mencit 20,2 gram selama tiga hari diberikan
Fenobarbital terlebih dahulu, hal ini dilakukan karena metabolism fenobarbital
lambat sehingga dengan rentang 24 jam akan diperoleh efek yang maksimal.
Selanjutnya mencit diberikan Diazepam

dengan volume 0,12 ml secara

intraperitonial.
Sebelumnya fenobarbital diberikan selama 3 hari berturut-turut kepada hewan
uji dengan tujuan agar kelak pada pemberian obat yang kedua yaitu diazepam
mampu mencapai efek farmakologis dengan baik dan tidak terhambat. Hal ini
dikarenakan fenobarbital yang juga bersifat induktor yang perannya umtuk
mempercepat atau meningkatkan proses metabolisme obat. Phenobarbital
diberikan 3 hari karena Phenobarbital dapat mengalami auto induksi akibat
pemakaian selama 3 hari sampai 7 hari dimana menginduksi dirinya sendiri, disini
melibatkan enzim sitokrom P450 dan glukoranil transferase untuk metabolisme
Phenobarbital, kemudian setelah 3 hari sampai 7 hari akan terjadi toleransi yang
yang memberikan efek hewan uji tersebut tidur. Jika dilihat dari sifatnya
fenobarbital dapat meningkatkan sintesis enzim metabolisme, karena melibatkan
sintesis enzim maka diperlukan waktu beberapa hari (3 hari sampai 1 minggu)
hingga dicapai efek yang maksimal.
Fenobarbital menghambat kejang kemungkinan melibatkan potensiasi
penghambatan sinaps melalui reseptor GABA. Fenobarbital meningkatkan respon
terhadap GABA yang diberikan secara iontoforetik. Secara teoritis mekanisme

kerja fenobarbital dapat menekan saraf abnormal secara selektif, menghambat


penyebaran dan menekan pelepasan dari fokus. Fenobarbital dapat menekan
melalui konduksi Na+, lepasnya frekuensi tinggi renjatan saraf yang berulang
dalam kultur. Dengan kadar terapi yang relevan, fenobarbital meningkatkan
penghambatan melalui GABA dan reduksi eksitasi melalui glutamat.
Pada pemberian fenobarbital dan selanjutnya diberikan diazepam maka
akan terjadi suatu induksi. Dimana diazepam sebagai substrat sedangkan
fenobarbital sebagai penginduksinya, selain itu fenobarbital dalam praktikum kali
ini juga berperan sebagai obat yang menstimulasi. Obat yang menstimulasi akan
menyebabkan menurunnya kadar obat aktif dalam darah. Pemberian Phenobarbital
pada hewan uji dapat menyebabkan hewan uji tersebut tidur, bangun dan tidur
kembali. Hal ini Phenobarbital memiliki efek redistribusi.
Kelompok IV dengan bobot mencit 22,3 gram sebagai control diberikan
diazepam 0,5 % dengan volume yang disuntikkan 0,13 ml. Mekanisme kerja dari
diazepam yaitu diazepam bekerja dengan meningkatkan penghambatan efektifitas
GABA dalam menghasilkan rangsangan dengan meningkatkan permeabilitas
membrane terhadap ion klorida. Perubahan ini mengakibatkan ion klorida berada
dalam bentuk terhiperpolarisasi dan stabil. Metabolisme utama diazepam berada
di hepar. Enzim utama yang digunakan dalam metabolisme diazepam adalah
CYP2C19 dan CYP3A4.
Masa paruhnya bertambah panjang dengan meningkatnya usia, metabolit aktif
umumnya di metabolisme lebih lambat dari senyawa asalnya, sehingga lama kerja
tidak sesuai dengan waktu paruhnya eliminasi obat asalnya.
Diazepam bekerja pada system GABA, yaitu dengan memperkuat fungsi
hambatan neuron GABA. Reseptor benzodiazepine dalam seluruh system saraf
pusat, terdapat dengan kerapatan yang tinggi terutama dalam korteks otak frontal
dan oksipital, di hipotalamus dan dalam otak kecil. Dengan adanya interaksi
benzodiazepine, afinitas GABA terhadap reseptornya akan meningkat, dan dengan
ini kerja GABA akan meningkat. Dengan aktifnya reseptor GABA, saluran ion
klorida akan terbuka sehinga ion klorida akan lebih banyak yang mengalir masuk
kedalam sel, menyebabkan hiperpolarisasi sel yang mengakibatkan kemampuan
sel untuk dirangsang berkurang.
Parameter yang saling berpengaruh disini adalah durasi karena yang
dilihat adalah kadar obat di dalam plasma sehingga yang dilihat obat tersebut

berefek sampai obat tersebut tidak berefek. Jadi bukan onsetnya atau waktu mula
kerja obat sampai obat tersebut memberikan efek. Rata-rata durasi terbesar adalah
kontrol, durasi terkecil adalahn inhibitor. Menurut teori durasi yang tercepat
adalah induktor,kontrol, inhibitor.
Reaksi-reaksi selama proses metabolisme dibagi menjadi 2 yaitu reaksi
fase I (reaksi oksidasi, reduksi, hidrolisis) : reaksi-reaksi enzimatik yang berperan
dalam proses ini sebagian besar terjadi di hati. Mengalami hidroksilasi pada
posisi para dengan bantuan enzim sitokrom450. Reaksi fase II (konjugasi
glukoronida, asilasi, metilasi, pembentukan asam merkapturat, konjugasi sulfat).
Dari data yang didapat, dihasilkan rata-rata sebagai berikut :

Chart Title
927,167

867,250
101,013 108,325

Jika

dianalisis

berdasarkan

hasil

percobaan,

pemberian

fenobarbital+diazepam mempunyai durasi yang paling cepat yaitu 92,72 menit.


Sedangkan durasi yang paling lama yaitu 108,325 menit pada pemberian
diazepam.
Selanjutnya diilakukan uji anova untuk durasi. Analisis anova adalah
hasik akhir perhitungan anova yang akan digunakan sebagai penentuan analisis
terhadap hipotesis yang akan diterima atau ditolak. Dari table anova 0,963 yang
berarti tidak signifikan. Artinya masing-masing obat memiliki efek yang sama
terhadap mencit, obat tidak memberikan perbedaan pengaruh yang signifikan. Hal
ini disebabkan karena adanya perbedaan rata-rata durasi dengan pemberian obat
yang berbeda-beda pula. Pemberian diazepam, fenobarbital + diazepam,

curcumin + diazepam dan cimetidin + diazepam mempunyai pengaruh terhadap


durasi. Tabel anova menunjukkan bahwa besarnya sinifikan adalah >0,05 hal ini
menunjukkan bahwa ada perbedaan rata-rata durasi dengan menggunakan
pemberian obat yang berbeda.
Tidak signifikannya data membuktikan bahwa berbagai macam cara
pemberian obat pada hewan uji akan memberikan efek yang sama. Efek cepat dan
lambatnya reaksi obat berdasrakan cara pemberian tidak banyak berperan dalam
percobaan ini.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil antara lain:
1. Cara pemberian obat
Cara pemberian sangat berpengaruh karena pemberian obat yang tidak
tepat akan mempengaruhi dosis dari obat itu sendiri, bahkan terjadi
kesalahan dalam penyuntikan kepada hewan uji. Cara pemberian obat
haruslah tepat dan benar.
2. Dosis
Dosis yang diberikan berkaitan dengan cara pemberian obat, terkadang
dosis yang diberikan bisa melebihi atau kurang dari yang telh
diperhitungkan, sehingga reaksi yng terjadi pada hewan uji tidak sesuai
dengan teori karena obat tidak bekerja dengan semestinya.
3. Kondisi hewan uji
Secara umum mungkin sulit untuk mngetahui kondisi dari hewan uji,
jika hewan uji dalam keadaan sakit maka ini akan sangat berpengaruh
pada saat proses pemberian obat. Pada percobaan yang telah dilakukan
bahwa penyebab mencit sulit tidur

dengan pemberian diazepam

karena mencit tersebut sebelumnya telah diberikan fenobarbital selama


3 hari, ada kemungkinan kondisi mencit tersebut kebal dan telah
membentuk sebuah antibody didalam tubuhnya terhadap obat sedative.
Untuk mengatasi dari kemungkinn buruk tersebut maka perlu dilakukan
evaluasi dengan menganalisis kembali kondisi percobaan. Hasil secara teoritis
dari percobaan ini adalah sebagai berikut :
Pada kelompok IV yang bersifat sebagai control akan lebih mudah tidur
karena pemberian obat secara intraperitonial serta tidak ada pemberian inhibitor
pada hewan uji ini, namun sebaliknya diberikan senyawa induktor. Selanjutnya
kelompok I dimana diberikan curcumin secra peroral lebih mudah tidur

dibandingkan kelompok II yang diberi cimetidin. Walaupun curcumin dan


cimetidin sama-sama berfungsi sebagai inhibitor, namum khasiat obat akan lebih
besar diberikan dengan cimetidin sehingga kemampuan menghambat obat lain
akan lebih besar cimetidin daripada curcumin. Mencit yang diberi cimetidin akan
lebih lama tidur karena daya hambat dari cimetidin lebih besar dari curcumin
VIII.

yang mana pada selanjutnya sama-sama akan diberi diazepam.


KESIMPULAN
Berdasarkan pengamatan yang ada, induktor enzim ( fenobarbital ) yang
diberikan bersamaan dengan obat (diazepam) akan meningkatkan
kecepatan metabolisme dari obat tersebut sehingga efek yang ditimbulkan
oleh obat tersebut akan cepat hilang. Pemberian inhibisi enzim (cimetidin,
kurkumin) bersamaan obat (diazepam) akan menghambat metabolisme
dari obat sehingga kerjanyapun dalam tubuh akan menimbulkan efek yang
lama.
Hasil statistic ANOVA berdasarkan data adalah 0,963 yang berarti tidak
signifikan. Artinya masing-masing obat memiliki efek yang sama terhadap
mencit, obat tidak memberikan perbedaan pengaruh yang signifikan.

IX.

DAFTAR PUSTAKA
- Anief,Moh, 1984, Ilmu Farmasi, Ghalia Indonesia, Jakarta
- Anief,Moh,Prof,Drs,Apt.,Prinsip Utama Dalam Farmakologi, Gadjah Mada
-

University Press, Yogyakarta


Anief,Moh,995,Perjalanan Dan Nasib Obat Dalam Badan, Gadjah Mada
Univ Press, Yogyakarta

Anonim,1999,Majalah Farmasi Indonesia Vol 10 No 04, Mandiri Jaya Offest,

Yogyakarta
Devissaguet,.J.Aiache JM,1993,Farmasetika 2 Biofarmasetika, Airlangga
Gibson,G.Gordon Dan Paul Skett,1991,Pengantar Metabolisme Obat, UI

Press, Jakarta
Katzung,Bertramg,1989,Farmakologi Dasar Dan Klinik,EGC,Jakarta
Mutscler Ernst,1991,Dinamika Obat,UI Press, Jakarta
Neal,M.J,2005,At A Glance, Farmakologi Medis Edisi Kelima, Erlangga,

Jakarta
Syarif,Amin,1995,Farmakologi Dan Terapi,Edisi IV, Bagian Farmakologi

Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta


Siswandono dan Soekardjo,Bambang,2000, Kimia Medisinal, Airlangga

University Press, Jakarta


Tjay,Tan Hoan,Dkk, 1978, Obat-obat Penting Edisi IV, Departemen Kesehatan
RI, Jakarta

Anda mungkin juga menyukai