Anda di halaman 1dari 43

Sepsis dan Syok Septik

Definisi
Systemic inflammatory response syndrome adalah pasien yang memiliki dua atau lebih dari
kriteria berikut:
1.

Suhu > 38C atau < 36C

2.

Denyut jantung >90 denyut/menit

3.

Respirasi >20/menit atau PaCO2 < 32 mmHg

4.

Hitung leukosit > 12.000/mm3 atau >10% sel imatur

Sepsis adalah SIRS ditambah tempat infeksi yang diketahui. Meskipun SIRS, sepsis dan syok
sepsis biasanya berhubungan dengan infeksi bakteri, tidak harus terdapat bakteriemia.
Sepsis berat adalah sepsis yang berkaitan dengan disfungsi organ, kelainan hipoperfusi, atau
hipotensi. Kelainan hipoperfusi meliputi:
1.

Asidosis laktat

2.

Oliguria

3.

Atau perubahan akut pada status mental

Terdapat beberapa kriteria diagnostik baru untuk sepsis, diantaranya memasukkan pertanda
biomolekuler yaitu procalcitonin (PCT) dan C-reactive protein, sebagai langkah awal dalam
diagnosis sepsis.
(Hermawan, 2007).
Syok merupakan keadaan dimana terjadi gangguan sirkulasi yang menyebabkan perfusi
jaringan menjadi tidak adekuat sehingga mengganggu metabolisme sel/jaringan. Syok
septik merupakan keadaan dimana terjadi penurunan tekanan darah (sistolik < 90mmHg atau
penurunan tekanan darah sistolik > 40mmHg) disertai tanda kegagalan sirkulasi, meski telah
dilakukan resusitasi secara adekuat atau perlu vasopressor untuk mempertahankan tekanan
darah dan perfusi organ (Chen dan Pohan, 2007).
Etiologi
Penyebab terbesar adalah bakteri gram negatif. Produk yang berperan penting terhadap sepsis
adalah lipopolisakarida (LPS), yang merupakan komponen terluar dari bakteri gram negatif.
LPS merupakan penyebab sepsis terbanyak, dapat langsung mengaktifkan sistem imun
seluler dan humoral, yang dapat menimbulkan gejala septikemia. LPS tidak toksik, namun
merangsang pengeluaran mediator inflamasi yang bertanggung jawab terhadap sepsis. Bakteri
gram positif, jamur, dan virus, dapat juga menyebabkan sepsis dengan prosentase yang lebih

sedikit. Peptidoglikan yang merupakan komponen dinding sel dair semua kuman, dapat
menyebabkan agregasi trombosit. Eksotoksin dapat merusak integritas membran sel imun
secara langsung (Hermawan, 2007).
Patogenesis
Sepsis melibatkan berbagai mediator inflamasi termasuk berbagai sitokin. Sitokin
proinflamasi dan antiinflamasi terlibat dalam patogenesis sepsis. Termasuk sitokin
proinflamasi adalah TNF, IL-1, interferon (IFN-) yang membantu sel menghancurkan
mikroorganisme yang menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin 1
reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, IL-10, yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau
represi terhadap respon yang berlebihan. Apabila terjadi ketidakseimbangan kerja sitokin
proinflamasi dengan antiinflamasi, maka menimbulkan kerugian bagi tubuh.
Endotoksin dapat secara langsung dengan LPS dan bersama-sama membentuk LPSab (Lipo
Poli Sakarida antibodi). LPSab dalam serum penderita kemudian dengan perantara reseptor
CD14+ akan bereaksi dengan makrofag, dan kemudian makrofag mengekspresikan
imunomodulator. Hal ini terjadi apabila mikroba yang menginfeksi adalah bakteri gram
negatif yang mempunyai LPS pada dindingnya.
Eksotoksin, virus dan parasit yang merupakan superantigen setelah difagosit oleh monosit
atau makrofag yang berperan sebagai Antigen Presenting Cell (APC), kemudian ditampilkan
dalam APC. Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari Major
Histocompatibility Complex (MHC). Antigen yang bermuatan pada peptida MHC kelas II
akan berikatan dengan CD4+ (limfosit Th1 dan Th2) dengan perantaraan TCR (T cell
receptor).
Limfosit T kemudian akan mengeluarkan substansi dari Th1 yang berfungsi sebagai
immunomodulator yaitu: IFN-, IL-2 dan M-CSF (Macrophage Colony stimulating factor).
Limfosit Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN- merangsang
makrofag mengeluarkan IL-1 dan TNF-. IFN-, IL-1 dan TNF- merupakan sitokin
proinflamasi, pada sepsis terdapat peningkatan kadar IL-1 dan TNF- dalam serum
penderita. Sitokin IL-2 dan TNF- selain merupakan reaksi sepsis, dapat merusakkan endotel
pembuluh darah, yang mekanismenya sampai saat ini belum jelas. IL-1 sebagai
imunoregulator utama juga mempunyai efek pada sel endotel, termasuk pembentukan
prostaglandin E2 (PG-E2) dan merangsang ekspresiintercellular adhesion molecule1 (ICAM-1). Dengan adanya ICAM-1 menyebabkan neutrofil yang telah tersensitisasi

oleh granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF) akan mudah mengadakan


adhesi. Interaksi neutrofil dengan endotel terdiri dari 3 langkah, yaitu:
1. Bergulirnya neutrofil P dan E selektin yang dikeluarkan oleh endotel dan Lselektin neutrofil dala mengikat ligan respektif
2. Merupakan langkah yang sangat penting, adhesi dan aktivasi neutrofil yang
mengikat intergretin CD-11 atau CD-18, yang melekatkan neutrofil pada
endotel dengan molekul adhesi (ICAM) yang dihasilkan oleh endotel
3. Transmigrasi neutrofil menembus dinding endotel.
Neutrofil yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisozyme yang melisiskan
dinding endotel, akibatnya endotel terbuka. Neutrofil juga termasuk radikal bebas yang
mempengaruhi oksigenasi pada mitokondria dan siklus GMPs, sehingga akibatnya endotel
menjadi nekrosis, dan rusak. Kerusakan endotel tersebut menyebabkan vascular leak,
sehingga menyebabkan kerusakan organ multipel. Pendapat lain yang memperkuat pendapat
tersebut bahwa kelainan organ multipel disebabkan karena trombosis dan koagulasi dalam
pembuluh darah kecil sehingga terjadi syok septik yang berakhir dengan kematian.
Untuk mencegah terjadinya sepsis yang berkelanjutan, Th2 mengekspresikan IL-10
sebagai sitokin antiinflamasi yang akan menghambat ekspresi IFN-, TNF- dan fungsi APC.
IL-10 juga memperbaiki jaringan yang rusak akibat peradangan. Apabila IL-10 meningkat
lebih tinggi, maka kemungkinan kejadian syok septik pada sepsis dapat dicegah.
(Hermawan, 2007).
Patofisiologi Syok Septik
Endotoksin yang dilepaskan oleh mikroba akan menyebabkan proses inflamasi yang
melibatkan berbagai mediator inflamasi, yaitu sitokin, neutrofil, komplemen, NO, dan
berbagai mediator lain. Proses inflamasi pada sepsis merupakan proses homeostasis dimana
terjadi keseimbangan antara inflamasi dan antiinflamasi. Bila proses inflamasi melebihi
kemampuan homeostasis, maka terjadi proses inflamasi yang maladaptif, sehingga terjadi
berbagai proses inflamasi yang destruktif, kemudian menimbulkan gangguan pada tingkat
sesluler pada berbagai organ.
Terjadi disfungsi endotel, vasodilatasi akibat pengaruh NO yang menyebabkan maldistribusi
volume darah sehingga terjadi hipoperfusi jaringan dan syok. Pengaruh mediator juga
menyebabkan disfungsi miokard sehingga terjadi penurunan curah jantung.

Lanjutan proses inflamasi menyebabkan gangguan fungsi berbagai organ yang dikenal
sebagai disfungsi/gagal organ multipel (MODS/MOF). Proses MOF merupakan kerusakan
pada tingkat seluler (termasuk difungsi endotel), gangguan perfusi jaringan, iskemia
reperfusi, dan mikrotrombus. Berbagai faktor lain yang diperkirakan turut berperan adalah
terdapatnya faktor humoral dalam sirkulasi (myocardial depressant substance), malnutrisi
kalori protein, translokasi toksin bakteri, gangguan pada eritrosit, dan efek samping dari
terapi yang diberikan (Chen dan Pohan, 2007).
Gejala Klinis Sepsis
Tidak spesifik, biasanya didahului demam, menggigil, dan gejala konsitutif seperti lemah,
malaise, gelisah atau kebingungan. Tempat infeksi yang paling sering: paru, tractus
digestivus, tractus urinarius, kulit, jaringan lunak, dan saraf pusat. Gejala sepsis akan menjadi
lebih berat pada penderita usia lanjut, penderita diabetes, kanker, gagal organ utama, dan
pasien dengan granulositopenia.
Tanda-tanda MODS dengan terjadinya komplikasi:
1. Sindrom distress pernapasan pada dewasa
2. Koagulasi intravaskular
3. Gagal ginjal akut
4. Perdarahan usus
5. Gagal hati
6. Disfungsi sistem saraf pusat
7. Gagal jantung
8. Kematian
(Hermawan, 2007).
Diagnosis
Riwayat
Menentukan apakah infeksi berasal dari komunitas atau nosokomial, dan apakah pasien
immunocompromise. Beberapa tanda terjadinya sepsis meliputi:
1.

Demam atau tanda yang tidak terjelaskan disertai keganasan atau instrumentasi

2.

Hipotensi, oliguria, atau anuria

3.

Takipnea atau hiperpnea, hipotermia tanpa penyebab yang jelas

4.

Perdarahan

Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik diperlukan untuk mencari lokasi dan penyebab infeksi dan inflamasi yang
terjadi, misalnya pada dugaan infeksi pelvis, dilakukan pemeriksaan rektum, pelvis, dan
genital.
Laboratorium
Hitung darah lengkap, dengan hitung diferensial, urinalisis, gambaran koagulasi, urea darah,
nitrogen, kreatinin, elektrolit, uji fungsi hati, kadar asam laktat, gas darah arteri,
elektrokardiogram, dan rontgen dada. Biakan darah, sputum, urin, dan tempat lain yang
terinfeksi harus dilakukan.
Temuan awal lain: Leukositosis dengan shift kiri, trombositopenia, hiperbilirubinemia, dan
proteinuria. Dapat terjadi leukopenia. Adanya hiperventilasi menimbulkan alkalosis
respiratorik. Penderita diabetes dapat mengalami hiperglikemia. Lipida serum meningkat.
Selanjutnya, trombositopenia memburuk disertai perpanjangan waktu trombin, penurunan
fibrinogen,

dan

keberadaan

D-dimer

yang

menunjukkan

DIC.

Azotemia

dan

hiperbilirubinemia lebih dominan. Aminotransferase meningkat. Bila otot pernapasan lelah,


terjadi akumulasi laktat serum. Asidosis metabolik terjadi setelah alkalosis respiratorik.
Hiperglikemia diabetik dapat menimbulkan ketoasidosis yang memperburuk hipotensi.
(Hermawan, 2007).
Penatalaksanaan
Tiga prioritas utama dalam penatalaksanaan sepsis:
1.

Stabilisasi pasien langsung


Pasien dengan sepsis berat harus dimasukkan dalam ICU. Tanda vital pasien harus
dipantau. Pertahankan curah jantung dan ventilasi yang memadai dengan obat.
Pertimbangkan dialisis untuk membantu fungsi ginjal. Pertahankan tekanan darah arteri
pada pasien hipotensif dengan obat vasoaktif, misal dopamin, dobutamin, dan
norepinefrin.

2.

Darah harus cepat dibersihkan dari mikroorganisme


Perlu segera perawatan empirik dengan antimikrobial, yang jika diberikan secara dini
dapat menurunkan perkembangan syok dan angka mortalitas. Setelah sampel didapatkan
dari pasien, diperlukan regimen antimikrobial dengan spektrum aktivitas luas. Bila telah

ditemukan penyebab pasti, maka antimikrobial diganti sesuai dengan agen penyebab
sepsis tersebut (Hermawan, 2007).
Sebelum ada hasil kultur darah, diberikan kombinasi antibiotik yang kuat, misalnya antara
golongan penisilin/penicillinaseresistant penicillin dengan gentamisin.
A. Golongan penicillin
- Procain penicillin 50.000 IU/kgBB/hari im, dibagi dua dosis
- Ampicillin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-10 hari
B. Golongan penicillinaseresistant penicillin
- Kloksasilin (Cloxacillin Orbenin) 41 gram/hari iv selama 7-10 hari sering
dikombinasikan dengan ampisilin), dalam hal ini masing-masing dosis obat diturunkan
setengahnya, atau menggunakan preparat kombinasi yang sudah ada (Ampiclox 4 x 1
gram/hari iv).
- Metisilin 4-6 x 1 gram/hari iv selama 7-14 hari.
C. Gentamycin
Garamycin, 5 mg/kgBB/hari dibagi tiga dosis im selama 7 hari, hati-hati terhadap efek
nefrotoksiknya.
Bila hasil kultur dan resistensi darah telah ada, pengobatan disesuaikan. Beberapa bakteri
gram negatif yang sering menyebabkan sepsis dan antibiotik yang dianjurkan:
Bakteri

Antibiotik

Dosis

Escherichia coli

Ampisilin/sefalotin

- Sefalotin: 1-2 gram tiap 4-6 jam, biasanya

Klebsiella,

Gentamisin

dilarutkan dalam 50-100 ml cairan, diberikan


per

Enterobacter

drip

dalam

20-30

menit

Proteus mirabilis

Ampisilin/sefalotin

menghindari flebitis.

Pr. rettgeri, Pr.

Gentamisin

- Kloramfenikol: 6 x 0,5 g/hari iv


- Klindamisin: 4 x 0,5 g/hari iv

morgagni, Pr.
vulgaris
Mima-Herellea

Gentamisin

Pseudomonas

Gentamisin

Bacteroides

Kloramfenikol/klindamisi
n

untuk

(Purwadianto dan Sampurna, 2000).


1.

Fokus infeksi awal harus diobati


Hilangkan benda asing. Salurkan eksudat purulen, khususnya untuk infeksi anaerobik.
Angkat organ yang terinfeksi, hilangkan atau potong jaringan yang gangren (Hermawan,
2007).

Penatalaksanaan Syok Septik


Penatalaksanaan hipotensi dan syok septik merupakan tindakan resusitasi yang perlu
dilakukan sesegera mungkin. Resusitasi dilakukan secara intensif dalam 6 jam pertama,
dimulai sejak pasien tiba di unit gawat darurat. Tindakan mencakup airway: a) breathing; b)
circulation; c) oksigenasi, terapi cairan, vasopresor/inotropik, dan transfusi bila diperlukan.
Pemantauan dengan kateter vena sentral sebaiknya dilakukan untuk mencapai tekanan vena
sentral (CVP) 8-12 mmHg, tekanan arteri rata-rata (MAP)>65 mmHg dan produksi urin >0,5
ml/kgBB/jam.
1.

Oksigenasi
Hipoksemia dan hipoksia pada sepsis dapat terjadi sebagai akibat disfungsi atau kegagalan
sistem respirasi karena gangguan ventilasi maupun perfusi. Transpor oksigen ke jaringan
juga dapat terganggu akibat keadaan hipovolemik dan disfungsi miokard menyebabkan
penurunan curah jantung. Kadar hemoglobin yang rendah akibat perdarahan menyebabkan
daya angkut oleh eritrosit menurun. Transpor oksigen ke jaringan dipengaruhi juga oleh
gangguan perfusi akibat disfungsi vaskuler, mikrotrombus dan gangguan penggunaan
oksigen oleh jaringan yang mengalami iskemia.
Oksigenasi bertujuan mengatasi hipoksia dengan upaya meningkatkan saturasi oksigen di
darah, meningkatkan transpor oksigen dan memperbaiki utilisasi oksigen di jaringan.

2.

Terapi cairan
Hipovolemia pada sepsis perlu segera diatasi dengan pemberian cairan baik kristaloid
maupun koloid. Volume cairan yang diberikan perlu dimonitor kecukupannya agar tidak
kurang ataupun berlebih. Secara klinis respon terhadap pemberian cairan dapat terlihat
dari peningkatan tekanan darah, penurunan ferkuensi jantung, kecukupan isi nadi,
perabaan kulit dan ekstremitas, produksi urin, dan membaiknya penurunan kesadaran.
Perlu diperhatikan tanda kelebihan cairan berupa peningkatan tekanan vena jugular, ronki,
gallop S3, dan penurunan saturasi oksigen.

Pada keadaan serum albumin yang rendah (< 2 g/dl) disertai tekanan hidrostatik melebihi
tekanan onkotik plasma, koreksi albumin perlu diberikan. Transfusi eritrosit (PRC) perlu
diberikan pada keadaan perdarahan aktif, atau bila kadar Hb rendah pada keadaan tertentu
misalnya iskemia miokardial dan renjatan septik. Kadar Hb yang akan dicapai pada sepsis
dipertahankan pada 8-10 g/dl.
3.

Vasopresor dan inotropik


Vasopresor sebaiknya diberikan setelah keadaan hipovolemik teratasi dengan pemberian
cairan secara adekuat, tetapi pasien masih mengalami hipotensi. Terapi vasopresor
diberikan mulai dosis rendah secara titrasi untuk mencapai MAP 60 mmHg, atau tekanan
sistolik 90 mmHg. Untuk vasopresor dapat digunakan dopamin dengan dosis >8
mcg/kg/menit, norepinefrin 0,03-1,5 mcg/kg/menit, fenileferin 0,5-8 mcg/kg/menit atau
epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit. Inotropik yang dapat digunakan adalah dobutamin dosis
2-28 mcg/kg/menit, dopamin 3-8 mc/kg/menit, epinefrin 0,1-0,5 mcg/kg/menit atau
inhibitor fosfodiesterase (amrinon dan milrinon).

4.

Bikarbonat
Secara empirik, bikarbonat dapat diberikan bila pH <7,2 atau serum bikarbonat <9 meq/l,
dengan disertai upaya untuk memperbaiki keadaan hemodinamik.

5.

Disfungsi renal
Sebagai terapi pengganti gagal ginjal akut dapat dilakukan hemodialisis maupun
hemofiltrasi kontinu (continuous hemofiltration). Pada hemodialisis digunakan gradien
tekanan osmotik dalam filtrasi substansi plasma, sedangkan pada hemofiltrasi digunakan
gradien tekanan hidrostatik. Hemofiltrasi dilakukan kontinu selama perawatan, sedangkan
bila kondisi telah stabil dapat dilakukan hemodialisis.

6.

Nutrisi
Pada sepsis kecukupan nutrisi berupa kalori, protein, asam lemak, cairan, vitamin dan
mineral perlu diberikan sedini mungkin, diutamakan pemberian secara enteral dan bila
tidak memungkinkan beru diberikan secara parenteral.

7.

Kortikosteroid
Saat ini terapi kortikosteroid diberikan hanya pada indikasi insufisiensi adrenal, dan
diberikan secara empirik bila terdapat dugaan keadaan tersebut. Hidrokortison dengan
dosis 50mg bolus intravena 4 kali selama 7 hari pada pasien renjatan septik menunjukkan
penurunan mortalitas dibanding kontrol.

(Chen dan Pohan, 2007).


Daftar Pustaka
Chen K dan Pohan H.T. 2007. Penatalaksanaan Syok Septik dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI. Pp: 187-9
Hermawan A.G. 2007. Sepsis daalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi,
Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III
Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI. Pp:
1840-3
Purwadianto A dan Sampurna B. 2000. Kedaruratan Medik Edisi Revisi. Jakarta: Bina
Aksara. Pp: 55-

Patofisiologi syok septik belum dapat dengan tepat, tetapi melibatkaninteraksi kompleks
antara patogen dan sistem kekebalan tubuh inang. Responfisiologis normal untuk infeksi
lokal meliputi aktivasi mekanisme pertahanan tuanrumah yang menghasilkan masuknya
neutrofil dan monosit aktif, pelepasan mediatorinflamasi, vasodilatasi lokal, peningkatan
permeabilitas endotel, dan aktivasi jalurkoagulasi.Mekanisme ini terjadi selama syok septik,
tetapi pada skala yang sistemik,yang mengarah untuk meredakan gangguan endotel,
permeabilitas vaskuler,vasodilatasi, dan trombosis end-organ kapiler. Kerusakan endotel
sendiri lebih lanjutdapat mengaktifkan inflamasi dan koagulasi, menciptakan efek umpan
balik positif,dan menyebabkan kerusakan lebih lanjut endotel dan organ akhirBukti bahwa
sepsis hasil dari respon inflamasi sistemik yang berlebihan yangdisebabkan oleh organisme

menginfeksi. Mediator inflamasi adalah kunci dalampatogenesisLangkah awal dalam aktivasi


kekebalan bawaan adalah sintesis de novo daripolipeptida kecil, yang disebut sitokin, yang
menginduksi manifestasi protein padakebanyakan tipe sel, dari sel efektor kekebalan tubuh
untuk otot polos pembuluhdarah dan sel-sel parenkim. Beberapa sitokin diinduksi, termasuk
tumor necrosisfactor (TNF) dan interleukin (ILS), terutama IL-1. Kedua faktor ini juga
membantuuntuk menjaga infeksi lokal, tetapi, setelah infeksi menjadi sistemik, efek juga
dapatmerusak Tingkat sirkulasi IL-6 berkorelasi dengan baik dengan hasil. Tingginya
kadarIL-6 berhubungan dengan kematian, tetapi perannya dalam patogenesis tidak jelas.IL-8
adalah suatu regulator penting dari fungsi neutrofil, disintesis dan dilepaskandalam jumlah
yang banyak selama sepsis. IL-8 memberikan kontribusi terhadapcedera paru dan disfungsi
organ lain.Kemokin (monosit chemoattractant protein-1) mengatur migrasi leukositselama
endotoksemia dan sepsis. Sitokin lain yang memiliki peran seharusnya padasepsis adalah IL10, interferon gamma, IL-12, makrofag faktor migrasi inhibisi,granulocyte colonystimulating factor (G-CSF), dan makrofag faktor koloni-stimulating granulocyte (GMCSF)Selain itu, sitokin mengaktifkan jalur koagulasi, menghasilkan mikrotrombikapiler dan
akhir iskemia organ
1,2,3
Bakteri gram positif dan gram-negatif menginduksi berbagai mediator proinflamasi,
termasuk sitokin yang memainkan peran penting dalam memulai sepsisdan shock. Berbagai
komponen sel bakteri dinding dikenal untuk melepaskan sitokin,termasuk lipopolisakarida
(bakteri gram negatif), peptidoglikan (bakteri gram positif dan gram-negatif), dan asam
lipoteichoic (bakteri gram positif)Beberapa efek berbahaya dari bakteri dimediasi oleh sitokin
pro inflamasidiinduksi dalam sel inang (makrofag / monosit dan neutrofil) oleh komponen
dindingsel bakteri. Komponen yang paling beracun dari bakteri gram negatif adalah
bagiandari lipid A lipopolisakarida. Para bakteri gram positif dinding sel
menyebabkaninduksi sitokin melalui asam lipoteichoic

copyaskep
Tempat Berbagi Askep
Lanjut

BERANDA
TULISAN KOMENTAR

ASKEP

BUKAN MATERI BIASA

GA-DAR
ASUHAN KEPERAWATAN PASIEN DENGAN MYASTHENIA GRAVIS
ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN TUMOR OTAK
SYOK ANAFILAKTIK
10 OKTOBER 2011 & KOMENTAR
DEFINISI
Secara harfiah, anafilaksis berasal dari kata ana yang berarti balik dan phylaxis yang
berarti perlindungan. Dalam hal ini respons imun yang seharusnya melindungi (prophylaxis)
justru merusak jaringan, dengan kata lain kebalikan dari pada melindungi (anti-phylaxis atau
anaphylaxis).
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai
oleh Immunoglobulin E (hipersensitivitas tipe I) yang ditandai dengan curah jantung dan
tekanan arteri yang menurun hebat. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu reaksi antigenantibodi yang timbul segera setelah suatu antigen yang sensitif masuk dalam sirkulasi. Syok
anafilaktik merupakan salah satu manifestasi klinis dari anafilaksis yang merupakan syok
distributif, ditandai oleh adanya hipotensi yang nyata akibat vasodilatasi mendadak pada
pembuluh darah dan disertai kolaps pada sirkulasi darah yang dapat menyebabkan terjadinya
kematian. Syok anafilaktik merupakan kasus kegawatan, tetapi terlalu sempit untuk

menggambarkan anafilaksis secara keseluruhan, karena anafilaksis yang berat dapat terjadi
tanpa adanya hipotensi, seperti pada anafilaksis dengan gejala utama obstruksi saluran napas.
EPIDEMIOLOGI
Insiden anafilaksis sangat bervariasi, di Amerika Serikat disebutkan bahwa angka kejadian
anafilaksis berat antara 1-3 kasus/10.000 penduduk, paling banyak akibat penggunaan
antibiotik golongan penisilin dengan kematian terbanyak setelah 60 menit penggunaan obat.
Insiden anafilaksis diperkirakan 1-3/10.000 penduduk dengan mortalitas sebesar 1-3/1 juta
penduduk.Sementara di Indonesia, khususnya di Bali, angka kematian dari kasus anafilaksis
dilaporkan 2 kasus/10.000 total pasien anafilaksis pada tahun 2005 dan mengalami
peningkatan prevalensi pada tahun 2006 sebesar 4 kasus/10.000 total pasien anafilaksis.
Anafilaksis dapat terjadi pada semua ras di dunia. Beberapa sumber menyebutkan bahwa
anafilaksis lebih sering terjadi pada perempuan, terutama perempuan dewasa muda dengan
insiden lebih tinggi sekitar 35% dan mempunyai risiko kira-kira 20 kali lipat lebih tinggi
dibandingkan laki-laki. Berdasarkan umur, anafilaksis lebih sering pada anak-anak dan
dewasa muda, sedangkan pada orang tua dan bayi anafilaksis jarang terjadi.
FAKTOR PREDISPOSISI DAN ETIOLOGI
Beberapa faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko anafilaksis adalah sifat alergen, jalur
pemberian obat, riwayat atopi, dan kesinambungan paparan alergen. Golongan alergen yang
sering menimbulkan reaksi anafilaksis adalah makanan, obat-obatan, sengatan serangga, dan
lateks. Udang, kepiting, kerang, ikan kacang-kacangan, biji-bijian, buah beri, putih telur, dan
susu adalah makanan yang biasanya menyebabkan suatu reaksi anafilaksis. Obat-obatan yang
bisa menyebabkan anafikasis seperti antibiotik khususnya penisilin, obat anestesi intravena,
relaksan otot, aspirin, NSAID, opioid, vitamin B1, asam folat, dan lain-lain. Media kontras
intravena, transfusi darah, latihan fisik, dan cuaca dingin juga bisa menyebabkan anafilaksis.
PATOFISIOLOGIS
Coomb dan Gell (1963) mengelompokkan anafilaksis dalam hipersensitivitas tipe I
(Immediate type reaction). Mekanisme anafilaksis melalui 2 fase, yaitu fase sensitisasi dan
aktivasi. Fase sensitisasi merupakan waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan Ig E sampai
diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan mastosit dan basofil. Sedangkan fase
aktivasi merupakan waktu selama terjadinya pemaparan ulang dengan antigen yang sama
sampai timbulnya gejala.
Alergen yang masuk lewat kulit, mukosa, saluran nafas atau saluran makan di tangkap oleh
Makrofag. Makrofag segera mempresentasikan antigen tersebut kepada Limfosit T, dimana ia
akan mensekresikan sitokin (IL4, IL13) yang menginduksi Limfosit B berproliferasi menjadi

sel Plasma (Plasmosit). Sel plasma memproduksi Ig E spesifik untuk antigen tersebut
kemudian terikat pada reseptor permukaan sel Mast (Mastosit) dan basofil.
Mastosit dan basofil melepaskan isinya yang berupa granula yang menimbulkan reaksi pada
paparan ulang. Pada kesempatan lain masuk alergen yang sama ke dalam tubuh. Alergen yang
sama tadi akan diikat oleh Ig E spesifik dan memicu terjadinya reaksi segera yaitu pelepasan
mediator vasoaktif antara lain histamin, serotonin, bradikinin dan beberapa bahan vasoaktif
lain dari granula yang di sebut dengan istilah preformed mediators.
Ikatan antigen-antibodi merangsang degradasi asam arakidonat dari membran sel yang akan
menghasilkan leukotrien (LT) dan prostaglandin (PG) yang terjadi beberapa waktu setelah
degranulasi yang disebut newly formed mediators. Fase Efektor adalah waktu terjadinya
respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator yang dilepas mastosit atau basofil
dengan aktivitas farmakologik pada organ organ tertentu. Histamin memberikan efek
bronkokonstriksi, meningkatkan permeabilitas kapiler yang nantinya menyebabkan edema,
sekresi mucus, dan vasodilatasi. Serotonin meningkatkan permeabilitas vaskuler dan
Bradikinin menyebabkan kontraksi otot polos.Platelet activating factor (PAF) berefek
bronkospasme dan meningkatkan permeabilitas vaskuler, agregasi dan aktivasi trombosit.
Beberapa faktor kemotaktik menarik eosinofil dan neutrofil. Prostaglandin leukotrien yang
dihasilkan menyebabkan bronkokonstriksi.
Vasodilatasi pembuluh darah yang terjadi mendadak menyebabkan terjadinya fenomena
maldistribusi dari volume dan aliran darah. Hal ini menyebabkan penurunan aliran darah
balik sehingga curah jantung menurun yang diikuti dengan penurunan tekanan darah.
Kemudian terjadi penurunan tekanan perfusi yang berlanjut pada hipoksia ataupun anoksia
jaringan yang berimplikasi pada keaadan syok yang membahayakan penderita.
Gambar 2.1. Patofisiologi Reaksi Anfilaksis

Gambar 2.2. Patofisiologi Syok Anafilaksis

MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Secara klinik terdapat 3 tipe dari reaksi
anafilaktik, yaitu reaksi cepat yang terjadi beberapa menit sampai 1 jam setelah terpapar
dengan alergen; reaksi moderat terjadi antara 1 sampai 24 jam setelah terpapar dengan
alergen; serta reaksi lambat terjadi lebih dari 24 jam setelah terpapar dengan alergen.
Gejala dapat dimulai dengan gejala prodormal baru menjadi berat, tetapi kadang-kadang
langsung berat. Berdasarkan derajat keluhan, anafilaksis juga dibagi dalam derajat ringan,
sedang, dan berat. Derajat ringan sering dengan keluhan kesemutan perifer, sensasi hangat,
rasa sesak dimulut, dan tenggorok. Dapat juga terjadi kongesti hidung, pembengkakan
periorbital, pruritus, bersin-bersin, dan mata berair. Awitan gejala-gejala dimulai dalam 2 jam
pertama setelah pemajanan. Derajat sedang dapat mencakup semua gejala-gejala ringan
ditambah bronkospasme dan edema jalan nafas atau laring dengan dispnea, batuk dan mengi.
Wajah kemerahan, hangat, ansietas, dan gatal-gatal juga sering terjadi. Awitan gejala-gejala
sama dengan reaksi ringan. Derajat berat mempunyai awitan yang sangat mendadak dengan
tanda-tanda dan gejala-gejala yang sama seperti yang telah disebutkan diatas disertai
kemajuan yang pesat kearah bronkospame, edema laring, dispnea berat, dan sianosis. Bisa
diiringi gejala disfagia, keram pada abdomen, muntah, diare, dan kejang-kejang. Henti
jantung dan koma jarang terjadi. Kematian dapat disebabkan oleh gagal napas, aritmia
ventrikel atau renjatan yang irreversible.
Gejala dapat terjadi segera setelah terpapar dengan antigen dan dapat terjadi pada satu atau
lebih organ target, antara lain kardiovaskuler, respirasi, gastrointestinal, kulit, mata, susunan

saaraf pusat dan sistem saluran kencing, dan sistem yang lain. Keluhan yang sering dijumpai
pada fase permulaan ialah rasa takut, perih dalam mulut, gatal pada mata dan kulit, panas dan
kesemutan pada tungkai, sesak, serak, mual, pusing, lemas dan sakit perut.
Pada mata terdapat hiperemi konjungtiva, edema, sekret mata yang berlebihan. Pada rhinitis
alergi dapat dijumpaiallergic shiners, yaitu daerah di bawah palpebra inferior yang menjadi
gelap dan bengkak. Pemeriksaan hidung bagian luar di bidang alergi ada beberapa tanda,
misalnya: allergic salute, yaitu pasien dengan menggunakan telapak tangan menggosok ujung
hidungnya ke arah atas untuk menghilangkan rasa gatal dan melonggarkan
sumbatan; allergic crease, garis melintang akibat lipatan kulit ujung hidung;
kemudian allergic facies, terdiri dari pernapasan mulut, allergic shiners, dan kelainan gigi
geligi. Bagian dalam hidung diperiksa untuk menilai warna mukosa, jumlah, dan bentuk
sekret, edema, polip hidung, dan deviasi septum. Pada kulit terdapat eritema, edema, gatal,
urtikaria, kulit terasa hangat atau dingin, lembab/basah, dan diaphoresis.
Pada sistem respirasi terjadi hiperventilasi, aliran darah paru menurun, penurunan saturasi
oksigen, peningkatan tekanan pulmonal, gagal nafas, dan penurunan volume tidal. Saluran
nafas atas bisa mengalami gangguan jika lidah atau orofaring terlibat sehingga terjadi stridor.
Suara bisa serak bahkan tidak ada suara sama sekali jika edema terus memburuk. Obstruksi
saluran napas yang komplit adalah penyebab kematian paling sering pada anafilaksis. Bunyi
napas mengi terjadi apabila saluran napas bawah terganggu karena bronkospasme atau edema
mukosa. Selain itu juga terjadi batuk-batuk, hidung tersumbat, serta bersin-bersin.
Keadaan bingung dan gelisah diikuti pula oleh penurunan kesadaran sampai terjadi koma
merupakan gangguan pada susunan saraf pusat. Pada sistem kardiovaskular terjadi hipotensi,
takikardia, pucat, keringat dingin, tanda-tanda iskemia otot jantung (angina), kebocoran
endotel yang menyebabkan terjadinya edema, disertai pula dengan aritmia. Sementara pada
ginjal, terjadi hipoperfusi ginjal yang mengakibatkan penurunan pengeluaran urine (oligouri
atau anuri) akibat penurunan GFR, yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya gagal ginjal
akut. Selain itu terjadi peningkatan BUN dan kreatinin disertai dengan perubahan kandungan
elektrolit pada urine.
Hipoperfusi pada sistem hepatobilier mengakibatkan terjadinya nekrosis sel sentral,
peningkatan kadar enzim hati, dan koagulopati. Gejala yang timbul pada sistem
gastrointestinal merupakan akibat dari edema intestinal akut dan spasme otot polos, berupa
nyeri abdomen, mual-muntah atau diare. Kadang kadang dijumpai perdarahan rektal yang
terjadi akibat iskemia atau infark usus.

Depresi sumsum tulang yang menyebabkan terjadinya koagulopati, gangguan fungsi


trombosit, dan DIC dapat terjadi pada sistem hematologi. Sementara gangguan pada sistem
neuroendokrin dan metabolik, terjadi supresi kelenjar adrenal, resistensi insulin, disfungsi
tiroid, dan perubahan status mental. Pada keadaan syok terjadi perubahan metabolisme dari
aerob menjadi anaerob sehingga terjadi peningkatan asam laktat dan piruvat. Secara
histologis terjadi keretakan antar sel, sel membengkak, disfungsi mitokondria, serta
kebocoran sel.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium diperlukan karena sangat membantu menentukan diagnosis,
memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk memonitor hasil
pengbatan serta mendeteksi komplikasi lanjut. Hitung eosinofil darah tepi dapat normal atau
meningkat, demikian halnya dengan IgE total sering kali menunjukkan nilai normal.
Pemeriksaan ini berguna untuk prediksi kemungkinan alergi pada bayi atau anak kecil dari
suatu keluarga dengan derajat alergi yang tinggi. Pemeriksaan lain yang lebih bermakna yaitu
IgE spesifik dengan RAST (radio-immunosorbent test) atau ELISA (Enzym Linked
Immunosorbent Assay test), namun memerlukan biaya yang mahal.
Pemeriksaan secara invivo dengan uji kulit untuk mencari alergen penyebab yaitu dengan uji
cukit (prick test), uji gores (scratch test), dan uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (skin end-point titration/SET). Uji cukit paling sesuai karena mudah dilakukan
dan dapat ditoleransi oleh sebagian penderita termasuk anak, meskipun uji intradermal (SET)
akan lebih ideal. Pemeriksaan lain sperti analisa gas darah, elektrolit, dan gula darah, tes
fungsi hati, tes fungsi ginjal, feses lengkap, elektrokardiografi, rontgen thorak, dan lain-lain.
DIAGNOSIS
Pada pasien dengan reaksi anafilaksis biasanya dijumpai keluhan 2 organ atau lebih setelah
terpapar dengan alergen tertentu. Untuk membantu menegakkan diagnosis maka American
Academy of Allergy, Asthma and Immunology telah membuat suatu kriteria.
Kriteria pertama adalah onset akut dari suatu penyakit (beberapa menit hingga beberapa jam)
dengan terlibatnya kulit, jaringan mukosa atau kedua-duanya (misalnya bintik-bintik
kemerahan pada seluruh tubuh, pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir, lidah, uvula), dan
salah satu dari respiratory compromise (misalnya sesak nafas,
bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia) dan penurunan tekanan darah
atau gejala yang berkaitan dengan disfungsi organ sasaran (misalnya hipotonia, sinkop,
inkontinensia).

Kriteria kedua, dua atau lebih gejala berikut yang terjadi secara mendadak setelah terpapar
alergen yang spesifik pada pasien tersebut (beberapa menit hingga beberapa jam), yaitu
keterlibatan jaringan mukosa kulit (misalnya bintik-bintik kemerahan pada seluruh tubuh,
pruritus, kemerahan, pembengkakan bibir-lidah-uvula); Respiratory compromise (misalnya
sesak nafas, bronkospasme, stridor, wheezing, penurunan PEF, hipoksemia); penurunan
tekanan darah atau gejala yang berkaitan (misalnya hipotonia, sinkop, inkontinensia); dan
gejala gastrointestinal yang persisten (misalnya nyeri abdominal, kram, muntah).
Kriteria ketiga yaitu terjadi penurunan tekanan darah setelah terpapar pada alergen yang
diketahui beberapa menit hingga beberapa jam (syok anafilaktik). Pada bayi dan anak-anak,
tekanan darah sistolik yang rendah (spesifik umur) atau penurunan darah sistolik lebih dari
30%. Sementara pada orang dewasa, tekanan darah sistolik kurang dari 90 mmHg atau
penurunan darah sistolik lebih dari 30% dari tekanan darah awal.
DIAGNOSA BANDING
Beberapa keadaan dapat menyerupai reaksi anafilaktik. Gambaran klinis yang tidak spesifik
dari anafilaksis mengakibatkan reaksi tersebut sulit dibedakan dengan penyakit lainnya yang
memiliki gejala yang sama. Hal ini terjadi karena anafilaksis mempengaruhi seluruh sistem
organ pada tubuh manusia sebagai akibat pelepasan berbagai macam mediator dari sel mast
dan basofil, dimana masing-masing mediator tersebut memiliki afinitas yang berbeda pada
setiap reseptor pada sistem organ. Beberapa kondisi yang menyerupai reaksi anafilaksis dan
syok anafilaktik adalah reaksi vasovagal, infark miokard akut, reaksi hipoglikemik, reaksi
histeris, Carsinoid syndrome, Chinese restaurant syndrome, asma bronkiale, dan rhinitis
alergika.
Reaksi vasovagal, sering dijumpai setelah pasien mandapat suntikan. Pasien tampak pingsan,
pucat dan berkeringat. Tetapi dibandingkan dengan reaksi anafilaktik, pada reaksi vasovagal
nadinya lambat dan tidak terjadi sianosis. Meskipun tekanan darahnya turun tetapi masih
mudah diukur dan biasanya tidak terlalu rendah seperti anafilaktik.Sementara infark miokard
akut, gejala yang menonjol adalah nyeri dada, dengan atau tanpa penjalaran. Gejala tersebut
sering diikuti rasa sesak tetapi tidak tampak tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan
pada anafilaktik tidak ada nyeri dada.
Reaksi hipoglikemik, disebabkan oleh pemakaian obat antidiabetes atau sebab lain. Pasien
tampak lemah, pucat, berkeringat, sampai tidak sadar. Tekanan darah kadang-kadang
menurun tetapi tidak dijumpai tanda-tanda obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi
anafilaktik ditemui obstruksi saluran napas. Sedangkan pada reaksi histeris, tidak dijumpai

adanya tanda-tanda gagal napas, hipotensi, atau sianosis. Pasien kadang-kadang pingsan
meskipun hanya sementara. Sedangkan tanda-tanda diatas dijumpai pada reaksi anafilaksis.
Carsinoid syndrome, dijumpai gejala-gejala seperti muka kemerahan, nyeri kepala, diare,
serangan sesak napas seperti asma. Chinese restaurant syndrome, dapat dijumpai beberapa
keadaan seperti mual, pusing, dan muntah pada beberapa menit setelah mengkonsumsi MSG
lebih dari 1gr, bila penggunaan lebih dari 5 gr bisa menyebabkan asma. Namun tekanan
darah, kecepatan denyut nadi, dan pernapasan tidak berbeda nyata dengan mereka yang diberi
makanan tanpa MSG.
Asma bronkiale, gejala-gejalanya dapat berupa sesak napas, batuk berdahak, dan suara napas
mengi (wheezing). Dan biasanya timbul karena faktor pencetus seperti debu, aktivitas fisik,
dan makanan, dan lebih sering terjadi pada pagi hari. Rhinitis alergika, penyakit ini
menyebabkan gejala seperti pilek, bersin, buntu hidung, gatal hidung yang hilang-timbul,
mata berair yang disebabkan karena faktor pencetus seperti debu, terutama di udara dingin.
PENATALAKSANAAN
Tindakan
Kalau terjadi komplikasi syok anafilaktik setelah kemasukan alergen baik peroral maupun
parenteral, maka tindakan pertama yang paling penting dilakukan adalah mengidentifikasi
dan menghentikan kontak dengan alergen yang diduga menyebabkan reaksi
anafilaksis. Segera baringkan penderita pada alas yang keras. Kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala untuk meningkatkan aliran darah balik vena, dalam usaha memperbaiki curah jantung
dan menaikkan tekanan darah.
Tindakan selanjutnya adalah penilaian airway, breathing, dan circulation dari tahapan
resusitasi jantung paru untuk memberikan kebutuhan bantuan hidup dasar. Airway, penilaian
jalan napas. Jalan napas harus dijaga tetap bebas agar tidak ada sumbatan sama sekali. Untuk
penderita yang tidak sadar, posisi kepala dan leher diatur agar lidah tidak jatuh ke belakang
menutupi jalan napas, yaitu dengan melakukan triple airway manuver yaitu ekstensi kepala,
tarik mandibula ke depan, dan buka mulut. Penderita dengan sumbatan jalan napas total,
harus segera ditolong dengan lebih aktif, melalui intubasi endotrakea, krikotirotomi, atau
trakeotomi. Breathing support, segera memberikan bantuan napas buatan bila tidak ada
tanda-tanda bernapas spontan, baik melalui mulut ke mulut atau mulut ke hidung. Pada syok
anafilaktik yang disertai udem laring, dapat mengakibatkan terjadinya obstruksi jalan napas
total atau parsial. Penderita yang mengalami sumbatan jalan napas parsial, selain ditolong
dengan obat-obatan, juga harus diberikan bantuan napas dan oksigen 5-10 liter

/menit. Circulation support, yaitu bila tidak teraba nadi pada arteri besar (a. karotis atau a.
femoralis), segera lakukan kompresi jantung luar.
Obat-obatan
Sampai sekarang adrenalin masih merupakan obat pilihan pertama untuk mengobati syok
anafilaksis. Obat ini berpengaruh untuk meningkatkan tekanan darah, menyempitkan
pembuluh darah, melebarkan bronkus, dan meningkatkan aktivitas otot jantung. Adrenalin
bekerja sebagai penghambat pelepasan histamin dan mediator lain yang poten. Mekanisme
kerja adrenalin adalah meningkatkan cAMP dalam sel mast dan basofil sehingga
menghambat terjadinya degranulasi serta pelepasan histamine dan mediator lainnya. Selain
itu adrenalin mempunyai kemampuan memperbaiki kontraktilitas otot jantung, tonus
pembuluh darah perifer dan otot polos bronkus. Adrenalin selalu akan dapat menimbulkan
vasokonstriksi pembuluh darah arteri dan memicu denyut dan kontraksi jantung sehingga
menimbulkan tekanan darah naik seketika dan berakhir dalam waktu pendek.
Pemberian adrenalin secara intramuskuler pada lengan atas, paha, ataupun sekitar lesi pada
sengatan serangga merupakan pilihan pertama pada penatalaksanaan syok anafilaktik.
Adrenalin memiliki onset yang cepat setelah pemberian intramuskuler. Pada pasien dalam
keadaan syok, absorbsi intramuskuler lebih cepat dan lebih baik dari pada pemberian
subkutan. Berikan 0,5 ml larutan 1 :1000 (0,3-0,5 mg) untuk orang dewasa dan 0,01 ml/kg
BB untuk anak. Dosis diatas dapat diulang beberapa kali tiap 5-15 menit, sampai tekanan
darah dan nadi menunjukkan perbaikan.
Tabel 2.1. Dosis Adrenalin Intramuskular untuk Anak-anak

Adrenalin sebaiknya tidak diberikan secara intravena kecuali pada keadaan tertentu saja
misalnya pada saat syok (mengancam nyawa) ataupun selama anestesia. Pada saat pasien
tampak sangat kesakitan serta kemampuan sirkulasi dan absorbsi injeksi intramuskuler yang
benar-benar diragukan, adrenalin mungkin diberikan dalam injeksi intravena lambat dengan
dosis 500 mcg (5 ml dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) diberikan dengan kecepatan

100 mcg/menit dan dihentikan jika respon dapat dipertahankan. Pada anak-anak dapat diberi
dosis 10 mcg/kg BB (0,1 ml/kg BB dari pengenceran injeksi adrenalin 1:10000) dengan
injeksi intravena lambat selama beberapa menit. Beberapa penulis menganjurkan pemberian
infus kontinyu adrenalin 2-4 ug/menit. Individu yang mempunyai resiko tinggi untuk
mengalami syok anafilaksis perlu membawa adrenalin setiap waktu dan selanjutnya perlu
diajarkan cara penyuntikkan yang benar. Pada kemasan perlu diberi label, pada kasus kolaps
yang cepat orang lain dapat memberikan adrenalin tersebut. (Pamela, adrenalin, draholik)
Pengobatan tambahan dapat diberikan pada penderita anafilaksis, obat-obat yang sering
dimanfaatkan adalah antihistamin, kortikosteroid, dan bronkodilator. Pemberian antihistamin
berguna untuk menghambat proses vasodilatasi dan peningkatan peningkatan permeabilitas
vaskular yang diakibatkan oleh pelepasan mediator dengan cara menghambat pada tempat
reseptor-mediator tetapi bukan bukan merupakan obat pengganti adrenalin. Tergantung
beratnya penyakit, antihistamin dapat diberikan oral atau parenteral. Pada keadaan anafilaksis
berat antihistamin dapat diberikan intravena. Untuk AH2 seperti simetidin (300 mg) atau
ranitidin (150 mg) harus diencerkan dengan 20 ml NaCl 0,9% dan diberikan dalam waktu 5
menit. Bila penderita mendapatkan terapi teofilin pemakaian simetidin harus dihindari
sebagai gantinya dipakai ranitidin. Anti histamin yang juga dapat diberikan adalah
dipenhidramin intravena 50 mg secara pelan-pelan (5-10 menit), diulang tiap 6 jam selama 48
jam.
Kortikosteroid digunakan untuk menurunkan respon keradangan, kortikosteroid tidak banyak
membantu pada tata laksana akut anafilaksis dan hanya digunakan pada reaksi sedang hingga
berat untuk memperpendek episode anafilaksis atau mencegah anafilaksis berulang.
Glukokortikoid intravena baru diharapkan menjadi efektif setelah 4-6 jam pemberian.
Metilprednisolon 125 mg intravena dpt diberikan tiap 4-6 jam sampai kondisi pasien stabil
(yang biasanya tercapai setelah 12 jam), atau hidrokortison intravena 7-10 mg/Kg BB,
dilanjutkan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam, atau deksametason 2-6 mg/kg BB.
Apabila terjadi bronkospasme yang menetap diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/Kg BB
selama 10-20 menit, dapat diikuti dengan infus 0,6 mg/Kg BB/jam, atau aminofilin 5-6
mg/Kg BB yang diencerkan dalam 20 cc dextrosa 5% atau NaCl 0,9% dan diberikan
perlahan-lahan sekitar 15 menit. Pilihan yang lain adalah bronkodilator aerosol (terbutalin,
salbutamol). Larutan salbutamol atau agonis 2 yang lain sebanyak 0,25 cc-0,5 cc dalam 2-4
ml NaCl 0,99% diberikan melalui nebulisasi.
Apabila tekanan darah tidak naik dengan pemberian cairan, dapat diberikan vasopresor
melalui cairan infus intravena. Larutan 1 ml epineprin 1:1000 dalam 250 ml dextrosa

(konsentrasi 4 mg/ml) diberikan dengan infus 1-4 mg/menit atau 15-60 mikrodrip/menit
(dengan infus mikrodrip), bila diperlukan dosis dapat dinaikan sampai dosis maksimum 10
mg/ml, atau aramin 2-5 mg bolus IV pelan-pelan, atau levarterenol bitartrat 4-8 mg/liter
dengan dekstrosa 5% dengan kecepatan 2ml/menit, atau Dopamin 0,3-1,2 mg/Kg BB/jam
secara infus dengan dextrosa 5%.
Terapi Cairan
Bila tekanan darah tetap rendah, diperlukan pemasangan jalur intravena untuk koreksi
hipovolemia akibat kehilangan cairan ke ruang ekstravaskular sebagai tujuan utama dalam
mengatasi syok anafilaktik. Pemberian cairan akan meningkatkan tekanan darah dan curah
jantung serta mengatasi asidosis laktat. Pemilihan jenis cairan antara larutan kristaloid dan
koloid tetap merupakan mengingat terjadinya peningkatan permeabilitas atau kebocoran
kapiler. Pada dasarnya, bila memberikan larutan kristaloid, maka diperlukan jumlah 3-4 kali
dari perkiraan kekurangan volume plasma. Biasanya, pada syok anafilaktik berat diperkirakan
terdapat kehilangan cairan 20-40% dari volume plasma. Sedangkan bila diberikan larutan
koloid, dapat diberikan dengan jumlah yang sama dengan perkiraan kehilangan volume
plasma.
Perlu diperhatikan bahwa larutan koloid plasma protein atau dextran juga bisa melepaskan
histamin. Cairan intravena seperti larutan isotonik kristaloid merupakan pilihan pertama
dalam melakukan resusitasi cairan untuk mengembalikan volume intravaskuler, volume
interstitial, dan intra sel. Cairan plasma atau pengganti plasma berguna untuk meningkatkan
tekanan onkotik intravaskuler.
Observasi
Dalam keadaan gawat, sangat tidak bijaksana bila penderita syok anafilaktik dikirim ke
rumah sakit, karena dapat meninggal dalam perjalanan. Kalau terpaksa dilakukan, maka
penanganan penderita di tempat kejadian harus seoptimal mungkin sesuai dengan fasilitas
yang tersedia dan transportasi penderita harus dikawal oleh dokter. Posisi waktu dibawa harus
tetap dalam posisi telentang dengan kaki lebih tinggi dari jantung. Kalau syok sudah teratasi,
penderita jangan cepat-cepat dipulangkan, tetapi harus diobservasi dulu selama selama 24
jam, 6 jam berturut-turut tiap 2 jam sampai keadaan fungsi membaik. Hal-hal yang perlu
diobservasi adalah keluhan, klinis (keadaan umum, kesadaran, vital sign, dan produksi urine),
analisa gas darah, elektrokardiografi, dan komplikasi karena edema laring, gagal nafas, syok
dan cardiac arrest. Kerusakan otak permanen karena syok dan gangguan cardiovaskuler.
Urtikaria dan angoioedema menetap sampai beberapa bulan, infark miokard, aborsi, dan

gagal ginjal juga pernah dilaporkan. Penderita yang telah mendapat adrenalin lebih dari 2-3
kali suntikan, harus dirawat di rumah sakit.2,9,12
Gambar 2.3. Algoritma Penatalaksanaan Reaksi Anafilaksis

Pencegahan
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penetalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Melakukan anamnesis riwayat alergi penderita dengan
cermat akan sangat membantu menentukan etiologi dan faktor risiko anafilaksis. Individu
yang mempunyai riwayat penyakit asma dan orang yang mempunyai riwayat alergi terhadap
banyak obat, mempunyai resiko lebih tinggi terhadap kemungkinan terjadinya syok
anafilaktik.

Melakukan skin test bila perlu juga penting, namun perlu diperhatian bahwa tes kulit negatif
pada umumnya penderita dapat mentoleransi pemberian obat-obat tersebut, tetapi tidak
berarti pasti penderita tidak akan mengalami reaksi anafilaksis. Orang dengan tes kulit negatif
dan mempunyai riwayat alergi positif mempunyai kemungkinan reaksi sebesar 1-3%
dibandingkan dengan kemungkinan terjadinya reaksi 60%, bila tes kulit positif.
Dalam pemberian obat juga harus berhati-hati, encerkan obat bila pemberian dengan jalur
subkutan, intradermal, intramuskular, ataupun intravena dan observasi selama pemberian.
Pemberian obat harus benar-benar atas indikasi yang kuat dan tepat. Hindari obat-obat yang
sering menyebabkan syok anafilaktik. Catat obat penderita pada status yang menyebabkan
alergi. Jelaskan kepada penderita supaya menghindari makanan atau obat yang menyebabkan
alergi. Hal yang paling utama adalah harus selalu tersedia obat penawar untuk mengantisipasi
reaksi anfilaksis serta adanya alat-alat bantu resusitasi kegawatan. Desensitisasi alergen
spesifik adalah pencegahan untuk kebutuhan jangka panjang.
Prognosis
Penanganan yang cepat, tepat, dan sesuai dengan kaedah kegawatdaruratan, reaksi anafilaksis
jarang menyebabkan kematian. Namun reaksi anafilaksis tersebut dapat kambuh kembali
akibat paparan antigen spesifik yang sama. Maka dari itu perlu dilakukan observasi setelah
terjadinya serangan anafilaksis untuk mengantisipasi kerusakan sistem organ yang lebih luas
lagi.
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis dari reaksi anafilaksis yang akan
menentukan tingkat keparahan dari reaksi tersebut, yaitu umur, tipe alergen, atopi, penyakit
kardiovaskular, penyakit paru obstruktif kronis, asma, keseimbangan asam basa dan
elektrolit, obat-obatan yang dikonsumsi seperti -blocker dan ACE Inhibitor, serta interval
waktu dari mulai terpajan oleh alergen sampai penanganan reaksi anafilaksis dengan injeksi
adrenalin.
KESIMPULAN
Syok anafilaktik adalah suatu respons hipersensitivitas yang diperantarai oleh Ig E yang
ditandai dengan curah jantung dan tekanan arteri yang menurun hebat. Syok anafilaktik
memang jarang dijumpai, tetapi mempunyai angka mortalitas yang sangat tinggi.
Beberapa golongan alergen yang sering menimbulkan reaksi anafilaksis, yaitu makanan,
obat-obatan, dan bisa atau racun serangga. Faktor yang diduga dapat meningkatkan risiko
terjadinya anafilaksis, yaitu sifat alergen, jalur pemberian obat, riwayat atopi, dan
kesinambungan paparan alergen. Anafilaksis dikelompokkan dalam hipersensitivitas tipe I,

terdiri dari fase sensitisasi dan aktivasi yang berujung pada vasodilatasi pembuluh darah yang
mendadak, keaadaan ini disebut syok anafilaktik.
Manifestasi klinis anafilaksis sangat bervariasi. Gejala dapat dimulai dengan gejala
prodormal kemudian menjadi berat, tetapi kadang-kadang langsung berat yang dapat terjadi
pada satu atau lebih organ target. Pemeriksaan laboratorium diperlukan dan sangat membantu
menentukan diagnosis, memantau keadaan awal, dan beberapa pemeriksaan digunakan untuk
memonitor hasil pengobatan dan mendeteksi komplikasi lanjut. Anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan penunjang yang baik akan membantu seorang dokter dalam mendiagnosis suatu
syok anafilaktik.
Penatalaksanaan syok anfilaktik harus cepat dan tepat mulai dari hentikan allergen yang
menyebabkan reaksi anafilaksis; baringkan penderita dengan kaki diangkat lebih tinggi dari
kepala; penilaian A, B, C dari tahapan resusitasi jantung paru; pemberian adrenalin dan obatobat yang lain sesuai dosis; monitoring keadaan hemodinamik penderita bila perlu berikan
terapi cairan secara intravena, observasi keadaan penderita bila perlu rujuk ke rumah sakit.
Pencegahan merupakan langkah terpenting dalam penatalaksanaan syok anafilaktik terutama
yang disebabkan oleh obat-obatan. Apabila ditangani secara cepat dan tepat sesuai dengan
kaidah kegawat daruratan, reaksi anafilaksis jarang menyebabkan kematian.

LAPORAN PENDAHULUAN
SYOK HIPOVOLEMIK

1.

A.

Pengertian

Syok hipovolemik disebut juga syok preload yang ditamdai dengan menurunnya volume
intravaskuler oleh karena perdarahan. Syok hipovolemik juga bisa terjadi karena kehilangan
cairan tubuh yang lain. Menurunnya volume intravaskuler menyebabkan penurunan volume
intraventrikel kiri pada akhir distol yang akibatnya juga menyebabkan menurunnya curah
jantung (cardiac output). Keadaan ini juga menyebabkan terjadinya mekanisme kompensasi
dari pembuluh darah dimana terjadi vasokonstriksi oleh katekolamin sehingga perfusi makin
memburuk. Pada luka bakar yang luas, terjadi kehilangan cairan melalui permukaan kulit
yang hangus atau di dalam lepuh. Muntah hebat atau diare juga dapat mengakibatkan
kehilangan cairan intravaskuler. Pada obstruksi, ileus dapat terkumpul beberapa liter cairan di
dalam usus. Pada diabetes atau penggunaan diuretic kuat dapat terjadi kehilangan cairan
karena dieresis yang berlebihan. Kehilangan cairan juga dapat ditemukan pada sepsis berat,
pancreatitis akut, atau peritonitis purulenta difus. Pada syok hipovolemik, jantung akan tetap
sehat dan kuat, kecuali jika miokard sudah mengalami hipoksia karena perfusi yang sangat
berkurang. Respon tubuh terhadap perdarahan tergantung pada volume, kecepatan dan lama
perdarahan.

Bila

volume

intravaskuler

berkurang,

tubuh

akan

selalu

berusaha

mempertahankan perfusi organ-organ vital (jantung dan otak) dengan mengorbankan perfusi
organ yang lain seperti ginjal, hati dan kulit akan terjadi perubahan-perubahan hormonal
melalui system rennin-angiotensin-aldosteron, system ADH, dan system saraf simpatis.
Cairan interstitial akan masuk ke dalam pembuluh darah untuk mengembalikan volume
intravascular, dengan akibat terjadi hemodilusi (dilusi plasma protein dan hematokrit) dan

dehidrasi interstitial. Dengan demikian tujuan utama dalam mengatasi syok perdarahan
adalah menormalkan kembali volume intravascular dan interstitial. Bila deficit volume
intravascular hanya dikoreksi dengan memberikan darah maka masih tetap terjadi deficit
interstistial, dengan akibatnya tanda-tanda vital yang masih belum stabil dan produksi urin
yang berkurang. Pengambilan volume plasma dan interstitial ini hanya mungkin bila
diberikan kombinasi cairan koloid (darah, plasma, dextran, dan sebagainya) dan cairan garam
seimbang.

DERAJAT SYOK
a)

Syok Ringan

Penurunan perfusi hanya pada jaringan dan organ non vital seperti kulit, lemak, otot rangka,
dan tulang. Jaringan ini relatif dapat hidup lebih lama dengan perfusi rendah, tanpa adanya
perubahan jaringan yang menetap (irreversible). Kesadaran tidak terganggu, produksi urin
normal atau hanya sedikit menurun, asidosis metabolik tidak ada atau ringan.
b)

Syok Sedang

Perfusi ke organ vital selain jantung dan otak menurun (hati, usus, ginjal). Organ-organ ini
tidak dapat mentoleransi hipoperfusi lebih lama seperti pada lemak, kulit dan otot. Pada
keadaan ini terdapat oliguri (urin kurang dari 0,5 mg/kg/jam) dan asidosis metabolik. Akan
tetapi kesadaran relatif masih baik.
c)

Syok Berat

Perfusi ke jantung dan otak tidak adekuat. Mekanisme kompensasi syok beraksi untuk
menyediakan aliran darah ke dua organ vital. Pada syok lanjut terjadi vasokontriksi di semua
pembuluh darah lain. Terjadi oliguri dan asidosis berat, gangguan kesadaran dan tanda-tanda
hipoksia jantung (EKG abnormal, curah jantung menurun).

1.

B.

Etiologi

Syok hipovolemik disebabkan oleh penurunan volume darah efektif. Kekurangan volume
darah sekitar 15 sampai 25 persen biasanya akan menyebabkan penurunan tekanan darah
sistolik; sedangkan deficit volume darah lebih dari 45 persen umumnya fatal. Syok setelah
trauma biasanya jenis hipovolemik, yang disebabkan oleh perdarahan (internal atau eksternal)
atau karena kehilangan cairan ke dalam jaringan kontusio atau usus yang mengembang
kerusakan jantung dan paru-paru dapat juga menyokong masalah ini secara bermakna. Syok
akibat kehilangan cairan berlebihan bias juga timbul pada pasien luka bakar yang luas (john
a.boswick,1998:44).
Syok hipovolemik yang dapat disebabkan oleh hilangnya cairan intravaskuler, misalnya
terjadi pada:
1)

Kehilangan darah atau syok hemoragik karena perdarahan yang mengalir keluar tubuh

seperti hematotoraks, ruptura limpa, dan kehamilan ektopik terganggu.


2)

Trauma yang berakibat fraktur tulang besar, dapat menampung kehilangan darah yang

besar. Misalnya, fraktur humerus menghasilkan 5001000 ml perdarahan atau fraktur femur
menampung 10001500 ml perdarahan.
3)

Kehilangan cairan intravaskuler lain yang dapat terjadi karena kehilangan protein

plasma atau cairan ekstraseluler, misalnya pada:


Gastrointestinal: peritonitis, pankreatitis, dan gastroenteritis.
Renal: terapi diuretik, krisis penyakit Addison.
Luka bakar (kombustio) dan anafilaksis.
Pada syok, konsumsi oksigen dalam jaringan menurun akibat berkurangnya aliran darah yang
mengandung oksigen atau berkurangnya pelepasan oksigen ke dalam jaringan. Kekurangan
oksigen di jaringan menyebabkan sel terpaksa melangsungkan metabolisme anaerob dan
menghasilkan asam laktat. Keasaman jaringan bertambah dengan adanya asam laktat, asam
piruvat, asam lemak, dan keton (Stene-Giesecke, 1991). Yang penting dalam klinik adalah

pemahaman kita bahwa fokus perhatian syok hipovolemik yang disertai asidosis adalah
saturasi oksigen yang perlu diperbaiki serta perfusi jaringan yang harus segera dipulihkan
dengan penggantian cairan. Asidosis merupakan urusan selanjutnya, bukan prioritas utama
(www.medicastore.com).

1.

C.

Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis tergantung pada penyebab syok (kecuali syok neurogenik) yang meliputi :
1.

Sistim pernafasan : nafas cepat dan dangkal

2.

Sistim sirkulasi : ekstremitas pucat, dingin, dan berkeringat dingin, nadi

cepat

dan

lemah,

tekanan

darah

turun

bila

kehilangan

darah

menca-

pai 30%.
3.

Sistim saraf pusat : keadaan mental atau kesadaran penderita bervariasi


tergantung

derajat

syok,

dimulai

dari

gelisah,

bingung

sampai

keadaan

tidak sadar.
4.

Sistim pencernaan : mual, muntah

5.

Sistim ginjal : produksi urin menurun (Normalnya 1/2-1 cc/kgBB/jam)

6.

Sistim kulit/otot : turgor menurun, mata cowong, mukosa lidah kering.


Individu dengan syok neurogenik akan memperlihatkan kecepatan denyut jantung yang
normal atau melambat, tetapi akan hangat dan kering apabila kulitnya diraba.
(www.medicastore.com)
Syok secara klinis didiagnosa dengan adanya gejala-gejala seperti berikut:
1)

Hipotensi: tekanan sistole kurang dari 80 mmHg atau TAR (tekanan arterial rata-rata)

kurang dari 60 mmHg, atau menurun 30% lebih


2)

Oliguria: produksi urin kurang dari 20 ml/jam.

Perfusi perifer yang buruk, misalnya kulit dingin dan berkerut serta pengisian kapiler yang
jelek. Gejala syok hipovolemik cukup bervariasi, tergantung pada usia, kondisi premorbid,

besarnya volume cairan yang hilang, dan lamanya berlangsung. Kecepatan kehilangan cairan
tubuh merupakan faktor kritis respons kompensasi. Pasien muda dapat dengan mudah
mengkompensasi kehilangan cairan dengan jumlah sedang dengan vasokonstriksi dan
takhikardia. Kehilangan volume yang cukp besar dalam waktu lambat, meskipun terjadi pada
pasien usia lanjut, masih dapat ditolerir juga dibandingkan kehilangan dalam waktu yang
cepat atau singkat.
Apabila syok telah terjadi, tanda-tandanya akan jelas. Pada keadaan hipovolemia, penurunan
darah lebih dari 15 mmHg dan tidak segera kembali dalam beberapa menit. Adalah penting
untuk mengenali tanda-tanda syok, yaitu:
v

Kulit dingin, pucat, dan vena kulit kolaps akibat penurunan pengisian kapiler selalu

berkaitan dengan berkurangnya perfusi jaringan.


v

Takhikardia: peningkatan laju jantung dan kontraktilitas adalah respons homeostasis

penting untuk hipovolemia. Peningkatan kecepatan aliran darah ke mikrosirkulasi berfungsi


mengurangi asidosis jaringan.
v

Hipotensi: karena tekanan darah adalah produk resistensi pembuluh darah sistemik dan

curah jantung, vasokonstriksi perifer adalah faktor yang esensial dalam mempertahankan
tekanan darah. Autoregulasi aliran darah otak dapat dipertahankan selama tekanan arteri turun
tidak di bawah 70 mmHg.
v

Oliguria: produksi urin umumnya akan berkurang pada syok hipovolemik. Oliguria

pada orang dewasa terjadi jika jumlah urin kurang dari 30 ml/jam.
Pada penderita yang mengalami hipovolemia selama beberapa saat, dia akan menunjukkan
adanya tanda-tanda dehidrasi seperti: (1) Turunnya turgor jaringan; (2) Mengentalnya sekresi
oral dan trakhea, bibir dan lidah menjadi kering; serta (3) Bola mata cekung.
Akumulasi asam laktat pada penderita dengan tingkat cukup berat, disebabkan oleh
metabolisme anaerob. Asidosis laktat tampak sebagai asidosis metabolik dengan celah ion
yang tinggi. Selain berhubungan dengan syok, asidosis laktat juga berhubungan dengan

kegagalan jantung (decompensatio cordis), hipoksia, hipotensi, uremia, ketoasidosis diabetika


(hiperglikemi, asidosis metabolik, ketonuria), dan pada dehidrasi berat

1.

D.

Patofisiologi

Menurut patofisiologinya, syok terbagi atas 3 fase yaitu :


1.

Fase Kompensasi
Penurunan curah jantung (cardiac output) terjadi sedemikian rupa sehingga timbul gangguan
perfusi jaringan tapi belum cukup untuk menimbulkan gangguan seluler. Mekanisme
kompensasi dilakukan melalui vasokonstriksi untuk menaikkan aliran darah ke jantung, otak
dan otot skelet dan penurunan aliran darah ke tempat yang kurang vital. Faktor humoral
dilepaskan untuk menimbulkan vasokonstriksi dan menaikkan volume darah dengan
konservasi air. Ventilasi meningkat untuk mengatasi adanya penurunan kadar oksigen di
daerah arteri. Jadi pada fase kompensasi ini terjadi peningkatan detak dan kontraktilitas otot
jantung untuk menaikkan curah jantung dan peningkatan respirasi untuk memperbaiki
ventilasi alveolar. Walau aliran darah ke ginjal menurun, tetapi karena ginjal mempunyai cara
regulasi sendiri untuk mempertahankan filtrasi glomeruler. Akan tetapi jika tekanan darah
menurun, maka filtrasi glomeruler juga menurun.

1.

Fase Progresif
Terjadi jika tekanan darah arteri tidak lagi mampu mengkompensasi kebutuhan tubuh. Faktor
utama yang berperan adalah jantung. Curah jantung tidak lagi mencukupi sehingga terjadi
gangguan seluler di seluruh tubuh. Pada saat tekanan darah arteri menurun, aliran darah
menurun, hipoksia jaringan bertambah nyata, gangguan seluler, metabolisme terganggu,
produk metabolisme menumpuk, dan akhirnya terjadi kematian sel. Dinding pembuluh darah
menjadi lemah, tak mampu berkonstriksi sehingga terjadi bendungan vena, vena balik
(venous return) menurun. Relaksasi sfinkter prekapiler diikuti dengan aliran darah ke jaringan
tetapi tidak dapat kembali ke jantung. Peristiwa ini dapat menyebabkan trombosis kecil-kecil
sehingga dapat terjadi koagulopati intravasa yang luas (DIC = Disseminated Intravascular

Coagulation). Menurunnya aliran darah ke otak menyebabkan kerusakan pusat vasomotor


dan respirasi di otak. Keadaan ini menambah hipoksia jaringan. Hipoksia dan anoksia
menyebabkan terlepasnya toksin dan bahan lainnya dari jaringan (histamin dan bradikinin)
yang ikut memperjelek syok (vasodilatasi dan memperlemah fungsi jantung). Iskemia dan
anoksia usus menimbulkan penurunan integritas mukosa usus, pelepasan toksin dan invasi
bakteri usus ke sirkulasi. Invasi bakteri dan penurunan fungsi detoksikasi hepar memperjelek
keadaan. Dapat timbul sepsis, DIC bertambah nyata, integritas sistim retikuloendotelial rusak,
integritas mikro sirkulasi juga rusak. Hipoksia jaringan juga menyebabkan perubahan
metabolisme dari aerobik menjadi anaerobik. Akibatnya terjadi asidosis metabolik, terjadi
peningkatan asam laktat ekstraseluler dan timbunan asam karbonat di jaringan.
1.

Fase Irevesibel
Karena kerusakan seluler dan sirkulasi sedemikian luas sehingga tidak dapat diperbaiki.
Kekurangan

oksigen

mempercepat

timbulnya

ireversibilitas

syok.

Gagal

sistem

kardiorespirasi, jantung tidak mampu lagi memompa darah yang cukup, paru menjadi kaku,
timbul edema interstisial, daya respirasi menurun, dan akhirnya anoksia dan hiperkapnea
(www.els.co.id).

1.

E.

Komplikasi

2.

Kegagalan multi organ akibat penurunan alilran darah dan hipoksia jaringan yang
berkepanjangan.

3.

Sindrom distress pernapasan dewasa akibat destruksi pertemuan alveolus kapiler


karena hipoksia.

4.

DIC (Koagulasi intravascular diseminata) akibat hipoksia dan kematian jaringan yang
luas sehingga terjadi pengaktifan berlebihan jenjang koagulasi.

Efek Dari Syok Seluler

Saat sel-sel tubuh kekurangan pasokan darah dan oksigen maka kemampuan metabolisme
energy pada sel-sel tersebut akan terganggu. Metabolisme energy pada sel-sel tersebut akan
terganggu. Metabolisme terjadi di dalam tempat nutrient secara kimiawi dipecahkan dan
disimpan dalam bentuk ATP (adenosine tripospat). Sel-sel menggunakan simpanan energy ini
untuk melakukan berbagai fungsi seperti transport aktif, kontraksi otot, sintesa biokimia dan
melakukan fungsi seluler khusus seperti konduksi impuls listrik.
Pada keadaan syok, sel-sel tidak mendapat pasokan darah yang adekuat dan kekurangan
oksigen dan nutrient, karena sel-sel harus menghasilkn energy melalui anaerob dan nutrient,
karena sel-sel harus menghasilkan energy melalui anaerob. Metabolisme ini menghasilkan
tingkat energy yang rendah dari sumber nutrient, dan lingkungan intraseluler yang bersifat
asam. Karena perubahan ini, fungsi sel menurun. Sel membengkak dan membrannya menjadi
lebh permiabel, sehingga memungkinkan elektrolit dan cairan untuk merembes dari dalam
sel. Pompa kalium-natrium menjadi terganggu. Struktur sel (mitokondria dan lisosom)
menjadi rusak dan terjadi kematian sel

Respon Vaskuler
Oksigen melekat pada molekul hemoglobin dalam sel-sel darah merah dan dibawa ke sel-sel
tubuh melalui darah. Jumlah oksigen yang dikirimkan ke sel-sel bergantung pada aliran darah
ke area spesifik dan pada konsentrasi oksigen. Darah secara continue didaur ulang kembali
melalui paru-paru untuk direoksigenasi dan untuk menyingkirkan produk-produk akhir
metabolism seluler seperti karbondioksida. Otot jantung memberikan pompa yang
dikeluarkan untuk mengeluarkan darah segar yang dioksigenasi ke luar jaringan tubuh.
Vaskulatur dapat berdilatasi dan berkontraksi sesuai dengan mekanisme pengatur pusat dan
local. Mekanisme pengaturan pusat menyebabkan dilatasi dan konstriksi vaskuler untuk
mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Mekanisme pengaturan local, disebut sebagai
otoregulasi, menyebabkan vasodilatasi/vasokontriksi dalam berespon terhadap bahan kimia
yang dilepaskan oleh sel-sel yang mengkomunikasikan kebutuhannya akan oksigen dan
nutrient.

Pengaturan Tekanan Darah


Tiga komponen utama system sirkulatori yaitu: volume darah, pompa jantung, dn vaskulatur
harus berespon secara efektif terhadap kompleks system umpan balik neural, kimiawi, dan
hormonal untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat dan akhirnya memberikan
perfusi jaringan.
Mekanisme utama yang mengatur tekanan darah melalui baroreseptor (tekanan darah)
terletak pada sinus karotis dan arkus aorta. Reseptor tekanan ini menghantarkan impuls ke
pusat saraf simpatik yang terletak di medulla otak. Pada kejadian turunnya tekanan darah,
ketokolamin (epinefrin dan norepinefrin) dilepaskan dari medulla adrenal yang menyebabkan
peningkatan frekuensi jantung dan vasokontriksi, dengan demikian memulihkan tekanan
darah.
Maka dapat disimpulkan bahwa volume darah yang adekuat, pompa jantung yang efektif dan
vaskulatur yang efektif penting untuk mempertahankan tekanan darah dan perfusi jaringan.
Jika salah satu dari ketiga komponen ini gagal, tubuh dapat mengkompensasi dengan
meningkatkan kerja kedua komponen lain. Jika mekanisme kompensasi tidak mampu lagi
mengkompensasi system yang gagal, maka jaringan tubuh tidak memperoleh perfusi yang
adekuat dan syndrome syok dimulai. Kecuali jika intervensi cepat dilakukan, syok akan
berlanjut dan menyebabkan kegagalan organ dan kematian (Brunner & Suddarth,2001).

1.

F.

Pemeriksaan Penunjang

2.

Pada anamnesis Pasien mungkin tidak bisa diwawancara sehingga riwayat sakit
mungkin hanya didapatkan dari keluarga, teman dekat atau orang yang mengetahui
kejadiannya, cari : Riwayat trauma (banyak perdarahan atau perdarahan dalam perut),
Riwayat penyakit jantung (sesak nafas), Riwayat infeksi (suhu tinggi), Riwayat pemakaian
obat ( kesadaran menurun setelah memakan obat)

3.

Pemeriksaan fisik Kulit

4.

Suhu raba dingin (hangat pada syok septik hanya bersifat sementara, karena begitu
syok berlanjut terjadi hipovolemia). Warna pucat (kemerahan pada syok septik, sianosis pada

syok

kardiogenik

dan

syok

hemoragi

terminal)

Basah pada fase lanjut syok (sering kering pada syok septik).
5.

Tekanan darah

6.

Hipotensi dengan tekanan sistole < 80 mmHg (lebih tinggi pada penderita yang
sebelumnya mengidap hipertensi, normal atau meninggi pada awal syok septic)

7.

Status jantung

8.

Takikardi, pulsus lemah dan sulit diraba.

9.

Status respirasi

10.

Respirasi meningkat, dan dangkal (pada fase kompensasi) kemudian menjadi lambat
(pada syok septik, respirasi meningkat jika kondisi menjelek)

11.

Status Mental

12.

Gelisah, cemas, agitasi, tampak ketakutan. Kesadaran dan orientasi menurun, sopor
sampai koma. Fungsi Ginjal Oliguria, anuria (curah urin < 30 ml/jam, kritis)

13.

Fungsi Metabolik

14.

13. Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septik dijumpai
alkalosis metabolik, kausanya tidak diketahui). Alkalosis respirasi akibat takipnea. Sirkulasi
Tekanan vena sentral menurun pada syok hipovolemik, meninggi pada syok kardiogenik.
Keseimbangan

Asam

Basa

Pada awal syok pO2 dan pCO2 menurun (penurunan pCO2 karena takipnea, penurunan pO2
karena adanya aliran pintas di paru). Pemeriksaan Penunjang Darah (Hb, Hmt, leukosit,
golongan darah), kadar elektrolit, kadar ureum, kreatinin, glukosa darah. Analisa gas darah,
EKG.

.
1.
1.

G.

Penatalaksanaan
Pastikan jalan nafas pasien dan nafas dan sirkulasi dipertahankan. Beri

bantuan ventilator tambahan sesuai kebutuhan.

2.

Perbaiki volume darah sirkulasi dengan penggantian cairan dan darah cepat
sesuai ketentuan untuk mengoptimalkan preload jantung, memperbaiki hipotensi, dan
mempertahankan perfusi jaringan.
1)

Kateter tekan vena sentra dimasukkan dalam atau didekat atrium kanan untuk bertindak

sebagai petunjuk penggantian cairan. Pembacaan tekanan vena sentral kontinu (CVP)
memberi petunjuk dan derajat perubahan dari pembacaan data dasar; kateter juga sebagai alat
untuk penggantian volume cairan darurat.
2)

Jarum atau kateter IV diameter besar dimasukkan kedalam vena perifer. Dua atau lebih

kateter mungkin perlu untuk penggantikan cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan
hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.

Buat jalur IV diameter besar dimasukkan ke vena periver. Dua tau lebih kateter
mungkin perlu untuk penggantian cairan cepat dan pengembalian ketidakstabilan
hemodinamik; penekanan pada penggantian volume.

Ambil darah untuk spesimen; garis darah arteri, pemeriksaan kimia, golongan darah
dan pencocokan silang, dan hemtokrit.

Mulai infus IV dengan cepat sampai CVP meningkat pada tingkat pada tingkat yang
memuaskan diatas pengukuran dasar atau sampai terdapat perbaikan pada kondisi klinis
pasien.
3)

Infus larutan Ringer Laktat digunakan pada awal penangana karena cairan ini

mendekati komposisi elektrolit plasma, begitu juga dengan osmolalitasnya, sediakan waktu
untuk pemeriksaan golongan darah dan pencocokkan silang, perbaiki sirkulasi, dan bertindak
sebagai tambahan terapi komponen darah.
4)

Mulai tranfusi terapi komponen darah sesuai program, khususnya saat kehilangan darah

telah parah atau pasien terus mengalami hemoragi.


5)

Kontrol hemoragi; hemoragi menyertai status syok. Lakukan pemeriksaan hematokrit

sering bila dicurigai berlanjutnya perdarahan

6)

Pertahankan tekanan darah sistolik pada tingkat yang memuaskan dengan memberi

cairan dan darah sesuai ketentuan.


1.

Pasang kateter urine tidak menetap: catat haluaran urine setiap 15-30 menit, volume
urine menunjukkan keadekuatan perfusi ginjal.

2.

Lakukan pemeriksaan fisik cepat untuk menentukan penyebab syok.

3.

Pertahankan surveilens keperawatan terus menerus terhadap pasien total-tekanan


darah, denyut jantung, pernafasan, suhu kulit, warna, CVP, EKG, hematokrit, Hb, gambaran
koagulasi, elektrolit, haluaran urine-untuk mengkaji respon pasien terhadap tindakan.
Pertahankan lembar alur tentang parameter ini; analisis kecenderungan menyatakan
perbaikan atau pentimpangan pasien.

4.

Tinggikan kaki sedikit untuk memperbaiki sirkulasi serebral lebih baik dan
mendorong aliran darah vena kembali kejantung (posisi ini kontraindikasi pada pasien
dengan cidera kepala). Hindarkan gejala yang tidak perlu.

5.

Berikan obat khusus yang telah diresepkan (misalnya inotropik seperti dopamen)
untuk meningkatkan kerja kardiovaskuler.

6.

Dukung mekanisme devensif tubuh


1)

Tenangkan dan nyamankan pasien: sedasi mungkin perlu untuk menghilangkan rasa

khawatir.

2)

Hilangkan nyeri dengan kewaspadaan penggunaan analgesik atau narkotik.

3)

Pertahankan suhu tubuh.


Terlalu panas menimbulkan vasodilatasi yang merupakan mekanisme kompensasi

tubuh dari vasokontriksi dan meningkatnya hilangnya caiiran karena perspirasi.

Pasien yang mengalami septik harus dijaga tetap dingin: demam tinggi meningkatkan
efek metabolik selular terhadap syok.

1.

H.

Asuhan Keperawatan

Pengkajian emergency nursing, secara umum terdiri dari : primary survey, sekundery survey,
dan tersier survey. Primery survey meliputi: airway, breathing, circulation, disability, dan
exposure. Sekundery survey meliputi pengkajian fisik. Sedangkan tersier survey dilakukan
selain pengkajian primery dan sekundery survey, semisal riwayat penyakit keluarga.
1.

Primari survay
Pemeriksaaan jasmaninya diarahkan kepada diagnosis cidera yang mengancam nyawa dan
meliputi penilaian dari A,B,C,D,E. Mencatat tanda vital awal (baseline recordings) penting
untuk memantau respon penderita terhadap terapi. Yang harus diperiksa adalah tanda-tanda
vital, produksi urin dan tingkat kesadaran. Pemeriksaan penderita yang lebih rinci akan
menyusul bila keadaan penderita mengijinkan. Metode pengkajian dalam primary survey ini
yaitu: cepat, ermat, dan tepat yang dilakukan dengan melihat (look), mendengar (listen), dan
Merasakan (feel).
a)

Airway dan breathing

Prioritas pertama adalah menjamin airway yang paten dengan cukupnya pertukaran ventilasi
dan oksigenasi. Diberikan tambahan oksigen untuk mempertahankan saturasi oksigen lebih
dari 95%.
Airway (jalan napas):
Ada tiga hal utama dalam tahapan airway ini yaitu look, listen, dan feel. Look atau melihat
yaitu perawat melihat ada tidaknya obstruksi jalan napas, berupa agitasi: (hipoksemia),
penurunan kesadaran (hipercarbia), pergerakan dada dan perut pada saat bernapas (see sawrocking respiration), kebiruan pada area kulit perifer pada kuku dan bibir (sianosis), adanya
sumbatan di hidung, posisi leher, keadaan mulut untuk melihat ada tidaknya darah. Tahapan
kedua yaitu listen atau mendengar, yang didengar yaitu bunyi napas. Ada dua jenis suara
napas yaitu suara napas tambahan obstuksi parsial, antara lain: snoring, gurgling,
crowing/stidor, dan suara parau(laring) dan yang kedua yaitu suara napas hilang berupa
obstruksi total dan henti napas. Terakhir yaitu Feel, pada tahap ini perawat merasakan aliran
udara yang keluar dari lubang hidung pasien.

Breathing (bernapas):
Pada tahap look (melihat), yang dilakukan yaitu: melihat apakah pasien bernapas,
pengembangan dada apakah napasnya kuat atau tidak, keteraturannya, dan frekuensinya.
Pada tahap listen( mendengar) yang didengar yaitu ada tidaknya vesikuler, dan suara
tambahan napas. Tahap terakir yaitu feel, merasakan pengembangan dada saat bernapas,
lakukan perkusi, dan pengkajian suara paru dan jantung dengan menggunakan stetoskop.
b)

Sirkulasi kontrol perdarahan

Pengkajian circulation, yaitu hubungan fungsi jantung, peredaran darah untuk memastikan
apakah jantung bekerja atau tidak. Pada tahap look atau melihat, yang dilakukan yaitu
mengamati nadi saat diraba, berdenyut selama berapa kali per menitnya, ada tidaknya
sianosis pada ekstremitas, ada tidaknya keringat dingin pada tubuh pasien, menghitung
kapilery reptile, dan waktunya, ada tidaknya akral dingin. Pada tahap feel, yang dirasakan
yaitu gerakan nadi saat dikaji (nadi radialis, brakialis, dan carotis),Lakukan RJP bila apek
cordi tidak berdenyut. Pada tahapan lesson, yang didengar yaitu bunyi aliran darah pada saat
dilakukan pengukuran tekanan darah.
Termasuk dalam prioritas adalah mengendalikan perdarahan yang jelas terlihat, memperoleh
akses intra vena yang cukup, dan menilai perfusi jaringan. Perdarahan dari luka luar biasanya
dapat dikendalikan dengan tekanan langsung pada tempat pendarahan. PASG (Pneumatick
Anti Shock Garment) dapat digunakan untuk mengendalikan perdarahan dari patah tulang
pelvis atau ekstremitas bawah, namun tidak boleh menganggu resusitasi cairan cepat.
Cukupnya perfusi jaringan menentukan jumlah cairan resusitasi yang diperlukan. Mungkin
diperlukan operasi untuk dapat mengendalikan perdarahan internal.
c)

Disability pemeriksaan neurologi

Yang dikaji pada tahapan ini yaitu GCS (Glasgow Coma Scale), dan kedaan pupil dengan
menggunakan

penlight.

Pupil

normal

yaitu

isokor,

mengecil:

miosis,

melebar:

dilatasi.Dilakukan pemeriksaan neurologi singkat untuk menentukan tingkat kesadaran,


pergerakan mata dan respon pupil, fungsi motorik dan sensorik. Informasi ini bermanfaat
dalam menilai perfusi otak, mengikuti perkembangan kelainan neurologi dan meramalkan

pemulihan.perubahan fungsi sistem saraf sentral tidak selalu disebabkan cidera intra kranial
tetapi mungkin mencerminkan perfusi otak yang kurang. Pemulihan perfusi dan oksigenasi
otak harus dicapai sebelum penemuan tersebut dapat dianggap berasal dari cidera intra
kranial.
GLASGOW COMA SCALE
Kemampuan membuka mata:
Spontan

Dengan perintah

Dengan nyeri

Tidak berespon

Kemampuan Motorik
Dengan perintah

Melokalisasi nyeri

Menarik area yang nyeri

Fleksi abnormal

Ekstensi

Tidak berespons

Kemampuan Verbal
Berorientasi

Bicara membingungkan
Kata-kata tidak tepat

4
3

Suara tidak dapat dimengerti


Tidak ada respon

2
1
(Brunner & Sudarth,2001: 2091)

d)

Exposure pemeriksaan lengkap

Setelah mengurus prioritas-prioritas untuk menyelamatkan jiwanya, penderita harus


ditelanjangi dan diperiksa dari ubun-ubun sampai jari kaki sebagai bagian dari mencari
cidera.
e)

Dilasi lambung dikompresi.

Dilatasi lambung sering kali terjadi pada penderita trauma, khususnya pada anak-anak dan
dapat mengakibatkan hipotensi atau disritmia jantung yang tidak dapat diterangkan, biasanya
berupa bradikardi dari stimulasi saraf fagus yang berlabihan. Distensi lambung membuat
terapi syok menjadi sulit. Pada penderita yang tidak sadar distensi lambung membesarkan
resiko respirasi isi lambung, ini merupakan suatu komplikasi yang bisa menjadi fatal.
Dekompresi lambung dilakukan dengan memasukan selamh atau pipa kedalam perut melalui
hidung atau mulut dan memasangnya pada penyedot untuk mengeluarkan isi lambung.
Namun, walaupun penempatan pipa sudah baik, masih mungkin terjadi aspirasi.
f)

Pemasangan kateter urin

Katerisasi kandung kenving memudahkan penilaian urin akan adanya hematuria dan evaluasi
dari perfusi ginjal dengan memantau produksi urine. Darah pada uretra atau prostad pada
letak tinggi, mudah bergerak, atau tidak tersentuh pada laki-laki merupakan kontraindikasi
mutlak bagi pemasangan keteter uretra sebelum ada konfirmasi kardiografis tentang uretra
yang utuh.
1.

Sekunderisurvey
Harus segera dapat akses kesistem pembulu darah. Ini paling baik dilakukan dengan
memasukkan dua kateter intravena ukuran besar (minimun 16 gaguage) sebelum

dipertimbangkan jalur vena sentral kecepatan aliran berbanding lurus dengan empat kali
radius kanul, dan berbanding terbalik dengan panjangnya (hukum poiseuille). Karena itu
lebih baik kateter pendek dan kaliber besar agar dapat memasukkan cairan terbesar dengan
cepat.
Tempat yang terbaik untuk jalur intravena bagi orang dewasa adalah lengan bawah atau
pembulu darah lengan bawah. Kalau keadaan tidak memungkinkan pembuluh darah periver,
maka digunakan akses pembuluh sentral (vena-vena femuralis, jugularis atau vena subklavia
dengan kateter besar) dengan menggunakan tektik seldinger atau melakukan vena seksi pada
vena safena dikaki, tergantung tingkat ketrampilan dokternya. Seringkali akses vena sentral
didalam situasi gawat darurat tidak bisa dilaksanakan dengan sempurna atau pu tidak seratus
persen steril, karena itu bila keadaan penderita sedah memungkinya, maka jalur vena sentral
ini harus diubah atau diperbaiki.
Juga harus dipertimbangkan potensi untuk komplikasi yang serius sehubungan dengan usaha
penempatan kateter vena sentral, yaitu pneumo- atau hemotorak, pada penderita pada saat itu
mungkin sudah tidak stabil.
Pada anak-anak dibawah 6 tahun, teknik penempatan jarum intra-osseus harus dicoba
sebelum menggunakan jalur vena sentral. Faktor penentu yang penting untuk memilih
prosedur atau caranya adalah pengalaman dan tingkat ketrampilan dokternya.
Kalau kateter intravena telah terpasang, diambil contoh darah untuk jenis dan crossmatch,
pemerikasaan laboratorium yang sesuai, pemeriksaan toksikologi, dan tes kehamilan pada
wanita usia subur. Analisis gas darah arteri juga harus dilakukan pada saat ini. Foto torak
haris diambil setelah pemasangan CVP pada vena subklavia atau vena jugularis interna untuk
mengetahui posisinya dan penilaian kemungkinan terjadinya pneumo atau hemotorak.
Adapun pemeriksaan fisik yang dilakukan antara lain pada kulit, tekanan darah, status
jantung, status respirasi, status mental, dan fungsi ginjal(oliguri, anuria).

1.

Tersierisurvey

Yang dilakukan pada tersiery survey, antara lain:


1.

Riwayat Kesehatan

2.

Riwayat trauma (perdarahan)

3.

Riwayat penyakit jantung

4.

Riwayat penyakit infeksi

5.

Riwayat pemakaian obat

6.

Hasil laboratorium

7.

Fungsi metabolic
Asidosis akibat timbunan asam laktat di jaringan (pada awal syok septic dijumpai alkalosis
metabolic)

1.

Keseimbangan asam-basa
Pada awal syok PO2 dan PCO2 menurun (penurunan PCO2 karena takipnea, penurunan PO2
karena adanya aliran pintas ke paru).
Terapi awal cairan
Larutan elektrolit isotonik digunakan untuk resusitasi awal. Jenis cairan ini mengisi
intravaskuler dalam wakti singkat dan juga menstabilkan volume vaskuler dengan cara
menggantikan kehilangan cairan berikutnya kedalam ruang intersisial dan intraseluler.
Larutan Ringer Laktat adalah cairan pilihan pertama. NaCl fisiologis adalah pilihan kedua.
Walaupun NaCL fisiologis merupakan pengganti cairan terbaik namun cairan ini memiliki
potensi untuk terjadinya asidosis hiperkloremik. Kemungkinan ini bertambah besar bila fungi
ginjalnya kurang baik.

1.

I.

Diagnosa Keperawatan

1.

Gangguan pola nafas tidak efektif b/d penurunan ekspansi paru.

2.

Perubahan perfusi jaringan b/d penurunan suplay darah ke jaringan.

3.

Nyeri b/d penurunan suplai oksigen ke otak

4.

Gangguan keseimbangan cairan b/d mual, muntah.

5.

Gangguan pola eliminasi urine b/d Oliguria.

6.

Kurangnya pengetahuan b/d kurangnya informasi mengenai pengobatan.

7.

Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum

8.

Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan dispnea

9.

Nutrisi kurang dari kebutuhn tubuh berhubungn dengan mual dan muntah,
penurunan pemasukan oral

10.

Hipertermia berhubungan dengan efek langsung dari sirkulasi endotoksin pada


hipotalamus

Anda mungkin juga menyukai