Anda di halaman 1dari 5

SKENARIO 1

UJIAN KEHIDUPAN
Blok Pengembangan Diri Keislaman
dan
Profesionalisme Apoteker

TUTORIAL E
Suci Ningsih
Mantik Sungsang Nugroho
Amelia Nuranti
Dewi Almira Solikhah
Crisdany Gusti Sula
Pretty Khazanah Riyuztiara
Abdillah Mursyid
Siti Nurrahayuningsih
Reyhan Ahmaniar
Wiwik Wiharti
Yuyun Septika Lestari

(15811125)
(15811127)
(15811132)
(15811133)
(15811142)
(15811143)
(15811167)
(15811185)
(15811186)
(15811212)
(15811217)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2015

LEARNING OBJECTIVE
1. Mahasiswa dapat memahami kode etik apoteker Indonesia.
2. Mahasiswa dapat menjelaskan pekerjaan kefarmasian apoteker dan TTK (Tenaga Teknis Kefarmasian).
3. Mahasiswa dapat membedakan standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit dan Apotek.
4. Mahasiswa dapat menjelaskan sistem kesehatan di Indonesia.
5. Mahasiswa dapat menjelaskan fatwa haram BPJS oleh MUI.
Apoteker di dalam pengabdiannya serta dalam mengamalkan keahliannya selalu berpegang teguh kepada
sumpah/janji Apoteker dan berpedoman pada satu ikatan moral yaitu Kode Etik Apoteker Indonesia. Pada Kode
Etik Apoteker memiliki 15 pasal, BAB I merupakan penjelasan tentang kewajiban umum seorang Apoteker yang
terdiri dari 8 pasal, antara lain:
1. Apoteker harus menjunjung tinggi, menghayati, dan mengamalkan sumpah/janji apoteker,
2. Apoteker harus berusaha dengan sungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan Kode Etik Apoteker
Indonesia,
3. Apoteker harus senantiasa menjalankan profesinya sesuai dengan Kompetensi Apoteker Indonesia serta
mengutamakan dan berpegang teguh pada prinsip kemanusiaan dalam melaksanakan kewajibannya,
4. Apoteker harus selalu aktif mengikuti perkembangan dibidang kesehatan pada umumnya dan dibidang
farmasi pada khususnya,
5. Apoteker harus menjauhkan diri usaha mencari keuntungan diri semata yang bertentangan dengan martabat
dan tradisi luhur jabatan kefarmasian,
6. Apoteker harus berbudi luhur dan menjadi contoh yang baik bagi orang lain,
7. Apoteker harus menjadi sumber informasi sesuai dengan profesinya,
8. Apoteker harus aktif mengikuti perkembangan peraturan perundang undangan dibidang kesehatan dan
kefarmasian.
Dalam kasus skenario 1 kode etik BAB I yang dilanggar oleh apoteker tersebut adalah Pasal 1, 2, 3, 6,7,8
karena pada kasus sangat jelas bahwa Apoteker tidak mengamalkan sumpah dan kode etik Apoteker, tidak
menjalankan profesinya sesuai dengan kompentensi Apoteker, tidak menjadi sumber informasi yang susuai
dengan profesinya, tidak aktif mengikuti perkembangan UU tentang kefarmasian dimana penyerahan obat terlebih
lagi obat keras harus diserahkan langsung oleh apoteker dengan penjelasan lengkap tentang informasi obat
tersebut, sehingga apoteker dalam kasus ini tidak dapat dijadikan contoh yang baik bagi orang lain.
BAB II merupakan penjelasan tentang kewajiban Apoteker kepada pasien tercantum pada pasal 9 yang
berbunyi Apoteker harus mengutamakan kepentingan masyarakat, menghormati hak asasi pasien, dan
melindungi makhluk hidup insani. Dalam kasus ini Apoteker tidak mengamalkan pasal 9 kode etik apoteker
karena menyerahkan proses dispensing obat (pencampuran dry syrup Amoksisillin dengan air) kepada pasien
dan penyerahan obat dilakukan oleh seorang asisten apoteker. Hal ini mencerminkan sikap apoteker yang tidak
mengutamakan kepentingan dan keselamatan pasien.
BAB III membahas tentang kewajiban apoteker terhadap teman sejawat yang terdiri dari 3 pasal yaitu:
1. Apoteker harus memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan,
2. Sesama Apoteker harus saling mengingatkan dan saling menasehati untuk mematuhi kode etik,
3. Apoteker harus meningkatkan kerjasama yang baik dengan sesama Apoteker serta mempertebal rasa saling
mempercayai didalam menunaikan tugasnya.
BAB IV menjelaskan tentang kewajiban Apoteker terhadap sejawat tenaga kesehatan lainnya. Bab ini
terdiri dari 2 pasal yaitu:
1. Apoteker harus menggunakan setiap kesempatan untuk membangun dan meningkatkan hubungan profesi,
saling mempercayai, menghargai, dan menghormati sejawat tenaga kesehatan lain,
2. Apoteker menjauhkan diri dari tindakan yang dapat mengakibatkan berkurangnya kepercayaan masyarakat
terhadap sejawat tenaga kesehatan lain.
BAB V merupakan bab penutup yaitu pasal 15 yang berbunyi Apoteker bersungguh-sungguh menghayati
dan mengamalkan Kode Etik Apoteker Indonesia dalam menjalankan tugas kefarmasiannya sehari hari. Pasal ini
juga dilanggar karena dalam kasus tersebut Apoteker tidak bersungguh-sungguh menghayati dan mengamalkan
kode etik dalam praktiknya sehari hari. Sanksi yang diberikan terhadap pelanggaran kode etik dapat berupa
sanksi teguran, pembinaan, dan pencabutan Surat Ijin Praktek Apoteker (SIPA) oleh Ikatan Apoteker Indonesia
(IAI).
Pada PP 51 tahun 2009 mengenai Pekerjaan Kefarmasian pada pasal 4 menyebutkan bahwa tujuan dari
pengaturan pelaksanaan Pekerjaan Kefarmasian adalah sebagai berikut(1):
1. Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/ atau menetapkan
sediaan farmasi dan jasa kefarmasian,

2. Mempertahankan dan meningkatkan mutu penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan


perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peraturan perundang-undangan, dan
3. Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat dan tenaga kefarmasian.
Pekerjaan kefarmasian merupakan pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengaman,
pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian atau penyaluran obat, pengelolaan obat, pelayanan obat atas
resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional yang dapat
dilakukan oleh tenaga kefarmasian diataranya adalah Apoteker dan tenaga teknis kefarmasian (Sarjana Farmasi,
Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi, dan Tenaga Menengah Farmasi/ Asisten Apoteker atau AA) (1).
Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan Sumpah
Jabatan Apoteker sedangkan Tenaga Teknis Kefarmasian adalah tenaga yang membantu Apoteker dalam
menjalani pekerjaan kefarmasian. Dalam menjalankan praktek kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian,
apoteker harus menerapkan standar pelayanan kefarmasian seperti yang disebutkan pada PP 51 tahun 2009
pasal 21 poin 2 dan pasal 24 poin c, bahwa penyerahan dan pelayanan obat berdasarkan resep dokter termasuk
obat keras, narkotika dan psikotropika dilaksanakan oleh apoteker. Namun dikhususkan pada daerah terpencil
yang tidak mempunya apoteker, menteri dapat menempatkan tenaga teknis kefarmasian yang telah memiliki
STRTTK diberi wewenang untuk meracik dan menyerahkan obat pada pasien(1) .
Asisten Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang beijazah sekolah Asisten Apoteker/ Sekolah
Menengah Farmasi, Politeknik Kesehatan jurusan Farmasi, Akademi farmasi, Politeknik Kesehatan jurusan
Analisa Farmasi dan makanan, Akademi Analisa Farmasi dan Makanan yang telah melakukan sumpah sebagai
Asiaten Apoteker dan mendapat surat ijin sebagai tenaga kesehatan atau legislasi sesuai dengan peraturan
perundangan yang berlaku. Berdasarkan KEPMENKES No. 679/MENKES/SK/V/2003 pada BAB III pasal 8 ayat
dua (2) lingkup pekerjaan kefarmasian Asisten Apoteker meliputi(2) :
1. Melaksanakan pembuatan termasuk pengendallian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan,
penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat,
bahan obat dan obat tradisional,
2. Pekerjaan kefarmasian yang dilakukan oleh Asisten Apoteker dibawah pengawasan Apoteker/ pimpinan Unit
atau dilakukan secara mandiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Unit serta elemen kompetensi Asisten Apoteker dibatasi oleh peraturan yang berlaku yang menyebutkan bahwa
Asisten Apoteker mempunyai kewenangan penuh pada pengelolaan obat bebas serta obat bebas terbatas
sedangkan untuk pengelolaan obat keras, narkotika dan psikotropika harus dibawah supervisi/ pengawasan
Apoteker atau pimpinan unit yang kompeten.
Berdasarkan UU No 36 tahun 2009 pasal 198, setiap orang yang tidak memiliki keahlian dan
kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud dalam pasal 108 (tentang pekerjaan
kefarmasian) dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp 100.000.000,00 (3). Dalam kasus skenario 1
Asisten Apoteker tersebut melanggar KEPMENKES No. 679/MENKES/SK/V/2003 pada BAB III pasal 8 ayat dua
(2) dan dapat dikenai sanksi pasal 198 di atas karena tidak memiliki wewenang menyerahkan obat keras kepada
pasien(2).
Berdasarkan Permenkes No 58 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit
bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga
kefarmasian, dan melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka
keselamatan pasien (patient safety). Standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit meliputi standar
penggelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai serta pelayan farmasi klinik. Standar
penggelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai meliputi pemilihan, perencanan
kebutuhan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pendistribusian, pemusnahan dan penarikan, pengendalian,
dan administrasi. Sedangkan pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian dan pelayanan resep, penelusuran
riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, Pelayanan Informasi Obat (PIO), konseling, visite, Pemantauan
Terapi Obat (PTO), Monitoring Efek Samping Obat (MESO), Evaluasi Penggunaan Obat (EPO), dispensing
sediaan steril, dan Pemantauan Kadar Obat dalam Darah (PKOD) tetapi masih belum dilakukan di Indonesia(4).
Berdasarkan permenkes No 35 Tahun 2014 tentang standar pelayanan kefarmasian di Apotek bertujuan
untuk meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian, dan
melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien
(patient safety). Pengelolaan sediaan farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai di Apotek meliputi
perencanaan, pengadaan, penerimaan, penyimpanan, pemusnahan, pengendalian, pencatatan dan pelaporan.
Sedangkan pelayanan farmasi klinik meliputi pengkajian resep dispensing, Pelayanan Informasi Obat (PIO),
konseling, pelayanan kefarmasian di rumah (Home Pharmacy Care), Pemantauan Terapi Obat (PTO), dan
Monitoring Efek Samping Obat (MESO)(5).
Perbedaan standar pelayanan kefarmasian di Rumah Sakit dan Apotek dalam hal penggelolaan sediaan
farmasi, alat kesehatan, dan bahan medis habis pakai yaitu apoteker di Rumah Sakit terlibat dalam pemilihan

obat yang akan dipakai dalam formularium Rumah Sakit dan terlibat dalam pendistribusian obat pada pasien
rawat inap dan rawat jalan. Hal tersebut berbeda dengan penggelolaan sedian farmasi, alat kesehatan, dan
bahan medis habis pakai di Apotek karena di Apotek tidak dilakukan kedua tugas tersebut. Pada pelayanan
farmasi klinik yang membedakan adalah apoteker di rumah sakit melakukan visite atau kunjungan pada pasien
rawat inap, sedangkan apoteker di Apotek melakukan kunjungan pelayanan kefarmasian ke rumah pasien (home
pharmacy care). Apoteker di rumah sakit dapat melakukan sediaan steril sedangkan apoteker di apotek hanya
dapat melakukan dispensing sediaan non steril. Di rumah sakit terdapat pelayanan yang tidak dapat dilakukan di
Apotek yaitu penelusuran riwayat penggunaan obat, rekonsiliasi obat, evaluasi penggunaan obat(4,5).
Undang undang No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen
1. Pasal 4 tentang hak konsumen
(A) Hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa
(C) Hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/ atau jasa
(F) Hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen
(G) Hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif
2. Pasal 5 tentang kewajiban konsumen
(A) Kewajiban konsumen adalah membaca atau mengikuti petunjuk informasi dan prosedur pemakaian
atau pemanfaatan barang dan/ atau jasa, demi keaamanan dan keselamatan
Berdasarkan skenario 1 apoteker tidak menyerahkan obat dengan resep dokter tetapi asisten apoteker
yang melakukan dan asisten apoteker tersebut membiarkan pasien melakukan dispensing sendiri. Sehingga jika
terdapat kesalahan pasien dalam dispensing apoteker dapat dituntut sesuai UU Perlindungan Konsumen. Selain
itu asisten apoteker juga melakukan pelanggaran karena obat dengan resep dokter seharusnya diserahkan oleh
apoteker dengan memberikan konseling, edukasi, dan informasi (KIE) yang tepat untuk menjamin keamanan dan
keselamatan pasien(6).
Indonesia baru saja menyelenggaran sistem kesehatan baru yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Sistem ini memperbaiki dan menggabungkan seluruh asuransi kesehatan yang sudah ada sebelumnya. JKN
diselenggarakan oleh suatu badan yang diamanahi oleh pemerintah yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial
(BPJS). Prinsip penyelenggaraanya yaitu kegotongroyongan; nirlaba; keterbukaan, kehati hatian, akuntabilitas,
efisiensi, dan efektivitas; portabilitas, kepesertaan bersifat wajib; dana amanah; dan hasil pengelolaan dana
jaminan sosial dipergunakan seluruhnya untuk pengembangan program dan untuk sebesar besar kepentingan
peserta(7). Kepesertaan JKN terbagi menjadi 2 yaitu Penerima Bantuan Iuran (PBI) dan Non PBI. Peserta PBI
adalah fakir miskin dan orang tidak mampu dimana premi atau angsuran kesehatan dibayarkan oleh pemerintah.
Sedangkan peserta non PBI adalah pekerja penerima upah dan anggota keluarganya, pekerja bukan penerima
upah dan anggota keluarganya. Pendanaan BPJS berupa dana kapitasi dan dana non kapitasi. Dana kapitasi
yaitu besaran pembayaran perbulan yang dibayarkan dimuka kepada FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama) oleh BPJS Kesehatan berdasarkan jumlah jumlah peserta yang terdaftar tanpa memperhitungkan jenis
dan jumlah pelayanan kesehatan yang diberikan. Dana non kapitasi adalah besaran pembayaran klaim oleh
BPJS Kesehatan pada FKTP berdasarkan jenis dan jumlah pelayanan kesahatan yang diberikan. Klaim tersebut
harus diverifikasi oleh verifikator BPJS kesehatan untuk menguji kebenaran administrasi pertanggung jawaban
pelayanan yang dilakukan oleh FKTP.
Badan Peyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan (BPJS Kesehatan) adalah badan hukum yang dibentuk
untuk meyelenggarakan program jaminan kesehatan. BPJS Kesehatan menyatakan bahwa keterlambatan
pembayaran Iuran untuk Pekerja Penerima Upah, maka dikenakan denda administratif sebesar 2% (dua persen)
per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 3 (tiga) bulan (8). Denda tersebut dibayarkan
bersamaan dengan total iuran yang tertunggak oleh Pemberi Kerja. Sementara keterlambatan pembayaran Iuran
untuk Peserta Bukan Penerima Upah dan Bukan Pekerja dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua
persen) per bulan dari total iuran yang tertunggak paling banyak untuk waktu 6 (enam) bulan yang dibayarkan
bersamaan dengan total iuran yang tertunggak (8). Hal ini dipermasalahkan karena penyelenggaraan jaminan
sosial oleh BPJS Kesehatan mengandung ketidakjelasan bentuk akadnya (menyebabkan gharar), kepemilikan
premi atau dana yang disetorkan para peserta ke BPJS (Apakah menjadi milik Negara, BPJS, atau peserta masih
dipertanyakan, penyaluran dana/investasi iuran para peserta BPJS. Terdapat kekhawatiran penyaluran dana ke
sektor yang tidak halal (berpotensi riba kalau ternyata didepositokan ke bank yang memberi bunga)(9). Pernyataan
tersebut dikuatkan dengan dalil Al quran surat Al-Baqarah 275-280

..padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba..


Rekomendasi hasil rapat hasil Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia V Tahun 2015 Tentang Panduan
Jaminan Kesehatan Nasional dan BPJS Kesehatan menyebutkan bahwa:

1. Agar pemerintah membuat standar minimum atau taraf hidup layak dalam kerangka Jaminan Kesehatan
yang berlaku bagi setiap penduduk negeri sebagai wujud pelayanan publik sebagai modal dasar bagi
terciptanya suasana kondusif di masyarakat tanpa melihat latar belakangnya;
2. Agar pemerintah membentuk aturan, sistem, dan memformat modus operandi BPJS Kesehatan agar sesuai
dengan prinsip syariah(10).
DAFTAR PUSTAKA:
1. Anonim, 2009, Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Departemen
Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
2. Anonim, 2008, Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 573/MENKES/SK/VI/2008 tentang
Standar Profesi Asisten Apoteker, Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Jakarta.
3. Anonim, 2009, Undang Undang Republik Indonesia No 36 tahun 2009 tentang Kesehatan, Dewan Perwakilan
Rakyat, Jakarta.
4. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2014, Permenkes No 58 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Rumah Sakit, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.
5. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan RI, 2014, Permenkes No 35 Tahun 2014 tentang Standar
Pelayanan Kefarmasian di Apotek, Menteri Kesehatan RI, Jakarta.
6. Anonim, 1999, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, Dewan Perwakilan
Rakyat, Jakarta.
7. Anonim, 2014, Peraturan Menteri Kesehatan No.28 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaksanaan Program
JKN, Jakarta.
8. Anonim, 2014, Iuran, http://bpjs-kesehatan.go.id/bpjs/index.php/pages/detail/2014/13 (diakses tanggal 3
september 2015).
9. Azmi. M.U, 2015, BPJS Kesehatan dan Fatwa MUI. Jurnal Rechtsvinding, Jakarta.
10. Majelis Ulama Indonesia, 2015, Keputusan Komisi B 2 Masail Fiqhiyyah Mu'ashirah (Masalah Fikih
Kontemporer) Ijtima Ulama Komisi Fatwa Se Indonesia V Tahun 2015 tentang Panduan Jaminan Kesehatan
Nasional dan BPJS Kesehatan, Pesantren At-Tauhidiyah, Cikura, Tegal, Jawa Tengah.

Anda mungkin juga menyukai