Anda di halaman 1dari 23

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA

REFERAT
AGUSTUS 2015

PENGARUH HYPERBARIC TERHADAP KARSINOMA


NASOFARING

Disusun oleh :
Moren Sahertian (2008-83-016)
Wineti Damamain (2008-83-028)
Fransisca Tentua (2008-83-045)
Jasmine F. Hatane (2008-83-046)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK


DI BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2015
DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL.......................................................................................i
DAFTAR ISI.......................................................................................................ii
A. Karsinoma Nasofaring....................................................................................4
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII

Pendahuluan ..........................................................................................4
Anatomi ..................................................................................................4
Epidemiologi dan Etiologi......................................................................5
Patofisiologi............................................................................................6
Manifestasi Klinis...................................................................................8
Diagnosa..................................................................................................8
Klasifikasi................................................................................................9
Protokol Penaganan KNF........................................................................10
Radioterapi KNF.....................................................................................11
Respon Tumor Terhadap Radiasi.............................................................12
Prognosis.................................................................................................12
Follow up.................................................................................................13

B. Peran Oksigen Hiperbarik Dalam Pengopbatan Kanker................................13


I.

Pendahuluan .......................................................................................................13
II.
Oksigen Hiperbarik.................................................................................15
III.
Oksigen dan Angiogenesis Tumor...........................................................17
IV. OHB dan Karsinoma Nasofaring ...........................................................19
V.
VI.
VII.

Penelitian Hubungan OHB dalam Treatment Karsinoma Nasofaring....20


Pembahasan.............................................................................................22
Kesimpulan..............................................................................................24
DAFTAR PUSTAKA..............................................................................25

A. Karsinoma Nasofaring
I. PENDAHULUAN
Karsinoma nasofaring (KNF) merupakan tumor ganas yang
paling banyak dijumpai diantara tumor ganas THT di Indonesia,
dimana karsinoma nasofaring termasuk dalam lima besar tumor ganas,
dengan frekuensi tertinggi (bersama tumor ganas serviks uteri,
tumor payudara, tumor getah bening dan tumor kulit), sedangkan
didaerah kepala dan leher menduduki tempat pertama (KNF
mendapat persentase hampir 60% dari tumor di daerah kepala
dan leher, diikuti tumor ganas hidung dan sinus paranasal 18%, laring
16%, dan tumor ganas rongga mulut, tonsil, hipofaring dalam persentase
rendah).
II. ANATOMI

Tumor ini berasal dari fossa Rosenmuller pada nasofaring yang


merupakan daerah transisional dimana epitel kuboid berubah menjadi
epitel skuamosa.

Gambar 1. Anatomi Nasofaring


III. EPIDEMIOLOGI DAN ETIOLOGI
Tumor ini lebih sering ditemukan pada pria dibanding wanita dengan
rasio 2-3:1, dan apa sebabnya belum dapat diungkapkan dengan pasti,
mungkin ada hubungannya dengan faktor genetik, kebiasaan hidup,
pekerjaan dan lain-lain.
Distribusi umur pasien dengan KNF berbeda-beda pada daerah dengan
insiden yg bervariasi. Pada daerah dengan insiden rendah, insisden KNF
meningkat sesuai dengan meningkatnya umur, pada daerah dengan insiden

tinggi KNF meningkat setelah umur 30 tahun, puncaknya pada umur 4059 tahun dan menurun setelahnya
Ras mongoloid merupakan faktor dominan timbulnya KNF, sehingga
kekerapan cukup tinggi pada penduduk Cina bagian selatan, Hongkong,
Vietnam, Thailand, Malaysia, Singapura, dan Indonesia.
Dijumpainya Epstein-Barr Virus (EBV), pada hampir semua kasus
KNF mengaitkan terjadinya kanker ini dengan keberadaan virus tersebut.
Selain itu Banyak faktor lain yang sangat mempengaruhi timbulnya
karsinoma nasofaring seperti letak geografis, rasial, jenis kelamin,
pekerjaan, lingkungan kebiasaan hidup, kebudayaan, sosial ekonomi, dan
lain-lain.
Kebiasaan mengkonsumsi ikan asin, merokok, terkena paparan asap
polutan seperti asap rokok, dupa, bahan kimia, ventilasi yang buruk, dan
masih banyak lagi merupakan faktor risiko timbulnya karsinoma
nasofaring.
IV. PATOFISIOLOGI

EBV

Genetik

Lingkunga
n

Karsinoma Nasofaring
5

Gambar 2. Bagan Patofisiologi


1. Sel yang terinfeksi oleh virus epstein-barr dapat menimbulkan
KNF
beberapa kemungkinan yaitu :
- Sel menjadi mati bila terinfeksi dengan virus epstein-barr dan virus
-

mengadakan replikasi, atau


Virus epstein-barr yang menginfeksi sel dapat mengakibatkan
kematian virus sehingga sel kembali menjadi normal atau dapat
terjadi transformasi sel yaitu interaksi antara sel dan virus sehingga
mengakibatkan terjadinya perubahan sifat sel sehingga terjadi

transformasi sel menjadi ganas sehingga terbentuk sel kanker


2. Walaupun karsinoma nasofaring tidak termasuk tumor genetik, tetapi
kerentanan terhadap karsinoma nasofaring pada kelompok masyarakat
tertentu relatif menonjol dan memiliki agregasi familial
3. Ikan asin dan makanan lain yang diawetkan mengandung sejumlah
besar nitrosodimethyamine (NDMA), N-nitrospurrolidene (NPYR) dan
nitrospiperidine (NPIP), yang mungkin merupakan faktor karsinogenik
karsinoma nasofaring. Selain itu merokok dan perokok pasif yang
terkena paparan asap rokok yang mengandung formaldehide dan yang
terpapar debu kayu diakui faktor risiko karsinoma nasofaring dengan
cara mengaktifkan kembali infeksi dari EBV.

V. MANIFESTASI KLINIS
Gejala di bagi dalam empat kelompok :

1. Gejala nasofaring sendiri, berupa epistaksis ringan, pilek, atau


sumbatan hidung.
2. Gejala telinga berupa tinnitus, rasa tidak nyaman sampai nyeri di
telinga.
3. Gejala saraf berupa gangguan saraf otak, seperti diplopia, parestesia
daerah pipih, neuralgia trigeminal, paresis/paralysis arkus faring,
kelumpuhan otot bahu dan sering tersedak.
4. Gejala di leher berupa benjolan. Komplikasi berupa metastasis jauh ke
tulang, hati, dan paru dengan gejala khas nyeri pada tulang, batukbatuk dan gangguan fungsi hati
VI. DIAGNOSA
Persoalan diagnostik sudah dapat dipecahkan dengan pemeriksaan
CT-Scan daerah kepala dan leher, sehingga pada tumor primer yang
tersembunyi pun tidak akan terlalu sulit untuk ditemukan.
Pemeriksaan serologi IgA anti EA dan IgA anti VCA untuk infeksi
virus EBV telah menunjukkan kemajuan dalam mendeteksi karsinoma
nasofaring.

Diagnosa pasti ditegakkan dengan melakukan biopsi nasofaring.


Biopsi dapat dilakukan dengan 2 cara, yaitu dari hidung atau dari mulut.
Cunam biopsy dimasukkan melalui rongga hidung menyelusuri konka
media ke nasofaring kemudian cunam diarahkan ke lateral dan dilakukan
biopsi.
7

Biopsi melalui mulut dengan memakai bantuan kateter nelaton


yang dimasukkan melalui hidung dan ujung kateter yang berada di dalam
mulut ditarik keluar dan diklem bersama ujung kateter yang ada di hidung.
Biopsi karsinoma nasofaring umumnya menggunakan analgesik topikal
dengan Xylocain 10%.
VII. KLASIFIKASI
Klasifikasi gambaran histopatologi terbaru yang direkomendasikan oleh
WHO pada tahun 1991,hanya dibagi atas 2 tipe, yaitu :
1) Karsinoma sel skuamosa berkeratinisasi (Keratinizing Squamous
Cell Carcinoma).
2) Karsinoma non-keratinisasi (Non-keratinizing Carcinoma). Tipe ini
dapat dibagi lagi menjadi berdiferensiasi dan tak berdiferensiasi
(radiosensitive)

VIII. PROTOKOL PENANGANAN KNF


Protokol penanganan KNF yang diajukan oleh Brennan (2003) sebagai
berikut:

Stadium I : Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di


nasofaring dan radiasi profilaktik di daerah leher

Stadium Il :
8

1) Kemo-radioterapi, atau
2) Radioterapi dosis tinggi pada tumor primer di nasofaring dan
radiasi profilaktik di leher

Stadium III :
1) Kemo-radioterapi, atau
2) Radioterapi dosis tinggi/teknik hiperfraksinasi ditujukan pada
tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (bila ada)
3) Diseksi leher mungkin dapat dikerjakan misalnya pada tumor
leher persisten atau rekuren asalkan tumor primer di nasofaring
sudah terkontrol

Stadium IV :
1) Kemo-radioterapi, atau
2) Radioterapi dosis tinggi / teknik hiperfraksinasi ditujukan pada
tumor primer di nasofaring dan kelenjar leher bilateral (klinis
positif)
3) Diseksi leher dapat dikerjakan bila tumor leher persisten atau
rekuren asalkan tumor primer di nasofaring sudah terkontrol
4) Kemoterapi untuk KNF stadium IV C

IX.

RADIOTERAPI KNF

Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan


utama untuk penderita KNF. Radioterapi sebagai terapi utama untuk
KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
diharapkan dapat memperbaiki kualitas hidup dan memperpanjang
kelangsungan hidup penderita : KNF termasuk dalam golongan
penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II).
Pertimbangan pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan
utama untuk KNF terutama didasarkan fakta bahwa secara
histopatologis kebanyakan (75%-95%) KNF dari jenis karsinoma
undifferensiated (WHO tipe 3) dan karsinoma non keratinisasi (WHO
tipe 2) yang sangat radiosensitif.
Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang terletak
didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan tindakan
pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor (free
margin) sangat sulit dikerjakan.
X.

RESPON TUMOR TERHADAP RADIASI


Respon tumor terhadap radioterapi yang diberikan bervariasi,
rata-rata respon secara keseluruhan (overall response rate / ORR)
sekitar 25% - 65%.
Respon radioterapi untuk KNF stadium dini sangat baik yaitu
complete local clearence (RL) untuk T1 sebesar 96% dan T2 sebesar

10

88%. Pada KNF stadium lanjut, kegagalan radioterapi dalam


memberantas sel kanker secara lokal maupun regional (loco-regional
XI.

failure) sangat tinggi yaitu sekitar 40% - 80%.


PROGNOSIS
Angka ketahanan hidup 5 tahun pasca radioterapi konvensional
untuk KNF stadium dini (I, II) cukup tinggi yaitu 76%. Sedangkan

XII.

untuk KNF stadium lanjut loko-regional, kurang dari 40%.


FOLLOW UP
Tidak seperti keganasan kepala leher yang lainnya, karsinoma
nasofaring mempunyai resiko terjadinya rekurensi, dan follow up
jangka panjang diperlukan. Kekambuhan tersering terjadi kurang dari
5 tahun, 5-15% kekambuhan sering terjadi antara 5-10 tahun, sehingga

pasien KNF perlu di follow up setidaknya 10 tahun setelah terapi.


B. PERAN OKSIGEN HIPERBARIK DALAM PENGOBATAN KANKER
I. PENDAHULUAN
Keadaan yang hipoksia adalah suatu ciri khas daripada solid tumor
yang menyebabkan tumor mengalami pertahanan diri, angiogenesis,
metabolisme glycolytic, dan metastasis.
Terapi oksigen hiperbarik (OHB) telah banyak digunakan untuk
mengobati berbagai penyakit yang disebabkan kondisi hipoksia dan
iskemia, dengan merangsang kelarutan oksigen didalam plasma dan
meningkatkan pengiriman O2 kedalam jaringan.
Tumor yang hipoksia berkembang dikarenakan kelainan struktual dan
fungsional dari pembuluh darah tumor sehingga menyebabkan tumor dapat
beradaptasi dengan kondisi tersebut untuk meningkatkan pasokan oksigen
Dulunya hipoksia dipercaya sebagai faktor yang membatasi
pertumbuhan tumor dengan mengurangi kemampuan dari sel untuk
11

membelah. Namun, akhir-akhir ini dilaporkan bahwa hipoksia berperan


dalam patofisiologi yang menyebabkan pertumbuhan tumor. Hipoksia
dilaporkan memberikan respon seluler yang akan meningkatkan oksigenasi
viabilitas yang menyebabkan terjadinya angiogenesis, dan perubahan
metabolisme dengan meningkatkan glikolisis dan regulasi gen yang
berperan dalam apoptosis atau pertahanan tumor. Hipoksia juga dilaporkan
meningkatkan ketidakstabilan genetik, mengaktifkan pertumbuhan yang
invasiv, dan menyebabkan kondisi yang tidak stabil dari sel.
Pada kondisi hipoksia dilaporkan telah menginduksi transisi sel kanker dari
sel epitel ke mesenkimal yang menyebabkan sel kanker menjadi invasiv
dan metastasis.

Gambar 3. Pengaruh Kondisi Hipoksia

12

Gambar 4. Patofisiologi Hipoksia Terhadap Transisi Sel Kanker


II. OKSIGEN HIPERBARIK
Oksigen hiperbarik (OHB) adalah suatu cara terapi dimana
penderita harus berada dalam suatu ruangan bertekanan, bernafas
dengan oksigen pada suasana tekanan ruangan yang lebih besar dari 1
ATA yang dilakukan didalam suatu ruang udara bertekanan tinggi.
Efek terapeutik oksigen hiperbarik adalah pada tekanan 2-3 ATA.
Penelitian dengan hewan coba dengan tekanan > 3 ATA menunjukkan
gangguan neurologis berupa kejang.

13

Terapi oksigen hiperbarik menyebkan oksigen larut dalam plasma,


dengan meningkatkan transfer O2 melalui hemoglobin. Seperti pada
jaringan normal, PO2 pada jaringan kanker juga akan meningkat
selama paparan OHB. Elevasi dari PO2 secara klinis dapat terlihat 30
menit setelah paparan OHB.
Terapi hiperbarik memiliki berbagai macam efek terhadap tubuh
manusia. Salah satunya adalah Melancarkan supply oksigen ke
berbagai tempat dalam tubuh yang membutuhkan atau bisa juga
dengan pembentukan pembuluh darah baru atau disebut juga
neovaskularisasi. Hal ini dapat mengubah keadaan hipoksia menjadi
hiperoksia dengan terapi hiperbarik.Keadaan hipoksia terjadi pada
berbagai proses patologis seperti stroke, jaringan iskemik, inflamasi,
serta pertumbuhan tumor.
Oksigen juga dipercaya berperan dalam perbaikan luka, sehingga
lebih tahan terhadap infeksi, mengaktifkan fibroblast, deposisi
kolagen, angiogenesis, dan epitelisasi.Dan yang selama ini masih
ditakutkan adalah efek HBO dalam meningkatkan proliferasi sel
kanker.Nyatanya, setelah dilakukan penelitian secara eksperimental
dan klinis dengan menggunakan berbagai tipe sel kanker yang berbeda
dengan atau tanpa terapi tambahan, OHB tidak menyebabkan
pertumbuhan sel kanker, dan penggunaan OHB pada pasien dengan
keganasan adalah aman.
III. OKSIGEN DAN ANGIOGENESIS TUMOR

14

1) Pada

dasarnya

oksigen

memang

berperan

dalam proses

angiogenesis sehingga mempercepat penyembuhan luka, sehingga


kita berpikir bahwa apabila tumor terpapar oksigen maka akan
mempercepat angiogenesis pada tumor yang menyebabkan tumor
bertambah ganas. Nyatanya proses angiogenesis pada jaringan
yang luka dan angiogenesis pada tumor berbeda dalam beberapa
jalur.
2) Perbedaanya terdapat pada makrofag di jaringan luka vs tumor. Di
jaringan luka, makrofag berperan utama dalam menginduksi
proses angiogenesis. Di tumor, makrofag hanyalah salah satu
faktor dari banyak faktor yang lain, dimana mayoritas berasal dari
populasi sel tumor dan stroma di sekelilingnya.
3) Tekanan O2 dalam OHB yang diperlukan untuk sintetis kolagen
dan hidroksilasi pada proses penyembuhan luka hipoksia yang
kronishanya berkisar 30-40 mmHg dan disini terapi OHB hanya
sebagai adjuvant. Mekanisme yang sama tidak dijumpai pada
pembentukan tumor stroma.
4) Proses angiogenesis tumor dan jaringan luka biasa berbeda dalam

hal :
Dimana pada jaringan yang luka terdapat negative space, sehingga pada
proses penyembuhannya membutuhkan jaringan baru untuk mengisi negative
space tersebut, sedangkan untuk

sel tumor biasanya sudah tumbuh pada

jaringan yang sudah ada, sehingga pertumbuhan sel tumor membutuhkan

15

kolagen untuk melarutkan membrane basal dan jaringan normal sehinggan

sel-sel tumor dapat berkembang dan proliferasi.


Proliferasi jaringan baru pada proses penyembuhan luka diatur oleh negatif
feedback yang membatasi pertumbuhan jaringan baru apabila sudah cukup.
Tetapi pada proliferasi sel tumor tidak diatur oleh negative feedback sehingga

menyebabkan pertumbuhan sel tumor tidak terkontrol.


Proses neovaskularisasi (arteri-arteriol-kapiler-venule-vena) pada sel tumor
terganggu dan berbeda dengan jaringan yang mengalami luka biasa. Pada
tumor terdapat kapiler dan arteriovenous yang besar tanpa kapiler
penghubung, sehingga darah mengalir dari satu vena ke vena yang lain.

IV. OHB DAN KARSINOMA NASOFARING


Radioterapi sampai sekarang masih merupakan terapi pilihan
utama untuk penderita KNF. Radioterapi sebagai terapi utama untuk
KNF yang belum ada metastasis jauh. Radiasi yang diberikan
diharapkan dapat memperbaiki kuaiitas hidup dan memperpanjang
kelangsungan hidup penderita : KNF termasuk dalam golongan
penyakit kanker yang dapat disembuhkan dengan penyinaran
(radiocurable), terutama bila masih dini (stadium I, II). Pertimbangan
pemilihan radiasi sebagai pengobatan pilihan utama untuk KNF
terutama didasarkan fakta bahwa secara histopatologis kebanyakan

16

(75%-95%) KNF dari jenis karsinoma undifferensiated (WHO tipe 3)


dan karsinoma non keratinisasi (WHO tipe 2) yang sangat
radiosensitif. Alasan lainnya adalah faktor anatomi nasofaring yang
terletak didasar tengkorak dengan banyak organ vital menyebabkan
tindakan pembedahan ekstensif untuk memperoleh daerah bebas tumor
(free margin) sangat sulit dikerjakan. Radiasi eksterna (teleterapi) pada
KNF stadium loko-regional harus diberikan dengan dosis yang cukup
tinggi (sekitar 7000 cGy), ditujukan pada tumor primer di nasofaring
dan daerah perluasan maupun metastasisnya di kelenjar getah bening
leher.Radioterapi dikatakan berhasil bila tercapai eradiasi semua sel
kanker yang viable .
Penggunaan OHB dengan radioterapi dimaksudkan untuk 2 hal :
(1) sebagai terapi untuk luka akibat radioterapi (2) sebagai
radiosensitizer untuk meningkatkan efek radioterapi.
Radioterapi bisa mematikan sel secara langsung dan tidak
langsung. Efek radiasi terbagi 3 yaitu : efek segera, intermedia, dan
efek lambat. Radioterapi menyebabkan jaringan mengalami jejas
termis berulang yang diiringi oleh respon jaringan terhadap jejas
berupa repair-redistribusi-repopulasi-reoksigenasi. Jaringan tumor
akan mati, sedangkan jaringan normal akan tetap bertahan. Efek
sampingnya jaringan yang hidup yang mendapat radiasi dosis tinggi
akan mengalami hipoksia, hiposelular, dan hipovaskular.

17

V. PENELITIAN

HUBUNGAN

OHB

DALAM

TREATMENT

KARSINOMA NASOFARING
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa keadaan hipoksia
mengakibatkan tumor menjadi resisten terhadap terapi radiasi dan
kemoterapi. Keadaan hipoksia mengakibatkan peningkatan dari
metabolisme sel tumor, angiogenesis, pertumbuhan serta metatastasis
tumor.
Terapi hiperbarik meningkatkan sensitifitas radioterapi untuk
membunuh sel kanker. Penelitian menunjukkan bahwa terapi
Hiperbarik dapat menurunkan angka mortalitas dan rekurensi pada
pasien dengan keganasan pada kepala dan leher.
Radioterapi dapat menyebabkan perubahan suplai oksigen ke
jaringan yang terkena efek radioterapi. Hal ini dikarenakan radioterapi
memberi pengaruh tidak hanya pada sel kanker, tapi juga sel normal di
sekitar sel kanker. Hal ini menyebabkan terjadinya resiko nekrosis
akibat kurangnya pasokan oksigen. Terapi hiperbarik meningkatkan
suplai oksigen ke daerah tersebut, sehingga terjadi neovaskularisasi
dan jaringan tersebut dapat disembuhkan.
Penelitian membandingkan antara pasien kanker kepala leher post
radioterapi yang diberi terapi hiperbarik dengan tidak diberi terapi
hiperbarik. Hasilnya terjadi penurunan angka kekambuhan serta

18

berkurangnya efek samping radioterapi pada pasien yang diterapi


dengan terapi hiperbarik.
Percobaan pada tikus yang ditanam tumor di daerah abdomen
dengan menggunakan terapi hiperbarik tanpa disertai dengan terapi
radioterapi dengan tekanan 2,1 ATA dalam waktu 90 menit per hari
selama 8 hari menyatakan tidak ada perubahan dari tumor.
Penelitian utnuk menyembuhkan salah satu efek samping
radioterapi pada pasien karsinoma nasofaring yaitu mandibular
nekrosis dengan terapi hiperbarik pada tekanan 1,9 2,5 ATA
menunjukkan keberhasilan yang tinggi pada tekanan 2,4 ATA dalam
waktu 90 menit.
Penelitian untuk melihat efek terapi hiperbarik dikombinasikan
dengan kemoterapi (menggunakan obat 5-Fluorouracil) terhadap
proliferasi dan metastasis karsinoma nasofaring menunjukkan hasil
bahwa pengobatan OHB sederhana setelah 48 jam dan 72 jam dapat
menghambat proliferasi sel karsinoma nasofaring, selain itu terdapat
sinergisme antara terapi hiperbarik dengan pemberian 5-FU setelah
48-72 jam pengobatan dalam menghambat proliferasi sel kanker
nasofaring.
VI. PEMBAHASAN
Sampai saat ini pemberian radioterapi merupakan gold standard
bagi pasien yang menderita karsinoma nasofaring, terutama mereka
19

yang menderita stadium dini (stadium 1 dan 2), dikarenakan pada


stadium ini, tumor bersifat radiosensitif. Efek radioteapi bagi pasien
yang menderita karsinoma nasofaring dapat dibagi menjadi dua;
1) Manfaat pada pasien post radioterapi
Kita mengetahui bahwa terkadang jaringan yang awalnya normal
dan tumbuh di sekitar sel kanker akanterkena efek radiasi dan
menjadi rusak akibat hipoksia, hiposeluler, dan hipovaskular,
khususnya bagi pasien yang menjalani radioterapi. OHB disini
berperan untuk menyembuhkan luka pada jaringan normal yang
rusak akibat radiasi melalui mekanisme dengan memodulasi nitrit
okside (NO) pada sel endotel. Pada sel endotel ini OHB juga
meningkatkan intermediet vascular endothelial growth factor
(VEGF). Melalui siklus Krebs terjadi peningkatan NADH yang
memicu peningkatan fibroblast. Fibroblast yang diperlukan untuk
sintesis proteoglikan dan bersama dengan VEGF akan memacu
kolagen sintesis pada proses remodeling, yang merupakan salah
satu tahap dalam proses penyembuhan luka.
2) OBH meningkatkan sensitivitas radioterapi
Karena pada saat hipoksia sensitivitas sel tumor menurun,
sehingga dengan OHB yang meningkatkan perfusi akan tercipta
kondisi hiperoksia yang menyebabkan sensitivitas sel tumor
meningkat.

20

Pengobatan pasien dengan stadium 3 dan 4, terapinya berbeda


dengan pasien stadium 1,2. Tidak hanya berfokus pada pemberian
radioterapi, tetapi juga harus dikombinasikan dengan obat-obatan
kemoterapi

dan

pembedahan.

Beberapa

peneliti

melaporkan

melakukan nasofaringektomi pada penderita KNF. Menurut Wei


(2003) nasofaringektomi terutama di indikasikan untuk KNF stadium
dini yang persisten atau mengalami kekambuhan (rekuren) setelah
menjalani radioterapi dosis lengkap. Pembedahan berupa diseksi
leher radikal (RND) dapat dilakukan bila dijumpai tumor persisten
atau rekurensi di kelenjar leher, dengan persyaratan bila tumor primer
di nasofaring sudah terkontrol.
VII. KESIMPULAN
1. Pemberian radioterapi masih menjadi pilihan utama bagi
penderita karsinoma nasofaring.
2. Berbagai pendapat mengenai pengaruh OHB pada penderita
karsinoma sampai saat ini masih belum jelas.
3. Berbagai penelitian yang ada mengatakan penggunaan OHB
pada pasien kanker sangat aman.
4. Meskipun penggunaan OHB pada beberapa penelitian berhasil
meningkatkan efek untuk membunuh sel kanker, terapi OHB
hanya sebagai adjuvant, terapi untuk pasien kanker harus
dikombinasikan dengan obat-obatan, kemoterapi, hormonal,
dan pembedahan.

21

DAFTAR PUSTAKA
1. Majalah Kedokteran Tropis Indonesia Volume 14, Nomor 2, Juli 2003.
2. Damayanti B S, dkk. 2015. Bcl-2 Immunosupression as Radiotheraphy
Response Predictor in Undifferentiated Nasopharynx Carcinoma. Journal of
Medicine and Health. Vol 1. No. 1. Department of Pathology Anatomy
Faculty of Medicine Padjajaran University. Bandung. Hal 1-10.
3. Jain KK, 1996. Text Book of Hyperbaric Medicine. Toronto : Hogrefe and
Huber, p 12-23, p 61-64, p 331-334.
4. Moen Inggrid, E. B. Stuhr Linda. 2012. Hyperbaric oxygen therapy and
cancer-a review. Springer. Norway.
5. Oktaviani, Tisusilo Salean. 2009.

Referat

Karsinoma

Nasofaring.

Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Kristen


Universitas Indonesia. Jakarta.
6. Hockel Michael, Vaupel Peter.2001.Tumor Hypoxia: Definitions and Current
Clinical,Biologic, and Molecular Aspects. Journal of the National Cancer
Institute (JNCI).

22

7. Widiasstuti dkk. 2011. Ekspresi protein Cox-2 pada Karsinoma Nasofaring


Respon Tinggi dan Respon Rendah Pasca Radioterapi. JBP. Vol 13. No.2.
Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret. Jawa Tengah. Hal 105-13.
8. J.Feldemeier, U.Carl, K. Hartmann, P.Sminia. UHM 2003. Vol. 30 No 1.
Hyperbaric oxygen amd cancer growth.
9. Terapi
HBOT
(Hiperbaric

Oxygen

Theraphy).

http://elektromedik.blogspot.com/2012/11/terapi-hbot-hiperbaric-oxygentheraphy.html

23

Anda mungkin juga menyukai